NO BP : 1800542055
JAWABAN :
No 1.
Hal yang bisa dilakukan perbankan untuk menangani Downtime disebabkan oleh gangguan yang
akan menimbulkan kerugian bagi perbankan itu sendiri ataupun nasabah.
Sebelumnya downtime sendiri akan sangat membebani perusahaan selain biaya, masalah internet
banking terbesar lainnya adalah kepercayaan para nasabah dan investor. Downtime juga
menurunkan kinerja dan semangat karyawan. Apapun itu, downtime dapat melibatkan kerugian
bisnis dalam skala milyaran rupiah.
Maka hal yang dilakukan perbankan untuk menangani downtime tersebut yaitu :
Salah satu cara yang perlu dilakukan adalah dengan menempatkan sarana pemulihan bencana
(Disaster Recovery) untuk perusahaan perbankan atau insitusi keuangan lainnya seperti
perusahaan asuransi, perusahaan startup fintech, dan sebagainya. Disaster recovery dapat
menjadi pusat operasi sementara ketika perusahaan perbankan mengalami downtime. Dengan
cara ini, RTO (jumlah toleransi maksimum) atau waktu downtime dapat semakin mengecil.
Disaat yang sama, para team IT anda dapat membenahi penyebab masalah downtime tersebut.
Sehingga, nasabah dan pengguna yang terkena gangguan semakin sedikit. Untuk itu nilai
kompetitif sekarang ini lebih ditentukan dari pengalaman pengguna. Transformasi digital
sejatinya untuk memudahkan. Para pimpinan perusahaan besar di seluruh dunia telah banyak
yang memahami pentingnya sarana colocation DR pada data center pihak ke tiga sebagai
persyaratan teknis operasional mereka. Sebab, jika sekali terjadi downtime maka akan
melibatkan biaya dan kepusingan.
No. 4
Yang dilakukan nasabah jika telah mengirimkan SMS untuk transfer atau pembayaran lainnya,
namun tidak mendapatkan SMS konfirmasi yaitu nasabah diminta untuk :
No. 6
Penerapan manajemen resiko dalam penggunaan teknologi informasi oleh bank umum yang telah
ditetapkan dalam peraturan otoritas jasa keuangan (POJK) Nomor 38/POJK.03/2016 tentang
Penerapan Manajemen Risiko Penggunaan Teknologi Informasi oleh Bank Umum. POJK ini
diharapkan sejalan dengan dinamika peraturan yang terkait dengan penggunaan teknologi
informasi serta perkembangan standar nasional dan internasional.
Dalam POJK ini disebutkan, bank wajib memiliki manajemen risiko yang berkaitan dengan
penggunaan sistem teknologi informasi. Manajamen risiko tersebut mencakup pengawasan aktif
direksi dan komisaris, kecukupan kebijakan, standar dan prosedur penggunaan teknologi
informasi, kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian risiko
penggunaan teknologi informasi dan sistem pengendalian internal atas penggunaan teknologi
informasi.
Penerapan manajemen risiko ini harus dilakukan secara terintegrasi dalam setiap tahapan
penggunaan teknologi informasi. Mulai dari proses perencanaan, pengadaan, pengembangan,
operasional, pemeliharaan, hingga penghentian dan penghapusan sumber daya teknologi
informasi. Penerapan ini juga harus sesuai dengan tujuan, kebijakan usaha, ukuran, dan
kompleksitas usaha bank.
Sebagai implementasi keberadaan manajemen risiko penggunaan teknologi informasi, dari sisi
hulu, bank wajib menetapkan wewenang dan tanggung jawab direksi, dewan komisaris, dan
pejabat yang berada di setiap jenjang jabatan yang memiliki keterkaitan dengan penggunaan
teknologi informasi. Salah satu wewenang dan tanggung jawab direksi adalah menetapkan
Rencana Strategis Teknologi Informasi dan kebijakan bank terkait penggunaan teknologi
informasi, selain sederet tanggung jawab dan wewenang direksi yang lain.
No. 8
BPR dalam merancang dan meminimalkan mekanisme bekerjanya Early Warning System pada
saat terjadinya krisis di Indonesia dalam pengembangan sistim informasi BPR, mengarah pada
sistem pengawasan yang lebih terfokus dalam arti pengawasan secara offsite maupun onsite
kepada kondisi yang dihadapi BPR.
Pengembangan Early Warning System (EWS) BPR dilakukan untuk menunjang pemantauan
kondisi BPR secara offsite, melengkapi penilaian tingkat kesehatan yang dilakukan secara
berkala. Sedangkan untuk menunjang pengawasan secara onsite telah dikembangkan tool untuk
membantu pengawasan dalam melakukan pemeriksaan BPR.
No. 9
Bentuk penerapan SID (Sistem Informasi Debitur) dalam pemberian kredit di BPR dan cara agar
penerapan tersebut tidak mengalami kendala-kendala
Secara garis besar manfaat Sistem Informasi Debitur (SID) yaitu membangun sistem perkreditan
yang sehat dan efisien. Namun dalam pelaksanaannya Sistem Informasi Debitur (SID) juga
terdapat kendala yang terjadi, kendala tersebut dapat berasal dari intern dan ekstem.
Penerapan prinsip kehati-hatian melalui Sistem Informasi Debitur (SID) dalam pemberian kredit
di Bank Perkreditan Rakyat (BPR) masih belum optimal pelaksanaan pemanfaatan oleh Bank
Perkreditan Rakyat masih jauh dari tujuan awal Sistem Informasi Debitur (SID) yang salah satu
nya meminimalisir terjadinya kredit macet. Dalam proses pemberian kredit analisa awal yang
dilakukan oleh Bank Perkreditan Rakyat belum memenuhi analisis kredit yang akurat memenuhi
minimal prinsip 5 C.
Berdasarkan hasil penelitian telah lakukan maka terdapat hal-hal yang dapat disarankan Bagi
intern manajemen Bank Perkreditan Rakyat (BPR) hendaknya :
Memperhatikan sumber daya manusia (SDM) petugas pelaporan dengan seringnya
memberikan pelatihan dan pengertian tentang pentingnya Sistem Infonnasi Debitur
(SID). Melakukan penambahan, penyeleksian dan regenerasi petugas pelaporan agar
Bank Perkreditan Rakyat (BPR) tersebut tidak kesulitan apabila salah satu petugasnya
berhalangan hadir bahkan pindah tempat kerja. Dalam proses pemberian kredit
hendaknya Bank Perkreditan Rakyat (BPR) hendaknya memperhatikan dan
mengutamakan metode 5C dalam menganalisa kredit yang akan diberikan serta
mengutamakan Identifikasi Debitur Individual (IDI) untuk sebagai filter pertama dalam
proses pemberian kredit kepada calon nasabahnya.
Melakukan tertib administrasi dalam penyimpanan back up, penyimpanan data debitur
agar isiian atas Laporan Debitur pada Sistem Informasi Debitur (SID) akurat dan dapat
dipertanggung jawabkan. Pemeliharaan dan peremajaan fasilitas penunjang pelaporan
dalam Sistem Informasi Debitur (SID) seperti pemberian anti virus pada komputer juga
sangat perlu untuk dilakukan oleh intern dari Bank Perkreditan Rakyat (BPR).
No. 10
Bentuk penerapan pengawasan berbasis resiko pada BPR berdasarkan kelasnya ada 4 yang
dimaksud kelas disini berarti empat prinsip atau pilar dalam penerapan manajemen resiko
tersebut sebagai berikut :
No. 14
Investigasi perbankan berarti pengawasan perbankan, investigasi bank fokus pada perbuatan
setiap orang yang terindikasi tindak pidana perbankan, investigasi ini lebih kepada upaya
mendukung penyidikan di OJK, oleh karna itu faktor spesifik bank dan faktor lingkungan yang
memepengaruhi investigasi perbankan adalah :
Kecurigaan atas perbuatan memperkaya diri dengan melakukan tindak pidana perbankan
Kecurigaan atas terjadinya penyimpangan ketentuan perbankan