Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

HADIS MUTAWATIR DAN


HADIS AHAD

DISUSUN OLEH:
AZWANDI(200602129)
FINA
INDRIANI(200602132)

DOSEN PENGAMPU:
ZUHRUFATUL JANNAH M.Ag

FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI


AGAMA PRODI SOSIOLOGI AGAMA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MATARAM
2020/2021

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat ALLAH Yang Maha Esa atas segala


rahmat-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan makalah yang
berjudul. “HADIS MUTAWATIR DAN HADIS AHAD” Bahwasanya
penyusun makalah ini tidak terlepas dari bantuan teman-teman dan
juga dari berbagai sumber yang mendukung isi makalah,sehingga
dapat memperlancar pembuatan makalah ini.Untuk itu kami
menyampaikan banyak terima kasih kepada teman-teman yang
telah membantu dan ikut serta dalam pembuatan makalah ini dan
juga kepada dosen pengampu mata kuliah kami yaitu Ibuk
ZUHRUFATUL JANNAH M ,Ag .Kami menyusun makalah ini
dengan harapan dapat menambah pengetahuan, wawasan dan
pengalaman serta dapat dipraktekkan dilapangan bagi pembaca
dan adapun kami menyadari bahwa didalam makalah ini masih
banyak kekurangan dan kesalahan karena keterbatasan
pengetahuan dan pengalaman kami dalam menyusun makalah
ini.Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik
yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan dan
penulisan makalah ini menjadi lebih baik.

Mataram ,14 Maret 2021

Penyusun
BAB I
PENDAHULU
AN

A. LatarBelakang
Meneliti suatu kebenaran berita merupakan bagian upaya membenarkan yang
benar dan membatalkan yang batil. Kaum muslim sangat besar perhatiannya dalam
segi ini, baik untuk penetapan suatu pengetahuan atau pengambilan suatu dalil,
apalagi jika hal itu berkaitan dengan Nabi mereka, atau ucapan dan perbuatan yang
dinisbahkan kepada beliau (hadis).[1]
Hadis merupakan sumber ajaran Islam yang kedua setelah Alquran. Oleh karena
itu, penelitian terhadap hadis-hadis Nabi sangat penting. Penelitian itu dilakukan untuk
upaya menghindarkan diri dari pemakaian dalil-dalil palsu yang digunakan untuk
kepentingan pribadi dan golongannya.[2] Salah satu ayat yang memerintahkan untuk
mengikuti Rasulullah saw, yaitu QS. Ali Imran (3) : 31.
Hadispun telah banyak diteliti oleh para ahli, bahkan dapat dikatakan penelitian
terhadap hadis lebih banyak kemungkinannya dibandingkan penelitian terhadap
Alquran. Hal ini antara lain dilihat dari segi datangnya Alquran dan hadis berbeda.
Kedatangan (wurud) atau turun (nuzul)nya Alquran diyakini secara mutawatir berasal
dari Allah swt. Hal ini berbeda dengan hadis, dari segi datangnya (wurud) hadis tidak
seluruhnya diyakini berasal dari Nabi saw, melainkan ada yang berasal selain dari Nabi
saw.[3] Hal ini, selain disebabkan sifat dari lafaz-lafaz hadis yang tidak bersifat
mukjizat, juga disebabkan perhatian terhadap penulisan hadis pada zaman Rasulullah
masih kurang, bahkan beliau pernah melarangnya.[4]

Dalam posisi demikian itu hadis menjadi salah satu rujukan ulama dalam pengamalan
ajaran agama setelah Alquran. Beberapa fungsi utama hadis adalah sebagian
penjelasan Alquran, merinci ayat-ayat Alquran yang minimal dan sebagian penentu
hukum.
Untuk mengetahui secara esensial tentang hadis nabi, maka diperlukan
pengetahuan dan pendalaman terhadap jenis-jenis dan macam-macam hadis termasuk
hadis shahih dan hadis hasan menurut Abu Amar Usman bin Abdi al-Rahman bin al-
Shalah bahwa hadis shahih adalah hadis yang bersambung sanadnya sampai kepada
nabi, diriwayatkan oleh orang yang adil dan dhabit sampai akhir sanad (di dalam hadis
itu), dan tidak terdapat kejanggalan (ilat). Perbedaan sampai antara kualitas dan
kuantitas periwayat hadis membuat hadis dapat dibedakan ke dalam beberapa
kategori. Dalam aspek kuantitas periwayat hadis, ada hadis yang dinamakan hadis
mutawatir dan hadis ahad. Sedangkan dari kualitas hadis, ada yang dinamakan hadis
shahih dan hadis hasan.
Dalam makalah ini akan dideskripsikan tentang hadis dilihat dari aspek kuantitas
periwayatnya dan aspek kualitasnya. Ini memiliki implikasi penting karena pemahaman
terhadap hal tersebut akan membawa pada upaya pemurnian hadis untuk dijadikan
sebagai sumber agama kedua setelah Alquran secara tepat.
B. Rumusan Masalah

Dari uraian yang dikemukakan pada latar belakang, dapat dikemukakan


permasalahan sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan hadis mutawatir dan hadis ahad ?
2. Bagaimana kriteria serta hukum dan kedudukan hadis mutawatir dan hadis ahad?
3. Apa yang disebut dengan hadis shahih dan hadis hasan?
4. Apa karakteristik hadis shahih dan hadis hasan dan kehujahan hukumnya?
BAB II
PEMBAHAS
AN

A. Hadis Mutawatir
1. Pengertian Hadis Mutawatir
Mutawatir secara kebahasaan adalah isim fail dari kata al-tawatur, yang berarti at-tatabuk,
yaitu berturut-turut. Menurut istilah ulama hadis, mutawatir berarti :
: .‫ﻤﺎﺭﺍﻩ ﻋﺪﺪ ﻜﺜﻴﺭ ﺗﺤﻴﻞ ﺍﻟﻌﺎﺪﺓ ﺗﻮﺍﻄﺆﻫﻢ ﻋﻟﻰ ﺍﻟﻜﺬﺏ‬
Artinya
Hadis yang diriwayatkan oleh orang banyak yang mustahil menurut adat bahwa mereka
bersepakat untuk berbuat dusta.”
Ibnu al-Sahal mendefinisikan hadis mutawatir sebagai :
‫ ﻭﻻ ﺒﺪ ﻔﻰ ﺍﺴﻨﺎﺪﻩ ﻤﻦ ﺍﺴﺗﻤﺭﺍﺭ ﻫﺬ ﺍﻠﺸﺭﻄ ﻔﻰ ﺭﻭﺍﺗﻪ ﻤﻦ ﺍﻭﻠﻪ ﺍﻠﻰ‬.‫ﻔﺄﻧﻪ ﻋﺑﺎﺭﺓ ﻋﻦ ﺍﻠﺨﺒﺭ ﺍﻠﺬﻱ ﻴﻨﻘﻟﻪ ﻤﻦ ﻴﺤﺼﻞ ﺍﻠﻌﻟﻡ ﺒﺼﺪﻘﻪ ﺿﺭﻮﺭﺓ‬
: .‫ﻤﻨﺗﻬﺎﻩ‬
Artinya
Sesungguhnya mutawatir itu adalah ungkapan tentang kabar yang dinukilkan (diriwayatkan)
oleh orang yang menghasilkan ilmu dengan kebenarannya secara pasti. Dan persyaratan ini
harus terdapat secara berkelanjutan pada setiap tingkatan perawi dari awal sampai akhir.
M. ‘Ajjaj al-Khatib memilih defenisi sebagai berikut :
‫ﻮﻫﻮ ﻤﺎ ﺭﻮﺍﻩ ﺠﻤﻊ ﺘﺤﻴﻞ ﺍﻟﻌﺎﺪﺓ ﺘﻮﺍﻄﺅﻫﻢ ﻋﻠﻰ ﺍﻠﻌﺫﺐ ﻋﻥ ﻤﺛﻠﻬﻢ ﻤﻥ ﺍﻮﻞ ﺍﻠﺴﻨﺪ ﺍﻠﻰ ﻤﺘﺗﻬﺎﻩ ﺍﻠﻰ ﺍﻥ ﻻ ﻴﺣﺗﻝ ﻫﺬﺍ ﺍﻠﺟﻤﻊ ﻔﻰ ﺍﻱ ﻄﺑﻘﺔ ﻤﻦ‬
.‫ﻄﺑﻘﺎﺖ ﺍﻠﺴﻧﺩ‬
Artinya :
Yaitu hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi yang mustahil secara adat mereka akan
bersepakat untuk melakukan dusta (yang diterimanya) dari sejumlah perawi yang sama
dengan mereka, dari awal sanad sampai kepada akhir sanad, dengan syarat tidak rusak
(kurang) perawi tersebut pada seluruh tingkatan sanad.
Dari berbagai defenisi di atas dapat disimpulkan bahwa hadis mutawatir adalah hadis yang
memiliki sanad yang pada setiap tingkatannya terdiri atas perawi yang banyak dengan jumlah
yang menurut hukum adat atau akal tidak mungkin bersepakat untuk melakukan kebohongan
terhadap hadis yang mereka riwayatkan tersebut.[5]
: .‫ﻤﺎ ﻜﺎﻦ ﻋﻦ ﻤﺤﺴﻭﺲ ﺍﺨﺒﺮﺑﻪ ﺠﻤﺎﻋﺔ ﺑﻠﻐﻮ ﻔﻰ ﺍﻠﻜﺜﺮﺓ ﻤﺒﻟﻐﺎ ﺘﺣﻴﻞ ﺍﻠﻌﺎﺪﺓ ﺘﻮﺍﻄﺆﻫﻢ ﻋﻠﻰ ﺍﻠﻜﺬﺏ‬
Artinya
Khabar yang didasarkan kepada panca indera, yang diberitakan oleh sejumlah orang, yang
jumlah tersebut menurut adat kebiasaan tidak mungkin mereka bersepakat (lebih dahulu) atas
dusta (dalam perbuatannya itu).[6]
2. Kriteria Hadis Mutawatir
Berdasarkan defenisi mengenai hadis mutawatir diatas, para ulama hadis selanjutnya
menetapkan bahwa suatu hadis dapat dinyatakan sebagai mutawatir apabila telah memenuhi
kriteria tertentu. Kriteria tersebut adalah sebagai berikut[7] :
1. Jumlah perawinya harus banyak. Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan
jumlah jumlah minimalnya dan menurut pendapat yang terpilih minimalnya sepuluh perawi.
2. Perawi yang banyak ini harus terpaut dalam semua thabaqat (generasi) sanad.
3. Secara rasional dan menurut kebiasaan (adat) para perawi-perawi tersebut mustahil
sepakat untuk berdusta.
4. Sandaran beritanya adalah panca indera dan itu ditandai dengan kata-kata yang
digunakan dalam meriwayatkan sebuah hadis, seperti kata ‫( ﺴﻤﻌﻧﺎ‬kami telah mendengar), ‫ﺮﺍﻴﻧﺎ‬
(kami telah melihat), ‫( ﻟﻤﺴﻧﺎ‬kami telah menyentuh) dan lain sebagainya. Adapun jika sandaran
beritanya adalah akal semata, seperti pendapat tentang alam semesta yang bersifat hudus
(baharu), maka hadis tersebut tidak dinamakan mutawatir.[8]
Sedangkan syarat yang lain seperti jumlah perawinya harus banyak, perawinya harus sama-
sama thabaqat dan secara rasional mereka tidak mungkin sepakat untuk berdusta. Ini
merupakan kriteria yang tidak berkaitan keabsahannya dengan panca indera.
Dengan demikian kriteria yang digunakan untuk menilai bahwa hadis itu mutawatir, harus
menggunakan panca indera. Sebab dengan panca indera dapat dengan jelas dan mudah
untuk dipastikan kebenarannya, sebagai contoh : ‫( ﺮﺍﻴﻨﺎ‬kami melihat), berarti orang-orang itu
sama-sama melihat terjadinya peristiwa itu. Begitu juga dengan ‫( ﺴﻤﻌﻨﺎ‬kami mendengar), berarti
mereka sama-sama mendengar perkataan / ucapan yang sama. Dengan demikian lebih
mudah meneliti kebenarannya.
Ada juga pendapat lain yang menyebutkan bahwa syarat yang harus dipenuhi untuk dapat
disebut hadis mutawatir, yaitu :
1. Isi hadis itu harus hal-hal yang dapat dicapai dengan panca indera.
2. Orang yang menceritakannya harus sejumlah orang yang menurut adat kebiasaan tidak
mungkin untuk berdusta, sifatnya Qath’iy.
3. Pemberita-pemberita itu terdapat pada semua generasi yang sama.[9]
3. Macam-macam Hadis Mutawatir
Hadis mutawatir terbagi kepada dua, yaitu : mutawatir lafzi dan mutawatir ma’nawi.
a) Mutawatir Lafzi
Mutawatir Lafzi adalah hadis mutawatir yang berkaitan dengan lafal perkataan Nabi. Artinya
perkataan Nabi diriwayatkan oleh orang banyak kepada orang banyak, seperti hadis Nabi saw.
:
‫ﻮﺤﺩﺜﻨﺎ ﻤﺤﻤﺩ ﺑﻦ ﻋﺑﻴﺩ ﺍﻠﻐﺑﺮﻱ ﺤﺩﺜﻨﺎ ﺃﺑﻮ ﻋﻮﺍﻨﺔ ﻋﻦ ﺃﺑﻰ ﺤﺻﻴﻦ ﻋﻦ ﺃﺑﻰ ﺻﺎﻟﺢ ﻋﻦ ﺃﺑﻰ ﻫﺮﻴﺮﺓ ﻘﺎﻞ ﻘﺎﻞ ﺮﺴﻮﻞ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺴﻠﻢ‬
: ﴾‫ ﴿ﻤﺴﻠﻢ‬.‫ﻤﻦ ﻜﺬﺏ ﻋﻟﻲ ﻤﺘﻌﻤﺪﺍ ﻔﻠﻴﺘﺑﺮﺃ ﻤﻘﻌﺪﻩ ﻤﻦ ﺍﻠﻨﺎﺭ‬
Artinya
Berbicara kepada kami Muhammad bin Ubaid Al-Gabary diceritakan lagi oleh Abu Awanah dari
Abi Hasin dari Abi Salih dari Abi Hurairah berkata, berkata Rasulullah saw. : Barang siapa yang
sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah bersiap-siap untuk mengambil tempat di
neraka.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).[10]
Suatu mutawatir dikatakan lafziah, bila redaksi dan kandungan sunnah yang disampaikan oleh
sekian banyak perawi tersebut adalah sama benar.[11]
Pendapat yang lain menjelaskan bahwa pengertian dari hadis mutawatir lafzi adalah :
: .‫ﻤﺎ ﺍﺘﻘﺖ ﺍﻠﻔﺎﻈ ﺍﻠﺭﻭﺍﺓ ﻔﻴﻪ ﻭﻠﻭ ﺤﻜﻤﺎ ﻭﻔﻲ ﻤﻌﻧﺎﻩ‬
Artinya

Hadis yang lafaz-lafaz para perawi itu sama, baik hukum maupun maksudnya.
Menurut Ibnu Hibban dan al-Hasyimi berpendapat bahwa hadis mutawatir sebagai mana
definisi tersebut diatas tidak ada wujudnya. Sedang menurut pendapat Ibnu Salahah yang
pendapatnya diikuti oleh Imam An-Nawawi, bahwa hadis mutawatir lafzi sedikit sekali dan sulit
diberikan contohnya, kecuali hadis :
‫ﺤﺪﺜﻨﺎ ﻤﻭﺴﻰ ﻘﺎﻝ ﺤﺪﺜﻨﺎ ﺍﺒﻭ ﻋﻭﺍﻨﺔ ﻋﻦ ﺍﺒﻰ ﺼﺎﻠﺢ ﻋﻦ ﺍﺒﻰ ﺤﺮﻳﺮﺓ ﻋﻦ ﺍﻠﻨﺒﻰ ﺼﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻳﻪ ﻮﺴﻠﻢ ﺘﺴﻤﻮﺍ ﺒﺄﺴﻤﻲ ﻮﻻ ﺘﻜﺘﻧﻮﺍ ﺒﻜﻧﻳﺘﻰ ﻮﻤﻦ‬
: ﴾‫ ﴿ﺮﻮﺍﻩ ﺍﻠﺒﺨﺎﺮﻯ‬.‫ﺮﺍﻧﻰ ﻔﻰ ﺍﻟﻤﻧﺎﻤﻰ ﻔﻘﺪ ﺮﺍﻧﻰ ﻔﺄﻦ ﺍﻟﺸﻴﻄﺎﻦ ﻻﻴﺗﻤﺛﻞ ﻔﻰ ﺻﻭﺭﺗﻰ ﻭﻤﻦ ﻜﺬﺐ ﻋﻠﻰ ﻤﻌﻤﺪﺍ ﻔﻟﻴﺗﺒﻮﺃ ﻤﻘﻌﺪﻩ ﻤﻦ ﺍﻠﻧﺎﺮ‬
Artinya
Menceritakan kepada Musa dia berkata menceritakan kepada Abu Uwanah diperoleh dari Abi
Husain dari Abi Salih dari Abi Hurairah dari Nabi saw., jadikan nama kamu sesuai dengan
namaku, dan jangan kamu melekatkan keburukan dengan yang aku anggap itu buruk. Siapa
yang diantara kamu melihatku di dalam tidurnya, maka ia benar-benar telah melihatku.
Sesungghnya Setan tidak bisa menyerupai bentukku dan siapa yang berdusta dengan
sengaja, maka ia telah menyediakan tempatnya di dalam neraka.” (HR Bukhari)[12]
Dan ternyata hadis tersebut pun juga terdapat lafaz yang lain yang hampir sama bunyinya,
seperti hadis yang berbunyi :
‫ﺤﺩﺜﻨﺎ ﺃﺑﻮ ﺑﻜﺭ ﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﺸﻴﺑﺔ ﺤﺪﺜﻨﺎ ﻤﺤﻤﺩ ﺑﻦ ﺑﺸﺭ ﻋﻦ ﻤﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﻋﻤﺭﻮ ﻋﻦ ﺃﺑﻲ ﺴﻠﻤﺔ ﻋﻦ ﺃﺑﻰ ﻫﺮﻴﺮﺓ ﻘﺎﻞ ﻘﺎﻞ ﺮﺴﻮﻞ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ‬
﴾‫ ﴿ﺇﺑﻦ ﻤﺎﺠﻪ‬.‫ﻭﺴﻠﻢ ﻤﻦ ﺗﻘﻮﻞ ﻋﻠﻲ ﻤﺎﻠﻢ ﺃﻘﻞ ﻔﻠﻴﺘﺑﺮﺃ ﻤﻘﻌﺪﻩ ﻤﻦ ﺍﻠﻨﺎﺭ‬
Menurut Imam an-Nawawi hadis tersebut diriwayatkan oleh 200 sahabat.[13] Lafaz hadis ini (‫ﻤﻦ‬
‫ ) ﻜﺬﺐ ﻋﻠﻲ ﻤﺘﻌﻤﺩﺍ‬diriwayatkan lebih dari 70 sahabat, tetapi yang semakna dalam hadis ini benar
diriwayatkan oleh 200 orang sahabat sebagaimana dikatakan oleh Imam an-Nawawi. Jadi,
dapat dikatakan hadis mutawatir lafzi ialah hadis mutawatir yang lafaz-lafaz hadisnya sama
atau hampir bersamaan.[14]
b) Mutawatir Ma’nawi
Mutawatir Ma’nawi adalah hadis tentang perbuatan Nabi saw. yang mengangkat tangan pada
waktu berdoa. Hadis tersebut diriwayatkan sebanyak lebih kurang 100 macam hadis dengan
redaksi yang berbeda. Kendati pun hadis-hadis itu berbeda redaksinya, namun karena semua
pesan yang terkandung masih mempunyaiqadar musytarak (titik persamaan), yakni keadaan
Nabi mengangkat tangan pada waktu berdoa, maka hadis-hadis itu disebut hadis mutawatir
ma’nawi.
: .‫ﻤﺎﺍﺤﺘﻠﻔﻮﺍ ﻔﻰ ﻠﻔﻈﻪ ﻮﻤﻌﻧﺎﻩ ﻤﻊ ﺮﺠﻮﻋﻪ ﻠﻤﻌﻧﻰ ﻜﻠﻲ‬
Artinya
Hadis yang berlainan bunyi dan maknanya, tapi dapat diambil diambil makna umum.
Contoh hadis mutawatir ma’nawi adalah :
(‫ (ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺑﺨﺎﺭﻯ‬.‫ﻜﺎﻦ ﺍﻠﻧﺑﻲ ﺼﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻮﺳﻟﻡ ﻻﻴﺭﻔﻊ ﻴﺪﻴﻪ ﻔﻰ ﺷﻴﺊ ﻤﻦ ﺪﻋﺎﺌﻪ ﺍﻻ ﻔﻰ ﺍﻹﺴﺗﺷﻘﺎﺀ ﻭﺇﻧﻪ ﻴﺭﻔﻊ ﺤﺗﻰ ﻴﺭﻯ ﺑﻴﺎﺾ ﺇﺑﻄﻴﻪ‬
: Artinya
Nabi saw. tidak mengangkat kedua tangannya dalam doa-doa beliau, kecuali dalam shalat
Istisqa’ dan beliau mengangkat tangannya hingga tampak putih-putih kedua ketiaknya.” (HR
Bukhari).[15]
Hadis mengangkat tangan dalam berdoa, dalam penelitian As-Suyuti terdapat 100 periwayatan
yang menjelaskan bahwa Nabi mengangkat kedua tanganya ketika berdoa dalam beberapa
kondisi yang berbeda, seperti dalam shalat Istisqa’, pada saat ada hujan angin ribut, dalam
suatu pertempuran dan lain-lain, maka disimpulkan bahwa mengangkat tangan dalam berdoa
mutawatir melihat keseluruhan periwayatan dalam kondisi yang berbeda tersebut.[16]
c) Mutawatir ‘Amali
Mutawatir ‘Amali adalah :
‫ﻤﺎﻋﻟﻡ ﻤﻦ ﺍﻟﺪﻴﻥ ﺑﺎﻟﺿﺭﻭﺭﺓ ﻭﺗﻭﺍﺗﺭ ﺑﻴﻥ ﺍﻟﻤﺴﻟﻤﻴﻥ ﺍﺫﺍﻟﻨﺑﻲ ﺻﻟﻰﺍﷲ ﻋﻟﻴﻪ ﻭﺴﻠﻡ ﻔﻌﻟﻪ ﺍﻭ ﺍﻤﺭﺑﻪ ﺍﻭ ﻏﻴﺭ ﺫﻟﻚ ﻭﻫﻭ ﺍﻠﺫﻯ ﻴﻨﻄﻖ ﻋﻠﻴﻪ ﺘﻌﺮﻴﻒ ﺍﻷ‬
‫ﺠﻤﺎﻉ ﺍﻧﻄﺑﺎﻘﺎ‬
Artinya : .‫ﺻﺤﻴﺤﺎ‬
Sesuatu yang diketahui dengan mudah bahwa ia dari agama dan telah mutawatir dikalangan
umat Islam bahwa Nabi saw. mengajarkan atau menyuruhnya atau selain itu, dari hal itu dapat
dikatakan soal yang disepakati.
Contoh Hadis Mutawatir ‘Amali adalah berita-berita yang menerangkan waktu dan rakaat
shalat, shalat jenazah, shalat Ied, hijab perempuan yang bukan mahram, kadar zakat dan
segala rupa amal yang menjadi kesepakatan dan ijma’.[17]
4. Hukum dan Kedudukan Hadis Mutawatir
Status dan hukum hadis mutawatir adalah qat’i al-wurud, yaitu pasti kebenarannya dan
menghasilkan ilmu yang durudy (pasti). Oleh karenanya, adalah wajib bagi umat Islam untuk
menerima dan mengamalkannya. Dan karenanya pula, orang yang menolak hadis mutawatir
dihukumkan kafir adalah maqbul, dan karena itu pembahasan mengenai keadaan para
perawinya tak diperlukan lagi.

B. Hadis Ahad
1. Pengertian Hadis Ahad
Kata ahad berarti satu, khabar al-wahid adalah khabar yang diriwayatkan oleh satu orang.
Menurut istilah ilmu hadis, hadis ahad berarti :
‫ﻫﻭ ﻤﺎﻠﻡ ﻳﺟﻤﻊ ﺸﺭﻭﻄ‬
Artinya : .‫ﺍﻠﻤﻭﺍﺘﺭ‬
Hadis yang tidak memenuhi syarat mutawatir.[18]
Sedangkan pendapat hadis lain, kata ahad bentuk plural (jamak) dari ahad (‫ )ﺍﺤﺎﺪﺠﻤﻊﺃﺤﺪ‬dengan
makna wahid : satu, tunggal atau esa. Hadis atau khabar wahid berarti hadis yang diriwayatkan
oleh seorang perawi dengan dipanjangkan bacaan a-haad mempunyai makna satuan. Nilai
angka satuan tidak mesti satu, tetapi dari satu sampai sembilan. Dalam bahasa arab khabar
ahad (predikat dalam susunan) memasukan bentuk dua (tatsniah) dan bentuk banyak (jamak),
karena pengertiannya adalah khabar yang tidak berupa jumlah (kalimat sempurna) dan tidak
serupa dengannya.[19]
2. Macam-macam Hadis Ahad
Pembagian hadis ahad ada tiga macam, yaitu hadis masyhur, aziz dan gharib.
a) Hadis Masyur
Secara bahasa, kata masyur adalah isim maf’ul dari syahara yang berarti “al-zuhur” yaitu
nyata. Sedangkan pengertian hadis masyur menurut istilah ilmu hadis adalah :
: .‫ ﻤﺎﻠﻡ ﻴﺑﻠﻎ ﺤﺪ ﺍﻠﺗﻭﺍﺗﺭ‬٬ ‫ ﻔﻰ ﻜﻞ ﻄﻴﻘﺔ‬٬‫ﻤﺎ ﺭﻭﺍﻩ ﺜﻼﺜﺔ ﻔﺄ ﻜﺷﺭ‬
Artinya
Hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang perawi atau lebih, pada tiap tingkatan sanad, selama
tidak sampai kepada tingkat mutawatir.
Definisi di atas menjelaskan, bahwa hadis masyur adalah hadis yang memiliki perawi
sekurang-kurangnya tiga orang, dan jumlah tersebut harus terdapat pada setiap tingkatan
sanad.[20]
Pendapat jumhur ulama menjelaskan hadis masyur ialah : “Hadis yang diriwayatkan oleh lebih
dari pada dua orang, tapi terbatas tidak banyak.”[21]
Contoh hadis masyur adalah :
‫ﻋﻦ ﺍﻠﺑﺭﺍﺀ ﺑﻦ ﻋﺎﺯﺏ ﻭﻋﻦ ﺃﺒﻴﻪ ﺭﺿﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﻬﻤﺎ ﻘﺎﻞ ﺍﻤﺭﻨﺎ ﺭﺴﻮﻞ ﺍﷲ ﺼﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻳﻪ ﻮﺴﻠﻢ ﺒﺎﺘﺒﺎﻉ ﺍﻠﺠﻨﺎﺌﺯ ﻮﻋﻳﺎﺪﺓ ﺍﻠﻤﺭﻳﺽ ﻮﺗﺸﻤﻳﺖ‬
: ﴾‫ ﴿ﺮﻮﺍﻩ ﺍﻟﺑﺧﺎﺮﻯ‬.‫ ﻮﺍﺟﺎﺒﺔ ﺍﻠﺪﺍﻋﻰ ﻮﻨﺼﺭﺍﻟﻤﻆﻟﻮﻢ‬٬‫ﺍﻠﻌﺎﻄﻰ‬
Artinya
Al-Bara’ ibnu A’zib dari bapaknya r.a. berkata Rasulullah saw. memerintahkan kami mengikuti
jenazah, mengunjungi orang sakit, mendoakan orang bersin dan memenuhi undangan, dan
menolong orang yang teraniaya.” (HR Bukhari dan Muslim)[22]
b) Hadis Aziz
Menurut bahasa adalah sama dengan asy-syarif atau al-qawiyyu, yaitu yang mulia atau yang
kuat. Sedangkan menurut pengertiannya adalah :
‫ﻤﺎﺭﻭﺍﻩ ﺍﺜﻨﺎﻋﻦ‬
Artinya : .‫ﺍﺜﻨﻴﻦ‬
Hadis yang diriwayatkan oleh dua orang dari dua orang.[23]
Menurut istilah ilmu hadis, hadis aziz berarti :
.‫ﺍﻦ ﻻﻴﻘﻝ ﺭﻭﺍﺗﻪ ﻋﻦ ﺍﺜﻨﻴﻦ ﻔﻰ ﺟﻤﻴﻊ ﻄﺒﻘﺎﺖ ﺍﻠﺴﻧﺪ‬

Artinya :
Bahwa tidak kurang perawinya dari dua orang pada seluruh tingkat sanad.[24]
Contoh hadis aziz adalah :
.‫ ﻻ ﻴﺆﻤﻥ ﺃﺤﺩﻜﻡ ﺤﺘﻰ ﺃﻜﻮﻥ ﺍﺤﺏ ﺍﻠﻴﻪ ﻤﻥ ﻨﻔﺳﻪ ﻮﻭﺍﻠﺪﻩ ﻮﻭﻠﺪﻩ ﻮﺍﻠﻨﺎﺲ ﺍﺠﻤﻌﻴﻦ‬: ‫ﻋﻦ ﺍﻨﺲ ﺮﺿﻲ ﺍﷲ ﻋﻦ ﺍﻠﻨﺒﻲ ﺼﻟﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺴﻟﻢ‬
‫(ﺮﻮﺍﻩ‬
)‫ﺍﻠﺒﺨﺎﺮﻯ ﻮﻤﺳﻠﻡ‬
Artinya :
Dari Anas r.a. dari Nabi saw. : Tidaklah beriman seseorang di antara kamu, sehingga aku lebih
dicintai dari pada dirinya, orang tuanya, anaknya dan semua manusia.” (HR Bukhari dan
Muslim)
Hadis tersebut diterima oleh Anas bin Malik dari Rasulullah saw., kemudian diriwayatkan
kepada Qatadah dan Abdul Aziz bin Suhaib, selanjutnya Qatadah meriwayatkan kepada dua
orang pula, yaitu Syu’bah dan Husain al-Muallim. Hadis dari Abdul Aziz diriwayatkan oleh dua
orang, yaitu Abdul al-Waris dan Ismail bin Ulaiyah. Kemudia hadis dari Husain diriwayatkan
oleh Yahya bin Said dan dari Syu’bah diriwayatkan oleh Adam Muhammad bin Ja’far dan juga
oleh Yahya bin Said. Adapun hadis dari Ismail diriwayatkan oleh Zuhair bin Harb dari Abdul al-
Waris diriwayatkan oleh Syaiban bin Abi Syaiban. Dari Yahya diriwayatkan oleh Masdad dan
dari Ja’far diriwayatkan oleh Ibn al-Mujana dan Ibn Basyar, sampai kepada Bukhari dan
Muslim.[25]
c) Hadis Garib
Garib menurut bahasa adalah : (1) Ba’idun ‘anil wathani (yang jauh dari tanah air) dan (2)
Kalimat yang sukar dipahami. Adapun menurut istilah :
.‫ﻫﻮ ﻤﺎ ﻴﻧﻔﺮﺪ ﺒﺮﻮﺍﺒﺗﻪ ﺮﺍﻮ ﻮﺍﺤﺪ‬
Artinya :
Hadis garib adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi.
Dalam pengertian lain hadis garib adalah :
: .‫ﻤﺎ ﺍﻧﻔﺮﺪ ﺒﺮﻮﺍﻴﺗﻪ ﺷﺤﺺ ﻔﻰ ﺍﻱ ﻤﻮﺻﻮﻉ ﻮﻘﻊ ﺍﻠﺗﻔﺭﺪ‬
Artinya
Hadis yang dalam sanadnya terdapat seseorang yang menyendiri dalam meriwayatkannya,
dimana saja penyendiriannya itu terjadi.
Penyendirian rawi dalam meriwayatkan hadis itu dapat mengenai orangnya, yakni tidak ada
orang lain yang meriwayatkan selain rawi itu sendiri. Juga dapat mengenai sifat atau keadaan
rawi. Itu berbeda dengan sifat dan keadaan rawi-rawi lain yang juga meriwayatkan hadis
tersebut. Contoh hadis garib adalah :
‫ (ﺮﻮﺍﻩ‬.‫ ﻘﺎﻝ ﺍﻹﻴﻤﺎﻦ ﺑﻀﻊ ﻭﺴﺗﻭﻦ ﺷﺑﻌﺔ ﻭﺍﻠﺤﻳﺎﺀ ﺷﺑﻌﺔ ﻤﻦ ﺍﻹﻳﻤﺎﻦ‬، ‫ﻋﻥ ﺍﺒﻰ ﻫﺭﻴﺭﺓ ﺭﻀﻰﺍﷲ ﻋﻨﻪ ﻋﻥ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺼﻠﻰﺍﷲ ﻋﻟﻴﻪ ﻭﺴﻠﻢ‬
(‫ﺍﻠﺒﺨﺎﺮﻯ‬
Artinya :
Dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi saw. telah bersabda, iman itu bercabang-cabang menjadi 60
cabang dan malu itu salah satu cabang dari iman.” (HR. Bukhari)
Hadis garib terbagi dua, yaitu garib muthalaq dan garib nisbi.
1) Garib Muthalaq
: .‫ﻣﺎ ﻳﻨﻔﺭﺪ ﺑﺭﻭﺍﻳﺗﻪ ﺷﺣﺺ ﻭﺍﺣﺪ ﻔﻰ ﺍﺻﻞ ﺴﻧﺪﻩ‬
Artinya
Hadis yang menyendiri seorang perawi dalam periwayatannya pada asal sanad.
2) Garib Nisbi
: .‫ﻫﻮ ﻤﺎﻜﺎﻧﺖ ﺍﻟﻐﺭﺍﺒﺔ ﻔﻰ ﺍﺜﻧﺎﺀ ﺴﻧﺩﻩ‬
Artinya
Hadis yang terjadi garib dipertengahan sanadnya.
Hadis garib nisbi ini adalah hadis yang diriwayatkan oleh labih dari seorang perawi pada asal
sanad (perawi pada tingkat sahabat), namun dipertengahan sanadnya terdapat tingkatan yang
perawinya hanya sendiri (satu orang). Contoh hadis garib nisbi adalah :
)‫ (ﺍﺧﺭﺧﻪ ﺍﻟﺸﻴﺧﺎﻦ‬.‫ﻤﺎ ﺭﻮﺍﻩ ﻤﺎﻠﻚ ﻋﻦ ﺍﻟﻨﺭﻫﺭﻱ ﻋﻦ ﺍﻨﺴﻰ ﺭﺿﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﻪ ﺍﻦ ﺍﻠﻨﺒﻲ ﺼﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻮﺴﻠﻢ ﺩﺧﻝ ﻤﻜﺔ ﻮﻋﻠﻰ ﺭﺃﺴﻪ ﺍﻠﻤﻐﻔﺭ‬

Artinya :
Hadis yang diriwayatkan oleh Malik dari Al-Zuhri dari Anas r.a. bahwa sanya Nabi saw.
memasuki kota Mekkah dan diatas kepalanya terdapat al-mighfar (alat penutup / penutup
kepala).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Pada hadis diatas, hanya Malik sendiri yang menerima hadis tersebut dari Al-Zuhri.
3. Pendapat Ulama tentang Hadis Ahad dan Macamnya
Para ahli hadis berbeda pendapat tentang hadis ahad, pendapat tersebut adalah :
1. Segolongan ulama seperti Al-Qasayani, sebagai ulama dhahiriyah dan Ibn Daud,
mengatakan bahwa kita tidak wajib beramal dengan hadis ahad.
2. Jumhur Ulama Ushul menetapkan bahwa hadis ahad memberikan faedah dhan. Oleh
karena itu, hadis ahad wajib diamalkan sesudah diakui kesahihannya
3. Sebagian ulama menetapkan bahwa hadis ahad diamalkan dalam segala bidang.
4. Sebahagian muhaqqiqih menetapkan bahwa hadis ahad hanya wajib diamalkan dalam
urusan amaliyah (furu’), ibadah, kaffarat dan hudud, namun tidak digunakan dalam urusan
aqidah.
5. Imam Syafi’I berpendapat bahwa hadis ahad tidak menghapuskan suatu hukum dari
hukum-hukum Al Quran.
6. Ahlu Zhahir (Pengikut Daud Ibn Ali al-Zhahiri) tidak membolehkan mentakhsiskan umum
ayat-ayat Al Quran dengan hadis ahad.[26]
Selanjutnya status dan hukum hadis masyur menjadi bagian dari hadis ahad. Hukum hadis
masyur tidak ada hubungannya dengan sahih atau tidaknya suatu hadis, karena diantara hadis
masyur terdapat hadis yang mempunyai status sahih, hasan atau dhaif dan bahkan ada
maudhu’ (palsu). Akan tetapi, apabila suatu hadis masyur tersebut berstatus sahih, maka hadis
masyur itu hukumnya lebih dari pada hadis ‘aziz dan garib.
Di kalangan Ulama Hanafiyah, hadis masyur hukumnya adalah zhann, yaitu mendekati yakin
sehingga wajib beramal dengannya. Akan tetapi, karena kedudukannya tidak sampai pada
derajat mutawatir, maka tidaklah dihukumkan kafir bagi orang yang menolak atau tidak
beramal dengannya.
Selain hadis masyur yang dikenal secara khusus di kalangan ulama hadis, sebagaimana yang
telah dikemukakan definisinya diatas dan disebut dengan masyur al-ishthilahi, juga terdapat
hadis masyur yang dikenal di kalangan ulama lain selain ulama hadis dan di kalangan umat
secara umum. Hadis masyur dalam bentuk yang terakhir ini disebut dengan al-masyur gaira
isthilahi yang mencakup hadis-hadis yang sanadnya terdiri dari satu orang perawi atau lebih
pada setiap tingkatannya atau bahkan yang tidak mempunyai sanad sama sekali.
Dengan demikian, hadis masyur ada yang sesuai dengan pendapat ulama dan ada pula
pendapat para fuqaha.
Hadis masyur di kalangan ahli hadis, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang perawi atau
lebih. Contohnya adalah hadis yang berasal dari Anas r.a. dia berkata :
‫ﺤﺪﺛﻨﺎ ﻤﺤﻤﺪ ﺍﺒﻦ ﺍﻠﻔﺿﻞ ﻮﺤﺪﺛﻨﺎ ﻤﺤﻤﺪ ﺍﺒﻦ ﺠﻌﻔﺎﺭ ﻮﺤﺪﺛﻨﺎ ﺍﺒﺭﻫﻴﻢ ﺍﺒﻦ ﻴﻮﺴﻒ ﻮﺤﺪﺛﻨﺎ ﺍﻠﻨﺎﺿﺮ ﺒﻦ ﺍﻠﻌﺸﻌﺚ ﺍﻦ ﺮﺴﻭﻞ ﺍﷲ ﺼﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ‬
‫ﻭﺴﻠﻢ ﻴﻘﻭﻞ ﻻﻴﺪﺨﻞ ﺍﻠﺠﻨﺔ ﺍﻻ ﺮﺣﻴﻢ ﻘﺎﻠﻭ ﻴﺎﺮﺳﻭﻞﺍﷲ ﻜﻟﻨﺎ ﺮﺣﻴﻢ ﻘﺎﻞ ﻠﻴﺲ ﺮﺣﻤﺔ ﺃﺠﺪﻜﻢ ﻨﻔﺴﻪ ﺨﺎﺼﺔ ﻮﻠﻜﻦ ﺤﺘﻰ ﻴﺮﻫﻡ ﺍﻠﻨﺎﺲ ﻋﺎﻤﺔ‬
: ﴾‫ ﴿ﺮﻮﺍﻩ ﺍﻠﺒﺨﺎﺮﻯ‬.‫ﻮﻻﻴﺮﻫﻤﻬﻡ ﺍﻻﺍﷲ ﺘﻌﺎﻠﻰ‬
Artinya
Muhammad ibn Al-Fadil menceritakan Muhammad ibn Ja’far menceritakan kepada kami
Ibrahim ibn Yusuf menceritakan kepada kami An-Nadir ibn ‘Asy’ast menceritakan bahwa sanya
Rasulullah saw. bersabda : tidak akan masuk surga kecuali orang yang mempunyai rasa kasih
sayang. Para sahabat bertanya : Wahai Rasulullah, kami semua mempunyai rasa kasih
sayang . Beliau bersabda : (yang dimaksud) bukanlah kasih sayang salah seorang diantara
kamu terhadap dirinya sendiri saja, akan tetapi rasa kasih sayang terhadap semua manusia.
Dan tidak mempunyai rasa kasih sayang terhadap semua manusia dan tidak mempunyai rasa
kasih sayang terhadap mereka kecuali Allah Ta’ala.” (HR. Bukhari)[27]
BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

Tidak ada yang membenarkan hakekat sebuah kebenaran, karna semua kebenaranhanya
milik Allah SAW. Namun penulis hanya membatasi isi uraian makalah yangdiangakat,
antara lainialah:
1. Hadits terbatas pada perkataan, perbuatan, takrir yang bersumber pada NabiSAW,
sedangkansunnahsegalayangbersumberdariNabiSAWbaikberupaperkataan,
perbuatan,takrir,tabiat,budipekertiatauperjalananhidupnya,baiksebelumdiangkat
menjadi rasulmaupunsesudahnya.
2. Khabar:sebagianulamahaditsberpendapatbahwakhabarsebagaisuatuyangberasal
ataudisandarkankepadaselainnabiSAW.,adajugahaditssebagaisesuatuyangberasal
ataudisandarkanpadaNabiSAW.
3. Atsar:jumhurulamaberpendapatbahwaatsarsamaartinyadengankhabardanhadits.
Adajugaulamayangberpendapatbahwaatsarsamadengankhabar,yaitusesuatuyang
disandarkanpadaNabiSAW,sahabatdantabiin.
4. daripenjelasanhadits,sunnah,khabardanatsaradaempatsubtansihaditsialahhadits
qauli, hadits fi’li, hadits taqriri, dan hadits hammi/awaliy.

B. Penutup

Dari keseluruhan uraian di atas maka dapat ditarik kesimpulan adalah:


1. Hadis mutawatir adalah hadis yang memiliki sanad yang pada setiap tingkatannya
terdiri atas perawi yang banyak dengan jumlah yang menurut hukum adat atau akal
tidak mungkin bersepakat untuk melakukan kebohongan terhadap hadis yang mereka
riwayatkan tersebut. Hadis ahad berarti hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi
dengan dipanjangkan bacaan a-haad mempunyai makna satuan.
2. Status dan hukum hadis mutawatir adalah qat’i al-wurud, yaitu pasti kebenarannya
dan menghasilkan ilmu yang durudy (pasti). Sedangkan dalam masalah hadis ahad,
ahli hadis berbeda pendapat tentang pengamalannya.
3. Suatu hadis baru dikatakan hadis shahih (sanad dan matannya) jika telah
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: sanadnya bersambung, periwayatnya adil,
dhabit, hafalannya kuat, tidak mengandung syadz dan illat. Sedangkan hadis hasan
adalah hadis yang pada sanadnya tidak terdapat orang yang tertuduh dusta, tidak
janggal pada matannya dan diriwayatkan tidak dari satu jurusan (mempunyai banyak
jalan) yang sepadan maknanya.[49] Pengertian tersebut menunjukkan bahwa hadis
hasan kedudukannya berada di bawah hadis shahih. Yang membedakan keduanya
terletak pada kurang kuatnya hafalan perawinya.
4. Hadis shahih dan hadis hasan persyaratannya sama, hanya perbedaannya terletak
pada kedhabitan periwayatnya (hafalannya tidak kuat). Dari segi pengamalan hadis
shahih dan hadis hasan para ulama berbeda pendapat karena statusnya dzanni
sehingga ada yang menerimanya sebagai hujjah dan ada yang menolak menerima
sebagai hujjah.
5. Hadis yang berkualitas shahih, para ulama sepakat dapat dijadikan hujjah untuk
masalah hukum dan lainnya. Hadis hasan, Imam Bukhari dan Ibnul Araby, menolaknya
sebagai dalili untuk menetapkan hukum, namun ulama lain seperti al-Hakim, Ibnu
Hibban, dan Ibnu Khuzainah, dapat menerimanya sebagai hujjah, dengan syarat
apabila hadis hasan tersebut ternyata isinya bertentangan dengan hadis yang
berkualitas shahih, maka yang diambil haruslah hadis yang berkualitas shahih.

DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Moh. Ilmu Mushthalah Hadis. Surabaya: Bintang Prima, 2001.
Al-Asqalani, Ibnu Hajar. Hadyu al-Sari Muqaddimah Fath al-Bari’, Juz XIV.
Beirut: Dar al-Fikr, t.th
Al-Bukhari, Abu Abdullah bin Muhammad Ismail. Shahih Bukhari. Jus. IV.
Bairut: Darul Fiqri. t.th.
Departemen Agama RI. Alquran dan Terjemahnya. Bandung : Lubuk
Agung, 1989.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta: Depdikbud 1982.
Al-Fayyuin, Ahmad Ibnu Muhammad. al-Misbah al-Munir fi Bahri as-
Syarhul Kabir lir Rafi’. Bairut: Darul Kutub al-Ilmiyah, 1978.
Al-Gazali, Syaikh Muhammad. al-Sunnah al-Nabawiyah : Baina Ahl al-Fiqh
wa Ahl al-Hadis diterjemahkan oleh Muhammad al-Baqir dengan judul,
Studi Kritik Hadis Nabi saw Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual.
Cet. I ; Bandung : al-Mizan, 1998.
Hanafie, A. Usul Fiqh.. Cet. VI; Jakarta: Widjaya, 1985.
Ismail, M. Syuhudi. Metodologi Penelitian Hadis.. Cet. I ; Jakarta : Bulan
Bintang, 1992.
-----------------. Kaidah Kesahihan Sanad Hadis. Jakarta: Bulan Bintang,
1985.
Khon, H. Abdul Majid. Ulumul Hadis.. Semarang: CV. Toha Putra, 2004.
Mudasir, H. Ilmu Hadis. Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 1999.
Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh
Islami. cet. I; Bandung: al-Ma’arif, 1986.
Munawwir, Ahmad Warson. Kamus al-Munawwir; Arab Indonesia
Lengkap. Surabaya: Pustaka Progresif, 1997.
Al-Naisabury, Imam Abi Al-Husain Muslim Ibn Al-Hajjaj bin Muslim. Shahih
Muslim. Jus II. t.c.. Beirut: Dar Ihya al Kutubil Arabiyah. t.th.
Nata, Abuddin. Metodologi Studi Islam. Cet. III ; Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada, 1999.
Nawer Yuslem, Ulumul Hadis. Jakarta: Pustaka Hidayah, 2006.
Nawwir, At-Taqbir Li an Nawawi Famul Ushul Hadis. Kairo: Abdurrahman
Muhammad, t.th
Al-Qahiry, Ahmad bin Ali bin Muhammad Ja’far bin Hijr Al-Kattani Al-
Asqalani. Subulus Salam. Mesir: Mustafa al Baby al Halaby, 1389.
Al-Razi, Abu Muhammad bin ‘Abd. Rahman bin Abi Hatim. Kitab Jarh wa
al-Ta’dil, Juz II. Beirut: Dar al-Ma’arif, 1952.
Salah, Ibnu. Ulum al-Hadis. Madinah: al-Maktabat al-Islamiyah, 1972.
Shaleh, Subhi. Ulumul Hadis wa Mustalahu, diterjemahkan oleh Tim
Pustaka Firdaus dengan judul, Membahas Ilmu-ilmu Hadis. Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1993.
Ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi. Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadis. Jakarta:
Bulan Bintang, 1958.
-----------------. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis. Cet. VI; Jakarta: Bulan
Bintang, 1986.
Solahudin, M. Agus dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka
Setia, 2006.
Sutarmadi, Ahmad. Al-Imam Al Turmuzi; Peranannya dalam Hadis dan
Fiqh. Cet. I. Jakarta: 1998

Anda mungkin juga menyukai