Anda di halaman 1dari 31

BAB 1

Pendahuluan :
Bisnis dan Etika dalam Dunia Modern

1.    Bisnis modern merupakan realistas yang yang amat kompleks.


Banyak faktor yang mempengaruhi dan menentukan kegiatan bisnis.
Guna menjelaskan kekhususan aspek etis atau moral dalam bisnis,
dalam suatu pendekatan pertama kita membandingkan dulu dengan
aspek-aspek lain, terutama aspek ekonomi dan hukum. Sebab, bisnis
sebagai kegiatan sosial dapat disoroti sekurang kurangnya dari tiga
sudut pandang yang berbeda tetapi tidak selalu mungkin dipisahkan
ini: sudut pandang ekonomi, hukum, dan etika.
1.1.    Sudut pandang ekonomis
Bisnis adalah kegiatan ekonomis Yang terjadi dalam kegiatan ini
adalah tukar-menukar, jual-beli, memproduksi-memasarkan, bekerja-
memperkerjakan, dan bertinteraksi dengan orang lain lainnya, dengan
maksud memperoleh untung. Bisnis selalu bertujuan untuk mendapat
keuntungan dan perusahaan dapat disebut organisasi yang didirikan
dengan tujuan untuk meraih keuntungan.
Dipandang dari sudut ekonomis, good bussines atau bisnis yang baik
adalah bisnis yang membawa banyak untung. Orang bisnis selalu akan
berusaha membuat bisnis yang baik (dalam arti itu).
1.2.    Sudut pandang moral
Disamping aspek ekonomi dari bisnis, di sini tampak aspek lain yaitu
aspek moral. Selalu ada kendala etis bagi perilaku kita, termasuk juga
perilaku ekonomis. Tidak semuanya yang bisa kita lakukan untuk
mengejar tujuan kita (di bidang bisnis : mencari keuntungan) boleh
kita lakukan juga. Kita harus menghormati kepentingan dan hak orang
lain. Mengejar keuntungan merupakan hal yang wajar, asalkan tidak
tercapai dengan merugikan pihak lain. Bisnis yang baik (good
bussines) bukan saja bisnis yang menguntungkan. Bisnis yang baik
adalah juga bisnis yang baik secara moral. Perilaku yang baik –juga
dalam konteks bisnis- merupakan perilaku yang sesuai dengan
norma-norma moral, sedangkan perilaku yang buruk bertentangan
atau menyimpang dari norma-norma moral.
1.3.    Sudut pandang hukum
Tidak diragukan, bisnis terikat juga oleh hukum. “Hukum dagang” atau
“Hukum bisnis” merupakan cabang penting dari ilmu hukum modern.
Dari segi norma, hukum lebih jelas dan pasti dibandingkan etika.
Karena hukum dituliskan hitam atas putih dan ada sanksi tertentu, bila
terjadi pelanggaran. Hukum dan etika kerap kali tidak bisa dilepaskan
satu sama lain. Dalam kekaisaran Roma sudah dikenal pepatah: Quid
leges sine moribus? “apa artinya undang-undang kalau tidak disertai
moralitas?. Etika harus selalu menjiwai hokum. Baik dalam proses
terbentuknya undang-undang maupun dalam pelaksanaan peraturan
hukum, etika atau moralitas memegang peranan penting. Memang
benar, ada hal-hal yang diatur oleh hukum tidak mempunyai
hubungan langsung dengan etika. Misal, lalu lintas berjalan di sebelah
kiri atau kanan dari badan jalan. Disini peraturan hukum harus
ditentukan supaya keadaan tidak menjadi kacau, tetapi cara diaturnya
tidak berkaitan dengan etika. Tapi tentang banyak hal lain, hukum
meneguhkan keyakinan moral dalam masyarakat. Pembunuhan,
perampokan, penipuan, dsb adalah tidak etis dan serentak juga
dilarang menurut hukum. Disini peraturan hukum merupakan
pengendapan atau kristalisasi dari keyakinan moral dan serentak juga
mengukuhkan keyakinan moral itu. Tetapi ada juga ada perilaku dalam
segi moral penting, tetapi tidak diatur menurut hukum. Banyak hal
bersifat tidak etis, sedangkan menurut hukum tidak dilarang. Tidak
semuanya yang bersifat immoral adalah illegal juga. Menipu teman
waktu main kartu atau menyontek waktu mengerjakan tugas merupaka
perbuatan yang tidak etis, tetapi tidak melanggar hukum. Dalam
bidang bisnis, hukum tidak akan berusaha mengatur segala hal
sampai detail-detail terkecil. Berbohong waktu melamar kerja atau
pencurian kecil-kecilan di tempat kerja adalah perbuatan yang tidak
etis, tetapi tidak ditangani oleh hukum. Biasanya hukum dan instansi
kehakiman baru campur tangan, bila kepentingan atau hak orang serta
instansi harus dilindungi.
Untuk bisnis, sudut pandang hukum tentu penting. Bisnis harus
menaati hukum dan peraturan yang berlaku. “Bisnis yang baik” antara
lain berarti juga bisnis yang patuh pada hukum. Disamping hukum,
kita membutuhkan etika juga. Kita memerlukan norma moral yang
menetapkan apa yang etis dan tidak etis untuk dilakukan. Pada taraf
normatif  etika mendahului hukum. Jika secara moral suatu perilaku
ternyata salah, kemungkinan besar (walaupun tidak pasti) perilaku itu
melanggar hukum juga.
1.4.    Tolak ukur untuk tiga sudut pandang ini
Dapat disimpulkan, supaya patut disebut good bussines, tingkah laku
bisnis harus memenuhi syarat-syarat dari semua sudut pandang tadi.
Secara ekonomis, bisnis adalah baik, kalau menghasilkan laba. Hal itu
akan tampak dalam laporan akhir tahun yang harus disusun menurut
metode control finansial dan akuntanis yang sudah baku. Untuk sudut
pandang hukum, bisnis adalah baik, jika diperbolehkan oleh sistem
hukum. Lebih sulit untuk menentukan baik tidaknya bisnis dari sudut
pandang moral. Apa yang menjadi tolok ukur untuk menentukan baik
buruknya suatu perbuatan atau tingkah laku? Setidak-tidaknya dapat
disebut tiga macam tolok ukur: hati nurani, kaidah emas, dan
penilaian masyarakat umum.
a. Hati nurani
Dalam dunia bisnis suara hati nurani mudah dininabobokan oleh
keinginan memperoleh untung sebesar-besarnya. Tergiur oleh
keinginan ini, orang malah bisa berbohong tentang suara hati
nuraninya. Ia bisa saja mengatakan bahwa hati nurani
mengizinkannya melakukan sesuatu, padahal hati nuraninya
justru melarang. Hati nurani memang merupakan norma moral
yang penting, tetapi sifatnya subyektif sehingga tidak terbuka
untuk orang lain. Hati nurani yang tidak dididik dengan
semestinya bias menjadi terlalu longgar atau tumpul sama
sekali. Suatu perbuatan adalah baik, bila dilakukan susuai
dengan hati nuraninya, dan perbuatan lain buruk bila dilakukan
berlawanan dengan hati nuraninya. Kalau kita mengambil
keputusan moral berdasarkan hati nurani, keputusan yang
diambil "dihadapan Tuhan" dan kita sadar dengantindakan
tersebut memenuhi kehendak Tuhan.

b. Kaidah emas
“Hendaklah memperlakukan orang lain sebagaimana anda
sendiri ingin diperlakukan”. Perilaku saya bisa dianggap secara
moral baik, bila saya memperlakukan orang tertentu
sebagaimana saya sendiri ingin diperlakukan.
c. Penilaian umum
Cara ketiga dan barangkali paling ampuh untuk menentukan
baik buruknya suatu perbuatan atau perilaku adalah
menyerahkan kepada masyarakat umum untuk menilai. Cara ini
bisa disebut jugaaudit sosial. Sebagaimana melalui audit dalam
arti biasa sehat tidaknya keadaan finansial suatu perusahaan
dipastikan, demikian juga kualitas etis suatu perbuatan
ditentukan oleh penilaianmasyarakat umum.

2.    Apa itu Etika Bisnis


-    Etika sebagai praksis berarti : apa yang dilakukan sejauh sesuai
atau tidak sesuai dengan nilai dan norma moral.
-    Etika sebagai refleksi adalah pemikiran moral. Dalam etika sebagai
refleksi kita berpikir tentang apa yang dilakukan dan khususnya
tentang apa yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan.
-    Etika adalah cabang filsafat yang mempelajari baik buruknya
manusia. Karena itu etika dalam arti ini disebut juga “filsafat parktis”.
Seperti etika terapan pada umumnya, etika bisnis pun dapat dijalankan
pada tiga taraf : taraf makro, meso dan mikro. Tiga taraf ini berkaitan
dengan tiga kemungkinan yang berbeda untuk menjalankan kegitan
ekonomi dan bisnis.
-    Pada taraf makro, etika bisnis mempelajari aspek-aspek moral dari
sistem ekonomi sebagai keseluruhan.
-    Pada taraf meso (madya atau menengah), etika bisnis menyelidiki
masalah etis di bidang organisasi. Organisasi di sini terutama berarti
perusahaan, tapi bisa juga serikat buruh, lembaga konsumen,
perhimpunan profesi dan lain-lain.
-    Pada taraf mikro, yang difokuskan adalah individu dalam
hubungan dengan ekonomi atau bisnis. Di sini dipelajari tanggung
jawab etis dari karyawan dan majikan, bawahan dan manajer,
produsen dan konsumen, pemasok dan investor.

3.    Perkembangan etika bisnis


Sepanjang sejarah, kegiatan perdaganga atau bisnis tidak pernah luput
dari sorotan etika. Namun demikian, jika kita menyimak etika bisnis
sebagaimana dipahami dan dipraktekkan sekarang, tidak bisa
disangkal juga, di sini kita menghadapi suatu fenomena baru. Belum
pernah dalam sejarah, etika bisnis mendapat perhatian besar intensif
seperti sekarang ini.
Etika bisnis dalam arti khusus ini pertama kali timbul di Amerika
Serikat dalam tahun 1970-an dan agak cepat meluas ke kawasan
dunia lain.

4.    Profil etika bisnis dewasa ini


Kini etika bisnis sudah mempunyai status ilmiah yang serius. Ia
semakin diterima di antara ilmu-ilmu yang sudah mapan dan memiliki
ciri-ciri yang biasanya menandai sebuah ilmu.

5.    Faktor sejarah dan budaya dalam etika bisnis


Jika mempelajari sejarah, dan khusunya dunia barat, sikap positif ini
tidak selamanya menandai pandangan terhadap bisnis. Sebaliknya,
berabad-abad lamanya terdapat tedensi yang cukup kuat memandang
bisnis atau perdagangan sebagai kegiatan yang tidak pantas dilakukan
bagi manusia beradab. Orang seperti pedagang jelas-jelas dicurigakan
kualitas etisnya. Sikap negative ini berlangsung terus sampai zaman
modern dan baru menghilang seluruhnya sekitar waktu industrial.
6.    Kritik atas etika bisnis
6.1.    Etika bisnis mendiskriminasi
Kritik pertama kali ini lebih menarik karena sumbernya daripada
isinya. Sumbernya adalah Peter Drucker, ahli ternama dalam bidang
teori manajemen. Tuduhan Drucker tidak beralasan. Sekali-kali tidak
benar bahwa etika bisnis memperlakukan bisnis dengan cara lain
ordinary folk (orang biasa). Kritiknya berasal dari salah paham besar
terhadap maksud etika bisnis. Justru karena orang bisnis merupakan
ordinary folk (orang biasa). Justru orang bisnis merupakan ordinary
folk, mereka memerlukan etika. Sebagaimana semua orang lain, para
pebisnis merupakan pelaku moral.
Etika bisnis menjadi suatu ilmu dengan identitas tersendiri, bukan
karena norma-norma yang tidak berlaku di bidang lain, melainkan
karena aplikasi norma-norma yang umum atas suatu wilayah kegiatan
manusiawi yang minta perhatian khusus, sebab keadaannya dan
masalah-masalahnya mempunyai corak tersendiri.
6.2.    Etika bisnis itu kontradiktif
Kritik lain tidak berasal dari satu orang, tetapi ditemukan dalam
kalangan popular yang cukup luas. Sebenarnya bukan kritik,
melainkan skepsis. Orang-orang ini menilai etika bisnis sebagai suatu
usaha yang naïf.
6.3.    Etika bisnis tidak praktis
Tidak ada kritik atas etika bisnis yang menimbulkan begitu banyak
rekasi seperti artikel yang dimuat dalam Harvard Business Review pada
tahun 1993 dengan judul “What’s the matter with business ethics?”.
Pengarangnya adalah Adrew Stark, seorang dosen manajemen di
Universitas Toronto, Kanada. Ia menilai, kesenjangan besar menganga
antara etika bisnis akademis dan para professional di bidang
manajemen.
6.4.    Etikawan tidak bisa mengambil alih tanggung jawab
Kritikan lain lagi dilontarkan kepada etika terapan pada umumnya,
termasuk juga etika bisnis, di samping etika biomedis, etika
jurnalistik, etika profesi hukum dan lain-lain. Kritisi meragukan entah
etika bisnis memiliki keahlian etis khusus, yang tidak dimiliki oleh
para pebisnis dan manajer itu sendiri.
Seluruh kritikan ini juga berdasarkan salah pahan. Etika bisnis sama
sekali tidak bermaksud mengambil alih tanggung jawab etis pebisnis,
para manajer, atau pelaku moral lain di bidang bisnis. Etika bisnis bisa
membantu untuk mengambil keputusan moral yang dapat
dipertanggungjawabkan, tapi tidak berniat mengambil tempat dari
para pelaku moral dalam perusahaan.

Peranan Etika dalam Bisnis :


Menurut Richard De George, bila perusahaan ingin
sukses/berhasil memerlukan 3 hal pokok yaitu: 1.Produk yang baik;
2.Manajemen yang baik; 3.Memiliki Etika. Selama perusahaan memiliki
produk yang berkualitas dan berguna untuk masyarakat disamping itu
dikelola dengan manajemen yang tepat dibidang produksi, finansial,
sumberdaya manusia dan lain-lain tetapi tidak mempunyai etika, maka
kekurangan ini cepat atau lambat akan menjadi batu sandungan bagi
perusahaan tsb. Bisnis merupakan suatu unsur mutlak perlu dalam
masyarakat modern. Tetapi kalau merupakan fenomena sosial yang
begitu hakiki, bisnis tidak dapat dilepaskan dari aturan-aturan main
yang selalu harus diterima dalam pergaulan sosial, termasuk juga
aturan-aturan moral.

Mengapa bisnis harus berlaku etis ?


Tekanan kalimat ini ada pada kata "harus". Dengan kata lain,
mengapa bisnis tidak bebas untuk berlaku etis atau tidak? Tentu saja
secara faktual, telah berulang kali terjadi hal-hal yang tidak etis dalam
kegiatan bisnis,dan hal ini tidak perlu disangkal, tetapi juga tidak
perlu menjadi fokus perhatian kita. Pertanyaannya bukan tentang
kenyataan faktual, melainkan tentang normativitas: seharusnya
bagaimana dan apa yang menjadi dasar untuk keharusan itu.Mengapa
bisnis harus berlaku etis, sebetulnya sama dengan bertanya mengapa
manusia pada umumnya harus berlaku etis. Bisnis disini hanya
merupakan suatu bidang khusus dari kondisi manusia yang umum.
Jawabannya ada tiga yaitu :

1. Tuhan melalui agama/kepercayaan yang dianut, diharapkan


setiap pebisnis akan dibimbing oleh iman kepercayaannya, dan
menjadi tugas agama mengajak para pemeluknya untuk tetap
berpegang padamotivasi moral.
2. Kontrak Sosial, umat manusia seolah-olah pernah mengadakan
kontrak yang mewajibkan setiap anggotanya untuk berpegang
pada norma-norma moral, dan kontrak ini mengikat kita
sebagai manusia, sehingga tidak ada seorangpun yang bisa
melepaskan diri daripadanya.
3. Keutamaan, Menurut Plato dan Aristoteles, manusia harus
melakukan yang baik, justru karena hal itu baik. Yang baik
mempunyai nilai intrinsik, artinya, yang baik adalah baik karena
dirinya sendiri. Keutamaan sebagai disposisi tetap untuk
melakukan yang baik, adalah penyempurnaan tertinggi dari
kodrat manusia. Manusia yang berlaku etis adalah baik begitu
saja, baik secara menyeluruh, bukan menurut aspek tertentu
saja.
BAB II
Sekilas Teori Etika

Etika bisnis adalah penerapan prinsip-prinsip etika yang umum pada


wilayah pelaku manusia yang khusus, yaitu kegiatan ekonomi dan
bisnis. Secara konkret etika sering terfokuskan pada perbuatan. Bisa
dikatakan juga bahwa teori etika membantu kita untuk menilai
keputusan etis.
Akan tetapi, setiap penguraian macam ini terbentur pada kesulitan
bahwa kenyataanya pada teori etika. Di sini akan dibahas secara
singkat beberapa teori yang dewasa ini paling penting dalam
pemikiran moral, khususnya dalam etika bisnis.
1.    Utilitarisme
“Utilitarisme” berasal dari kata Latin utilis yang berarti “bermanfaat”.
Menurut teori ini suatu perbuatan adalah baik jika membawa manfaat,
tapi manfaat itu harus menyangkut bukan saja satu dua orang
melainkan masyarakat sebagai keseluruhan. Dapat dipahami pula
utilarisme sangat menekankan pentingnya konsekuensi perbuatan
dalam menilai baik buruknya suatu perbuatan.
Kita dapat menyimpulkan bahwa utilitarisme aturan membatasi diri
dari pada justifikasi aturan-aturan moral. Dengan demikian mereka
memang dapat menghindari kesulitan dari utilitarisme perbuatan.
2.    Deontologi
Istilah Deontologi (deontology) ini berasal dari kata Yunani deon yang
berarti kewajiban. Maka deontology melepaskan sama sekali moralitas
dari konsekuensi perbuatan. Utilitarisme mementingkan konsekuensi
perbuatan, sedangkan deontology konsekuensi perbuatan tidak
berperan sama sekali.
3.    Teori Hak
Dalam pemikiran moral dewasa ini barangkali teori hak ini adalah
pendekatan yang paling banyak dipakai untuk mengevaluasi baik
buruknya suatu perbuatan atau perilaku. Sebetulnya teori hak
merupakan suatu aspek dari teori dentiologi, karena berkaitan dengan
kewajiban.
4.    Teori keutumaan
Apa yang dimaksud dengan keutamaan?keutamaan bisa didefinisikan
sebagai berikut: diposisi watak yang telah diperoleh seseorang dan
memungkinkan dia untuk bertingkah laku baik secara moral. Ada
banyak keutamaan dan semua keutamaan dan semua keutamaan
untuk setiap orang dan untuk setiap kegiatan. Diantara keutamaan
yang harus menandai pebisnis perorangan bisa disebut: kejujuran,
fairness, kepercayaan, dan keuletan.
Kejujuran secara umum diakui sebagai keutamaan pertama dan paling
penting yang harus dimiliki oleh pelaku bisnis. Orang yang
mempunyai keutamaan kejujuran tidak akan berbohong atau menipu
dalam transaksi bisnis, bahkan kalau penipuan sebenarnya gampang.
Perlu diakui, tentang keutamaan kejujuran kadang-kadang ada
kesulitan juga. Garis perbatasan antara kejujuran dan ketidakjujuran
tidak selalu bisa ditarik dengan tajam.
Keutamaan kedua adalah fairness. Kata inggris ini sulit diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia. Kerap kali diberi terjemahan “keadilan”
dan memang fairness dekat dengan paham “keadilan” tapi tidak sama
juga. Barangkali terjemahan yang tidak terlalu meleset adalah: sikap
wajar. Fairness adalah kesediaan untuk memberikan apa yang wajar
kepada semua orang dengan semeua orang dan dengan “wajar”
dimaksudkan apa yang bisa disetujui oleh semua orang yang terlibat
dalam suatu transaksi.
Kepercayaan (trust) juga adalah keutamaan yang pentng dalam
konteks bisnis. Kepercayaan harus ditempatkan dalam relasi timbale
balik. Ada beberapa cara untuk mengamankan kepercayaan. Salah satu
cara ialah member garansi atau jaminan.
Keutamaan keempat adalah keuletan (Solomon menggunakan kata
toughness). Pebisnis harus bertahan dalam banyak situasi yang sulit.
Ia harus sanggup mengadakan negosiasi yang terkadang seru tentang
proyek atau transaksi yang bernilai besar. Ia harus berani juga
mengambil risiko kecil ataupun besar, karena perkembangan banyak
faktor tidak bisa diramalkan sebelumnya.
Kelompok keutamaan lain menandai orang bisnis pada taraf
perusahaan. Dengan kata lain, keutamaan-keutamaan ini dimiliki
manajer dan karyawan sejauh mereka mewakili perusahaan. Keempat
keutamaan ini adalah: keramahan, loyalitas, kehormatan, dan rasa
malu.
Keutamaan sebenarnya lebih cocok untuk digambarkan secara konkret
daripada diuraikan pada taraf teoritis. Dalam filsafat dewasa ini
dikenal pendekatan yang sering disebut “naratif”. Artinya, kebenaran
filosofis yang mau dibicarakan, tidak diuraikan secara teoretis,
melainkan dikisahkan dalam suatu contoh atau kasus konkret.
Dibandingkan dengan teori-teori lain, teori keutamaan mempunyai
kelebihan lagi, karena memungkinkan untuk mengembangkan
penilaian etis yang lebih etis. Teori-teori yang didasarkan atas aturan,
pada umumnya cenderung menilai perbuatan-perbuatan dari segi
negative, artinya mereka terutama menyoroti yang tidak etis.
BAB III
EKONOMI DAN KEADILAN
1.    Hakikat keadilan
Keadilan dapat diartikan sebagai to give everybody his own
(memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya). 
Ciri khas keadilan :
a.    Keadilan tertuju pada orang lain
b.    Keadilan harus ditegakkan atau dilaksanakan
c.    Keadilan menuntut persamaan (equality)
2.    Pembagian keadilan
Pembagian keadilan menurut Thomas Aquinas (1225-1274) yang
mendasarkan pandangan filosofisnya atas pemikiran Aristoteles (384-
322 SM)  disebut juga pembagian klasik, membedakan keadilan
menjadi :
a.    Keadilan Umum (general justice) : berdasarkan keadilan ini para
anggota masyarakat diwajibkan untuk memberi kepada masyarakat
(negara) apa yang menjadi haknya.
b.    Keadilan Distributif (distributive justice): berdasarkan keadilan ini
negara (pemerintah) harus membahi segalanya ddengan cara yang
sama kepada para anggota masyarakat.
c.    Keadilan Komutatif (commutative justice) : berdasarkan keadilan
ini setiap orang harus memberikan kepada orang lain apa yang
menjadi haknya.
Pembagian keadilan yang dikemukakan oleh pengarang modern
tentang etika bisnis, khususnya John Boatright dan Manuel Velasquez
dapat dibedakan menjadi :
a.    Keadilan Distributif (distributive Justice)
b.    Keadilan Retributif (retributive justice) : berkaitan dengan
terjadinya kesalahan
c.    Keadilan Kompensatoris (compensatory justice) : berdasarkan
keadilan ini orang mempunyai kewajiban moral untuk memberikan
kompensasi atau ganti rugi kepada orang atau instansi yang dirugikan
Disamping pembagian tersebut, keadilan juga dapat dibedakan
menjadi keadilan sosial dan keadilan individu
3.    Keadilan distributif pada khususnya
Dalam teori etika modern, ada dua macam prinsip untuk keadilan
distributif, yaitu : prinsip formal dan prinsip material. Prinnsip formal
yang dirumuskan dalam bahasa Inggris berbunyi “equals ought to be
treated equally and unequals may be treated unequals”. Yang dapat
diartikan bahwa kasus-kasus yang sama harus diperlakukan dengan
cara yang sama, sedangkan kasus-kasus yang tidak sama boleh saja
diperlakukan dengan cara yg tidak sama. Sedangkan prinsip material
menunjukkan kepada salah satu aspek relevan yang bisa menjadi
dasar untuk membagi dengan adil hal-hal yang dicari oleh berbagai
orang. Beauchamp dan Bowie menyebut enam prinsip keadilan
distributif terwujud apabila diberikan kepada setiap oraang dengan
syarat :
a.    Bagian yang sama
b.    Sesuai dengan kebutuhan individualnya
c.    Sesuai dengan haknya
d.    Sesuai dengan usaha individualnya
e.    Sesuai dengan kontribusinya kepada masyarakat
f.    Sesuai dengan jasanya
Berdasarkan prinsip material tersebut, telah dibentuk beberapa teori
keadilan distributif. Antara lain :
a.    Teori egalitariasme (membagi dengan adil berarti membagi rata)
b.    Teori sosialistis (membagi adil sesuai dengan kebutuhan
individualnya)
c.    Teori liberalistis
BAB IV
Liberalisme dan Sosialisme sebagai Perjuangan Moral

1.    Tinjuan historis


1.1.    John Locke dan milik pribadi
John Locke (1623-1704), seorang filsuf inggris yang banyak
mendalami masalah-masalah social politik, secara umum diakui
sebagai orang yang pertama kali mendasarkan teori liberalisme
tentang milik. Menurut Locke, manusia mempunyai tiga “hak kodrat:
(natural right): “life, freedom, and property”. Yang penting adalaha hak
atas milik karena keidupan dan kebebasan kita miliki juga. Jadi, hak
atas milik menyedia pola untuk memahami kedua hak lain juga.
Argumentasinya mempengaruhi secara mendalam pemikiran tentang
milik di kemudian hari.
Dalam pandangan Locke ini, sudah tampak beberapa cirri kapitalisme
liberal yang dengan tegas akan ditolak oleh Karl Marx. Pertama, Locke
mengandaikan begitu saja bahwa pekerjaan pun harus diukur atas
dasar nilai tukarnya, artinya sebagai komoditas pasaran. Kedua, Locke
mengandaikan juga bahwa hasil kerja karyawan menjadi milik sah dari
pemilik tanah atau pemilik sarana produksi.
1.2.    Adam Smith dan pasar bebas
Tokoh lain yang pantas dibahas dalam rangka liberalism adalah orang
Skotlandia, Adam Smith (1723-1790). Adam Smith menjadi terkenal
karena dengan gigih membela pasar brbas di bidang ekonomi. Adam
Smith tentu bukan filsuf pertama yang membedakan antara
kepentingan-diri dan egoisme, tapi ia melihat pentingnya khusus
untuk relasi-relasi ekonomis. Kepentingan diri merupakan motIvasi
utama yang mendorong kita untuk mengadakan kegiatan ekonomis.
Kegiatan ekonomis di pasar bukan saja menguntungkan bagi pihak-
pihak yang langsung terlibat di dalamnya, tetapi bermanfaat juga
untuk masyarakat sebagai keseluruhan. Smith menekankan bahwa
dengan mengejar kepentingan diri masing-masing dalam sistem pasar
para anggota masyarakat mewujudkan kesejahteraan umum yang
paling besar.
1.3.    Marxisme dan kritiknya atas milik pribadi
Yang dimaksud dengan marxisme adalah pemikiran Karl Marx (1818-
1882) bersama dengan teman seperjuangannya, Friedrich Engels
(1820-1895). Marxisme adalah ajaran social-ekonomis-politik yang
sangat kompleks dan tidak mudah untuk disingkatkan tanpa
mengorbankan cukup banyak unsure yang sebenarnya hakiki juga.
Bisa dikatakan juga marxisme menolak pemilikan pribadi atas capital
atau modal, sebab yang memiliki capital dengan sendirinya memilki
juga sarana-sarana produksi. Ciri kapitalisme yang jelek adalah bahwa
mereka memperkerjakan orang lain untuk memperkaya diri sendiri.
Menurut Marxisme, lembaga pribadi pada dasarnya merupakan
penindasan atau eksploitasi kaum pekerja. Di sini dengan jelas tampak
inspirasi etis dari marxisme. Tujuannya bukan menghapus milik
pribadi begitu saja, melainkan secara radikal menentang penindasan
atau eksploitasi yang berasal dari pemilikan eksklusif atas sarana-
sarana produksi. Menurut mereka, cara pemilikan itu harus diganti
dengan sistem milik kolektif.

2.    Pertentangan dan perdamaian antara liberalism dan sosialisme


2.1.    Liberalisme
Inti pemikiran liberalism adalah tekanannya pada pada kebebasan
individual (liber Lat.=bebas). Tugas pokok Negara menurut pandangan
liberalism secara klasik dilukiskan sebagai nighwatch state, “Negara
jaga malam”, karena Negara hanya membatasi diri pada perlindungan
dan pengamanan para warga Negara.
2.2.    Sosialisme
“Sosialisme” berasal dari kata Latin socius yang berarti “teman” atau
“kawan”. Sosialisme memandang manusia sebagai makhluk social
sebagai sesame yang hidup bersama orang lain. Liberalisme lebih
cenderung melihat manusia sebagai individu yang mempunyai
kebebasan masing-masing. Masyarakat yang diatur secara liberalism
ditandai egoism, sedangkan masyarakat yang diatur secara sosialistis
atau kesetiakawanan.
a.    Sosialisme komunistis
Sosialisme komunistis atau komunisme (communis Lat.=bersama)
menolak milik pribadi. Menurut mereka, milik harus menjadi milik
bersama atau milik kolektif. Tetai, sebagaimana dijelaskan
sebelumnya, Karl Marx tidak menolak semua milik pribadi. Marx dan
pengikut-pengikutnya membedakan antara pemilikan barang
konsumsi dan pemilikan sarana-sarana produksi. Barang konsumsi
adalah barang yang dipakai oleh seseorang bersama dengan
keluarganya, seperti rumah, kendaraan, fasilitas olah raga, koleksi
buku dan lain sebagainya. Yang tidak boleh menjadi milik pribadi
adalah sarana-sarana produksi, seperti pabrik.
b.    Sosialisme demokratis
Sosialisme demokratis juga menempatkan masyarakat di atas individu.
Tetapi berbeda dengan komunisme, mereka tidak bersedia
mengorbankan sistem pemerintahan demokratis yang mereka anggap
sebagai sebuah perolehan modern yang sangat berharga.
2.3.    Kekuatan dan kelemahan
Kekuatan lliberalisme adalah bahwa milik pribadi diakui sebagai cara
penting untuk mewujudkan kebebasan pribadi. Tetapi liberalisme juga
mempunyai kelemahan. Kelemahannya yang utama adalah bahwa
mereka kurang memperhatikan nasib kaum miskin dan orang kurang
beruntung dalam perjuangan hidup, seperti kaum buruh dalam
masyarakat berindustri.
Kekuatan Sosialisme adalah mereka menemukan dimensi
transindividual dari milik. Milik selalu mempunyai suatu fungsi social
dan tidak boleh dibatasi pada kepentingan pribadi saja.Tetapi,
sosialisme mempunyai juga kelemahan dan kelemahan itu terasa
cukup besar, bahkan menjadi fatal untuk sistem pemerintahan
sosialistis. Ekonomi yang direncakan dengan ketat dari atas ternyata
tidak bisa berhasil.

3.    Kapitalisme dan demokratisasi


Demokratisasi dalam ekonomi dijalankan secara kapitalistis di Negara-
negara industry Barat merupakan fenomena yang sangat menarik.
Pertama, sistem pemerintahan demokratis berhasil mengoreksi
beberapa ekses kapitalisme. Kedua, antagonism antara kelas-kelas
seperti dimengerti marxisme, dalam sistem pemerintahan demokratis
cukup teratasi. Kaum pekerja tidak lagi berpolarisasi dengan kau
majikan karena mereka menyadari mempunyai banyak kepentingan
bersama. Ketiga, fenomena yang barangkali menarik adalah pemilikan
sarana  produksi yang semakin merata.

4.    Etika pasar bebas


Pandangan Gauthier yang pernah mengemukakan pendapat bahwa
pasar tidak membutuhkan moralitas. Pasar sempurna dimaksudkan
pasar di mana kompetisi berjalan dengan sempurna. Pada
kenyataanya, proses-proses di pasaran selalu disertai macam-macam
kegagalan dan kekurangan. Namun demikian, sistem pasar bebas yang
bisa dijalankan sekarang tetap merupakan sistem ekonomi yang paling
unggul. Pentingnya etika dalam semuanya ini terutama tampak dari
dua segi. Pertama dari segi keadilan social, supaya kepada semua
peserta dalam kompetisi di pasar diberikan kesempatan yang sama.
Kedua, dalam konteks pasar bebas etika sangat dibutuhkan sebagai
jaminan agar kompetisi berjalan dengan baik dari sudut moral. Semua
peserta dalam pasar bebas harus berlaku dengan fair.
BAB V
Keuntungan Sebagai Tujuan Perusahaan

Kuntungan termasuk definisi bisnis. Sebab, apa itu bisnis? Frngan cara
sederhana atapi cuup jelas, bisnis sering dilakukan sebagai “to provide
product or sevices for profit”. Tidak bisa dikatakan juga bahwa setiap
kegiatan ekonomis menghasilkan keuntungan. Keuntungan atau profit
baru muncul dengan kegiatan ekonomi yang memakai sistem
keuntungan. Profit selalu berkaitan dengan kegiatan ekonomi, dimana
kedua belah pihak menggunakan uang.
Karena hubungan dengan uang itu, perolehan profit secara khusus
berlangsung dalam konteks kapitalisme. Keterkeikatan dengan
keuntungan itu merupakan suatu alas an khusus mengapa bisnis
selalu ekstra rawan dari sudut pandang etika. Tentu saja, organisasi
yang non for profit pun pasti sewakt waktu berurusan dengan etika.
1.    Maksimalisasi keuntungan sebagai cita-cita kapitalisme liberal
Profit maximimization atau maksimalisasi keuntungan merupakan
tema penting dalam ilmu manajemen ekonomi. Kalau memaksimalkan
keuntungan menjadi satu-satunya tujuan perusahaan, dengan
sendirinya akan timbul keadaan yang tidak etis. Jika keuntungan
menjadi satu-satunya tujuan itu, semua karyawan dikerahkan dan
dimanfatkan demi tercapainya tujuan itu, termasuk juga karyawan
yang bekerja dalam perusahaan. Akan tetapi memperalat karyawan
karena alasan apa saja berarti tidak menghormati mereka sebagai
manusia. Studi sejarah menunjukan bahwa maksimalisasi keuntungan
sebagai tujuan usaha ekonomi memang bisa membawa akibat kurang
etis.

2.    Masalah pekerja anak


Tidak perlu diragukan, pekerja yang dilakukan oleh anak (child labor)
merupakan topic dengan banyak implikasi etis, tetai masalah ini
sekaligus juga sangat kompleks, karena faktor-faktor ekonomis di sini
dengan dengan aneka macam cara bercampur baur dengan faktor-
faktor budaya dan social.
Dalam Convention on the Right of the Child yang diterima dalam
siding umum PBB pada 1989 siserahkan pada masing-masing Negara
anggota untuk”menetapkan usia minimum atau usia rata-rata
minimum untuk dapat memasuki lapangan kerja” [Pasal 32,2(a)].
Yang dianggap pekerjaan yang dilakukan anak dianggap tidak etis
karena pertama, adalah pekerjaan itu melanggar hak para anak. Anak
itu belum dewasa karena itu harus diperlakukan begitu pula. Karena
belum dewasa, seorang anak juga belum bebas atau sanggup
menjalankan kebebasannya. Lagipula, anak yang bekerja tidak
mendapat pendidikan di sekolah dan karena itu mereka dirugikan
untuk seumur hidup. Oleh sebab itu pekerjaan yang dilakukan oleh
anak melangar juga hak anak, karena mengekploitasi tenaga mereka.
Alasan kedua menegaskan bahwa memperkejakan anak merupakan
cara berbisnis yang tidak fair. Sebab, dengan cara  itu pebisnis
berusaha menekan biaya produksi dan dengan melibatkan diri dalam
kompetisi kurang fair terhadap rekan-rekan pebisnis yang tidak mau
menggunakan tenaga anak, karena menganggap hal itu cara
berproduksi yang tidak etis.
Bagaimana cara kita mengatasi masalah tersebut? Yang pertama:
kesadaran dan aksi dari pihak public konsumen. kedua adalah kode
etik yang dibuat dan ditegakkan juga oleh perusahaan dimana antara
lain ditegaskan bahwa perusahaan tidak akan mengijinkan produknya
dibuat dengan memanfaatkan tenaga anak di bawah umur. Yang
ketiha melengkapi garmen atau produk lain dengan No Sweat Label,
yang menjamin produk itu tidak dibuat dengan menggunakan tenaga
anaka atau dengan kondisi kerja yang tidak pantas.

3.    Relativasi keuntungan


Tidak bisa disangkal, pertimbangan etis mau tidak mau membatasi
peranan keuntungan dalam bisnis. Seandainya keuntungan merupakan
faktor satu-satunya yang menentukan sukses dalam bisnis,
perdagangan heroin, kokain, atau obat terlarang lainnya harus
dianggap sebagai good business, karena sempat membawa untung
yang sangat banyak. Bisnis menjadi tidak etis, kalau perolehan untung
dimutlakkan dan segi moral dikesampingkan. Di satu pihak perlu
diakui, bisnis tanpa tujuan profit bukan bisnis lagi.
Dengan demikian dan banyak cara lain lagi dapat dijelaskan relativitas
keuntungan dalam usaha bisnis. Tetapi, bagaimanapun juga,
keuntungan dalam bisnis tetap perlu. Hanya tidak bisa dikatakan lagi
bahwa maksimalisasi keuntungan merupakan tujuan bisnis atau profit
merupakan satu-satunya tujuan bagi bisnis. Beberapa cara lain lagi
untuk melukiskan relativitas keuntungan dalam bisnis, sambil tidak
mengabaikan perlunya adalah sebagai berikut :
a.    Keuntungan merupak tolak ukur untuk menilai kesehatan
perusahaan atau efisiensi manajemen dalam perusahaan;
b.    Keuntungan adalah pertanda yang menunjukaan bahwa produk
atau jasanya dihargai oleh masyarakat;
c.    Keuntungan dalah cambuk untuk meningkatkan usaha;
d.    Keuntungan merupakan syarat kelangsungan perusahaan;
e.    Keuntungan mengimbangi risiki dalam perusahaan.

4.    Manfaat bagi stakeholder


Yang dimaksud stakeholders adalah orang atau instansi yang
berkepentingan dengan suatu bisnis atau perusahaan. Dalam bahasa
Indonesia kini sering dipakai terjemahan “pihak yang berkepentingan”
Stakeholder adalah semua pihak yang berkepntingan yang
berkepentingan dengan kegiatan suatu perusahaan. Stockholder tentu
termasuk Stockholders.
Kadang-kadang stakeholders dbagi lagi atas pihak berkepentingan
internal dan eksternal. Pihak berkepentingan internal adalah “orang
dalam” dari suatu perusahaan: orang atau instansi yang secara
langsung terlibat dalam kegiatan perusahaan, seperti pemegang
saham, manajer, dan karyawan. Pihak berkepentingan eksternal adalah
“orang luar” dari suatu perusahaan: orang yang tidak secara langsung
terlibat dalam kegiatan perusahaan, seperti para konsumen,
masyarakat, pemerintah lingkungan hidup.
Paham stakeholders ini membuka perspektif baru untuk mendekati
masalah tujuan perusahaan. Kita bisa mengatakan bahwa tujuan
perusahaan adalah manfaat semua stakeholder.

KESIMPULAN
Seperti etika terapan pada umumnya, etika bisnis pun dapat dijalankan
pada tiga taraf : taraf makro, meso dan mikro. Tiga taraf ini berkaitan
dengan tiga kemungkinan yang berbeda untuk menjalankan kegitan
ekonomi dan bisnis.
-    Pada taraf makro, etika bisnis mempelajari aspek-aspek moral dari
sistem ekonomi sebagai keseluruhan.
-    Pada taraf meso (madya atau menengah), etika bisnis menyelidiki
masalah etis di bidang organisasi. Organisasi di sini terutama berarti
perusahaan, tapi bisa juga serikat buruh, lembaga konsumen,
perhimpunan profesi dan lain-lain.
-    Pada taraf mikro, yang difokuskan adalah individu dalam
hubungan dengan ekonomi atau bisnis. Di sini dipelajari tanggung
jawab etis dari karyawan dan majikan, bawahan dan manajer,
produsen dan konsumen, pemasok dan investor.
Jadi Etika Bisnis adalah penerapan prinsip-prinsip etika yang umum
pada wilayah pelaku manusia yang khusus, yaitu kegiatan ekonomi
dan bisnis. Secara konkret etika sering terfokuskan pada perbuatan.
Bisa dikatakan juga bahwa teori etika membantu kita untuk menilai
keputusan etis.
Memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya atau bisa
disebut Keadilan yang mana dibagi:
d.    Keadilan Umum (general justice) : berdasarkan keadilan ini para
anggota masyarakat diwajibkan untuk memberi kepada masyarakat
(negara) apa yang menjadi haknya.
e.    Keadilan Distributif (distributive justice): berdasarkan keadilan ini
negara (pemerintah) harus membahi segalanya ddengan cara yang
sama kepada para anggota masyarakat.
f.    Keadilan Komutatif (commutative justice) : berdasarkan keadilan
ini setiap orang harus memberikan kepada orang lain apa yang
menjadi haknya.
Liberalisme dan sosialisme yang merupakan awal dari perjuangan
moral bagi setiap individu maupun masyarakat dalam hal ini
kelompok, diharapkan semua individu maupun kelompok dapat
beraktivitas  secara maksimal dalam memenuhi kebutuhan mereka
masing- masing yang mana telah telah diatur undang-undangnya
akan hal itu. sistem pasar bebas yang bisa dijalankan sekarang tetap
merupakan sistem ekonomi yang paling unggul. Pentingnya etika
dalam semuanya ini terutama tampak dari dua segi. Pertama dari segi
keadilan social, supaya kepada semua peserta dalam kompetisi di
pasar diberikan kesempatan yang sama. Kedua, dalam konteks pasar
bebas etika sangat dibutuhkan sebagai jaminan agar kompetisi
berjalan dengan baik dari sudut moral. Semua peserta dalam pasar
bebas harus berlaku dengan fair.
Profit atu keuntungan selalu berkaitan dengan kegiatan ekonomi,
dimana kedua belah pihak menggunakan uang.Karena hubungan
dengan uang itu, perolehan profit secara khusus berlangsung dalam
konteks kapitalisme. Keterkaitan dengan keuntungan itu merupakan
suatu alasan khusus mengapa bisnis selalu ekstra rawan dari sudut
pandang etika dalam melakukan bisnis.
CHAPTER 1
Preliminary :
Business and Ethics in the Modern World

1. Modern business is realistas are highly complex. Many factors


influence and determine business activities. In order to explain the
specificity of the ethical or moral aspects in business, in a first
approximation we compare first with other aspects, especially the
economic and legal aspects. Therefore, the business as a social event
can be highlighted at a minimum of three different viewpoints but this
is not always possible separated: the viewpoint of economics, law, and
ethics.
1.1. An economic standpoint
Business is the economic activity What happened in this activity is the
exchange, sale, manufacture-marketing, working-employed, and
other bertinteraksi with other people, with the intent to make a profit.
Businesses are always aiming to make a profit and the company can be
called an organization established with the aim to make a profit.
In the light of economical, good bussines or a good business is a
business that brings a lot of profit. Business people will always strive
to make a good business (in that sense).
1.2. Moral standpoint
Besides the economic aspects of the business, here looked the other
aspect is the moral aspect. There are always ethical constraints for our
behavior, including economic behavior. Not everything we can do to
pursue our goals (in business: profit) allowed us to do well. We must
respect the interests and rights of others. The pursuit of profit is
reasonable, provided it does not harm others achieved. Business was
good (good bussines) is not only a profitable business. Good business
is good business also morally. Good behavior -also in the context of a
business-appropriate behavior with moral norms, while bad behavior
contrary to or deviate from moral norms.
1.3. Legal standpoint
No doubt, the business is bound also by law. "Trade law" or "Business
Law" is an important branch of the science of modern law. In terms of
norms, laws clearer and more surely than ethics. Because the law is
written in black and white and there are certain sanctions, in case of
violation. Law and ethics often can not be separated from each other.
In the Roman Empire has been known proverb: Quid certification fee of
sine moribus? "What does it mean if the law is not accompanied
morality ?. Ethics must always animate law. Both in the process of
formation of the legislation and in the implementation of the rule of
law, ethics or morality plays an important role. True, there are things
that are governed by the laws do not have a direct relationship with
ethics. For example, traffic runs on the left or right side of the road.
Here the rule of law should be specified that it may not be chaotic, but
the way he organized not related to ethics. But on many other things,
the law affirms moral beliefs in society. Murder, robbery, fraud, etc. is
unethical and simultaneously also prohibited by law. Here the rule of
law is the deposition or crystallization of moral beliefs and moral
convictions simultaneously also confirmed it. But there is also no
moral behavior in terms of importance, but it is not regulated by law.
Many things are unethical, while not legally prohibited. Not everything
that is immoral is illegal as well. Fool your friends while playing cards
or cheat time tasks be an unethical act, but did not break the law. In
the field of business, law will not be trying to set everything up to the
last detail. Lied when applying for work or petty theft in the workplace
is an unethical act, but is not addressed by the law. Usually new legal
and judicial institutions intervene, if the interest or the rights of
people and institutions to be protected.
For businesses, a legal perspective is certainly important. Businesses
must comply with laws and regulations. "Good business" among other
means are also law-abiding businesses. Besides the law, we need
ethics as well. We need a moral norms that define what is ethical and
unethical to do. At the level of normative ethics precedes law. If a
behavior is morally wrong, most likely (though not certain) that
unlawful behavior as well.
1.4. Yardstick for these three viewpoints
It can be concluded, that deserve to be called good bussines, conducts
business must meet the requirements of all points of view before.
Economically, business is good, if you make a profit. It will appear in
the annual report to be prepared according to the method of financial
control and akuntanis is standard. For a legal standpoint, the business
is good, if it is allowed by the legal system. More difficult to determine
whether or not the business from a moral standpoint. What is the
benchmark for determining the merits of an act or behavior? At least
can be called three kinds of benchmarks: conscience, the golden rule,
and assessment of the general public.
a. Conscience
In the business world the voice of conscience is lulled by the desire for
profit maximization. Tempted by this desire, people can actually lied
about the voice of conscience. He could have said that conscience
allow him to do something, when in fact his conscience forbids. The
conscience is a moral norm that is important, but it is subjective so it
is not open to others. Conscience who have not been educated
properly bias becomes too loose or dull at all. An act is good, when
done corresponds with his conscience, and other bad deeds when
done against his conscience. If we take moral decisions based on
conscience, the decisions taken "before God" and we are aware of the
dengantindakan fulfill God's will.

b. the golden rule


"Let treat others as you yourself would like to be treated". My behavior
could be considered morally good, if I treat certain people as I want to
be treated.
c. common assessment
The third way and perhaps the most powerful tool for determining the
merits of an action or behavior is handed over to the public to judge.
This method can be called social jugaaudit. As through audits in the
usual sense of healthy financial situation of a company whether or not
ensured, as well as ethical quality of an act is determined by the
general penilaianmasyarakat.

2. What is Business Ethics


- Ethics as praxis means: what to do as far as appropriate or not in
accordance with the values and moral norms.
- Ethics as reflection is moral thinking. In ethics as a reflection of our
thinking about what to do and especially on what to do or not to do.
- Ethics is a branch of philosophy that studies the good and bad
human beings. Therefore ethics in this sense is also called "philosophy
parktis".
As applied ethics in general, business ethics can be run at three levels:
the level of macro, meso and micro. These three levels related to three
different possibilities to run the business and economic activity.
- At the macro level, business ethics study the moral aspects of the
economic system as a whole.
- At the meso level (middle or intermediate), business ethics
investigate ethical problems in the area of the organization.
Organization here mainly means the company, but can also trade
unions, consumer organizations, professional associations and others.
- At the micro level, the focus is the individual in relation to the
economy or business. Here studied ethical responsibilities of
employees and employers, subordinates and managers, producers and
consumers, suppliers and investors.

3. The development of business ethics


Throughout history, activities or business Trafficking never escape the
scrutiny of ethics. However, if we listen to business ethics as
understood and practiced today, can not be denied as well, here we
are facing a new phenomenon. Never in the history, business ethics
intensive gained great importance as it is today.
Business ethics in a certain sense was first raised in the United States
in the 1970s and rather quickly expanded to other regions of the
world.

4. Profile of business ethics today


Now business ethics has had a serious scientific status. He is
increasingly accepted among the sciences are already well established
and have characteristics that usually marks a science.

5. Factors history and culture in business ethics


If you study history, and especially the western world, this positive
attitude does not always mark the views of the business. Instead,
centuries are strong enough tedensi see business or trade as
inappropriate activities performed for civilized man. People like traders
clearly dicurigakan ethical quality. This negative attitude continued
into the new modern and disappeared entirely around industrial time.
6. Criticism of the business ethics
6.1. Business ethics discriminate
The first criticism is more attractive because of its source rather than
its content. Its source is Peter Drucker, renowned expert in the field of
management theory. Drucker allegations were unfounded. Absolutely
not true that business ethics to treat the business in other ways
ordinary folk (the common man). His criticism comes from a
misunderstanding of the intent big business ethics. Precisely because
business people are ordinary folk (the common man). Precisely
business people are ordinary folk, they require ethics. Like all others,
the businessman is a moral agent.
Business ethics become a science with its own identity, not because
the norms are not applicable in other fields, but because the
application norms of common human activities over a territory that
asked for special attention, because the situation and its problems has
its own style.
6.2. Business ethics was contradictory
Another criticism does not come from one person, but is found in
popular circles large enough. Actually not a criticism, but skepsis.
These people assess business ethics as a naïve attempt.
6.3. Business ethics is not practical
No criticism of business ethics that cause so much reaction as the
article published in the Harvard Business Review in 1993 under the
title "What is the matter with business ethics?". Author is Adrew Stark,
a professor of management at the University of Toronto, Canada. He
considered, gaping gap between the academic and business ethics
professionals in the field of management.
6.4. Etikawan could not take over responsibility
Another criticism leveled to applied ethics in general, including
business ethics, in addition to biomedical ethics, journalistic ethics,
the ethics of the legal profession and others. Critics doubted whether
business ethics has a special ethical expertise, which is not owned by
the businessmen and the managers themselves.
The whole criticism is also based on one pahan. Business ethics do not
intend to take over the responsibility of ethical business people,
managers, or other moral actors in the field of business. Business
ethics can help to take moral decisions can be accounted for, but did
not intend to take the place of the moral agent in the company.

Role of Ethics in Business:


According to Richard De George, if companies want to be successful /
succeed requires three main points namely: 1.Produk good;
2.Manajemen good; 3. Have Ethics. During the company have a quality
product and be useful to society besides that is managed by the
proper management in the production, financial, human resources and
others but do not have ethics, then these shortcomings will sooner or
later become a stumbling block to the company they will. Business is
an indispensable element in modern society. But if it is a social
phenomenon that is so essential, the business can not be separated
from the rules of the game are always to be accepted socially, as well
as moral rules.

Why businesses should be ethical?


The pressure this sentence is the word "should". In other words, why
the business is not free to be ethical or not? Of course, in fact, has
repeatedly occurred things that are unethical in business activity, and
it need not be denied, but it also does not need to be the focus of our
attention. The question is not about the factual reality, but of
normativity: how and what should be the basis for a business
imperative itu.Mengapa must be ethical, fact is equivalent to asking
why people in general should be ethical. Business here is only a
specialized field of general human condition.
The answer is three, namely:

1. God through religion / beliefs held, expected every businessman


would be guided by his faith, and the duty of religion to call the
believers to stick to moral padamotivasi.
2. The Social Contract, as if human beings ever entering into a
contract that requires each of its members to adhere to moral norms,
and this contract binds us as human beings, so that no one can escape
from it.
3. The virtue, Plato and Aristotle, humans have to do good, precisely
because it is good. The good has intrinsic value, that is to say, good is
good for himself. Primacy as a permanent disposition to do good, is
the highest refinement of human nature. Man who behave ethically is
just as well, either as a whole and not according to a particular aspect.

CHAPTER II
Glance Ethical Theory

Business ethics is the application of ethical principles common to the


region specific human actors, namely the economic and business
activities. Concretely ethics often focussed on the deed. It could be
said also that the ethical theory helps us to assess the ethical
decisions.
However, any kind of decomposition is hampered by the difficulty that
fact on the theory of ethics. Here briefly discuss some of the theories
that today the most important in moral thinking, especially in business
ethics.
1. Benthamism
"Utilitarianism" utilis derived from the Latin word meaning "useful."
According to this theory of an act is good if it brings benefits, but the
benefits it must involve not just one or two people, but society as a
whole. Can be understood utilarisme emphasized the importance of
consequences of actions in assessing the merits of an action.
We can conclude that utilitarianism rules limit ourselves of the
justification of moral rules. Thus they are able to avoid the difficulties
of utilitarianism deed.
2. Deontology
The term Deontology (deontology) is derived from the Greek word
deon, which means obligations. Deontology then let go altogether
morality of the consequences of actions. Benthamism concerned with
the consequences of the act, while deontology consequences of
actions do not contribute at all.
3. Theory of Rights
In the thinking of today's moral rights theory this is probably the most
widely used approach to evaluate the merits of an act or behavior.
Actually, the theory of rights is an aspect of the theory dentiologi, as it
relates to liability.
4. Theory keutumaan
What is a virtue? Virtue may be defined as follows: position the
character who has acquired a person and allows him to behave
morally. There are many good qualities and all the virtues and all
virtues for everyone and for every activity. Among the virtues that
should mark the individual businessman can be called: honesty,
fairness, trust, and perseverance.
Honesty is generally recognized as the first and most important virtues
that should be owned by the business. People who have the virtue of
honesty will not lie or cheat in business transactions, even if fraud is
actually easy. Need to be recognized, about the virtues of honesty
sometimes there are difficulties too. Border line between honesty and
dishonesty can not always be drawn sharply.
The virtue of the second is fairness. English word is difficult to
translate into Indonesian. Often given a translation of "fairness" and
indeed fairness close to the understanding of "justice" but not the
same. Perhaps the translation is not too far off is: a reasonable
attitude. Fairness is a willingness to give what is fair to everyone with
semeua people and with "reasonable" meant what could be agreed by
everyone involved in a transaction.
Confidence (trust) also is the virtue that is critically important in a
business context. Trust must be placed in a reciprocal relationship.
There are several ways to secure trust. One way is to members of a
warranty or guarantee.
The virtue of the fourth is perseverance (Solomon uses the word
toughness). Businesses must persist in many difficult situations. He
should be able to negotiate the sometimes intriguing about the project
or transaction valued at large. He should be brave enough to risk big
or small, for the development of many factors can not be predicted in
advance.
Another virtue groups marking the company's business on the level. In
other words, these virtues owned by managers and employees in so
far as they represent the company. The fourth of these qualities are:
hospitality, loyalty, honor and shame.
The virtue is actually more suited to be described concretely than
outlined in the theoretical stage. In contemporary philosophy known
approach is often called the "narrative". That is, the philosophical truth
that would be discussed, not described theoretically, but told in an
instance or a concrete case. Compared to other theories, the theory of
virtue has the advantage again, as it allows to develop ethical
judgments more ethical. Theories based on the rules, in general, tend
to judge actions in terms of negative, meaning that they mainly
highlight unethical.

Anda mungkin juga menyukai