Oleh:
Lina Samhina
A1C014054
A. Pendahuluan
1. Latar Belakang
subsektor ini memiliki pertumbuhan yang cukup tinggi yakni sekitar 17.85% per
tahun (BPS. 2012). Peran subsektor perkebunan sebenarnya lebih besar karena
mempunyai keterkaitan yang erat dengan sektor industri yang menjadi subsistem
tengah dan hilir sehingga berpotensi meningkatkan nilai tambah. Salah satu
709.330 ton pada tahun 2014, setelah Pantai Gading yang produksinya 1.223.150 ton
(FAO). Dengan produksi sebesar itu, komoditi ini telah menyumbangkan devisa
ketiga terbesar di sektor perkebunan setelah komoditas kelapa sawit dan karet.
Selama tahun 1998 hingga 2011, luas areal perkebunan kakao tercatat mengalami
peningkatan sebesar 9% per tahun. Dari 1.746 juta hektar luas areal perkebunan
kakao, 94% dikelola oleh rakyat, selebihnya 3.1% dikelola pemerintah dan 2,9% oleh
melalui rekayasa proses dapat dihasilkan cokelat sebagai makanan yang disukai oleh
siapapun. Biji kakao mengandung lemak 31%, karbohidrat 14% dan protein 9%.
Protein cokelat kaya akan asam amino triptofan, fenilalanin, dan tyrosin. Meski
cokelat mengandung lemak tinggi namun relatif tidak mudah tengik karena cokelat
ketengikan. Kandungan lemak yang ada pada kakao juga bukan merupakan lemak
yang berbahaya karena berasal dari lemak nabati. Kakao dapat diolah menjadi
berbagai bentuk olahan coklat yang digemari oleh berbagai kalangan masyarakat.
juga mempunyai beberapa daerah yang menjadi pusat pengembangan kakao dan
olahan coklat, salah satunya di Jember, Jawa Timur, dengan didirikan Pusat
Penelitian Kopi dan Kakao. Hal ini memberi nilai tambah untuk pengembangan usaha
kakao.
Namun potensi yang tinggi ini tidak diimbangi dengan kualitas kakao yang
dihasilkan oleh petani Indonesia. Sebagian besar masalah yang terdapat biji kakao
Indonesia adalah: berjamur, banyak terdapat kotoran, tidak terfermentasi dengan baik
serta ukuran biji yang cukup besar defiasinya. Mutu biji kakao yang kurang bagus
akan berakibat pada mutu coklat sebagai makanan olahan yang berasal dari biji
kakao. Fermentasi yang dilakukan terhadap biji kakao sangat berpengaruh terhadap
rasa yang akan ditimbulkan. Perbedaan cara fermentasi itulah yang menimbulkan
berbagai rasa pada olahan coklat. Fermentasi yang baik akan menghasilkan mutu
olahan coklat yang berkualitas tinggi sehingga olahan coklat lokal dapat bersaing
potensi pengembangan usaha kakao dan kualitas kakao yang dihasilkan, maka
2. Tujuan
3. Manfaat
B. Kerangka Pemikiran
Jember bagian utara yang mempunyai topografi berbukit -bukit dan bergunung-
gunung, relatif baik untuk perkembangan tanaman keras dan tanaman perkebunan
lainnya. Topografi yang demikian mendukung tumbuhnya berbagai tanaman yang
bernilai ekonomis, salah satunya adalah kakao. Komoditi tanaman perkebunan kakao
di Jember, dari total luas areal 4.641 hektar, semua diusahakan oleh perusahaan
perkebunan, diantaranya: PTPN XII mengelola 4 kebun dengan luas 3.914 hektar,
PDP mengelola 3 kebun seluas 216 hektar, dan pihak swasta lainnya mengelola
sebanyak 5 kebun dengan luas areal 511 hektar. Dalam setiap hektarnya produktivitas
tanaman perkebunan kakao yang dikelola oleh PTPN XII mencapai 3,27 ton. Sedang
yang dikelola oleh PDP dan swasta masing-masing mencapai 4,93 ton dan 7,67 ton.
oleh karena itu bayak masyarakat Jember yang bekerja sebagai petani kakao. Namun
pemahaman petani kakao masih kurang untuk menghasilkan kakao yang berkualitas
tinggi agar biji kakao dan olahannya dapt bersaing di kancah internasional. Upaya
cara intensifikasi dan perluasan wilayah. Selain itu, pemberian sosialisasi terhadap
petani kakao juga sudah dilakukan agar petani kakao tidak sembarang memberikan
umum tentang bagaimana keadaan perkebunan kakao di Jember. Jika analisis usaha
sudah dilakukan, maka dapat diketahui akar permasalahan dari usaha ini sehingga
jika permasalahan ini dapat ditemukan solusinya, maka petani kakao dan masyarakat
1. Pendekatan Studi
tentang rantai nilai usaha kakao di Majene, mulai dari rantai nilai input sampai
induktif akan terbentuk interprestasi dan pemahaman makna rantai nilai kakao dan
masalah pengembangan iklim usaha maupun interaksi antar stakeholder yang terlibat.
Untuk maksud itu pula, penelitian ini bertipikal deskriptif yaitu menggambarkan dan
2. Metode
Pengumpulan data primer dalam studi ini dilakukan melalui dua cara yaitu: 1)
kualitatif yakni dengan metode analisis rantai nilai. Porter (2001), mendefi nisikan
Analisis Rantai Nilai (Value Chain Analysis) sebagai alat untuk memahami rantai
nilai yang membentuk suatu produk. Rantai nilai ini berasal dari aktifi tas-aktifi tas
yang dilakukan, mulai dari bahan baku dari pemasok hingga produk Jember
pencaharian utama masyarakat Jember. Peran petani masih belum optimal dan posisi
tawar petani masih rendah. Efisiensi rantai nilai kakao melalui optimalisasi peran
termasuk juga pelayanan purna jual. Tujuan dari analisis rantai nilai adalah untuk
mengidentifi kasi tahap-tahap rantai nilai dimana pelaku rantai nilai dapat
mengefisienkan kerja.