Anda di halaman 1dari 7

MATERI SMARTREN 11 – 1442 H SMK NEGERI 11 BANDUNG

MATERI H 4-A – 6 MEI 2021

Tentang :

AKHLAK/ETIKA/ADAB SHAUM
Imam Izzuddin bin Abdissalam al-Sulami membahas tentang adab atau etika yang harus dijaga bagi orang
yang berpuasa. Imam Izzuddin al-Sulami mengelompokkannya dalam enam bagian, yaitu:
(1) Hifdh al-Lisân wa al-Jawârih ‘an al-Mukhâlafah (Menjaga Lisan dan Seluruh Tubuh dari Ketidaktaatan)
Pertimbangan puasa seharusnya tidak sekedar soal sah dan tidak sah, tapi juga harus mempertimbangkan
segala aspek etika ibadah dalam melaksanakannya. Rasulullah SAW bersabda:

“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan perbuatan dusta, maka Allah tidak
membutuhkannya dalam meninggalkan makan dan minum (puasa).” (HR. Imam Bukhari) Imam Izzuddin
al-Sulami menjadikan hadis tersebut sebagai landasan logis pentingnya adab dalam menjalankan puasa,
bahwa puasa tidak melulu soal lapar dan haus, tapi juga soal menjaga lisan dan seluruh anggota tubuh
dari perbuatan jahat, dusta dan lain sebagainya.

(2) Mengatakan “Saya Berpuasa” ketika Diundang atau Ditawari Makan Mengucapkan, “anâ shâ’imun—
saya berpuasa,” ketika diundang atau ditawari makanan mengandung makna yang dalam, meski terkesan
ringan, perkataan tersebut dapat menyelamatkan kedua belah pihak sekaligus; orang yang menawari dan
orang yang ditawari. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Jika salah satu dari kalian diundang makan padahal tengah berpuasa, hendaklah katakan “saya
berpuasa.” (HR. Imam Muslim) Imam Izzuddin memandang perkataan “anâ shâ’imun” sebagai bentuk
“i’tidzâr”, yaitu permohonan maaf dengan mengemukakan alasan tertentu. Tujuannya untuk menjaga
perasaan orang yang mengundang (Imam Izzuddin bin Abdissalam al-Sulami, Maqâshid al-Shaum, hlm 20).
Jika orang yang diundang diam saja (tidak mengiyakan dan menolak), atau tidak hadir tanpa memberi
alasan, atau langsung menolak tanpa mengemukakan alasannya, bagaimana perasaan orang yang
mengundangnya itu. Dalam hal ini, Rasulullah SAW seakan-akan hendak mengajarkan, “jangan jadikan
ibadahmu menjadi sebab sakitnya perasaan saudaramu.” Selain itu, Imam Izzuddin al-Sulami juga
membolehkan solusi lain jika takut terjadi riya, “fain khâfar riyâ’ warra bi ‘udzrin âkhar—jika takut terjadi
riya, maka sembunyikan dengan mencari alasan lainnya.” (Imam Izzuddin bin Abdissalam al-Sulami,
Maqâshid al-Shaum, hlm 20). Tentunya dengan cara tidak berbohong.

(3) Berdoa ketika Berbuka Imam Izzuddin bin Abdissalam al-Sulami memberikan tiga alternatif doa
Rasulullah bagi orang yang hendak berbuka puasa (Imam Izzuddin bin Abdissalam al-Sulami, Maqâshid al-
Shaum, hlm 20). Berikut tiga doa pilihan beliau:

“Telah hilang dahaga, basahlah kerongkongan, semoga ada pahala yang ditetapkan jika Allah
menghendaki.” (HR. Imam Abu Dawud dan Imam al-Nasai)

“Untukmulah aku berpuasa, dan atas rizkimu aku berbuka.” (HR. Imam Abdullah bin Mubarak, Imam Ibnu
Abi Syaibah, Imam Abu Dawud dan Imam al-Baihaqi)

“Segala puji milik Allah yang menolongku maka aku dapat berpuasa dan memberiku rizki maka aku bisa
berbuka.” (HR. Imam Sunni dan Imam al-Baihaqi) Berdoa itu sangat penting, karena bisa menyegarkan
kembali kesadaran kita sebagai makhluk yang tidak berdaya apa-apa. Doa adalah bukti dari kemakhlukan
kita. Dengan meminta, kita sedang mengikrarkan ketidakberdayaan kita kepadaNya. Doa juga berfungsi
untuk memastikan pahala puasa kita, karena selama berpuasa kita pasti pernah berbuat salah, paling tidak
menggerutu atau tidak senang terhadap sesuatu. Dengan berdoa (doa pertama), kita memohon agar Allah
menerima amal kita dan membalasnya dengan pahala.

(4) Mengawali Buka dengan Makanan Tertentu Imam Izzuddin al-Sulami membuat daftar urut makanan
yang paling baik untuk berbuka. Beliau menyarankan untuk berbuka dengan memakan “ruthab” (kurma
matang basah), atau “tamr” (kurma matang kering), jika tidak ada awalilah buka dengan air (Syekh
Izzuddin bin Abdissalam al-Sulami, Maqâshid al-Shaum, hlm 21). Daftar urut ini beliau ambil dari kebiasaan
Nabi Muhammad SAW. Dalam satu riwayat dikatakan:

“Nabi SAW berbuka dengan berberapa butir kurma basah sebelum shalat, jika tidak ada maka berbuka
dengan kurma kering, dan jika tidak ada maka berbuka dengan beberapa teguk air.” (HR. Imam Ahmad,
Imam Abu Dawud dan Imam Tirmidzi) Dalam riwayat lain dikatakan:

“Jika salah satu dari kalian berpuasa, berbukalah dengan kurma kering, jika tidak menemukannya,
berbukalah dengan air, sesungguhnya air itu mensucikan.” (HR. Imam Abu Dawud, Imam al-Nasa’i, dan
Imam Ibnu Majah) Ada beberapa tanaman dan buah-buahan yang tidak bisa tumbuh di semua tempat,
termasuk kurma. Tidak semua orang dapat menyediakan kurma di saat berbuka dan sahur. Inilah
menariknya, karena Rasulullah menjadikan air sebagai standar akhirnya. Air ada di mana-mana, sekedar
volumenya saja yang berbeda-beda. Karena air adalah sumber kehidupan, dan manusia tidak bisa hidup
tanpa air. Di samping itu, Rasulullah memberikan penjelasakan bahwa “air” itu menyucikan (thahûrun)
dan menggunakan kata, “fa in lam yakun—jika tidak ada” dan “fa in lam yazid—jika tidak
menemukannya.” Ini berarti bahwa berbuka dengan makanan dan minuman apapun selama halal dan suci
bisa juga termasuk dalam kategori sunnah. Karena itu tadi, selain tidak semua tempat dapat ditumbuhi
kurma, ada juga faktor kemampuan ekonomi dalam menyediakan makanan.

(5) Ta’jîl al-Fithr (Menyegerakan Berbuka) Dasar dari memasukkan “ta’jîl al-fithr” dalam adab-adab
berpuasa adalah hadis qudsi yang mengatakan:

“Hambaku yang paling kucintai adalah yang paling menyegerakan berbuka.” (HR. Imam Ahmad dan Imam
Tirmidzi) Menyegerakan berbuka sangat dianjurkan (sunnah) untuk orang yang berpuasa. Setelah
setengah hari memenuhi hak ruhani (makanan spiritual) dengan berpuasa, maka menyegerakan berbuka
sebagai pemenuhan hak jasmani (tubuh) merupakan ibadah yang disunnahkan. Menunda pemenuhan
hak terhadap sesuatu adalah hutang. Orang yang menunda pembayaran hak meskipun dia mampu telah
berbuat aniaya terhadap tubuhnya sendiri. Imam Izzuddin al-Sulami bercerita bahwa ada ulama zaman
dulu yang makan di pasar (berbuka), beberapa orang bertanya kenapa tidak makan di rumah saja. Ulama
itu menjawab dengan hadis (HR. Imam Bukhari): “mathl al-ghinâ dhulmun—penundaan pembayaran
hutang oleh orang yang kaya/mampu adalah kezaliman.” (Syekh Izzuddin bin Abdissalam al-Sulami,
Maqâshid al-Shaum, hlm 23). Artinya, menunda-nunda berbuka yang dipandang sebagai utang jasmani
ketika dia mampu adalah kezaliman.

(6) Ta’khîr al-Sahûr (Mengakhirkan Sahur) Salah satu riwayat dari ‘Amr bin Maimun rahimahu Allah
mengatakan:

“Para sahabat Nabi Muhammad SAW adalah orang yang paling menyegerakan buka puasa dan yang
paling mengakhirkan sahur.” (HR. Imam Baihaqi dan Imam al-Thabrani) Imam Izzuddin berpendapat
bahwa mengakhirkan sahur dapat memperkuat puasa (innamâ akhkharas sahûr li yutaqawwa bihi ‘alâs
shaum) dan waktu sebelum sahur bisa digunakan untuk memperbanyak ibadah (fatuq’idahu ‘an katsîr
minat thâ’ât) (Syekh Izzuddin bin Abdissalam al-Sulami, Maqâshid al-Shaum, hlm 22). Selain itu,
mengakhirkan sahur dapat mengamankan kewajiban lainnya, yaitu shalat shubuh. Tidak sedikit orang
yang sahur jauh sebelum waktunya memilih tidur kembali dan melewatkan shalat shubuh. Semoga kita
tidak ya. Wallahu a’lam bish shawwab..

Shaum Ramadhan dari Perspektif Akhlak

Pertama, shaum adalah sarana tarbiyah (pendidikan) dalam menanamkan akhlak mulia, yakni sifat-sifat
takwa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Seorang hamba belum mencapai derajat takwa sehingga ia meninggalkan sesuatu yg mubah (boleh)
sebagai bentuk kehati-hatian dari sesuatu yg dilarang.” (HR. Ibnu Majah)
Kedua, shaum melatih manusia agar menghindari qaula zur (dusta, sumpah palsu, ghibah, mengadu
domba, mencaci, mencela, dll). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan umatnya tentang
shaum yang sebenarnya,

“Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan dusta, mengamalkannya dan bersikap bodoh, maka Allah
tidak butuh terhadap sikapnya meninggalkan makan dan minumnya (puasanya)” (HR. Bukhari dan Abu
Daud; lafazh hadits ini milik Abu Daud)

Ketiga, shaum melatih manusia agar menghindari Makanan-minuman yang Haram.

Allah Ta’ala berfirman,

“Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan
bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.”(QS. Al-Maidah, 5: 88)

“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan
janganlah berlebih- lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.”
(QS. Al-A’raf, 7: 31)

Di bulan Ramadhan umat Islam menahan diri dari makanan dan minuman halal di siang hari. Ini adalah
bagian dari latihan jiwa agar manusia terbiasa menahan dirinya, terlebih lagi terhadap makanan dan
minuman yang haram.

Keempat, shaum melatih manusia agar menghindari zina. Allah Ta’ala berfirman,
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu
jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra, 17: 32)

Menjauhi perbuatan zina dapat dilakukan dengan sempurna manakala kita mampu menghindari hal-hal
yang dapat menghantarkan kepada zina, seperti: melihat dan menyentuh lawan jenis yang bukan
mahram, berkhalwat, dan lain-lain. Saat melaksanakan shaum di bulan Ramadhan, umat Islam dilatih
untuk menghindari hal-hal seperti ini.

Kelima, menanamkan kepedulian. Perhatikanlah hadits berikut ini,

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri untuk menyucikan orang yang berpuasa
dari perkara yang sia-sia dan perkataan yang keji sekaligus sebagai makanan bagi orang-orang miskin…”
(HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)

Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, menceritakan:

“Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah manusia yang paling dermawan, dan kedermawanannya
semakin menjadi-jadi saat Ramadhan apalagi ketika Jibril menemuinya. Dan, Jibril menemuinya setiap
malam bulan Ramadhan dia bertadarus Al Quran bersamanya. Maka, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam benar-benar sangat dermawan dengan kebaikan laksana angin yang berhembus.” (HR. Bukhari
No. 3220)

Dari Zaid bin Khalid Al-Juhani radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

“Barang siapa yang memberikan makanan untuk berbuka bagi orang berpuasa maka dia akan
mendapatkan pahala sebagaimana orang tersebut, tanpa mengurangi sedikit pun pahala orang itu.” (HR.
At-Tirmidzi No. 807)

Anda mungkin juga menyukai