Anda di halaman 1dari 9

TIFOID

DISUSUN OLEH KELOMPOK 3


ANGGOTA :
1. Nadia Hasibuan
2. Fitri Nova Hutasoit
3. Lamtiur Ciolia Manalu
4. Mina Sarida Siregar
5. Rosanty Simamora
6. Roland Sinaga
7. Roni Aritonang

DOSEN PEMBIMBING : Gloria N Tambunan S.Kep Ns MKM


Mata Kuliah : KMB I

STIKes KESEHATAN BARU DOLOKSANGGUL PRODI DIII


KEPERAWATAN JALAN BUKIT INSPIRASI
SIPALAKKIKABUPATEN HUMBANG
HASUNDUTAN
T.A 2020/2021
PENYAKIT TIFOID

A. DEFENISI
Demam tifoid (Tifus abdominalis, enteric fever) ialah penyakit infeksi akut yang biasanya
terdapat pada saluran cerna dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada
saluran pencernaan dengan atau tanpa gangguan kesadaran (Astuti, 2013).
Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut pada usus halus yang
disebabkan oleh Salmonella enterica serotype typhi (Salmonella typhi) (Widodo, 2006).
Kelompok penyakit menular ini merupakan penyakit yang mudah menular dan dapat menyerang
banyak orang sehingga dapat menimbulkan wabah. Faktor- faktor yang mempengaruhi adalah
daya tahan tubuh, higienitas, umur, dan jenis kelamin. Infeksi demam tifoid ditandai dengan
bakterimia, perubahan pada sistem retikuloendotelial yang bersifat difus, pembentukan
mikroabses, dan ulserasi plaque peyeri di distal ileum (Putra, 2012). Beberapa terminologi lain
yang erat kaitannya adalah demam paratifoid dan demam enterik. Demam paratifoid secara
patologik maupun klinis adalah sama dengan demam tifoid namun biasanya lebih ringan,
penyakit ini disebabkan oleh spesies Salmonella enteriditis, sedangkan demam enterik dipakai
pada demam tifoid maupun demam paratifoid (Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
2008).

B. PATOFISIOLOGI
Patogenesis demam tifoid merupakan proses yang kompleks yang melalui beberapa
tahapan. Kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi masuk ke dalam tubuh melalui
makanan yang terkontaminasi. Setelah kuman Salmonella typhi tertelan, kuman tersebut dapat
bertahan terhadap asam lambung dan masuk ke dalam tubuh melalui mukosa usus pada ileum
terminalis. Jika respon imunitas humoral usus kurang baik, kuman akan menembus sel-sel epitel
usus dan lamina propina. Di Lamina propina kuman berkembang biak dan di fagosit oleh sel-sel
fagosit tertutama makrofag (Widodo et al 2014 :549).
Bakteremia primer terjadi pada tahap ini dan biasanya tidak didapatkan gejala dan kultur
darah biasanya masih memberikan hasil yang negatif. Periode inkubasi ini terjadi selama 7-14
hari. Bakteri dalam pembuluh darah ini akan menyebar ke seluruh tubuh dan berkolonisasi dalam
organ-organ sistem retikuloendotelial, yakni di hati, limpa, dan sumsum tulang. Kuman juga
dapat melakukan replikasi dalam makrofag. Setelah periode replikasi, kuman akan disebarkan
kembali ke dalam system peredaran darah dan menyebabkan bakteremia sekunder sekaligus
menandai berakhirnya periode inkubasi. Bakteremia sekunder menimbulkan gejala klinis seperti
demam, sakit kepala dan nyeri abdomen.
Bakteremia dapat menetap selama beberapa minggu bila tidak diobati dengan antibiotik.
Pada tahapan ini, bakteri tersebar luas di hati, limpa, sumsum tulang, kandung empedu dan
Peyer’s patches di mukosa ileum terminal. Ulserasi pada Peyer’s patches dapat terjadi melalui
proses inflamasi yang mengakibatkan nekrosis dan iskemia. Komplikasi perdarahan dan
perforasi usus dapat menyusul ulserasi. Kekambuhan dapat terjadi bila kuman masih menetap
dalam organ-organ sistem retikuloendotelial dan berkesempatan untuk berproliferasi kembali
(Nelwan, 2012).

C.TANDA DAN GEJALA


Pada umumnya, masa inkubasi bakteri penyebab tifus adalah 7–14 hari, namun bisa lebih
pendek, yaitu sekitar tiga hari atau lebih panjang hingga 30 hari. Masa ini dihitung dari saat
bakteri masuk ke dalam tubuh sampai menimbulkan gejala awal.
Secara umum, berikut ini adalah gejala-gejala tipes:

 Demam yang meningkat secara bertahap tiap hari hingga mencapai 39°C–40°C dan akan
lebih tinggi pada malam hari
 Nyeri otot
 Sakit kepala
 Merasa tidak enak badan
 Pembesaran ginjal dan hati
 Kelelahan dan lemas
 Berkeringat
 Batuk kering
 Penurunan berat badan
 Sakit perut
 Kehilangan nafsu makan
 Anak-anak sering mengalami diare, sementara orang dewasa cenderung
mengalami konstipasi
 Muncul ruam pada kulit berupa bintik-bintik kecil berwarna merah muda
 Linglung, merasa tidak tahu sedang berada di mana dan apa yang sedang terjadi di sekitar
dirinya

D.TES DIAGNOSTIK
Penegakan diagnosis sedini mungkin sangat bermanfaat agar bisa diberikan terapi yang
tepat. Pengetahuan gambaran klinis penyakit ini sangat penting untuk membantu mendeteksi
secara dini. Walaupun pada kasus tertentu, dibutuhkan pemeriksaan tambahan untuk membantu
menegakkan diagnosis yang berupa pemeriksaan rutin, uji widal, dan kultur darah (Widodo,
2006).
Pada pemeriksaan rutin sering ditemukan hitung leukosit rendah (leukopenia), anemia
ringan, jumlah trombosit menurun (trombositopenia), laju endap darah (LED) pada demam tifoid
dapat meningkat, SGOT dan SGPT sering meningkat (Widodo, 2006), dan hitung jenis neutrofil
rendah (neutropenia) dengan limfositosis relatif (Astuti, 2013).
Widal digunakan untuk mendeteksi antibodi di dalam darah terhadap antigen bakteri
Salmonella typhi atau paratyphi. Pada uji ini, hasil dikatakan positif jika terjadi reaksi aglutinasi
antara antigen dengan antibodi yang disebut aglutinin. Oleh karena itu, antibodi jenis ini dikenal
sebagai febrile aglutinin. Hasil positif palsu dapat disebabkan karena riwayat vaksinasi, reaksi
silang dengan spesies lain (Enterobacteriaceac sp), reaksi anamnestik (pernah sakit), dan adanya
faktor reumatoid (RF). Hasil negatif palsu dapat disebabkan karena sudah mendapatkan terapi
antibiotik, waktu pengambilan darah kurang dari 1 minggu sakit, keadaan umum buruk, dan
adanya penyakit imun lain (Astuti, 2013).
Pada pemeriksaan uji widal, yang digunakan untuk diagnosis demam tifoid adalah hanya
aglutinin O dan H. Semakin tinggi titernya, semakin besar terjadinya kemungkinan terinfeksi
kuman ini. Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam, kemudian
meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu ke-empat, dan tetap tinggi selama
beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul aglutinin O, dan kemudian diikuti dengan
aglutinin H (Widodo, 2006).
Saat ini walaupun uji widal telah digunakan secara luas, namun belum ada kesepakatan
akan nilai standar aglutinasi (cut-off point) (Hosoglu, Bosnak, Akalin, Geyik, Ayaz, 2008). Nilai
standar agglutinin Widal untuk beberapa wilayah endemis di Indonesia adalah di Yogyakarta
titer O > 1/160, Manado titer O > 1/80, Jakarta titer O > 1/80, Maksaar titer O > 1/320
(Rachman, 2011). Jika titer O sekali periksa ≥ 1/200 atau terjadi kenaikan titer 4 ka li, diagnosis
demam tifoid dapat ditegakkan (Astuti, 2013).
Hasil pemeriksaan tes widal dianggap positif mempunyai arti klinis sebagai berikut (Koasih,
1984): a. Titer antigen O sampai 1/80 pada awal penyakit berarti suspek demam tifoid, kecuali
pasien yang telah mendapat vaksinasi. b. Titer antigen O diatas 1/60 berarti indikasi kuat
terhadap demam tifoid c. Titer antigen H sampai 1/40 berarti suspek terhadap demam tifoid,
kecuali pada pasien yang divaksinasi jauh lebih tinggi. d. Titer antigen H diatas 1/80 memberi
indikasi adanya demam tifoid Tanda dan gejala yang tidak spesifik membuat diagnosis klinis
demam tifoid menjadi sulit.
Kultur darah adalah metode diagnosis standar yang hasilnya positif 60-80 % pada pasien
tifoid. Sensitivitas dari kultur darah lebih tinggi pada minggu pertama sakit. Kultur sumsum
tulang lebih sensitif hasilnya 80-95% pada pasien tifoid. Pada kultur feses, hasilnya positif 30%
pada pasien dengan akut demam tifoid (Parry et al, 2002). Selain dari kultur yang positif, tidak
ada tes laboratorium lain untuk diagnosis demam tifoid. Leukopenia dan neutropenia terdetekasi
15-25% pada kasus. Diagnosis defenitif demam tifoid dengan isolasi dari Salmonella typhi atau
Salmonella paratyphi dari darah, sumsum tulang, rose spots¸ dan feses. Sensitivitas dari kultur
darah mencapai 90% selama minggu pertama terinfeksi dan menurun sampai 50% pada minggu
ketiga. Sensitivitas kultur sumsum tulang mencapai 90%. Ada juga tes serologi termasuk The
classic Widal test (Fauci et al, 2008).

E.PENATALAKSANAAN
Tatalaksana demam tifoid pada anak dibagi atas dua bagian besar, yaitu tatalaksana umum
yang bersifat suportif dan tatalaksana khusus berupa pemberian antibiotik sebagai pengobatan
kausal. Tatalaksana demam tifoid juga bukan hanya tatalaksana yang ditujukan kepada penderita
penyakit tersebut, namun juga ditujukan kepada penderita karier salmonella typhi, pencegahan
pada anak berupa pemberian imunisasi tifoid dan profilaksis bagi traveller dari daerah non
endemik ke daerah yang endemik demam tifoid.9 1. Tatalaksana umum Tatalaksana umum
(suportif) merupakan hal yang sangat penting dalam menangani demam tifoid selain tatalaksana
utama berupa pemberian antibiotik. Pemberian rehidrasi oral ataupun parenteral, penggunaan
antipiretik, pemberian nutrisi yang adekuat serta transfusi darah bila ada indikasi, merupakan
tatalaksana yang ikut memperbaiki kualitas hidup seorang anak penderita demam tifoid. Gejala
demam tifoid pada anak lebih ringan dibanding orang dewasa, karena itu 90 % pasien demam
tifoid anak tanpa komplikasi, tidak perlu dirawat di rumah sakit dan dengan pengobatan oral
serta istirahat baring di rumah sudah cukup untuk mengembalikan kondisi anak menjadi sehat
dari penyakit tersebut.9 2. Tatalaksana antibiotik Pemilihan obat antibiotik lini pertama
pengobatan demam tifoid pada anak di negara berkembang didasarkan pada faktor efikasi,
ketersediaan dan biaya. Berdasarkan ketiga faktor tersebut, kloramfenikol masih menjadi obat
pilihan pertama pengobatan demam tifoid pada anak, terutama di negara berkembang. Hal ini
berbeda dengan dewasa, dimana obat antibiotik lini pertamanya adalah pilihan terapi antibiotik
untuk demam tifoid golongan fluorokuinolon, seperti ofloksasin, siprofloksasin, levofloksasin
atau gatifloksasin.
F. PENCEGAHAN
Secara umum, untuk memperkecil kemungkinan tercemar S. typhi, maka setiap individu
harus memperhatikan kualitas makanan dan minuman yang mereka konsumsi. S. typhi akan mati
dalam air yang dipanaskan setinggi 57o C dalam beberapa menit atau dengan prose iodinasi/
klorinasi. Vaksinasi atau imunisasi memberikan pendidikan kesehatan dan pemeriksaan
kesehatan secara berkala terhadap penyaji makanan baik pada industri makanan maupun restoran
dapat berpengaruh terhadap penurunan angka kejadian demam tifoid (Soedarno, Garna,
Hadinegoro, 2012).
Pencegahan primer dapat dilakukan dengan cara imunisasi dengan vaksin yang dibuat dari
strain Salmonella typhi yang dilemahkan, mengkonsumsi makanan sehat, memberikan
pendidikan kesehatan untuk menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat dengan budaya cuci
tangan yang benar dan memakai sabun, meningkatkan higiene makanan dan minuman, dan
perbaikan sanitasi lingkungan. Di Indonesia terdapat tiga jenis vaksin tifoid, yaitu: 1. Vaksin oral
Ty 21 a Vivotif Berna 2. Vaksin parenteral sel utuh 3. Vaksin polisakarida Typhin Vi Aventis
Pasteur Merrieux.
Pencegahan sekunder dilakukan dengan mendiagnosa penyakit secara dini dan mengadakan
pengobatan yang cepat dan tepat.
Pencegahan tersier adalah upaya yang dilakukan untuk mengurangi keparahan akibat
komplikasi. Apabila telah sembuh sebaiknya tetap menerapkan pola hidup sehat dan pada
penderita carier perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium pasca penyembuhan (Harahap, 2011).
Pencegahan demam tifoid melalui gerakan nasional sangat diperlukan karena akan berdampak
cukup besar terhadap penurunan kesakitan dan kematian akibat demam tifoid. Tindakan
preventif dan kontrol penularan kasus luar biasa (KLB) demam tifoid mencakup banyak aspek,
mulai dari segi kuman S. typhi sebagai agen penyakit dan faktor pejamu (host) serta faktor
lingkungan (Widodo, 2006).

Di Indonesia terdapat tiga jenis vaksin tifoid, yaitu:


1. Vaksin oral
Vaksin ini diberikan pada usia 6 tahun ke atas dalam 3 dosis. Masing-masing dosis diberi
jarak 2 hari (hari ke- 1, 3 dan 5). Vaksin keempat dapat diberikan pada hari ke-7 terutama bagi
wisatawan.

2. Vaksin Parenteral
Merupakan seluruh sel Salmonella typhi yang dimatikan dengan aseton atau yang dipanasi
dengan phenol sebagai bahan pengawet. Vaksin parenteral ini memberi daya perlindungan yang
bervariasi di berbagai negara.

3. Vaksin polisakarida Typhin Vi Aventis Pasteur Merrieux


Vaksin ini diberikan pada usia 2 tahun ke atas, dengan diinjeksikan secara intramuskular
atau subkutan
Imunisasi ini diulang tiap 3 tahun.

G. PROGRAM PEMERINTAH
Berdasarkan Permenkes Nomor 1144/MENKES/PER/VIII/2010 tentang Struktur Organisasi
Kementerian Kesehatan, program pengendalian tifoid di tingkat kementerian merupakan
tanggung jawab Ditjen PP dan PL, Kementerian Kesehatan RI, sedangkan pelaksana program
adalah dinas kesehatan Program Pengendalian Demam Tifoid... (Ivan Elisabeth Purba,
et.al.)provinsi, dinas kesehatan kabupaten/ kota, dan fasilitas pelayanan kesehatan
(fasyankes) seperti puskesmas dan rumah sakit di seluruh Indonesia.

Tujuan pengendalian tifoid di Indonesia, yaitu:

1) Meningkatkan upaya pencegahan tifoid terutama pada kelompok masyarakat berisiko tinggi;
2) Meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang tifoid; serta 3) Menurunkan
angka kesakitan dan kematian. Secara umum pengendalian tifoid didasari oleh 3 pilar: 1) Peran
pemerintah melalui pengembangan dan penguatan kegiatan pokok pengendalian tifoid; 2)
Peran masyarakat sipil melalui pengembangan dan penguatan jejaring kerja pengendalian
tifoid; dan 3) Peran masyarakat melalui pengembangan dan penguatan kegiatan pencegahan
dan penanggulangan tifoid berbasis masyarakat.10 Kegiatan pokok pengendalian tifoid,
meliputi: 1) Melaksanakan review dan memperkuat aspek legal pengendalian tifoid; 2)
Melaksanakan advokasi dan sosialisasi termasuk Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE); 3)
Melaksanakan kegiatan pencegahan karier, relaps dan resistensi tifoid; 4) Melaksanakan
kegiatan perlindungan khusus (vaksinasi tifoid); 5) Melaksanakan deteksi dini karier tifoid; 6)
Melaksanakan pengamatan tifoid; 7) Memperkuat Sumber Daya Manusia (SDM); 8)
Memperkuat pengelolaan logistik pengendalian tifoid; 9) Melaksanakan supervisi dan
bimbingan teknis; 10) Melaksanakan montoring dan evaluasi, dan 11) Melaksanakan kegiatan
pencatatan dan pelaporan.

Untuk penanganan penderita tifoid antara lain mengacu pada Kepmenkes Nomor
365/MENKES/SK/V/2006 tentang Pedoman Pengendalian Demam Tifoid dan Buku Pedoman
Pengobatan di Puskesmas. Hasil kajian menunjukkan bahwa kegiatan pengendalian tifoid belum
dapat dilaksanakan secara optimal, karena berbagai permasalahan dalam program
pengendalian tifoid di Indonesia, antara lain keterbatasan anggaran yang tersedia di Ditjen PP
dan PL dan belum semua kabupaten/ kota menyediakan anggaran khusus untuk pengendalian
tifoid. Tantangan yang dihadapi dalam program pengendalian tifoid di Indonesia dalam
mencegah dan menurunkan angka kesakitan tifoid, yaitu: 1) Meningkatnya kasus-kasus karier
atau relaps dan resistensi4 2) Vaksinasi tifoid belum merupakan program imunisasi nasional di
Indonesia; 3) Masih rendahnya akses keluarga terhadap air bersih; 4) Rendahnya Perilaku Hidup
Bersih dan Sehat (PHBS) masyarakat dan terbatasnya ketersediaan sanitasi yang baik, 5) Masih
tingginya angka kemiskinan, 6) Banyaknya tempat-tempat penjualan makanan yang belum
memenuhi syarat kesehatan; dan 7) Meningkatnya arus transportasi dan perjalanan penduduk
dengan berbagai tujuan dari satu daerah/ negara ke daerah/ negara lain, sehingga membawa
konsekuensi meningkatkan risiko penularan tifoid sekaligus mempersulit upaya
pengendaliannya.Walaupun berbagai permasalahan dan tantangan yang dihadapi dalam
program pengendalian tifoid di Indonesia, namun beberapa peluang dapat dimanfaatkan dalam
melakukan pencegahan dan menurunkan angka kesakitan tifoid, yaitu: 1) Peran pemerintah
dalam program pengendalian tifoid; 2) Pengembangan kegiatan pemberian perlindungan
khusus (vaksinasi) yang lebih luas di Indonesia; 3) Peran agen perjalan dalam pencegahan tifoid
pada wisatawan; 4) Peran jejaring kerja dalam program pengendalian tifoid; 5) Peran
masyarakat dalam program pengendalian tifoid; 6) Akreditasi rumah sakit; dan 7) Peran Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dalam pengobatan penderita tifoid. PembahasanDi
negara-negara maju seperti di Eropa, tidak ditemukan informasi yang memadai tentang
program pengendalian tifoid. Mengingat faktor risiko kejadian tifoid seperti akses air besih,
higiene, dan sanitasi, serta kemiskinan bukan merupakan masalah, maka pencegahan tifoid
lebih difokuskan pada pemberian vaksinasi pada wisatawan yang berkunjung ke negara-negara
endemis tifoid dengan melakukan vaksinasi.16 Negara lain seperti Fiji, program pengendalian
tifoid yang dikembangkan antara lain melakukan skrining tifoid berbasis serologi,
mengoptimalkan pasokan air di desa, penyimpanan dan pengolahan air rumah tangga dan
penyediaan sarana sanitasi yang memenuhi syarat kesehatan, melakukan penyuluhan tentang
pencegahan tifoid, pelatihan tenaga kesehatan, dan vaksinasi tifoid.17 Di India, dikembangkan
kegiatan surveilans tifoid pada semua kelompok umur sebagai bagian dari program integrasi
surveilans. Di Thailand, kegiatan surveilans dilakukan untuk semua kelompok umur terintegrasi
dengan surveilans penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi.

Tifoid sangat mudah dicegah dengan perubahan perilaku masyarakat dan ketersediaan
fasilitas sanitasi yang baik. Namun merubah perilaku masyarakat tersebut tidaklah mudah. Dari
298.595 keluarga di Indonesia tahun 2013, 52,8% tidak melakukan cuci tangan dengan benar,
yaitu dengan air mengalir dan menggunakan sabun.12 Selain itu, hanya 70,1% rumah tangga
yang melakukan pengolahan air sebelum diminum, yaitu dengan cara dimasak, dijemur di
bawah sinar matahari, menambahkan larutan tawas, disaring dan ditambah larutan.
SUMBER:
http://eprints.poltekkesjogja.ac.id/1005/3/3.Chapter1.pdf
http://eprints.ums.ac.id/16124/2/bab_1.pdf
https://www.alodokter.com/tifus/gejala

Anda mungkin juga menyukai