Anda di halaman 1dari 233

Judul:

Prosiding Seminar Perikanan Tangkap ke-8


“Arah Pembangunan Perikanan Tangkap Masa Depan: Pendekatan Transdisiplin
untuk Pengembangan Perikanan Tangkap Berkelanjutan”

Editor:
Dr Ir Darmawan, MAMA
Prof Dr Ir Tri Wiji Nurani, MSi

Penata Isi:
Nurani Khoerunnisa, SPi

Desain Sampul
Dwi Putra Yuwandana, SPi, MSi

Jumlah Halaman:
219 hal + 5 hal romawi

Penerbit
Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor
Jl. Agatis, Kampus IPB Darmaga, Bogor
Fax: (0251) 8622935
Web: https://psp.fpik.ipb.ac.id

ISBN 978-979-1225-37-3

©2020, HAK CIPTA DILINDUNGI OLEH UNDANG-UNDANG


Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku tanpa izin
tertulis dari penerbit
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8

“ARAH PEMBANGUNAN PERIKANAN TANGKAP MASA


DEPAN: PENDEKATAN TRANSDISIPLIN UNTUK
PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP
BERKELANJUTAN”

IPB International Convention Center - Bogor, 17 Oktober 2019

Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan


Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor
PENGANTAR

Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8 ini bertema "Arah Pembangunan


Perikanan Tangkap Masa Depan: Pendekatan Transdisiplin untuk Pengembangan
Perikanan Tangkap Berkelanjutan". Tema ini merupakan tanggapan Departemen
Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan FPIK IPB University dan Forum Komunikasi
Kemitraan Perikanan Tangkap (FK2PT) terhadap perkembangan terkini perikanan
tangkap nasional dan regional yang memerlukan perhatian dari berbagai kalangan,
baik kalangan akademisi, bisnis maupun pemerintahan dan kelompok masyarakat.
Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8 telah diselenggarakan pada Kamis, 17
Oktober 2019. Pada Jumat, 18 Oktober 2019 diselenggarakan the First Capture
Fisheries International Symposium, dengan tema: Transdisciplinary Approaches
Promoting Sustainable Marine Fisheries.

Sektor perikanan dan kelautan termasuk didalamnya perikanan tangkap sudah


sering disebut menempati posisi strategis dalam konteks pembangunan nasional
untuk memanfaatkan sumberdaya ikan, anugrah bagi bangsa Indonesia dan dunia.
Posisi ini memberikan semangat dan inspirasi bagi berbagai pihak untuk semakin
peduli memperhatikan laut beserta sumberdaya alam di dalamnya. Estimasi potensi
sumberdaya ikan sebesar 12,5 juta ton/tahun, jumlah orang yang terlibat dalam
bisnis perikanan dan industri lain yang terkait dengannya, permintaan produk ikan
di dalam dan di luar negeri, serta nilai devisa yang dihasilkan merupakan beberapa
contoh yang membuat banyak pihak baik di dalam maupun di luar negeri untuk
semakin memperhatikan dan menaruh harapan pada perikanan tangkap.

Perhatian dan harapan tersebut telah ditanggapi oleh jajaran Pemerintah dengan
menyusun dan melaksanakan program pembangunan. Setiap periode Pemerintahan
membuat fokus-fokus tertentu yang ditampikan sebagai program-program
unggulan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan. Namun dua isu besar, yaitu
aspek keberlanjutan dan keadilan dari perikanan tangkap, selalu menjadi tantangan
kita. Sekarang ini boleh dikatakan jargon perikanan yang berkelanjutan, perikanan
yang bertanggungjawab, penangkapan ikan yang ramah lingkungan, konservasi
atau kelestarian sumberdaya ikan semakin popular. Kegiatan penangkapan ikan
harus selalu dikelola agar sumberdaya ikan tidak mengalami overfished. Hal ini
yang kemudian menyebabkan pengawasan dan pengendalian kegiatan
penangkapan ikan semakin meningkat dengan program penanganan Illegal,
Unreported and Unregulated Fishing. Niat untuk mewujudkan pengelolaan yang
lebih baik dapat dilihat dari berbagai upaya lain. Salah satu di antaranya
pengembangan sistem pengelolaan yang dirancang untuk mengakomodasi
karakteristik lokal, yaitu pengelolaan untuk sebelas WPP NRI.

Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 i


Tema transdisiplin dari seminar ini seyogianya dianggap sebagai pengingat bagi
kita semua bahwa penyelesaian permasalahan perikanan tangkap Indonesia
memerlukan pendekatan komprehensif yang tercermin dari kontribusi berbagai
disiplin ilmu dan berbagai pihak. Saat memperkenalkan sains dan teknologi
perikanan tangkap kepada mahasiswanya di Institut Pertanian Bogor, salah seorang
guru kami, yaitu H. Ayodyoa, MSc (alm.) sejak lebih dari 40 tahun silam telah
memperkenalkan dan selalu mengingatkan istilah bio-techno-socio-economic untuk
mengkaji, merancang dan membangun perikanan tangkap. Rumusan tersebut
beliau ambil dari tulisan Kesteven (1973) dalam sebuah manual yang diterbitkan
FAO dengan judul Manual of Fisheries Science. Apa yang diterangkan beliau dapat
kami lihat sekarang: begitu banyaknya hal dilakukan untuk mengembangkan
perikanan tangkap di Indonesia. Tidak hanya alat penangkapan ikan, kapal
perikanan serta nelayan, tetapi juga berbagai hal lain diantaranya seperti
pengelolaan, kebijakan dan tata kelola, keadilan dalam bisnis perikanan dan
perdagangan produk ikan, penyaluran aspirasi dan partisipasi pelaku usaha dan
konsumer, dan penanganan kompetisi antar kegiatan perikanan serta interaksi
antara kegiatan perikanan dan non perikanan.

Saat ini kita mengenal banyak konsep yang mencerminkan penerapan multi-disiplin
dalam perikanan tangkap. Beberapa di antaranya adalah konsep integrated coastal
zone management (UN 1992), tata nilai yang disebut Code of Conduct for
Responsible Fisheries (FAO 1995), piranti Rappid Appraisal Tehcnique for
Fisheries (RAPFISH) yang pengembangannya diprakarsai tim dari University of
British Columbia sejak tahun 1996 (Pitcher 1999) dan Ecosystem Approach to
Fisheries Management (Staples et al. 2014) serta harapan global yang tertuang
dalam Sustainable Development Goals. Secara bertahap, Pemerintah juga
mengadopsi dengan adaptasi perspektif dan tata nilai global tersebut guna
menyempurnakan kebijakan dan program di tanah air. Pada institusi
pengembangan SDM, seperti IPB University, proses pembelajaran dan penelitian
untuk sains dan teknologi perikanan menunjukkan perubahan dengan mata kuliah
yang semakin beragam dan fokus.

Ragam dari penerapan berbagai disiplin untuk menangani permasalahan perikanan


tangkap ini tidak lepas dari kesadaran dan wawasan para stakeholder perikanan
tangkap melalui interaksinya dengan berbagai pihak yang memperkenalkan
pembaharuan pengelolaan perikanan tangkap. Pembaharuan tersebut secara
sistematis berhasil menyasar khalayak global, regional, nasional, daerah hingga di
lapangan dimana para pelaku penangkapan ikan dan pelaku bisnis di rantai
pemasaran berada.

Apakah berbagai hal tersebut di atas merupakan contoh dari komponen-komponen


pembangun suatu sustainability science dan/atau transdisciplary science untuk
ii Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
perikanan tangkap? Jika komposisi ramuan displin ilmu tersebut dianggap belum
menciptakan atau memenuhi kriteria disiplin ilmu baru, apakah berbagai hal
tersebut baru mencapai kategori multi-disciplinary science? Seminar nasional ini
merupakan inisiatif awal untuk meyakinkan diri kita masing-masing bahwa
masalah perikanan tangkap tidak dapat diselesaikan oleh satu disiplin ilmu saja.

Seminar nasional ini juga dalam rangka ikut terlibat dalam mendiskusikan
kebijakan nasional perikanan tangkap di masa depan (2019-2024). Konsep
pengembangan perikanan tangkap perlu dipahami secara lebih jelas, agar kita
semua dapat menyiapkan diri berperan aktif mewujudkan pendekatan yang akan
diterapkan.

Kami melihat faktor sumberdaya manusia akan sangat menentukan arah dan
manfaat dari upaya-upaya yang akan digulirkan kalangan pemerintahan di negara
tercinta ini. Oleh karena itu, seminar ini menghadirkan pembicara kunci yang
berasal dari institusi pengembangan sumberdaya manusia (IPB University) dan
institusi yang membuat rencana pembangunan nasional (BAPPENAS). Selain itu,
menghadirkan juga pemikiran dari para pembicara khusus untuk topik-topik: (1)
aspek teknologi perikanan tangkap, (2) aspek bisnis dan perdagangan produk
perikanan, (3) aspek tata kelola dan kebijakan perikanan, (4) aspek masyarakat dan
stakeholder perikanan tangkap, dan (5) aspek pengelolaan kawasan. Sebagai
bagian dari upaya menyalurkan kontribusi dan partisipasi terhadap pengembangan
perikanan nasional, seminar ini dirancang untuk memfasilitasi 50 peserta yang telah
menyampaikan pemikiran yang bermanfaat untuk pengembangan perikanan
Indonesia ke depan.

Terakhir, secara khusus kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada


BAPPENAS, perwakilan jurnal ilmiah terpandang dan berbagai pihak lain serta
peserta yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Anda semua telah memberikan
dukungan yang tidak ternilai sehingga seminar nasional ini dapat dilaksanakan.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Ketua Panitia Pelaksana,

Dr Ir M. Fedi A Sondita, MSc

Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 iii
PENGHARGAAN
Pada kesempatan ini atas nama panitia, kami mengucapkan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi tingginya kepada semua pihak yang telah membantu
terselenggaranya kegiatan ini, khususnya kepada:
1. Rektor Institut Pertanian Bogor.
2. Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB.
3. Ketua Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan FPIK IPB.
4. Ketua Forum Komunikasi dan Kemitraan Perikanan Tangkap.
5. Para pembicara.
6. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia/
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Kementerian PPN/
BAPPENAS).
7. Sponsor pendukung (BAPPENAS, Sekolah Vokasi IPB, PT Sahabat
Nelayan Indonesia, dan Perum Perindo)
8. Semua pihak yang telah membantu terselenggaranya kegiatan ini.

iv Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019


DAFTAR ISI

Pengantar .............................................................................................................i
Penghargaan ........................................................................................................iv
Daftar Isi..............................................................................................................v
Susunan Panitia ..................................................................................................1
Susunan Acara ............... .....................................................................................4
Jadwal Penyajian Lisan ......................................................................................6
Penyajian Poster .................................................................................................14
Abstrak Pembicara Tema ....................................................................................15
Naskah Prosiding ...............................................................................................22
1. Domestikasi Ikan Sebagai Upaya Membudidayakan Ikan Seluang (Rasbora
sp.) ..................................................................................................................23
2. Laju Penangkapan Hiu yang Didaratkan di Tanjung Luar, Lombok Timur ..36
3. Tren Hasil Tangkapan Gurita Menggunakan Pancing Modifikasi: Studi
Kasus Nelayan Seurapong Kabupaten Aceh Besar ........................................48
4. Prospek Usaha dan Strategi Pengembangan Perikanan Tangkap di PPP
Sadeng, Yogyakarta........................................................................................59
5. Kelayakan Usaha Penangkapan Teri yang Berbasis di PPI Sumur,
Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten .......................................................74
6. Laju Tangkap, Karakteristik Biologi dan Status Pemanfaatan Rajungan
(Portunus pelagicus Linnaeus, 1758) di Perairan Pati ...................................90
7. Distribusi dan Pasokan Ikan Tuna dari Pelabuhan Perikanan Samudera
Cilacap ............................................................................................................110
8. Strategi Peningkatan Mutu Ikan Tuna Hasil Tangkapan Nelayan Pancing
Tonda di Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu ..............................131
9. Peluang Usaha Penyewaan Cold Storage Ikan di Pelabuhan Perikanan
Muara Angke (Studi Kasus PT Lautan Mutiara Jaya) ...................................150
10. Strategi Pemenuhan Standar Dan Persyaratan Ekspor Ikan Tuna ke
Pasar Uni Eropa ...........................................................................................173
11. Kelimpahan, Karakter Morfologi, Komposisi dan Kondisi Perairan
Habitat Larva Ikan Terubuk (Tenualosa macrura) dan Larva Ikan Bilis
(Setipinna sp.) di Estuaria Bengkalis ...........................................................199

Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 v


Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8

“ARAH PEMBANGUNAN PERIKANAN TANGKAP MASA


DEPAN: PENDEKATAN TRANSDISIPLIN UNTUK
PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP
BERKERLANJUTAN”

SUSUNAN PANITIA

PENANGGUNGJAWAB
Ketua Departemen PSP FPIK IPB

PANITIA PENGARAH
1. Ketua Forum Komunikasi dan Kemitraan Perikanan Tangkap (FK2PT)
2. Dekan FPIK IPB
3. Dr Gellwynn Jusuf
4. Prof Dr Ir Mulyono S Baskoro, MSc
5. Prof Dr Ir Ari Purbayanto, MSc
6. Prof Dr Ir Domu Simbolon, MSi
7. Prof Dr Ir Nazamudin
8. Prof Dr Ir Wudianto
9. Dr Ir Budy Wiryawan, MSc
10. Lida Pet Soede, BSc, MSc, PhD

PANITIA PELAKSANA
Ketua : Dr Ir M. Fedi A Sondita, MSc
Sekretaris : Dr Ir Tri Wiji Nurani, MSi
Bendahara : Dr Retno Muninggar, SPi, MSi

KESEKRETARIATAN DAN PENATAKELOLAAN NASKAH


Dr Ir Tri Wiji Nurani, MSi (Koordinator)
Bagian Penatakelolaan Naskah
1. Dr Didin Komarudin, SPi, MSi
2. Yuningsih
Kesekretariatan
1. Julia Eka Astarini, SPi, MSi
2. Ludy Caturahmadi

Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 1


BENDAHARA, SEKSI DANA DAN SPONSOR
Bendahara
Dr Retno Muninggar, SPi, MSi
Anto Gustanto, SP
Dana dan Sponsor
1. Dr Roza Yusfiandayani, SPi
2. Dr Ersti Yulikasari
3. Hamdan, SPi, MSi
4. Novia Tri Rahmani, SPi, MSi

SEKSI PERSIDANGAN DAN ACARA


1. Dr Yopi Novita, SPi, MSi (Koordinator)
2. Dr Mochammad Riyanto, SPi, MSi
3. Dr Vita Rumanti Kurniawati, SPi, MT

SEKSI HUBUNGAN MASYARAKAT, KOMUNIKASI DAN


DOKUMENTASI
1. Dr Ir Ronny I Wahju, MPhil (Koordinator)
2. Dr Fis Purwangka, SPi, MSi
3. Akhmad Solihin, SPi, MH

SEKSI LOGISTIK DAN TRANSPORTASI


1. Dr Ir Wazir Mawardi, MSi (Koordinator)
2. Dr Mustaruddin, ST
3. Dr Ir Zulkarnain, MSi
4. Thomas Nugroho, SPi, MSi

SEKSI KONSUMSI
1. Prihatin Ika Wahyuningrum, SPi, MSi (Koordinator)
2. Dini Handayani, Amd
3. Siskawati, Amd
4. Siti Fina Nurcahyani

WISATA PASCA SEMINAR


1. Dr Sulaeman Martasuganda, BFishSc, MSc

2 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019


REVIEWER

1. Dr Ir Darmawan, MAMA (Koordinator)


2. Dr rer nat Azbas Taurusman, SPi, MSi
3. Prof Dr Neil Loneragan
4. Dr rer nat habil Sonja Kleinertz
5. Dr Iin Solihin, SPi, MSi
6. Dwi Putra Yuwandana, SPi, MSi
7. Dr Agus Heri
8. Dr Dwi Ernaningsih
9. Dr Naslina Alimina
10. Adibi Rahiman Md. Nor, PhD
11. Mohamed Sharrif Mohammed Din FASc (Dato Dr)

EDITOR
1. Prof Dr Ir Tri Wiji Nurani, Msi
2. Dr Ir Darmawan, MAMA

PENERBIT
Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor
Jl. Agatis, Kampus IPB Darmaga, Bogor
Fax: (0251) 8622935
Web: https://psp.fpik.ipb.ac.id

Bekerja sama dengan:


Forum Komunikasi Kemitraan Perikanan Tangkap (FK2PT)

Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 3


SUSUNAN ACARA
KAMIS, 17 Oktober 2019

Waktu Agenda Tempat


Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8
07.30 – 08.45 Registrasi Foyer
08.45 – 09.15 Pembukaan Ballroom
- Indonesia Raya
- Doa
- Pengantar Seminar
- Pembukaan oleh Rektor IPB
09.15- 10.15 Pembicara Kunci Ballroom
- Dr Arif Satria, SP, MSi – Rektor IPB
University
- Dr Ir Arifin Rudiyanto, MSc – Deputi
Bidang Kemaritiman dan SDA BAPPENAS
10.15 – 10.45 - Sesi foto + coffee break Ballroom
- Pameran & Presentasi Poster
10.45 - 12.30 Diskusi Panel: Ballroom
Perikanan Tangkap dalam RPJMN 2020-2024
- Ir Abdul Kadir Damanik, MM – Deputi
Bidang Restrukturisasi Usaha Kementerian
Koperasi & UKM RI
- Dr Ir Victor P Nikijuluw, MSc –
Conservation International – Indonesia
Moderator: Dr Ir Darmawan, MAMA (Dept
PSP FPIK IPB University)
12.30 – 13.30 ISHOMA Foyer
Pemikiran Transdisiplin untuk Pengembangan Perikanan Tangkap Berkelanjutan
13.30 – 14.00 Pembicara khusus: Ballroom,
1. Prof Dr Indra Jaya (Dept ITK FPIK IPB Ruang A, B, C, D
Univ.)
2. Prof Dr Agus Heri Purnomo (Badan Riset
dan SDM KP)
3. Machmud, SP, MSc (Ditjen Peningkatan
Daya Saing Kelautan dan Perikanan KKP)
4. Arief Goentoro, MBA (Perum PERINDO)
5. Dr Budy Wiryawan (Dept PSP FPIK IPB
Univ.)
6. Dedi Supriadi Adhuri, PhD (LIPI)
14.00 – 15.15 Paparan Sesi 1 hasil-hasil penelitian Ballroom,
Ruang A, B, C, D
15.15 – 15.30 Istirahat
4 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
15.30 – 16.45 Paparan Sesi 2 hasil-hasil penelitian Ballroom,
Ruang A, B, C, D
16.45 – 17.00 Penutupan Ballroom, Ruang A,
B, C, D

Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 5


JADWAL PENYAJIAN LISAN
(oral presentation) Kamis 17 Oktober 2019
Sesi 1 Tempat: Ballroom Moderator: Prof Mulyono S Baskoro
Waktu Pemrasaran Judul Presentasi
13.30-14.00 Pembicara Utama: Prof Dr Indra Jaya
14.00-14.15 Kairul, Ahmad 04 Analisis Tren Hasil Tangkapan Gurita
Mukminin, Ina Menggunakan Pancing Modifikasi di Pulo
Nisrina, Irfan Aceh
Yulianto
14.15-14.30 Adi Susanto, Ririn 08 Perikanan Bubu Rajungan di Teluk
Irnawati, Mustahal, Banten
Yeni Marliana
14.30-14.45 Hairul Umam, 20 Introduksi High Power LED (HPL)
Gondo Puspito, pada Perikanan Bagan Apung di Selat
Didin Komarudin Madura
14.45-15.00 Roza 26 Uji Coba Rumpon Portable terhadap
Yusfiandayani, Hasil Tangkapan Gillnet di Teluk Banten
Zulkarnain, Berkat Kabupaten Serang
Jaya Harefa
15.00-15.15 Sugeng H. Wisudo, 54 Pengembangan Teknologi Lampu
Adi Susanto, Pemikat Ikan Hemat Energi 4.0 pada
Mochammad Perikanan Bagan Tancap
Riyanto, Mulyono
S. Baskoro

Sesi 2 Tempat: Ballroom Moderator: Dr Mochammad Riyanto


Waktu Pemrasaran Judul Presentasi
15.30-15.45 Delly D.P. Matrutty, 09 Produktivitas Jaring Insang Hanyut
H. Matakupan, L. Berdasarkan Waktu Tangkap di Teluk
Tamaela, W. Ambon Dalam
Waileruny
15.45-16.00 Alfret Luasunaung, 18 Studi Tentang Jenis Umpan dan Waktu
Ivor L. Labaro, Penangkapan terhadap Hasil Tangkapan
Vivanda O.J. Pancing Ikan Dasar di Perairan Sekitar
Modaso, Janny F. Teluk Manado, Sulawesi Utara
Polii
16.00-16.15 Mokhamad Dahri 19 Pengaruh Waktu Penangkapan
Iskandar, Abdul terhadap Hasil Tangkapan Jaring Arad di
Rohim, Ronny Perairan Blanakan
Irawan Wahju
16.15-16.30 Fonny J.L 38 Tingkat Keramahan Alat Tangkap
Risamasu, Chaterina Bagan Apung dan Gill Net yang
Beroperasi di Perairan Teluk Kupang
6 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
A. Paulus, Alexader
L Kangkan
16.30-16.45 Mochammad 44 Efektivitas Ukuran Mata Pancing
Riyanto, Ronny terhadap Hasil Tangkapan Pancing Ulur
Irawan Wahju, Ikan Tenggiri (Scomberomorus
Muhammad Rozzaq commersonii)
Surya

Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 7


JADWAL PENYAJIAN LISAN
(oral presentation) Kamis 17 Oktober 2019

Sesi 1 Tempat: Ruang A Moderator: Prof Ari Purbayanto


Waktu Penyaji Judul Presentasi
13.30-14.00 Pembicara Utama: Prof Agus Heri Purnomo
14.00-14.15 Dwi Putra Yuwandana, 16 Studi Awal Perikanan Pari Kekeh
Susan Agustina, M. (Rhynchobatus sp.) dan Pari Kikir
Fajar Izza, Mahyuddin (Glaucostegus sp.) di Perairan Utara
Bahi Haqqi, Benaya Jawa Tengah Selatan
M. Simeon
14.15-14.30 Tirtadanu, Tri 22 Laju Tangkap, Karakteristik Biologi
Ernawati, Heri dan Tingkat Pemanfaatan Rajungan
Widiyastuti (Portunus pelagicus Linnaeus, 1758) di
Perairan Pati
14.30-14.45 Gussasta Levi arnenda, 27 Laju Penangkapan Hiu yang
Irwan Jatmiko, Riska Didaratkan di Tanjung Luar, Lombok
Fatmawati Timur
14.45-15.00 Abdul Hamid, Syamsul 55 Keanekaragaman Jenis Ikan By
Kamri Catch Perikanan Rajungan di Teluk
Lasongko dan Kendari Sulawesi
Tenggara
15.00-15.15 Intan Roihatul Jannah 56 Pola Pergerakan Rajungan
Hasly, Wazir Mawardi, (Portunus pelagicus) Terhadap Cahaya
Roza Yusfiandayani yang Berbeda

Sesi 2 Tempat: Ruang A Moderator: Dr Vita R. Kurniawati


Waktu Penyaji Judul Presentasi
15.30-15.45 Agus Wahyu Santoso, 29 Kajian Teknis berdasarkan Kondisi
Budhi H. Iskandar, Eksisting Bentuk Kapal Handlines di
Yopi Novita, Mulyono Nelayan Lokal Kendari
S. Baskoro
15.45-16.00 Riana Citra Dewi, 43 Unjuk Kerja Gerakan Heaving
Budhi Hascaryo Kapal Bantuan Pemerintah dan
Iskandar,Yopi Novita Keberhasilan Operasionalnya, sebagai
Dampak Keberadaan Muatan
16.00-16.15 Sugandi, Ronny Irawan 13 Strategi Penggunaan Lampu LED-
Wahju, Mochammad RGB pada Bagan Tancap Berbasis
Riyanto, Sumardi Tingkah Laku Kawanan Ikan Melalui
Hidroakustik
16.15-16.30 Elva d. Harmilia, 37 Domestikasi Ikan sebagai Upaya
Helmizuryani, Membudidayakan Ikan Seluang
Irkhamiawan Ma’ruf,
Nimas Mediyanto
8 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
16.30-16.45 Vita R Kurniawati, 57 Penilaian dampak pengoperasian
Richard W. kapal perikanan skala kecil: Studi kasus
Birmingham, Alan J. di Palabuhanratu, Indonesia
Murphy

JADWAL PENYAJIAN LISAN


(oral presentation) Kamis 17 Oktober 2019

Sesi 1 Tempat: Ruang B Moderator: Prof Tri Wiji Nurani & Dr Naslina
Alimina
Waktu Penyaji Judul Presentasi
13.30-14.00 Pembicara Utama: Machmud SP, MSc, Arief Guntoro MBA
14.00-14.15
14.15-14.30 Budiansyah, Tri 5 Distribusi dan Pasokan Ikan Tuna dari
Wiji Nurani; Sugeng Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap
Hari Wisudo
14.30-14.45 Audita Diah 12 Strategi Pemenuhan Standar dan
Sabrina, Tri Wiji Persyaratan Ekspor Ikan Tuna ke Pasar Uni
Nurani, Prihatin Ika Eropa
Wahyuningrum
14.45-15.00 Nurani 07 Usaha Penyewaan Cold Storage Ikan di
Khoerunnisa, Julia PT Lautan Mutiara Jaya, Pelabuhan
Eka Astarini, Perikanan Muara Angke
Wawan Oktariza
15.00-15.15 Ririn Irnawati, 40 Kelayakan Usaha Penangkapan Teri
Fahresa Nugraheni yang Berbasis di PPI Sumur, Kabupaten
Supadminingsih, Pandeglang, Provinsi Banten
Dini Surilayani,
Hery Sutrawan
Sutrawan, Adi
Susanto, Asep
Hamzah

Sesi 2 Tempat: Ruang B Moderator: Dr Dwi Ernaningsih


Waktu Penyaji Judul Presentasi
15.30-15.45 Mustaruddin, Eko 10 Prospek Usaha dan Strategi
Sri Wiyono Pengembangan Perikanan Tangkap di PPP
Sadeng, Yogyakarta
15.45-16.00 Welem Waileruny, 06 Hilangnya Manfaat Ekonomi pada
Donald Noija, Delly Usaha Perikanan Tangkap di Teluk Ambon
DP Matrutty, Stani Akibat Sampah Laut
R. Siahainenia
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 9
16.00-16.15 Iin Solihin, Siti 36 Dampak Ekonomi Keberadaan
Nurfauziah, Wawan Pangkalan Pendaratan Ikan Karangsong
Oktariza Indramayu
16.15-16.30 Sari Yuniarti, 42 Usaha Transportasi Ikan Segar dari
Thomas Nugroho, Pelabuhan Perikanan Pantai Lempasing ke
Mohammad Imron Hinterland
16.30-16.45 Novia Nurul Afiyah, 31 Strategi Mempertahankan Kualitas Ikan
Iin Solihin, Ernani Selama Pendistribusian dari Pelabuhan
Lubis Perikanan Pantai Blanakan ke Daerah
Konsumen

10 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019


JADWAL PENYAJIAN LISAN
(oral presentation) Kamis 17 Oktober 2019

Sesi 1 Tempat: Ruang C Moderator: Prof Domu Simbolon


Waktu Penyaji Judul Presentasi
13.30-14.00 Pembicara Utama: Dr. Budy Wiryawan, M.Sc
14.00-14.15 Yuliyanah, Tri 15 Strategi Peningkatan Mutu Ikan Tuna
Wiji Nurani; Hasil Tangkapan Nelayan Pancing Tonda di
Prihatin Ika Pelabuhan Perikanan Nusantara
Wahyuningrum Palabuhanratu Selatan
14.15-14.30 Dwi Rahayu, 17 Produksi Bersih dalam Penanganan Hasil
Mustaruddin, Iin Tangkapan dan Komponen Sisa pada
Solihin Pendaratan Ikan di Pelabuhan Perikanan
Samudera Nizam Zachman
14.30-14.45 Belvi Vatria, Budy 28 Klasterisasi Tipologi Perikanan Tangkap
Wiryawan, Eko S. Skala Kecil di Kabupaten Kayong Utara
Wiyono, Mulyono
S. Baskoro
14.45-15.00 Mulyono S. 01 Pengembangan Perikanan Tangkap
Baskoro, Terpadu Berbasis Sumberdaya Unggulan
Mustaruddin, Lokal : Studi Kasus Perikanan Cumi di
Muhammad Imron Kabupaten Bangka Selatan
15.00-15.15 Latifah Rizkiana, 21 Strategi Pengelolaan untuk Peningkatan
Iin Solihin, Anwar Operasional Pelabuhan Perikanan Pantai
Bey Pane Kuala Tungkal Provinsi Jambi

Sesi 2 Tempat: Ruang C Moderator: Dr Retno Muninggar


Waktu Penyaji Judul Presentasi
15.30-15.45 Gugun Gunawan, 24 Analisis Data VMS untuk
Ari Purbayanto, Iin Mengidentifikasi Kasus Pelanggaran Kapal
Solihin Perikanan di Wilayah Kerja Pangkalan
PSDKP Jakarta
15.45-16.00 Wienda Ardiyani, 50 Alokasi Jumlah Kapal Penangkap Ikan
Budhi Iskandar, di WPP 712 Berdasarkan Perbandingan
Sugeng Wisudo Luas Wilayah Perairan dan Potensi Sumber
Daya Ikan
16.00-16.15 Akhmad Solihin, 23 Penenggelaman Kapal Asing Pelaku
Ari Purbayanto Illegal Fishing: Aturan dan
Ketidakmampuan Memberikan Efek
Pencegahan
16.15-16.30 Ari Purbayanto, 25 Dilema Kebijakan Teknis Pelarangan
Mochammad Cantrang dan Strategi Pengelolaannya
Riyanto, Akhmad

Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 11


Solihin, Sugeng
Hari Wisudo
16.30-16.45 Oktavianto Prastyo 35 Analisis Rantai Pemasaran Perikanan
Darmono, Aflaha Kakap (Studi Kasus di Kabupaten
Abdul Munib, Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara)
Reinhart Paat

12 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019


JADWAL PENYAJIAN LISAN
(oral presentation) Kamis 17 Oktober 2019

Sesi 1 Tempat: Ruang D Moderator: Dr Sugeng H.Wisudo


Waktu Penyaji Judul Presentasi
13.30-14.00 Pembicara Utama: Dr. Dedi Supriadi Adhuri
14.00-14.15 Aflaha Abdul Munib, 45 Medaseng Singgaluhang: Praktek
Oktavianto Prastyo Mayarakat Pesisir dalam Pengelolaan
Darmono, Reinhart Perikanan BerkelanjutanSelatan
Paat
14.15-14.30 Intan Destianis 52 Pengelolaan Perikanan Berbasis
Hartati, Siska Kearifan Lokal di Taman Nasional
Agustina, Efin Karimunjawa
Muttaqin, Jamaluddin,
Irfan Yulianto
14.30-14.45 Julia Eka Astarini, 53 Ketergantungan Nelayan Kali Adem
Ibnu Setyo Pratama, Muara Angke terhadap Keberadaan
Domu Simbol Teluk Jakarta
14.45-15.00 Rahma Khoirunnisa, 41 Implementasi Program Bantuan
Thomas Nugroho, Premi Asuransi Nelayan Di Pelabuhan
Mulyono S Baskoro Perikanan Pantai Lempasing Propinsi
Lampung
15.00-15.15 Hanifah Huwaida, 46 Evaluasi Pemanfaatan Peta Prakiraan
Prihatin Ika Daerah Penangkapan Ikan pada
Wahyuningrum, Perikanan Long Line di Pelabuhan
Domu Simbolon Perikanan Samudera Cilacap

Sesi 2 Tempat: Ruang D Moderator: Dr Fis Purwangka


Waktu Penyaji Judul Presentasi
15.30-15.45 Yohanes Don Bosco 03 HEP (Human Error Probability) pada
Ricardson Minggo, Pengoperasian Alat Tangkap Purse Seine
Budhi Hascaryo di Kabupaten Sikka
Iskandar, Fis
Purwangka
15.45-16.00 Venda Jolanda 51 Profil dan Peran Gender pada Rumah
Pical,Hellen Tangga Perikanan Purse Seine di Negeri
Nanlohy,Yoisye Waai Kabupaten Maluku Tengah
Lopulalan, Saiful
16.00-16.15 Vivanda O.J. Modaso, 34 Aktivitas Penangkapan Ikan Nelayan
Patrice N.I. Kalangi, Tradisional Pasca Pemberantasan Illegal
Ivor L. Labaro Fishing dan Transhipment di Laut
16.15-16.30 Selia Hermawati, 32 Pengkajian Aktivitas Perikanan
Faridz Rizal Fachri Komoditas Ikan Karang di Wakatobi
Khaerunnisa
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 13
menggunakan RBF (Risk Based
Framework)
16.30-16.45 Karsono Wagiyo, 49 Kelimpahan dan Karakter Morfologi
Asep Priatna, Duranta Larva Ikan Terubuk (Tenualosa macrura)
Kembaren dan Larva Ikan Bilis (Setipinna sp.) di
Estuaria Bengkalis

PENYAJIAN POSTER
Kamis 17 Oktober 2019
Tempat: Ballroom
No Penyaji Judul Poster
1 Andina Ramadhani Putri 02 Status Pemanfaatan Perikanan Kepiting
Pane Merah (Scylla olivacea) di Perairan Mimika
dan Sekitarnya, Papua
2 Heri Widiyastuti 03 Sebaran Frekuensi Panjang, Ukuran Rata-
Rata Tertangkap dan Ukuran Pertama Kali
Matang Gonad Ikan Pelagis Kecil di Perairan
Kendari, Sulawesi Tenggara
3 Nur’ainun Muchlis 04 Karakteristik Biologi Ikan Kuniran
(Upeneus sulphureus) di Perairan Bombana
Sulawesi Tenggara
4 Siti Mardlijah 05 Analisis Isi Lambung Ikan Tongkol Abu
(Thunnus tonggol Bleeker 1851) di Perairan
Laut Jawa
5 Prihatiningsih 06 Musim Pemijahan, Pertumbuhan dan
Mortalitas Ikan Lencam (Lethrinus
atkinsoni) di Perairan Wakatobi, Sulawesi
Tenggara
6 Umi Chodrijah 07 Estimasi Parameter Pertumbuhan Hiu
Monyet (Alopias superciliosus Lowe, 1841)
di Perairan Samudera Hindia Selatan Jawa
7 Tri Wahyu Budiarti 08 Penentuan Jenis Komoditas Unggulan
Sektor Perikanan di Kabupaten Paser
Kalimantan Timur

14 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019


ABSTRAK PEMBICARA TEMA

Jejak Industrialisasi Perikanan Tangkap, Smart Fishing, dan Pilihan


Strategi Pembangunan di Masa Depan

Indra Jaya
Dept. Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK – IPB, Bogor
Email: indrajaya@apps.ipb.ac.id

Abstrak
Aktivitas perikanan tangkap telah ada dan dimulai sejak pertama kali manusia
berinteraksi dengan perairan sekitarnya, dari era pre-industri hingga era revolusi
industry 4.0 Saat ini. Perikanan tangkap merupakan salah satu sumber penyedia
utama protein, lapangan kerja bagi masyarakat pesisir, sumber pendapatan negara,
dan bahkan sebagai sarana relaksasi. Dalam presentasi ini akan diuraikan jejak
perkembangan industrialisasi di bidang perikanan tangkap hingga saat ini,
khususnya bagaimana denyut perkembangan industri perikanan tangkap yang
diwarnai oleh atau tidak terlepas dari kemajuan iptek dari waktu ke waktu. Seiring
dengan perkembangan iptek, berkembang pula smart fishing, perikanan tangkap
yang mengintegrasikan berbagai data dan informasi sehingga operasi penangkapan
ikan dapat dilakukan semakin efisien, efektif, dan adaptif. Walaupun demikian,
perikanan tangkap Indonesia umumnya masih minim sentuhan teknologi. Oleh
karena itu perlu ada strategi dan langkah-langkah konkrit agar smart fishing dapat
terwujud dalam perikanan tangkap Indonesia. Pilihan strategi dan langkah konkrit
apa yang perlu diambil agar perikanan tangkap tetap berkelanjutan sembari
menerapkan smart fishing akan disampaikan dalam presentasi ini.
Kata kunci: perikanan tangkap, industrialisasi, smart fishing, strategi

Biografi
Prof Dr Indra Jaya, MSc adalah seorang dosen senior pada Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan IPB University. Pendidikan S1 Pemanfaatan Sumberdaya
Perikanan FPIK IPB, S2 dan S3 Marine Accoustic Univ of Delaware USA. Bidang
keahlian Beliau adalah akustik dan instrumentasi kelautan. Banyak karya inovatif
yang telah dihasilkan dan hingga saat ini telah mengajukan beberapa paten antara
lain fry counter, alat pengukur tingkat kesegaran ikan, pemberi pakan ikan/udang
otomatis, instrumen pembeda jenis kelamin ikan koi, alat sortir dan penghitung ikan
hidup, dan alat pengambil sampel ikan air tawar.

Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 15


KEANGGOTAAN DALAM RFMO – PELUANG DAN TANTANGAN
BAGI INDONESIA

Agus Heri Purnomo1 dan Akhmad Solihin2

1
Badan Riset dan Sumber Daya Manusia, Kementerian Kelautan dan Perikanan
2
Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Korespondensi: a_heri_p@yahoo.com

Abstrak
Bagi Indonesia, keanggotaan dalam Regional Fisheries Management Organizations
(RFMOs) merupakan hal yang praktis tidak dapat dihindarkan. Ada pasal-pasal
UNCLOS yang secara eksplisit mewajibkan negara-negara yang terlibat dalam
kegiatan penangkapan ikan di laut lepas untuk bekerjasama dalam upaya konservasi
dan pengelolaan sumber daya hayati. Indonesia telah merespon ini melalui undang-
undang, peraturan menteri dan sejumlah tindakan yang dilaksanakan dalam rangka
mematuhi pasal-pasal UNCLOS tersebut. Sejumlah keuntungan dapat diperoleh
melalui keanggotaan Indonesia dalam RFMO, misalnya akses pasar dunia untuk
hasil perikanan dan diplomasi perikanan. Terlepas dari itu semua, banyak tantangan
yang harus diselesaikan untuk mengoptimalkan keanggotaan Indonesia dalam
RFMO, misalnya dalam hal monitoring dan pengumpulan data. Makalah ini ditutup
dengan tiga rekomendasi. Ketiga rekomendasi tersebut adalah: (i) pembentukan
Pokja RFMO yang melibatkan akademisi, birokrat, dan pengusaha, (ii) membangun
sistem informasi berbasis teknologi yang terkoneksi antar pelabuhan perikanan
yang melayani perizinan penangkapan ikan di wilayah RFMO, dan (iii)
membangun ketelusuran (traceability) data perikanan.
Kata kunci: akses pasar, diplomasi perikanan, konservasi, laut lepas, pengelolaan,
UNCLOS

Biografi
Prof Dr Agus Heri Purnomo adalah seorang peneliti utama pada Balai Besar Riset
Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan. Pendidikan S1
ditempuh di Jurusan Teknologi Pertanian UGM (1984), S2 Resource and
Environmental Economics, URI USA (1991), dan S3 Fisheries Economics and
Management, SFU, Canada (2000). Dari 2010 hingga saat ini Beliau bekerja
sebagai peneliti utama Bidang Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, dan sejak
2016 hingga saat ini menjabat sebagai National Coordinator Kerjasama Riset
ACIAR (Indonesia – Australia).

16 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019


PENERAPAN BISNIS PERIKANAN SECARA TERPADU DI INDONESIA

Arief Guntoro1

1
Perum Perikanan Indonesia

Abstrak
Penerapan bisnis perikanan secara terpadu di Indonesia tergambar melalui beberapa
lini bisnis yang diterapkan oleh Perum Perikanan Indonesia. Pertama, Lini Bisnis
Kepelabuhanan. Pada segmen ini bisnis perikanan di area pelabuhan meliputi
fasilitas cold storage untuk penyimpanan ikan, pengadaan BBM, air bersih, docking
kapal untuk perbaikan kapal ikan yang rusak, serta tambat labuh untuk kapal
berlabuh di area pelabuhan, serta perdagangan melalui pengelolaan Pasar Ikan
Modern ( PIM Muara Baru).
Kedua, Lini Bisnis Penangkapan. Perum Perindo saat ini telah memiliki kapal
penampung/pengangkut (195 GT dan 132 GT) dan kapal penangkap cumi (140
GT). Pengoperasian kapal cumi menggunakan alat bantu berupa lampu dan
menangkap secara manual dengan alat yang ramah lingkungan.
Ketiga, Lini Bisnis Budidaya. Pada segmen ini Perum Perindo juga mengelola
budidaya perikanan mulai dari budidaya udang Vannamei, Keramba Jaring Apung
(KJA) Kerapu dan Kakap putih hingga menghadirkan pabrik pakan ikan dan udang
merah putih pertama di Indonesia.
Keempat, Lini Bisnis Perdagangan. Komoditas pengolahan laut yang dikelola
Perum Perindo terdapat top 7 komoditas bahan baku perikanan, diantaranya Tuna,
Gurita, Kakap Merah, Cumi – Cumi, Cakalang, Kepiting dan udang.

Biografi
Arief Goentoro, MBA adalah seorang lulusan UGM bidang Manajemen
Agribisnis. Pernah berkarir di PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. sejak 1998
hingga Januari 2018 dengan jabatan terakhir sebagai Assistant Vice President
Corporate Credit Risk Policy. Pada Januari-Oktober 2018 berkarir sebagai General
Manager Credit Risk Management di PT Pegadaian (Persero). Saat ini Beliau
menjabat sebagai Direktur Keuangan pada Perum Perikanan Indonesia.

Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 17


OTHER EFFECTIVE-AREA-BASED CONSERVATION MEASURES
(OECM): SUATU INISIATIF BARU UNTUK PENGELOLAAN
PERIKANAN TANGKAP SECARA TRANSDISIPLIN DI LAUT LEPAS

Budy Wiryawan1 dan Irfan Yulianto1,2


1
Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Institut Pertanian Bogor (IPB University).
2
Wildlife Conservation Society Indonesia
Email: bud@psp-ipb.org

Abstrak
Istilah Other Effective-area-based Conservation Measure (OECM) yang kemudian
dapat diartikan sebagai “kegiatan konservasi berbasis area selain kawasan
konservasi” dicanangkan pada 2010 Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD).
Indonesia sampai saat ini belum mendeklarasikan wilayah-wilayah yang dikelola
sebagai OECM, yaitu suatu wilayah yang ditentukan secara geografis selain dari
Kawasan Konservasi. Kawasan ini diatur dan dikelola dengan cara untuk mencapai
hasil jangka panjang yang positif dan berkelanjutan untuk konservasi in situ
keanekaragaman hayati. Saat sekarang Indonesia telah meresmikan Rencana Tata
Ruang Laut Nasional (Peraturan Pemerintah No.32 Tahun 2019), namun
pemanfaatan ruang laut antar wilayah termasuk laut lepas di Zona Ekonomi
Eksklusif yang konkrit, masih belum ada. Pendirian OECM selaras dengan upaya
untuk melakukan pemanfaatan dan konservasi sumberdaya ikan secara mandiri di
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) dengan Undang-Undang No.5 Tahun
1983 tentang ZEEI, untuk melindungi kepentingan nasional, khususnya
pemanfaatan sumberdaya alam hayati (ikan) dan non-hayati (misal, mineral dan
gunung bawah laut), perlindungan dan pelestarian lingkungan laut, dan penelitian
ilmiah kelautan dan perikanan. Pendirian OECM ke depan, akan juga memperkuat
implementasi Sustainable Development Goals (SDGs) melalui Peraturan Presiden
RI Nomor 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan, utamanya Tujuan 14.
Indonesia sejauh ini telah mendirikan 170 kawasan konservasi di wilayah pesisir,
dengan luas keseluruhan mencapai lebih dari 20 juta hektar dalam rangka mencapai
komitmen Indonesia untuk mencapai Target Konservasi Keanekaragaman Hayati
Aichi 11, seluas paling tidak 30 juta hektar. Namun Kawasan tersebut belum ada
yang dikembangkan di wilayah perairan lepas pantai, seperti OECM. Padahal,
perairan lepas pantai juga merupakan tempat hidup bagi beragam sumberdaya
hayati, terutama ikan-ikan pelagis bernilai ekonomi seperti tuna, cakalang dan
tongkol, yang penting bagi pembangunan ekonomi Indonesia. Oleh karenanya,
untuk menjaga kesinambungan potensi ikan-ikan pelagis bernilai ekonomi,
18 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
pendirian kawasan OECM merupakan sebuah keputusan yang strategis. Pendekatan
berbasis ilmiah dan transdisiplin untuk pengembangan OECM masih menjadi
tantangan bagi Indonesia. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), dengan
para partnernya, seperti Wildlife Conservation Society (WCS Indonesia) dan
Perguruan tinggi (IPB) menginisiasi pengembangan OECM di Laut Sulawesi.
Pendekatan ilmiah dengan proses partisipatif akan dilakukan dalam 5 tahun ke
depan untuk merancang OECM. Proses inisiasi telah mengidentifikasi lima kriteria
yang harus dipenuhi OECM, yaitu: (1) Lokasi geografis yang jelas, secara spasial
(boundary) ; (2) Tujuan konservasi dan manajemen stok ikan terintegras dengan
industri perikanan tangkapi, utamanya spesies pelagis (Science based); (3)
Kehadiran komponen ekologis yang menarik, seperti habitat gunung laut (non-
commercial value); (4) Durasi implementasi jangka panjang selaras dengan
peraturan-perundangan (policy); (5) Komponen ekologis yang menarik, dengan
prinsip tidak ada kegiatan manusia yang tidak sesuai dengan konservasi
(collaborative).
Kata kunci: OECM, transdisiplin, pengelolaan perikanan tangkap

Biografi
Dr Ir Budy Wiryawan, MSc merupakan Dosen Senior IPB University. Doktor di
bidang Fisheries Oceanography diraihnya pada tahun 1997 dari Christian Albrecht
University, Kiel, Jerman. Beliau adalah peneliti bidang perikanan dan kelautan,
dengan Indeks Scopus (article = 17, citation 19, H-Index=3, Scholar Index
(Article=160, Citation =225, H-Index=9 dan Dikti Sinta Score = 8.72. Penelitian
kerjasama bidang perikanan tangkap telah Beliau rintis secara internasional dengan
berbagai institusi, seperti: BestTuna Research Project-Wageningen University,
Belanda; Lifelihood Research Project-ACIAR Australia; Joint Degree & Research
Collaboration-Murdoch University Australia; dan sekaligus menjadi Adjunct
Professor (2018-2021). Research Collaboration on Reef Fisheries-Rostock
University, Jerman, sebagai technical advisor Yayasan Masyarakat dan Perikanan
Indonesia (MDPI) dan DHI Water & Environment.

Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 19


THE ROLE OF COMMUNITY (AND OTHER STAKEHOLDERS) IN
COASTAL (FISHERIES) MANAGEMENT: SOME REFLECTIONS
FROM INDONESIAN DISCOURSE AND PRACTICE
Dedi Supriadi Adhuri
(dediadhuri@hotmail.com)
Indonesian Institute of Sciences

Abstract
This paper will discuss the role of community and other stakeholders in coastal
(fisheries) management. In so doing, the discussion will work at two different
levels, theoretical and practical. For the first, the paper will explain the development
of theory of the commons and see how Indonesian cases are talked about. Hardin’s
tragedy of the commons will be the departing point of the discussion and followed
by anthropological studies on marine communal tenure and community based
management by which Indonesian cases are part of it. In the early 1980s, Indonesian
cases were used to criticize the notion of the tragedy of the common and argued that
traditional communities had been practicing sustainable coastal (fisheries)
management. Latter studies looked at the cases in more critical, and found that the
‘greening’ of the tradition happened just recently via the involvement of
conservation NGOs in 1980s. Studies also found that communal tenure and
traditional coastal management practice were seen differently by different people
and they were also integral part of the whole construction of social order in the
community. This means that the communal tenure and tradition are not only
understood as a means of resource management. Thus, when we use communal
tenure and the tradition as the basis for the establishment of a better coastal
(fisheries) management, we need to think beyond revitalization and formalization
but the improvement by which modern sciences are needed. This is the call for the
involvement of other stakeholders.
Second, the paper will demonstrate how community-based coastal management
practices in Indonesia, particularly in Maluku and Papua, are improved. This part
of the discussion will highlight some efforts conducted by The Indonesian Locally
Managed Marine Area (ILLMA) in turning communal marine tenure and the
traditional practices into a better coastal (fisheries) management. In this context, the
paper will show that the ILLMA has helped the community to focus their
perspective on communal marine area as a coastal (fisheries) management area
rather than as object of ownership. With this, the conflict pertaining to multiple
ownership claims can be avoided. The paper will also show that ILLMA has
successfully convinced communities to revise and adopt new resource management
tools for a betterment of their tradition.

20 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019


The concluding remarks of this paper will bring back the improved management
practice discussed in the second part into a theoretical perspective. In this regard, I
would argue that the improved coastal (fisheries) management practices, somehow,
have taken the form of Ecosystem-based (fisheries) management. Although we can
still question the appropriateness of the size, I believe we can still consider that the
management territory represents an ecosystem unit. Further, the regulations which
not only focus on ‘taking fish’ but also coral reef, sea grass and mangrove
protections, clearly show that community has adopted ecosystem approach to
fisheries management.
Key words: Community, Coastal (fisheries) management. Ecosystem-based
Management.

Biografi
Dedi Supriadi Adhuri, PhD (Antropologi) adalah seorang peneliti senior pada
Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB)-LIPI. Beliau menempuh
pendidikan S1Antropologi Universitas Indonesia (1990), Graduate Non-degree,
Antropologi, ANU Australia (1995), serta PhD Antroplogi di ANU Australia pada
tahun 2002. Dari tahun 2006-2010 mengikuti Post-doc WorldFish Center, dan
bekerja sebagai peneliti LIPI dari tahun 1992 hingga saat ini.

Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 21


NASKAH PROSIDING

22 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019


DOMESTIKASI IKAN SEBAGAI UPAYA MEMBUDIDAYAKAN
IKAN SELUANG (Rasbora sp.)
(Chance To Culture Seluang (Rasbora Sp.) With Domestication)
Oleh:
Elva d. Harmilia1), Helmizuryani1, Irkhamiawan Ma’ruf1, Nimas Mediyanto2
1
Program Studi Akuakultur Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Palembang
2
Mahasiswa Akuakultur Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Palembang
Email:elvamozza@gmail.com

ABTRACT
Seluang is a river fish that is a typical food of the community, especially in South
Sumatra. As an economical fish, pollution of the river environment and
overexploitation have made decline catches, especially Seluang. Fish culture is
needed to maintain the continuity of fish species and increase stock.The study was
conducted to look at opportunities for fish culture with domestication from May to
July 2019 at the Laboratory of Fisheries, Faculty of Agriculture, Muhammadiyah
University, Palembang. The method used is a Completely Randomized Design
(CRD) with six treatments and three replications with stocking densities of 5 fish,
ten fish, 15 fish, 20 fish, 25 fish, and 30 fish. The results of the 60-day study showed
domestication could be carried out, and the fish responded to the pellet feed given.
The 25-tailed stocking density treatment had a long growth with an average of
2.235 cm and a substantial growth with an average of 0.332grams. The survival
rate of treatments 5-25 fish is classified as high, with values ranging from 86-96%,
while at 30 stocked densities, the survival rate is low with a value of 79.33%.
Keywords: Cultivation, domestication, seluang fish, stocking density

ABSTRAK
Ikan seluang (Rasbora sp.) merupakan ikan sungai yang menjadi makanan khas dari
masyarakat, terutama di Sumatera Selatan. Pencemaran lingkungan sungai dan
eksploitasi berlebih membuat hasil tangkapan ikan seluang semakin rendah.
Sebagai ikan ekonomis, ikan seluang perlu mulai dibudidayakan. Penelitian
dilakukan untuk melihat peluang budidaya ikan seluang dengan upaya domestikasi.
Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juli 2019 di Laboratorium
Perikanan Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Palembang. Metode
yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 6 perlakuan dan
3 ulangan dengan padat tebar ikan seluang 5ekor, 10ekor, 15ekor, 20ekor, 25ekor
dan 30ekor. Hasil penelitian selama 60 hari menunjukkan domestikasi dapat
dilakukan dan ikan seluang merespon pakan buatan yang diberikan. Pertumbuhan
terbaik pada panjang dengan rata-rata 2,235cm dan pertumbuhan berat dengan rata-
rata 0,332gram pada padat tebar 25 ekor. Tingkat kelangsungan hidup ikan seluang
padat tebar 5- 25 ekor tergolong tinggi dengan nilai berkisar 86-96%, sementara
pada padat tebar 30 ekor, kelangsungan hidup rendah dengan nilai 79,33%.
Kata Kunci : Budidaya, domestikasi, ikan seluang, padat tebar
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 23
PENDAHULUAN

Daerah aliran Sungai Musi yang termasuk dalam perairan umum memiliki
keanekaragaman jenis ikan yang tinggi. Menurut BRPPU (2010), tidak kurang dari
233 spesies ikan di Sungai Musi yang keseluruhan tercakup dalam 38 familia. Ikan
seluang merupakan salah satu keanekaragaman jenis ikan di Sungai Musi yang
termasuk ke dalam genus Rasbora. Di Asia Tenggara danAfrika dapat ditemukan
70 spesies Rasbora, sedangkan di Indonesia terdapat beberapa spesies seperti;
Rasbora heteromorpha, Rasbora argyrotaenia, Rasbora bankanesis, Rasbora
borapetensis, Rasboraeleganns (BRPPU, 2007). Ikan seluang di Indonesia tersebar
di Pulau Sumatera, Kalimantan dan Jawa (Kottelat, 1993). Ikan seluang memiliki
beberapa nama lokal, seperti ikan bada (Sumatera Barat), ikan paray (Jawa Barat),
ikan wader (Jawa), ikan badar (Sungai Rokan, Riau), ikan pantau (Kampar), ikan
cempedik (Belitung), ikan marem (Mariana, Banyuasin) dan ikan depik (Aceh
Tengah). Ikan depik (Rasbora tawarensis) merupakan ikan endemik di Laut Tawar
Kabupaten Aceh Tengah menurut Weber and de Beaufort (1916). Ikan seluang di
Jogjakarta tepatnya di Kabupaten Kulon Progo disebut ikan wader pari. Ikan ini
menjadi komoditas penting bagi warga Kulon Progo (Djumanto et al., 2008).
Ikan seluang yang bernilai ekonomis merupakan makanan khas masyarakat
di Sumatera Selatan. Ikan seluang dalam bentuk goreng banyak disajikan di rumah
makan, restoran bahkan di hotel berbintang dengan harga yang tinggi. Husnah dan
Nasyirudin (2009) menjelaskan bahwa ikan seluang habitatnya di air yang mengalir
dengan kecepatan arus berkisar 0,2-1,1m/detik seperti badan utama sungai dan
anak-anak sungai. Sulit menemukan ikan seluang di tempat yang berlumpur seperti
muara (Ahmad san Nofrizal, 2011). Hampir disetiap daerah aliran Sungai Musi,
menjadi habitat ikan seluang, sehingga keberadaannya melimpah tetapi ekploitasi
berlebih dan pencemaran lingkungan membuat hasil tangkapan ikan seluang
semakin berkurang.
Ikan seluang jenis Rasbora bankanensis merupakan ikan seluang pertama
yang ditemukan di Pulau Bangka, saat ini populasinya sudah sulit ditemukan.

24 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019


Sehingga penelitian dilakukan untuk melihat peluang budidaya ikan seluang dengan
upaya domestikasi agar dapat memenuhi kebutuhan ikan seluang dan menjaga
kelestarian ikan seluang.

METODE
Penelitian dilakukan di laboratorium Perikanan Fakultas Pertanian
Universitas Muhammadiyah Palembang selama dua bulan, yaitu dari bulan Mei –
Juli 2019. Metode yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan
6 perlakuan (P1:5ekor, P2:10ekor, P3:15ekor, P4:20ekor, P5:25ekor dan
P6:30ekor) dengantiga (3) kali ulangan. Media pemeliharaan adalah akuarium
berukuran 30×30×13cm, yang berjumlah 18 buah dengan volume air 12 liter.
Ikan contoh diperoleh dari hasil tangkapan nelayan di anak sungai Musi
bagian hilir dengan menggunakan alat tangkap bubu payung pada bulan Maret-
April 2019. Bubu dipasang di sungai yang mengalir selama ± 1 jam. Ikan yang
tertangkap dipelihara di dalam bak beton agar ikan dapat beradaptasi dengan
lingkungan sebelum dilakukan penelitian.
Akuarium yang sudah dibersihkan sebagai media pemeliharaan diisi air 12
liter dan diberi aerasi, lalu dimasukkan ikan seluang sesuai dengan padat tebar.
Sebagai data awal dihitung panjang, berat dan kelangsungan hidup ikan. Selama 60
hari pemeliharaan ikan seluang dibiasakan mengkonsumsi pakan komersil secara
adlibitum, dengan frekuensi pemberian pakan dua kali sehari, pagi dan sore hari.
Pengukuran kualitas air meliputisuhu, pH, oksigen terlarut. Sampling ikan
dilakukan 15 hari sekali dengan teknik random. Ikan diambil dari setiap akuarium
sebanyak 30% dari jumlah ikan, lalu diukur panjangnya dengan rumus (Effendi,
2004) :

𝑳𝒎 = 𝐋𝐭 − 𝐋𝐨
Keterangan : Lm : Pertumbuhan panjang mutlak (cm)
Lt : Panjang akhir ikan (cm)
Lo : Panjang awal ikan (cm)

Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 25


Pertumbuhan berat adalah proses dimana bertambahnya berat benih ikan dari
awal penebaran sampai akhir penelitian dan dihitung dengan rumus (Effendi, 2004):
𝑾𝒎 = 𝐖𝐭 − 𝐖𝐨
Keterangan: Wm : Pertumbuhan berat mutlak (g)
Wt : Berat akhir ikan (g)
Wo : Berat awal ikan (g)
Kelangsungan hidup ikan yang diamati berdasarkan jumlah total ikan pada
saat awal penebaran hingga akhir penelitian pada setiap perlakuan, dan dihitung
dengan menggunakan rumus (Effendi, 2004):
𝐍𝐭
𝐒𝐑 = 𝑿𝟏𝟎𝟎%
𝐍𝐨
Keterangan: SR : Tingkat kelangsungan hidup/survival rate (%)
Nt : Jumlah ikan pada akhir penelitian (ekor)
N0 : Jumlah ikan pada awal penelitian (ekor)
Perhitungan analisis sidik ragam (ansira) dengan membandingkan F-hitung
dan F-tabel (Hanafiah, 2016) dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan
padat tebar terhadap domestikasi ikan seluang.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil
Hasil pertumbuhan panjang menunjukan nilai tertinggi pada padat tebar 25
ekor (P5) dengan nilai 2,235 cm, dan perlakuan terendah terdapat pada padat tebar
5 ekor (P1) dengan nilai 1,193 cm. Analisis sidik ragam menunjukkan
pertumbuhan panjang berpengaruh nyata.

26 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019


Pertumbuhan Panjang (cm)
2,500 2,235 2,062
2,000 1,663 1,664 1,678
1,500 1,193
1,000
0,500
0,000
15 20 5 25 10
30
Perlakuan
Gambar 1. Pertumbuhan panjang ikan seluang berdasar perlakuan.

Hasil pertumbuhan berat ikan seluang yang terbaik terdapat pada padat tebar
25 ekor (P5) dengan berat rata-rata 0,332gram sedangkan perlakuan yang terendah
terdapat pada padat tebar 5 ekor (P1) dengan berat rata-rata 0,115gram.
Berdasarkan analisis sidik ragam menunjukkan pertumbuhan berat berpengaruh
nyata.

0,350 0,332
0,313 0,308
0,300
Pertumbuhan Berat (g)

0,250
0,207
0,200
0,146
0,150 0,115
0,100
0,050
0,000
5 10 15 20 25 30
Perlakuan (ekor)
Gambar 2. Pertumbuhan berat ikan seluang berdasar perlakuan.

Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 27


Tingkat kelangsungan hidup atau sintasan (survival rate) adalah persentase
jumlah biota budidaya yang hidup dalam kurun waktu tertentu, dari awal ikan
ditebar hingga ikan dipanen (Kordi, 2008).

120,00
Kelangsungan Hidup (%)

100,00 96,67 93,33 90,00 86,67 86,67


79,33
80,00

60,00

40,00

20,00

0,00
5 10 15 20 25 30
Perlakuan (ekor)
Gambar 3. Tingkat kelangsungan hidup ikan seluang berdasar perlakuan.

Padat tebar 5 ekor memiliki tingkat kelangsungan hidup tertinggi diantara


padat tebar lainnya dan padat tebar 30 ekor terendah.

Tabel 1. Data Kualitas Air


No Parameter Kisaran Satuan
1. Oksigen Terlarut 4,9 – 5,8 mg/l
2. pH 7,0 – 7,5
3. Suhu 28 - 32 ºC

Data kualitas air pada media pemeliharaan diambil setiap 15 hari sekali
dengan menggunakan DO meter untuk menganalisis oksigen terlarut, pH meter
untuk mengukur keasaman dan termometer untuk mengukur suhu.

28 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019


Pembahasan
Pemeliharaan awal (dalam bak beton), ikan seluang diberi pakan cacing
tubifex agar ikan seluang tidak kaget terhadap perubahan makanan yang biasanya
memakan makanan alami. BRPPU (2007) menjelaskan bahwa ikan seluang
memakan zooplankton, serangga, cacing tanah dan crustacea. Penelitian
Sulistiyarto (2012) menyebutkan bahwa, ikan seluang mendapatkan makanannya
dari fitoplankton, tumbuhan darat (daun/buah/biji), detritus, hewan invertebrata
(rotifer dan crustacea renik), dan insekta darat, sehingga tergolong dalam
omnivora. Setelah lebih kurang dua bulan pemeliharaan, ikan seluang dipindahkan
ke dalam akuarium untuk mendapat perlakuan.

Gambar 4. Pengukuran ikan Rasbora borapetensis

Ikan seluang yang tertangkap terdapat dua jenis yaitu Rasbora argyrotaenia
dan Rasbora borapetensis. Dua minggu awal pemeliharaan Rasbora argyrotaenia
banyak mengalami kematian dibandingkan dengan Rasbora borapetensis. Satu
minggu pertama Rasbora argyrotaenia merespon makanan dengan baik tetapi di
minggu kedua menjadi lebih pasif dan tidak merespon makanan.
Berdasarkan informasi nelayan setempat, saat musim kemarau di sepanjang
anak Sungai Musi banyak terdapat ikan seluang yang kecil. Menurut Windarti
(2004) bahwa di musim penghujan ikan Rasbora trilineata melakukan pemijahan
(Oktober-Desember). Penelitian Suryani, F.Y et al. (2019) menyatakan ikan
seluang kecil berukuran 2-6cm, sedang 7-11cm dan besar 12-16cm, dengan
demikian ikan sampel yang tertangkap pada bulan Maret dan April 2019 oleh
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 29
nelayan adalah anakan ikan seluang atau ikan kecil dengan ukuran 1-2cm. Menurut
Sudarto (2010), panjang ikan seluang maksimum mencapai 12 cm, tidak
mempunyai sungut tetapi memiliki duri sirip punggung 2 buah. Diduga kematian
ikan jenis Rasboravargyrotaenia yang tertangkap di anak Sungai Musi tidak tahan
terhadap perubahan lingkungan karena masih anakan.

Gambar 5. Alat tangkap bubu payung

Rasbora borapetensis yang tertangkap memiliki panjang berkisar 2-3cm.


Ikan seluang Rasbora borapetensis memiliki panjang maksimum 6cm (BRPPU,
2007). Diduga ikan ini dapat bertahan hidup karena ikan ini menuju dewasa.
Seluang jenis Rasbora borapetensis banyak ditemukan di anak Sungai Musi yang
digunakan warga setempat untuk membuat pempek, kerupuk dan dijadikan lauk
makan. Menurut Said dan Mayasari (2010), ikan seluang tidak hanya dapat
dikonsumsi tetapi juga digunakan sebagai ikan hias. Di beberapa kawasan di Asia
ikan ini dijadikan ikan hias favorit.
Penangkapan ikan seluang untuk domestikasi dilakukan kembali untuk
mengganti ikan-ikan yang telah mati, sehingga semua ikan sampel adalah ikan
seluang dengan jenis Rasbora borapetensis. Selama 60 hari penelitian, ikan seluang
merespon makanan yang diberi (pelet komersil PF 500).

30 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019


Gambar 6. Media pemeliharaan

Hasil uji BNT menunjukkan padat tebar 25 ekor berbeda nyata terhadap
pertumbuhan panjang dan berat ikan seluang. Hal ini dikarenakan ikan seluang
hidupnya berkoloni dan tidak pernah menyendiri di air yang jernih. Semakin
banyak ikan yang ditebar maka respon ikan terhadap pakan juga lebih tinggi,
sehingga pertumbuhan ikan juga meningkat seiring dengan peningkatan padat
tebar. Pada padat tebar yang tinggi, ikan akan mempunyai daya saing dalam
memanfaatkan makan dan ruang gerak, sehingga memicu ikan lainnya untuk
bergerak aktif dalam pemanfaatan makanan. Kondisi ini sejalan dengan ungkpan
Sarah et al. (2009) bahwa pertumbuhan ikan tergantung pada beberapa faktor yaitu
jenis ikan, sifat genetik dan kemampuan memanfatkan pakan. Menurut Effendi
(2002), pertumbuhan benih ikan terjadi akibat adanya asupan makanan yang masuk
ke dalam tubuh dan diubah menjadi energi untuk beraktifitas dan metabolisme.
Makanan yang didapat oleh ikan digunakan untuk pergerakan, pemulihan organ
tubuh yang rusak, dan selebihnya digunakan untuk pertumbuhan (Helmizuryani et
al. 2017).
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa domestikasi ikan seluang
tidak berpengaruh nyata terhadap kelangsungan hidup, dengan nilai SR lebih dari
79,33%. Dikarenakan kemampuan hidup ikan cukup tinggi dalam domestikasi,
sehingga dengan padat tebar yang berbeda tidak berpengaruh secara nyata. Tingkat
kelangsungan hidup dapat digunakan sebagai salah satu indikator keberhasilan
suatu kegiatan budidaya ikan. Jika diperoleh nilai SR yang tinggi pada suatu

Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 31


kegiatan budidaya, maka dapat dikatakan bahwa kegiatan budidaya yang dilakukan
telah berhasil dan sebaliknya (Helmizuryani dan BobyMuslimin, 2015).
Selama 60 hari pemeliharaan, pada padat tebar 30 paling banyak mengalami
kematian. Ini disebabkan air pada media pemeliharaan mudah keruh akibat sisa
metabolisme tubuh ikan. Dengan padat tebar yang banyak, maka sisa metabolisme
cukup membuat air menjadi keruh. Ikan seluang merupakan ikan yang hidup di
perairan tawar seperti sungai dan rawa, ikan seluang termasuk jenis hewan diurnal,
hewan ini aktif beraktifitas di siang hari, hidup berkoloni dan tidak pernah
menyendiri di air yang jernih, tempat yang berarus tidak terlalu deras Diana (2007).
Media air yang mengalami kekeruhan menyebabkan kecerahan yang rendah.
Menurut Sihombing (2012) ketika ikan lapar, ikan akan menuju ketempat yang
mempunyai intensitas cahaya yang cukup tinggi.
Augusta (2018) menyatakan bahwa, adaptasi ikan seluang terhadap
lingkungan dan makanan yang baru sangat cepat, dan toleransi terhadap perubahan
parameter kualitas air DO, pH dan suhu cukup tinggi. Hasil penelitian menunjukan
kadar oksigen terlarut berkisar antara 4,9 – 5,8 mg/l. Nilai kadar oksigen terlarut
tersebut masih dalam batas optimum yang telah dianjurkan, sehingga pertumbuhan
dan kelangsungan hidup ikan seluang tumbuh secara wajar. Nilai pH dan suhu air
selama penelitian masih dalam kisaran normal, dimana nilai pH berkisar antara 7,0
– 7,5, Hal tersebut sesuai dengan pendapat Sutrisno (2007), setiap organisme
memerlukan kisaran nilai pH untuk dapat hidup dan berkembang biak bila derajat
keasaman air tidak sesuai ikan tidak dapat hidup dengan baik, bahkan dapat
berakibat pada kematian. Effendi (2003) manyatakan kisaran nilai pH antara 7,0 –
8,0 baik untuk budidaya ikan. Berdasarkan hasil yang didapat, suhu selama
penelitian berkisar 28 – 32 ºC. Suhu optimal bagi kehidupan dan baik untuk
pertumbuhan ikan berkisar 25 - 32 ºC (Kordi, 2015).

KESIMPULAN
Ikan seluang merespon pakan yang diberi dan dapat bertahan hidup pada
media pemeliharaan. Pertumbuhan panjang dan berat terbaik terdapat pada padat

32 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019


tebar 25 ekor dengan panjang rata-rata 2,235 cm dan berat rata-rata 0,332 g. Tingkat
kelangsungan hidup lebih dari 79% sehingga ikan seluang (Rasbora borapetensis)
dapat didomestikasi sebagai upaya membudidayakan ikan.

SARAN
Penelitian hendaknya diteruskan dengan menganalisis kualitas air pada media
pemeliharaan dengan menambah parameter total alkalinitas dan amoniak.
Domestikasi lanjutan dilakukan dengan beberapa jenisikan seluang hasil tangkapan
di sepanjang Sungai Musi (inventarisasi ikan seluang) dengan melakukan
pertimbangan hasil FCR yang lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad M, Nofrizal. 2011. Pemijahan dan Penjinakan Ikan Pantau(Rasbora
latestriata). Jurnal Perikanan dan Kelautan, 16(1): 71-78.
Augusta TS. 2018. Studi Adaptasi Ikan Seluang (Rasbora agyrotaenia)
Berdasarkan Tahap Domestikasi dari Perairan Sebangau. University
Palangka Raya. Jurnal Daun. 5(1).
Arsyad MN, Syaefudin A. 2010. Food and Feeding Habit of Rasbora (Rasbora
argyrotaenia, Blkr) in The down Stream of Musi River. Proceeding of
Internastional Conference on Indonasian Inland Waters II. Reasearch Institute
for Inland Fisheries, Palembang . Hal 217-224.
Balai Riset Perikanan Perairan Umum. 2007. Mengenal Ikan Perairan Umum.
Balai Riset Perikanan Perairan Umum, Palembang.
Balai Riset Perikanan Perairan Umum. 2010. Perikanan Perairan Sungai Musi
Sumatera Selatan. Palembang: Balai Riset Perikanan Perairan Umum.
Dian M, Helmi H, dan Arsyad N. 2017. Kebiasaan Makan Ikan Seluang (Rasbora
agrytaenia) di Perairan Sungai Musi. Program Studi Ilmu Perikana, Fakultas
Perikanan, Universitas PGRI Palembang. (https://jurnal.univpgri-
palembang.ac.id diakses 28 maret 2019).

Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 33


Diana, Erlis. 2007. Tingkat Kematangan Gonad Ikan Wader (Rasbora
argyrotaenia) di Sekitar Mata Air Ponggok Klaten Jawa Tengah. Jurusan
Biologi Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas
Sebelas Maret Surakarta. (https://eprints.uns.ac.id diakses 28 maret 2019).
Dina R. 2008. Rencana Pengelolaan Sumberdaya Ikan Bada
(Rasboraargyrotaenia) Berdasarkan Analisis Frekuensi Panjang di Danau
Maninjau Sumatera Barat. [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Djumanto, Setyobudi E, Sentosa AA, Budi R, dan Nerwati NCI. 2008.
Reproductive Biology Of The Yellow Rasbora (Rasbora lateristriata) In
Habitat Of the Ngerfancah River, Kulon Progo Regency. Journal of Fisheries
Sciencie. 10(2): 261-275
Effendi MI. 2002. Biologi Perikanan. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusantama.
Effendi MI. 2003. Telaah Kualitas Air. Yogyakarta: Kanisius.
Effendi MI. 2004. Metode Biologi Perikanan. Bogor: Penerbit Dwi Sari.
Hanafiah KA. 2016. Rancangan Percobaan Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Helmizuryani dan B. Muslimin. 2015. Efesiensi Pakan Dengan Kadar Protein Yang
Berbeda Padaikan Betok (Anabas testudineus). Seminar Nasional Sains &
Teknologi VI. Lembaga Penelitian dan Pengabdian Universitas Lampung.
(http://satek.unila.ac.id/wp-content/uploads/2015/08/63 diakses 27 Agustus
2019).
Helmizuryani, B. Muslimin dan K, Khotimah. 2017. Pembetinaan Ikan Betok,
Anabas testudineus (Bloch, 1792) Menggunakan Larutan Susu Dan Kedelai
Melalui Perendaman Larva. Prodi Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian,
Universitas Muhammadiyah Palembang. Jurnal Iktiologi Indonesia, 17(2):
123-132 (http://doi.org/10.32491/jii.v17i2.352 diakses 27 Agustus 2019).
Husnah dan NM Arsyad. 2009. Keragaman Jenis Seluang (Rasbora sp.) di Perairan
Umum. Palembang: Universitas PGRI Palembang Bekerjasama dengan Balai
Riset Perikanan Perairan Umum Palembang. 56 hal.
Kordi MGH. 2008. Budi Daya Perairan. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

34 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019


Kordi MGH. 2015. Pengelolaan Perikanan Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Baru
Press.
Kottelat M, AJ Whitten, SN Kartika, dan S Wirjoatmodjo. 1993.Ikan Air Tawar
Indonesia Bagian Barat dan Sulawesi. Hong Kong: Periplus Editions. 344 p.
Said DS, dan Mayasari N. 2010. Pertumbuhan dan Pola Reproduksi Ikan Bada
(Rasbora argyrotaenia) pada Rasio Kelamin yang Berbeda. Limnotel. 17(2) :
201-209.
Sarah S, Widanarni dan AO Sudrajat. 2009. Pengaruh Padat Penebaran terhadap
Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Ikan Gurame (Osphronemus
goramy). Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kalautan, Institut Pertanian Bogor.
Jurnal Akuakultur Indonesia. 8 (2): 199-207.
Sihombing ME. 2012. Pengaruh Intensitas Cahaya Lampu Bawah Air dengan
Senter Light Emitting Diode pada Reaksi Fototaksis Ikan Perairan
Kepulauan Seribu. [Skripsi] Bogor: IPB.
Sudarto. 2010. Plasma Nutfah Ikan Hias Sumatera. Balai Riset Budidaya Ikan
Hias, Bogor. (http://ejournal-balitbang.kkp.go.id diakses 25 maret 2019).
Sulistiyarto B. 2012. Hubungan Panjang Berat, Faktor Kondisi, dan Komposisi
Makanan Ikan Saluang (Rasbora argyrotaenia Blkr) di Dataran Banjir Sungai
Rungan, Kalimanatan Tengah.Jurnal Ilmu Hewani Tropika. 1 (2) : 62-66.
Suryani FY. Setyawati, T.R, Yanti. AH. 2019. Struktur Populasi Ikan Seluang
(Rasbora argyrotaenia Blkr) di Hilir Sungai Sekadau Kecamatan Sekadau
Hilir Kabupaten Sekadau. Jurnal Protobiont. 18(2): 74-81.
Sutrisno. 2007. Budidaya Ikan Air Tawar. Jakarta: Ganeca Exacta.
Weber M. & de BeaufortLF. 1916. The Fishes of The Indo-Australian Archipelago.
Vol.III Ostariophysi; II Cyprinoideae, Apodes, Synbranchi, E-J-Brill Ltd.
Leiden. 279 hal.

Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 35


LAJU PENANGKAPAN HIU YANG DIDARATKAN DI TANJUNG LUAR,
LOMBOK TIMUR

Shark Capture Rate Landed In Tanjung Luar, East Lombok


Oleh:
Gussasta Levi Arnenda1*, Irwan Jatmiko1, dan Riska Fatmawati2
1
Loka Riset Perikanan Tuna, BRSDMKP, Kementerian Kelautan dan Perikanan
2
Program Studi Teknologi Perikanan Laut, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Institut Pertanian Bogor
*Korespondensi: gussastaarnenda@gmail.com

ABSTRACT
Shark is the main target in Tanjung Luar, East Lombok with increasing fishing
efforts. This issue contradicts with the several regulations regarding the capture,
use and conservation of shark species in Indonesia. This study aims to examine the
rate of shark landed in Tanjung Luar from March to December 2018. The method
used is direct data collection using survey methods and data processing with the
Catch per Unit Effort (CpUE) consisting of fishing gear types, number of species,
biomass and number of ships. Data analysis is performed descriptively based on
shark catch rate. The results was given reveals that a total number of 10,712
individuals from 15 variations of fishing gear, obtained the highest average catch
rate of catching individuals by a fleet that operated drift gillnet and drift longline
was 7.90 tails / ship / month. Furthermore, the highest average cacth rate based on
biomass is owned by the fleet that operates the drift longline (242.89 kg/ ship/
month). Based on the results of the analysis, the value of shark catch rate is
influenced by several factors including the gear, the method of operation and the
skills of fisherman.
Keywords: Catching rate, East Lombok, shark, Tanjung Luar

ABSTRAK
Produksi perikanan hiu merupakan kelompok ikan target utama di Tanjung Luar,
Lombok Timur dengan upaya penangkapan yang terus meningkat. Hal ini
bertentangan dengan beberapa peraturan terkait penangkapan, pemanfaatan dan
status perlindungan spesies hiu di Indonesia. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan
untuk mendapatkan informasi terkait laju penangkapan hiu yang didaratkan di
Tanjung Luar selama bulan Maret – Desember 2018. Metode penelitian ini dengan
melakukan pendataan langsung menggunakan metode survey dan pengolahan data
berdasarkan perhitungan catch per unit effort (CPUE) terdiri dari jenis alat tangkap,
jumlah spesies, biomassa dan jumlah kapal. Analisis data dilakukan secara
deskriptif berdasarkan laju tangkapan hiu. Hasil penelitian menunjukkan dari

36 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019


10.712 ekor hiu dengan 15 variasi alat tangkap, rerata laju penangkapan individu
tertinggi oleh armada yang mengoperasikan gillnet hanyut dan rawai hanyut sebesar
7,90 ekor/kapal/bulan. Rerata laju penangkapan berdasarkan biomassa tertinggi
dimiliki oleh armada yang mengoperasikan alat tangkap rawai hanyut (242,89
kg/kapal/bulan). Berdasarkan hasil analisa, nilai laju penangkapan hiu dipengaruhi
oleh beberapa faktor diantaranya yaitu jenis alat tangkap, metode pengoperasian
dan keahlian nelayan dalam mengoperasikan alat tangkap.
Kata kunci: Hiu, laju tangkap, Lombok Timur, Tanjung Luar

PENDAHULUAN
Hiu merupakan salah satu komoditas perikanan yang memiliki nilai ekologis
yang penting dalam ekosistem terumbu karang dan lautan (Hanifa 2017). Spesies
Elasmobranchii ini adalah predator puncak pada rantai makanan di laut dan jika
ditangkap terus menerus akan mengalami kepunahan, sehingga ekosistem laut akan
mengalami kerusakan parah (Graham et al. 2010; Hanifa 2017). Data FAO
melaporkan bahwa total tangkapan hiu di dunia pada tahun 1994 mencapai 731 ribu
ton (Fahmi dan Dharmadi 2005). Dari jumlah tersebut, Negara di Asia
menyumbang 60% dari total tangkapan tersebut (Froeschke et al. 2010). Empat
negara di Asia, yaitu Indonesia, India, Jepang dan Pakistan berkontribusi sekitar
75% dari total tangkapan ikan hiu di wilayah Asia (Bonfil 2002).
Salah satu daerah potensial penangkapan dan produksi hiu berdasarkan
distribusinya di Indonesia adalah Tanjung Luar (Sentosa 2016). Keragaan jenis hiu
dan pari hasil tangkapan nelayan Tanjung Luar juga relatif tinggi dimana tahun
2016 tercatat lebih banyak lagi jenisnya, yaitu sekitar 21 famili dan 70 spesies ikan
hiu, 6 famili dan 33 spesies pari serta 1 famili dan 2 spesies Chimaera atau hiu hantu
(Sentosa et al. 2017). Aktivitas penangkapan hiu oleh nelayan Tanjung Luar
menggunakan alat tangkap rawai (longline) yang dioperasikan di dasar maupun di
permukaan walaupun juga terdapat alat tangkap lainnya yang digunakan seperti
jaring insang (gillnet), pancing dan jaring lingkar (White et al. 2012; Dharmadi et
al. 2013; Fahmi dan Dharmadi 2015). Tingginya kegiatan penangkapan yang
dilakukan oleh nelayan Tanjung Luar dipengaruhi oleh faktor permintaan pasar

Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 37


yang tinggi (Froeschke et al. 2010; Hanifa 2017). Selain itu, nelayan juga
menjadikan kegiatan penangkapan hiu adalah bagian dari mata pencaharian utama
nelayan Tanjung Luar (Sentosa dan Haryadi 2018).
Kegiatan penangkapan hiu dengan berbagai macam alat tangkap yang
dilakukan dengan intensif akan berdampak terhadap ancaman kelestarian spesies
hiu di alam. Ancaman kelestarian tersebut dapat terlihat dari penurunan produksi
dan penurunan upaya penangkapan ikan (Stevens et al. 2000; Bonfil 2002;
Cavanagh et al. 2003; Blaber et al. 2009 dan Graham et al. 2010). Dampak dengan
terus menurunnya hiu di perairan akan mempengaruhi ketersediaan sumberdaya
ikan di laut dan keberlangsungan kegiatan penangkapan nelayan (Dharmadi et al.
2008). Oleh karena itu, diperlukan sebuah pengaturan terkait kegiatan operasi
penangkapan hiu di Tanjung Luar untuk menjaga ketersediaan sumberdaya ikan di
perairan. Perumusan pengaturan tersebut dapat dilakukan oleh pemerintah sebagai
pihak yang memiliki wewenang dalam pembuatan kebijakan. Permintaan yang
tinggi oleh konsumen terhadap komoditas hiu menjadikan nelayan Tanjung Luar
semakin intensif melakukan penangkapan dengan menggunakan berbagai macam
alat tangkap yang berbeda. Kegiatan penangkapan dengan intensitas tinggi
menyebabkan beberapa permasalahan diantaranya: a) penurunan produksi
tangkapan hiu; dan b) penurunan ketersediaan sumberdaya ikan. Oleh karena itu,
penelitian terkait laju tangkap hiu penting dilakukan untuk mendapatkan informasi
terkait indeks kelimpahan populasi hiu khususnya di wilayah Tanjung Luar. Hasil
dari studi ini diharapkan dapat dijadikan sebagai rekomendasi pada kegiatan
pengelolaan yang berkelanjutan.

METODE
Penelitian dilakukan di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Tanjung Luar,
Lombok Timur selama bulan Maret – Desember 2018 (Gambar 1). Pengumpulan
data terkait jenis alat tangkap, jumlah spesies, biomassa dan jumlah kapal
didapatkan melalui pendataan secara langsung menggunakan metode survey.
Pencatatan data dilakukan setiap hari dari sejumlah kapal yang menggunakan

38 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019


berbagai alat tangkap di Tanjung Luar. Kemudian identifikasi terkait jenis spesies
hiu mengacu pada Compagno (1998), Allen (1999), White et al. (2006) dan IOTC
(2012).

Gambar 1 Peta lokasi penelitian PPI Tanjung Luar, Lombok Timur

Pengambilan data hiu dengan melakukan pendataan di PPI Tanjung Luar


berdasarkan hasil tangkapan dari 15 alat tangkap, dari lapangan dikelompokkan
berdasarkan jumlah ekor tangkap dan biomass tangkapan. Data penelitian
selanjutnya diolah menggunakan perhitungan rumus catch per unit effort (CpUE)
(Dharmadi et al. 2010). Hasil tangkapan dihitung berdasarkan jumlah ekor atau
bobot hiu secara total dibagi dengan jumlah kapal yang beroperasi setiap bulannya
. Rumus persamaan yang diguanakan adalah sebagai berikut:

𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑇𝑎𝑛𝑔𝑘𝑎𝑝𝑎𝑛
𝐶𝑝𝑈𝐸 = 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ (1)
𝑇𝑟𝑖𝑝 𝐾𝑎𝑝𝑎𝑙

Keterangan:
𝐶𝑝𝑈𝐸 : Hasil tangkapan per upaya penangkapan alat tangkap
Total tangkapan : Jumlah hiu yang tertangkap baik ekor ataupun bobotnya
Jumlah Trip kapal : Trip kapal yang melakukan penangkapan
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 39
Hasil pengolahan data kemudian dilakukan analisis deskriptif, dengan
menjelaskan semua rangkaian kegiatan mulai dari komposisi hasil tangkapan dan
laju tangkap hiu yang didaratkan di Tanjung Luar.

HASIL
Tanjung Luar merupakan salah satu sentra pendaratan hiu terbesar di Wilayah
Pengelolaan Perikanan (WPP) 573 dimana hampir sebagian besar jenis hiu
ditangkap dan didaratkan secara utuh dengan alat tangkap didominasi oleh rawai
dasar dan rawai hanyut (White et al. 2012; Dharmadi et al. 2013; Sentosa et al.
2016). Jenis hiu yang didaratkan di Tanjung Luar merupakan hasil tangkapan dari
nelayan sekitar perairan Nusa Tenggara Barat. Berdasarkan hasil survey diperoleh
tangkapan hiu yang didaratkan sebanyak 10.712 ekor yang dibagi menjadi
berdasarkan jumlah ekor dan berat (Gambar 2 dan 3).

Proporsi Tangkapan Hiu berdasarkan Jumlah Ekor


Maret - Desember 2018
Triaenodon obesus
Alopias pelagicus
Triaenodon obesus
Galeocerdo cuvier
Isurus oxyrinchus
Carcharhinus limbatus
Carcharhinus falciformis
Alopias pelagicus
Spesies

Orectolobus leptolineatus
Hemitriakis indroyonoi
Galeocerdo cuvier Total-ID
Atelomycterus marmoratus (Ekor)
Carcharhinus falciformis
Carcharhinus brevipinna
Carcharhinus leucas
Heptranchias perlo
Mustelus manazo
Galeocerdo cuvier
Triaenodon obesus
0 50 100
Ekor
Gambar 2 Proporsi tangkapan hiu berdasarkan jumlah ekor Maret – Desember 2018

40 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019


Proporsi Tangkapan Hiu berdasarkan Berat
Maret - Desember 2018
Lago garricki
Hexanchus nakamurai
Orectolobus leptolineatus
Carcharhinus falciformis
Prionace glauca
Carcharhinus obscurus
Carcharhinus sorrah
Isurus oxyrinchus
Hexanchus nakamurai
Carcharhinus obscurus
Spesies

Loxodon macrorhinus
Sphyrna lewini
Carcharhinus falciformis
Prionace glauca Weight-ID
Sphyrna lewini (kg)
Galeocerdo cuvier
Hemitriakis indroyonoi
Squalus nasutus
Triaenodon obesus
Hemitriakis indroyonoi
Triaenodon obesus
Mustelus manazo
Triaenodon obesus
0,00 1000,00 2000,00 3000,00
Kg
Gambar 3 Proporsi tangkapan hiu berdasarkan jumlah berat Maret – Desember 2018

Armada penangkapan hiu di PPI Tanjung Luar merupakan multigear. Operasi


penangkapan yang dilakukan nelayan menggunakan beberapa alat tangkap pada
satu kapal yaitu beberapa jenis pancing ulur seperti pancing tuna dan pancing
rentak. Hasil survey diperoleh data 15 alat tangkap yang digunakan oleh nelayan
Tanjung Luar (Gambar 4). April
350
300 September
Jumlah (Unit)

250 November
Agustus
200
Desember
150
Juli
100
Juni
50
Maret
0 Mei
Oktober

Alat Tangkap

Gambar 4 Proporsi alat tangkap hiu Maret – Desember 2018

Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 41


Hasil perngolahan laju tangkap hiu dari perhitungan hasil tangkapan per
satuan upaya (CpUE) berdasarkan pada alat tangkap yang digunakan dari jumlah
individu dan biomassa dapat dilihat pada Gambar 5 dan 6.

9
8
CpUE (Ekor/kapal/bulan)

7
6
5
4 Total
3
2
1
0

Alat Tangkap

Gambar 5 Laju tangkap hiu berdasarkan jumlah spesies (ind) Maret - Desember 2018

300
CPUE (kg/kapal/bulan)

250
200
150
100
Total
50
0

Alat Tangkap
Gambar 6 Laju tangkap hiu berdasarkan jumlah biomassa (kg) Maret – Desember 2018

PEMBAHASAN
Proporsi jenis hiu yang didaratkan di Tanjung Luar pada tahun 2018 secara
umum tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya oleh White et al.
(2012), Faizah et al. (2013) dan Chodrijah (2014) dimana famili Carcharhinidae
mendominasi hasil tangkapan dari spesies hiu kejen (Carcharhinus falciformis).
Jenis hiu yang didaratkan pada tahun 2018 relatif lebih beragam yang terdiri dari
72 spesies, dengan spesies dominan diantaranya adalah Carcharhinus falciformis

42 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019


(11%), Sphyrna lewini (8%) dan Galeocerdo cuvier (8%). Hasil tangkapan hiu di
Tanjung Luar termasuk mendominasi karena hiu menjadi target tangkapan utama
(Sentosa 2018). Hiu yang didaratkan di Tanjung Luar sebagian besar telah memiliki
status konservasi sehingga perlu diperhatikan keberadaanya seperti CITES
Appendix II dan IUCN. Beberapa jenis hiu memang telah ada pengaturan
pengelolaan oleh Pemerintah melalui Peraturan Kementerian Kelautan dan
Perikanan seperti hiu martil (Sphyrna spp.) dan hiu koboi (Carcharhinus
longimanus). Aturan mengenai hiu tersebut masih terdapat kekurangan dimana
hanya melarang ekspor ke luar negeri dan untuk penangkapan di Indonesia masih
diperbolehkan. Hal ini berdampak pada status penangkapan hiu di perairan Tanjung
Luar dalam status legal.
Hasil tangkapan hiu yang didaratkan oleh nelayan Tanjung Luar diperoleh
dari beberapa alat tangkap. Hasil penelitian menyebutkan salah satu wilayah
perairan di Lombok Timur ini terdapat 15 variasi alat tangkap. Dominasi alat
tangkap yang dioperasikan adalah rawai dasar (857 unit), rawai hanyut (356) serta
gillnet dan rawai hanyut (154). Pengoperasian alat tangkap oleh nelayan Tanjung
Luar berpengaruh terhadap jenis dan ukuran ikan. Alat tangkap rawai (longline)
dan jaring insang (gillnet) mendominasi tangkapan hiu dikarenakan prosentase
tertangkapnya hiu lebih banyak pada alat tangkap tersebut (Zainudin 2011). Secara
umum hiu memiliki peluang untuk tertangkap pada semua alat tangkap, tetapi
beberapa jenis hiu bersifat demersal, sehingga akan cenderung tertangkap pada
rawai atau jaring insang yang dipasang di dasar perairan (Sudirman dan Mallawa
2004).
Berdasarkan perpaduan alat tangkap gillnet hanyut dan rawai hanyut yang
dioperasikan oleh nelayan Tanjung Lua, memiliki kecenderungan CpUE yang
tinggi berdasarkan proporsi jumlah ekor (ind). Rata-rata laju tangkap hiu di Tanjung
Luar berdasarkan individu tertinggi oleh armada yang mengoperasikan gillnet
hanyut dan rawai hanyut sebesar 7,90 ekor/kapal/bulan. Hal ini dipengaruhi oleh
metode pengoperasikan yang digunakan, dimana rawai dan jaring insang dipasang
secara menetap dan dihanyutkan di dasar perairan. Hasil penelitian dari

Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 43


penangkapan nelayan pada nilai CPUE berdasarkan biomassa (kg) rata-rata laju
tangkap hiu tertinggi dimiliki oleh armada yang mengoperasikan alat tangkap rawai
hanyut (242,89 kg/kapal/bulan). Secara umum laju tangkap tahun 2018 sejalan
dengan penelitian Fahmi dan Dharmadi (2015) dan Sentosa et al. (2016), dimana
alat tangkap gillnet dan rawai cenderung memperoleh hasil tangkapan hiu lebih
banyak.
Trend hasil tangkapan hiu di Indonesia pada beberapa tahun terakhir
cenderung mengalami penurunan (Fahmi dan Dharmadi, 2013; 2015). Kondisi
tersebut mengindikasikan telah terjadinya fenomena tangkap lebih terkait
komoditas hiu. Kecenderungan pola pendaratan hiu yang semakin berkurang dapat
menjadi dasar untuk pengelolaan perikanan hiu secara berkelanjutan. Perikanan hiu
di Tanjung Luar memiliki dampak sosial ekonomi yang cukup kompleks, dimana
banyak yang terkait dalam pemanfaatan hasil sumber daya hiu. Pengaturan
perikanan hiu perlu dilakukan dengan bijak agar masyarakat lokal dapat
memanfaatkan keberadaan hiu di perairan WPP 573 tanpa mengabaikan aspek
konservasinya.

KESIMPULAN
Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa dari 10.712 ekor hiu dengan 15
variasi alat tangkap, rerata laju penangkapan individu tertinggi oleh armada yang
mengoperasikan gillnet hanyut dan rawai hanyut sebesar 7,90 ekor/kapal/bulan.
Rerata laju penangkapan berdasarkan biomassa tertinggi dimiliki oleh armada yang
mengoperasikan alat tangkap rawai hanyut (242,89 kg/kapal/bulan). Berdasarkan
hasil analisa, nilai laju penangkapan hiu dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya yaitu jenis alat tangkap, metode pengoperasian dan keahlian nelayan
dalam mengoperasikan alat tangkap.

UCAPAN TERIMA KASIH


Terima kasih Kepada Kepala Loka Riset Perikanan Tuna, penelitian ini
merupakan bagian dari kegiatan Loka Riset Perikanan Tuna TA. 2018. Terimakasih

44 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019


juga penulis ucapkan untuk Bram Setyadji, S.Kel.,M.Si. selaku ketua tim peneliti
Loka Riset Perikanan Tuna. PSDKP Labuhan Lombok, UPT Tanjung Luar.
Enumerator tanjung luar (Sdr. Galih Raka Siwi)

DAFTAR PUSTAKA
Allen G. 1999. Marine Fishes of South East Asia: A Field Guide for Anglers and
Divers. Singapore: Western Australian Museum, Periplus Edition. 292.
Blaber SJM, Dichmont CM, White W, Buckworth R, Sadiyah L, Iskandar B,
Nurhakim S, Pillans R, Andamari R, Dharmadi, Fahmi. 2009.
Elasmobranchs in Southern Indonesian Fsheries: The Fisheries, the Status
of the Stocks and Management Options. Rev Fish Biol Fisheries. 19: 367-
391.
Bonfil R. 1994. Overview of World Elasmobranch Fisheries. FAO Fisheries
Technical Paper. 341-119.
Cavanagh RD, Kyne PM, Fowler SL, Musick JA, Bennetf MB. (Eds). 2003. The
Consentalion Status of Australasian Chondrichthyans: Report of the Shark
Specialist Group Australia and Oceania regional Red List Workshop,
Queensland, Australia. Brisbane: The University of Queensland, Schoolof
Biomedical Sciences.
Chodrijah U. 2014. Komposisi dan Fluktuasi Tangkapan Ikan Cucut dari Perairan
Samudera Hindia Selatan Jawa Pada Area Selatan Nusa Tenggara Barat.
In Suman, A., Wudianto, A. Ghofar, dan J. Haluan (eds.). Status
pemanfaatan sumberdaya ikan di Samudera Hindia (WPP 572, 573) dan
Samudera Pasifik (WPP 717). Jakarta: Ref Graphika dan Balai Penelitian
Perikanan Laut.
Compagno LJV. 1984. FAO Species Catalogue. Vol. 4. Sharks of the world. An
annotated and illustrated catalogue of shark species known to date. InFAO
Fish. Synop. 125(4).
Dharmadi, Fahmi. 2008. Biodiversitas Ikan Pari yang Tertangkap di Perairan
Samudera Hindia. Prosiding Seminar Nasional Ikan V. 187-195.
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 45
Dharmadi S, Triharyuni, J Rianto. 2010. Hasil Tangkapan Cucut yang Tertangkap
dengan Jaring Insang Permukaan di Perairan Samudera Hindia.
J.Lit.Perikan.Ind. 16(4): 285– 291.
Dharmadi R, Faizah, L Sadiyah. 2013. Shark Longline Fishery in Tanjungluar East
Lombok. Indonesia Fisheries Research Journal. 19(1): 39–46.
Fahmi, Dharmadi. 2005. Status Perikanan Hiu dan Aspek Pengelolaannya. Oseana.
30: 1-8.
Fahmi, Dharmadi. 2013. Tinjauan Status Perikanan Hiu dan Upaya Konservasinya
di Indonesia. Jakarta: Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan
Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. 179.
Fahmi, Dharmadi. 2015. Pelagic Shark Fisheries of Indonesia’s Eastern Indian
Ocean Fisheries Management Region. African Journal of Marine Science.
37(2): 259–265.
Faizah R, L Sadiyah, Dharmadi. 2013. Komposisi Jenis Cucut Hasil Tangkapan
Rawai Cucut yang didaratkan di PPI Tanjung Luar, Lombok Timur. In
Kartamihardja et al. (Ed.). Prosiding Forum Nasional Pemulihan dan
Konservasi Sumberdaya Ikan IV, KSI–PI 43. Purwakarta: Balai Penelitian
Pemulihan dan Konservasi Sumber Daya Ikan. 1-11.
Froeschke J, Stunz GW, Wildhaber ML. 2010. Enviromental Influences on the
Occurrence Coastal Sharks in Estuarine Waters. Mar. Ecol. Prog. Ser. 407:
279-292.
Graham NA, Spalding MD, Sheppard CRC. 2010. Reef Shark Declines in Remote
Atolls Highlight The Need For Multi-Faceted Conservation Action. Aquatic
Conserv: Mar. Freshw. Ecosys. 20: 543-548.
Hanifa I. 2017. Komposisi Hasil Tangkapan Hiu yang didaratkan di Pelabuhan
Perikanan Samudera (PPS) Cilacap [tesis]. Bogor: IPB University.
Indian Ocean Tuna Commission (IOTC). 2012. Shark and Ray Identification in
Indian Ocean Pelagic Fisheries. Indian Ocean Tuna Commission (IOTC), in
Collaboration with the Secretariat of the Pacific Community (SPC).
Victoria: Seychelles.

46 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019


Sentosa AA. 2016. Profil Penangkapan Hiu oleh Kapal Nelayan Rawai Permukaan
di Perairan Barat Pulau Sumba. In Isnansetyo et al. (eds). Prosiding Seminar
Nasional Tahunan XIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 13
Agustus 2016. Yogyakarta: Departemen Perikanan-Fakultas Pertanian
Universitas Gadjah Mada. 315-325.
Sentosa AA, DWH Tjahj, J Haryadi. 2017. Kerentanan Tangkapan Hiu dan Pari
Appendiks CITES yang didaratkan di Tanjung Luar, Lombok Timur. In
Hadie et al. (Eds). Prosiding Simposium Nasional Ikan dan Perikanan Jilid
2. Bogor: Masyarakat Iktiologi Indonesia. 907-916.
Sentosa AA, Haryadi J. 2018. Laju Penangkapan Elasmobranchii oleh Nelayan
Tanjung Luar pada Berbagai Alat Tangkap. Semnaskan-UGM XV. 171-177.
Stevens JD, R Bonfil, NK Dulvy, PA Walker. 2000. The Effects of Fishing on
Sharks, Rays, and Chimaeras (Chondrichthyans), and the Implications for
Marine Ecosystems. ICES Journal of Marine Science. 57: 476– 494.
Sudirman, A Mallawa. 2004. Teknik Penangkapan Ikan. Jakarta: Rinneka Cipta.
168.
White WT, C Dichmont, Purwanto SN, Dharmadi, RJW, R Buckworth LS, R
Faizah, PS Sulaiman, B Sumiono. 2012. Tanjung Luar (East Lombok)
Longline Shark Fishery. Report prepared for ACIAR Project FIS/2006/142,
Developing new assessment and policy frameworks for Indonesia’s marine
fisheries, including the control and management of Illegal, Unregulated and
Unreported (IUU) Fishing. Australian National Centre for Ocean Resources
and Security (ANCORS), University of Wollongong, Australia. 53.
Zainudin IM. 2011. Pengelolaan Perikanan Hiu Berbasis Ekosistem di Indonesia
[tesis]. Depok: Universitas Indonesia.

Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 47


TREN HASIL TANGKAPAN GURITA MENGGUNAKAN PANCING
MODIFIKASI: STUDI KASUS NELAYAN SEURAPONG KABUPATEN
ACEH BESAR
Octopus Catch Results Trends using Modification Fishing: Case Study at
Seurapong Fisherman Aceh Besar Regency
Oleh:
Kairul1*, Ahmad Mukminin1, Ina Nisrina1, Irfan Yulianto2
1. Team Wildlife Conservation Society Marine Aceh - IP
2. Wildlife Conservation Society - Indonesia Program, Bogor.
3. Email : kkairul@wcs.org, aMukminin@wcs.org, inisrina@wcs.org,
iYulianto@wcs.org

ABSTRACT
Pulo Aceh is part of the Conservation Waters Conservation Area in Aceh Besar
District with an area of 240.75 Km2. Pulo Aceh has considerable fisheries resource
potential with dominant fisheries commodities consisting of octopus, reef fish,
pelagic fish and lobster. This study aims to determine the level of exploitation of
octopus catches and the effectiveness of modified fishing rods used by Seurapong
fishermen. The method used is experimental fishing with a duration of observation
and data collection of 1 trip per day for 31 days. The method used is with a duration
of observation and data collection of 1 trip per day for 31 days. This research was
conducted in July - August 2019 in Pulo Aceh, Aceh Besar District. Modified fishing
bait resembling an orange crab used by fishermen can increase octopus’s catches.
This can be seen from the total weight of the catch for 31 trips (days), namely Amir
at 368 kg and Syaribin by 378 kg.
Keywords: biodiversity, experimental fishing, modified fishing, octopus
exploitation

ABSTRAK
Pulo Aceh merupakan bahagian dari Kawasan Konservasi Perairan Suaka Alam
Perairan di Kabupaten Aceh Besar dengan luas 240,75 Km2. Pulo Aceh memiliki
potensi sumberdaya perikanan yang cukup besar dengan komoditas perikanan
dominan berupa gurita, ikan karang, ikan pelagis dan lobster. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui tingkat eksploitasi hasil tangkapan gurita dan
efektifitas pancing modofikasi yang digunakan nelayan Seurapong. Metode yang
digunakan adalah observasi langsung dengan durasi pengamatan dan pengambilan
data sebanyak 1 trip perhari selama 31 hari. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan
Juli - Agustus 2019 di Pulo Aceh Kabupaten Aceh Besar. Umpan pancing yang
dimodifikasi menyerupai kepiting dengan warna orange yang digunakan oleh
nelayan dapat meningkatkan hasil tangkapan gurita hal ini dapat dilihat dari total
berat hasil tangkapan selama 31 trip (hari) yaitu Amir sebesar 368 kg dan Syaribin
sebesar 378 kg.

48 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019


Kata kunci: eksploitasi gurita, keanekaragaman hayati, experimental fishing,
pancing modifikasi

PENDAHULUAN

Pulo Aceh merupakan bahagian dari Kawasan Konservasi Perairan Suaka


Alam Perairan di Kabupaten Aceh Besar dengan luas 240,75 Km2 (Gubernur Aceh.
2018). Pulo Aceh memiliki potensi sumberdaya perikanan yang cukup besar dengan
komoditas perikanan dominan berupa gurita, ikan karang, ikan pelagis dan lobster.
Gurita termasuk dalam filum mollusca klas cephalopoda. Secara umum tubuh
gurita dibedakan menurut bagian kepala, leher dan tubuh. Pada daerah kepala
terdapat delapan lengan yang berfungsi untuk menangkap mangsa dan bergerak.
Mulut gurita terdapat dalam cincin lengan. Pada bagian dalam mulut terdapat
sepasang rahang yang saling tumpang tindih berbentuk seperti paruh kakatua
terbalik dan juga gigi parut atau radula. Gurita memiliki dua mata yang besar dan
menonjol di sekitar pinggiran kepala (Paruntu et al. 2009) Hewan ini menghuni
dasar perairan yang berkarang maupun berpasir (Bagus, 2018).
Menurut Paruntu et al. (2009) pada dekade terakhir group cephalopoda
mengalami eksploitasi yang pesat. Namun studi tentang gurita di Aceh masih
kurang dan berdasarkan hasil pengamatan dilapangan penelitian ini mencoba
melihat seberapa besar hasil tangkapan dan seberapa efektif pancing modifikasi
yang digunakan untuk penangkapan gurita. Alat tangkap pancing ini menggunakan
umpan buatan yang terdiri dari bagian kepala atau badan terbuat dari batu ataupun
cor beton (Kurniawan et al. 2019). Oleh karena itu maka perlu sebuah kajian untuk
menakar seberapa besar jumlah ekspoitasi gurita di Gampoeng Seurapong Pulo
Aceh. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat eksploitasi hasil tangkapan
gurita dan efektifitas pancing modofikasi yang digunakan nelayan Seurapong.

Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 49


METODE
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai Agustus 2019 di
Gampoeng Seurapong Kabupaten Aceh Besar Provinsi Aceh. Adapun lokasi
penelitian tersaji pada Gambar 1.

Gambar 1 Lokasi Penelitian

Metode yang digunakan pada penelitian ini yaitu partisipasi aktif. Peneliti
terlibat langsung dengan cara mengamati dan wawancara pedagang pengumpul
yaitu terkait berat hasil tangkapan nelayan per hari. Durasi penelitian ini dengan
pengambilan data sebanyak 1 trip perhari selama 31 trip (hari) dengan lama
pengambilan data satu bulan.
Pengumpulan data primer ditempuh melalui dua cara, yaitu observasi dan
wawancara baik sebelum maupun sesudah proses penelitian. Data primer yang
diperoleh adalah data pengetahuan mitra/responden sebelum dan sesudah
pelaksanaan kegiatan penelitian (Ngabalin et al. 2018).

50 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019


Kontruksi pancing
Salah satu faktor keberhasilan dari aktivitas penangkapan spesies target yaitu
ketepatan dalam membuat desain alat tangkap, pemilihan material dan kontruksi
dari umpan pancing tersebut yang paling penting pancingnya mempunyai waktu
jangka pakai lebih lama. Konstruksi dan sistem rangkaian dari pancing disajikan
pada Gambar 2.

Gambar 2 Konstruksi dan modifikasi pancing

Kontruksi dasar pancing diambil dari botol air mineral (bagian atas botol saja
yang diambil), kakinya terbuat dari benang monofilamen (nomor 100) dan pada
ujung kaki dilengkapi dengan daun sendok makan yang dihubungkan oleh kili-kili.
Pada kerangka botol dipasang mata pancing (nomor 9) yang banyaknya berkisar 8-
11 pcs yang semua mata pancing dirangkai satu simpul ke dalam kerangka, pada
bagian dalam diisi semen yang diaduk dengan dumpul (semen dan dumpul
mempunyai dua fungsi yaitu sebagai perekat mata pancing sekaligus pemberat).
Tahap terakhir yaitu proses pengecatan dengan chat pilox warna orange.
Hal ini sesuai dengan metode yang dikemukakan Widodo dan Suparman
(2008); Farikha et al. (2014) konstruksi alat tangkap pancing ulur terdiri dari
penggulung (reel), tali pancing (line), mata pancing (hook) dan pemberat (sinker).

Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 51


Tali pancing (line) ialah tali yang terbuat dari bahan alami atau sintetis, berupa serat
tunggal atau multi yang menghubungkan antara mata pancing (hook) dengan
penggulung (reel). Mata pancing (hook) ialah bahan yang berupa besi baja atau
logam lainnya berkait balik, yang dipasang pada salah satu ujung tali pancing (line).
Pemberat (sinker) ialah bahan yang mempunyai daya tenggelam dan dipasang pada
tali pancing (line) bagian bawah, berfungsi untuk menempatkan mata pancing
(hook) pada kedalaman yang diinginkan.

Pengoperasian alat tangkap


Waktu pengoperasian alat tangkap disesuaikan dengan kebiasaan nelayan
melaut, yaitu berangkat jam 08:00 wib (pagi) dan pulang jam 14:00 wib (siang)
dengan lama durasi penangkapan 5 jam per trip (hari). Operasi penangkapan
dilakukan dengan cara menurunkan pancing hingga pada kedalaman 15 meter dan
perahu berjalan pelan-pelan. Hal ini sejalan yang dikemukakan Kurniawan et al.
(2019), perahu dijalankan secara perlahan-lahan agar posisi umpan buatan berada
di atas dasar perairan. Ketika terlihat ada gurita yang mengejar atau mengikuti
umpan tersebut, maka secara perlahan-lahan tali pancing ditarik mendekati perahu.
Penelitian akan menggunakan metode experimental fishing dengan durasi
pengamatan dan pengambilan data sebanyak 1 trip perhari selama 31 hari. Analisis
data menggunakan analisis deskriptif comparative dengan cara melihat
perbandingan hasil tangkapan ikan pada dua boat. Data komposisi hasil tangkapan
disajikan dalam bentuk grafik (Aliyubi et al. 2015).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Sejak tahun 2017 sebagian besar nelayan Pulo Aceh mulai beralih pada
tangkapan gurita, menggunakan pancing gurita dengan umpan tiruan yang di
modifikasi mirip kepiting (Gambar 3). Jenis makanan yang disukai oleh gurita
adalah ikan, kepiting, udang dan kerang, Namun gurita juga dapat memakan
jenisnya sendiri (proses tingkah laku kanibalisme) atau jenis gurita lainnya sebagai
pesaing relung (Segawa, 2002).

52 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019


(a) (b) ( c)
Gambar 3 Kapal yang digunakan nelayan gurita (a), Gurita Hasil Tangkapan
Nelayan (b) dan Umpan pancing gurita tiruan (c)

Hasil tangkapan dan harga pasar yang menjanjikan menyebabkan jumlah


nelayan yang beralih pada tangkapan gurita semakin meningkat. Hasil tangkapan
pancing dengan umpan modifikasi targetnya adalah spesies gurita di Seurapong
Kecamatan Pulo Aceh. Berat total hasil tangkapan selama 31 trip (hari) yaitu Amir
sebesar 368 kg dan Syaribin sebesar 378 kg. Untuk periode tangkapan bulan Juli
dan Agustus tersaji pada Gambar 4.

(a)

Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 53


(b)

Gambar 4 Hasil tangkapan gurita pertrip bulan Juli sampai Agustus 2019 (a) dan
Grafik total hasil tangkapan gurita selama 31 trip pada bulan Juli sampai
Agustus 2019 (b)

Berdasarkan hasil penelitian umpan warna orange berbentuk kepiting yang


digunakan oleh kedua nelayan mempunyai daya tangkap yang tinggi, dikarnakan
bentuk dan warnanya menyerupai mangsa dari spesies target. Sejalan dengan yang
disampaikan Farikha et al. (2014) bahwa hasil tangkapan gurita yang didapatkan
menggunakan umpan buatan menyerupai kepiting berwarna oranye mendapatkan
hasil paling banyak. Bentuk tiruan-tiruan merupakan faktor penting untuk
menentukan keberhasilan operasi penangkapan. Pemilihan bentuk tiruan dalam
penelitian ini adalah berdasarkan pada makanan alami gurita yang merupakan
kepiting dan udang.
Jenis umpan harus disesuaikan dengan makanan kesukaan ikan yang akan
ditangkap dikarnakan prinsip tertangkapnya ikan pada alat tangkap didasarkan pada
pengetahuan tentang tingkah laku ikan (Haruna 2010; Baskoro et al. 2011; Mawardi
et al. 2011; Khairul et al. 2017), dan memiliki respons terhadap rangsangan
eksternal sebagai pemenuhan akan kebutuhan fisiologis untuk beraktivitas dan
faktor makanan yang membuat ikan bergerak aktif (Yami 1987; Marchesan et al.
2005; Kurnia et al. 2015; Khairul et al; 2017).
54 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
Nelayan Gampoeng Seurapong umumnya menangkap ikan yang
mempunyai nilai ekonomis tinggi (ikan karang) dengan menggunakan pancing
dasar. Ada beberapa spesies yang mempunyai nilai ekomis tinggi menurut
Awwaluddin et al. (2007) seperti sunu super (Plectropomus leopardus), sunu
macan (Plectropomus areolatus), bone-bone (Plectropomus oligocanthus), goropa
gomes atau moso (Ephinephelus fuscoguttatus), goropa tikus (Cromileptes
altivelis), ekor bulan (Variola sp.), kakap (Lutjanus sp.), daging putih atau lencam
(Lethrinidae), suntung batu (Sephia sp.) gurita (Octopus), bobara (Carangoides
sp.), bobot (Pristipomoides sp.), Guntur (Aprion sp.), dan lain-lain.
Nelayan Gampoeng Seurapong umumnya menangkap gurita menggunakan
pancing menggunkan boat berkapasitas >32 PK menggunakan mesin dompeng
(Gambar 3). Wilayah penangkapan yaitu seputaran terumbu karang yang berada
sebelah barat Pulo Aceh. Wilayah tersebut adalah Wilayah Pengelolaan Perikanan
(WPP) 572 yang merupakan wilayah pencadangan untuk zona inti oleh Pemerintah
Aceh melalui Surat Keputusan Gubernur Aceh tahun 2018. Durasi penangkapan
dalam sehari biasanya mencapai 6 jam. Musim penangkapan biasanya sangat
menetukan hasil dari tangkapan nelayan. Menurut Awwaluddin et al. (2007).
nelayan umumnya mempunyai durasi dan waktu penangkapan lebih besar pada
musim timur dikarnakan hasil tangkapan cenderung meningkat pada musim timur
sampai dengan awal musim peralihan (bulan Juni sampai dengan September) dan
pada awal musim barat (bulan Desember).
Berdasarkan hasil wawancara di lapangan hampir semua nelayan Pulo Aceh
beralih untuk menangkap gurita, dikarenakan mempunyai nilai ekonomi yang
tinggi juga bisa menekan biaya operasional penangkapan dengan kebutuhan bbm
hanya sebesar Rp 100.000 – Rp 130.000 per trip. Nelayan menjual hasil tangkapan
gurita ke pedagang pengumpul di Pulo Aceh dengan harga jual sebesar Rp 50.000
per kg. Faktor lain ketersedian stok gurita di sekitar Pulo Aceh masih dalam banyak,
seperti terlihat pada Gambar 4. Terumbu karang merupakan salah satu faktor
penyeimbang demi keberlanjutan keberadaan spesies ikan di Pulo Aceh. Sejalan
dengan yang dikemukakan Mursyidin et al. (2015) hampir semua kawasan Perairan

Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 55


Pulo Aceh memiliki potensi perikanan ditandai dengan tingginya sebaran
kandungan klorofil-a di sekeliling Pulo Aceh.
Selain itu diperlukan pengawasan daerah penangkapan untuk nelayan yang
melakukan secara illegal fishing, untuk menjaga kelestarian sumberdaya gurita di
Pulo Aceh. Octopus sp memiliki peran penting dalam ekosistem laut dan sangat
berharga bagi manusia sebagai makanan serta untuk penelitian biomedis (Ford et
al. 1986; Heriyandi et al. 2018).

KESIMPULAN
Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa umpan pancing yang
dimodifikasi menyerupai kepiting dengan warna orange yang digunakan oleh
nelayan dapat meningkatkan hasil tangkapan gurita, yaitu total berat hasil
tangkapan selama 31 trip (hari) dari 2 responden, yaitu Amir sebesar 368 kg dan
Syaribin sebesar 378 kg.

SARAN
Adapun saran dari penulis yaitu adanya kajian lanjutan terkait perbandingan
warna orange (umpan pancing gurita modifikasi) dengan warna-warna lain dan
pengambilan data dilakukan dalam jangka waktu yang lebih lama.

UCAPAN TERIMAKASIH

1. Terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Prof.Dr.Ir. Tri Wiji Nurani,


M.Si selaku reviewer dan pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu
persatu yang sudah memberikan masukan dan saran dalam penulisan paper
ini.
2. Terimakasih yang sebesar-besarnya kepada team redaksi prosiding
SEMNAS TANGKAP - IPB yang telah memberikan kesempatan untuk
penerbitan paper ini, dalam event Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-
8 Institut Pertanian Bogor (IPB).

56 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019


3. Terimakasih kepada warga Puloe Aceh khusunya warga Seurapong yaitu
toke Ali, Bapak Amir, Bapak Syaribin sudah ikut berpartisipasi memberikan
data dan masukan sekaligus saran sehingga terselesainya penulisan paper
ini.
4. Terimakasih kepada Wildlife Conservation Society - Indonesia Program
(WCS-IP) yang sudah membiayai penelitian ini mulai dari pengambilan
data sehingga terselesainya penulisan paper ini.

DAFTAR PUSTAKA

Aliyubi FK, Boesono H, Setiyanto I. 2015. Perbedaan hasil tangkapan berdasarkan


warna lampu pada alat tangkap bagan apung dan bagan tancap di Perairan
Muncar Kabupaten Banyuwangi. Journal of Fisheries Resources Utilization
Management and Technology. 4(2):93-101.

Awwaluddin, Rustam R, Suwarso. 2007. Perikanan Demersal di Sekitar Kepulauan


Togean, Teluk Tomini. Jurnal BAWAL. 1(4): 145-153

Bagus Bagaskoro. 2018. Identifikasi Morfologi dan Molekuler Pada Gurita (Genus
Octopus Covier, 1798) yang ditangkap di Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa
Barat.

Farikha K, Pramonowibowo, Asriyanto. 2014. Pengaruh Perbedaan Bentuk dan


Warna Umpan Tiruan Terhadap Hasil Tangkapan Gurita pada Alat Tangkap
Pancing Ulur di Perairan Baron, Gunung Kidul. Journal of Fisheries
Resources Utilization Management and Technology. 3(3): 275-283.

Gubernur Aceh. 2018. Penetapan Pencadangan Kawasan Konservasi Perairan


Aceh. Keputusan Gubernur Aceh Nomor 523/1297/2018.

Heriyandi, Bakri M, Winaruddin. 2018. Identifikasi Parasit pada Gurita (octopus


sp) di Perairan Lampuuk Kecamatan Lhoknga Kabupaten Aceh Besar.
JIMVET. 2(4): 611-613.

Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 57


Khairul, Mawardi W, Riyanto M. 2017. Penggunaan Lampu Light Emitting Diode
(Led) Biru Terhadap Hasil Tangkapan Bagan Apung di Kabupaten Aceh
Jaya. Jurnal ALBACORE. 1(2): 235-243.

Kurniawan K, Manoppo L, Silooy F, Luasunaung A, Sompie AM. 2019. Studi


Pengaruh Perbedaan Warna Umpan Buatan Pancing Gurita Terhadap Hasil
Tangkapan. Jurnal Ilmu dan Teknologi Perikanan Tangkap. 4(2): 69-74.

Mursyidin, Munadi K, Muchlisin Z.A. 2015. Prediksi Zona Tangkapan Ikan


Menggunakan Citra Klorofil-a dan Citra Suhu Permukaan Laut Satelit Aqua
MODIS di Perairan Pulo Aceh. Jurnal Rekayasa Elektrika. 11(5): 176-182.

Ngabalin D, Talakua EG, Pentury F. 2018. Pengembangan Usaha Pengolahan


Gurita dan Cacing Laut Kering di Ohoi Matwair, Kecamatan Kei Kecil Barat.
Jurnal Ilmiah Pengabdian kepada Masyarakat. Agrokreatif. 4(2): 118-124.

Paruntu CP, Boneka FB, Talare SL. 2009. Gurita (Cephalopoda) dari Perairan
Sangihe. Universitas Sam Ratulangi Manado Sulawesi Utara. Jurnal
EKOTON. 9(2): 13-27.

Segawa S. and A Nomoto. 2002. Understanding Octopus Growth: Patterns,


Ariability and Physiology. Tokyo: Tokyo University of Fisheries.

58 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019


PROSPEK USAHA DAN STRATEGI PENGEMBANGAN PERIKANAN
TANGKAP DI PPP SADENG, YOGYAKARTA

Effort Prospects and Development Strategies for Capture Fisheries at Sadeng


Fishing Port, Yogyakarta

Oleh :

Mustaruddina dan Eko Sri Wiyonoa


a
Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, FPIK, IPB University, Indonesia
*Corresponding author : mus_m03@yahoo.com

ABSTRACT

Sadeng Fishing Port is the biggest of capture fishery base in Yogyakarta, with
contributions rate 35.2 - 35.21% of the total marine fisheries production in
Yogyakarta. The continuity of these contributions depends very much on the type of
fishing effort that is developing and the regional policies on capture fisheries. This
study aims to analyze effort prospects and formulate strategies for developing
capture fisheries in Sadeng Fishing Port. The method used consists of feasibility
analysis and SWOT method. The results showed that drifting gillnet, trammel net,
and fixed gillnet were prospective efforts to be developed in Sadeng Fishing Port,
because they had good income and expenditure ratio (NPV, B / C Ratio), safe profit
and loss limits (IRR), and good return on investment (ROI). Development strategy
for capture fisheries in Sadeng Fishing Port were improvement of investment
promotion for three fishing efforts dominantly, technical guidance on fishing
operations and capital management, involvement of DPRD in fishing conflict
resolution, improvement of electricity services and road conditions to the Sadeng
Fishing Port, realization of auction activities in the Sadeng Fish Market, and
organizing activities fishing in polluted coastal waters.
Keywords: feasibility analysis, coastal waters, Sadeng Fishing Port, fish
production, and development strategies

ABSTRAK
Pelabuhan Perikanan Pantai Sadeng merupakan basis perikanan tangkap terbesar di
D.I. Yogyakarta, dengan kontribusi berkisar 35,2 - 35,21% dari total produksi
perikanan laut D.I. Yogyakarta. Kontinyuitas kontribusi tersebut sangat bergantung
pada jenis usaha yang berkembang dan kebijakan daerah dalam pengembangan
perikanan tangkap. Penelitian ini bertujuan menganalisis prospek usaha dan
merumuskan strategi pengembangan perikanan tangkap di PPP Sadeng. Metode
yang digunakan terdiri dari analisis kelayakan usaha dan metode SWOT. Hasil
penelitian menunjukkan usaha perikanan gillnet hanyut, trammel net, dan gillnet
tetap prospektif untuk dikembangkan di PPP Sadeng karena mempunyai rasio
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 59
penerimaan dan pengeluaran (NPV, B/C Ratio) yang baik, batas untung rugi (IRR)
yang aman, dan pengembalian investasi (ROI) yang baik. Strategi yang bisa
dilakukan untuk mendukung pengembangan perikanan tangkap di PPP Sadeng, D.I.
Yogyakarta adalah penggalakan promosi investasi tiga usaha perikanan tangkap
dominan, bimbingan teknis operasi penangkapan dan pengelolaan modal, pelibatan
DPRD dalam penyelesaian konflik perikanan, peningkatan layanan listrik dan
kondisi jalan ke PPP Sadeng, realisasi kegiatan lelang di TPI PPP Sadeng, serta
pengaturan penangkapan di perairan pantai yang mudah tercemar.

Kata kunci : kelayakan usaha, perairan pantai, PPP Sadeng, produksi ikan, dan
strategi pengembangan

PENDAHULUAN
Pengelolaan sektor perikanan dan kelautan yang baik dapat menjadi
penggerak utama (prime mover) pembangunan di seluruh Indonesia, termasuk di
D.I. Yogyakarta. Hal ini karena sektor ini memiliki keunggulan komparatif
dibanding sektor lainnya berupa ketersediaan sumberdaya alam yang sangat besar
dan mempunyai potensi ekonomi yang luar biasa, yang mampu menghasilkan
produk dan jasa dengan daya saing tinggi, sepanjang dapat mengelolanya dengan
tepat. Dalam penyampaian visi dan misi untuk tahun 2017 – 2022, Gubernur D.I.
Yogyakarta menekankan pentingnya pengelolaan dan pengembangan sektor
perikanan dan kelautan tersebut, yaitu dengan mencetuskan semangat
"Perjumpaan" dan "Silang Belajar" sebagai strategi penting untuk pengembangan
potensi sumberdaya terutama yang berbasis laut. Semangat perjumpaan diharapkan
dapat mendorong pengembangan potensi kelautan dan perikanan D.I. Yogyakarta
dengan mengundang investor lokal (PMDN) maupun asing (PMA). Dalam konteks
pengembangan usaha perikanan tangkap, investor akan disambut dengan baik dan
kawasan pelabuhan perikanan menjadi pintu gerbang bagi mereka untuk
mengembangkan investasinya. Dengan semangat silang belajar diharapkan dapat
terjalin hubungan dan kerjasama kelembagaan, baik di dalam maupun di luar
lembaga pemerintahan D.I. Yogyakarta sehingga mendukung berkembangnya
investasi perikanan.
Visi dan misi Gubernur D.I. Yogyakarta tersebut sejalan dengan Permen KP
Nomor PER.08/MEN/2012 tentang Kepelabuhanan Perikanan terutama yang

60 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019


berkaitan dengan peran dan fungsi pelabuhan perikanan. Menurut Permen tersebut,
pelabuhan perikanan merupakan pusat sistem bisnis perikanan yang diharapkan
dapat memacu pertumbuhan ekonomi daerah dan nasional di bidang perikanan. Di
pelabuhan perikanan, khususnya yang fasilitasnya bagus, usaha perikanan tangkap
mudah berkembang, yang kemudian memacu perkembangan industri pengolahan,
rantai pemasaran produk perikanan, dan aktivitas ekonomi lainnya yang menopang
kegiatan perikanan. Dari 20 pelabuhan perikanan yang ada di D.I. Yogyakarta,
Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Sadeng merupakan basis perikanan tangkap
terbesar dan fasilitasnya paling lengkap. Menurut DKP DIY (2017), total produksi
perikanan laut D.I. Yogyakarta mencapai 1.850,23 ton pada tahun 2016, di mana
PPP Sadeng berkontribusi sekitar 35,2 - 35,21% dari total produksi tersebut.
Kontinyuitas kontribusi tersebut sangat bergantung pada jenis usaha yang
berkembang dan perangkat kebijakan yang diterapkan di D.I. Yogyakarta.
Ketertarikan investor di bidang perikanan sebenarnya cukup tinggi, namun
tidak banyak yang ke Sadeng (BKPM DIY, 2018). Hal ini karena mereka belum
tahu banyak prospek usaha perikanan tangkap dan masih ragu berinvestasi ke
Sadeng mengingat perairannya yang terkenal ganas. Visi dan misi Gubernur
merupakan salah satu upaya untuk menyakinkan investor bahwa Pemerintah D.I.
Yogyakarta berkomitmen mendukung pengembangan investasi berbasis potensi
sumberdaya laut. Penelitian ini mencoba membantu dari sisi akademis terkait
prospek pengembangan usaha perikanan tangkap di D.I. Yogyakarta tersebut
khususnya di Sadeng, serta mencoba menemukan strategi yang cocok untuk
pengembangannya. Tujuan penelitian adalah (1) menganalisis prospek usaha
perikanan tangkap yang berbasis di PPP Sadeng, dan (2) merumuskan strategi
pengembangan perikanan tangkap di PPP Sadeng.

METODE
Waktu dan Tempat

Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 61


Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2017 sampai dengan bulan
Februari 2018. Sedangkan pengumpulan data lapang dilakukan di PPP Sadeng,
Yogyakarta.
Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data
Data primer yang dikumpulkan dalam penelitina ini terdiri dari (1) Data
prospek usaha perikanan tangkap mencakup data kebutuhan investasi, kebutuhan
operasional, masa operasi (umur teknis) usaha, jumlah hasil tangkapan, harga jual;
(2) Data terkait faktor internal dan eksternal yang berpengaruh dalam
pengembangan perikanan tangkap di PPP Sadeng. Sedangkan data sekunder terdiri
dari data time series produksi ikan, data time series nilai produksi, serta peraturan
terkait dengan pengembangan perikanan tangkap.
Data primer dikumpulkan dengan teknik wawancara kepada responden
terpilih dan dengan pengamatan lapang. Responden dipilih secara purposive
sampling kepada pihak-pihak yang mengerti betul obyek yang diteliti. Untuk
responden terkait pengelolaan usaha perikanan tangkap dipilih dari nelayan yang
menjadi pemilik usaha perikanan tangkap dominan (gillnet hanyut, trammel net,
dan gillnet tetap) di PPP Sadeng. Menurut DKP DIY (2017), proporsi ketiga usaha
perikanan tangkap tersebut mencapai 69,2% – 77,8% dari populasi usaha perikanan
tangkap di PPP Sadeng. Jumlah responden sekitar 5 – 10% dari populasi nelayan
pemilik ketiga usaha perikanan tangkap. Responden data internal dan eksternal
pengembangan perikanan tangkap di PPP Sadeng adalah semua kelompok
stakeholders yang aktif beraktivitas atau berinteraksi di PPP Sadeng. Responden
tersebut yaitu, dari kelompok nelayan pemilik (5 orang), pengelola pelabuhan (2
orang), pengolah/pedagang ikan (3 orang), dan pelaku usaha pendukung (2 orang).
Pengamatan lapang dilakukan untuk mengumpulkan data yang bersifat
dokumentatif, sekaligus sebagai kroscek terhadap data/informasi yang didapat dari
responden. Data sekunder dikumpulkan melalui telaah pustaka terhadap laporan
kajian teknis, buku statistik perikanan, salinan peraturan/kebijakan, dan hasil studi
yang tersedia di PPP Sadeng, DKP Yogyakarta, perguruan tinggi, dan media online.

62 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019


Analisis Data
Prospek usaha perikanan tangkap ditentukan berdasarkan tingkat kelayakan
usaha/kinerja finansial yang dicapai oleh usaha perikanan tangkap dominan yang
berbasis di PPP Sadeng. Menurut Mayes & Shank, (2006), kinerja finansial
merupakan ukuran baku dalam menilai prospek dan kemanfaatan usaha bagi
pelakunya, masyarakat, dan perekonomian suatu daerah. Parameter finansial yang
dianalisis terkait prospek usaha perikanan tangkap di PPP Sadeng mengacu kepada
Mayes & Shank (2006) dan Hanley & Spash (1993), yaitu Net Present Value
(NPV), Internal Rate Return (IRR), Return of Investment (ROI), dan Benefit-Cost
Ratio (B/C Ratio). Suku bunga yang digunakan dalam analisis mengacu kepada
Bank Indonesia (2017) tentang suku bunga kredit, yaitu 12%.
Strategi pengembangan perikanan tangkap di PPP Sadeng dianalisis
menggunakan metode SWOT. Analisis ini menggunakan data hasil wawancara
terkait faktor internal dan eksternal pengembangan perikanan tangkap, diperkaya
dengan hasil pengamatan lapang dan telaah pustaka. Data/informasi dari banyak
sumber ini diperlukan untuk mendapatkan hasil analisis yang akurat dan
akomodatif (Rangkuti, 2006). Tahapan analisis SOWT yang dilakukan adalah (1)
Pengidentifikasian faktor-faktor internal (kekuatan dan kelemahan) yang diduga
berpengaruh terhadap pengembangan perikanan tangkap di PPP Sadeng; (2)
Pengidentifikasian faktor-faktor eksternal (peluang dan ancaman) yang diduga
berpengaruh; serta (3) Penyusunan matriks Internal-Eksternal (IE) dan matriks
SWOT strategi pengembangan perikanan tangkap.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Prospek Usaha Perikanan Tangkap
Prospek usaha dapat diketahui berdasarkan capaian parameter Net Present
Value (NPV), Internal Rate Return (IRR), Return of Investment (ROI), dan Benefit-

Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 63


Cost Ratio (B/C Ratio). Mustaruddin et al. (2015) dan Hanley & Spash (1993)
menyatakan bahwa pelaku usaha/investasi sangat memperhatikan kinerja finansial
untuk menilai prospek usaha di masa yang akan datang. Sedangkan menurut
Sumaila et al. (2016), investor akan mudah tertarik pada usaha perikanan tangkap,
bila parameter finansial penting terkait investasi dipenuhi dengan baik. Tabel 1
menyajikan hasil analisis Net Present Value (NPV) dari usaha perikanan tangkap
dominan (gillnet hanyut, trammel net, dan gillnet tetap) di PPP Sadeng.
Tabel 1 Nilai Net Present Value (NPV) usaha perikanan tangkap
Usaha Perikanan Tangkap Standar NPV Keterangan
Gillnet hanyut >0 68,724,173.03 Layak
Trammel net 44,383,210.26 Layak
Gillnet tetap 43,563,358.93 Layak
Berdasarkan Tabel 1, gillnet hanyut, trammel net, dan gillnet tetap
mempunyai nilai NPV yang tinggi yaitu masing-masing Rp 68.724.173,03; Rp
44.383.210,26; dan Rp 43.563.358,93. Sedangkan nilai NPV yang dipersyaratkan
harus lebih besar dari 0 (nol) atau dalam istilah lain tidak merugi. Hal ini
menunjukkan bahwa gillnet hanyut, trammel net, dan gillnet tetap dapat
memberikan keuntungan bersih masing-masing sebesar Rp 68.724.173,03, Rp
44.383.210,26, dan Rp 43.563.358,93 jika diukur dari nilai sekarang yaitu setelah
mengakomodir keberadaan suku bunga kredit 12%. Menurut Mustaruddin et al.
(2015), keuntungan bersih merupakan manfaat ril yang dapat diterima oleh nelayan
dari usaha perikanan tangkap selama masa operasinya. Sedangkan masa operasi
(umur teknis) gillnet hanyut, trammel net, dan gillnet tetap di PPP Sadeng dapat
mencapai 8 tahun. Thomas et al. (2003) menyatakan bahwa umur teknis diukur
dari ketahanan barang investasi terbesar (kapal atau mesin) untuk digunakan secara
normal dalam operasi penangkapan ikan. Mengacu kepada nilai NPV, gillnet
hanyut, trammel net, dan gillnet tetap di PPP Sadeng prospektif untuk
dikembangkan atau ditawarkan kepada investor. Tabel 2 menyajikan hasil analisis
Internal Rate Return (IRR) ketiga usaha perikanan tangkap di PPP Sadeng.
Tabel 2 Nilai Internal Rate Return (IRR) usaha perikanan tangkap

64 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019


Usaha Perikanan Tangkap Standar IRR Keterangan
Gillnet hanyut > 12 % 28.91% Layak
Trammel net 19.66% Layak
Gillnet tetap 23.24% Layak

Nilai IRR seperti terlihat pada Tabel 2 memberi penegasan bahwa


menginvestasikan uang pada usaha gillnet hanyut, trammel net, dan gillnet tetap
dapat mendatangkan keuntungan dengan rasio masing-masing sekitar 28,91%,
19.66%, dan 23,24% per tahun. Bila dibandingkan dengan suku bunga kredit yang
berlaku (12%), maka rasio keuntungan tersebut termasuk cukup besar. Mengacu
kepada nilai IRR ini, maka berinvestasi pada gillnet hanyut, trammel net, dan gillnet
tetap layak dilakukan di PPP Sadeng, meskipun uang yang digunakan berasal dari
pinjaman bank. Untuk mempertahankan kelayakan keuntungan tersebut, maka
pengelola usaha dan ABK perlu terus dibina dan diberi pelatihan terutama terkait
dengan pengelolaan modal dan operasi penangkapan ikan yang efektif (Minarro et
al. 2016).
Di samping rasio keuntungan baik, usaha perikanan tangkap harus
menghasilkan manfaat (benefit) yang dapat menutupi atau mengembalikan semua
investasi yang dikeluarkan. Nilai Return of Investment (ROI) menjadi patokan
untuk menilai hal tersebut, dan hasil analisisnya untuk ketiga jenis usaha perikanan
tangkap yang berbasis di PPP Sadeng disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Nilai Return of Investment (ROI) usaha perikanan tangkap
Usaha Perikanan Tangkap Standar ROI Keterangan
Gillnet hanyut >1 11.48 Layak
Trammel net 9.36 Layak
Gillnet tetap 12.19 Layak

Berdasarkan Tabel 3, gillnet hanyut, trammel net, dan gillnet tetap


mempunyai nilai ROI > 1, yaitu masing-masing 11,48, 9,36, dan 12,19. Hal ini
menunjukkan bahwa ketiga usaha perikanan tangkap dapat dengan mudah
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 65
mengembalikan investasi yang digunakan sebelum habis umur teknisnya. Atau
dengan kata lain, tidak akan bermasalah dalam pengembalian investasi yang
digunakannya. Menurut Septia et al. (2012), skema pengembalian investasi
terutama yang didapat dari kredit bank sering tidak bersesuaian dengan pola
produksi ikan hasil tangkapan. Sedangkan menurut Zydelis et al. (2013), produksi
ikan terutama yang dioperasikan dengan kapal dan jaring ukuran kecil sangat
tergantung pada musim ikan dan kondisi cuaca. Ke depan, skema pengembalian
tersebut harus clear sebelum kredit diterima, dan diupayakan tidak memberatkan
terutama di bulan-bulan ikan hasil tangkapan sedikit.
Tabel 4 menyajikan hasil analisis Benefit-Cost Ratio (B/C Ratio) usaha
gillnet hanyut, trammel net, dan gillnet tetap yang berbasis di PPP Sadeng, D.I.
Yogyakarta.
Tabel 4 Nilai Benefit-Cost Ratio (B/C Ratio) usaha perikanan tangkap
Usaha Perikanan Tangkap Standar B/C Ratio Keterangan
Gillnet hanyut >1 1.13 Layak
Trammel net 1.10 Layak
Gillnet tetap 1.09 Layak

Berdasarkan nilai B/C ratio (Tabel 4), usaha gillnet hanyut, trammel net, dan
gillnet tetap layak dikembangkan karena mempunyai nilai B/C Ratio yang baik,
yaitu masing-masing 1,13, 1,10, dan 1,09. Nilai B/C Ratio memberi informasi
tentang perimbangan antara penerimaan dengan pembiayaan yang dikeluarkan
untuk mendukung operasi penangkapan ikan (Prabowo et al., 2013). Ketiga usaha
perikanan tangkap mempunyai nilai B/C ratio > 1, yang berarti penerimaannya
dapat menutupi semua pembiayaan yang dikeluarkan untuk operasi penangkapan
ikan di perairan sekitar PPP Sadeng, D.I. Yogyakarta.
Bila melihat secara keseluruhan dari hasil analisis kelayakan (NPV, IRR,
ROI, dan B/C Ratio), maka usaha gillnet hanyut, trammel net, dan gillnet tetap
prospektif untuk terus dikembangkan dan ditingkatkan investasinya di PPP Sadeng,
D.I. Yogyakarta. Ketiga usaha perikanan tangkap dapat dijadikan prioritas

66 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019


investasi perikanan yang ditawarkan kepada investor baik lokal (PMDN) maupun
asing (PMA).
Strategi Pengembangan Perikanan Tangkap di PPP Sadeng
Penentuan tipe strategi
Untuk memudahkan penentuan strategi pengembangan gillnet hanyut,
trammel net, dan gillnet tetap yang tepat di PPP Sadeng, D.I. Yogyakarta, maka tipe
strategi yang dipilih harus tepat. Tipe strategi dapat diketahui dengan memetakan
posisi kegiatan perikanan tangkap saat ini berdasarkan penilaian faktor internal dan
eksternalnya. Menurut Mustaruddin et al. (2014) dan Nurdin & Grydehoj (2014),
pemetaan posisi kegiatan dapat memberi informasi faktual tentang kondisi
perikanan tangkap yang sedang berlangsung, sehingga upaya pengembangan dapat
dilakukan dengan lebih terukur. Gambar 1 memperlihatkan hasil analisis posisi
kegiatan perikanan tangkap di PPP Sadeng dengan menggunakan matriks internal-
eksternal (IE).

Gambar 1 Matriks internal-eksternal (IE) kegiatan perikanan tangkap di PPP


Sadeng

Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 67


Berdasarkan Gambar 1, saat ini kegiatan perikanan tangkap di PPP Sadeng,
D.I. Yogyakarta berada pada kuadran V (pertumbuhan/stabilitas). Menurut
ketentuan SWOT, pengembangan dapat dilakukan bila minimal kegiatan usaha
berada pada fase pertumbuhan (total skor internal > 2 dan total skor eksternal > 1).
Hasil analisis menunjukkan bahwa total skor internal dan eksternal dari kegiatan
perikanan tangkap di PPP Sadeng masing-masing 2,75 dan 2,65, sehingga termasuk
kategori ”agak baik” (pertumbuhan yang stabil). Terkait dengan ini, maka strategi
pengembangan dapat dilakukan secara agresif moderat mengarah ke kuadran 1.
Mustaruddin et al. (2014) dan Rangkuti (2006) menyatakan bahwa tipe agresif
moderat cocok untuk kegiatan usaha yang sudah memasuki fase pertumbuhan dan
telah mengalami kestabilan kinerja.

Strategi pengembangan
Hasil analisis sebelumnya menunjukkan bahwa tipe strategi agresif moderat
cocok bagi pengembangan perikanan tangkap yang berbasis di PPP Sadeng, D.I.
Yogyakarta. Pangesti et al. (2011) dan Rangkuti (2006) menyatakan bahwa tipe
agresif moderat membantu mempertahankan irama pertumbuhan yang sudah
terjadi, namun upaya perbaikan terus dilakukan (secara bertahap/prioritas) hingga
mencapai kondisi optimal. Tabel 5 menyajikan hasil analisis matriks SWOT
penentuan strategi agresif moderat pengembangan perikanan tangkap di PPP
Sadeng, D.I. Yogyakarta.
Tabel 5 Hasil analisis matriks SWOT penentuan strategi pengembangan perikanan
tangkap di PPP Sadeng
 Kontinyuitas produksi  Pendidikan SDM
ikan di PPP Sadeng  Keterampilan teknik
Faktor Internal  Keaktifan usaha penangkapan ikan
perikanan tangkap  SOP penanganan hasil
 Fasilitas dermaga tangkapan
pelabuhan  Konflik antar nelayan
 Kios perbekalan di PPP  Kemampuan modal nelayan
Faktor Eksternal Sadeng Sadeng
 Fasilitas TPI di PPP
Sadeng

68 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019


 Ketertarikan investor  Penggalakan promosi  Bimbingan teknis operasi
 Kondisi sosial politik investasi tiga usaha penangkapan dan
wilayah perikanan tangkap pengelolaan modal
 Dukungan tenaga penyuluh dominan  Pelibatan lembaga politik
terlatih (DPRD) dalam penyelesaian
 Trend konsumsi konflik perikanan
masyarakat DIY
 Pengembangan tupoksi
Dispar DIY
 Kegiatan monopoli/  Realisasi kegiatan lelang  Pengaturan penangkapan
pengaturan harga di TPI PPP Sadeng ikan di perairan pantai yang
 Kondisi jalan raya menuju  Peningkatan layanan mudah tercemar
PPP Sadeng infrastruktur eksternal
 Ide klusterisasi (listrik dan jalan) ke PPP
pemanfaatan wilayah Sadeng
pantai
 Jaringan listrik menuju
PPP Sadeng
 Pencemaran pantai yang
menjadi ruaya ikan
Berdasarkan Tabel 5, paling tidak ada enam strategi yang bisa mendorong
pengembangan perikanan tangkap di PPP Sadeng, D.I. Yogyakarta, yaitu :
o Penggalakan promosi investasi tiga usaha perikanan tangkap dominan
o Bimbingan teknis operasi penangkapan ikan dan pengelolaan modal
o Pelibatan lembaga politik (DPRD) dalam penyelesaian konflik perikanan
o Peningkatan layanan listrik dan prasarana jalan ke PPP Sadeng
o Realisasi kegiatan lelang di TPI PPP Sadeng
o Pengaturan penangkapan ikan di perairan pantai yang mudah tercemar
Strategi tersebut dapat dilakukan oleh Pemerintah D.I. Yogyakarta melalui
program regular yang dimiliki atau dicanangkan secara khusus. Untuk strategi yang
bersifat teknis lapangan seperti bimbingan teknis operasi penangkapan ikan dan
pengelolaan modal usaha, serta realisasi kegiatan lelang di TPI PPP Sadeng dapat
dikoordinasikan oleh unit teknis yang dalam hal ini Pengelola PPP Sadeng.
Sedangkan untuk strategi yang bersifat kebijakan atau koordinasi lintas sektor,
seperti penggalakan promosi investasi tiga usaha perikanan tangkap dominan,
peningkatan layanan listrik dan prsarana jalan ke PPP Sadeng, pengaturan
penangkapan di perairan pantai yang mudah tercemar, serta pelibatan lembaga

Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 69


politik (DPRD) dalam penyelesaian konflik perikanan dapat dikoordinasikan oleh
DKP D.I. Yogyakarta.
Menurut Merkel & Madsen (2019) dan Putra et al. (2015), keberhasilan
strategi pengembangan sangat dipengaruhi oleh kesungguhan instansi terkait dan
dukungan masyarakat yang ada di daerah. Promosi investasi usaha perikanan
tangkap dominan yang didukung dengan oleh realisasi kegiatan lelang di TPI PPP
Sadeng dan pengaturan penangkapan di perairan pantai yang mudah tercemar dapat
membantu menyakinkan investor tentang prospek usaha perikanan tangkap yang
dilakukannya. Isu lingkungan berupa pencemaran pantai sangat sensitif di D.I.
Yogyakarta, khususnya di lokasi yang cukup padat pemukimannya dan/atau banyak
dikembangkan alat tangkap beroperasi di pantai. Menurut Merkel & Madsen (2019)
dan Mustaruddin et al. (2014), pengelolaan lingkungan selalu menjadi
pertimbangan investor dalam berinvestasi di sektor perikanan terutama di kawasan
pantai dan pelabuhan perikanan yang padat. Hal itu terjadi sebagai bentuk kalkulasi
bagi keberlanjutan usaha di masa datang.
Strategi pelibatan lembaga politik dalam penyelesaian konflik perikanan dan
peningkatan layanan infrastruktur eksternal terutama listrik dan jalan diharapkan
dapat memback-up strategi penggalakan promosi investasi tiga usaha perikanan
tangkap dominan dan strategi teknis lainnya. Realisasi kegiatan lelang di TPI PPP
Sadeng dapat mencegah monopoli/pengaturan harga yang terjadi selama ini,
sehingga nelayan, investor perikanan tangkap dan pelaku usaha penunjang tertarik
menjalankan aktivitas usahanya di kawasan PPP Sadeng. Hal ini penting karena
tanpa mereka, maka percepatan pengembangan perikanan tangkap di PPP Sadeng
sulit terjadi. Menurut Speir et al. (2014) dan Lubis et al. (2012), pengembangan
sentra perikanan terutama di kawasan pelabuhan perikanan harus dilakukan secara
revolusioner dan menguntungkan bagi semua pihak. Nelayan tradisional yang
tersebar di pinggir pantai bersedia mendaratkan hasil tangkapannya di pelabuhan
perikanan bila mendapatkan harga jual yang baik. Begitu juga investor usaha
perikanan tangkap dan usaha penunjang, akan tertarik mendukung pengembangan

70 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019


perikanan tangkap bila intensitas operasi dan layanan usaha berjalan baik di PPP
Sadeng.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan yang disampaikan, dapat disimpulkan :
1. Usaha perikanan gillnet hanyut, trammel net, dan gillnet tetap mempunyai nilai
NPV, ROI, IRR, dan B/C Ratio yang baik, sehingga prospektif untuk
dikembangkan di PPP Sadeng, D.I. Yogyakarta.
2. Strategi yang bisa dilakukan untuk mendukung pengembangan perikanan
tangkap di PPP Sadeng, D.I. Yogyakarta adalah penggalakan promosi investasi
tiga usaha perikanan tangkap dominan, bimbingan teknis operasi penangkapan
ikan dan pengelolaan modal, pelibatan lembaga politik (DPRD) dalam
penyelesaian konflik perikanan, peningkatan layanan layanan listrik dan
prasarana jalan ke PPP Sadeng, realisasi kegiatan lelang di TPI PPP Sadeng,
serta pengaturan penangkapan di perairan pantai yang mudah tercemar.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Daerah Istimewa Yogyakarta.


2018. Perkembangan Invetasi di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Yogyakarta: BKPM DIY.
Bank Indonesia. 2017. Pergerakan Suku Bunga Kredit dan Pinjaman. Jakarta:
Bank Indonesia.
Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Daerah Istimewa Yogyakarta. 2017.
Laporan Tahunan Data Statistik Perikanan Tangkap Tahun 2016.
Yogyakarta: DKP DIY.
Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Daerah Istimewa Yogyakarta. 2016.
Laporan Tahunan Data Statistik Perikanan Tangkap Tahun 2015.
Yogyakarta: DKP DIY.
Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Daerah Istimewa Yogyakarta. 2015.
Laporan Tahunan Data Statistik Perikanan Tangkap Tahun 2014.
Yogyakarta: DKP DIY.

Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 71


Gubernur D.I. Yogyakarta. 2017. Pemaparan Visi dan Misi Gubernur Daerah
Istimewa Yogyakarta Tahun 2017 – 2022 Yogyakarta, 2 Agustus 2017.
Yogyakarta.
Hanley ND, Spash C. 1993. Cost-Benefic Analysis and the Environment.
Cheltenham: Edward Elgar.
Lubis E, AB. Pane, R Muninggar, A Hamzah. 2012. Besaran Kerugian Nelayan
dalam Pemasaran Hasil Tangkapan : Kasus Pelabuhan Perikanan Nusantara
Palabuhanratu. Maspari Journal. 4(2): 159-167.
Mayes TR, TM Shank. 2006. Financial Analysis with Microsoft Excel 4th Edition.
Nashville. USA: South-Western College Pub.
Merkel A, Madsen SKS. 2019. Lessons from port sector regulatory reforms in
Denmark: An analysis of port governance and institutional structure
outcomes. Transport Policy. 78(1): 31-41.
Minarro N, Forero GN, Reuter H, van Putten IE. 2016. The role of patron-client
relations on the fishing behaviour of artisanal fishermen in the Spermonde
Archipelago (Indonesia). Journal of Marine Policy. 69(1): 73–83.
Mustaruddin, Baskoro MS, Purwanto B. 2015. Pengembangan investasi usaha
perikanan tangkap unggulan di Bau-bau, Sulawesi Tenggara. Prosiding
Seminar Nasional Perikanan Tangkap VI, 22 Oktober 2015. Hal 193-207.
Mustaruddin, Baskoro MS, Supriatna A. 2014. Strategi Pengembangan Perikanan
Cakalang yang Bersinergi dengan Faktor Lingkungan dan Sosial Ekonomi
di Ternate : Studi Kasus Penangkapan Ikan Menggunakan Huhate. Jurnal
Ilmu Pertanian dan Perikanan. 3(1): 1-9.
Nurdin N, Grydehoj A. 2014. Informal Governance Through Patron–Client
Relationships and Destructive Fishing in Spermonde Archipelago,
Indonesia. Journal of Marine and Island Cultures. 3(2): 54–59.
Pangesti TP, Nurani TW, dan Wiyono ES. 2011. Strategi Pengelolaan untuk
Meningkatkan Produksi Udang di Kabupaten Cilacap. Journal of Fisheries
Research. 2(2): 189-199.
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor
PER.08/MEN/2012 tentang Kepelabuhanan Perikanan
Prabowo, Wiyono ES, Haluan J, dan Iskandar BH. 2013. Kinerja pembiayaan
perikanan skala kecil di Kota Tegal, Provinsi Jawa Tengah. Marine
Fisheries. 4(1): 1-9.
Putra DP, Baskoro MS, Wiyono ES, Wisudo SH. 2015. Peran Stakeholder Dalam
Pengelolaan Perikanan Udang Skala Kecil di Kabupaten Cilacap, Provinsi
Jawa Tengah. Jakarta: Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan
Konservasi Sumberdaya.

72 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019


Rangkuti F. 2006. Analisis SWOT : Teknik membedah kasus bisnis. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Septia RT, Riris A, Fitri A. 2012. Analisis finansial unit penangkapan bottom
gillnet di Pelabuhan Perikanan Nusantara Sungailiat, Bangka Belitung.
Maspari Journal. 2(1): 70-73
Speir C, Pomeroy C, Sutinen JG. 2014. Port level fishing dynamics: Assessing
changes in the distribution of fishing activity over time. Marine Policy.
46(1): 171-191.
Sumaila UR, C Bellmann, and A Tipping. 2016. Fishing for the future: An overview
of challenges and opportunities. Journal of Marine Policy. 69(1): 173–180.
Thomas SN, Edwin L, George VC. 2003. Catching efficiency of gill nets and
trammel nets for penaeid prawns. Journal of Fisheries Research. 60(1):
141–150, 2003.
Zydelis R, Small C, French G. 2013. The incidental catch of seabirds in gillnet
fisheries: A global review. Journal of Biological Conservation. 162(1): 76–
88.

Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 73


KELAYAKAN USAHA PENANGKAPAN TERI YANG BERBASIS DI PPI
SUMUR, KABUPATEN PANDEGLANG, PROVINSI BANTEN

Feasibilty of Anchovy Fisheries at Sumur Fish Landing Center, Pandeglang


regency, Banten Province

Ririn Irnawati1,2*, Fahresa Nugraheni Supadminingsih1, Dini Surilayani1, Adi


Susanto1,2, Hery Sutrawan Nurdin1,2, Asep Hamzah1
1
Program Studi Ilmu Perikanan, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Jalan Raya Jakarta KM. 4 Pakupatan Serang Banten
2
PUI PT Ketahanan Pangan, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Jalan Raya Jakarta KM. 4 Pakupatan Serang Banten

Email: ririn.irnawati@untirta.ac.id; fahresan@gmail.com; dini.surilayani@untirta.ac.id;


adisusanto@untirta.ac.id; herysutrawannurdin@gmail.com; asephamzah9@gmail.com

ABSTRACT
Anchovy (Stolephorus sp) is one of the most targeted fish on fishing operation in
PPI Sumur. But the fishing operation in the end of 2018 was obstructed because
afftected by the tsunami of Sunda Strait. Based on these conditions, a study is
needed to assess the feasibility of anchovy fisheries after the tsunami disaster in
Sumur. The study was conducted during June-August 2019 using survey methods.
Data analysis includes calculation of Net Present Value (NPV), Revenue Cost Ratio
(R/C), Payback Period (PP). The results showed that the anchovy capture business
using 3 types of fishing gear consist of bagan badak, bagan congkel, dan bagan
jerigen which is operated in 20 days per month for 8 months of the fishing season.
The feasibility value of anchovy that caught by bagan badak revenue was
Rp11.550.000.000, NPV Rp. 23.637.700.693, R/C 1.75, and PP in 3 months and 8
days. Bagan congkel revenue was Rp.2.520.000.000, NPV Rp.6.061.463.760, R/C
2.35 and PP when the business reaches in10 months and 2 days. Bagan jerigen
revenue was Rp. 1.575.000.000, NPV Rp.1.029.498.488, R/C 1.88 and PP within 2
months and 22 days. The entire of fishing operation bussines of anchovy in PPI
Sumur after the tsunami disaster is feasible to continue with all R/C >1. The biggest
business revenue value and the fastest time to return the investment is bagan badak
fishing gear.
Keywords: Anchovy, bagan badak, bagan jerigen, feasibility, Sumur

ABSTRAK
Ikan teri merupakan salah satu target utama pada kegiatan penangkapan ikan
di PPI Sumur. Usaha penangkapan teri di Sumur sempat terhenti akibat bencana
tsunami Selat Sunda pada Desember 2018. Berdasarkan kondisi tersebut,
diperlukan studi untuk menilai kelayakan usaha penangkapan teri pasca bencana.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kelayakan usaha penangkapan teri yang
berbasis di PPI Sumur. Penelitian dilakukan pada bulan Juni-Agustus 2019 dengan

74 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019


metode survei. Data yang dikumpulkan meliputi biaya investasi dan operasional,
jumlah hasil tangkapan dan harga ikan. Aspek kelayakan usaha ditentukan
berdasarkan kriteria keuntungan, revenue cost ratio (R/C), net present value (NPV),
dan payback period (PP). Hasil penelitian menunjukkan bahwa usaha penangkapan
teri di Sumur dilakukan dengan tiga jenis alat tangkap yaitu bagan badak, bagan
congkel, dan bagan jerigen. Nilai kelayakan usaha pada bagan badak diperoleh
penerimaan sebesar Rp. 11,55 milyar, NPV Rp. 22,68 milyar, R/C 2,64, dan PP
selama 2 bulan 6 hari. Bagan congkel memperoleh penerimaan sebesar Rp. 2,52
milyar, NPV Rp. 6,06 milyar, R/C 2,36 dan PP 10 bulan 7 hari. Bagan jerigen
memperoleh penerimaan sebesar Rp. 1,58 milyar, NPV Rp. 1,03 milyar, R/C 1.88
dan PP 2 bulan 24 hari. Keseluruhan usaha penangkapan teri di PPI Sumur pasca
bencana tsunami masih layak untuk diteruskan dengan nilai R/C >1. Nilai
keuntungan bersih terbesar diperoleh dari alat tangkap bagan badak, sementara
waktu PP keseluruhan kurang dari 1 tahun dengan waktu pengembalian investasi
tercepat pada bagan badak.
Kata kunci: bagan badak, bagan jerigen, kelayakan usaha, PPI Sumur, teri

PENDAHULUAN
Ikan teri (Stolephorus sp) merupakan salah satu jenis sumberdaya ikan pelagis
kecil yang memiliki nnilai ekonomis tinggi dan berkontribusi besar terhadap
produksi perikanan di Banten. Potensi sumberdaya ikan teri di Banten berkisar
4.860,39 ton/tahun (Irnawati et al. 2018). Ikan teri umumnya ditangkap dengan alat
tangkap bagan, seperti bagan tetap, bagan apung, stick-held dip net dan bagan
perahu (Susanto et al. 2017).
Salah satu pusat perikanan teri di Provinsi Banten adalah di daerah Sumur
dengan pusat pendaratan ikan berada di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Sumur.
Penangkapan teri di wilayah Sumur biasa dilakukan dengan alat tangkap bagan
tancap, bagan congkel dan bagan jerigen (Irnawati et al. 2017). Kegiatan
penangkapan ikan teri telah lama berkembang di wilayah ini, hingga menjadi salah
satu pusat produksi perikanan teri terbesar di Kabupaten Pandeglang dan Provinsi
Banten. Kondisi ini didukung oleh perairan Selat Sunda yang menjadi daerah
penangkapan ikan bagi para nelayan Sumur. Perairan Selat Sunda yang merupakan
pertemuan dua massa air dari Laut Jawa dan Samudera Hindia menyebabkan
perairan ini menjadi subur dan menyumbang pengaruh positif terhadap

Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 75


produktivitas perikanan teri di Sumur dan pesisir Pandeglang hingga Serang
(Irnawati et al. 2018).
Namun bencana tsunami Selat Sunda yang terjadi pada Desember 2018
menyebabkan kegiatan perikanan teri di daerah Sumur menjadi lumpuh dan terhenti
karena banyak kapal dan alat tangkap bagan yang hancur dan rusak. Belum
pulihnya pasokan bahan perbekalan dan rusaknya tempat-tempat pengolahan teri
juga menjadi alasan kegiatan penangkapan teri belum sepenuhnya bisa dilakukan.
Kegiatan penangkapan teri mulai kembali dilakukan setelah satu hingga tiga bulan
pasca tsunami. Selain itu, pasca tsunami Selat Sunda, berkembang alat tangkap
bagan jenis baru, yang dikenal dengan nama bagan badak.
Berdasarkan kondisi usaha penangkapan ikan teri tersebut maka diperlukan
penelitian mengenai kelayakan usaha penangkapan ikan teri pasca tsunami di
daerah Sumur. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran apakah usaha
penangkapan ikan teri di PPI Sumur masih layak untuk terus dilakukan. Studi
kelayakan usaha akan memberikan arahan apakah investasi pada usaha tersebut
layak untuk dilaksanakan atau tidak (Umar 2003; Ibrahim 2009; Fauzi 2011).

METODE
Penelitian dilakukan pada bulan Juni-Agustus 2019 di PPI Sumur, Kabupaten
Pandeglang, Provinsi Banten. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah
survei. Pengumpulan data dilakukan dengan observasi dan wawancara dengan
pelaku penangkapan ikan teri. Data yang diambil meliputi: biaya investasi, biaya
tetap, biaya variabel, jumlah ikan hasil tangkapan, dan harga ikan.
Analisis kelayakan usaha terhadap kegiatan perikanan teri dilakukan dengan
kriteria keuntungan usaha, revenue cost ratio (R/C), net present value (NPV), dan
payback period (PP) (Hermanto 1998; Kadariah et al. 1999).
(a) Keuntungan Usaha, merupakan besarnya penerimaan setelah dikurangi dengan
biaya yang dikeluarkan untuk proses produksi.
𝜋 = TR − TC

76 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019


Dimana:
𝜋 : keuntungan
TR : total penerimaan
TC : total biaya
(b) Revenue Cost ratio (R/C), merupakan perbandingan antara tingkat penerimaan
suatu unit usaha dengan biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh penerimaan
tersebut,
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑃𝑒𝑛𝑒𝑟𝑖𝑚𝑎𝑎𝑛
R/C ratio = 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐵𝑖𝑎𝑦𝑎

(c) Payback period (PP), adalah suatu periode yang diperlukan untuk menutup
kembali pengeluaran investasi dengan menggunakan aliran kas.
𝑚𝑜𝑑𝑎𝑙 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑏𝑒𝑙𝑢𝑚 𝑘𝑒𝑚𝑏𝑎𝑙𝑖 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑎𝑤𝑎𝑙 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛 𝑟𝑒𝑐𝑜𝑣𝑒𝑦 𝑚𝑜𝑑𝑎𝑙
PP = 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛 𝑠𝑒𝑏𝑒𝑙𝑢𝑚 𝑚𝑜𝑑𝑎𝑙 𝑘𝑒𝑚𝑏𝑎𝑙𝑖 +
𝑎𝑙𝑖𝑟𝑎𝑛 𝑘𝑎𝑠 𝑠𝑒𝑙𝑎𝑚𝑎 𝑠𝑒𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛 𝑟𝑒𝑐𝑜𝑣𝑒𝑟𝑦 𝑚𝑜𝑑𝑎𝑙

(d) Net Present Value (NPV), merupakan kombinasi antara penerimaan dengan
pengeluaran yang diperoleh selama umur ekonomis usaha.
𝐶𝐹𝑡(𝑎)
NPV = ∑𝑛𝑡 (1+𝐾)𝑡 − 𝑙𝑜

Dimana:
CFt : Aliran kas per tahun pada periode t
Io : Nilai investasi awal pada tahun ke 0 (Rp)
K : Suku bunga atau discount rate (%)

HASIL
Kegiatan penangkapan ikan teri yang berbasis di PPI Sumur dilakukan
dengan bagan perahu dan bagan apung, seperti disajikan pada Gambar 1. Terdapat
dua jenis bagan perahu, yang oleh masyarakat setempat dikenal dengan nama bagan
congkel dan bagan badak, keduanya menggunakan kapal berukuran 30 GT. Bagan
congkel memiliki ukuran panjang, lebar dan tinggi sebesar 17 x 17 x 20 m,
sedangkan bagan badak 35 x 35 x 20 m. Sementara bagan apung (dikenal dengan
sebutan bagan jerigen) merupakan bagan rakitan dari bambu dan kayu dengan
jerigen sebagai alat bantu apung, memiliki ukuran 5 x 5 x 15 m.

Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 77


(a) Bagan perahu (b) bagan apung
Gambar 1. Bagan perahu dan bagan apung di Sumur.

Kelayakan usaha dari kegiatan penangkapan ikan teri di PPI Sumur dihitung
berdasarkan kondisi aktual, dimana biaya dan penerimaan dari masing-masing alat
tangkap dihitung berdasarkan nilai rata-ratanya. Biaya investasi, biaya variabel dan
penerimaan dari masing-masing alat tangkap disajikan pada Tabel 1, 2 dan 3. Hasil
analisis kelayakan usaha penangkapan ikan teri disajikan pada Tabel 1. Hasil
analisis kelayakan usaha menunjukkan secara finansial usaha penangkapan ikan teri
di wilayah Sumur masih layak untuk terus diusahakan, dan masih menguntungkan
untuk berinvestasi.
Tabel 1. Biaya investasi bagan perahu dan bagan apung di PPI Sumur
Komponen Biaya Investasi Biaya (Rp)
Bagan Perahu (Bagan Badak)
1. Kapal 800.000.000
2. Alat tangkap ukuran 35 x 35 x 20 m 250.000.000
3. Mesin kapal 80 HP 85.000.000
4. Genset 5.000 Watt (2 buah) 170.000.000
5. Tris 600 buah @6.000 3.600.000
6. Lampu 40 buah 50.000.0000
Total biaya investasi bagan badak 1.358.600.000
Bagan Perahu (Bagan Congkel)
1. Kapal 800.000.000
2. Alat tangkap ukuran 17 x 17 x 20 m 130.000.000
3. Mesin kapal 80 HP 85.000.000

78 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019


4. Genset 5.000 Watt (2 buah) 170.000.000
5. Tris 300 buah @6.000 1.800.000
6. Lampu 22 buah 30.000.000
Total biaya investasi bagan congkel 1.216.800.000
Bagan Apung (Bagan Jerigen)
1. Kapal 60.000.000
2. Alat tangkap ukuran 5 x 5 x 15 m 60.000.000
3. Mesin kapal 5 PK 35.000.000
4. Genset 1.000 Watt (2 buah) 7.000.000
5. Lampu 10 buah 8.000.0000
Total biaya investasi bagan jerigen 170.000.000

Tabel 2. Biaya operasional bagan perahu dan bagan apung di PPI Sumur
Komponen Biaya Operasional Biaya (Rp)
Bagan Perahu (Bagan Badak)
Perbekalan Musim Puncak (per trip 20 hari)
1. BBM Genset 200 Liter x Rp. 10.000 x 20 hari 40.000.000
2. Ransum ABK 18 orang x Rp. 50.000 x 20 hari 18.000.000
3. Es balok 20 x Rp. 30.000 x 20 hari 12.000.000
4. Pelumas Rp. 250.000/minggu x 4 1.000.000
Jumlah perbekalan per bulan 71.000.000
Total Perbekalan musim puncak (2 bulan) 142.000.000
Perbekalan Musim Biasa (per trip 20 hari)
1. BBM Genset 200 Liter x Rp. 10.000 x 20 hari 40.000.000
2. Ransum ABK 16 orang x Rp. 50.000 x 20 hari 16.000.000
3. Es balok 20 x Rp. 30.000 x 20 hari 12.000.000
4. Pelumas Rp. 250.000/minggu x 4 1.000.000
Jumlah perbekalan per bulan 69.000.000
Total Perbekalan musim biasa (6 bulan) 414.000.000
Total Perbekalan bagan badak 556.000.000

Bagan Perahu (Bagan Congkel)


Perbekalan Musim Puncak (8 trip/bulan)
1. BBM Genset 100 Liter x Rp. 10.000 x 8 trip x 2 bulan 16.000.000
2. Ransum ABK 12 orang x Rp. 50.000 x 8 trip x 2 bulan 9.600.000
3. BBM kapal 100 L x Rp. 10.000 x 8 trip x 2 bulan 16.000.000
Total Perbekalan musim puncak (2 bulan) 41.600.000
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 79
Perbekalan Musim Biasa (6 trip/bulan)
1. BBM Genset 100 Liter x Rp. 10.000 x 6 trip x 6 bulan 36.000.000
2. Ransum ABK 12 orang x Rp. 50.000 x 6 trip x 6 bulan 21.600.000
3. BBM kapal 100 L x Rp. 10.000 x 6 trip x 6 bulan 36.000.000
Total Perbekalan musim biasa (6 bulan) 93.600.000
Total Perbekalan bagan congkel 135.200.000

Bagan Apung (Bagan Jerigen)


Perbekalan Musim Puncak (20 hari/bulan)
1. BBM Genset 30 Liter x Rp. 10.000 x 20 hari x 2 bulan 12.000.000
2. Ransum ABK 6 orang x Rp. 200.000 x 20 hari x 2 bulan 48.000.000
3. BBM kapal 7,5 L x Rp. 10.000 x 20 hari x 2 bulan 3.000.000
Total Perbekalan musim puncak (2 bulan) 63.000.000
Perbekalan Musim Biasa (20 hari/bulan)
1. BBM Genset 30 Liter x Rp. 10.000 x 20 hari x 6 bulan 36.000.000
2. Ransum ABK 6 orang x Rp. 200.000 x 20 hari x 6 bulan 144.000.000
3. BBM kapal 7,5 L x Rp. 10.000 x 20 hari x 6 bulan 9.000.000
Total Perbekalan musim biasa (6 bulan) 189.000.000
Total Perbekalan bagan jerigen 252.000.000

Tabel 3. Penerimaan bagan perahu dan bagan apung di PPI Sumur


Komponen Penerimaan Biaya (Rp)
Bagan Perahu (Bagan Badak)
Musim Puncak (250 tris/hari @15 kg = 3.750 kg)
3.750 kg x Rp. 35.000 x 20 hari x 2 bulan 5.250.000.000
Musim Biasa (100 tris/hari @15 kg = 1.500 kg)
1.500 kg x Rp 35.000 x 20 hari x 6 bulan 6.300.000.000
Total penerimaan bagan badak 11.550.000.000

Bagan Perahu (Bagan Congkel)


Musim Puncak (120 tris/hari @15 kg = 1.800 kg)
1.800 kg x Rp. 35.000 x 8 trip x 2 bulan 1.008.000.000
Musim Biasa (80 tris/hari @15 kg = 1.200 kg)
1.200 kg x Rp 35.000 x 6 trip x 6 bulan 1.512.000.000
Total penerimaan bagan congkel 2.520.000.000

Bagan Apung (Bagan Jerigen)


80 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
Musim Puncak (30 tris/hari @15 kg = 450 kg)
450 kg x Rp. 35.000 x 20 hari x 2 bulan 630.000.000
Musim Biasa (15 tris/hari @15 kg = 225 kg)
225 kg x Rp 35.000 x 20 hari x 6 bulan 945.000.000
Total penerimaan bagan jerigen 1.575.000.000

Tabel 4. Hasil kelayakan usaha penangkapan teri di Sumur


No. Kriteria (Rp) Bagan Badak Bagan Congkel Bagan Jerigen
1. Investasi 1.358.600.000 1.216.800.000 170.000.000
2. Biaya Tetap
Perawatan 66.600.000 67.500.000 138.000.000
Penyusutan 169.100.000 139.000.000 77.800.000
Perijinan 3.500.000 3.000.000 175.000
Total biaya tetap 239.200.000 209.500.000 215.975.000
3. Biaya Variabel
Operasional 556.000.000 135.200.000 252.000.000
Gaji ABK 3.584.933.333 725.100.000 369.008.333
Total biaya variabel 4.140.933.333 860.300.000 621.008.333
Total Biaya 4.380.133.333 1.069.800.000 836.983.333
4. Penerimaan
Musim Puncak 5.250.000.000 1.008.000.000 630.000.000
Musim Biasa 6.320.000.000 1.512.000.000 945.000.000
Total penerimaan 11.550.000.000 2.520.000.000 1.575.000.000
5. Keuntungan bersih 7.169.866.667 1.450.200.000 738.016.667
6. NPV 22.675.905.100 6.061.463.760 1.029.498.488
7. R/C 2,64 2,36 1,88
8. PP 2 bulan 6 hari 10 bulan 7 hari 2 bulan 24 hari

Jika dilihat dari keuntungan dari usaha penangkapan ikan teri yang dilakukan,
maka semua usaha penangkapan teri dengan bagan tersebut masih menguntungkan,
karena penerimaan yang diperoleh masih lebih besar dari biaya yang dikeluarkan.
Hasil analisis perbandingan penerimaan dan biaya (R/C) menunjukkan semua jenis
bagan masih menguntungkan karena semuanya bernilai lebih dari satu (R/C > 1).
Periode pengembalian investasi dari semua jenis bagan kurang dari satu tahun, yang
berarti usaha penangkapan teri masih menguntungkan untuk dilakukan karena
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 81
pengembalian modal investasi dapat lebih cepat dilakukan. Hasil perhitungan NPV
semua jenis bagan lebih besar dari nol, yang berarti usaha penangkapan teri yang
dilakukan menghasilkan tingkat keuntungan sehingga layak untuk diteruskan.
Tingkat keuntungan terbesar (NPV) diperoleh bagan badak, dan tingkat keuntungan
(NPV) yang paling kecil adalah bagan jerigen.

PEMBAHASAN
Kegiatan penangkapan ikan teri yang berbasis di PPI Sumur dilakukan
dengan bagan perahu dan bagan apung. Bagan perahu di wilayah Sumur dikenal
dengan nama bagan congkel, dimana alat tangkap menyatu dengan kapalnya.
Adapula bagan badak, yang merupakan modifikasi dari bagan congkel, karena
ukurannya yang besar (dua kali lipat bagan congkel) maka disebut bagan badak.
Bagan congkel memiliki jaring di salah satu sisi kapal, sedangkan pada bagan badak
jaring ada di kedua sisinya. Bagan badak merupakan jenis bagan baru, yang
berkembang dengan pesat pasca bencana tsunami Selat Sunda pada Desember
2018. Bagan congkel dan bagan badak keduanya memiliki ukuran kapal yang sama
yaitu 30 GT, hanya ukuran alat tangkap, jumlah lampu dan tris (keranjang tempat
menampung ikan teri) saja yang berbeda (Tabel 1). Lama trip bagan congkel rata-
rata 6 trip setiap bulan dan saat musim puncak sebanyak 8 trip per bulan, dengan
waktu operasi per trip berkisar 2-4 hari tergantung jumlah ikan hasil tangkapan.
Jumlah trip operasi bagan badak 20 hari setiap bulannya, seperti yang disajikan
pada Tabel 2.
Sedangkan bagan apung dikenal dengan nama bagan jerigen, karena
menggunakan jerigen sebagai alat apungnya. Konstruksinya hanya berupa alat
tangkap bagan saja, tidak menyatu dengan kapal. Kapal hanya digunakan untuk
membawa bagan apung ke menuju dan kembali dari daerah penangkapan ikan, serta
mengangkut ikan hasil tangkapan ke darat. Jumlah trip bagan apung ini sama
dengan bagan badak, yaitu 20 hari/bulan.
Nilai investasi yang paling besar pada bagan perahu (bagan badak dan bagan
congkel) adalah untuk pembelian kapal, disusul alat tangkap dan genset. Sedangkan

82 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019


untuk bagan apung, nilai investasi terbesar adalah untuk pembelian kapal dan alat
tangkap, seperti yang disajikan pada Tabel 1. Prasetyo et al. (2016) menyatakan
modal investasi merupakan pondasi dalam membangun usaha, termasuk usaha
kapal penangkapan. Besarnya biaya investasi disesuaikan dengan target tangkapan,
lokasi, alat tangkap dan kapasitas anak buah kapal yang diperlukan untuk
pengoperasian alat tangkap.
Investasi usaha penangkapan teri di Sumur dilakukan oleh perorangan
maupun beberapa orang. Nilai investasi terbesar dibutuhkan untuk pembelian kapal.
Jika dilihat dari besaran nilai investasi seperti yang disajikan pada Tabel 1, nilai
investasi antara bagan badak dan bagan congkel hanya selisih Rp. 141,8 juta. Hal
ini karena kapal dan mesin untuk bagan badak dan bagan congkel sama, yang
membedakan hanya ukuran alat tangkap, jumlah tris dan lampu saja (Tabel 1).
Besarnya biaya variabel bergantung pada jumlah trip operasi penangkapan.
Jumlah trip penangkapan bagan badak dan bagan jerigen selama 20 kali/bulan
dengan 2 bulan musim puncak dan 6 bulan musim biasa. Sementara jumlah trip
bagan congkel berkisar 6-8 kali/bulan dengan musim puncak selama 2 bulan dan 6
bulan musim biasa. Kegiatan penangkapan biasanya pada bulan Mei-Desember
dengan musim puncak terjadi pada September dan Oktober.
Biaya operasional pada bagan badak jauh lebih tinggi jika dibandingkan
dengan bagan congkel. Hal ini dikarenakan bagan badak memiliki waktu
operasional (lama trip) yang lebih lama dibandingkan bagan congkel. Bagan badak
melakukan operasi penangkapan selama 20 hari berturut-turut dalam sebulan, yang
berarti akan mengakibatkan tingginya biaya operasional untuk bahan bakar minyak
dan ransum ABK. Sedangkan untuk bagan congkel dalam satu bulan hanya
melakukan 6-8 trip dengan lama setiap trip berkisar 2-4 hari. Hal ini diduga karena
masih adaptasi dengan kondisi pasca bencana tsunami, sehingga waktu melaut
belum optimal. Biaya operasional bagan jerigen lebih tinggi jika dibandingkan
dengan bagan congkel, hal ini karena bagan congkel operasinya oneday fishing
dengan lama trip 20 kali/bulan. Ini menyebabkan biaya operasional yang

Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 83


dikeluarkan menjadi tinggi akibat adanya biaya solar dan ransum ABK selama 20
hari berturut-turut.
Menurut Luhur dan Sari (2012), biaya pembelian solar menjadi komponen
terbesar dalam biaya operasional penangkapan ikan. Bagan badak menghabiskan
biaya solar untuk genset lebih besar dibandingkan dengan operasi penangkapan
dikarenakan lokasi penangkapan yang tidak berubah. Menurut Rahmawati et al.
(2017), berubahnya daerah penangkapan akan meningkatkan konsumsi BBM yang
akan merubah biaya variabel efisiensi dan efektifitas penggunaan bahan bakar.
Penerimaan usaha penangkapan dipengaruhi oleh jumlah produksi ikan dan
harga komoditas ikan (Ningsih et al. 2013). Jumlah produksi ikan di perairan Selat
Sunda masih dipengaruhi oleh musim puncak penangkapan yang berlangsung
selama 2 bulan yaitu pada bulan September-Oktober, musim biasa penangkapan
selama 6 bulan dan 4 bulan merupakan musim paceklik. Hal tersebut dipengaruhi
oleh faktor gelombang laut yang tidak mendukung untuk melakukan operasi
penangkapan. Irnawati et al. (2018) menyatakan musim puncak penangkapan teri
di Selat Sunda terjadi pada bulan April dan Juni-September. Jumarang dan Ningsih
(2013) menyatakan musim penangkapan di Selat Sunda dipengaruhi oleh angin
monsoon.
Produksi ikan teri oleh nelayan biasa dihitung dengan banyaknya jumlah
keranjang atau tris, dengan kapasitas rata-rata teri basah 15 kg/keranjang atau setara
ikan teri kering sebesar 7 kg/keranjang. Produksi ikan teri (teri basah) saat musim
puncak untuk bagan badak bisa mencapai 3,75 ton/hari dan 1,5 ton/hari pada musim
biasa. Pengambilan hasil tangkapan untuk bagan jerigen dan bagan badak dilakukan
oleh kapal angkut (palele) setiap hari.
Pengoperasian bagan congkel dalam sebulan dapat mencapai 6-8 trip/bulan
dengan produksi teri rata-rata sebanyak 1,8 ton/hari pada musim puncak dan pada
musim biasa 1,2 ton/hari teri basah. Bagan jerigen mampu memperoleh 450 kg/hari
saat musim puncak dan 200 kg/hari teri basah saat musim biasa. Harga teri basah
yang dijual sebesar Rp.35.000 ke kapal penganak (kapal angkut/palele) untuk

84 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019


selanjutnya diolah menjadi teri kering. Menurut Amrain et al. (2015), perhitungan
analisis usaha penangkapan bagan jumlah trip dihitung pada saat menangkap ikan.
Fluktuasi ikan hasil tangkapan dapat diakibatkan oleh beberapa hal,
diantaranya jumlah dan efisiensi unit penangkapan ikan, lamanya operasi nelayan,
kelimpahan ikan yang akan ditangkap serta keadaan lingkungan seperti suhu,
salinitas, arus dan curah hujan (Takril, 2008). Selain itu, kapasitas alat tangkap dan
jumlah trip penangkapan menentukan produksi ikan, dimana jumlah trip dan
kapasitas alat tangkap menangkap terbesar pada bagan badak.
Alam et al. (2017) menyatakan bahwa hasil tangkapan musim puncak per hari
untuk bagan cukup tinggi, sehingga bagan teri mampu menghasilkan produksi
tinggi di setiap tripnya. Faktor lainnya berupa harga ikan untuk setiap wilayah dapat
berbeda bergantung kelimpahan ikan. Apabila ikan melimpah pada satu jenis ikan
biasanya harga akan turun dan sebaliknya. Menurut Wasahua dan Lukman (2016),
musim dapat mempengaruhi banyaknya ikan hasil tangkapan serta harga ikan dapat
sama atau berbeda tiap musimnya. Namun kondisi harga tersebut tidak terjadi di
wilayah Sumur, dimana harga teri pada setiap musim sama. Harga teri wilayah
Sumur dihargai sebesar Rp.35.000/kg. Harga yang ditawarkan di Sumur sama
setiap musimnya karena ikan teri yang dihasilkan termasuk kualitas ekspor.
Biaya perawatan pada bagan jerigen memiliki nilai paling tinggi diantara jenis
bagan yang lain (Tabel 4). Hal ini dikarenakan bagan jerigen memerlukan
perawatan setiap enam bulan sekali, berupa penggantian tiang dan kayu-kayu akibat
pelapukan. Ini menandakan bagan jerigen memiliki umur ekonomis yang lebih
pendek dibandingkan jenis bagan yang lain. Umur pakai bagan jerigen hanya
berkisar satu tahun, sehingga pada tahun berikutnya harus dilakukan pembuatan
alat tangkap baru, yang berarti investasi baru. Umur ekonomis untuk bagan badak
dan bagan congkel mampu mencapai 10 tahun usaha.
Penilaian bahwa usaha menguntungkan dapat dilihat dengan positifnya nilai
NPV. Penilaian NPV merupakan perbandingan nilai peneriman dengan pengeluaran
yang dihitung pada faktor suku bunga 15%. Nilai NPV terbesar ada pada usaha
bagan badak dimana keuntungan bersih paling tinggi. Menurut Ismail et al. (2013),

Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 85


apabila nilai NPV positif maka suatu usaha dikatakan menguntungkan dan
sebaliknya.
Kriteria kelayakan suatu usaha juga dapat dilihat dengan nilai R/C, yaitu
perbandingan penerimaan dengan total pengeluaran. Kriteria R/C dikatakan layak
apabila nilainya >1. Berdasarkan hasil perhitungan, nilai R/C seperti yang disajikan
pada Tabel 4, maka ketiga usaha penangkapan teri di Sumur tersebut masih layak
untuk diteruskan. Seluruh kegiatan usaha penangkapan teri memperlihatkan bahwa
besarnya nilai pendapatan melebihi biaya pengeluaran untuk produksi. Menurut
Tibrani dan Sofyani (2010), pada analisis usaha keramba apung dengan nilai R/C
rasio >1 menunjukkan bahwa usaha tersebut layak. Kelayakan usaha menunjukkan
bahwa usaha penangkapan dapat dilanjutkan. Menurut Foeh dan Tuera (2014), jika
suatu usaha menunjukkan layak (feasible) maka dalam pelaksanaannya akan jarang
mengalami kegagalan.
Kelayakan usaha penangakapan tersebut diperlukan pertimbangan lamanya
pengambalian investasi dari keuntungan bersih yang didapat (payback period).
Menurut Hapsari (2012), payback period dari suatu investasi dapat
menggambarkan lamanya waktu yang diperlukan agar dan yang tertanam pada
suatu investasi dapat diperoleh kembali seluruhnya. Keseluruhan perhitungan
payback period bagan untuk menangkap teri di Sumur dalam waktu kurang dari 1
tahun. Perhitungan payback period tercepat yaitu pada alat tangkap bagan badak
dengan biaya investasi Rp. 1,36 milyar akan kembali dalam waktu 2 bulan 6 hari.
Disusul bagan jerigen dan terakhir bagan congkel. Kecepatan pengembalian biaya
investasi bagan badak ini dikarenakan mampu memperoleh penerimaan besar
dengan harga ikan teri yang stabil serta jumlah trip tangkapan besar sehingga
memperoleh keuntungan hingga Rp. 7,17 milyar/tahun (Tabel 4). Bagan jerigen
juga memiliki kecepatan pengembalian yang hampir sama dengan bagan badak,
yaitu dua bulan 24 hari. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan perikanan bagan di
Sumur memiliki prospek yang baik untuk terus dikembangkan. Berdasarkan studi
usaha kelayakan bagan apung oleh Mirawati (2015), waktu pengembalian kas
bersih usaha bagan kurang dari satu tahun. Usaha ini cukup menjanjikan, alat

86 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019


tangkap mampu memperoleh volume ikan yang besar, harga komoditas di pasaran
tinggi serta biaya pengeluaran untuk perbekalan ABK relatif sedikit.
Kriteria kelayakan dipilih dari masa pengembalian investasi yang tercepat,
dengan asumsi bahwa modal investasi yang telah dikembalikan tersebut dapat
ditanam lagi dalam usaha. Hal tersebut menurut Indradi et al. (2013) dimaksudkan
untuk mampu meningkatkan nilai keuntungan/benefit hingga usaha berakhir,
keuntungan modal investasi dapat digunakan untuk aktivitas ekonomi lain yang
lebih produktif dan menguntungkan.

KESIMPULAN
Kegiatan usaha penangkapan teri dengan bagan perahu (bagan badak dan
bagan congkel) dan bagan apung (bagan jerigen) yang berbasis di PPI Sumur masih
menguntungkan dan layak untuk diteruskan, dengan melihat nilai NPV positif, R/C
>1 dan payback period kurang dari 1 tahun.

UCAPAN TERIMA KASIH


Tim penulis mengucapkan terima kasih kepada Universitas Sultan Ageng
Tirtayasa (Untirta) dan Islamic Development Bank (IsDB) yang telah mendanai
penelitian ini melalui Hibah Penelitian Perguruan Tinggi “The Development of
Sultan Ageng Tirtayasa University as Center of Excellence in Food Security for
Nation Competitiveness”, serta UPT PPI Sumur dan masyarakat nelayan bagan
perahu dan bagan apung di PPI Sumur, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten.

DAFTAR PUSTAKA
Alam AG, Sardiyatmo, Ayunita DNND. 2017. Analisis Kelayakan Usaha
Perikanan Tangkap Bagan Perahu di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN)
Karangantu Serang Banten. Journal of fisheries resources utilization
management and technology. 6(3): 106-114.

Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 87


Amrain F, Olii AH, Baruwadi ASR. 2015. Produktivitas dan Kelayakan Usaha
Bagan Perahu di Pelabuhan Perikanan Nusantara Kawandang Kabupaten
Gorontalo Utara. Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. 3(4): 147-151.
Fauzi A. 2011. Model Pengelolaan Perikanan Tangkap di Kawasan Selat Bali
[Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
FoEh JEHJ dan Tuera RT. 2014. Investasi Penangkapan Ikan Tuna Semi Modern
oleh PT Serena Marine di Perairan Sulawesi Utara. Manajemen IKM journal.
9(1): 38-53.
Hapsari TD. 2012. Bahan Ajar Manajemen Operasi Penangkapan Ikan. Semarang:
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, UNDIP.
Hermanto F.1998. Ilmu Usaha Tani. Jakarta: Bumi Aksara
Ibrahim J. 2009. Studi Kelayakan Bisnis. Jakarta: Rineka Cipta
Indradi S, Wijayanto D, Yulianto T dan Suroto S. 2013. Analisis Kelayakan Usaha
Perikanan Laut Kabupaten Kendal. Jurnal Saintek Perikanan. 8(2): 52-56.
Irnawati R, Rahmawati R, Munandar A, Surilayani D. 2017. Analisis Potensi dan
Pemetaan Lokasi Basis Perikanan Teri dalam Mewujudkan Ketahanan
Pangan Perikanan di Provinsi Banten [Laporan Penelitian]. Serang:
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
Irnawati R, Suriliyani D, Susanto A, Munandar A, Rahmawati A. 2018. Potential
Yield and Fishing Season of Anchovy (Stolephorus sp) in Banten. AACL
Bioflux. 11(3): 804-809.
Jumarang M I dan Ningsih NS. 2013. Transport Masa Air di Selat Sunda akibat
ENSO, Monsoon and Dipole mode. Prosiding Semirata FMIPA Universitas
Lampung. Hal 409-415.
Kadariah, Karlina L, dan Gray C. 1999. Evaluasi Proyek: Analisa Ekonomis. Edisi
2. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 184
hlm.
Luhur ES dan Sari YD. 2012. Dampak Subsidi Terhadap Keberlanjutan Usaha
Perikanan Tangkap di Bitung dan Palabuhanratu. Jurnal Sosial Ekonomi
Kelautan dan Perikanan. (2): 139-151.

88 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019


Mirawati. 2015. Analisis Kelayakan Finansial Usaha Bagan Apung di Desa
Bontosunggu Kecamatan Bontoharu Kabupaten Selayar [Skripsi]. Makassar:
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. 80 hlm.
Ningsih RS, Mudzakir AK, Rosyid A. 2013. Analisis Kelayakan Finansial Usaha
Perikanan Payang Jabur (Boat Seine) di Pelabuhan Perikanan Pantai
Asemdoyong Kabupaten Pemalang. Journal of Fisheries Resources
Utilization Management and Technology. (3): 223-232.
Prasetyo A B, Hapsari T D dan Setiyanto I. 2016. Analisisi Kelayakan Finansial
Usaha Penangkapan Ikan dengan Kapal Purse Seine Berpendingin Freezer
Dibandingkan Es di PPP Bajomulyo Juwana Kabupaten Pati. Jurnal PENA
Akuatik. 14(1): 36-58.
Rahmawati E, Irnawati R, Rahmawati A. 2017. Kelayakan Usaha Bagan Perahu
yang Berbasis di Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu Provinsi
Banten. Jurnal Perikanan dan Kelautan. 7(1): 40-49.
Susanto A, Irnawati R, Mustahal, Syabana MA. 2017. Fishing efficiency of LED
Lamps for Fixed Lift Net Fisheries in Banten Bay Indonesia. Turkish Journal
of Fisheries and Aquatic Sciences. 17: 283-291.
Takril. 2008. Kajian Pengembangan Perikanan Bagan Perahu di Polewali,
Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat [Tesis]. Bogor: Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Tibrani dan Sofyani T. 2010. Pengorganisasian dan Analisis Usaha Perikanan
Keramba di Waduk PLTA Koto Panjang Kabupaten Kampar. Jurnal
Penelitian. 38(1): 1-117.
Umar H. 2003. Studi Kelayakan Bisnis, Manajemen, Metode dan Kasus. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Wasahua J dan Lukman E. 2016. Analisis Kelayakan Finansial Perikanan Tangkap
Ikan Pelagis Besar di Desa Tial Kecamatan Salahutu Kabupaten Maluku
Utara. Jurnal Ilmiah agribisnis dan Perikanan. 9(2): 30-33.

Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 89


LAJU TANGKAP, KARAKTERISTIK BIOLOGI DAN STATUS
PEMANFAATAN RAJUNGAN (Portunus pelagicus Linnaeus, 1758) DI
PERAIRAN PATI

Catch Rate, Biological Characteristic And Exploitation Rate Of Blue Swimming


Crab (Portunus Pelagicus Linnaeus, 1758)
In Pati Waters

Oleh:

Tirtadanu*1, Tri Ernawati1 dan Heri Widiyastuti1


1
Balai Riset Perikanan Laut, Kompl. Raiser Jl. Raya Bogor KM. 47 Nanggewer Mekar,
Cibinong, Bogor. *Korespondensi penulis : Tirtadanu, Email : tirtadanu@kkp.go.id

ABSTRACT

Catch rate, biological characteristic and exploitation rate of blue swimming crab
(Portunus pelagicus Linnaeus, 1758) in Pati Waters was important study for
determining the sustainable management of blue swimming crab. The aimed of this
study was to study the catch rate, biological characteristic and exploitation rate of
blue swimming crab as the basis study for formulating the sustainable management
in Pati Waters. This research was conducted on March-September 2017 in some
landing areas of blue swimming crab. Catch per trip of traps and gillnet vessel was
used for determaining the catch rate. Exploitation status including exploitation rate
and spawning potential ratio were determined by analytical model that was based
on the movement of the monthly mode length, the mortality paramaters and the
proportion of the length distribution. The results showed that the catch rate of P.
pelagicus by traps (Mean CPUE=9,8±0,6 kg/trip) was higher that the catch rate of
P. pelagicus by gillnet (2,4±0,08 kg/trip). The peak of catch rate for P. pelagicus
by traps and gillnet was found in July and August. The size of P. pelagicus ranged
between 80 to 170 mmCW and the growth of weights was faster than the growth of
its carapace width. Based on the size of captured crabs, the traps gear was more
selective than gillnet that the length at first captured (Lc) of P. pelagicus by traps
was bigger than the length at first captured of P. pelagicus by gillnet (Lc
traps=129,6 mmCW; Lc Jaring=120,3 mmCW). The length at first maturity was
113 mmCW. P. pelagicus was the fast-growing species by the growth rate of 1,44
year-1 for male and 1,26 year-1 for female. The exploitation status of P. pelagicus
in Pati Waters was fully exploited based on the spawning potential ratio of 28%
and exploitation rate (E) of 0,63-0,75. The recommendation from this research was
to continue the fishing without increasing its quota until reaching the SPR target of
30% following by the yearly evaluation study of its stock in Pati waters.
Keywords: fully exploited; Portunus pelagicus; spawning potential ratio

90 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019


ABSTRAK

Laju tangkap, karakteristik biologi dan tingkat pemanfaatan rajungan (Portunus


pelagicus Linnaeus, 1758) di perairan Pati merupakan kajian penting dalam
merumuskan strategi pengelolaan perikanan rajungan yang berkelanjutan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji laju tangkap, karakteristik biologi dan
tingkat pemanfaatan rajungan sebagai dasar dalam merumuskan pengelolaan
perikanan rajungan yang berkelanjutan di Pati. Penelitian ini dilakukan pada bulan
Maret-September 2017 di beberapa area pendaratan rajungan di Pati. Penentuan laju
tangkap menggunakan hasil tangkapan per trip armada bubu dan jaring. Penentuan
status pemanfaatan meliputi tingkat pemanfaatan dan estimasi rasio pemijahan
menggunakan metode analitik berdasarkan pergeseran modus panjang bulanan,
parameter kematian dan proporsi sebaran panjang. Hasil penelitian menunjukkan
laju tangkap (CPUE) rajungan oleh bubu (Mean CPUE=9,8±0,6 kg/trip) lebih
tinggi dibandingkan rata-rata laju tangkap rajungan oleh jaring (Mean
CPUE=2,4±0,08 kg/trip). Puncak laju tangkap P. pelagicus dengan bubu dan jaring
ditemukan pada bulan Juli dan Agustus. Ukuran rajungan yang tertangkap berkisar
antara 80-170 mmCW dan pertambahan beratnya lebih cepat dibandingkan dengan
pertambahan lebar karapasnya. Armada bubu tergolong lebih selektif dibandingkan
jaring berdasarkan ukuran rajungan yang tertangkap di Pati di mana ukuran rata-
rata pertama kali tertangkap rajungan (Lc) oleh bubu lebih besar dibandingkan
jaring (Lc Bubu=129,6 mmCW; Lc Jaring=120,3 mmCW). Ukuran rata-rata
pertama kali matang gonad P. pelagicus sebesar 113 mmCW. Laju pertumbuhan
(K) P. pelagicus tergolong cepat sebesar 1,44 tahun-1 pada jantan dan 1,26 tahun-1
pada betina. Status pemanfaatan P. pelagicus di perairan Pati saat ini berada pada
kondisi fully exploited berdasarkan rasio potensi pemijahan sebesar 28% dan
tingkat pemanfaatan (E) sebesar 0,63-0,75. Pengelolaan yang disarankan adalah
tidak melakukan penambahan upaya hingga SPR target 30% dapat tercapai disertai
studi rutin terkait evaluasi stok rajungan di perairan Pati.
Kata Kunci : fully exploited; Portunus pelagicus; rasio potensi pemijahan

PENDAHULUAN

Rajungan (Portunus pelagicus Linnaeus, 1758) merupakan salah satu


komoditas perikanan unggulan di Laut Jawa di mana produksi rajungan di Wilayah
Pengelolaan Perikanan (WPP) 712 dilaporkan sebesar 46.956 ton di tahun 2016
(DJPT, 2017). Status pemanfaatan rajungan di Laut Jawa berdasarkan KEPMEN
NO. 50/KEPMEN-KP/2017 telah lebih tangkap (overexploited) sehingga
disarankan untuk melakukan pengurangan upaya penangkapan. Salah satu lokasi
pengusahaan rajungan di Laut Jawa berada di perairan Pati.
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 91
Penangkapan rajungan di perairan Pati yang dilakukan secara terus-menerus
tanpa pengelolaan yang tepat dapat menyebabkan penurunan stok dan mengancam
keberlanjutannya. Informasi yang diperlukan dalam merumuskan pengelolaan yang
berkelanjutan adalah kajian laju tangkap, karakteristik biologi dan tingkat
pemanfaatannya. Penelitian Ernawati et al. (2015) menyebutkan tingkat
pemanfaatan rajungan di Pati pada tahun 2013 telah lebih tangkap (overfishing).
Evaluasi dan informasi terkini terkait status pemanfaatan rajungan perlu dilakukan
untuk menghidari kepunahan stok akibat tekanan penangkapan yang telah
overfishing.
Beberapa penelitian pemanfaatan rajungan di beberapa lokasi di Laut Jawa
telah dilaporkan terkait dengan selektivitas alat tangkap dan biologi populasi
rajungan. Penelitian Nuraini et al., (2009) di teluk Jakarta menunjukkan alat
tangkap bubu dan jaring lebih selektif dibandingkan arad dan sero dalam
menangkap rajungan dewasa. Penelitian Hufiadi (2017) menyebutkan alat tangkap
bubu merupakan alat tangkap yang paling selektif dalam menangkap rajungan di
Cirebon. Penelitian terkait biologi populasi rajungan telah dilaporkan oleh
Ernawati et al., (2014) di Pati di mana peluang rekrutmen rajungan di Pati tergolong
tinggi dengan rata-rata rajungan yang tertangkap masih sempat melakukan
pemijahan. Informasi laju tangkap dan status pemanfaatan terkini pada tulisan ini
dapat melengkapi informasi pada beberapa penelitian sebelumnya yang telah
dilaporkan dan sebagai evaluasi terhadap pengusahaan perikanan yang telah
dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji laju tangkap, karakteristik
biologi dan tingkat pemanfaatan rajungan di perairan Pati.

METODE

Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret-September 2017 di beberapa


daerah pendaratan rajungan di Pati yaitu di kawasan Banyutowo dan Alasdowo.
Daerah penangkapan rajungan berada di daerah yang tidak jauh dari pantai untuk
alat tangkap jaring dan perairan tengah untuk alat tangkap bubu (Gambar 1).

92 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019


Penelitian yang dilakukan meliputi pencatatan hasil tangkapan armada bubu dan
jaring pada tiap trip penangkapan dan pengukuran biometrik rajungan.

Gambar 1. Daerah penangkapan rajungan (Portunus pelagicus) dengan bubu dan


jaring di perairan Pati.

Analisis data yang dilakukan meliputi laju tangkap armada bubu dan jaring
dan jumlah trip penangkapan, sebaran ukuran, hubungan lebar-berat, selektivitas
dan ukuran rata-rata pertama kali matang gonad, pertumbuhan dan tingkat
pemanfaatan. Laju tangkap atau catch per unit effort (CPUE) dianalisis berdasarkan
hasil tangkapan tiap kapal pada tiap trip (Sparre & Venema, 1992). Korelasi antara
alat tangkap yang digunakan terhadap laju tangkap menggunakan uji korelasi
Pearson dan perbandingan rata-rata hasil tangkapan bubu dan jaring menggunakan
uji ANOVA dan kemudian dibandingkan dengan diagram boxplot. Rata-rata laju
tangkap tiap bulan dianalisis dan ditampilkan dengan diagram batang.

Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 93


Analisis sebaran ukuran disajikan dalam bentuk grafik batang antara lebar
karapas dengan proporsi jumlah sampel yang diperoleh. Hubungan lebar-berat
rajungan mengikuti hukum kubik (King, 1995) yaitu:
W = aLb ……………………………………………………………..(1)
dengan W = berat (gram); L= lebar karapas rajungan (mm) dan a,b = konstanta.
Ukuran rata-rata pertama kali tertangkap (Lc) rajungan dengan jaring dan
bubu dan ukuran rata-rata pertama kali matang gonad rajungan (Lm) betina
diperoleh berdasarkan fungsi logistik (Sparre and Venema, 1992; King, 1995).
Pertumbuhan diduga menggunakan model pertumbuhan von Bertalanffy (Sparre &
Venema, (1992) :
𝐿𝑡 = 𝐿∞ [1 − 𝑒 −𝑘(𝑡−𝑡0 ) ]…………………………………………………...(2)

Lt adalah lebar karapas rajungan saat umur t, L∞ adalah lebar karapas maksimum
secara teoritis (lebar karapas asimptotik), K adalah koefisien pertumbuhan dan t0
adalah umur teoritis saat lebar karapas rajungan nol. Parameter pertumbuhan
meliputi lebar karapas asimptotik (L∞) dan laju pertumbuhan (K) diestimasi dengan
program ELEFAN I dalam program FISAT II (Gayanilo et al., 2005). Umur pada
saat sebelum memasuki perikanan (t0) diduga berdasarkan persamaan Pauly (1983):

Log (-t0) = -0,3922 – 0,2752 log (L∞) – 1,038 log (K)…………………….(3)

Laju mortalitas meliputi mortalitas alami (M), mortalitas penangkapan (F)


dan mortalitas total (Z). Nilai laju mortalitas total (Z) diduga dengan metode kurva
konversi hasil tangkapan dengan panjang (length converted catch curve) (Pauly,
1983). Pendugaan laju mortalitas alami (M) menggunakan persamaan Pauly et al.
(1984) dengan penambahan nilai temperatur rata-rata sebagai berikut :

Log (M) = -0,0066 – 0,279 log (L∞) + 0.6543 log (K) + 0.4634 log (T)…….(4)

Laju mortalitas penangkapan dan laju eksploitasi diduga dengan persamaan Sparre
& Venema, (1992) :

𝐹
𝐹 = 𝑍 − 𝑀 dan 𝐸 = 𝑍 ………………………………………………………(5)
94 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
Rasio potensi pemijahan rajungan di perairan Pati dianalisis berdasarkan
metode yang berbasis data panjang (Length Based Spawning Potensial
Ratio/LBSPR) dengan beberapa parameter input yang diperlukan diantaranya
komposisi sebaran ukuran, rasio mortalitas alami dengan laju pertumbuhan (M/K),
ukuran panjang 50% populasi matang gonad (Lm50), ukuran panjang 95% populasi
matang gonad (Lm95) dan panjang asimptotik (Hordyk et al., 2015a; Hordyk et al.,
2015b; Prince et al., 2015). Rasio potensi pemijahan didasarkan pada perbandingan
potensi reproduksi ketika terdapat tekanan penangkapan (SSBRfished) dengan
potensi reproduksi tanpa tekanan penangkapan (SSBRunfished) (Goodyear, 1993) :

𝑆𝑆𝐵𝑅𝑓𝑖𝑠ℎ𝑒𝑑
𝑆𝑃𝑅 =
𝑆𝑆𝐵𝑅𝑢𝑛𝑓𝑖ℎ𝑠ℎ𝑒𝑑
……………………………………………………..(6)

HASIL

Laju tangkap

Jumlah hasil tangkapan rajungan yang diperoleh di perairan Pati


dipengaruhi oleh alat tangkap yang digunakan. Laju tangkap bubu cenderung lebih
besar dibandingkan laju tangkap gillnet. Rentang hasil tangkapan bubu dari 3.270
trip penangkapan berdasarkan diagram boxplot berkisar antara 4 - 22 kg/trip dengan
median sebesar 6,9 kg/trip sedangkan rentang hasil tangkapan gillnet berkisar
antara 0,1-5,7 kg/trip dengan median sebesar 1,9 kg/trip (Gambar 2).

Gambar 2. Diagram boxplot laju tangkap rajungan (Portunus pelagicus) dengan


dengan bubu dan jaring di peraian Pati, 2017.
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 95
Rata-rata CPUE rajungan yang tertangkap bubu adalah 9,8±0,6 kg/trip.
Hasil tangkapan rata-rata tertinggi ditemukan pada bulan Agustus sebesar 15,7
kg/trip. Rata-rata cpue rajungan yang tertangkap jaring adalah 2,4±0,08 kg/trip.
Hasil tangkapan rata-rata tertinggi ditemukan pada bulan Juli sebesar 3,23 kg/trip
(Gambar 3).

Gambar 3. Rata-rata bulanan laju tangkap rajungan (Portunus pelagicus) dengan


jaring dan bubu di perairan Pati, Maret-September 2017.

Sebaran ukuran

Lebar karapas rajungan di perairan Pati berkisar antara 80-170 mmCW.


Rata-rata lebar karapas adalah 122,4±0,53 mmCW pada rajungan jantan dan
123,1±0,67 mmCW pada rajungan betina. Rajungan jantan paling banyak
tertangkap pada ukuran 115 mmCW sedangkan rajungan betina paling banyak
tertangkap pada ukuran 120 mmCW (Gambar 4).

96 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019


Gambar 4. Sebaran ukuran rajungan di perairan Pati, 2017.

Hubungan lebar karapas-berat

Hubungan lebar karapas-berat rajungan di perairan Pati mengikuti


persamaan W=0.00002*L3,24 pada rajungan jantan dan W=0.00004*L3,1 pada
rajungan betina. Pola pertumbuhan rajungan adalah allometrik positif (b>3)
menunjukkan pertumbuhan berat lebih cepat dibandingkan dengan lebar
karapasnya (Gambar 5).

Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 97


Gambar 5. Hubungan lebar-karapas-berat rajungan (Portunus pelagicus) dengan di
perairan Pati, 2017.

Ukuran rata-rata pertama kali tertangkap dan ukuran rata-rata pertama kali
matang gonad

Ukuran rata-rata pertama kali tertangkap (Lc) rajungan oleh bubu lebih
besar dibandingkan ukuran rata-rata pertama kali tertangkap (Lc) rajungan oleh
98 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
jaring. Ukuran rata-rata pertama kali tertangkap rajungan oleh bubu sebesar 129,6
mmCW dan ukuran rata-rata pertama kali tertangkap rajungan oleh jaring sebesar
120,3 mmCW. Ukuran rata-rata pertama kali matang gonad (Lm50) rajungan betina
di perairan Pati sebesar 113 mmCW (Gambar 6).

1.00 1.00
Portunus pelagicus Portunus pelagicus
Pati, Mar-Sept 2017 Pati, Mar-Sept 2017
Lc Bubu= 129,6 mmCW Lc Gillnet= 120,3 mmCW
Selektivitas

Selektivitas
0.50 0.50

0.00 0.00
100 105 110 115 120 125 130 135 140 145 150 155 160 165 170 80 85 90 95 100 105 110 115 120 125 130 135 140 145 150 155 160
Lebar Karapas (mm) Lebar Karapas (mm)
estimasi observasi estimasi observasi

Gambar 6. Ukuran rata-rata pertama kali tertangkap (Lc) rajungan dengan bubu dan
jaring dan ukuran rata-rata pertama kali matang gonad rajungan betina di perairan
Pati, 2017.

Pertumbuhan

Lebar karapas asimptotik rajungan jantan di perairan Pati sebesar 176,8


mmCW dengan koefisien pertumbuhan (K) sebesar 1,44 per tahun. Umur teoretis
saat panjang sama dengan 0 sebesar -0,142 sehingga diperoleh persamaan

Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 99


pertumbuhan Von Bertalanffy yaitu 𝐿∞ = 176,8(1 − 𝑒 −1,44(𝑡+0,142) ). Lebar
karapas asimptotik rajungan betina di perairan Pati sebesar 175 mmCW dengan
koefisien pertumbuhan (K) sebesar 1,26 per tahun. Umur teoretis saat panjang sama
dengan 0 sebesar -0,124 sehingga diperoleh persamaan pertumbuhan Von
Bertalanffy yaitu 𝐿∞ = 175(1 − 𝑒 −1,26(𝑡+0,124) ) (Gambar 7). Rajungan mencapai
ukuran maksimum diduga dicapai pada umur 2-3 tahun dan ukuran rata-rata
pertama kali matang gonad rajungan betina sebesar 113 mmCW diduga dicapai
pada umur 10 bulan.

Gambar 7. Pertumbuhan Von Bertalanffy rajungan (Portunus pelagicus) dengan di


perairan Pati, 2017.
100 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
Parameter kematian dan tingkat pemanfaatan

Total mortalitas rajungan jantan di perairan Pati lebih besar dibandingkan


total mortalitas rajungan betina. Total mortalitas rajungan di perairan Pati adalah
5,7 per tahun pada rajungan jantan dan 3,5 per tahun pada raungan betina (Gambar
8).

Gambar 8. Kurva konversi panjang dengan hasil tangkapan rajungan di perairan


Pati, 2017.

Mortalitas alami rajungan di perairan Pati adalah 1,41 per tahun pada
rajungan jantan dan 1,29 per tahun pada rajungan betina. Mortalitas penangkapan
rajungan di perairan Pati adalah 4,29 per tahun pada rajungan jantan dan 2,21 per
tahun pada rajungan betina. Laju eksploitasi rajungan di perairan Pati adalah 0,75
per tahun pada rajungan jantan dan 0,63 per tahun pada rajungan betina (Tabel 1).

Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 101
Tabel 1. Total mortalitas (Z), mortalitas alami (M), mortalitas penangkapan (F)
dan laju eksploitasi rajungan di perairan Pati, 2017.

Kelamin Z M F E
Jantan 5.7 1.41 4.29 0.75
Betina 3.5 1.29 2.21 0.63

Rasio potensi pemijahan


Beberapa hasil parameter yang digunakan sebagai input analisis rasio
potensi pemijahan diantaranya panjang asimptotik sebesar 175 mmCW, rasio M/K
sebesar 1,2, proporsi panjang 50% populasi rajungan matang gonad (Lm50) sebesar
113 mmCW dan proporsi panjang 95% populasi rajungan matang gonad sebesar
150 mmCW. Rasio potensi pemijahan rajungan di perairan Pati diperoleh sebesar
0,28 atau sebesar 28% (Tabel 2).

Tabel 2. Rasio potensi pemijahan rajungan (Portunus pelagicus) di perairan Pati,


2017.

Parameter Nilai
L∞ 175 mmCW
M/K 1,02
Lm50 113 mmCW
Lm95 150 mmCW
SPR 0,28

PEMBAHASAN

Laju tangkap bubu untuk menangkap rajungan di Pati lebih tinggi


dibandingkan laju tangkap jaring. Rata-rata rajungan yang tertangkap oleh bubu
sebesar 9,8±0,6 kg/trip dan rata-rata rajungan yang tertangkap oleh jaring sebesar
2,4±0,08 kg/trip. Prihatiningsih & Wagiyo (2009) melaporkan laju tangkap
rajungan di perairan Tangerang di tahun 2007 sebesar 4,19 kg/kapal/trip pada bubu
dan 4,14 kg/kapal/trip pada jaring. Laju tangkap rajungan dengan bubu di perairan
102 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
Pati lebih tinggi dibandingkan dengan laju tangkap jaring disebabkan daerah
penangkapan rajungan dengan bubu yang lebih jauh dibandingkan jaring sehingga
rajungan dewasa lebih banyak tertangkap oleh bubu. Puncak laju tangkap rajungan
yang tertangkap bubu dan jaring ditemukan pada bulan Juli dan Agustus. Puncak
musim penangkapan rajungan di perairan utara Jawa umumnya ditemukan pada
bulan Juni-Agustus di mana puncak musim penangkapan rajungan di perairan utara
Teluk Jakarta dan perairan Tangerang dilaporkan terjadi pada bulan Juni dan Juli
(Prihatiningsih & Wagiyo, 2009; Nuraini et al., 2009).
Lebar karapas rajungan di perairan Pati berkisar antara 80-170 mmCW
dengan rata-rata 122,4 ± 0,53 mmCW pada rajungan jantan dan 123,1±0,67 mmCW
pada rajungan betina. Rajungan yang tertangkap pada lokasi lain di Laut Jawa
adalah 60-150 mmCW di perairan Teluk Jakarta dan 70-186 mmCW di perairan
Cirebon (Panggabean et al., 2018; Hufiadi, 2017). Ukuran rata-rata rajungan yang
tertangkap di perairan Pati di tahun 2017 (122-123 mmCW) tidak jauh berbeda
dibandingkan ukuran rata-rata rajungan yang tertangkap di Pati di tahun 2013 (105-
134 mmCW) (Ernawati et al., 2015). Kondisi tersebut menunjukkan belum adanya
indikasi penurunan ukuran rajungan saat ini jika dibandingkan dengan
penangkapannya di tahun 2013.
Pola pertumbuhan rajungan jantan dan betina di perairan Pati menunjukkan
pola allometrik positif (b>3). Kondisi tersebut menunjukkan pertumbuhan berat
rajungan lebih cepat dibandingkan dengan lebar karapasnya. Lelono & Wardhani
(2017) menyebutkan pola pertumbuhan rajungan di perairan Lamongan bersifat
allometrik negatif dan penelitian Damora & Nurdin (2016) menyebutkan pola
pertumbuhan rajungan di perairan Labuan Maringgai bersifat isometrik pada
rajungan jantan dan allometrik positif pada rajungan betina. Pertumbuhan
allometrik positif pada rajungan jantan dan betina di perairan Pati menunjukkan
kondisi perairan Pati yang masih tergolong subur bagi pertumbuhan rajungan.

Ukuran rata-rata rajungan pertama kali matang gonad rajungan (Lm) di


perairan Pati ditemukan sebesar 113 mmCW. Ukuran rata-rata pertama kali matang
gonad rajungan di beberapa perairan di Indonesia berkisar antara 107-117 mmCW.
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 103
Ukuran rata-rata pertama kali matang gonad (Lm) rajungan di perairan Pati di tahun
2013 sebesar 107 mmCW, ukuran rata-rata pertama kali matang gonad (Lm)
rajungan di perairan Lampung Timur sebesar 113,5 mmCW, ukuran rata-rata
pertama kali matang gonad (Lm) rajungan di perairan Kotabaru sebesar 110
mmCW dan ukuran rata-rata pertama kali matang gonad rajungan di perairan
Kwandang sebesar 117 mmCW (Ernawati et al., 2014; Damora & Erfind, 2016;
Tirtadanu & Suman., 2017; Tirtadanu & Chodrijah., 2019). Lappalainen et al.,
(2016) menyebutkan ukuran rata-rata pertama kali matang gonad dapat menjadi
indikator tekanan penangkapan. Ukuran rata-rata pertama kali matang gonad
rajungan saat ini lebih besar dibandingkan di tahun 2013 diduga disebabkan tekanan
penangkapan saat ini yang lebih rendah dibandingkan tekanan penangkapan pada
beberapa tahun sebelumnya yaitu di tahun 2013.
Ukuran rata-rata pertama kali tertangkap rajungan oleh bubu (Lc bubu
=129,6 mmCW) lebih besar dibandingkan ukuran rata-rata pertama kali tertangkap
rajungan oleh jaring (Lc jaring=120,3 mmCW) di perairan Pati. Kondisi tersebut
menunjukkan alat tangkap bubu lebih selektif dalam menangkap ukuran rajungan
yang lebih besar dibandingkan jaring. Ukuran rajungan yang lebih besar tertangkap
bubu dibandingkan jaring disebabkan oleh pengoperasian bubu yang dilakukan di
perairan yang lebih jauh dari pantai di mana Potter & Lestang (2000) menyebutkan
rajungan betina dewasa bermigrasi menuju perairan yang lebih dalam untuk
memijah.
Lebar karapas asimptotik rajungan di perairan Pati (177-176,8 mmCW)
tergolong cukup besar jika dibandingkan dengan lebar karapas asimptotik rajungan
di perairan teluk Jakarta (157 mmCW). Rajungan di perairan Pati memiliki
pertumbuhan yang cepat dengan laju pertumbuhan (K) sebesar 1,44 per tahun pada
rajungan jantan dan 1,26 per tahun pada rajungan betina. Rajungan di perairan Pati
mencapai ukuran maksimum diduga pada umur 2-3 tahun dan ukuran rata-rata
pertama kali matang gonad rajungan betina sebesar 113 mmCW diduga dicapai
pada umur 10 bulan. Potter & Lestang (2000) menyebutkan rajungan mencapai
ukuran pertama kali matang gonadnya sekitar umur 1 tahun. Pertumbuhan rajungan

104 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
di perairan Pati yang relatif cepat disebabkan kondisi lingkungan perairan Pati
masih tergolong cukup baik bagi pertumbuhan rajungan.
Laju eksploitasi rajungan di perairan Pati saat ini sebesar 0,63-0,75 lebih
rendah dibandingkan laju eksploitasinya di tahun 2013 sebesar 0,8-0,81. Kondisi
tersebut diduga disebabkan upaya penangkapan saat ini di Laut Jawa yang lebih
rendah jika dibandingkan dengan upaya penangkapannya di tahun 2013. Laju
eksploitasi rajungan di perairan Pati saat ini masih tergolong cukup tinggi jika
mengacu pada laju eksploitasi optimum yang disarankan oleh Gulland (1983)
sebesar 0,5. Salah satu parameter lain yang dapat digunakan sebagai indikator
tekanan penangkapan adalah rasio potensi pemijahan (Goodyear, 1993).
Rasio potensi pemijahan merupakan sisa proporsi sumberdaya yang tidak
tertangkap yang berpotensi untuk melakukan reproduksi (Goodyear, 1993; Hordyk
et al, 2015a). Rasio potensi pemijahan berkisar antara 0-100% dan nilainya akan
semakin kecil dengan bertambahnya tekanan penangkapan (Goodyear, 1993;
Brooks et al., 2009). Rasio potensi pemijahan rajungan saat ini sebesar 28% telah
lebih besar dibandingkan titik referensi minimimum SPR sebesar 20% namun
masih lebih kecil dibandingkan titik referensi target SPR sebesar 30% sehingga
status penangkapannya saat ini digolongkan dalam fully-exploited (Mace &
Sissenwine, 1993; Ault et al., 2008).
Pengelolaan perikanan rajungan di perairan Pati yang disarankan
berdasarkan penelitian ini adalah penggunaan bubu dapat direkomendasikan
sebagai alat tangkap yang selektif dalam menangkap rajungan di perairan Pati dan
sebaiknya tidak dilakukan penambahan upaya melebihi upaya penangkapan saat ini
serta peraturan terkait larangan penangkapan rajungan bertelur dan minimum legal
size (MLS) sebesar 100 mmCW dapat terus direalisasikan pada perikanan rajungan
di Pati. Kajian stok sumberdaya rajungan sebaiknya terus dilakukan sebagai
monitoring dan evaluasi untuk mencapai target SPR30% sebagai salah satu upaya
menjaga keberlanjutan perikanan rajungan di perairan Pati.

Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 105
KESIMPULAN

Rata-rata laju tangkap bubu dalam menangkap rajungan (Mean


CPUE=10,05 kg/trip) lebih tinggi dibandingkan rata-rata laju tangkap jaring (Mean
CPUE=2,4 kg/trip). Puncak cpue rajungan dengan bubu dan jaring ditemukan pada
bulan Juli dan Agustus. Armada bubu tergolong lebih selektif dibandingkan jaring.
Ukuran rajungan yang tertangkap di perairan Pati berkisar antara 80-170 mmCW
dengan lebar karapas asimptotik sebesar 177-176,8 mmCW dan laju pertumbuhan
yang tergolong cepat (K=1,26-1,44 per tahun) serta pertumbuhan beratnya lebih
cepat dibandingkan pertumbuhan lebar karapasnya. Status penangkapan rajungan
di perairan Pati adalah fully-exploited (E=0,63-0,75; SPR=28%).

SARAN

Penggunaan bubu dapat direkomendasikan sebagai alat tangkap yang


selektif dalam menangkap rajungan di perairan Pati dan pembatasan quota
penangkapan rajungan di perairan Pati sebaiknya dilakukan dengan jumlah yang
tidak melebihi dari upaya penangkapan saat ini serta peraturan terkait larangan
penangkapan rajungan bertelur dan minimum legal size (MLS) sebesar 100 mmCW
dapat terus direalisasikan pada perikanan rajungan di Pati. Kajian stok sumberdaya
rajungan sebaiknya terus dilakukan sebagai monitoring dan evaluasi untuk
mencapai target SPR30% sebagai salah satu upaya menjaga keberlanjutan perikanan
rajungan di perairan Pati.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penelitian ini merupakan bagian dari kegiatan penelitian karakteristik


biologi perikanan, habitat sumberdaya dan potensi produksi sumberdaya perikanan
di WPP 712 tahun 2017 oleh Balai Riset Perikanan Laut, Kementerian Kelautan
dan Perikanan. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Agus yang
telah membantu pengumpulan data perikanan rajungan di perairan Pati. Tirtadanu
berperan sebagai kontributor utama dalam Karya Tulis Ilmiah ini.

106 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
DAFTAR PUSTAKA

Ault JS, Smith SG, Luo J, Monaco ME, Appeldoorn RS. 2008. Length-Based
Assessment of Sustainability Benchmarks for Coral Reef Fishes in Puerto
Rico. Environmental Conservation. 35(3): 221-231.
Brooks EN, Powers JE, Cortes E. 2010. Analytical Reference Points for Age-
Structured Models: Application to Data-Poor Fisheries. ICES Journal of
Marine Science. 67: 165 – 175.
Damora A, Nurdin E. 2016. Beberapa Aspek Biologi Rajungan (Portunus
pelagicus) di Perairan Labuan Maringgai, Lampung Timur. BAWAL. 8(1):
13-20.
Ernawati T, Wedjatmiko, Suman A. 2015. Kajian Parameter Populasi dan Tingkat
Pemanfaatan Rajungan (Portunus pelagicus Linnaeus, 1758) di perairan
Pati dan Sekitarnya. J. Lit. Perikan. Ind. 21(3): 169-176.
Ernawati T, Boer M, Yonvitner. 2014. Biologi Populasi Rajungan (Portunus
pelagicus) di perairan Sekitar Wilayah Pati, Jawa Tengah. BAWAL. 6(1):
31-40.
Gayanilo FCJ, Sparre P, Pauly D. 2005. FAO-ICLARM Stock Assessment Tools II
(FISAT II). Revised version. User’s guide. FAO Computerized
Information Series (Fisheries) No. 8. Revised Version. Rome : FAO.
Goodyear CP. 1993. Spawning Stock Biomass per Recruit in Fisheries
Management: Foundation and Current Use. p.67-81. In SJ Smith, JJ Hunt
and D Rivard (ed). Risk Evaluation and Biological Reference Points for
Fisheries Management. Can. Spec. Publ. Fish. Aquat. Sci. 120 pp.
Hordyk A, Ono K, Sainsbury KJ, Loneragan N, Prince J. 2015a. Some Explorations
of the Life History Ratios to Describe Length Composition, Spawning-Per-
Recruit, and The Spawning Potential Ratio. ICES J. Mar. Sci. 72: 204-216.
Hordyk A, Ono K, Valencia S, Loneragan N, Prince J. 2015b. A Novel Length-
Based Empirical Estimation Method of Spawning Potential Ratio (SPR), and
Tests of its Performance, for Small-Scale, Data-Poor Fisheries. ICES Journal
of Marine Science. 72(1): 217-231.
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 107
Hufiadi. 2017. Selektivitas Alat Tangkap Rajungan (Portunus pelagicus) di Laut
Jawa (Studi Kasus Alat Tangkap Cirebon). Prosiding Simposium Nasional
Krustase 2017. 131-138.
King M. 1995. Fishery Biology, Assessment and Management. United Kingdom:
Fishing New Books. 341 p.
Lappalainen A, Saks L, Sustar M, Heikinheimo O, Jurgens K, Kokkonen E,
Kurkilahti M, Verliin A, Vetemaa M. 2016. Length at Maturity as A
Potential Indicator of Fishing Pressure Effects on Coastal Pikeperch (Sander
lucioperca) Stocks in The Northern Baltic Sea. Fisheries Research. 174:
47-57.
Lelono TD, Wardhani IP. 2017. Hubungan Lebar Berat Rajungan Batik (Portunus
pelagicus) yang Tertangkap dengan Alat Tangkap Bubu di Wilayah
Paciran Kabipaten Lamongan, Jawa Timur. Prosiding Simposium
Nasional Krustasea 2017. 147-154.
Mace PM, Sissenwine MP. 1993. How Much Spawning per Recruit is Enough? In
SJ Smith, JJ Hunt and D Rivard (eds.) Risk Evaluation and Biological
Reference Points for Fisheries Management. Canadian Special Publications
in Fisheries and Aquatic Sciences. 120: 101-118.
Nuraini S, Prihatiningsih, Hartati ST. 2009. Parameter Populasi dan Selektivitas
Rajungan (Portunus pelagicus Linnaeus) yang Tertangkap dengan
Beberapa Jenis Alat Tangkap di Teluk Jakarta. J. Lit. Perikan. Ind. 15(4):
287-295.
Panggabean AA, Pane ARP, Hasanah A. 2018. Dinamika Populasi dan Tingkat
Pemanfaatan Rajungan (Portunus pelagicus Linnaeus, 1758) di perairan
Teluk Jakarta. J. Lit. Perikan. Ind. 24(1): 73-85.
Pauly D. 1983. Some Simple Methods for the Assessment of Tropical Fish Stocks.
FAO Fisheries Technical Paper, 254, 52.
Pauly D, Ingles J, Neal R. 1984. Application to Shrimp Stocks of Objective
Methods for The Estimation of Growth, Mortality and Recruitment-related
Parameters from Legth-Frequency Date (ELEFAN I and II). Penaeid

108 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
Shrimps-Their Biology and Management. Fishing News Books Ltd. 308
pp.
Potter IC, Lestang SD. 2000. Biology of the blue swimmer crab Portunus pelagicus
in Leschenault estuary and Koombana Bay, southwestern Australia. Jour.
Royal. Soc. Western Australia. 83: 443-458.
Prihatiningsih, Wagiyo K. 2009. Sumberdaya Rajungan (Portunus pelagicus) di
perairan Tangerang. BAWAL. 2(6): 273-282.
Prince J, Victor S, Kloulchad V, Hordyk A. (2015). Length Based SPR Assessment
of Eleven IndoPacific Coral Reef Fish Populations in Palau. Fisheries
Research. 171: 42-58.
Sparre P, Venema SC. 1992. Introduction to Tropical Fish Stock Asseessment Part
1. Manual. Fao Fish. Tech. Pap. (306/1). Rev.1: 376 p.
Tirtadanu, Chodrijah U. 2019. Fishery, Population Parameters and Exploitation
Status of Blue Swimming Crab (Portunus pelagicus) in Kwandang
Waters. Indonesia. AACL Bioflux. 12(4): 1323-1334.
Tirtadanu, Suman A. 2017. Aspek Biologi, Dinamika Populasi dan Tingkat
Pemanfaatan rajungan (Portunus pelagicus Linnaeus, 1758) di Perairan
Kotabaru, Kalimantan Selatan. J. Lit. Perikan. Ind. 23(3): 205-214.

Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 109
DISTRIBUSI DAN PASOKAN IKAN TUNA DARI PELABUHAN
PERIKANAN SAMUDERA CILACAP
Tuna Supply And Distribution At Cilacap Fishing Port
Oleh:
Budiansyah; Tri Wiji Nurani; Sugeng Hari Wisudo
Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor, Indonesia
Email: budiansyah027@gmail.com

ABSTRACT

Cilacap Fishing Port as one of the main fishing ports where Indonesian tuna
landed. Tuna catches fluctuate as a result of goverenment policies and water
conditions. Tuna product of Cilacap, cannot be directly marketed overseas, but
must first be distributed to export in Jakarta ports. The purpose of research were
to describe distribution of tuna products and estimate the tuna supply at PPS
Cilacap. Data were collected distribution of tuna products through observation,
interview, and questionnaire. Data were analyzed using descriptive analysis.
Estimate tuna supply is based on monthly catch data for the 2014-2018. Data were
analyzed using multiplicative decomposition analysis. The research result prove
that tuna distributed to Jakarta for export purposes were only grade A and B, grade
C and D tuna were marketed locally in Cilacap. The estimation result tuna supply
for the next 5 years, the albacore supply highest occur in June 2021 amounting to
210 tons and the lowest supply occur in August-December 2019 which was an
average of around 6 tons. Bigeye supply highest occur in September 2022
amounting to 201 tons, and lowest supply occur in Februari 2019 amounting to 9
tons. Yellow fin supply highest occur in June 2020 amounting 110 tons and lowest
supply occur in Desember 2019 amounting to 2 tons.
Kata kunci: distribution, PPS Cilacap, supply, tuna

ABSTRAK

Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Cilacap merupakan salah satu


pelabuhan utama tempat pendaratan ikan tuna Indonesia. Hasil tangkapan ikan tuna
berfluktuasi sebagai dampak dari kebijakan pemerintah dan kondisi perairan.
Produk ikan tuna dari Cilacap, tidak dapat langsung dipasarkan ke luar negeri,
namun terlebih dahulu harus didistribusikan menuju pelabuhan ekspor di Jakarta.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan distribusi produk ikan tuna dan
mengestimasi pasokan ikan tuna dari PPS Cilacap. Pengumpulan data untuk
distribusi ikan tuna dilakukan melalui observasi, wawancara, dan kuisioner.
Analisis data menggunakan analisis deskriptif. Estimasi pasokan ikan tuna
110 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
dilakukan berdasarkan data hasil tangkapan bulanan periode tahun 2009-2018.
Data selanjutnya dianalisis menggunakan metode dekomposisi multiplikatif. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa ikan tuna yang didistribusikan ke Jakarta untuk
tujuan ekspor hanya grade A dan B, ikan tuna grade C dan D dipasarkan lokal di
Cilacap. Hasil estimasi pasokan ikan tuna 4 tahun ke depan, yaitu albacore
pasokan tertinggi terjadi pada Juni 2021 sebesar 210 ton dan pasokan terendah
terjadi pada Agustus-Desember 2019 yaitu rata-rata sekitar 6 ton. Pasokan tertinggi
big eye tuna terjadi pada September 2022 sebesar 201 ton, dengan pasokan terendah
terjadi pada Februari 2019 sebesar 9 ton. Pasokan tertinggi yellowfin tuna terjadi
pada Juni tahun 2020 sebesar 110 ton dan pasokan terendah terjadi pada Desember
2019 sebesar 2 ton. Hasil estimasi tersebut diharapkan dapat memberikan informasi
kepada nelayan dalam melakukan aktivitas penangkapan ikan tuna dengan
mengetahui musim penangkapan pada bulan-bulan yang mengalami musim puncak.
Kata kunci: distribusi, ikan tuna, pasokan, PPS Cilacap

PENDAHULUAN

Produksi hasil tangkapan di suatu pelabuhan perikanan sangat dipengaruhi


oleh permintaan dan ketersediaan hasil tangkapan. Selain itu, ketersediaan hasil
tangkapan juga sangat dipengaruhi oleh faktor musiman. Permintaan terbesar
terhadap ikan tuna segar di dunia adalah Jepang dan Amerika Serikat. Ekspor ikan
tuna ke Jepang adalah sebesar 27% dan Amerika Serikat sebesar 39% dari ikan tuna
dunia pada tahun 2015. Sedangkan negara pengimpor tuna beku terbesar dunia
adalah Thailand dengan persentase sebesar 34%, kemudian diikuti oleh Jepang
sebesar 10% dari impor tuna beku dunia pada tahun 2015. Besaran volume impor
tuna beku Thailand dengan Jepang memiliki perbedaan yang cukup besar. Hal ini
terjadi karena Thailand merupakan negara eksportir tuna kaleng terbesar dengan
persentase 46.75% dari impor tuna kaleng dunia (UN Comtrade 2017).
Indonesia pada tahun 2015 mengekspor produk ikan tuna ke Jepang sebesar
26.167,2 ton dengan nilai US$ 57.237,5. Amerika Serikat sebesar 1.477.2 ton
dengan nilai US$ 12.174,1. Thailand sebesar 34.868.6 ton dengan nilai US$
48.803,0 dan negara lainnya sebesar 14.952,1 ton. Secara keseluruhan Indonesia
pada tahun 2015 mengekspor produk ikan tuna sebesar 77.465,3 ton (Badan Pusat
Statistik 2018). Volume ekspor tuna tersebut kemudian tahun 2017 mengalami
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 111
peningkatan sebesar 110.16 ton dengan nilai US$ 501.21 (Ditjen Pengawasan
Sumberdaya Kelautan dan Perikanan 2018). Adanya pertumbuhan permintaan tuna
ke negara tujuan serta pasar yang terus berkembang di negara-negara tersebut,
memberikan peluang besar bagi Indonesia untuk meningkatkan volume ekspor
produk ikan tuna, yang meliputi tuna segar, tuna beku dan tuna kaleng.
Indonesia memiliki wilayah yang sangat potensial untuk perikanan tuna.
Potensi tersebut tersebar di beberapa wilayah perairan yang menjadi daerah
penangkapan (fishing ground) ikan tuna seperti perairan Selatan Jawa sampai Nusa
Tenggara. Salah satu pelabuhan perikanan tempat pendaratan ikan tuna yang
berhadapan langsung dengan Samudera Hindia adalah Pelabuhan Perikanan
Samudera (PPS) Cilacap. Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap memiliki letak
geografis yang sangat strategis, dan merupakan pusat kegiatan perikanan terbesar
di pantai Selatan Jawa Tengah. Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap
memberikan kontribusi produksi tertinggi perikanan laut bagi Provinsi Jawa
Tengah yaitu sebesar 7.616 ton (88,84%) dengan nilai produksi Rp. 78.929,726
(Hendratmoko dan Marsudi 2010).
Produksi ikan tuna di Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap dari tahun 1999
sampai 2009 mengalami kenaikan rata-rata 10 persen (PPS Cilacap 2008).
Sedangkan pada tahun 2017 sampai 2018 produksi ikan tuna tersebut mengalami
kenaikan yaitu dari 2.877,49 ton menjadi 2.919,87 ton (PPS Cilacap 2018). Data
hasil tangkapan ikan tuna yang ada di PPS Cilacap dapat dijadikan acuan untuk
mengetahui kemampuan pelabuhan tersebut dalam menyediakan ikan hasil
tangkapan baik pada tahun sekarang dan tahun-tahun berikutnya. Oleh karena itu
penting untuk melihat sejauh mana PPS Cilacap dapat memenuhi permintaan untuk
memasok ikan tuna tersebut.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi pihak
pelabuhan dan stakeholder yang terlibat untuk meningkatkan kinerja dalam
kegiatan memasok ikan tuna dari Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap (PPSC),
dengan lebih meningkatkan dan mempersiapkan sumberdaya manusia untuk
menghadapi produksi dan permintaan terhadap ikan tuna yang mengalami

112 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
peningkatan setiap tahunnya, sehingga permintaan akan selalu terpenuhi. Selain
itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada nelayan dalam
melakukan aktivitas penangkapan ikan tuna dengan mengetahui musim
penangkapan pada bulan-bulan yang mengalami musim puncak. Tujuan dari
penelitian ini adalah mendeskripsikan distribusi produk ikan tuna dari PPS Cilacap
dan mengestimasi pasokan ikan tuna dari PPS Cilacap.

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian lapang dilaksanakan pada tanggal 11 Februari hingga 31 Maret


2019. Lokasi penelitian di Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap, Desa
Tegalkamulyan, Kecamatan Cilacap Selatan, Kabupaten Cilacap, Propinsi Jawa
Tengah (Gambar 1).

Gambar 1 Peta lokasi penelitian di Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap

Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 113
Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode survei. Pengumpulan


data diperoleh dengan cara melakukan observasi, wawancara, dan kuisioner.
Pengumpulan data untuk tujuan pertama diperoleh dengan cara melakukan
wawancara terhadap nelayan (ABK), pihak pelabuhan, pihak KUD dan pengumpul
dengan total responden sebanyak 20 orang. Penentuan jumlah responden yaitu
menggunakan simple random sampling terhadap nelayan (ABK) sebanyak 10 orang
dari total populasi nelayan sebanyak 100 orang berdasarkan 10 kapal yang
mendaratkan ikan tuna pada saat penelitian di PPS Cilacap dan snowball sampling
terhadap nelayan pemilik kapal sebanyak 2 orang, pihak pelabuhan 5 orang, pihak
KUD 2 orang dan pengumpul 1 orang. Jumlah total responden tersebut disesuaikan
dengan kebutuhan data penelitian, selanjutnya data yang sudah didapat diolah
dengan menggunakan analisis deskriptif. Pada tujuan kedua, pengumpulan data
diperoleh dari PPS Cilacap yaitu melalui dokumen tertulis dan tidak tertulis.
Kemudian data yang sudah didapat dianalisis menggunakan metode dekomposisi
multiplikatif untuk mengetahui nilai estimasi hasil tangkapan ikan tuna.

Tabel 1 Kebutuhan data, pengumpulan data, pengolahan data dan analisis data
Kebutuhan Pengolahan
Tujuan Penelitian Pengumpulan Data Analisis
Data Data
Mendeskripsikan Data produksi, Wawancara Menjelaskan Analisis
produksi dan aliran - Simple random kondisi deskriptif
rantai distribusi distribusi, sampling distribusi,
tuna dari PPS tujuan terhadap nelayan tujuan distribusi
Cilacap distribusi dan - Purposive dan sumberdaya
sumberdaya sampling yang digunakan
yang terhadap di PPS Cilacap
digunakan di pengumpul,
PPS Cilacap pihak KUD, dan
pihak pelabuhan
Mengestimasikan Data statistik Survey Menghitung Analisis
ketersediaan hasil produksi ikan (Pengambilan data nilai indek dekomposisi
tangkapan ikan tuna yang melalui dokumen musim, nilai multiplikatif
tuna di PPS didaratkan 10 tertulis dari lembaga siklik, nilai
Cilacap tahun terakhir pengelola PPS trend, dan nilai
(2009-2018) Cilacap) ramalan

114 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
Analisis Data

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan yang


digunakan adalah analisis kualitatif dan kuantitatif. Analisis tersebut digunakan
untuk menganalisis data fakta dari hasil wawancara dan kuisioner yang telah
didapatkan pada saat penelitian baik itu dari pihak nelayan, pihak pelabuhan,
pengumpul ataupun pihak KUD di PPS Cilacap.

Rantai Distribusi
Rantai distribusi dilakukan analisis secara deskriptif. Deskripsi mencakup
produksi, aliran distribusi, tujuan distribusi dan sumberdaya yang digunakan di PPS
Cilacap.
Analisis Ketersediaan Ikan Tuna di PPS Cilacap

Estimasi ketersediaan pasokan ikan tuna di PPS Cilacap adalah menggunakan


metode dekomposisi multiplikatif. Dekomposisi multiplikatif merupakan metode
yang digunakan dalam mendekomposisikan suatu data runtun waktu pada
komponen-komponen musiman, tren, siklus dan galat untuk mengestimasikan nilai
masa depan. Model ini diasumsikan bersifat multiplikatif karena semua komponen
yang ada dikalikan satu sama lain untuk memperoleh nilai peramalan (Makridakis
et al. 1992). Metode yang akan digunakan untuk mengolah data perkembangan
volume produksi ketersediaan hasil tangkapan ikan tuna di PPS Cilacap adalah
menggunakan metode dekomposisi multiplikatif.

Dekomposisi Multiplikatif
Dekomposisi multiplikatif merupakan metode yang digunakan dalam
mendekomposisikan suatu data runtun waktu pada komponen-komponen musiman,
tren, siklus dan galat untuk mengestimasikan nilai masa depan. Model ini
diasumsikan bersifat multiplikatif karena semua komponen yang ada dikalikan satu
sama lain untuk memperoleh nilai peramalan (Makridakis et al. 1992). Persamaan
model dekomposisi multiplikatif adalah sebagai berikut:

Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 115
𝑌𝑡 = 𝑇𝑡 + 𝑀𝑡 + 𝑆𝑡 + 𝐼𝑡

Dimana :
Yt : Data aktual
Tt : Komponen Trend
Mt : Komponen musim
St : Komponen siklik
It : Komponen irreguler

Definisi Musiman
Musiman merupakan suatu pola yang dapat berubah sendiri setelah selang waktu
yang tetap. Pola musiman tersebut dapat berupa kwartal (4 bulan), semesteran (6
bulan) maupun tahunan (12 bulan). Indeks musim didapat dengan menggunakan
metode rata-rata bergerak.

∑−𝑛
𝑡 𝑌
𝐹𝑡+1 =
𝑛

Definisi Trend
Trend merupakan suatu kondisi dimana suatu deret mengalami gerakan naik
ataupun turun dalam jangka panjang. Trend tersebut dapat dicari dengan
menggunakan metode regresi.

Y = a + bX

Definisi Siklis
Siklis merupakan suatu deret berkala yang dipengaruhi oleh fluktuasi yang terjadi
secara periodik ataupun tidak dalam jangka panjang. Indeks siklis didapat dengan
menghilangkan pengaruh musim dan trend. Selanjutnya dihitung dengan
menggunakan rata-rata bergerak binomium.

116 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan umum lokasi penelitian

Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap terletak di Kecamatan Cilacap


Selatan, Kabupaten Cilacap. Kabupaten Cilacap merupakan salah satu kabupaten
terluas di Jawa Tengah dengan luas wilayah 225.360,80 km² dan letak geografis
berada pada posisi 108°04’30” – 109°30’30” BT dan 07°30’04” – 07°45’20” LS.
Kabupaten Cilacap bagian selatan berbatasan langsung dengan Samudera Hindia,
bagian utara berbatasan dengan Kabupaten Banyumas, bagian timur berbatasan
dengan Kabupaten Kebumen dan bagian barat berbatasan dengan Kabupaten
Ciamis (Dinas Perikanan dan Kelautan Cilacap 2004).
Perairan laut Cilacap termasuk ke dalam WPP 573 yaitu perairan Samudera
Hindia, Perairan tersebut memiliki kekayaan sumberdaya ikan yang melimpah.
Hasil tangkapan di wilayah tersebut sangat beragam dan memiliki nilai ekonomis
yang tinggi, jenis ikan hasil tangkapan yang dominan diantaranya adalah tuna,
paruh panjang, hiu, cakalang, tongkol, binatang berkulit keras dan ikan lainnya.
Ikan tersebut ditangkap menggunakan alat tangkap dan kapal yang berlainan,
khusus ikan tuna alat tangkap yang digunakan adalah longline.

Unit Penangkapan Tuna

Unit penangkapan ikan di PPS Cilacap pada tahun 2013 berjumlah 902 unit
dan pada tahun 2017 mengalami penurunan menjadi 646 unit, atau terjadi
penurunan rata-rata sebesar 7,37% per tahun pada periode 2013-2017. Salah
satunya adalah alat tangkap longline yang mengalami penurunan dengan rata-rata
pertahunnya sebesar 7.89% per tahun. Penurunan terjadi karena banyaknya kapal
yang berpindah pangkalan dan ada sebagian hasil tangkapan dijual keluar daerah
Cilacap. Hal ini disebabkan oleh kebutuhan terhadap biaya operasional yang
semakin mahal, sedangkan biaya yang dikeluarkan tidak sesuai dengan hasil yang
didapatkan oleh nelayan sehingga nelayan mengalami kerugian (Statistik Perikanan
Cilacap 2017).

Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 117
Nelayan PPS Cilacap dalam memperoleh ikan tuna adalah dengan
menggunakan alat tangkap handline, rawai tuna (longline) dan gillnet. Nurani dan
Wisudo (2007) menyatakan bahwa penangkapan ikan tuna termasuk dalam
perikanan laut dalam (high sea fisheries) karena habitat ikan tuna tersebut berada
di perairan laut bebas (oceanic) dan perairan yang cukup dalam. Ikan tuna yang
berada di perairan dalam ditangkap dengan menggunakan alat tangkap rawai tuna
(longline) dengan aktivitas pengoperasian oleh nelayan membutuhkan waktu yang
relatif lama dan harus di perairan laut lepas, sedangkan untuk ikan tuna yang berada
di permukaan ditangkap dengan menggunakan alat tangkap gillnet dan handline.
Ikan pelagis besar seperti tuna merupakan sasaran utama dari alat tangkap longline.
Menurut Adyas et al. (2011), komponen yang terdapat pada alat tangkap
rawai tuna adalah terdiri dari tali utama, tali cabang, pelampung, tali pelampung,
mata pancing, swivel, pemberat, kawat, bendera dan umpan. Umumnya kapal yang
paling dominan digunakan di PPS Cilacap adalah yang berukuran 20 - 60 GT.
Ikan tuna yang ditangkap oleh nelayan yang mendaratkan hasil tangkapannya
di PPS Cilacap sebagian besar berasal dari fishing ground di wilayah perairan
selatan Yogyakarta (110 BT) sampai wilayah Bengkulu (100 BT), dengan trip
operasi antara 5 sampai 7 bulan. Sedangkan untuk nelayan yang menggunakan alat
tangkap jaring insang hanyut meliputi wilayah perairan pantai Yogyakarta (110 BT)
sampai wilayah perairan Pelabuhanratu dengan lama waktu operasi adalah 15-25
hari per trip (Statistik Perikanan Cilacap 2017). Menurut Nurani dan Wisudo
(2007), jenis ikan tuna yang biasanya tertangkap di perairan Selatan Jawa yaitu
albacore (Thunnus alalunga), big eye tuna (Thunnus obesus), madidihang
(Thunnus albacares) dan blue fin tuna selatan (Thunnus maccoyii). Ikan tuna
tersebut merupakan spesies yang melakukan ruaya jauh (highly migratory spesies)
serta penyebarannya terjadi di Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.

118 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
Deskripsi Distribusi Ikan Tuna dari PPS Cilacap

Produksi ikan tuna PPS Cilacap


Potensi pelagis besar yang tersebar di Samudera Hindia cukup melimpah
yaitu sebesar 386,260 ton per tahun dengan produksi sebesar 188,280 ton per tahun
dan tingkat pemanfaatannya adalah sebesar 48.74 persen (Sibagariang et al. 2011).
Produksi ikan tuna yang didaratkan di PPS Cilacap pada periode tahun 2008-2018
dapat terlihat pada Tabel 3. Berdasarkan Tabel 3 menunjukkan bahwa produksi ikan
tuna secara keseluruhan meningkat, total produksi tertinggi terjadi pada tahun 2018
sebesar 2.919,87 ton sedangkan total produksi terendah terjadi pada tahun 2014
yaitu sebesar 769,90 ton. Turunnya produksi secara tajam pada tahun 2014 salah
satunya disebabkan oleh diberlakukannya Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor 57 Tahun 2014 tentang pelarangan transshipment. Walaupun
setelah itu produksi naik, hanya saja kenaikan lebih pada jenis ikan tuna yang
berukuran kecil.

Tabel 3 Produksi ikan tuna yang didaratkan di PPS Cilacap Tahun 2008-2017
Jumlah Produksi dari Laut (ton)
(Tahun) Albakor Sirip Tuna kecil Tuna kecil Mata Sirip TOTAL
Biru mata besar sirip kuning Besar Kuning
2009 72,51 13,84 49,18 9,76 1.295,05 217,51 1.657,85
2010 195,29 9,70 123,11 13,91 753,33 237,38 1.332,72
2011 437,53 9,77 168,98 21,51 707,82 241,73 1.587,34
2012 157,95 16,05 132,12 89,00 664,01 247,10 1.306,23
2013 115,43 9,97 83,37 11,54 842,34 168,79 1.231,44
2014 77,73 0,09 170,28 33,44 390,15 98,21 769,90
2015 272,04 0,74 432,40 119,04 586,32 146,40 1.556,94
2016 763,03 6,45 530,99 265,31 738,54 481,89 2.786,21
2017 818,34 26,88 492,60 337,93 912,89 288,85 2.877,49
2018 308,61 8,96 1.255,83 474,38 564,74 307,35 2.919,87
Sumber : Statistik PPS Cilacap 2009-2018

Aliran dan Pelaku Pemasaran Tuna dari PPS Cilacap

Nelayan yang menangkap ikan tuna dengan menggunakan kapal longline


melakukan bongkar langsung di PPS Cilacap dan juga ada beberapa kapal yang
melakukan bongkar di PPN Pelabuhanratu dan PPS Nizam Zachman Jakarta.
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 119
Berdasarkan hasil wawancara, ketika nelayan melakukan proses penangkapan ikan
tuna di tengah laut, maka dalam jangka waktu satu bulan akan ada kapal transit
yang datang untuk mengambil hasil tangkapan, sehingga kualitas ikan tuna tetap
terjaga. Kapal transit tersebut bertugas untuk membawa stok perbekalan dan
menjemput hasil tangkapan yang didapat oleh nelayan. Menurut Asyhar (2017),
aktivitas tersebut juga disertai pencatatan dari kapal yang menitipkan dengan
ditandatangani oleh nakhoda kapal.
Kapal transit di PPS Cilacap pada umumnya membawa ikan tuna dari laut
sekitar 200-500 ekor dengan biaya transit per ton ikan tuna dari laut sampai ke
tujuan pendaratan adalah Rp. 5.000/ton. Ikan tuna yang sudah didaratkan di PPS
Cilacap yang termasuk kualitas ekspor akan langsung didistribusikan ke Jakarta.
Sedangkan ikan tuna yang tidak termasuk kualitas ekspor akan dibeli langsung oleh
pengumpul tanpa melalui pelelangan terlebih dahulu. Para pengumpul lebih sering
membeli baby tuna dikarenakan harganya yang masih terjangkau atau harganya
sesuai. Biasanya harga baby tuna yang dibeli adalah sebesar Rp.25.000 per kg,
sedangkan ikan tuna pada ukuran tertentu harganya dapat mencapai Rp.60.000 –
70.000 per kg.
Aliran pemasaran tuna di PPS Cilacap sangat dipengaruhi oleh tingkat
kualitas mutu tuna yang didaratkan. Aliran pemasaran tersebut dimulai dari hasil
tangkapan yang didaratkan oleh nelayan hingga pendistribusian, dengan struktur
yang melibatkan banyak pihak (Gambar 2). Ikan tuna bermula dari nelayan sebagai
pelaku pertama yaitu sebagai suplier, ikan tuna tersebut didaratkan di dermaga 3
PPS Cilacap oleh nelayan, kemudian ikan tuna yang berkualitas ekspor akan
langsung didistribusikan ke Jakarta (pengusaha ikan) sebagai distributor, karena
pemilik kapal sudah berkoordinasi sebelumnya dengan pengusaha ikan di Jakarta.
Sedangkan untuk ikan tuna yang tidak termasuk kualitas ekspor, maka ikan tersebut
akan dibeli secara langsung oleh pengumpul. Selanjutnya produk tuna dibeli oleh
retail hingga akhirnya sampai ke pelanggan. Adapun peran dari setiap pelaku rantai
pasok ikan tuna di PPS Cilacap dapat dilihat pada Tabel 2.

120 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
Gambar 2 Aliran pemasaran ikan tuna dari PPS Cilacap

Tabel 2 Pelaku rantai pasok ikan tuna PPS Cilacap dan peranannya.
Tingkat Anggota Aktivitas
Suplier Nelayan pemilik kapal Memasok dan menjual hasil
tangkapan tuna
Manufaktur - Pengusaha transhit Melakukan proses pengolahan bahan
sheed baku dalam kondisi mentah menjadi
- Industri pengolahan setengah jadi
Distributor - Pengusaha transhit Melakukan pendistribusian bahan
sheed baku/ produk olahan kepada
- Industri pengolahan konsumen dalam negeri dan luar
- Eksportir negeri
- Pengumpul/bakul
- Industri rumah
tangga
Retail 1 - Pengumpul/bakul Membeli ikan tuna dari nelayan dan
- Industri rumah melakukan pengolahan kemudian
tangga dijual kepada konsumen lokal atau
luar kota
Retail 2 Pasar luar negeri, agen, pasar Membeli ikan tuna langsung dari
dan pelelangan transhit sheed, mengolah dan menjual
ke pasar swalayan
Pelanggan 1 Konsumen dalam negeri Membeli ikan tuna segar maupun
produk olahan dari retail 1
Pelanggan 2 Konsumen luar negeri Membeli ikan tuna segar maupun
produk olahan dari retail 2

Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 121
Proses Pemasaran Tuna dari PPS Cilacap

Ikan tuna baik segar maupun beku langsung didistribusikan oleh nelayan
(pemilik kapal) kepada pihak pengusaha yang berada di Jakarta dengan
menggunakan transportasi berupa mobil box yang sudah dilengkapi dengan
pendingin (es serut, freezer). Lama proses distribusi sekitar 6-7 jam yang berisi 70-
100 ekor ikan tuna, biasanya dilakukan pada pukul 08.00 WIB - selesai dan jika
hasil tangkapan melimpah maka proses pendistribusian dilakukan setiap hari baik
pagi, siang, bahkan malam ikan akan langsung didistribusikan ke Jakarta, kecuali
hari kamis tidak dilakukan pendistribusian. Menurut Diatin et al. (2006), aktivitas
terhadap perlakuan untuk hasil tangkapan komoditas ekspor, kualitas ikan
merupakan hal yang paling penting dan paling diutamakan dalam suatu persaingan
baik pasar global maupun lokal. Ketika kualitas selalu diutamakan maka akan
berdampak positif terhadap bisnis yaitu terhadap pendapatan dan biaya produksi.
Biaya transportasi yang dikeluarkan untuk mendistribusikan ikan tuna dengan
menggunakan jalur darat dari Cilacap untuk sampai ke Jakarta adalah sebesar
Rp.3.500.000 dalam satu kali pengiriman. Perusahaan akan berusaha mengurangi
biaya transportasi yang dikeluarkan dengan memaksimalkan kapasitas mobil box.
Jumlah ikan yang didistribusikan dalam satu kali pengiriman tidak akan
berpengaruh terhadap biaya yang dikeluarkan sehingga biaya akan tetap sama,
sebab semakin panjang proses pendistribusian maka biaya yang dikeluarkan
semakin besar (Paoki 2016).
Hubungan keterkaitan yang terjadi antara nelayan dengan mitra di PPS
Cilacap adalah menggunakan metode pull. Produsen (nelayan) dengan mitra sudah
melakukan kerjasama yang cukup lama sehingga timbul kepercayaan dalam bisnis
tersebut yang sudah tidak diragukan lagi. Hal tersebut akan berdampak pada
hubungan bisnis, dimana bisnis yang terjalin diantara keduanya akan berjalan
dengan baik dan lancar. Adapun keuntungan dari metode pull adalah tidak akan
terjadinya penumpukan produk (ikan tuna) di nelayan, sebab jika terjadi
penumpukan maka akan mempengaruhi kualitas mutu ikan tersebut. Akan tetapi,

122 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
pelanggan (mitra) akan membutuhkan waktu yang lebih lama sampai ikan
didistribusikan.

Tujuan Pemasaran Tuna dari PPS Cilacap

Pemasaran produksi ikan hasil tangkapan yang didaratkan di PPS Cilacap


pada tahun 2017 pada umumnya didistribusikan untuk pasar lokal Jawa Tengah
(30%), Jawa Barat (20%), Jawa Timur (10%) dan Jakarta (40%). Khusus untuk
pemasaran ikan tuna umumnya dalam bentuk produk segar dan tuna beku. Produk
ikan tuna tersebut didistribusikan mencakup skala ekspor maupun lokal. Ikan tuna
yang memiliki kualitas sangat baik (A, A+) maka ikan tuna tersebut akan langsung
diekspor ke Jepang dalam bentuk segar. Adapun ikan tuna yang berkualitas sedang
(B dan C) akan dibeli oleh perusahaan pengolahan yang nantinya akan menjadi
produk olahan baik untuk pasar ekspor maupun lokal.
Menurut Sibagariang et al. (2017), tujuan negara untuk pemasaran produk
ikan tuna tergantung produk yang dihasilkan, untuk tuna segar dipasarkan ke
Jepang, tuna kaleng ke Thailand, tuna pouch dipasarkan ke USA dan tuna dalam
kaleng ke Belanda, Inggris, Jerman, USA. Sedangkan pendistribusian ikan tuna
untuk tujuan pemasaran dalam negeri yaitu meliputi daerah Jakarta, Bandung,
Semarang, Yogyakarta dan daerah Cilacap.

Hasil estimasi pasokan ikan tuna dari PPS Cilacap

Estimasi pasokan ikan tuna dari PPS Cilacap, dilakukan berdasarkan data
produksi periode lima tahun sebelumnya, yaitu periode 2014-2018. Estimasi
dilakukan untuk empat tahun kedepan. Estimasi dilakukan untuk masing-masing
jenis ikan yaitu albakor, tuna mata besar (big eye) , tuna sirip kuning (yellowfin),
big eye baby tuna dan yellowfin baby tuna.

Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 123
Volume Produksi (ton) 350,00
300,00
250,00
200,00
150,00
100,00
50,00
0,00
Januari

Januari

Januari

Januari

September
Januari

Januari

Januari

Januari

Januari
Mei

Mei

Mei

Mei

Mei

Mei

Mei

Mei

Mei
September

September

September

September

September

September

September

September
2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022

Data Aktual Data Estimasi


Waktu

Gambar 2 Produksi ikan albakor di PPS Cilacap tahun 2014-2018 dan estimasi
periode tahun 2019-2022
Gambar 2 menunjukkan produksi ikan tuna jenis albakor di PPS Cilacap
periode 2014-2018 dan hasil estimasi tahun 2019-2022. Puncak musim ikan
albakor pada periode 5 tahun terakhir (2014-2018) terjadi pada bulan Juni tahun
2016 sebesar 294,20 ton sedangkan musim paceklik terjadi pada bulan Agustus
tahun 2014 yaitu sebesar 0,04 ton. Hasil estimasi, puncak musim tertinggi
diestimasi akan terjadi pada bulan Juni tahun 2021 sebesar 210,29 ton dan musim
paceklik terendah akan terjadi pada bulan Agustus - Desember tahun 2019 sebesar
5,91, 5,72, 4,29, 4,39, 5,96 ton.

250,00
Volume Produksi (ton)

200,00
150,00
100,00
50,00
0,00
Januari

Januari

September
Januari

September

September
Januari

September

September
Januari

September
Januari

September
Januari

September
Januari

September
Januari
Mei

Mei

Mei

Mei

Mei

Mei

Mei

Mei

Mei

2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022


Data Aktual Data Estimasi
Waktu

Gambar 3 Produksi ikan tuna jenis big eye di PPS Cilacap tahun 2014-2018 dan
estimasi periode tahun 2019-2022
124 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
Gambar 3 menunjukkan produksi ikan tuna jenis big eye di PPS Cilacap
periode tahun 2014-2018 dan hasil estimasi tahun 2019-2022. Produksi ikan tuna
mata besar atau big eye berfluktuasi setiap bulannya, dengan puncak musim erjadi
pada bulan September tahun 2014 sebesar 228,56 ton dan musim paceklik terjadi
pada bulan maret tahun 2015 sebesar 1,65 ton. Hasil estimasi, puncak musim
tertinggi akan terjadi pada bulan September tahun 2022 sebesar 201,96 ton dan
musim paceklik akan terjadi pada bulan Februari tahun 2019 sebesar 9,19 ton.

140,00
Volume Produksi (ton)

120,00
100,00
80,00
60,00
40,00
20,00
0,00 Januari
Januari

Januari

Januari
Mei
September
Januari

Januari
Mei
September

Mei
September
Januari
Mei
September

Mei
September
Januari
Mei
September

Mei
September
Januari
Mei
September

Mei
September
2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022

Waktu

Gambar 4 Produksi ikan tuna jenis yellowfin di PPS Cilacap tahun 2014-2018 dan
estimasi periode tahun 2019-2022

Gambar 4, menunjukkan produksi ikan tuna jenis yellowfin di PPS Cilacap


dan hasil estimasi tahun 2019-2022. Puncak musim ikan tuna jenis yellowfin pada
5 tahun terakhir (2014-2018) terjadi pada bulan September tahun 2016 sebesar
130,77 ton dan musim paceklik terjadi pada bulan Januari tahun 2015 sebesar 0,4
ton. Hasil estimasi, puncak musim tertinggi diestimasi akan terjadi pada bulan juni
tahun 2020 sebesar 110,15 ton dan musim paceklik akan terjadi pada bulan
desember tahun 2019 sebesar 2,81 ton.

Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 125
Volume Produksi (ton) 300,00
250,00
200,00
150,00
100,00
50,00
0,00
Januari

Januari

September
Januari

Januari

Januari

Januari

Januari

Januari

Januari
Mei
Mei

Mei

Mei

Mei

Mei

Mei

Mei

Mei
September

September

September

September

September

September

September

September
2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022
Data Aktual Data Estimasi
Waktu

Gambar 5 Produksi ikan tuna jenis big eye baby tuna di PPS Cilacap tahun 2014-
2018 dan estimasi periode tahun 2019-2022

Gambar 5, menunjukkan produksi big eye baby tuna di PPS Cilacap periode
tahun 2014-2018 dan hasil estimasi tahun 2019-2022. Produksi periode 5 tahun
terakhir (2014-2018) berfluktuasi, dengan musim puncak tertinggi terjadi pada
bulan Agustus tahun 2018 sebesar 259,86 ton dan musim paceklik terjadi pada
bulan Januari tahun 2014 sebesar 0,19 ton. Hasil estimasi, puncak musim tertinggi
akan terjadi pada bulan April tahun 2022 sebesar 126,74 ton dan musim paceklik
akan terjadi pada bulan Januari tahun 2019 sebesar 14,48 ton.

160,00
Volume Produksi (ton)

140,00
120,00
100,00
80,00
60,00
40,00
20,00
0,00
Januari

September
Januari

September

September
Januari

September
Januari

September
Januari

September
Januari

September
Januari

September
Januari

September
Januari
Mei

Mei

Mei

Mei

Mei

Mei

Mei

Mei

Mei

2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022

Waktu

Gambar 6 Produksi ikan tuna jenis yellowfin baby tuna di PPS Cilacap tahun 2014-
2018 dan estimasi periode tahun 2019-2022

126 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
Gambar 6 menunjukkan produksi ikan tuna jenis yellowfin baby tuna di
PPS Cilacap periode tahun 2014-2018, dan hasil estimasi tahun 2019-2022.
Produksi pada 5 tahun terakhir (2014-2018) berfluktuasi, dengan musim puncak
tertinggi terjadi pada bulan Juni tahun 2018 sebesar 140,69 ton dan musim paceklik
terjadi pada bulan Januari, Juni, Desember tahun 2014 dan bulan Januari – Maret
tahun 2016. Hasil estimasi menunjukkan bahwa puncak musim tertinggi akan
terjadi pada bulan Mei tahun 2022 sebesar 102,13 ton dan musim paceklik akan
terjadi pada bulan Desember tahun 2019 sebesar 2,71 ton.
800 718,192
Rata-rat volume produksi (ton)

700
582,182 695,53
600 555,952
493,704
570,122
500

400 328,802 315,514


300 244,294 311,24
268,85
200 264,604 258,036

100 153,962

0
2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022
Tahun

Gambar 7 Rata-rata pertumbuhan volume produksi tahunan ikan tuna tahun 2009-
2022 di PPS Cilacap

Gambar 7 menunjukkan rata-rata pertumbuhan produksi ikan tuna sangat


berfluktuatif dengan hasil estimasi tahun 2019 sampai 2022 menunjukkan bahwa
terjadi trend positif mulai dari tahun 2019 sampai 2021 dan terjadi penurunan
kembali pada tahun 2022. Rata-rata volume produksi tahunan ikan tuna tersebut
akan terjadi peningkatan tertinggi pada tahun 2021 sebesar 718,192 ton dan
terendah pada tahun 2019 sebesar 268,85 ton.
Hasil estimasi selama empat tahun yang akan datang yaitu tahun 2019
sampai 2022, untuk albakor mengalami puncak musim penangkapan terjadi pada

Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 127
bulan April – Juli dengan yang tertinggi dicapai pada bulan Juni sebesar 600,74 ton.
Ikan tuna jenis big eye mengalami puncak musim penangkapan terjadi pada bulan
Agustus – November dengan yang tertinggi dicapai pada bulan September sebesar
599,03 ton. Ikan tuna jenis yellowfin mengalami puncak musim penangkapan
terjadi pada bulan April – September dengan yang tertinggi dicapai pada bulan Juni
sebesar 254,15 ton. Jenis big eye baby tuna mengalami puncak musim penangkapan
terjadi pada bulan April – November dengan yang tertinggi dicapai pada bulan Mei
sebesar 415,36 ton. Sedangkan jenis yellowfin baby tuna mengalami puncak musim
penangkapan terjadi pada bulan April – Juli kemudian September – November
dengan yang tertinggi dicapai pada bulan Mei sebesar 242,67 ton. Lintang et al.
(2012) menyatakan bahwa terjadinya puncak musim yang meningkat terhadap ikan
tuna pada bulan-bulan tersebut, menunjukkan bahwa keadaan perairan sedang
berada dalam kondisi yang cukup sesuai dan ketersediaan makanan bagi ikan tuna
yang melimpah, sehinga ikan tuna yang sedang bermigrasi memanfaatkan keadaan
tersebut. Sedangkan menurut Susanto et al. (2001), pada musim ikan tuna
bersamaan dengan nilai klorofil-a tinggi pada bulan-bulan tersebut, karena
disepanjang pesisir selatan Jawa terjadi upwelling yang disebabkan oleh angin
muson tenggara (southeast monsoon). Dampak upwelling tersebut meningkatkan
kesuburan perairan dengan zat hara yang melimpah, sehingga fitoplankton
mengalami peningkatan.
Hasil tangkapan ikan tuna di perairan Samudera Hindia sangat dipengaruhi
oleh faktor musim dimana musim sangat berhubungan dengan pola angin muson
Asia dengan Australia. Angin muson biasanya terjadi pada bulan Desember
sampai Februari sehingga pada bulan tersebut merupakan musim paceklik.
Sedangkan angin muson tenggara berhembus pada bulan Juli sampai Agustus
(Wahju et al. 2013). Aktivitas penangkapan yang dilakukan oleh nelayan dalam
memperoleh hasil tangkapan ikan tuna dengan kondisi yang berfluktuatif sangat
dipengaruhi juga oleh kondisi cuaca. Ketika kondisi cuaca dengan angin bertiup
dengan kencang disertai oleh gelombang yang tinggi, maka nelayan memilih untuk
tidak melaut, para nelayan lebih memilih berada didaratan untuk beristrirahat

128 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
sekaligus memperbaiki alat tangkap mereka. Oleh karena itu, meskipun ikan pada
saat itu melimpah dilaut, jika cuaca tidak mendukung maka hasil tangkapan juga
akan menurun (Lintang et al. 2012).

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa:
1. Stakeholder yang terlibat dalam pendistribusian ikan tuna dari PPS Cilacap
diantaranya adalah nelayan pemilik kapal, pengusaha ikan (Jakarta),
pengumpul, perusahaan pengolahan, eksportir, industri rumah tangga dan
konsumen.
2. Hasil estimasi terhadap ketersediaan produksi ikan tuna di PPS Cilacap tahun
2019 sampai 2022 akan mengalami puncak musim penangkapan tertinggi
untuk albacore pada bulan Juni, big eye tuna pada bulan September dan
yellowfin tuna pada bulan Juni.

DAFTAR PUSTAKA

Adyas HA, Zainudin IM, Yusuf M. 2011. Panduan Pengoperasian Tuna Longline
Ramah Lingkungan untuk Mengurangi Hasil Tangkapan Sampingan
(Bycatch). WWF-Indonesia.
Asyhar AN. 2017. Dampak Peraturan Pelarangan Alih Muatan Terhadap Aktivitas
Kapal Rawai Tuna di Cilacap Jawa Tengah. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2018. https://www.bps.go.id. [Diakses tanggal 28
Agustus 2019].
Diatin IN, Farmayanti, Nita SD. 2006. Kajian Penerapan Manajemen Mutu Terpadu
di CV Banyu Biru, Kebayoran Lama Jakarta Selatan. Buletin Ekonomi
Perikanan. 6(3): 81-96.
[Ditjen PSDKP]. Direktorat Jenderal Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan
Perikanan. 2018. Statistik Ekspor Hasil Perikanan Indonesia. Jakarta (ID):
Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 129
[DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Tengah. 2004. Statistik
Perikanan Tangkap. Cilacap (ID): Dinas Kelautan dan Perikanan Jawa
Tengah.
Hendratmoko C, Marsudi H. 2010. Analisis tingkat keberdayaan sosial ekonomi
nelayan tangkap di Kabupaten Cilacap. Jurnal Dinamika Sosial. 6(1): 1-17.
Lintang CJ, Labaro IV, Telleng ATR. 2012. Kajian musim penangkapan ikan tuna
dengan alat tangkap hand line di Laut Maluku. Jurnal Ilmu dan Teknologi
Perikanan Tangkap 1(1): 6-9.
Makridakis S, Wheelwright SC. 1999. Metode dan Aplikasi Peramalan. Jakarta
(ID): Binarupa Aksara.
Nurani TW, Wisudo SH. 2007. Bisnis Perikanan Tuna Longline. Bogor (ID): PSP
Institut Pertanian Bogor.
Paoki K. 2016. Analisis manajemen rantai pasokan pada ponsel samsung di
Samsung Center ITC Manado. Jurnal Berkala Ilmiah Efisiensi. 16(4): 335-
336.
[PPS] Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap. 2017. Laporan Tahunan Pelabuhan
Perikanan Samudera Cilacap. Cilacap (ID): PPS Cilacap.
[PPS] Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap. 2018. Laporan Tahunan Pelabuhan
Perikanan Samudera Cilacap. Cilacap (ID): PPS Cilacap.
Sibagariang OP, Fauziyah, Agustriani F. 2011. Analisis potensi lestari sumberdaya
perikanan tuna longline di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Maspari
Journal 03. 24-29.
Susanto RD, Gordon AL, and Zheng Q. 2001. Upwelling along the coasts of Java
and Sumatra and its relation to ENSO. Geophysical Research Letters. 28(8):
159-160.
[UN Comtrade]. United Nations Commodity Trade Statistics Database. 2017.
https://comtrade.un.org. [Diakses tanggal 15 Mei 2019].
Wahju RI, Zulbainarni N, Soeboer DA. 2013. Hasil tangkapan pancing tonda
berdasarkan musim penangkapan dan daerah penangkapan tuna dengan
rumpon di perairan selatan Pelabuhanratu. BULETIN PSP. 21(1): 97-105.

130 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
STRATEGI PENINGKATAN MUTU IKAN TUNA HASIL TANGKAPAN
NELAYAN PANCING TONDA DI PELABUHAN PERIKANAN
NUSANTARA PALABUHANRATU

Strategy For Increasing Quality Of Fish Tuna Fishing Tonda Fisherman


Catching Capacity In Palabuhanrat Archipelago Port

Oleh:
Yuliyanah; Tri Wiji Nurani; Prihatin Ika Wahyuningrum
Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor, Indonesia
Email: yuliyanah397@gmail.com

ABSTRACT

Nusantara port of fisheries (PPN) Palabuhanratu is a fishing port which the largest
tuna fishing center in West Java. The dominant fishing gear that catches tuna in
Palabuhanratu is troll line. Howeever, the catch does not fully meet the fresh intact
export standars that have an impact on the selling valeu of tuna is still low. Fresh
tuna export standards refers to SNI 2693-2006. The purpuso of this study was to
identify the quality of tuna formulate a strategy to improve the quality of tuna
catches of trolling fisherman in Palabuhanratu. The analytical method used is
pareto diagram to identfy the type of defect and swot analysis. The results showed
that the quality of tuna landed in the fresh category tended to be somewhat fresher
wit a value 7. Detective quality of tuna was seen from eyes in a flat eyeball, pupils
were slighty dull gills and 20% mucus of the total sample. The most dominant
quality defect is seen from tuna lended by trolling boats, namely bruises and the the
number of scrateches on the budy of the fish. This has an impact on the catch of the
tackle fishing boats not meeting the fresh intact export standards. Quality defects
in the catches of trolling fisherman caused by the handling carried out by trolling
fisherman are still simple. Therfore a strategy is needed to improve the quality of
tuna. The recommended strategies for improving quality are the application of
CPIB on board, the use of a roof when conducting tuna fishing operations,
improving the understanding of quality by all stakeholders, increasing the hygiene
of handling equipment and controlling the disposal in the hold.
Keywords: Tuna, Troll line, Quality, PPN Palabuhanratu

Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 131
ABSTRAK

Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu merupakan pelabuhan


perikanan yang menjadi sentra perikanan tuna terbesar di Jawa Barat. Alat tangkap
dominan yang digunakan untuk menangkap ikan tuna di PPN Palabuhanratu adalah
pancing tonda. Namun, hasil tangkapan pancing tonda belum sepenuhnya
memenuhi standar ekspor produk tuna utuh segar. Standard ekspor tuna segar
mengacu pada SNI 2693-2006. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi mutu
ikan tuna dan merumuskan strategi peningkatan mutu ikan tuna hasil tangkapan
nelayan pancing tonda di PPN Palabuhanratu. Metode analisis yang digunakan
yaitu diagram pareto untuk mengidentifikasi tipe cacat dan analisis SWOT. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa mutu ikan tuna yang didaratkan dalam kategori
segar cenderung ke agak segar dengan nilai organoleptik 7. Cacat mutu ikan tuna
terlihat dari mata yang dalam kondisi bola mata rata, pupil agak ke abu-abuan,
kornea agak keruh yaitu sekitar 47%; daging agak lunak 35% dan insang agak
kusam dan sedikit lendir 20% dari total sampel. Strategi yang direkomendasikan
untuk meningkatkan mutu adalah penerapan CPIB di atas kapal, penggunaan atap
saat melakukan operasi penangkapan ikan tuna, peningkatan pemahaman mutu oleh
semua stakeholder, peningkatan higienitas peralatan penanganan dan pengontrolan
pembuangan air dalam palka.
Kata kunci: ikan tuna, pancing tonda, mutu, PPN Palabuhanratu

PENDAHULUAN
Perikanan tuna memiliki daya saing yang tinggi dan merupakan produk
andalan Indonesia di sektor perikanan, menjadikannya tidak hanya dipasarkan
secara lokal tetapi juga dipasarkan secara ekspor. Tujuan pasar ekspor ikan tuna di
Indonesia diantaranya yaitu Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Eropa (Yusuf et al.
2017). Pemasaran ikan tuna yang ditujukan untuk pasar ekspor salah satunya
ditentukan dari aspek mutu (Maulana et al. 2012).
Mutu merupakan karakter dari suatu produk yang mempengaruhi nilai jual
produk tersebut. Mutu ikan tidak dapat diperbaiki tetapi dapat dipertahankan
melalui proses penanganan (Huda et al. 2012). Mutu yang baik didapatkan dari
proses penanganan yang baik di kapal, di pelabuhan, sampai dengan ke tempat
tujuan pasar (Nurani et al. 2012). Sjarif et al. (2012) menyatakan bahwa proses
penanganan ikan dimulai dari menjaga kebersihan dan kesehatan di kapal,

132 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
kemudian saat menaikkan ikan ke atas geladak, cara penyimpanan, cara
pembongkaran, sampai hasil tangkapan dikemas untuk siap dipasarkan.
Keberpihakan pemerintah akan pentingnya jaminan mutu dan keamanan hasil
perikanan telah tercantum dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan
Indonesia (KEPMENKP) No 52A tahun 2013. Peraturan ini telah mencantumkan
prosedur-prosedur untuk menjamin mutu ikan pada setiap rantai dari kegiatan
industri penangkapan ikan (Nurani et al. 2012). Prosedur tersebut harus dilakukan
oleh pelaku perikanan baik perorangan maupun badan usaha dalam mendukung
terjaminnya mutu dan keamanan hasil perikanan. Manajemen mutu diterapkan dari
hulu sampai hilir, yaitu mulai dari kapal penangkap ikan, di pelabuhan perikanan,
distribusi produk perikanan dan tempat pemasaran ikan (Nurani et al. 2013).
Kapal penangkap ikan sebagai unit operasi penangkapan ikan, memegang
peran sangat penting dari aktivitas utama manajemen mutu setelah ikan ditangkap.
Pada proses produksi di bidang perikanan tangkap, yaitu proses penangkapan ikan,
telah ditetapkan mengenai persyaratan kapal penangkap ikan, persyaratan higenis
kapal dan persyaratan higenis penanganan di kapal dalam menjamin mutu ikan tuna
yang didaratkan (Nurani et al. 2012). Selain itu, tempat pendaratan ikan sebagai
fasilitas utama di pelabuhan perikanan, juga telah ditetapkan persyaratan dalam
mempertahankan mutu ikan.
Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu merupakan pelabuhan
perikanan di Indonesia yang bertipe B, yang menjadi tempat bersandarnya kapal
penangkap tuna. Letak PPN Palabahunratu berada di Teluk Palabuhanratu yang
berhadapan langsung dengan Samudera Hindia. Hasil tangkapan ikan pelagis besar
dan ikan pelagis kecil yang cukup besar didaratkan di pelabuhan ini. PPN
Palabuhanratu merupakan penyumbang produksi ikan tuna terbesar di Indonesia,
yaitu dengan persentase pendaratan ikan tuna sebesar 21% dari total pendaratan
ikan tuna Indonesia (Yusuf et al. 2012).
Unit penangkapan ikan tuna yang terdapat di PPN Palabuhanratu terdiri dari
rawai tuna, pancing ulur dan pancing tonda. Unit penangkapan ikan tuna yang
banyak beroperasi yaitu pancing tonda. Pancing tonda yang beroperasi di PPN

Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 133
Palabuhanratu sebanyak 90 unit dengan rentang ukuran 5-10 GT (PPNP 2018).
Hasil tangkapan pancing tonda meliputi madidihang, bigeye tuna, cakalang, dan
bluefin tuna. Ikan tuna jenis madidihang atau tuna sirip kuning yang memenuhi
standar ekspor dikirim ke Negara tujuan ekspor melalui perusahaan eksportir di
Jakarta. Namun sebagian besar ikan tuna yang ditangkap tidak memenuhi mutu tuna
untuk standar ekspor dalam bentuk utuh (Nurani et al. 2012). Hal ini disebabkan
penanganan yang dilakukan nelayan pancing tonda masih melalui prosedur
penanganan yang sederhana dan belum memenuhi standar penanganan yang ada.
Selain itu, kemunduran mutu pada hasil tangkapan pancing tonda berupa cacat fisik
yang berdampak pada nilai jual ikan tersebut (Sidik 2013).
Berdasarkan permasalahan yang dihadapi oleh nelayan pancing tonda
tersebut, diperlukan penelitian mengenai perbaikan penanganan ikan tuna pada
perikanan pancing tonda di PPN Palabuhanratu. Dengan demikian, diharapkan ikan
tuna hasil tangkapan pancing tonda memiliki nilai jual yang tinggi dan dapat
dipasarkan untuk pasar ekspor. Tujuan akhir penelitian ini adalah merumuskan
strategi dalam membantu nelayan meningkatkan penanganan yang dilakukan untuk
mempertahankan mutu ikan tuna yang didaratkan.
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Mengidentifikasi mutu ikan tuna hasil tangkapan nelayan pancing tonda di
PPN Palabuhanratu.
2. Merumuskan strategi peningkatan mutu ikan tuna hasil tangkapan kapal
pancing tonda di PPN Palabuhanratu.

METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada tanggal 05 Maret sampai 30 Maret 2019.
Lokasi penelitian yaitu Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu dan CV
Jaya Mitra.

134 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode studi kasus.
Studi kasus adalah kajian yang rinci akan suatu peristiwa (Sugiyono 2018). Kasus
yang diteliti yaitu penanganan ikan tuna pada perikanan pancing tonda di PPN
Palabuhanratu. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan
accidental sampling untuk menentukan sampel kapal yang akan diamati
penanganannya. Responden dipilih berdasarkan prinsip kebetulan, objek atau
subjek penelitian yang secara cocok dengan tujuan penelitian bertemu dengan
peneliti yang dapat digunakan sebagai sampel penelitian (Sugiyono 2018).
Pengamatan sampel kapal pancing tonda menggunakan proporsi sampel 10% dari
total kapal pancing tonda yang beroperasi di PPN Palabuhanratu. Hal ini mengacu
pada Gulo (2005), yang menyatakan bahwa ukuran minimum sampel yang dapat
ditarik berdasarkan desain penelitian yang digunakan yaitu metode deskriftif
minimal 10% populasi dengan karakteristik sampel tersebut relatif homogen.
Kapal pancing tonda yang terdapat di PPN Palabuhanratu memiliki ukuran 5-
10 GT (PPNP 2018). Sampel kapal yang diamati sebanyak 13 kapal berukuran 6
GT. Nelayan yang diwawancarai sebanyak 20 orang untuk mendapatkan data
penanganan ikan tuna di atas kapal. Rincian nelayan yang diwawancarai terdiri dari
13 nelayan kapal pancing tonda ukuran 6 GT, 3 nelayan kapal pancing tonda ukuran
5 GT, dan 4 nelayan kapal pancing tonda ukuran 10 GT. Selain itu, wawancara
kepada pihak enumerator mutu ikan PPN Palabuhanratu dan wawancara kepada
manager CV Jaya Mitra untuk mengetahui gambaran mutu ikan tuna yang
didaratkan oleh kapal pancing tonda.
Teknik pengambilan sampel ikan tuna yang akan diuji organoleptiknya
menggunakan teknik pengambilan acak sederhana (simpel random sampling).
Teknik ini merupakan teknik pengambilan anggota sampel yang dilakukan secara
acak (Sugiyono 2018). Pengujian organoleptik didasarkan pada 3 spesifikasi yaitu
mata, insang, dan tekstur. Jumlah sampel ikan tuna yang diambil sebanyak 57 ekor
ikan dari 13 kapal pancing tonda yang mendaratkan hasil tangkapan di PPN
Palabuhanratu. Kategori sampel ikan tuna yang dinilai organoleptiknya memiliki
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 135
berat minimal 10 kg. Pengambilan sampel ikan tuna di setiap kapal pancing tonda
diambil secara acak dengan proporsi sebanyak 30% dari populasi yang ada. Ukuran
minimum sampel ikan tuna yang dapat ditarik minimal 30% dari populasi dengan
karakteristik sampel tersebut heterogen (Gulo 2005).
Pengamatan cacat mutu pada ikan tuna berpedoman pada beberapa indikator
yang telah ditetapkan sebelumya. Indikator tipe cacat mutu didasarkan pada tiga
jenis cacat yang telah melalui pengujian organoleptik. Tiga jenis cacat tersebut
terdiri dari mata merah, insang berlendir dan berwarna coklat serta daging kurang
kenyal.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Keadaan umum perikanan tuna di PPN Palabuhanratu
Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu merupakan pelabuhan
perikanan yang terletak di Teluk Palabuhanratu dan menjadi bagian dari perairan
Samudera Hindia (WPP 573). Hal ini menjadikan PPN Palabuhanratu sebagai
sentra perikanan tuna skala besar yang terfokus pada pendaratan tuna, cakalang,
dan tongkol (Rumbewas et al. 2011). Pendaratan ikan tuna di PPN Palabuhanratu
didominasi oleh ikan tuna jenis yellowfin atau biasa disebut dengan ikan
madidihang.
Penangkapan ikan madidihang di PPN Palabuhanratu menggunakan 3 jenis
alat tangkap pancing yang terdiri dari pancing longline, pancing tonda dan pancing
ulur. Penggunaan pancing tonda lebih banyak dioperasikan oleh nelayan di PPN
Palabuhanratu. Pancing tonda dioperasikan pada kapal yang berukuran 5-10 GT
dengan jenis kapal motor. Hasil tangkapan dominan pada kapal pancing tonda
adalah ikan tuna jenis madidihang (PPNP 2018). Hasil tangkapan ikan madidihang
di PPN Palabuhanratu terintegrasi dengan pasar tujuan ekspor (Ardani et al. 2013).

136 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
Unit Armada Pancing Tonda
Kapal
Unit armada pancing tonda di PPN Palabuhanratu terdiri dari kapal pancing
tonda dan alat tangkap yang digunakan dalam kapal pancing tonda. Kapal pancing
tonda yang terdapat di PPN Palabuhanratu termasuk kapal mandar atau kapal
sulawesi. Kapal pancing tonda terdiri dari 2 jenis kapal yaitu kapal pancing tonda
yang terbuat dari fiber dan yang terbuat dari kayu. Kapal kayu terbuat dari bahan
kayu bungur. Ukuran kapal pancing tonda berkisar 5-10 GT dengan spesifikasi
panjang kapal 10-15 m, lebar kapal 2-3 m, dan lebar 3-4 m. Daerah penangkapan
kapal pancing tonda berada di koordinat 7, 8, dan 9 LS yang merupakan perairan
Samudera Hindia.
Pancing Tomba
Alat tangkap yang digunakan oleh kapal pancing tonda yaitu pancing taber,
pancing tomba, pancing tonda dan pancing layang-layang. Pancing yang banyak
menangkap ikan tuna yaitu pancing tomba, pancing tonda dan pancing layang-
layang. Pancing tomba merupakan pancing yang target tangkapan utamanya berupa
ikan tuna dengan berat lebih dari 30 kg. Pancing tomba memiliki spesifikasi mata
pancing no 1 dengan tali utama terbuat dari PA monofilament no 3000 dengan
panjang 45 m, tali cabang terbuat dari PA monofilament no 1200 dengan panjang
10m. Pelampung yang digunakan dalam pancing tomba yaitu jerigen (Ihsan et al.
2017).

Pancing Tonda
Pancing tonda merupakan pancing yang paling banyak digunakan selama
operasi penangkapan oleh kapal pancing tonda di PPN Palabuhanratu. Pancing
tonda memiliki spesifikasi mata pancing no 6-7 dengan tali utama terbuat dari PA
monofilament no 50-60 dengan panjang 30-50 m, tali cabang terbuat dari PA
monofilament no 35 sebanyak 12-15 buah dengan panjang 20-30 cm serta jarak
antar pancing sepanjang 1 m (Ihsan et al. 2017). Pada mata pancing diberikan
umpan buatan berupa serabut yang terbuat dari tali plastik.

Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 137
Pancing Layang-Layang
Pancing layang-layang merupakan pancing yang target utamanya berupa
ikan tuna dengan berat lebih dari 30 kg. Pancing layang-layang memiliki spesifikasi
mata pancing no 5-7 dengan tali utama terbuat dari PA monofilament no 60-80
dengan panjang 30-60 m, tali cabang terbuat dari PA monofilament no 50-60
dengan panjang 3-3.5 m serta jarak antar tali cabang sepanjang 7-10 m (Ihsan et al.
2017). Umpan yang digunakan merupakan umpan buatan yang berbentuk cumi-
cumi.

Penanganan ikan tuna di atas kapal pancing tonda


Penanganan ikan tuna di atas kapal pancing tonda terdiri dari beberapa proses
penanganan. Proses penanganan ikan tuna dimulai saat ikan tuna diangkat dari air
ke atas kapal. Pengoperasian alat tangkap pancing tonda berlangsung dari jam
05.00 WIB sampai 17.00 WIB. Pengoperasian pancing tonda dilakukan melalui 3
tahapan yaitu tahap setting, trolling dan hauling. Tahap Setting dilakukan dengan
cara melempar mata pancing yang telah diberikan umpan satu per satu. Selama
tahap setting kecepatan kapal berkisar 1-2 knot. Kemudian dilakukan tahap trolling
atau penarikanan alat tangkap pancing tonda yang berlangsung terus menerus
dengan kapal mengelilingi rumpon pada posisi berlawanan arus. Kecepatan kapal
selama tahap trolling berkisar 2-4 knot. Hal ini bertujuan agar umpan yang dipasang
pada mata kail bergerak seperti ikan mangsa. Jika salah satu umpan dimakan ikan,
nahkoda memperlambat kecepatan kapal pancing tonda. Selanjutnya dilakukan
proses hauling atau proses pengangkatan ikan tuna ke atas kapal.
Penanganan ikan tuna di atas kapal pancing tonda dimulai saat ikan diangkat
dari air ke atas kapal. Pengangkatan ikan tuna menggunakan alat bantu ganco, yang
dilakukan disekitar bagian insang. Setelah ikan tuna dinaikkan ke atas geladak
kapal, ikan tuna yang memiliki berat di atas 15 kg dimatikan terlebih dahulu dengan
cara memukul bagian kepala menggunakan tongkat kayu. Proses mematikan ini
bertujuan agar ikan tuna tidak banyak meronta, sehingga penampakan daging tuna
138 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
tidak terjadi bercak hitam. Tahap selanjutnya dilakukan penyiangan dengan cara
membuang insang dan organ dalam ikan tuna dengan menggunakan pisau.
Penyiangan dilakukan oleh setiap nelayan yang mendapatkan ikan tuna, tidak
terdapat nelayan khusus yang melakukan penyiangan ikan tuna. Penyiangan
dilakukan untuk ikan tuna dengan berat 20 kg ke atas.
Ikan tuna yang telah melewati proses penyiangan, selanjutnya diberikan es
curah yang dimasukkan pada bagian insang dan bagian perut. Selain pemberian es
pada bagian yang telah melawati proses penyiangan, es curah juga digunakan untuk
melapisi bagian bawah dan bagian atas ikan tunanya. Selama proses penyimpanan
ikan tuna, nelayan melakukan pengontrolan jumlah es dalam palka setiap sekali
dalam sehari untuk menambahkan es yang telah mencair.
Penggunaan es curah dalam penanganan ikan tuna pada perikanan pancing
tonda merupakan bagian yang menentukan kesegaran ikan selama masa
penyimpanan ikan. Operasi penangkapan ikan tuna pada kapal pancing tonda
dilakukan selama 13 – 15 hari, dengan lama penyimpanan ikan tuna dalam palka
berlangsung selama 10 sampai 12 hari. Es yang dibawa oleh kapal pancing tonda
merupakan es balok yang telah diserut sebelum berangkat untuk melakukan operasi
penangkapan. Jumlah es balok yang diserut untuk dibawa ke laut berkisar 40 - 60
balok. Gambar 1 menunjukkan proses penanganan ikan tuna di atas kapal.

Gambar 1 Penanganan ikan tuna di atas kapal

Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 139
Penanganan Ikan Tuna Di PPN Palabuhanratu
Penanganan ikan madidihang di PPN Palabuhanratu masih dilakukan dengan
sederhana. Penggunaan peralatan bongkar seperti sapu tangan dan sepatu sangat
sederhana dan tidak memperhatikan sanitasi dan higenis. Kapal pancing tonda
setelah tiba di pelabuhan langsung melakukan pembongkaran di dua titik dermaga.
Pembongkaran hasil tangkapan kapal pancing tonda dilakukan secara sederhana
tanpa menggunakan teknologi yang mempermudahkan dalam proses bongkar ikan
tuna. Pembongkaran ikan tuna hasil tangkapan kapal pancing tonda di PPN
Palabuhanratu tidak dilakukan di tempat pendaratan ikan. Pembongkaran dilakukan
di dua titik dermaga. Proses pembongkaran ikan madidihang dilakukan bergantung
pada waktu kapal pancing tonda tiba di PPN Palabuhanratu. Pembongkaran tidak
mempertimbangkan waktu yang tepat untuk melakukan proses pembongkaran.
Selama penelitian berlangsung, 13 kapal yang bongkar, sebanyak 9 kapal pancing
tonda melakukan pembongkaran pada siang hari yang dapat berpengaruh terhadap
kemunduran mutu ikan.
Kapal pancing tonda tiba di PPN Palabuhanratu, kemudian nelayan
melakukan pemberian air laut ke dalam palka. Hal ini bertujuan agar ikan tuna yang
telah menyatu dengan es dapat mudah diangkat oleh nelayan. Selama pemberian air
laut pada palka, ada nelayan yang masuk ke dalam palka. Nelayan ini bertugas
untuk mengangkat ikan tuna ke atas geladak kapal. Namun selama pengangkatan
ikan tuna dari dalam palka ke geladak kapal. Nelayan menginjak ikan tuna dan
selama proses pengangkatan, nelayan tidak melakukannya dengan hati-hati yang
akan berdampak pada kualitas ikan tuna yang didaratkan.
Pembongkaran ikan madidihang yang dilakukan pada kapal pancing tonda di
PPN Palabuhanratu tidak dipersiapkan dengan baik. Pembongkaran ikan
madidihang tidak ditutupi terpal untuk menjaga ikan tuna terpapar sinar matahari.
Nelayan hanya mempercepat waktu bongkar hasil tangkapan ikan madidihang di
PPN Palabuhanratu. Saat pembongkaran berlangsung, nelayan tidak melakukan
pemberian es secara berkelanjutan yang menyebabkan rantai dingin terputus.
Gambar 2 menunjukkan proses pemindahan ikan tuna dari kapal ke darmaga.
140 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
Gambar 2 Pemindahan ikan tuna dari kapal ke dermaga

Mutu Ikan Tuna


Mutu ikan tuna yang didaratkan oleh kapal pancing tonda di PPN
Palabuhanratu dideskripsikan terkait dengan mutu kesegaran dan tipe cacat.
Mutu kesegaran ikan madidihang yang didaratkan oleh kapal pancing tonda
Mutu kesegaran ikan dipengaruhi oleh penanganan yang dilakukan oleh
nelayan. Mutu kesegaran ikan dianalisis melalui uji organoleptik. Pengujian
organoleptik pada ikan tuna yang didaratkan menitikberatkan pada mata, insang,
dan tekstur seperti disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 nilai rata-rata organoleptik
Rata-rata nilai organoleptik
Mata Insang Tekstur Jumlah

7.2 6.8 7.4 21.8

Interval nilai
organoleptik P(6.62 ≤ µ ≤ 7.58)

Mengacu pada standar ikan segar yaitu SNI 01-2346-2006, interval nilai rata-
rata organoleptik ikan tuna berada pada P(6.62 ≤ µ ≤ 7.58). Nilai rata-rata
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 141
organoleptik ini menunjukkan bahwa ikan tuna dalam kategori masih segar.
Kisaran nilai rata-rata berada pada nilai 6.62 dan dibulatkan menjadi 7.0, untuk nilai
spesifikasi dari mata, insang dan tekstur.
Kisaran kriteria kesegaran ikan menurut uji organoleptik dibagi menjadi 3
kategori, yaitu segar, agak segar, dan tidak segar (SNI 2006). Kisaran kriteria Segar
yaitu nilai kisaran uji organoleptik 7-9; Agak segar yaitu nilai kisaran uji
organoleptik 5-6; dan Tidak segar yaitu nilai kisaran uji organoleptik 1-4
Secara umum mata ikan tuna yang didaratkan agak cerah, bola mata rata,
pupil agak ke abu-abuan, kornea agak keruh. Insang ikan tuna berwarna merah
agak kusam tanpa lendir, dan untuk tekstur atau konsistensi ikan tuna yang
didaratkan agak lunak, elastis bila ditekan dengan jari, sulit menyobek daging dari
tulang belakang.

Tipe cacat mutu ikan madidihang yang didaratkan oleh kapal pancing tonda
di PPN Palabuhanratu
Mutu merupakan karakter dari suatu produk yang mempengaruhi nilai jual
produk tersebut. Kemunduran mutu pada suatu produk sangat berpengaruh
terhadap kualitas yang menyebabkan nilai jual semakin rendah. Kemunduran mutu
pada ikan tuna yang diamati dapat dilihat dari beberapa tipe cacat mutu yang
didapatkan secara sensori dengan melihat, meraba dan menekan ikan dengan
berpatokan pada SNI 01-2346-2006. Cacat mutu ikan tuna hasil tangkapan kapal
pancing tonda dapat dilihat pada Gambar 3.

142 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
100% 100%
14
12 80%
10
8 50%
47%
6
4
2
0 0%
Mata merah Daging Insang
kurang berlendir dan
kenyal berwarna
coklat
Jumlah Persentase cacat kumulatif

Gambar 1 Diagram Pareto Cacat mutu


Diagram pareto merupakan suatu diagram yang menggambarkan item cacat,
sumbu vertikal menunjukkan besarnya cacat dalam persentase. Diagram pareto
menunjukan masalah apa yang pertama harus dipecahkan untuk menghilangkan
kerusakan atau memperbaiki proses yang ada. Sumbu horizontal menunjukan item
cacat dimulai dengan item cacat utama di kiri ke cacat yang kurang utama ke kanan
dan diatur sesuai tingkatannya (Ishikawa 1989).
Mata merah merupakan tipe cacat yang paling besar dalam proporsi
keseluruhan sampel yang diamati. Menurut Litay et al. (2017) penyebab kerusakan
pada mata disebabkan oleh kurangnya pemberian es dalam palka selama proses
penyimpanan, sehingga laju pertumbuhan bakteri pada ikan meningkat. Proses yang
perlu diperbaiki dalam penanganan ikan tuna di atas kapal yaitu perlu dilakukan
pemberian es secara kontinu.
Cacat mutu ikan tuna yang didaratkan oleh kapal pancing tonda berupa cacat
fisik pada bagian mata, insang dan tekstur. Cacat mutu terlihat dari mata yang dalam
kondisi bola mata rata, pupil agak ke abu-abuan, kornea agak keruh yaitu sekitar
47%; daging agak lunak 35% dan insang agak kusam dan sedikit lendir 20% dari
total sampel. Hal ini juga dipertegas oleh penelitian Wiratama (2011) bahwa cacat
mutu ikan tuna yang didaratkan oleh kapal pancing tonda di PPP Sadeng,
Yogyakarta terdiri dari insang berlendir, mata merah, kornea agak keruh, warna
insang merah coklat, dan daging perut agak lembek yang menyebar secara merata.
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 143
Cacat fisik yang terdapat pada kenampakan mata, insang, dan tekstur
merupakan cacat yang disebabkan oleh kurangnya pemberian es pada ikan selama
penanganan yang berdampak pada laju pertumbuhan bakteri yang semakin
meningkat (Litaay et al. 2017). Pemberian es pada hasil tangkapan ikan tuna yang
dilakukan oleh nelayan setempat hanya dikira-kira dan tanpa adanya penambahan
es secara konyinu. Es yang digunakan merupakan es curah. Menurut Kusumah et
al. (2016) penggunaan es curah dalam proses mendinginkan hasil tangkapan perlu
adanya penambahan es ke dalam boks penyimpanan setelah 3.5 jam selama proses
penyimpanan berlangsung secara berkelanjutan.
Tekstur daging kurang kenyal terjadi akibat penanganan yang belum baik
yang dilakukan oleh nelayan. Pelunakan tekstur pada ikan disebabkan oleh
kurangnya es yang diberikan oleh nelayan serta disebabkan benturan fisik yang
menyebabkan tekstur daging menjadi lunak. Benturan fisik dapat terjadi mulai dari
penangkapan dan selama pengangkutan (Lestari et al. 2015). Selama proses
penangkapan ikan tuna di kapal pancing tonda, nelayan sulit mengangkat ikan tuna
dengan berat di atas 20 kg.
Cacat fisik dominan yang ditemukan di sampel ikan yang diamati yaitu
penampakan luar tubuh ikan yang tergores. Sebanyak 46 ikan tuna dari 57 ekor ikan
tuna yang diamati mengalami kulit tergores. Keterbatasan peralatan pengangkatan
ikan tuna di atas kapal menyebabkan peluang besar ikan tuna mengalami benturan
fisik. Hal ini yang menyebabkan hasil tangkapan ikan tuna pada kapal pancing
tonda sulit menembus pasar ekspor fresh tuna karena secara penampakan dari luar
terdapat banyak memar dan goresan pada bagian tubuh ikan tuna.

Strategi Peningkatan Mutu Ikan Tuna yang dilakukan di Atas Kapal Pancing
Tonda
Perumusan strategi peningkatan penanganan ikan tuna di atas kapal
menggunakanan analisis SWOT. Analisis SWOT dilakukan melalui
memaksimalkan kekuatan dalam penanganan yang dilakukan oleh nelayan kapal
pancing tonda untuk mempertahankan mutu ikan tuna, dan peluang yang terdapat

144 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
di luar penanganan ikan tuna yang bernilai positif untuk peningkatan penanganan
ikan tuna oleh nelayan pancing tonda. Secara bersamaan meminimalkan kelemahan
dalam penanganan yang dilakukan oleh nelayan pancing tonda dan berdampak pada
aktivitas kemunduran mutu ikan tuna, serta ancaman yang dapat merugikan
nelayan pancing tonda. Hasil perumusan strategi disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Matriks SWOT perumusan strategi peningkatan penanganan mutu ikan


tuna oleh nelayan pancing tonda di PPN Palabuhanratu.
STRENGTHS (S) WEAKNESSES (W)
1) Pengececkan jumlah 1) Keterbatasan peralatan
es dalam palka yang penanganan di atas kapal
dilakukan setiap sehari (W1)
sekali (S1) 2) Lubang pembuangan air
2) Terdapat 2 jenis palka dalam palka sering macet
yang berinsulansi (S2) (W2)
3) Penggunaan alat 3) Keterbatasan es untuk
tangkap pancing tonda menjaga kualitas ikan
yang tidak merusak tuna di atas kapal (W3)
bagian dalam tubuh
ikan(S3)

OPPORTUNITES (O) STRATEGI SO STRATEGI WO


1) Ikan tuna memiliki 1) Sosialisasi dan 1) Pengontrolan pembuangan
nilai ekonomis penyuluhan kepada air dalam palka yang
tinggi (O1) nelayan terkait cara dilakukan minimal setiap
2) Peluang pasar ikan penanganan ikan sekali sehari (W2), (O1),
tuna yang tinggi(O2) yang baik (CPIB) (O3)
dalam mendukung 2) Penambahan peralatan
3) Dukungan dari
ikan tuna layak penanganan di atas kapal
pemerintah untuk
ekspor (S1), (O3) yang sesuai dengan
jaminan mutu ikan
tuna pada peraturan standar peraturan yang ada
KEPMENKP no 52a (W1),
tahun 2013(O3) (W3),(W4),(O1),(O2)(O3)
4) Terdapat CV Jaya
Mitra sebagai
perantara untuk
mengirim ikan tuna
ke perusahaan
eksportir di
Jakarta(O4)

Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 145
TREATS ( T) STRATEGI ST STRATEGI WT
1) Penanganan ikan 1) Penggunaan atap 1) Penambahan lubang
tuna berdasarkan saat melakukan buangan (drainase) pada
pengalaman nelayan operasi palka (W2) (T1)
setempat(T1) penangkapan ikan 2) peningkatan higienitas
2) Konstruksi armada tuna (S1), (S3), peralatan penanganan
pancing tonda yang (T2) (W1)(T1)
tidak dilengkapi 2) peningkatan
atap(T2) pemahaman mutu
oleh semua
stakeholder
(S3),(T1)

Strategi S-O
Strategi yang memanfaatkan kekuatan untuk mendapatkan peluang.
Kekuatan didapatkan dari aktivitas penanaganan serta peralatan yang digunakan
selama penanaganan ikan tuna. Peluang didapatkan dari luar aktivitas penanganan
ikan tuna yang menguntungkan subjek strategi. Strategi S-O yaitu Sosialisasi dan
penyuluhan kepada nelayan terkait cara penanganan ikan yang baik (CPIB) dalam
mendukung ikan tuna layak ekspor.
Strategi W-O
Strategi yang memanfaatkan peluang untuk meminimalkan kelemahan.
Kelemahan didapatkan dari aktivitas penanganan serta peralatan yang digunakan
yang menyebabkan kemunduran mutu ikan tuna. Strategi W-O terdiri dari
pengontrolan pembuangan air dalam palka, penambahan peralatan penanganan di
atas kapal yang sesuai dengan standar peraturan yang ada.
Strategi S-T
Strategi yang memanfaatkan kekuatan untuk menghindari ancaman.
Ancaman didapatkan dari luar aktivitas penanganan ikan tuna yang dilakukan oleh
nelayan kapal pancing tonda dalam mempertahankan mutu ikan. Strategi S-T terdiri
dari penggunaan atap saat melakukan operasi penangkapan dan peningkatan
pemahaman mutu oleh stakeholder.

146 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
Strategi W-T
Strategi yang mengurangi kelemahan dan ancaman yang ada. Strategi W-T
terdiri dari Penambahan lubang buangan (drainase) pada palka dan peningkatan
higienitas peralatan penanganan.

KESIMPULAN

1. Penanganan ikan tuna di atas kapal terdiri dari beberapa tahapan. Tahapan
tersebut berupa operasi penangkapan ikan, hauling ikan tuna, pembunuhan ikan
madidihang, penyiangan ikan tuna, pembersihan ikan tuna, pemberian es dan
tahapan terakhir berupa penyimpanan dalam palka. Penanganan ikan tuna di
PPN Palabuhanratu terdiri dari beberpa tahapan yaitu pemberian air ke dalam
palka, hauling ikan tuna, dan meletakkan ikan ke gerobak.
2. Ikan madidihang yang didaratkan masih dalam kategori segar. Nilai organoleptik
pada mata ikan yang diamati dengan nilai 7, untuk insang dengan nilai 7 dan
untuk tekstur dengan nilai 7. Cacat mutu pada ikan madidihang terdiri dari mata
merah dengan persentase cacat 47%, daging kurang kenyal 33% dan insang
berlendir dan berwarna coklat sebesar 20 %.
3. Strategi penanganan ikan tuna yang perlu dilakukan di atas kapal yaitu strategi
WT yang terdiri dari penggunaan atap saat melakukan operasi penangkapan
ikan.

DAFTAR PUSTAKA
Ardani, Nurani TW, Lubis E. 2013. Integrasi Pasar Komoditas Unggulan
Minapolitan di Palabuhanratu. Marine Fisheries. 4(1):23-33.
Furqan I. 2017. Penanganan Hasil Tangkapan Tuna di Pelabuhan Perikanan
Pondokdadap untuk Memenuhi Standar Pasar Ekspor [tesis]. Bogor(ID):
Institut Pertanian Bogor.
Huda MA, Baheramsyah A, Cahyono B. 2013. Desain Sistem Pendingin Ruang
Muat Kapal Ikan Tradisional dengan Menggunakan Campuran Es Kering
dan Cold Ice yang Berbahan Dasar Propylene Glycol. Jurnal Teknik Pomits.
2(1): 2301-9271.

Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 147
Ihsan M, Yusfiandani R, Baskoro MS, Mawardi W. 2017. Hasil Tangkapan Ikan
Madidihang dari Aspek Teknis dan Biologi Menggunakan Armada Pancing
Tonda di PPN Palabuhanratu. Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan.
8(1):115-123.
Ishikawa K. 1989. Teknik Penentuan Pengendalian Mutu. Jakarta (ID):
Mediyatama Sarana Perkasa.
[KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2013. Keputusan Menteri Kelautan
dan Perikanan Nomor 52 Tahun 2013 Tentang Persyaratan Jaminan Mutu dan
Keamanan Hasil Perikanan pada Proses Produksi, Pengolahan dan Distribusi.
Jakarta (ID): KKP.
[KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2014. Inspeksi Cara Penanganan Ikan
yang Baik (CPIB) Berdasarkan Konsepsi HACCP pada Unit
Pengumpul/Supplier. Jakarta(ID): KKP
Kusumah AP, Novita Y, Soeboer DA. 2015. Performa Pelelehan Es pada Bentuk
Es yang Berbeda. Marine Fisheries. 6(1): 97-108
Litaay C, Wisudo SH, Haluan J, Harianto B. 2017. Pengaruh Perbedaan Metode
Pendinginan dan Waktu Penyimpanan Terhadap Mutu Organoleptik Ikan
Cakalang Segar. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis. 9(2):717-726.
Lestari N, Yuwana, Efendi Z. 2015. Identifikasi Kesegaran dan Kerusakan Fisik
Ikan di Pasar Minggu Kota Bengkulu. Jurnal Agroindustri. 5(1): 44-56.
Lubis E, Wiyono ES, Nirmalanti M. 2010. Penanganan Selama Transportasi
Terhadap Hasil Tangkapan Didaratkan di Pelabuhan Perikanan Nusantara
Nizam Zachman: Aspek Biologi dan Teknis. Jurnal Mangrove dan Pesisir.
10(1):1-7.
Maulana H, Afrianto E, Rustikawati I. 2012. Analisis Bahaya Penanganan dan
Penentuan Titik Kritis pada Penanganan Tuna Segar Utuh di PT Bali Ocean
Anugrah Linger Indonesia Benoa. Journal Perikanan dan Kelautan.3(4):1-5.
Nugroho P. 2002. Pengaruh Perbedaan Mata Ukuran Pancing Terhadap Hasil
Tangkapan Pancing Tonda di Perairan Palabuhanratu, Sukabumi Jawa Barat
[skripsi]. Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor.
Nurani TW, Wisudo SH, Imron M. 2012. Implementasi Manajemen Mutu pada
Industri Penangkapan Ikan. Jurnal Perikanan dan Kelautan. 3(2):103-113.
Nurani TW, Astarini JE, Nareswari M. 2011. Sistem Penyedian dan Pengendalian
Kualitas Produk Ikan Segar Hypermarket. Journal Pengolahan Hasil
Perikanan. 14(1): 56-62.
Nurani TW. 2011. Manajemen Mutu dalam Industri Perikanan. di dalam: Nurani
Tw, Simbolon D, Solihin A,Yuniarta S, Editor. Buku I New Paradigm In
Marine Fisheries: Pemanfaatan dan Pengeloloan Sumberdaya Laut

148 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
Berkelanjutan. 2011 Jun 28; Bogor, Indonesia Bogor (ID). Departemen
Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. hlm 223-224.
Nurani TW, Murdanil RPS, Harahap MH. 2013. Upaya Penanganan Mutu Ikan
Tuna Segar Hasil Tangkapan Kapal Tuna Longline untuk Tujuan Ekspor.
Marine Fisheries. 4(2): 153-162.
Nurani TW, Wisudo SH. 2007. Bisnis Perikanan Tuna Longline. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor
[PPNP] Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu. 2018. Statistik Perikanan
Pelabuhan Nusantara Palabuhanratu tahun 2014-2018. PPN Palabuhanratu.
Putra AP. 2015. Penerapan Teknik Produksi Bersih pada Usaha Perikanan Tuna
(Studi Kasus Kapal Longline Di PPS Cilacap) [skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Wahyuningrum PI, Nurani TW, Rahmi TA. 2012. Usaha Perikanan Tangkap Multi
Purpose di Sadeng, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Maspari Journal. 4(1): 10-22
Rangkuti F. 2006. Teknik Membedah Kasus Bisnis, Analisis SWOT. Jakarta(ID): PT
Gramedia Pustaka Utama.
Rumbewas F, Andaki JA, Dien CR. 2015. Karakteristik Buruh Wanita Pengangkut
Ikan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Tumumpa Kota Manado. Jurnal Ilmiah
Agrobisnis Perikanan. 3(5): 249-258
Sidik F. 2013. Mutu dan Perdagangan Ikan Tuna Hasil Tangkapan Longline yang
didaratkan di PPS Nizam Zachman Jakarta [skripsi]. Bogor(ID): Institut
Pertanian Bogor.
Suryaningrum TD, Ikasari D, Octavini H. 2017. Evaluasi Mutu Tuna Loin Segar
untuk Sashimi yang Diolah Diatas Perahu Selama Penanganan dan
Distribusinya di Ambon. JPB Kelautan dan Perikanan. 12(2):165-178
Sjarif B, Suwardiyono, Gautama S D. 2012. Penangkapan dan Penangan Ikan Tuna
Segar di Kapal Rawai Tuna. Asikin Z, Editor. Jakarta(ID): Balai Besar
Pengembangan Penangkapan Ikan.
Sugiyono. 2018. Metode Penelitian Kombinasi. Bandung (ID): ALFHABETA
Suhubawa latif. 2016. Teknik Penanganan Hasil Perikanan. Yogyakarta(ID):
UGM Press.
Yusuf R, Arthatiani FY, Putri HM. 2017. Peluang Pasar Ekspor Indonesia: Suatu
Pendekatan Analisis Bayesian. Jurnal Kebijakan dan Sosek. 7(1): 39-50.
Yusra M, Hamzah A, Syahnur S. 2014. Analisis Permintaan Tuna Sirip Kuning
(Yellowfin) Indonesia di Pasar Jepang. Jurnal Ilmu Ekonomi. 2(2):72-81.

Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 149
PELUANG USAHA PENYEWAAN COLD STORAGE IKAN DI
PELABUHAN PERIKANAN MUARA ANGKE (STUDI KASUS PT
LAUTAN MUTIARA JAYA)

Business Opportunities for Leasing Fish Cold Storage in Muara Angke Fishing
Port (Case Study in PT Lautan Mutiara Jaya)
Oleh:
Nurani Khoerunnisa1, Julia Eka Astarini2, Wawan Oktariza2
1,2
Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan Institut Pertanian Bogor
Email: khoerunnisa.nurani@yahoo.co.id, julia_ea@yahoo.com,
wawanoktariza11@gmail.com

ABSTRACT

Increasing fish production makes fisheries entrepreneurs need efforts to keep


the product quality stay on standard with the provision of cold storage. PT Lautan
Mutiara Jaya is one of the fish cold storage companies in Muara Angke Fishing
Port managed by the port to support fisheries activities at port. The port
management is trying to increase the cold storage capacity due to the high demand
for fish so that the PT Lautan Mutiara Jaya can be used as an example for other
cold storage development. This study aims to determine the capacity, utilization,
species composition and the size of fish stored in cold storage, and to analyze the
feasibility of cold storage business that holds in PT Lautan Mutiara Jaya in Muara
Angke Fishing Port. Case study method was applied in this research through
qualitative analysis to determine the capacity, utility, species composition and the
size of fish that stored in cold storage and quantitative analysis to determine the
business value of cold storage. The result shows that the total capacity of cold
storage of PT Lautan Mutiara Jaya was 900 tons with only 750 tons or 83% of the
total available capacity been utilized. Types of fish stored in cold storage were
squid, shrimp, kite, and mackerel. Based on Net Present Value calculations
(6.021.942.437), Net Benefit and Cost Ratio (4,64), internal rate of return (53%)

150 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
and payback periods (2,54) obtained, the calculation results have met the feasibility
criteria based on the investment criteria. Thus, cold storage business PT Lautan
Mutiara Jaya feasible to be implemented.
Keywords: Business analysis, cold storage, Muara Angke Fishing Port

ABSTRAK

Produksi ikan yang semakin meningkat membuat pengusaha perikanan perlu


melakukan upaya agar mutu produknya tetap baik dengan pengadaan tempat
penyimpanan ikan (cold storage). PT Lautan Mutiara Jaya merupakan salah satu
perusahaan cold storage ikan di PPN Muara Angke Jakarta yang dikelola oleh pihak
pelabuhan untuk menunjang kegiatan perikanan di pelabuhan. Pengelola pelabuhan
berupaya menambah kapasitas cold storage karena banyaknya permintaan ikan
sehingga PT Lautan Mutiara Jaya dapat dijadikan contoh untuk pembangunan cold
storage lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kapasitas, utilitas,
komposisi jenis dan besaran ikan yang disimpan di cold storage, serta menganalisis
kelayakan usaha cold storage PT Lautan Mutiara Jaya di Pelabuhan Perikanan
Nusantara Muara Angke. Studi kasus pada perusahaan dilakukan dengan metode
kualitiatif yang akan mendeskripsikan kapasitas, utilitas, serta jenis dan besaran
ikan yang disimpan di cold storage. Perhitungan nilai usaha cold storage akan
dilakukan dengan analisis kuantitatif sesuai dengan kriteria investasi. Berdasarkan
hasil penelitian, total kapasitas cold storage PT Lautan Mutiara Jaya sebesar 900
ton. Utilitas cold storage PT Lautan Mutiara Jaya yaitu 750 ton atau 83% dari total
kapasitas yang tersedia. Jenis ikan yang disimpan dalam cold storage yaitu cumi-
cumi, udang, layang dan tenggiri. Berdasarkan perhitungan Net Present Value
(6.021.942.437), Net Benefit and Cost Ratio (4,64), internal rate of return (53%)
dan payback period (2,54) yang diperoleh, perusahaan telah memenuhi ukuran
kelayakan berdasarkan kriteria investasi. Dengan demikian, usaha cold storage PT
Lautan Mutiara Jaya layak untuk dilaksanakan.

Kata kunci: Analisis usaha, cold storage, investasi, Pelabuhan Perikanan


Nusantara Muara Angke
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 151
PENDAHULUAN
Usaha perikanan tangkap di Indonesia yang semakin berkembang
berpengaruh terhadap peningkatan produksi perikanan. Produksi ikan nasional pada
tahun 2013 sebanyak 6,1 juta ton, meningkat di tahun 2014 menjadi 6,4 juta ton,
kemudian naik lagi pada tahun 2015 menjadi 6,6 juta ton, lalu di tahun 2016
menjadi 6,83 juta ton, sampai pada tahun 2017 sebanyak 7,7 juta ton (Nurhayat et
al. 2018). Produksi ikan yang semakin meningkat membuat pengusaha perikanan
perlu melakukan upaya agar mutu produknya tetap baik. Salah satu cara
mempertahankan mutu ikan yaitu dengan pengadaan tempat penyimpanan ikan
(cold storage). Cold storage diharapkan dapat meningkatkan nilai jual hasil
tangkapan nelayan dan pedagang (Juanda, Martunis 2014).
Cold storage merupakan suatu alat penyimpan bahan baku ikan yang segar
sehingga dapat digunakan waktu dibutuhkan (Darmadi dan Sulistyowati 2015).
Cold storage dalam pelabuhan perikanan merupakan fasilitas fungsional untuk
meningkatkan nilai guna sehingga dapat menunjang aktivitas di pelabuhan. Cold
storage berfungsi sebagai tempat penyimpanan sementara produk-produk
perikanan yang tidak langsung dipasarkan karena berbagai alasan, diantaranya
menunggu harga yang baik, kelebihan produksi, atau tempat transit (Lubis 2012).
Ruangan dalam cold storage mempunyai temperatur sekitar -30, -45 sampai -60 oC,
sehingga ikan menjadi beku.
Salah satu pelabuhan perikanan yang didalamnya terdapat sarana cold storage
yaitu Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Muara Angke. Produksi ikan di PPN
Muara Angke berasal dari aktivitas bongkar muat kapal ikan, tempat pelelangan
ikan (TPI) dan pasar ikan yang tersedia. Pada kurun waktu lima tahun terakhir,
produksi ikan di PPN Muara Angke mencapai 269.364,141 ton (UPT PPN Muara
Angke 2017). Banyaknya permintaan ikan di PPN Muara Angke membuat pihak
pengelola pelabuhan menambah kapasitas gudang berpendingin (cold storage).
Pada tahun 2015, kapasitas cold storage di PPN Muara Angke sebesar 6000 ton
(Laoli 2015). Pada 2017, kapasitas cold storage di PPN Muara Angke bertambah

152 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
hingga menjadi 7.360 ton. Pemilik cold storage terdiri dari berbagai badan usaha
yaitu UD, CV, dan PT dengan jumlah 26 perusahaan (UPT PPN Muara Angke
2017). Pembangunan cold storage tersebut terus bertambah agar dapat menyerap
ikan lokal dalam jumlah banyak.
Salah satu perusahaan cold storage di PPN Muara Angke yaitu PT. Lautan
Mutiara Jaya. Perusahaan ini merupakan milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta,
satu-satunya perusahaan cold storage pemerintah yang dibangun di kawasan PPN
Muara Angke di antara 25 perusahaan cold storage lainnya yang merupakan milik
swasta. Cold storage tersebut dapat memuat 900 ton ikan. Berdasarkan laporan
UPT Muara Angke tahun 2017, volume ikan yang disimpan di cold storage PT
Lautan Mutiara Jaya rata-rata 600 ton per minggu dari total rata-rata volume
keseluruhan cold storage yang ada di Muara Angke yaitu sebanyak 4.380 ton ikan
per minggu atau sekitar 16%.
Permintaan ikan yang tinggi di Pelabuhan Perikanan Nusantara Muara Angke
Jakarta dari berbagai daerah perlu memperhitungkan kapasitas tempat
penyimpanan ikan (cold storage) untuk menjaga mutunya. Pada tahun 2016,
penjualan dari pasar ikan mencapai 56.997,390 ton selanjutnya meningkat hingga
57.701,284 ton di tahun 2017. Ikan yang belum laku terjual perlu disimpan
beberapa waktu untuk menjaga mutunya. Maka kapasitas cold storage terus
meningkat seiring bertambahnya permintaan ikan dari tahun ke tahun. Oleh karena
hal tersebut, tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui secara terperinci
mengenai kondisi kapasitas, utilitas, komposisi jenis dan besaran ikan yang
disimpan dalam cold storage dan kelayakan, serta peluang usaha cold storage
dengan contoh kasus di PT Lautan Mutiara Jaya PPN Muara Angke Jakarta.

METODE
Penelitian dilakukan pada bulan Maret hingga April 2018 dengan metode
studi kasus. Pengumpulan data difokuskan untuk mengetahui kapasitas, utilitas,
komposisi jenis dan besaran ikan yang disimpan di cold storage serta kelayakan
dan peluang usaha cold storage di PPN Muara Angke Jakarta. Data yang digunakan

Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 153
diperoleh dari perusahaan cold storage dan Unit Pelaksana Teknis PPN Muara
Angke, berupa laporan perusahaan dan hasil wawancara. Adapun responden yang
diwawancarai berjumlah 8 orang, yaitu 2 orang pegawai Unit Pelaksana Teknis
(UPT), 1 orang pemimpin perusahaan, 3 orang karyawan perusahaan bagian
produksi, 1 orang kepala mekanik perusahaan, dan 1 orang karyawan perusahaan
bagian keuangan. Penentuan responden tersebut berdasarkan pengetahuan
mengenai kondisi cold storage di PPN Muara Angke dan PT Lautan Mutiara Jaya.
Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis kualitatif dan analisis
kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan secara deskriptif untuk mengetahui
kapasitas, utilitas, serta komposisi jenis dan besaran ikan yang disimpan di cold
storage. Analisis kuantitatif dilakukan dengan analisis kelayakan usaha untuk
menghitung kelayakan usaha cold storage.
1. Keuntungan
Keuntungan adalah besarnya penerimaan setelah dikurangi dengan biaya
yang dikeluarkan untuk proses produksi baik tetap maupun tidak tetap. Rumus
untuk menghitung keuntungan menurut Primyastanto (2011) sebagai berikut.
π = TR - TC

Keterangan:
𝜋 : keuntungan (Rp/tahun)
TR : Total revenue (pendapatan total)
TC : Total cost (biaya total)
Kriteria:
 Jika total penerimaan > total biaya, maka usaha dikatakan untung dan
layak untuk dilanjutkan.
 Jika total penerimaan = total biaya, maka usaha dikatakan tidak untung dan
tidak rugi (impas).
 Jika total penerimaan < total biaya, maka usaha dikatakan rugi dan tidak
layak untuk dilanjutkan.

154 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
2. Net Present Value (NPV)
Net Present Value (NPV) yaitu selisih antara manfaat (benefit) dengan biaya
(cost) yang telah dijadikan nilai sekarang (Kadariah 1999). Rumus NPV sebagai
berikut:
n
Bt-Ct
𝑁𝑃𝑉 = ∑
(1+i)t
t=0

Keterangan:
Bt= manfaat yang diperoleh tiap tahun
Ct= biaya yang dikeluarkan tiap tahun
n= jumlah tahun
i= tingkat suku bunga
t= tahun

Kriteria:
 NPV > 0, artinya suatu proyek sudah dinyatakan menguntungkan dan dapat
dilaksanakan.
 NPV < 0, artinya proyek tersebut tidak menghasilkan nilai biaya yang
dipergunakan. Dengan kata lain, proyek tersebut merugikan dan sebaiknya
tidak dilaksanakan.
 NPV = 0, artinya proyek tersebut mampu mengembalikan persis sebesar
modal sosial Opportunities Cost faktor produksi normal. Dengan kata lain,
proyek tersebut tidak untung dan tidak rugi
3. Net Benefit and Cost Ratio (Net B/C)
Net benefit and cost ratio (Net B/C) merupakan angka perbandingan antara
jumlah nilai sekarang yang bernilai positif dengan jumlah nilai sekarang yang
bernilai negatif. Rumus Net B/C sebagai berikut (Kadariah et al. 1999):

(Bt -Ct > 0)


Dimana (Bt -Ct < 0)

Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 155
Kriteria:

 Net B/C > 1, maka NPV > 0, proyek menguntungkan


 Net B/C < 1, maka NPV > 0, proyek merugikan
 Net B/C > 1, maka NPV > 0, proyek tidak untung dan tidak rugi
4. Internal Rate of Return (IRR)
Gittinger (1986) menyebutkan bahwa Internal Rate of Return (IRR) adalah
tingkat rata-rata keuntungan interen tahunan bagi perusahaan yang melakukan
investasi dan dinyatakan dalam satuan persen. Tingkat IRR mencerminkan tingkat
suku bunga maksimal yang dapat dibayar oleh proyek untuk sumberdaya yang
digunakan. Suatu investasi dianggap layak apabila nilai IRR lebih besar dari tingkat
suku bunga yang berlakudan sebaliknya jika nilai IRR lebih kecil dari tingkat suku
bunga yang berlaku, maka proyek tidak layak untuk dilaksanakan. Rumus untuk
menghitung IRR (Kadariah et al. 1999):
NPV
IRR= i + ( (NPV-NPV') x (i’-i))

Keterangan:
i : discount rate yang menghasilkan NPV positif
i’ : discount rate yang menghasilkan NPV negatif
NPV : NPV yang bernilai positif
NPV’ : NPV yang bernilai negatif
5. Payback Period (PP)
Payback Period (PP) atau tingkat pengembalian investasi menunjukkan
jangka waktu pengembalian modal. Semakin cepat modal itu dapat kembali,
semakin baik suatu proyek untuk diusahakan karena modal yang kembali dapat
dipakai untuk membiayai kegiatan lain (Husnan dan Suwarsono 2000). Rumus
untuk payback period (Brigham dan Houston 2011):
(a-b)
PP = n + (c-b) x 1 tahun

156 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
Keterangan:
n : tahun terakhir dimana jumlah arus kas masih belum menutup investasi
mula-mula
a : jumlah investasi mula-mula
b : jumlah arus kas pada tahun ke-n
c : jumlah kumulatif arus kas pada tahun ke-n + 1
6. Break Even Point (BEP)
Break Even Point atau titik impas merupakan keadaan suatu usaha berada
pada posisi tidak memperoleh keuntungan dan tidak mengalami kerugian. Analisis
BEP merupakan profit planning approach yang mendasarkan pada hubungan antara
biaya dan penghasilan penjualan (Primyastanto 2011). Cara perhitungan BEP
sebagai berikut:
FC
BEP penjualan = 1- vc
S

FC
BEP unit = p-v

Keterangan:
FC : biaya tetap
VC : biaya variabel
S : jumlah penerimaan
p : harga per unit
v : biaya variabel per unit

HASIL DAN PEMBAHASAN


1) Kapasitas Cold Storage PT Lautan Mutiara Jaya
PT LMJ memiliki tiga ruang penyimpanan (cold storage) dengan luas 675 m2
dan dua ruang pembekuan atau Air Blast Freezer (ABF) dengan luas 450 m2.
Ruangan cold storage tersebut diberi nama CS1, CS2 dan CS3. Luas masing-
masing ruangannya yaitu CS1 seluas 15 m x 20 m, CS2 seluas 15 m x 20 m, dan
CS3 dengan luas 15 m x 15 m. Ruang ABF diberi nama ABF1 dan ABF2 dengan

Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 157
ukuran 15 m x 30 m. Total kapasitas ketiga cold storage adalah 900 ton, dapat diihat
pada tabel 1 berikut.
Tabel 1 Kapasitas ruangan cold storage

Ruangan Kapasitas (Ton)


CS1 400
CS2 200
CS3 300
Total 900

Ruang pembekuan yang disewakan berupa ABF1 dengan kapasitas 2,5 ton
dan ABF2 sebesar 3,5 ton. Perusahaan menyewakan alat pembeku jenis lain kepada
pelanggan berupa mesin contact plat freezer (CPF) dengan kapasitas 1,1 ton.

2) Utilitas Cold Storage PT Lautan Mutiara Jaya


Utilitas menunjukkan pemanfaatan ruang yang digunakan dari total kapasitas
yang tersedia. Tiga ruang cold storage selalu terisi oleh ikan setiap harinya.
Walaupun demikian, ruangan dengan kapasitas 900 ton tidak dapat terisi ikan
seluruhnya. Pada penggunaannya, hanya 750 ton volume ruangan yang dapat terisi.
Hal tersebut disebabkan oleh penggunaan media lain untuk mengemas ikan yang
dapat mengurangi volume isi ruangan, seperti lapisan karung dan box styrofoam.
Oleh karena itu, ruangan cold storage yang digunakan hanya 83% dari total
kapasitasnya.
Ruang cold storage telah dimanfaatkan berdasarkan kapasitas yang tersedia.
Berdasarkan penelitian Faruza et al. (2015), tingkat pemanfaatan cold storage dapat
dihitung berdasarkan perbandingan antara kapasitas yang terpakai dengan kapasitas
yang tersedia. Hasil dari perbandingan tersebut dijadikan bentuk persen sehingga
dapat diketahui berapa persen pemanfaatannya. Pemanfaatan ruang di PT Lautan
Mutiara Jaya sebesar 83% telah dimanfaatkan dengan baik sesuai peruntukkannya.

158 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
Tabel 2 Perhitungan persentase utilitas cold storage

Ruangan Kapasitas Utilitas Persentase


CS1 400 350 87.5%
CS2 200 150 75%
CS3 300 250 83%
Total 900 750 83%
Persentase = (Utilitas/Kapasitas) x 100%
Ruang pembekuan (ABF) dapat digunakan sesuai dengan kapasitasnya, yaitu
2,5 ton untuk ABF1 dan 3,5 ton untuk ABF2. Ikan hanya dibungkus dengan satu
lapis karung sehingga tidak mengurangi volume ruangan secara signifikan (Gambar
1). Mesin CPF dapat digunakan untuk 1 ton ikan karena mesin ini berupa
lempengan yang hanya dapat memuat ikan dalam jumlah sedikit.

Gambar 1 Ruang pembekuan ikan (ABF)

3) Komposisi Jenis dan Besaran Ikan di Cold Storage PT Lautan


Mutiara Jaya
Ikan yang disimpan dalam cold storage berasal dari kapal nelayan ataupun
perusahaan perikanan di Muara Angke. Kapal di Muara Angke biasanya beroperasi
setiap 3 bulan untuk 1 kali trip. Kapal melakukan kegiatan penangkapan dengan
memerhatikan kondisi cuaca, ombak, dan angin. Berdasarkan kondisi tersebut,
banyaknya ikan yang disimpan dalam cold storage dipengaruhi oleh musim
penangkapan dan hasil tangkapan nelayan selama kurun waktu tersebut. Nelayan
dan perusahaan biasanya menyimpan ikan mereka selama dua hari sampai tiga
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 159
bulan. Ikan yang telah disimpan dapat diambil kembali oleh pemilik dan
didistribusikan sesuai dengan kebutuhan pemilik. Alur penyimpanan dan
pengambilan ikan dalam cold storage disajikan dalam gambar 3 berikut.

Truk Ruang material Ruang proses


Kapal (sortir ikan)
Pendingin penerimaan ikan

Masuk ke dalam Ruang


cold storage pengepakan ikan

Gambar 2a Alur penyimpanan ikan di cold storage

Ikan di dalam cold


Pemilik ikan Pembeli
storage

Gambar 2b Alur pengambilan ikan dari cold storage

Ikan hasil tangkapan yang telah dibongkar dari kapal ikan akan disimpan
dalam cold storage dalam beberapa waktu. Tujuan ikan disimpan yaitu untuk
mempertahankan mutu dan menjaga stok ikan. Ketika hasil tangkapan banyak
(musim ikan), maka ikan disimpan agar saat hasil tangkapan sedikit (musim
paceklik) ikan tetap tersedia. Hasil tangkapan dari bongkar muat kapal selanjutnya
diantarkan ke cold storage dengan truk pendingin. Ikan yang akan masuk ke tempat
penyimpanan diterima dahulu di ruang material penerimaan ikan untuk dibersihkan,
selanjutnya ikan disortir berdasarkan jenis dan ukuran di ruang proses. Ikan yang
telah disortir akan ditimbang dan dikemas dalam karung, kardus atau box styrofoam
di ruang pengepakan. Jika ikan sudah dikemas dengan rapi, selanjutnya dimasukkan
ke dalam cold storage, disimpan berdasarkan jenisnya, serta diberi label untuk
mempermudah pengambilan ikan.
Ikan yang disimpan dalam cold storage dan ABF bermacam-macam jenisnya
seperti kakap, cucut, udang, layang, dan tenggiri namun komoditas ikan terbanyak
yang disimpan adalah cumi-cumi. Ikan-ikan tersebut dikelompokkan ukurannya
berdasarkan permintaan pasar. Ikan kakap dan cucut biasanya hanya dibekukan
160 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
dalam ABF dan dalam sehari diambil kembali oleh pemiliknya. Ikan yang disimpan
dalam cold storage disajikan dalam Gambar 3.

Cumi-cumi Udang

Layang Tenggiri
Gambar 3 Jenis ikan yang disimpan dalam cold storage
Cold storage dapat menampung ikan hingga 120 ton dalam satu hari. Berikut
gambaran rata-rata penyimpanan ikan dalam satu hari (Tabel 3).
Tabel 3 Jenis, ukuran, volume rata-rata dan persentase ikan per hari yang disimpan
dalam cold storage
Volume rata-rata
Jenis ikan Nama dagang Ukuran (kg) /hari Persentase

cumi-cumi cumi cendol 8-10 cm 80.000 67%


cumi kasar 10-12 cm
cumi susun 5 12-14 cm
cumi susun 4 15-16 cm
cumi susun 3 16-20 cm
cumi susun 2 21-30 cm
cumi besar >31 cm

Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 161
udang udang king 13-17 cm 40 0,034%
udang jumbo 18-21 cm
layang 8-10 kg/ekor 19.000 16%
10-12 kg/ekor
12-15 kg/ekor
tenggiri 1-2 kg/ekor 20.000 17%
3-5 kg/ekor
5-7 kg/ekor
Total 119.040
Sumber: Hasil dari wawancara dengan karyawan bagian produksi perusahaan
(data diolah)

Berdasarkan tabel tersebut, dapat dilihat bahwa cumi-cumi merupakan


komoditas terbanyak yang disimpan dalam cold storage yaitu sebanyak 80 ton/hari
atau sebesar 67%. Cumi-cumi merupakan komoditas utama di PPN Muara Angke
Jakarta dengan produksi rata-rata per bulan sebanyak 2.250,708 ton (UPT PPN
Muara Angke 2017). Ikan lainnya yaitu tenggiri, layang dan udang disimpan dalam
cold storage dengan besaran 20 ton, 19 ton, dan 40 kg per hari.

4) Analisis Kelayakan Usaha

Penerimaan
Penerimaan PT LMJ diperoleh dari jasa sewa penyimpanan, jasa sewa
pembekuan, dan jasa pengepakan ikan. Penerimaan perusahaan dihitung dengan
mengalikan jumlah produksi dengan harga setiap kilogram ikan selama umur usaha.
Produksi ikan tergantung pada musim penangkapan ikan. Hasil tangkapan pada saat
musim ikan (musim timur) akan lebih banyak dibandingkan pada musim paceklik
(musim barat) (Yustiarani 2008). Saat ikan berlimpah maka penerimaan tinggi,
sebaliknya jika ikan sedikit maka penerimaan rendah. Penerimaan perusahaan dari
ikan yang disimpan dalam satu tahun disajikan dalam Tabel 4 berikut.

162 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
Tabel 4 Penerimaan PT LMJ dalam satu tahun
Cold storage ABF
Bulan Penerimaan Penerimaan
Jumlah (kg) (Rp) Jumlah (kg) (Rp)
Januari 447.455 313.218.500 - -
Februari 413.278 289.294.600 - -
Maret 445.502 311.851.400 4.665 6.997.500
April 554.646 388.252.200 8.242 12.363.000
Mei 498.900 349.230.000 4.100 6.150.000
Juni 703.137 492.195.900 3.658 5.487.000
Juli 483.100 338.170.000 - -
Agustus 363.200 254.240.000 - -
September 970.200 679.140.000 40.052 60.078.000
Oktober 1.227.000 858.900.000 28.802 43.203.000
Nopember 1.417.200 992.040.000 36.180 54.270.000
Desember 1.405.000 983.500.000 35.550 53.325.000
Jumlah 8.928.618 6.250.032.600 161.249 241.873.500
Total penerimaan cold storage dan ABF 6.491.906.100
Keterangan : Penerimaan cold storage = jumlah x harga (Rp 25) x hari (28)
Penerimaan ABF = jumlah x harga (Rp 1.500) x hari (1)
Harga sewa dihitung berdasarkan jumlah ikan per kilogram per lama
penyimpanan. Harga sewa penyimpanan ikan dalam cold storage adalah Rp 25,-
per kg/hari, untuk pembekuan ikan dalam ABF per kg/penyimpanan sebesar
Rp1.500,-. Jumlah penerimaan dari jasa sewa penyimpanan dalam cold storage
diasumsikan dengan jumlah hari kerja yaitu 28 hari per bulan sehingga diperoleh
Rp 6.250.032.600,- dalam satu tahun. Penerimaan dari jasa pembekuan dalam ABF
yaitu Rp 241.873.500,- dalam satu tahun dengan perhitungan sewa per hari. Total
penerimaan PT LMJ dalam setahun sebesar Rp 6.491.906.100,-.

Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 163
Biaya Investasi
Biaya investasi yaitu biaya yang dikeluarkan saat usaha mulai dilakukan pada
tahun pertama. Biaya investasi perusahaan disesuaikan dengan kebutuhan
penyewaan tempat penyimpanan ikan dan pembekuan ikan meliputi mesin,
bangunan serta peralatan. Investasi terdiri dari aset berupa bangunan, mesin cold
storage dan air blast freezer (ABF), mesin contact plat freezer (CPF), forklift, meja
besi, timbangan dan trolley. Total biaya investasi perusahaan sebesar Rp
8.209.200.000,- (Tabel 5).
Tabel 5 Biaya investasi
No Uraian Unit Satuan Harga (Rp) Jumlah (Rp)
1. Mesin
Cold storage 3 Unit 800.000.000 2.400.000.000
Air blast freezer 2 Unit 500.000.000 1.000.000.000
(ABF)
Contact plat freezer 1 Unit 60.000.000 60.000.000
(CPF)
2. Gedung pembekuan 450 m2 3.000.000 1.350.000.000
3. Gedung penyimpanan 675 m2 3.000.000 2.025.000.000
4. Gedung kantor 7,5 m2 3.000.000 22.500.000
5. Gedung operator 142,5 m2 3.000.000 427.500.000
6. Gedung pengepakan 300 m2 3.000.000 900.000.000
7. Forklift 1 unit 15.000.000 15.000.000
8. Meja besi 3 unit 900.000 2.700.000
9. Timbangan manual 1 unit 2.000.000 2.000.000
kap 100 kg
10. Timbangan digital kap 1 unit 1.500.000 1.500.000
30 kg
11. Trolley 3 unit 3.000.000 3.000.000
Total investasi 8.209.200.000

Biaya Operasional
Biaya operasional yang dikeluarkan PT LMJ meliputi biaya tetap dan biaya
variabel. Biaya tetap merupakan biaya yang dikeluarkan dalam proses produksi
yang penggunaannya tidak dipengaruhi oleh jumlah produksi (Primyastanto 2011).
Total biaya tetap yang dikeluarkan sebesar Rp 774.728.000,- (Tabel 6).

164 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
Tabel 6 Biaya tetap
No Uraian Unit Satuan Harga (Rp)
1. Biaya Penyusutan mesin
Cold storage 1 tahun 216.000.000
Air blast freezer (ABF) 1 tahun 90.000.000
Contact plat freezer (CPF) 1 tahun 5.400.000
2. Biaya penyusutan gedung
Gedung pembekuan 1 121.500.000
Gedung penyimpanan 1 182.250.000
Gedung kantor 1 2.025.000
Gedung operator 38.475.000
Gedung pengepakan 81.000.000
3. Biaya penyusutan peralatan
Forklift 1 tahun 1.350.000
Meja besi 1 tahun 243.000
Timbangan manual kap 100 kg 1 tahun 180.000
Timbangan digital kap 30 kg 1 tahun 135.000
Trolley 1 tahun 270.000
4. Biaya Pemeliharaan
Mesin (oli) 1 tahun 18.900.000
Overhaul 1 tahun 12.000.000
5. Biaya pemeliharaan gedung 1 tahun 5.000.000
Total biaya tetap 774.728.000

Biaya variabel merupakan biaya yang besar kecilnya berhubungan langsung


dengan jumlah produksi (Primyastanto 2011), biayanya dapat berubah-ubah
tergantung dari perubahan jumlah produksi yang dihasilkan. Biaya variabel terdiri
dari upah tenaga kerja, listrik, bahan baku untuk pengepakan tujuan ekspor, biaya
cargo, biaya retribusi dan pajak. Total biaya variabel yang dikeluarkan dalam satu
tahun yaitu sebesar Rp 3.242.002.503,-. Rincian biaya variabel disajikan dalam
Tabel 7.

Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 165
Tabel 7 Biaya variabel
No Uraian Unit Satuan Harga (Rp) Jumlah (Rp)

1 Upah pegawai
1 tahun 1.147.800.000 1.147.800.000
2 Listrik
1 tahun 840.000.000 840.000.000
Bahan baku
3 (pengepakan tujuan
ekspor) 1 tahun 37.836.000 37.836.000
4 Biaya cargo
24.000 kg 16.000 384.000.000
5 Biaya retribusi
1 tahun 370.298.190 370.298.190
6 Pajak
1 tahun 462.068.313 462.068.313
Total biaya variabel 3.242.002.503

Analisis Laba Rugi


Proyeksi laba rugi disusun oleh data-data pendapatan dan biaya. Dalam
analisis laba rugi usaha, pendapatan diperoleh dari penerimaan, sedangkan
komponen biaya disusun oleh biaya tetap dan biaya variabel. Perhitungan laba rugi
usaha dimulai dengan mengurangi seluruh penerimaan dengan total biaya tetap dan
varibel. Hasil perhitungan laba rugi usaha menunjukkan bahwa perusahaan
mendapatkan keuntungan sebesar Rp 2.477.575.597,- dalam setahun.

Analisis Kelayakan Usaha


Pada perhitungan kelayakan usaha, terdapat beberapa asumsi yang digunakan
yaitu:
1. Umur usaha sesuai dengan umur teknis cold storage yaitu 10 tahun.
Penentuan umur teknis cold storage dalam analisis kelayakan usaha
berdasarkan masa pakai teknis dari aset vital yaitu mesin cold storage. Fasilitas
utama ini diperkirakan memiliki masa pakai teknis selama 10 tahun, sehingga
masa analisis yang digunakan juga selama 10 tahun (Syafril 2009).
2. Harga input tetap selama umur usaha.
3. Penerimaan dari jasa sewa penyimpanan, pembekuan ikan, dan jasa
pengepakan tetap selama umur usaha.
166 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
4. Terdapat nilai sisa sebesar 10% dari investasi pada akhir umur usaha.
5. Discount rate 5.3% berdasarkan tingkat suku bunga deposito Bank Rakyat
Indonesia (BRI) per Mei 2018. Hal ini dikarenakan modal perusahaan yang
digunakan berasal dari modal pemilik sendiri.
Penggunaan suku bunga deposito Bank BRI, karena pemilik menabung uang
pada bank tersebut.
Nilai net benefit yang diperoleh tersebut dijadikan dasar perhitungan kelayakan
finansial berdasarkan kriteria investasi yaitu Net Present Value (NPV), Net
Benefit/Cost (Net B/C), Internal Rate of Return (IRR), dan Payback Period (PP).
Hasil analisis kelayakan usaha dapat dilihat dalam Tabel 8.
Tabel 8 Hasil analisis kelayakan PT LMJ

NPV 6.021.942.437
Net B/C 4,64
IRR 53%
PP 2,54
Berdasarkan hasil perhitungan kriteria investasi di atas, PT LMJ
menghasilkan Net Present Value (NPV) yang lebih besar dari nol yaitu sebesar
6.021.942.437. Nilai tersebut menunjukkan bahwa usaha ini layak untuk dijalankan
secara finansial. Nilai Net B/C yang diperoleh dari analisis sebesar 4,64. Hal ini
menunjukkan bahwa penggunaan investasi dalam usaha memenuhi ukuran
kelayakan berdasarkan kriteria Net B/C lebih dari 1, maka usaha menguntungkan.
Nilai Net B/C sebesar 2,54 menunjukkan bahwa setiap biaya sebesar Rp 1,- akan
menghasilkan manfaat bersih sebesar Rp 2,54,-.
Ukuran kriteria investasi lainnya yaitu IRR diperoleh hasil sebesar 53%. Nilai
tersebut menunjukkan bahwa penggunaan investasi pada usaha ini lebih baik
memberikan keuntungan interen sebesar 53% per tahun. Nilai tersebut lebih besar
dari tingkat suku bunga yang digunakan yaitu 53% sehingga dapat dikatakan bahwa
usaha layak untuk dilaksanakan.
Jangka waktu pengembalian investasi dari usaha ditunjukkan dari nilai
payback period yang diperoleh yaitu 2,54 atau 2 tahun 6 bulan 14 hari. Jangka
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 167
waktu tersebut kurang dari umur usaha selama 10 tahun sehingga dapat dikatakan
bahwa usaha baik untuk dijalankan. Menurut Husnan dan Suwarsono (2000),
semakin cepat modal itu dapat kembali, semakin baik suatu proyek untuk
diusahakan karena modal yang kembali dapat dipakai untuk kegiatan lain.
Berdasarkan perhitungan NPV, Net B/C, IRR dan payback period yang diperoleh,
hasil perhitungan telah memenuhi ukuran kelayakan berdasarkan kriteria investasi.
Dengan demikian, usaha cold storage PT Lautan Mutiara Jaya layak untuk
dilaksanakan.

5) Break Even Point (BEP)


Break Even Point (BEP) atau titik impas merupakan keadaan dimana suatu
usaha berada pada posisi tidak memperoleh keuntungan dan tidak mengalami
kerugian (Primyastanto 2011). Hasil perhitungan menunjukkan BEP harga Rp
1.547.002.187 per tahun dan BEP unit sebesar 2.291.400,57 kg. Jadi PT Lautan
Mutiara Jaya dapat menutupi segala biaya yang dikeluarkan pada total nilai
penerimaan sebesar Rp 1.547.002.187,- dan total unit 2.291.400,57 kg.

Rekomendasi Peluang Usaha


Berikut merupakan rekomendasi peluang usaha cold storage yang dapat dilakukan.
STRENGTHS (S) WEAKNESSES (W)
INTERNAL FACTOR 1) Perusahaan milik 1) Hanya melayani jasa
pemerintah (S1) penyewaan bagi pelaku
2) Kapasitas penyimpanan usaha yang sudah dikenal
besar (S2) (W1)
3) Produksi perikanan di 2) Mesin yang terbatas,
PPN Muara Angke hanya 3 cold storage, dan
melimpah (S3) 2 ABF (W2)
3) Jumlah tenaga kerja
terampil kurang memadai
EXTERNAL FACTOR (W3)
OPPORTUNITIES (O) STRATEGI SO STRATEGI WO
1) Lahan yang masih luas 1) Pemerintah daerah dan 1) Promosi kepada pelaku
memungkinkan untuk UPT melakukan analisis usaha lain (W1), (O2)
penambahan kapasitas cold perencanaan terkait 2) Pelatihan dan sertifikasi
storage (O1) penambahan kapasitas kompetensi kepada tenaga
2) Peluang pasar di Muara cold storage atau kerja (W3), (O3)
Angke yang tinggi (O2) membuat perusahaan cold
3) Dukungan dari pemerintah storage baru (S1), (S3),
daerah dan UPT untuk (O1), (O3)
pengembangan cold storage
(O3)
168 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
THREATS (T) STRATEGI ST STRATEGI WT
1) Produksi ikan sedikit saat 1) Pemeriksaan stok ikan 1) Peningkatan hubungan
paceklik, sehingga cold secara teratur dengan baik dan kepercayaan
storage kosong (T1) memperhatikan musim dengan mitra usaha yang
2) Persaingan dengan ikan (S2), (T1) sudah bekerjasama (W1),
perusahaan cold storage 2) Peningkatan mutu dan (T2)
swasta (T2) pelayanan cold storage 2) Peningkatan kualitas
(S1), (T2) tenaga kerja (W3), (T2)
Berdasarkan analisis SWOT (strength, weakness, opportunities, threats) yang
telah dilakukan, terdapat tujuh strategi sebagai peluang usaha cold storage ikan di
PPN Muara Angke Jakarta, yaitu:
1. Pemerintah daerah dan UPT melakukan analisis perencanaan terkait
penambahan kapasitas cold storage atau membuat perusahaan cold storage baru
2. Promosi kepada pelaku usaha lain
3. Pelatihan dan sertifikasi kompetensi kepada tenaga kerja
4. Pemeriksaan stok ikan secara teratur dengan memperhatikan musim ikan
5. Peningkatan mutu dan pelayanan cold storage
6. Peningkatan hubungan baik dan kepercayaan dengan mitra usaha yang sudah
bekerjasama
7. Peningkatan kualitas tenaga kerja
Keberhasilan strategi peluang usaha ini sangat dipengaruhi oleh kesungguhan
instansi terkait serta dukungan masyarakat yang ada di daerah (Putra et al. 2015).
Perusahaan, UPT dan Pemerintah Daerah harus bekerjasama untuk
mengembangkan usaha cold storage di pelabuhan perikanan. Pengembangan usaha
perikanan di kawasan pelabuhan perikanan harus dilakukan secara revolusioner dan
menguntungkan bagi semua pihak (Lubis et al. 2012).

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan sebelumnya,
maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

1. Cold storage PT Lautan Mutiara Jaya di Pelabuhan Perikanan Nusantara


Muara Angke Jakarta memiliki tiga ruang pendingin dengan total kapasitas

Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 169
sebesar 900 ton, dua ruang pembekuan sebesar 6 ton dan satu ruang contact
plat freezer dengan kapasitas 1.1 ton.
2. Utilitas cold storage PT Lautan Mutiara Jaya dari tiga ruang pendingin yaitu
750 ton atau 83% dari total kapasitas yang tersedia.
3. Ikan yang disimpan dalam cold storage PT Lautan Mutiara Jaya yaitu cumi-
cumi (8 - >31 cm), udang ( 13-21 cm), layang (8-15 ekor/kg) dan tenggiri (1-
7 kg/ekor) dengan rata-rata volume ikan per hari sebanyak 120 ton.
4. Berdasarkan perhitungan NPV, Net B/C, IRR dan payback period yang
diperoleh, usaha cold storage memenuhi ukuran kelayakan berdasarkan kriteria
investasi. Perusahaan cold storage layak dikembangkan dengan tujuh
rekomendasi peluang usaha berdasarkan hasil analisis SWOT.

SARAN
1. Perusahaan dapat memperluas kerjasama dengan nelayan ataupun perusahaan
lain untuk kegiatan penyewaan cold storage agar kapasitas ruangan dapat terisi
lebih optimal.
2. Perusahaan dapat menambah tenaga kerja terampil, khususnya pada bagian
produksi agar kegiatan di cold storage seperti pencatatan ikan yang masuk ke
dalam cold storage ataupun kegiatan ekspor dapat berjalan dengan rapi dan
teratur.
3. Perlu dilakukan penelitian serupa dengan pengambilan sampel lebih dari satu
perusahaan dan menambah analisis aspek lainnya seperti aspek pemasaran dan
aspek teknis sehingga hasil yang didapatkan lebih variatif dan dapat dijadikan
perbandingan.

UCAPAN TERIMAKASIH

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Anton dan UPT PPN Muara
Angke yang telah memberi izin penelitian di perusahaan cold storage PT Lautan
Mutiara Jaya.

170 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
DAFTAR PUSTAKA
Brigham EF, Houston JF. 2011. Dasar-dasar Manajemen Keuangan. Edisi 11.
Jakarta (ID): Salemba Empat.

Darmadi D, Sulistyowati W. 2015. Rancang Bangun Mini Cold Storage untuk


Menunjang UKM di Paciran Kabupaten Lamongan. Neptunus Jurnal Kelautan.
20(1): 81-95.

Faruza F, Zain J, Ronald MH. 2015. Efficiency of utilization of facility cold storage
PT Golden Cup Seafood in Ocean Fishing Port of Belawan North Sumatra.
Jurnal Perikanan dan Kelautan 16(1): 1-9.

Gittinger JP. 1986. Analisa Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian. Edisi Kedua.


Slamet Sutomo dan Komet Mangiri. Penerjemah. Jakarta (ID): Universitas
Indonesia.
Husnan S, Suwarsono M. 2000. Studi Kelayakan Proyek. Edisi Keempat.
Yogyakarta (ID): UPP AMP YKPN.

Juanda, Martunis. 2014. Analisa Kelayakan Finansial Pengembangan Cold Storage


Plant di Pelabuhan Perikanan Lampulo Baru Banda Aceh. Jurnal Teknologi dan
Industri Pertanian Indonesia. 6(1): 18-21.

Kadariah. 1999. Evaluasi Proyek Analisis Ekonomi. Jakarta (ID): Fakultas


Ekonomi Universitas Indonesia.

Kadariah, Karlina L, Gray C. 1999. Pengantar Evaluasi Proyek. Jakarta (ID):


Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Laoli N. 2015 Jun 30. Muara Angke tambah kapasitas cold storage ikan.
Kontan.co.id

Lubis E. 2012. Pelabuhan Perikanan. Bogor (ID): IPB Press.

Lubis E, Pane AB, Muninggar R, Hamzah A. 2012. Besaran Kerugian Nelayan


dalam Pemasaran Hasil Tangkapan : Kasus Pelabuhan Perikanan Nusantara
Palabuhanratu. Maspari Journal. 4(2): 159-167.
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 171
Nurhayat W, Toruan E, Saputro W. 2018. Produksi Perikanan Tangkap Indonesia
Terus Naik, Ini Datanya [internet]. [diunduh 2018 Oktober 12]. Tersedia pada:
http://www.kumparan.com/amp/kumparanbisnis/produksi-perikanan-tangkap-
indonesia-terus-naik-ini-datanya-.html.

PPN Muara Angke. 2015. Laporan Tahunan Pelabuhan Perikanan Nusantara Muara
Angke. Jakarta (ID): PPN Muara Angke.

Primyastanto M. 2011. Feasibility Study Usaha Perikanan (Sebagai Aplikasi dari


Teori Studi Kelayakan Usaha Perikanan). Malang (ID): Universitas Brawijaya
Press.

Putra DP, Baskoro MS, Wiyono ES, Wisudo SH. 2015. Peran Stakeholder Dalam
Pengelolaan Perikanan Udang Skala Kecil di Kabupaten Cilacap, Provinsi
Jawa Tengah. Jakarta (ID): Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan
Konservasi Sumberdaya.
Syafril M. 2009. Kelayakan Finansial Pembangunan Cold Storage di Desa Senaken
Kabupaten Paser. Jurnal EPP. 6(1): 1-8.

[UPT PPN Muara Angke] Unit Pelaksana Teknis Pelabuhan Perikanan Nusantara
Muara Angke. 2017. Data Kapasitas Cold Storage Unit Pengelola Pelabuhan
Muara Angke. Jakarta (ID): UPT PPN Muara Angke.

[UPT PPN Muara Angke] Unit Pelaksana Teknis Pelabuhan Perikanan Nusantara
Muara Angke. 2017. Laporan Produksi Perikanan Tahun 2017. Jakarta (ID):
UPT PPN Muara Angke.

Yustiarani A. 2008. Kajian Pendapatan Nelayan dari Usaha Penangkapan Ikan dan
Bagian Retribusi Pelelangan Ikan di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Muara
Angke. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor

172 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
STRATEGI PEMENUHAN STANDAR DAN PERSYARATAN EKSPOR
IKAN TUNA KE PASAR UNI EROPA

Strategy to Meet The Standards and Requirements for Tuna Exports to The EU
Market

Audita Diah Sabrina1*; Tri Wiji Nurani2; Prihatin Ika Wahyuningrum3


1,2,3
Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Indonesia

Email: ditasabrina51@gmail.com, triwiji@hotmail.com, prieha@gmail.com

ABSTRACT
The European Union market is an Indonesia export destination sountry with strict
quality standards for tuna products. This caused many tuna fish products from the
Indonesian fish processing unit to experience rejection. This study aims to measure
the gap in the quality of tuna products exported with EU market standards and
requirements, analyze the cause of rejection and make recomendations on
strategies for meeting the standards and export requirements of Europeans. This
research was conducted at the Nizam Zachman Jakarta Fishing Port, with case
study in PT X. The analytical method used is the scoring method, fish bone and
SWOT analysis. The results of the study showed that the Indonesian eligibility score
was 19 or a moderate level of tension, while the European Union score was 23 or
high. The main cause of the decline in the quality of tuna products in PT X is caused
by human factors, machinery, methods, testing, environment, and material. The
recomendation strategy is to carry out comprehensive monitoring in each proces
flow process up to transport to the destination, the implementation of traceability
in the raw material supply chain, optimization of the application of HACCP and
CPIB, and laboratory testing with the right sample.

Keywords: tuna fish product, requirement, standard, European Union

ABSTRAK
Pasar Uni Eropa merupakan negara tujuan ekspor Indonesia dengan standar mutu
produk ikan tuna ketat. Hal tersebut menyebabkan banyak produk ikan tuna dari
unit pengolahan ikan Indonesia mengalami penolakan. Penelitian ini bertujuan
untuk mengukur kesenjangan mutu produk tuna yang diekspor dengan standar dan
persyaratan pasar Uni Eropa, menganalisis penyebab penolakan dan membuat
rekomendasi strategi untuk pemenuhan standar dan persyaratan ekspor ikan tuna ke
Uni Eropa. Penelitian dilakukan di Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam
Zachman Jakarta, dengan studi kasus di PT X. Metode analisis yang digunakan
yaitu metode skoring, analisis fish bone dan analisis SWOT. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kesenjangan persyaratan Indonesia memperoleh skor 19 atau
tingkat keketatan sedang, sementara skore Uni Eropa adalah 23 atau keketatan
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 173
tinggi. Penyebab utama penurunan mutu produk tuna di PT X yaitu disebabkan oleh
faktor manusia, mesin, metode, pengujian, lingkungan dan material. Strategi yang
direkomendasikan adalah pengawasan dilakukan menyeluruh pada setiap alur
proses pengolahan hingga transportasi ke tempat tujuan ekspor, penerapan
traceability pada rantai suplai bahan baku, optimalisasi penerapan HACCP dan
CPIB, serta pengujian laboratorium dengan sampel yang tepat.

Kata kunci: produk ikan tuna, persyaratan, standar, Uni Eropa.

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Produksi ikan Indonesia dalam periode lima tahun terus meningkat,
menjadikan Indonesia menjadi negara pengekspor nomor 12 komoditi ikan dunia
(KKP 2018). Komoditas ekspor utama Indonesia meliputi udang, rumput laut,
cumi-sotong-gurita, tuna dan cakalang-tongkol (Dirjen PDSPKP 2018). Ikan tuna
merupakan salah satu komoditas ikan yang paling banyak diekspor di dunia
(Kementerian Perdagangan 2014). Ekspor ikan tuna Indonesia dari kurun waktu
lima tahun terakhir 2014-2018 terus meningkat, yaitu sekitar 1,70% dalam volume
dan 4,46% dalam nilai per tahun. Volume ekspor meningkat dari 679 ribu ton tahun
2014 menjadi 703 ribu ton tahun 2018. Nilai ekspor meningkat dari US $ 258 ribu
tahun 2014 menjadi US $ 310 ribu (Dirjen PDSPKP 2018). Ikan tuna yang diekspor
Indonesia dalam bentuk tuna segar, tuna beku, tuna loin dan tuna kaleng
(Kementerian Perdagangan 2012). Jenis ikan tuna yang diekspor Indonesia yaitu
skipjack, yellowfin, albacore, bigeye, bluefin tuna (Kementerian Perdagangan
2012). Negara yang menjadi tujuan ekspor ikan tuna Indonesia meliputi Jepang,
Hongkong, Taiwan, Thailand, Singapura, Vietnam, Australia, Amerika Serikat,
Belanda, Belgia, Uni Eropa (KKP 2018).
Uni Eropa merupakan pasar perikanan terbesar di dunia. Permintaan terhadap
produk perikanan Uni Eropa sangat tinggi sehingga menjadi tujuan ekspor yang
potensial bagi Indonesia (Desty 2017). Ekspor ikan tuna Indonesia ke Uni Eropa
78% didominasi produk olahan (Risna et al 2017). Uni Eropa merupakan salah satu
negara tujuan ekspor Indonesia yang memperketat standar ikan yang dibelinya
174 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
(Direktorat Jendral Pemasaran Luar Negeri 2014). Hal tersebut menyebabkan
banyak produk ikan olahan dari unit pengolahan ikan Indonesia yang mengalami
penolakan (Ababouch et al 2005). Indonesia menempati peringkat 21 negara
eksportir perikanan yang produknya paling banyak ditolak oleh Uni Eropa dengan
alasan mutu dan administrasi, adapun jenis ikan ekspor Indonesia yang ditolak
yakni tuna, marlin, swordfish (KKP 2016). Kasus penolakan produk perikanan
Indonesia ke Uni Eropa pada tahun 2012-2016 mencapai 33 kasus per tahun dan
4% diantaranya adalah produk tuna. Alasan utama penolakan produk adalah
higienitas, kontaminasi mikroba, kesalahan pelabelan, bahan tambahan pangan,
logam berat, dan kontrol suhu yang tidak ketat (Arizona 2018).
Menyikapi banyaknya kasus-kasus penolakan produk tuna ekspor Indonesia
oleh Uni Eropa, maka diperlukan suatu kajian terkait dengan kasus-kasus penolakan
ikan tuna dan permasalahannya. Pengkajian diperdalam dengan menambahkan
studi kasus proses ekspor produk ikan tuna dari unit pengolahan ikan yang
mengalami penolakan dari Uni Eropa. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat
bagi pemerintah dan industri pengolahan ikan untuk meningkatkan nilai ekspornya.

Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan prosedur dan persyaratan ekspor ikan tuna ke Uni Eropa.
2. Mengukur kesenjangan kualitas produk tuna yang diekspor dengan standar pasar
Uni Eropa.
3. Mengidentifikasi penyebab penolakan ikan tuna Indonesia di pasar Uni Eropa.
4. Memberikan rekomendasi strategi perusahaan ekspor tuna ke Uni Eropa untuk
memenuhi persyaratan ekspor.

METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada tanggal 27 Februari sampai 27 Maret. Lokasi
penelitian mencakup kegiatan pengambilan data kasus-kasus penolakan, proses

Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 175
ekspor, persyaratan ekspor di Kementerian Kelautan dan Perikanan, pengambilan
data rantai pemasaran ekspor ikan tuna dan pelaku ekspor ikan tuna di PPS Nizam
Zachman Jakarta, studi kasus penolakan ekspor oleh Uni Eropa di PT X,
pengambilan data kekuatan dan kelemahan unit pengolahan ikan di PPS Nizam
Zachman.
Jenis dan Metode Pengambilan Data
Pengumpulan data diperoleh dengan melakukan observasi, wawancara dan
studi literatur. Studi kasus proses ekspor produk ikan tuna dilakukan secara khusus
di Perusahan Pengolahan Ikan X.
Jumlah sampel responden dalam penelitian ini sebanyak 23 responden dengan
rincian 5 responden perusahaan, 2 narasumber dari Dirjen Penguat Daya Saing
Produk Kelautan dan Perikanan, 2 narasumber dari Badan Karantina Ikan,
Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan, 3 narasumber dari pelabuhan
(Unit Pelaksana Teknis, enumerator dan petugas sertifikasi hasil tangkapan ikan),
1 narasumber dari pemilik kapal, 5 narasumber dari supplier, 5 narasumber dari
ASTUIN.
Penentuan sampel responden mengunakan teknik snowball sampling untuk
mendapatkan kelengkapan informasi yang mendalam dengan mencari narasumber
lain dari petunjuk narasumber pertama yang digunakan untuk melengkapi data
(Sugiyono 2008) dan purposive sampling dengan pertimbangan bahwa narasumber
dianggap tahu tentang informasi yang dibutuhkan (Muhajir 1996). Data yang
dibutuhkan pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Metode pengambilan data
Tujuan Jenis data Sumber Pengumpulan Pengolaha Analisis
penelitian data data n data data
5. Mendeskri Rantai PPS Nizam Observasi di Membuat deskripsi
psikan pemasaran Zachman, PPS Nizam alur
prosedur ekspor ikan Penguat Zachman dan pemasaran,
dan tuna Daya Saing wawancara proses
persyarata Proses Produk - Snowball ekspor, dan
n ekspor ekspor ikan Kelautan sampling membuat
ikan tuna terhadap
tuna ke Uni dan tabel
ke Uni pemilik
Eropa Perikanan, persyaratan
Eropa kapal,
Kementeria
176 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
Tujuan Jenis data Sumber Pengumpulan Pengolaha Analisis
penelitian data data n data data
Persyaratan n Kelautan supplier, ekspor ke
ekspor ikan dan narasumber Uni Eropa
tuna ke Uni Perikanan, dari Dirjen
Eropa PT X Penguatam
Prosedur Daya Saing
ekspor unit Produk
Kelautan dan
pengolahan
Perikanan
ikan
Kementerian
Kelautan dan
Perikanan
Mengukur Kasus kasus Badan Studi pustaka Membuat Skoring
kesenjanga penolakan Karantina dan wawancara skoring
n kualitas ekspor ikan Ikan, - Snowball penilaian
produk tuna ke Uni Pengendali sampling terhadap
tuna yang Eropa 5 an Mutu terhadap kedua
diekspor tahun dan narasumber regulasi
dengan terakhir, Keamanan dari Badan terkait
standar Regulasi Hasil Karantina keketatan
Ikan,
pasar Uni Indonesia Perikanan, dalam
Pengendalia
Eropa terkait Kementeria penentuan
n Mutu dan
penentuan n Kelautan Keamanan batas
batas dan Hasil kontaminan
kontamina, Perikanan Perikanan
Regulasi Uni Website
Eropa terkait Rapid Alert
penentuan System for
batas Food and
kontaminan Feed
Mengident Kendala PT X Observasi di PT Pembuatan Fish Bone
ifikasi yang X dan diagram
penyebab dihadapi wawancara tulang ikan
penolakan perusahaan - Purposive terhadap 6
ikan tuna berdasarkan sampling faktor
Indonesia 6 aspek terhadap pengamata
di pasar pengamatan direktur PT n (manusia,
Uni Eropa (manusia, X material,
material, mesin,
mesin, lingkungan,
lingkungan, pengujian,
pengujian, metode)
metode)
Memberik Kekuatan, 5 Wawancara Matriks SWOT
an kelemahan, Perusahaan kuisioner SWOT
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 177
Tujuan Jenis data Sumber Pengumpulan Pengolaha Analisis
penelitian data data n data data
rekomend peluang, yang ada di - Snowball
asi strategi ancaman Nizam sampling
perusahaa industri Zachman terhadap
n ekspor pengolahan Asosiasi pengurus
tuna ke ekspor tuna Tuna ekspor dari 5
Uni Eropa Indonesia Indonesia perusahaan
yang ada di
untuk Kementeria
Nizam
memenuhi n Kelautan
Zachman
persyarata dan
n ekspor Perikanan
Direktorat
Pemasaran

Analisis Data
Analisis data mencakup 4 analisis yaitu deskripsikan prosedur dan
persyaratan ekspor ikan tuna ke Uni Eropa, mengukur kesenjangan kualitas produk
tuna yang diekspor dengan standar pasar Uni Eropa, identifikasi penyebab
penolakan ikan tuna Indonesia di pasar Uni Eropa, rekomendasi strategi perusahaan
ekspor tuna ke Uni Eropa untuk memenuhi persyaratan ekspor.

Deskripsi prosedur dan persyaratan ekspor ikan tuna ke Uni Eropa


Prosedur dan persyaratan ekspor ikan tuna di unit pengolahan ikan PPS
Nizam Zachman dianalisis dengan metode deskriptif. Metode ini digunakan untuk
menggambarkan usaha unit pengolahan ikan tuna di PPS Nizam terkait dengan
rantai pemasaran, pelaku pemasaran, dokumen yang dibutuhkan untuk ekspor ke
Uni Eropa dan prosedur ekspor ke Uni Eropa.

Mengukur kesenjangan kualitas produk tuna yang diekspor dengan standar


pasar Uni Eropa
Analisis yang digunakan untuk mengukur kesenjangan kualitas atau mutu
produk tuna yang diekspor dengan standar pasar Uni Eropa yaitu dengan
menggunakan analisis skoring. Standar batas kontaminan Uni Eropa mengacu pada
EC No.1881/2006 dan standar batas kontaminan Indonesia mengacu pada standar
SNI batas kontaminan perikanan. Penilaian terhadap batas kontaminan diberikan
178 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
skor dengan kategori, yaitu ketat (skor 3), sedang (skor 2), longgar (skor 1) dan
tidak ditentukan (skor 0). Penilaian keketatan penentuan batas kontaminan tersebut
mengacu pada EC/466/2001 yang banyak digunakan sebagai standar penentuan
batas kontaminan diberbagai negara di dunia.
Tabel 2 Penilaian keketatan menurut EC/466/2001
Kontaminan Penilaian
longgar sedang ketat
Salmonella (25gr) > 25gr 25gr negatif <25gr negatif
negatif
CO - Menggunakan Tidak menggunakan CO
CO
Histamine (ppm) >100 ppm 100 ppm < 100 ppm
Mercury (mg/kg) > 1 mg/kg 1 mg/kg < 1 mg/kg
Lead / pb (mg/kg) > 0,2 mg/kg 0,2 mg/kg < 0,2 mg/kg
Cadmium( mg/kg) > 0,05 mg/kg 0,05 mg/kg < 0,05 mg/kg
V.Cholerae >25gr negatif 25gr negatif <25gr negatif
Escherchia coli >1.8 mpn/gr 1.8 mpn/gr <1.8 mpn/gr
(mpn/g)
s. aureus (colony/g) >1 colony/g < 1 colony/gr negatif
Listeria >25gr negatif 25gr negatif <25gr negatif
monocytogenesis
Clostrodium >25gr negatif 25gr negatif <25gr negatif
botulinum
Hasil skor penilaian tingkat keketatan penentuan batas kontaminan pada
produk ikan tuna akan dikategorikan sebagai berikut:
1. Tingkat keketatan tinggi dengan skor 22-33
2. Tingkat keketatan sedang dengan skor 10-21
3. Tingkat keketatan rendah dengan skor 0-9

Analisis identifikasi penyebab penolakan ikan tuna Indonesia di pasar Uni


Eropa
Analisis data yang digunakan yaitu analisis diagram tulang ikan (Fishbone
analysis) yang digunakan untuk mengidentifikasi permasalahan dan menganalisis
sebab-sebab timbulnya permasalahan sehingga akan memudahkan untuk cara
mengatasi permasalahan tersebut (Scarvada 2004). Sehingga dapat menentukan
rencana penanggulangan untuk memecahkan permasalahan yang ada.

Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 179
Man Measurement Method

Masalah

Material Machine Environment

Gambar 1 Analisis permasalahan dengan fishbone

Analisis rekomendasi strategi perusahaan ekspor tuna ke Uni Eropa untuk


memenuhi persyaratan ekspor
Analisis data menggunakan SWOT, analisis SWOT yaitu metode
perencanaan strategis yang digunakan untuk mengevaluasi kekuatan (strengths),
kelemahan (weaknesses), peluang (opportunities), dan ancaman (threats) dalam
suatu proyek bisnis dengan mengidentifikasi faktor internal dan eksternal yang
mendukung dan yang tidak dalam mencapai tujuan tersebut. Analisis SWOT
merupakan salah satu metode untuk menggambarkan kondisi dan Identifikasi
permasalahan industri pengolahan perikanan sehingga dapat menentukan strategi
yang akan digunakan (Rangkuti, 2006).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Deskripsi Prosedur dan Persyaratan Ekspor Ikan Tuna ke Uni Eropa


Rantai pemasaran ekspor ikan tuna
Rantai pemasaran ekspor ikan tuna di PPS Nizam Zachman melibatkan
banyak pelaku bisnis perikanan yang dimulai dari hulu ke hilir sehingga akan
terbentuk jejaring bisnis antar pelaku usaha. Pelaku kunci dalam rantai pemasaran
ekspor ikan tuna ke Uni Eropa adalah unit pengolahan ikan karena ekspor ikan tuna
ke Uni Eropa didominasi produk olahan (Risna et al 2017). Hal tersebut
menyebabkan unit pengolahan ikan akan berhubungan langsung dengan importir
dan proses ekspor. Alur pemasaran ekspor ikan tuna di PPS Nizam Zachman dapat
dilihat pada Gambar 2.

180 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
transportasi 5
Pembongkaran ikan Domestik
1
2 1 3 transportasi 4
Nelayan
PPS Nizam PPS Supplier
Nizam PPS Nizam UPI di PPS Nizam
Zachman
2 Zachman Zachman Zachman
6

Nelayan transportasi Ekspor


(daerah transportasi
8
lain) Supplier
transportasi (luar PPS
Nizam
Zachman) transportasi

Gambar 2 Rantai pemasaran ikan tuna di PPS Nizam Zachman

Rantai pemasaran ekspor ikan tuna di PPS Nizam Zachman dimulai dari hasil
tangkapan nelayan yang didaratkan di dermaga pelabuhan (Fadly 2009). Ikan tuna
ditangkap menggunakan longline, handline, purse seine, pancing tonda (Risna et
al. 2017). Kapal kapal penangkap tuna di PPS Nizam Zachman telah memiliki
supplier mitra untuk menjual hasil tangkapannya. Supplier tersebut berasal dari
dalam PPS Nizam Zachman ataupun berasal dari luar pelabuhan Nizam Zachman
seperti dari daerah Jakarta, Surabaya, Bitung, Sukabumi, Cilacap. Kapal
penangkap tuna akan bersandar di dermaga dan supplier akan datang untuk
mengambil ikan tuna sehingga kegiatan pembongkaran ikan dapat dilakukan.
Kapal tidak langsung melakukan bongkar ikan dan menunggu pembeli datang
apabila belum memiliki mitra atau pembeli agar menjaga kualitas mutu ikan.
Penanganan ikan di PPS Nizam Zachman dimulai dari proses pembongkaran ikan
yaitu dilakukan di dermaga pelabuhan kemudian ikan dibawa ke landing transit
dengan mesin berjalan untuk dilakukan penyortiran kualitas ikan, pembersihan
ikan, penimbangan, pengukuran, pencatatan (Nurani et al 2013). Supplier
kemudian akan membawa ikan ke unit pengolahan ikan menggunakan mobil bak
tertutup untuk unit pengolahan ikan di PPS Nizam Zachman dan mobil

Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 181
berpendingin untuk unit pengolahan ikan yang berada diluar PPS Nizam Zachman
seperti beberapa wilayah di Jakarta dan beberapa daerah di Pulau Jawa. Saat ini
unit pengolahan ikan di PPS Nizam Zachman mengeluhkan bahwa ketersediaan
ikan tuna segar dengan kualitas yang baik sangat sulit didapatkan. Ikan tuna yang
masuk ke unit pengolahan ikan di PPS Nizam Zachman kebanyakan ikan tuna
frozen dengan kualitas ikan yang kurang bagus untuk dijual secara utuh karena tidak
memenuhi persyaratan ekspor tuna utuh. Ikan tuna yang kualitasnya tidak bagus
disebabkan ikan tuna ditangkap menggunakan alat tangkap purse seine yang
membuat tubuh ikan tuna akan tergores jaring purse seine. Suplai ikan tuna segar
ke unit pengolahan ikan di PPS Nizam Zachman mengandalkan dari daerah Bali,
Surabaya, Sukabumi, Bitung (Risna et al 2017).

Dokumen persyaratan ekspor


Unit pengolahan ikan yang akan melakukan perdagangan ekspor wajib
memiliki dokumen untuk mendirikan usaha dan menjadi persyaratan ekspor.
Dokumen yang wajib dimiliki unit pengolahan ikan sebagai persyaratan ekspor
mengacu pada P2HP 2014, yaitu sebagai berikut:
1. Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP)
2. Sertifikasi kesehatan ikan (Health Certificate)
3. Sertifikat penerapan HACCP
4. Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB)
5. Surat Keterangan Asal (SKA)
6. Nomor Induk Berusaha (NIB)
7. Registrasi Eksportir
1. Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP)
Syarat pertama untuk mendirikan unit pengolahan ikan yaitu sertifikat
kelayakan pengolahan (SKP). Dokumen tersebut menandakan bahwa unit
pengolahan ikan mempunyai tempat pengolahan ikan yang telah memenuhi standar
kelayakan dasar penanganan/pengolahan ikan atau Good Manufacturing Practices

182 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
(GMP), dan menerapkan prosedur operasi sanitasi standar atau Sanitation Standard
Operating Procedures (SSOP).
2. Sertifikat Kesehatan Ikan (Health Certificate)
Dokumen ini dibuat jika negara importir mengharuskan dan meminta
pelengkapan Health Certificate. Uni Eropa merupakan importir yang mewajibkan
sertifikat Health Certificate yang berguna untuk menjamin keamanan produk untuk
pencegahan hama dan penyakit ikan. Lembaga yang mengeluarkan Health
Certificate yaitu Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan
Perikanan di pelabuhan setempat.
3. Sertifikat Penerapan HACCP
Dokumen ini menjadi syarat wajib bagi unit pengolahan ikan untuk
melakukan perdagangan ekspor. Menurut Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan No.PER.19/MEN/2010 tentang Pengendalian Jaminan Mutu Dan
Keamanan Hasil Perikanan menyatakan perlu upaya pencegahan bahaya yang
dilakukan sejak pra produksi hingga pemasaran maka, unit pengolahan ikan harus
memiliki surat keterangan validasi HACCP (Hazard Analysis Critical Control
Points) dari Balai Keamanan Ikan dan Pengendalian Mutu. Uni Eropa sendiri
mewajibkan unit pengolahn ikan memiliki dokumen HACCP grade A.
4. Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB)
Produk yang diekspor wajib membayar pajak ekspor dengan mengisi formulir
Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) di bea dan cukai. Pemberiahuan Ekspor
Barang berisi tentang adanya transaksi ekspor seperti volume barang, ukuran
barang, jenis barang, harga barang per satuan, kondisi barang, harga barang, nama
perusahaan pengangkut, nama kapal pengangkut. Eksportir harus mengisi
Pemberitahuan Ekspor Barang dengan lengkap dan mengajukannya kepada kantor
Pabean.
5. Surat Keterangan Asal
Dokumen ini digunakan sebagai bukti bahwa barang yang diekspor berasal
dari Indonesia. Surat Keterangan Asal berguna untuk mendapatkan kemudahan bea
masuk oleh importir yang telah melakukan kerja sama dengan Indonesia. Dokumen

Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 183
ini diterbitkan oleh Kementerian Perdagangan. Menurut Peraturan Menteri
Perdagangan RI Nomor 24 Tahun 2018 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan
Surat Keterangan Asal untuk Barang Asal Indonesia bahwa permohonan penerbitan
SKA harus dilengkapi dengan scan dokumen asli:
a. Pemberitahuan Ekspor Barang (PIB)
b. Bill of lading (B/L)
c. Invoice
d. Packing list
e. Perhitungan struktur biaya proses produksi.
6. Nomor Induk Berusaha (NIB)
Menurut PP No.24 Tahun 2018 tentang pelayanan perizinan usaha
terintegrasi secara elektronik dan memperhatikan kesiapan Online Single
Submission (OSS). Kementerian Kelautan dan Perikanan memberikan pelayanan
izin usaha dengan mendaftarkan diri secara online dan mengisi Online Single
Submission (OSS).
7. Registrasi Eksportir
Approval number diberikan oleh Uni Eropa kepada unit pengolahan ikan
Indonesia. Unit pengolahan ikan didaftarkan oleh otoritas kompeten Indonesia
yakni Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan
kepada otoritas kompeten negara tujuan ekspor tersebut. Pengajuan registrasi ke
Uni Eropa sebagai berikut:
a. Unit pengolahan ikan mengajukan permohonan ke kepala sertifikasi mutu dan
keamanan hasil perikanan dengan melampirkan persyaratan yang ditetapkan.
b. Kepala sertifikasi mutu dan keamanan hasil perikanan mengirim tim verifikasi
untuk melakukan verifikasi terhadap Unit pengolahan ikan
c. Hasil verifikasi jika sesuai maka kepala sertifikasi mutu dan keamanan hasil
perikanan kemudian mendaftarkan ke negara mitra.
Approval number akan diberikan jika Indonesia terdaftar dalam beberapa
organisasi terkait kelestarian lingkungan dan sumberdaya ikan tuna serta keamanan
pangan yang menjadi persyaratan Uni Eropa. Konvensi hukum laut (UNCLOS)
1982 mewajibkan kerjasama antar negara baik regional maupun internasional untuk
184 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
mengatur dan mengelola pemanfaatan sumberdaya perikanan agar menjaga
keberlanjutan (Sustainability). Third party certification menandakan bahwa
perusahaan mematuhi standar khusus keselamatan, kualitas, kinerja, pengujian,
inspeksi fasilitas untuk pembuatan suatu produk (National Science Foundation
tahun tidak diketahui). Traceability menjadi persyaratan ekspor ke Uni Eropa
untuk pelacakan produk apabila tejadi bahaya pangan (KEMENDAG 2005). Catch
certification harus dimiliki oleh kapal, supplier dan unit pengolahan ikan (Febrianik
et al 2017). Tabel 4 merupakan persyaratan ekspor ke Uni Eropa.
Tabel 3 Persyaratan ekspor ke Uni Eropa
Persyaratan Uni Eropa
Sustain-ability Big Eye Statistical Document, IOTC, COO, ECO
LABEL CDS, SBT-CCSBT, ICCAT, MSC
Third Party Certification GLOBALGAP, ISO 22000, BRC, ECO LABEL, SQF
Traceability Catch Certification

Prosedur ekspor perikanan


Proses ekspor dimulai ketika unit pengolahan ikan akan telah melakukan
perjanjian kontrak dengan importir untuk memperoleh kesepakatan jual beli.
Berikut prosedur ekspor ikan tuna unit pengolahan ikan Indonesia.

Eksportir 1 Importir

4 2 12
11
Bank koresponden Opening Bank
5
3
Produksi barang
3
6
Penerbangan/kapa 13
10
l
7

BEA dan CUKAI

8 Pelabuhan/bandara
Pemuatan barang 9 tujuan

Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 185
Gambar 3 Prosedur ekspor produk tuna di unit pengolahan ikan Indonesia
Eksportir dan importir membuat kontrak dagang (sales contract). Importir
akan mengajukan pembukaan L/C kepada opening bank di luar negeri sesuai
penunjukkan importir. L/C yaitu cara pembayaran internasional berupa surat yang
dikeluarkan oleh opening bank atas permintaan importir yang ditujukan kepada
eksportir melalui bank koresponden yang menyatakan bahwa opening bank akan
membayar sejumlah uang tertentu apabila syarat-syarat yang ada dalam L/C telah
terpenuhi. Opening Bank akan meneruskan L/C kepada correspondent bank yang
ditunjuk oleh eksportir. Correpondent Bank memberitahukan L/C kepada eksportir
untuk melakukan penyiapan barang ekspor. Setelah barang siap maka, eksportir
menghubungi pihak pelayaran/penerbangan untuk pengiriman barang. Apabila
sudah ada jadwal pengkapalan, eksportir mengurus dokumen Pemberitahuan
Ekspor Barang (PEB) di bea cukai pelabuhan muat agar segera memfiat muat
barang keatas kapal. Setelah barang dikirim maka eksportir melakukan negosiasi
L/C kepada correspondent bank dengan membawa PEB, B/L negotiable dan
dokumen lain yang disyaratkan dalam L/C. Correspondent Bank mengirim
dokumen tersebut kepada opening bank untuk penagihan pembayaran. Opening
Bank memberitahukan dan menyerahkan dokumen tersebut kepada Importir untuk
pengeluaran barang dari pelabuhan/bandara serta melakukan pembayaran.

Mengukur Kesenjangan Kualitas Produk Eskpor Indonesia dengan Uni


Eropa
Kasus penolakan produk tuna Indonesia oleh Uni Eropa
Menurut data RASFF (Rapid Alert System for Food and Feed) kasus
penolakan produk ikan tuna Indonesia oleh Uni Eropa lima tahun terakhir (2014-
2018) menunjukan terdapat 8 kasus penolakan akibat penurunan mutu ikan
sehingga ditemukannya beberapa kandungan kontaminan pada produk tuna.
Meskipun kandungan kontaminan ditemukan pada beberapa ikan dalam satu
kontainer, Uni Eropa akan mengembalikan semua produk dari eksportir. Hal
tersebut merugikan bagi unit pengolahan ikan dan Indonesia mengingat bahwa Uni
186 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
Eropa menerapkan sistem government to government artinya jika ada satu unit
pengolahan ikan yang mengalami penolakan maka, nama Indonesia akan dicatat
kedalam daftar negara yang melakukan pelanggaran. Hal tersebut menyebabkan
Uni Eropa akan membatasi produk tuna, membatasi penambahan unit pengolahan
ikan dari Indonesia. Indonesia dapat kehilangan mitra dagang dari negara lain
dikarenakan Uni Eropa mempunyai banyak mitra dagang sehingga dapat
menyebarkan informasi terkait negara yang produknya tidak baik. Berikut kasus
penolakan ikan tuna Indonesia tahun 2014 sampai 2018:

Tabel 4 Kasus penolakan produk olahan tuna Indonesia oleh Uni Eropa
Tahun Jenis Produk dan Volume Alasan Penolakan
2014 Yellowfin Tuna, Net Weight 25,000 Kg histamine
2016 Frozen Tuna (Thunnus alalunga) 25,000kg poor temperature
control
2017 Frozen Tuna loin, 600kg 24 karton CO (619 ppm)
Frozen cooked tuna flakes, 25 ton histamine (517 mg/kg-
ppm)
Canned tuna chunks in vegetable oil,2124.72 kg histamine (377,7 ppm)
2018 Frozen tuna loin (Thunnus Albacares),12.275 kg Supcision of Carbon
Monoxide treatment of
frozen tuna loins
Frozen tuna steak, 5.725 kg Mercury
Loins and crumbs of Yellowfin Tuna Mercury
Sumber RASFF 2018

Tahun 2014 terdapat 1 kasus penolakan dengan alasan histamin pada produk
yellow fin tuna yang merupakan sampel ikan dieskspor perusahaan bersama dengan
produk perikanan lainnya. Tahun 2015 tidak terjadi kasus penolakan produk tuna.
Tahun 2016 terdapat 1 kasus penolakan dengan alasan poor temperature control
pada produk frozen tuna disebabkan 1 dari 4 kontainer pada saat pengiriman
mengalami kerusakan. Tahun 2017 terdapat 3 kasus penolakan dengan alasan 1
produk mengandung CO pada produk frozen tuna loin dan 2 produk mengandung
histamin pada produk frozen cooked tuna flakes dan canned tuna chunks in
vegetable oil diakibatkan kesalahan proses packing dan labeling. Produk yang
mengandung CO akan dipasarkan ke Amerika Serikat dan produk non CO ke Uni
Eropa. Tahun 2018 terdapat 3 kasus penolakan dengan alasan CO yaitu produk
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 187
frozen tuna loin dicurigai menggunakan treatmen CO, frozen tuna steak
mengandung histamin dan pada produk loins and crumb of yellow fin tuna
mengandung merkuri (BKIPM 2018).

Penilaian kualitas produk tuna beku dan tuna olahan Indonesia sesuai batas
kontaminan standar Uni Eropa
Adanya kasus penolakan menandakan ada kesalahan pengujian dalam proses
pemenuhan standar dari Uni Eropa dan perbedaan regulasi terkait penentuan batas
kontaminan antara Uni Eropa dengan Indonesia. Standar batas kontaminan Uni
Eropa mengacu pada EC No.1881/2006 dan standar batas kontaminan Indonesia
mengacu pada standar SNI batas kontaminan perikanan.
Tabel 5 Kesenjangan batas kontaminan produk tuna Indonesia terhadap Uni Eropa
Batas kontaminan Regulasi Nilai Regulasi Indonesia Nilai
Uni Eropa
Salmonella (25gr) negatif 2 negatif (SNI 01-2332.2- 2
2006)
CO Non CO 3 CO 2
Histamine (ppm) 50 2 100 (SNI 2354.10:2016) 1
Mercury (mg/kg) 1 2 1 (SNI 01- 2
2354.6:2016)
Lead / pb (mg/kg) 0.30 2 0.40 (SNI 2354.5:2011) 1
Cadmium ( mg/kg) 0.10 2 1 (SNI 2354.5:2011) 1
V.Cholerae negatif 2 negatif (SNI 01-2332.4- 2
2006)
Escherchia coli 1.8 2 1.8 (SNI-2332-2006) 2
(mpn/g)
s. aureus (colony/g) 1 2 1 (SNI 2332.9:2015) 2
Listeria negatif 2 negatif 2
monocytogenesis
Clostrodium negatif 2 negatif 2
botulinum
SKOR 23 19

Kesenjangan persyaratan batas kontaminan Indonesia memperoleh skor 19


yang menandakan bahwa penentuan batas kontaminan Indonesia tingkat
keketatannya sedang. Penentuan batas kontaminan Uni Eropa memperoleh skor 23

188 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
yang menandakan bahwa tingkat keketatan penentuan batas kontaminan Uni Eropa
tinggi.
Uni Eropa menetapkan persyaratan bahwa produk yang diekspor harus
terhindar dari praktek IUU fishing yang diatur dalam council regulation (EC) No
1005/2008. Semua produk yang masuk ke Uni Eropa wajib memiliki catch
certificate (Samola et al 2018). Indonesia memiliki sertifikat hasil tangkapan ikan
yang terdiri dari 4 jenis yaitu lembar awal, lembar turunan, lembar turunan yang
disederhanakan, lembar impor. Lembar awal berisi informasi tentang hasil
tangkapan pada saat ikan didaratkan (Samola et al 2018). Lembar turunan berisi
seluruh atau sebagian hasil tangkapan yang dibongkar dalam satu kali
pembongkaran, lembar turunan yang disederhanakan ditujukan untuk kapal yang
ukurannya kurang dari 20GT (Rahmat 2016). Lembar impor digunakan apabila
unit pengolahan ikan membeli ikan yang akan diolah dari luar negeri. Unit
pengolahan ikan mendapatkan buyer atau importir dengan cara menghubungi
Indonesian Trade Promotion Centre (ITPC), mendatangi pemerintah untuk
dicarikan buyer, mencari di internet, mengikuti pameran dagang internasional,
informasi dari pengusaha lain (Triyono 2008).
Pemahaman unit pengolahan ikan terhadap SNI, Good Manufacturing
Practices, Sanitation Standar Operating Procedures dan pengawas mutu berperan
penting untuk meningkatkan jaminan mutu dan keamanan produk perikanan
(Yuwono et al 2012). Efektivitas penerapan SNI cukup memadai namun masih
banyak kelemahan dari berbagai aspek seperti manusia, sulit mengkalibrasi
peralatan laboratorium, biaya sertifikasi mahal (Herjanto 2011). Padahal penerapan
SNI yang baik akan memberikan keuntungan dan manfaat bagi unit pengolahan
ikan untuk menghasilkan produk yang berkualitas. Sehingga dapat meningkatkan
daya saing di pasar internasional (Puska Dagri 2012).
Penentuan batas kontaminan Indonesia relatif sedang dan masih dalam batas
aman untuk dikonsumsi (Trilaksani W 2010). Penentuan batas kontaminan
ditentukan oleh importir. Jika importir menentukan batas kontaminan lebih ketat
maka, unit pengolahan ikan di PPS Nizam Zachman harus memenuhi persyaratan
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 189
tersebut. Pengujian dilakukan di Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan
Keamanan Perikanan yang telah memiliki sertifikat internasional. Ada beberapa
negara Uni Eropa yang menerapkan batas kontaminan lebih ketat dari ketentuan
Uni Eropa hal tersebut berdampak pada unit pengolahan ikan di Indonesia harus
mengeluarkan biaya untuk melakukan pengujian ikan di laboratorium negara
tersebut dikarena keterbatasan alat pengujian di Indonesia dalam mendeteksi
kontaminan. Pemerintah terus berupaya mengembangkan sarana dan prasarana
laboratorium uji dan sumberdaya manusia yang berkompeten dibidang standarisasi
yang telah memiliki akreditasi nasional dan internasional (Puska Dagri 2012)
Negara di Uni Eropa juga meminta beberapa persyaratan seperti sertifikasi bebas
nuklir, sertifikasi bebas radiasi untuk pasar Rusia (Resnia et al 2014) . Padahal di
Indonesia belum ada lembaga untuk pengujian tersebut karena mahalnya biaya alat
dan bahan pengujian untuk itu Indonesia tidak mengekspor ke negara yang
memiliki peraturan tersebut.

Identifikasi penyebab penolakan ikan tuna Indonesia di pasar Uni Eropa


Penelitian ini mengambil contoh kasus di PT X yang terletak di PPS Nizam
Zachman Jakarta karena pada tahun 2016 pernah mengalami kasus penolakan oleh
Uni Eropa terkait ditemukannya logam berat pada produk ekspornya. Produk tuna
yang diekspor Uni Eropa yaitu segar, olahan seperti steak, loin, cube. Berdasarkan
hasil pengamatan proses produksi PT X diperoleh beberapa factor penyebab dari
ikan tuna yang mengalami penolakan.

Sebab akibat untuk kasus penolakan produk tuna PT X oleh Uni Eropa
Penolakan produk ikan tuna PT X oleh Uni Eropa disebabkan 6 faktor yaitu
manusia, mesin, material, metode, pengujian, lingkungan. Gambar 6 merupakan
diagram tulang ikan untuk menentukan factor penyebab dari ikan tuna yang
mengalami penolakan, berdasarkan studi kasus di PT X. Berikut adalah rincian dari
6 faktor tersebut,

190 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
1. Faktor manusia
a. Koordinasi antar pegawai satu tim saat proses produksi ikan belum
berjalan baik, pegawai tidak tanggap untuk menangani apabila ada
bagian job yang belum tertangani karena merasa bukan jobnya
dikarenakan pembagian job tidak merata terpusat pada proses tertentu.
Rencana penanggulangannya yaitu pembuatan job desk dan
pembagaian kuota saat proses produksi berdasarkan tingkat kesulitan.
b. Quality Control lulusan SMK hal tersebut menyebabkan QC kurang
berani untuk menegur pegawai senior. QC kurang mengawasi
prosesnya dikarenakan QC ikut membantu bekerja untuk
menyelesaikan target yang diberikan. QC juga tidak memiliki sertifikat
keahlian. Rencana penanggulangannya yaitu perekrutkan QC yang
memiliki sertifikat keahlian seperti HACCP dan QC harus menjalankan
tugasnya saja sebagai pengawas tidak membantu bekerja.
c. Motivasi yang kurang menyebabkan beberapa pekerja kurang
semangat, dan cepat dalam penanganan ikan. Rencana
penanggulangannya yaitu pemberian reward bagi yang bagus dalam
bekerja dan punishment bagi yang malas malasan.
2. Faktor metode
a. Penerimaan masih kurang sesuai dengan cara penanganan ikan yang baik
(CPIB) dikarenakan ada beberapa pegawai yang teledor mengganco
ikan pada bagian badan ikan yang seharusnya penggancoan ikan pada
bagian kepala dan ekor. Kebersihan kurang karena ikan diletakan
dilantai tanpa alas. Rencana penanggulangannya yaitu pengawasan pada
saat proses penerimaan dan memberikan alas untuk menaruh ikan.
b. Packing manual, karena dilakukan harus dengan cepat maka, ikan
terkadang terjatuh kelantai dan pegawai lupa menyemprot ikan dengan
cairan PH. Rencana penanggulangannya yaitu memperbanyak pegawai
dibagian packing dan pengawasan dilakukan.

Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 191
3. Faktor mesin
a. Pada proses penerimaan timbangan hanya ada 1 untuk menangani ikan
1 kontainer. Hal tersebut membuat antrian ikan, sehingga proses
penerimaan memakan waktu lama. Timbangan pada saat packing
masih sedikit sehingga menghambat kecepatan produksi. Rencana
penanggulangannya yaitu penambahan jumlah timbangan yang anti air.
b. Alat pengangkut yang kotor, ada beberapa tempat pengangku dan troli
pengangkut kotor dan menggunakan bahan yang mudah berkarat.
Rencana penanggulangannya alat pengangkut ikan harus dibersihkan
setelah dipakai.
4. Faktor bahan baku
a. Ikan kondisi rusak dengan daging yang tergores, siripnya patah, mata
ikan tidak jernih, ikan terpotong tubuhnya hal tersebut diakibat
penanganan diatas kapal kurang baik, terlempar dan terinjak pada saat
pembongkaran, dan bahan baku ikan tuna berasal dari kapal purse seine.
Rencana penanggulangannya yaitu memiliki armada penangkapan
sendiri.
b. Kemasan rusak, alat pengepresan yang dimiliki ada sedikit sehingga
pegawai harus terburu buru untuk melakukanpengepresan dan
terkadang ada kemasan yang rusak. Rencana penanggulangannya yaitu
penambahan alat pengepresan.
5. Faktor pengujian
a. Pengujian organoleptik tidak sesuai dengan penampakan ikan,
dikarenakan ikan akan diolah dan dimanfaatkan dagingnya sehingga
wujud ikan tidak berpengaruh. Rencana penanggulangannya
pengecekan mata, insang, bau, suhu, tekstur.
b. Uji kontaminasi belum menyeluruh, pengujian kontaminasi hanya pada
produk akhir saja. Rencana penanggulangannya pengujian pada setiap
proses penanganannya.

192 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
6. Faktor Lingkungan
a. Adanya binatang pada saat proses produksi dikarenakan PT X masih
dalam proses pembangunan. Rencana penanggulangannya yaitu
dibuatnya pengendalian terhadap hewan pengganggu meskipun sedang
ada pembangunan.
b. Udara pada saat penerimaan panas karena tidak ada pendingin. Rencana
penanggulangannya diberi pendingin agar ikan tetap segar.

Man Method Machine


e
QC tidak Penerimaan
memiliki sertifikat Mesin
belum sesuai pengangkut
Motivasi pegawai
Proses packing Mesin
kurang
menjatuhkan penimbang
Koordinasi antar
pegawai kurang
Penolakan
ikan tuna
Uji
Ikan kualitas Hewan
organoleptik
jelek
Belum ada uji Ruanga
Kemasan saat kontaminasi n
pengepresan
rusak
Environmen
Material Measureme
nt t
Sumber PT X 2019
Gambar 4 Diagram tulang ikan factor penyebab ikan tuna yang ditolak

2. Strategi Unit Pengolahan Ikan Tuna untuk Memenuhi Standar dan


Persyaratan Ekspor ke Uni Eropa
Faktor strength dan weakness didapat dari informasi yang berasal dari
lingkup internal atau pihak pihak yang terlibat dalam ekspor ikan tuna (Marimin
2014) dengan melakukan wawancara kuisioner ke beberapa perusahaan ekspor ke
Uni Eropa di Nizam Zachman dan Asosiasi Tuna Indonesia (ASTUIN). Faktor
opportunities dan threats didapat dari pihak diluar namun terlibat dalam kegiatan
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 193
ekspor ikan tuna dengan melakukan wawancara kuisioner kepada pihak pemasaran
KKP. Kekuatan dan kelemahan yang dimiliki perusahaan perikanan tuna dalam
ekspor ikan tuna, serta peluang dan ancamannya dideskripsikan pada Tabel 6.
Tabel 6 Kekuatan, kelemahan, peluang, ancaman unit pengolahan ikan tuna di
PPS Nizam Zachman
Kekuatan Kelemahan Peluang Ancaman
Hubungan Alat pengujian Permintaan ekspor Baku ikan tuna
dengan diperusahaan belum ke Uni Eropa tinggi tidak ada.
importir baik lengkap
Memiliki mitra Proses penerimaan Mempunyai Penolakan ekspor
untuk kurang menerapkan teknologi mesin ikan tuna oleh Uni
mensuplai ikan CPIB pengolahan Eropa
tuna canggih
Pegawai Produksi tidak sesuai Produk yang Pesaing dari negara
banyak yang target waktu dihasilkan banyak lain.
usia produktif dan harga jual
tinggi
Dukungan dari Pengawasan belum Memiliki kapal Importir
pemerintah menyeluruh penangkapan tuna memperketat aturan
Kualitas Belum adanya Lebih banyak jenis Mutu ikan menurun
produk pengganti CO ikan yang diekspor
mampu
bersaing

Perumusan strategi berdasarkan faktor kekuatan, kelemahan, peluang dan


ancaman yang ada menghasilkan strategi SO (penggunaan kekuatan unit
pengolahan ikan untuk memanfaatkan peluang yang ada), strategi WO
(memanfaatkan peluang untuk meminimalkan kelemahan unit pengolahan ikan di
PPS Nizam Zachman), strategi ST (penggunaan kekuatan unit pengolahan ikan
untuk mengatasi ancaman) dan strategi WT (meminimalkan kelemahan dan
menghindari ancaman dari lingkungan eksternal). Hasil perumusan matriks SWOT
unit pengolahan ikan di PPS Nizam Zachman dapat dillihat pada Tabel 7.

194 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
Tabel 7 Matriks SWOT industri pengolahan ekspor tuna di PPS Nizam Zachman
STRENGHT (S) WEAKNESS (W)
1.Hubungan dengan 1.Alat pengujian pada UPI
importir baik belom lengkap
2.Memiliki mitra 2.proses penerimaan
pensuplai ikan tuna kurang menerapkan CPIB
3.Pegawai banyak usia 3.Produksi tidak tepat
produktif waktu
4.Dukungan dari 4.Pengawasan belum
pemerintah menyeluruh
5.Kualitas produk 5.Belum mempunyai bahan
mampu bersaing pengganti CO.
OPPORTUNITIES (O) STRATEGI S-O STATEGI W-O
1.Permintaan ekspor 1.Memanfaatkan skill 1.Pengawasan dilakukan
ke Uni Eropa tinggi karyawan dalam proses menyeluruh dari proses
2. Kualitas produk pengolahan utuk penerimaan hingga
baik menghasilkan banyak pemasaran (W4,O3)
3.Produk yang produk (S3,O1,O3) 2.Memiliki kapal untuk
dihasilkan banyak 2.Penambahan coldstorage penyedia bahan baku
4.Harga produk tinggi agar dapat menyimpan (W3,W5,O4,O3)
5.Lebih banyak jenis bahan baku tau bahan jadi 3.Penggunaan mesin agar
ikan yang diekspor lebih banyak (S5,O2,05) menghasilkan produk yang
3.Perekrutan quality control banyak (W3,O2,O3)
yang mempunyai sertifikat
HACCP (S2,O3)
4.Mengikuti pameran
dagang Uni Eropa
(S1,S4,S5O1)

THREAT (T) STRATEGI S-T STRATEGI W-T


1.Bahan baku ikan 1.Penerapan HACCP dan 1. Melakukan pengujian
tuna tidak ada. CPIB untuk menghindari kontaminasi dan mikroba
2. Penolakan ekspor penolakan pada setiap prosesnya.
ikan tuna oleh Uni (S2,S4,T2,T4,T5) (W1,T2)
Eropa
3. Pesaing dari
negara lain.
4. Importir
memperketat aturan
ekspornya.
5.Harga ikan turun

Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 195
Strategi untuk peningkatan ekspor unit pengolahan ikan di PPS Nizam
Zachman yaitu: 1) Memanfaatkan skill karyawan dalam proses pengolahan utuk
menghasilkan banyak produk, 2) Pengembangan teknologi pengolahan untuk
menghasilkan produk yang bermutu dan berkualitas, 3) Ikut aktif mengikuti
pameran dagang Uni Eropa untuk mendapat banyak mitra dagang, 4) Pengawasan
dilakukan menyeluruh pada setiap prosesnya hingga ke pemasaran, 5) Memiliki
armada kapal untuk penyedia bahan baku, 6) Optimalisasi penerapan HACCP dan
CPIB untuk menghindari penolakan, 7) Melakukan pengujian organoleptik pada
setiap prosesnya.

SIMPULAN DAN SARAN


Simpulan
1. Unit pengolahan ikan untuk ekspor ke Uni Eropa harus memenuhi dokumen
dokumen yang telah ditentukan. Proses ekspor akan berjalan ketika eksportir dan
importir telah melakukan kontrak kerja sama.
2. Tingkat keketatan penentuan batas kontaminan Uni Eropa tinggi sedangkan
tingkat keketatan penentuan batas kontaminan Indonesia Indonesia sedang.
3. Penyebab penurunan mutu di PT X dapat terjadi akibat 6 faktor yaitu manusia,
mesin, metode, pengujian, ligkungan, material.
4. Strategi yang dipakai yaitu: 1. Memanfaatkan skill karyawan dalam proses
pengolahan utuk menghasilkan banyak produk , 2. Pengembangan teknologi
pengolahan untuk menghasilkan produk yang bermutu dan berkualitas, 3. Ikut
aktif mengikuti pameran dagang Uni Eropa untuk mendapat banyak mitra
dagang, 4. Pengawasan dilakukan menyeluruh pada setiap prosesnya hingga ke
pemasaran, 5. Memiliki armada kapal untuk penyedia bahan baku, 6.
Optimalisasi penerapan HACCP dan CPIB untuk menghindari penolakan, 7.
Melakukan pengujian organoleptik pada setiap prosesnya.
Saran
Perlu dilakukan pemahaman dokumen persyaratan ekspor ke Uni Eropa agar
menjadi pedoman bagi perusahaan yang akan melakukan ekspor. Perlu dilakukan
196 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
penelitian terkait penerapan HACCP dan CPIB di unit pengolahan ikan tuna di
Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Ababouch L. 2006. Detention and Rejections of Fish and Seafood at Borders of


Major Importing Countries. Food and Agriculture Organization. Italy:
globefish. [diunduh 24 September 2018]. Tersedia pada:www.globefish.org.
Arizona Yuanita.2018. Estimasi Kerugian Ekonomi Akibat Penolakan Pangan
Ekspor Asal Indonesia[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor
Cahya IN. 2010. Analisis Daya Saing tuna Indonesia di Pasar Internasional
[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor
Dahuri Rokhim. 2013. Strategi Membangun Semangat Technopreneurship untuk
Menciptakan Produk dan Jasa Perikanan yang Berdaya Saing di Era
Globalisasi. Yogyakarta (ID) : Jurusan Perikanan UGM
Direktorat Pemasaran Luar Negeri. 2014. Pedoman Ekspor Perikanan ke Negara
Mitra. Jakarta (ID): Direktorat Jendral Pengolahan Dan Pemasaran Hasil
Perikanan
Direktorat Kelautan dan Perikanan. 2016. Kajian Strategi Industrialisasi Perikanan
Untuk Mendukung Pembangunan Ekonomi Wilayah. Jakarta: BAPPENAS
Desty F. 2017. Kerjasama Perdagangan antara Indonesia dengan Spanyol dalam
Bidang Kelautan Sektor Perikanan pada Kerangka Kerja PCA Tahun 2014.
JOM FISIP. 5(2):42-45
Fadly N. 2009. Asesmen Ratio Histamin Ikan Tuna Segar Berbagai Mutu Ekspor
pada Proses Pembongkaran [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor
Febrianik D, Dharmayanti N, Siregar AN.2017. Penerapan Sistem Ketelusuranpada
Pengolahan Ikan Lemadang Portion Beku di PT.Graha Insan Sejahtera,
Jakarta Utara. JPHPI. Vol 20 (1)
Kementerian Perdagangan.2012.Warta Ekspo.Jakarta (ID): Ditjen Pengembangan
Ekspor Nasional
Kementerian Perdagangan. 2014. Market Brief Peluang Usaha Produk Ikan Tuna
Olahan (HS 160414) Italia.Milan : Indonesian Trade Promotion Center Milan
[KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2018. Ekspor Tuna Cakalang
Tongkol Indonesia 6 Tahun Terakhir (2012-2017) Kondisi dan
Harapan.[Internet]. Jakarta (ID): Dirjen Penguatan Daya Saing Produk
Perikanan dan Kelautan. Tersedia pada: http://kkp.go.id/djpdskp/artikel/
2746-ekspor-tuna-cakalang-tongkol-indonesia-6-tahun-terakhir-2012-2017-
kondisi-dn-harapan. [diunduh 23 September 2018]
[KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2018. Profil Ekspor Hasil Perikaan
Indonesia. Jakarta (ID): Dirjen Penguatan Daya Saing Produk Perikanan dan
Kelautan
Noeng Muhajir.1996. Metode penelitian kualitatif. Yogyakarta (ID): Rakes sarasia

Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 197
Nurani TW, Murdaniel RPS, Harahap MH. 2013. Upaya Penanganan Mutu Ikan
Tuna Segar Hasil Tangkapan Kapal Tuna Longline untuk Tujuan Ekspor.
Marine Fisherie. 4(2):153-162
Rangkuti F. 2006. Teknik Mengukur dan Strategi Meningkatkan Kepuasan
Pelanggan. Jakarta (ID): Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Resnia R, Wicaksana B, Salim Z. 2015. Kesesuaian SNI dengan Standar
Internasional dan Standar Mitra Dagang pada Produk Ekspor Perikanan Tuna
dan Cakalang. Jurnal Standarisasi. 17(2):87-98
Rahmat Khaerunnisa CA.2016. Pengaruh Kebijakan Sertifikasi Hasil Tangkapan
Ikan (SHTI) Uni Eropa terhadap Indonesia [skripsi]. Makassar (ID):
Universitas Hasanuddin
Scarvada, A.J., Tatiana Bouzdine-Chameeva. Susan Meyer Goldstein, Julie
M.hays, Arthur V. Hill. 2004. A Review of the Causal Mapping Practice and
Research Literature. Second World Conference on POM and 15th Annual
POM Conference, Cancun, Mexico, April 30- May 3
Sugiyono. 2008. Metode penelitian kuantitatif kualitatif dan R&d. Bandung (ID):
Alfabeta
Samola B Arthur, Budiman Johnny, Dien V H. 2018. Studi Tentang Sertifikasi
Hasil Tangkapan Ikan di Pelabuhan Perikanan Samudera Bitung. J Ilmu dan
Teknologi Perikanan Tangkap. 3(1):23-31
Tambunan, Tulus T H. 2001. Perekonomian Indonesia Teori dan Temuan Empiris.
Jakarta (ID): Ghalia Indonesia
Triyono. 2008. Upaya Meningkatkan Daya Saing di Pasar Internasional pada Era
Globalisasi. J Unimus. Vol 4 (2)
Trilaksani W, Bintang M, Monintja DR, Hubeis M. 2010. Analisis Regulasi Sistem
Manajemen Keamanan Pangan Tuna di Indonesiadan Negara Tujuan Ekspor.
J Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia. Vol 8 (1)
Yuwono, Zakaria, Panjaitan. 2012. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerapan
Cara Produksi yang Baik dan Standar Prosedur Operasi Sanitasi Pengolahan
Fillet Ikan di Jawa. Manajemen IKM. 7(1):10-19
Yusuf Risna, Arthatiani Freshty, Putri Hertia. 2017. Peluang Ekspor Tuna
Indonesia: Suatu Pendekatan Analisis Bayesian. J Kebijakan Sosek KP.
7(1):13-50

198 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
KELIMPAHAN, KARAKTER MORFOLOGI, KOMPOSISI DAN
KONDISI PERAIRAN HABITAT LARVA IKAN TERUBUK (Tenualosa
macrura) DAN LARVA IKAN BILIS (Setipinna sp.) DI ESTUARIA
BENGKALIS

Abundance, Morphological Characters, Composition And Habitat Water


Conditions Of Tropical Shads Larva (Tenualosa macrura) And Hairfin Anchovy
Larva (Setipinna sp.) In Bengkalis Estuary

Oleh:
Karsono Wagiyo, Asep Priatna dan Duranta Kembaren
Balai Riset Perikanan Laut, Cibinong, Bogor, Jl. Raya Bogor KM. 47 Cibinong,
Bogor- Jawa Barat, Indonesia
E-mail:k_giyo@yahoo.co.id

ABSTRACT

The larvae phase of the Tropical shads (Tenualosa macrura) and hairfin anchovy
(Setipinna sp.) have similar characteristics, misidentification of species can lead to
failure in managing the sustainability of the tropical shads. This paper discusses
the abundance, morphological characteristics and water conditions of tropical
shads fish larvae and hairfin anchovy fish larvae. Larvae sampling uses bongo net
by “systematic cluster random sampling” in waters around the Bengkalis Strait.
The results showed the highest abundance of tropical shads fish larvae was found
at station 15 (Sungai Apit-in Body Siak River) 51 ind. 1/000 m3, and hairfin
anchovy fish 251 ind./1,000 m3. The highest of preflexion larvae phase of tropical
shads fish at station 14 (Kurau Cape-Lalang Strait) was 113 ind./1,000 m3 and
hairfin anchovy fish at station 11 (Siak River estuary-Padang Island) was 745
ind./1,000 m3. Correlation between the main part of body tropical shads fish
larvae, low between pre dorsal length (PDL) and snout length (SnL) with R2 =
0.4563 and height between (PDL) and pre anal length (PAL) has R2 = 0.9196,
Correlation between the main part of body hairfin anchovy fish larvae, low body
depth (BD) with SnL value R2 = 0.07 and the highest body length (BL) with PAL
with value R2 = 0.781. The core habitat of tropical shads fish larvae has an
average; salinity 15 ppt, acidity (pH) 6.9, transparency 0.3 m and temperature
27.9oC. The core habitat of hairfin anchovy larvae has a mean; salinity 25 ppt,
acidity (pH) 6.9, transparency 0.3 m and temperature 30oC.
Keywords: Tropical Shads Fish Larvae, Hairfin Anchovy Fish Larvae, Abundance,
Morphological Characteristics, Habitat Waters Conditions.

Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 199
ABSTRAK

Fase larva dari ikan terubuk (Tenualosa macrura) dan ikan bilis (Setipinna sp.)
memiliki karakteristik yang serupa, kesalahan identifikasi spesies dapat
menyebabkan kegagalan dalam mengelola keberlanjutan ikan terubuk. Makalah ini
membahas kelimpahan, karakteristik morfologi dan kondisi air larva ikan terubuk
dan larva ikan bilis. Pengambilan sampel larva menggunakan bongo net dengan
“cluster random sampling” sistematis di perairan sekitar Selat Bengkalis. Hasil
penelitian menunjukkan kelimpahan tertinggi dari larva ikan terubuk ditemukan di
stasiun 15 (Sungai Apit-in Tubuh Siak Sungai) 51 ind. 1/000 m3, dan ikan bilis 251
ind./1000 m3. Fase larva preflexion tertinggi dari ikan terubuk di stasiun 14 (Selat
Kurau-Lalang) adalah 113 ind./1.000 m3 dan ikan bilis di stasiun 11 (muara Sungai
Siak-Pulau Padang) adalah 745 ind./1.000 m3. Korelasi antara bagian utama tubuh
larva ikan terubuk, yang terendah antara pre dorsal length (PDL) dengan snout
length (SnL) mempunyai R2 = 0,4563 dan yang tertinggi antara (PDL) dengan
(PAL) mempunyai R2=0,9196. Korelasi antar bagian utama tubuh yang terendah
body depth (BD) dengan SnL nilai R2=0,07dan yang tertinggi body length (BL)
dengan PAL dengan nilai R2=0,781. Pada habitat inti larva ikan terubuk memiliki
salinitas rerata 15 ppt, keasaman (pH) 6,9, transparansi 0,3 m dan suhu 27,9oC.
Pada habitat ditemukan kelimpahan larva ikan bilis tertinggi mempunyai salinitas
rerata 25 ppt, derajat keasaman (pH) 6,9, kecerahan 0,3 m dan suhu 30oC.

Kata Kunci: Larva Ikan Terubuk, Larva Ikan Bilis, Kelimpahan, Karakteristik
Morfologi, Kondisi Perairan Habitat.

PENDAHULUAN
Ikan terubuk (Tenualosa macrura) dan ikan bilis (salah satunya genus
Setipinna), merupakan ikan legenda di Bengkalis. Legenda ikan terubuk berkaitan
dengan sosial politik, mempunyai makna yang luas, sebagaimana tercantum dalam
“syair ikan terubuk” (Muawinah 2012) dan moto Bengkalis kota
“TERUBUK=Tertib, Rukun, Usaha Bersama dan Kenyamanan ” (Efizon et al.
2012). Legenda ikan bilis lebih spesifik berkaitan dengan sumberdaya perikanan.
Nama Bengkalis berasal dari dua kata dari dua sumber yang berbeda. Sumber
pertama dari Kantor Dinas Kebudayaan, Kesenian dan Pariwisata Riau yang
menyebutkan Bengkalis berasal dari kata “Bengkak” dan “Lis” (Bengkak yang
diderita ikan bilis, akibat tabrakan dengan ikan hiu). Sumber kedua berasal dari
Prof. Said Mahmud Umar dalam sarahan perdana tradisi Melayu tahun 1989, kata
200 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
Bengkalis berasal dari kata “Bangsal” dan “Bilis” yang berarti bangsal tempat
menjemur ikan bilis (Anonim 2013).
Adanya legenda dari ikan terubuk dan ikan bilis, menggambarkan pada
mulanya kedua ikan ditemukan melimpah di Perairan Bengkalis dan betapa
pentingnya untuk kehidupan masyarakat di sekitarnya. Ke dua jenis ikan tertangkap
bersamaan dengan jaring insang (Suwarso et al. 2017 & Hufiadi et al. 2018),
Populasi ikan terubuk disinyalir mulai menurun pada tahun 1970 (Ahmad 1974)).
Hasil penelitian menunjukkan menuju tahun terkini kelimpahan ikan terubuk
semakin menurun; catatan pertama dibuat oleh Gramberg (1888) produksi 1000-
2000 ekor/hari (Blaber et al. 2001), kemudian Merta et al.(1999) mendapatkan 3-
95 ekor/trip atau 0,5-11kg/trip, Merta (2001) mendapatkan 22-42 ekor/kapal/hari,
Suwarso et al. (2017) mendapatkan rerata 4,5 kg/trip yang tertinggi 10 kg/trip, dan
hasil penelitian ekperimen Hufiadi et al. (2018) mendapatkan 0,7-2,6 ekor/seting.
Penurunan populasi ikan terubuk, disebabkan karena degradasi lingkungan,
tekanan penangkapan. penyebaran yang terbatas bahkan hanya endemik di Perairan
Bengkalis (Blaber et al. 2003). Hasil penelitian Purwanto et al. (2014) menujukkan
laju ekploitas ikan terubuk sudah berlebih. Populasi ikan bilis belum mendapatkan
perhatian (Carpenter & Niem 1999). Berbagai laporan hasil tangkapan bilis
semakin menurun dan pemanfaatan ikan bilis di India semakin intensif sebagai
bahan pangan fermentasi (Kakati & Goswani 2013; Sarma 2015; Kakati &
Goswani 2017 & Gangan et al. 2018). Populasi ikan bilis menurun, tetapi tidak
mengkuatirkan karena daerah penyebarannya luas. Kondisi populasi ikan terubuk
di Perairan Bengkalis yang dikuatirkan akan punah, mendorong Menteri Kelautan
dan Perikanan mengeluarkan peraturan Nomor 59/KEPMEN-KP/2011 untuk
melindungi ikan terubuk, sehingga tetap lestari.
Dalam usaha pelestarian ini di perlukan data dan informasi mengenai
keberadaan larva ikan terubuk dan larva ikan lainnya yang terkait dengan life
history dan daerah sebaran ikan terubuk (Sihotang et al. 1991; Ahmad et al. 1995;
Blaber et al. 1999 & Merta et al. 1999). Larva ikan bilis adalah salah satu yang
serupa dengan larva ikan terubuk. Larva keduanya ditemukan pada area yang sama

Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 201
(Delsman 1933 & Srilatha et al. 2013). Pada beberapa survai di estuaria Bengkalis
ditemukan dalam satu stasiun towing.
Identifikasi larva terubuk di alam sangat sulit karena ada beberapa ikan
memiliki morfologi dan habitat yang sama dengan terubuk. Larva ikan yang
mempunyai Morfologi serupa dengan ikan terubuk adalah ikan bilis, sehingga
keduanya dimasukan dalam satu ordo clupeiformes (Ganias 2014). Larva ikan bilis
adalah salah satu larva yang sering menyebabkan kesalahan identifikasi dengan
larva ikan terubuk.
Kegiatan penelitian terdahulu mengenai larva ikan terubuk di Perairan
Bengkalis pernah dilakukan oleh Wagiyo (2001), yang memberikan informasi
mengenai kelimpahan dan lingkungan. Pada kegiatan penelitian ini, bertujuan
memberikan informasi selain kelimpahan dan morfometrik ikan terubuk, juga ikan
terkait lainnya yaitu ikan bilis. Hasil ini diharapkan dapat memberikan gambaran
secara detail mengenai larva ikan terubuk dan ikan bilis untuk mencegah terjadinya
kesalahan identifikasi. Harapan selanjutnya kebenaran identifikasi ini memberikan
dampak pada dugaan kelimpahan dan sebaran larva ikan terubuk yang lebih tepat,
sehingga kebijakan konservasi ikan terubuk baik insitu maupun eksitu akan lebih
mudah dilaksanakan dan berhasil dengan baik.

METODOLOGI
Penelitian dilakukan pada bulan Juli-September 2014. Stasiun sampling
ditentukan sistematik porposive random sampling pada area Selat Bengkalis dan
sekitarnya (Gambar 1). Pengambilan contoh larva menggunakan bongo net
berdiameter mulut 60 cm dan panjang 300 cm dengan mata 500 µm. Towing bongo
net dilakukan pada kedalaman 20-6 m selama 10-15 menit. Contoh larva diawetkan
dengan larutan formalin 10 %.
Pencacahan dan identifikasi larva dibawah mikroskope stereo dan identifikasi
menggunakan buku panduan dari Delsman (1933), Leis & Rennis (1983), Leis &
Trnski (1989), Leis & Carson-Ewart (2000), Westhaus-Ekau, P.(2002). SEAFDEC
(2007). Pengukuran bagian-bagian utama tubuh dilakukan dibawah mikroskop
202 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
stereo dengan satuan ukur dalam mm, meliputi BD=body depth/lebar badan,
BL=body length/panjang badan, HL=head length/panjang kepala ED=eye
diameter/diameter mata, PDL=predorsal-fin lengt/panjang bagian depan punggung.
SnL=snout length/panjang bagian mulut dan PAL= preanal length/panjang bagian
depan perut.
Perhitungan kelimpahan larva menggunakan persamaan SEAFDEC (2007)
sebagai berikut:
1
K=𝑛x x 1.000
𝑉
K = Kelimpahan larva ( /103 m3), n = Larva terhitung dan V= volume air tersaring
(m3), diperoleh dari perkalian antara jumlah putaran flow meter dengan faktor
kalibrasi flow meter (0,009) dan luas lingkaran bongo net.

Gambar 1. Lokasi Penelitian dan stasiun sampling

Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 203
HASIL
Kelimpahan
Sebaran kelimpahan larva ikan terubuk secara spasial tercantum pada Gambar
2a. Kisaran kelimpahan larva ikan terubuk pada seluruh stasiun, dari tiga kali
sampling 0-142 ind./103m3, terbesar dijumpai pada stasiun 15. Lokasi yang selalu
ditemukan larva ikan terubuk setiap sampling adalah stasiun 13. Kelimpahan larva
ikan terubuk rata-rata tertinggi di jumpai di stasiun 15 sebesar 51 ind./103m3.
Sebaran kelimpahan larva ikan terubuk secara bulanan tercantum pada Gambar 2b.
Kelimpahan larva tertinggi dijumpai pada bulan Juli dengan kisaran 0-142
ind./103m3 dan rata-rata 25 ind./103m3. Kelimpahan larva ikan terubuk terendah di
jumpai pada bulan Agustus dengan kisaran 0-19 ind./103m3 dan rata-rata 4
ind./103m3. Pada bulan September mempunyai kelimpahan larva ikan terubuk
dengan kisaran 0-93 ind./103m3, dan rata-rata 14 ind./103m3.
150 Min Rerata Maks.
140 Min Rerata Maks. 150
Kelimpahan Larva ( ind./1.000 m³)

Kelimpahan Larva (ind./1.000 m³)

130 140
120 130
110 120
100 110
90 100
80 90
70 80
60 70
50 60
40 50
30 40
20 30
10 20
0 10
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
a Stasiun b Juli Agust. Sept.

Gambar 2. Kelimpahan larva ikan terubuk a) lokasi dan b) bulan


Sebaran kelimpahan larva ikan bilis secara spasial tercantum pada Gambar 3a.
Kisaran kelimpahan larva ikan bilis pada seluruh stasiun, dari tiga kali sampling 0-
665 ind./103m3, terbesar dijumpai pada stasiun 11. Lokasi yang selalu ditemukan
larva ikan terubuk setiap sampling adalah stasiun 10. Kelimpahan larva ikan bilis
rata-rata tertinggi di jumpai di stasiun 11 sebesar 251 ind./103m3. Sebaran
kelimpahan larva ikan bilis secara bulanan tercantum pada Gambar 3b. Kelimpahan
larva tertinggi dijumpai pada bulan Juli dengan kisaran 0-665 ind./103m3 dan rata-
rata 86 ind./103m3. Kelimpahan larva ikan bilis terendah di jumpai pada bulan

204 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
September dengan kisaran 0-101 ind./103m3 dan rata-rata 19 ind./103m3. Pada bulan
Agustus mempunyai kelimpahan larva ikan bilis dengan kisaran 0-116 ind./103m3,
dan rata-rata 38 ind./103m3.

700 Min Rerata Maks. Min Rerata Maks.

Kelimpahan Larva (Ind./1.000 m³)


Kelimpahan Larva (Ind./1.000 m³)

700
600
600
500
500
400
400
300
300
200
200
100
100
0
0
a 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1314 1516 b
Stasiun Juli Agust. Sept.

Gambar 3. Kelimpahan larva setipinna a) lokasi b) bulan

Komposisi
Selain larva ikan terubuk dan larva ikan bilis, secara keseluruhan di jumpai
ada 31 takson larva setingkat familia (Gambar 4). Kontribusi kelimpahan larva
terubuk dan larva ikan bilis terhadap kelimpahan larva keseluruhan masing-masing
3,80 % dan 8,29 %.

30

25

20
Persentase

15

10

0
Mullidae

Pristigasteridae

Telur 1
Telur 2
Telur 3
Blennidae

Engraulidae

Lutjanidae
Balistidae

Clupeidae
Cynoglosidae

Gobidae
Labridae

Nemeptheridae
Nomeidae
Carangidae

Percophidae

Scombridae

Soleneidae

Tetraodontidae
Serranidae
Chanidae

Microdesmidae
Monachantidae
Antenaridae

Larva air tawar


Bregmancerotidae
Amblyopinae

Leiognathidae

Pomacentridae

Synodontidae

Gambar 4. Komposisi takson larva ikan di estuaria Bengkalis

Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 205
Komposisi fase larva ikan terubuk secara spasial tercantum pada Gambar
5a. Fase prefleksion, hampir dijumpai di semua stasiun sampling kecuali di satasiun
3 dan 12. Di stasiun 3 larva ikan terubuk yang diujumpai semuanya dalam fase
fleksion. Di stasiun 12 larva ikan terubuk yang dijumpai semuanya dalam fase
postfleksion. Ada dua stasiun yang mempunyai ke tiga fase larva yaitu stasiun 1
dan stasiun 11. Ada dua lokasi yang mempunyai fase prefleksion dan fleksion yaitu
stasiun 14 dan 15. Komposisi fase larva ikan terubuk secara bulanan tercantum pada
Gambar 5b. Pada bulan September mempunyai kontribusi fase prefleksion tertinggi
diantara bulan sampling lainnya yaitu sebesar 98,02 %. Kontribusi fase postfleksion
tertinggi dijumpai pada bulan Agustus sebesar 23,4 %. Fase fleksion mempunyai
kontribusi tertinggi pada bulan Juli 22,45 %.
Postflexion Flexion Preflex Postflexion Flexion Preflexion
100
100%
90
90%
80
Komposisi Fase Larva (%)

Komposisi Fase Larva (%)

80%
70
70%
60
60%
50
50%
40
40%
30 30%
20 20%
10 10%
0 0%
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 Jul. Agust. Sept.
a Stasiun b
Gambar 5. Komposisi fase larva terubuk a) lokasi b) bulan

Komposisi fase larva ikan bilis secara spasial tercantum pada Gambar 6a.
Fase prefleksion, tidak dijumpai di pada stasiun sampling 1,2,4, 15 dan 16. Ada
stasiun yang hanya dijumpai fase prefleksion yaitu stasiun 5 dan 13. Stasiun yang
dijumpai semua fase larva adalah 11 dan 12. Stasiun yang tidak ditemukan larva
adalah St 1,2, 4 dan 15. Komposisi fase larva ikan setipina secara bulanan
tercantum pada Gambar 6b. Pada bulan Agustus mempunyai kontribusi fase
prefleksion tertinggi diantara bulan sampling lainnya yaitu sebesar 91,37 %.

206 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
Kontribusi fase postfleksion tertinggi dijumpai pada bulan Agustus sebesar 2,69 %.
Fase fleksion mempunyai kontribusi tertinggi pada bulan September 20,02 %.

Postflexion Flexion Preflexion Postflexion Flexion Preflexion


100 100
80
80

Persentas
Persentase

60
60
40
40
20
20
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 0
Stasiun Jul. Agust. Sept.

Gambar 6. Komposisi fase larva ikan bilis a) lokasi b) bulan

Karakter Morfologi
Morfologi larva ikan terubuk secara garis besarnya dapat dibedakan menjadi
tiga fase yaitu; prefleksion, fleksion dan postfleksion (Gambar 7). Masing-masing
fase mempunyai karakter; notochord dan dasar sirip yang masih rudimenter untuk
prefleksion, notochord melengkung dan dasar sirip pada fase fleksion dan
notochord hilang untuk post fleksion. Karakteristik utama larva ikan terubuk
mempunyai tubuh sangat panjang dan antara dasar sirip punggung dengan dasar
sirip perut tumpang tindih.

Gambar 7. Morfologi larva ikan terubuk


Figure 7. Morphology of tropical shad fish larvae
Hasil pengukuran bagian-bagian tubuh larva ikan terubuk tercantum pada
Tabel 1. Pada bentuk prefleksi larva, porposi panjang badan dengan bagian tubuh

Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 207
lainnya: lebar badan (0,067), panjang kepala (0,125), diameter mata (0,031),
panjang punggung (0,717), snouth length (0,048) dan panjang perut (0,899). Pada
bentuk postfleksi larva, porposi panjang badan dengan bagian tubuh lainnya; lebar
badan (0,088), panjang kepala (0,196), diameter mata (0,043), panjang punggung
(0,65), snouth lengh (0,056) dan panjang perut (0,87).
Tabel 1. Ukuran bagian-bagian tubuh larva ikan terubuk (mm)

Stadia Larva Nilai BD BL HL ED PDL SnL PAL


Preflexion Min. 0,116 1,721 0,208 0,042 1,244 0,062 1,514

Rerata 0,177 2,585 0,323 0,079 1,853 0,123 2,324

Maks 0,390 4,231 0,548 0,133 3,050 0,239 3,873


Flexion Min. 0,116 1,822 0,230 0,057 1,192 0,071 1,548

Rerata 0,219 2,843 0,408 0,099 1,927 0,133 2,522

Maks 0,376 4,435 0,810 0,176 3,050 0,239 3,951


Post flexion 0,361 4,124 0,810 0,176 2,672 0,230 3,581

Korelasi antara bagian tubuh larva ikan terubuk tercantum pada Tabel 2.
Korelasi lemah terjadi antara semua bagian tubuh dengan snouth lengh. Korelasi
yang kuat terjadi antara panjang badan dengan panjang bagian punggung dan
bagian perut, panjang bagian punggung dengan panjang bagian perut.

Tabel 2. Korelasi (R2) antar bagian morfologi larva terubuk


BD BL HL ED PDL SnL PAL
BD - 0,7018 0,7037 0,6815 0,6024 0,5308 0,6832
BL - 0,7454 0,7908 0,9444 0,5872 0,9725
HL - 0,8331 0,6346 0,6148 0,7103
ED - 0,6702 0,5362 0,6682
PDL - 0,4563 0,9196
SnL - 0,5898
PAL -

208 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
Morfologi larva ikan bilis secara garis besarnya dapat dibedakan menjadi
tiga fase yaitu; prefleksion, fleksion dan postfleksion (Gambar 8). Masing-masing
fase mempunyai karakter ; notochord dan dasar sirip yang masih rudimenter untuk
prefleksion, notochord melengkung dan dasar sirip pada fase fleksion dan
notochord hilang untuk post fleksion. Karakteristik utama larva ikan bilis tubuh
berbentuk sangat memanjang dan antara dasar sirip punggung dengan dasar sirip
perut tumpang tindih.

Gambar 8. Morfologi larva ikan bilis

Hasil pengukuran bagian-bagian tubuh larva Setipinna tercantum pada Tabel


3. Pertambahan panjang badan dari bentuk preflexion (awal stadia larva) ke
posflexion (akhir stadia larva) 66,1 %. Pertambahan lebar badan dari prefleksion ke
posfleksion rata-rata 49,41 %. Dalam bentuk prefleksion rasio lebar badan dengan
panjang badan mempunyai perbandingan 1 : 21,9. Pada bentuk fleksion rasio
menurun menjadi 1 : 17,86. Rasio perbandingan antara lebar badan dengan panjang
badan turun lagi pada stadia posflexion menjadi 1 : 16,33. Porposi panjang badan
dengan panjang kepala dari prefleksion (0,17) bertambah ke postfleksion (0,19).
Tabel 3. Ukuran bagian-bagian tubuh larva ikan bilis (mm)
Stadia Larva Nilai BD BL HL ED PDL SnL PAL
Preflexion Min. 0,115 2,661 0,490 0,088 1,106 0,194 1,885
Rerata 0,168 3,674 0,610 0,128 1,817 0,244 2,553

Maks 0,235 4,790 0,793 0,190 3,013 0,287 3,270


Flexion Min. 0,145 4,397 0,750 0,152 2,150 0,197 3,060
Rerata 0,286 5,116 0,929 0,188 2,863 0,312 3,566
Maks 0,382 6,457 1,102 0,241 3,876 0,417 4,570

Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 209
Post flexion Min. 0,211 4,529 0,828 0,139 2,297 0,220 3,064
Rerata 0,340 5,558 1,055 0,221 3,136 0,317 3,865

Maks 0,560 6,617 1,288 0,304 4,297 0,411 4,685

Nilai korelasi antara bagian tubuh larva ikan bilis mempunyai kisaran 0,07-
0,781 (Tabel 4). Korelasi lemah terjadi antara semua bagian tubuh dengan snouth
lengh dan antar lebar badan dengan semua bagian tubuh. Korelasi sedang,
didapatkan antara panjang badan dengan semua bagian tubuh kecuali dengan
Snouth length berkorelasi lemah.

Tabel 4. Korelasi (R2) antara bagian-bagian tubuh larva ikan bilis

BD BL HL ED PDL SnL PAL


BD - 0,4092 0,474 0,5298 0,3443 0,07 0,3361
BL - 0,7572 0,6095 0,6276 0,3818 0,781
HL - 0,7176 0,4639 0,4144 0,6269
ED - 0,3722 0,2889 0,5137
PDL - 0,2469 0,6244
SnL - 0,4268
PAL -

Kondisi Habitat
Kondisi perairan habitat larva ikan terubuk dan larva ikan bilis dapat
dibedakan menjadi area penyebaran dan area inti (konsentrasi larva dengan
kelimpahan tinggi). Kondisi perairan pada area penyebaran mempunyai .salinitas
5-30 ppt dengan rerata 24,6 ppt, derajat keasaman (pH) 6,6-7,9 skala, rerata 7,1
skala, kecerahan 0,3-2,1 m rerata 0,9 m dan suhu perairan 29,5-31,2 oC, rerata 30,4
o
C (Tabel 5). Kondisi perairan area penyebaran larva ikan bilis mempunyai
salinitas 23-30 ppt dengan rerata 27 ppt, derajat keasaman (pH) 6,6-7,9 skala
dengan rerata 7,1 skala, kecerahan 0,3-1,9 m rerata 1,8 m dan suhu perairan 29,5-
31,2 oC, rerata 30,4 oC (Tabel 5.).

210 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
Tabel 5. Kondisi perairan area penyebaran larva ikan terubuk dan ikan bilis

Larva Parameter Rerata Min Max


Terubuk/Tropical
shad larvae Sal (ppt) 24,6 5 30
pH (skala) 7,1 6,6 7,9

Trans.(m) 0,9 0,3 2,1

Suhu (˚C) 30,4 29,5 31,2

Sal.(ppt) 27 23 30

pH (skala) 7.1 6.6 7.9


Trans.(m) 1.0 0.3 1.8
Bilis/Hairfin
anchovy larvae Suhu (˚C) 30.4 29.5 31.2

Kondisi perairan area inti daerah asuhan larva ikan terubuk mempunyai
salinitas 5-23 ppt dengan rerata 18 ppt, derajat keasaman (pH) 7-7,5 skala, rerata
7,2 skala, kecerahan 0,3-0,5 m rerata 0,4 m dan suhu perairan 29,5-31 oC, rerata
30,4 oC (Tabel 6). Kondisi perairan habitat inti daerah asuhan larva ikan bilis
mempunyai salinitas 25-27 ppt dengan rerata 26 ppt, derajat keasaman (pH) 6,9-
7,5 skala dengan rerata 7,1 skala, kecerahan 0,3-0,9 m rerata 0,6 m dan suhu
perairan 30-31,2 oC, rerata 30,5 oC (Tabel.6).
Tabel 6. Kondisi perairan habitat inti daerah asuhan larva ikan terubuk dan ikan
bilis
Larva Parameter Rerata Min Max
Terubuk/Tropical Sal.(ppt) 18 5 23
shad larvae pH (skala) 7.2 7 7.5
Trans.(m) 0.4 0.3 0.5

Suhu (˚C) 30.4 29.5 31

Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 211
Bilis/Hairfin Sal.(ppt) 26 25 27
anchovy larvae pH (skala) 7.1 6.9 7.5
Trans.(m) 0.6 0.3 0.9

Suhu (˚C) 30.5 30 31.2

Kelimpahan
Kelimpahan larva ikan terubuk lebih rendah dibandingkan kelimpahan larva
ikan bilis. dikarenakan populasi ikan terubuk lebih rendah. Keadaan ini sesuai
dengan statusnya ikan terubuk yang terancam punah (Suwarso et al, 2003), lebih
sensitif terhadap penangkapan (Blaber et al. 2005), tekanan penangkapan induknya
tinggi (Merta et al. 1999; Efizon et al. 2012), sedangkan ikan bilis status
populasinya belum mendapatkan perhatian (Carpenter & Niem 1999).
Kelimpahan larva ikan terubuk pada saat penelitian 14 ind./103m3,
menunjukkan penurunan dibandingkan peneliti terdahulu dengan kelimpahan 38
ind./103m3, ini sejalan dengan penurunan kelimpahan sumberdaya ikan terubuk
yang tercermin dari penurunan hassil tangkapan per unit usaha yaitu 22-42
ekor/kapal/hari (Merta et al. 1999) menjadi rerata 4,5 kg/trip (Suwarso et al. 2017)
dan ditunjukkan dengan tingkat ekploitasi ikan terubuk yang tinggi (Efizon et al.
2012; Purwanto et al. 2014).
Penyebaran larva ikan terubuk di perairan estuaria Bengkalis lebih luas
dibandingkan larva ikan bilis, karena ikan terubuk mempunyai toleransi yang lebih
lebar terhadap perubahan salinitas dan kekeruhan yang sering terjadi di area
estuaria. Keadaan ini sesuai dengan pernyataan Hogasen (1998) bahwa ikan
diadromous lebih tahan terhadap kondisi ekstrim salinitas dan
kekeruhan/kecerahan, seperti ikan terubuk. Sebaran larva terubuk yang luas ini
sesuai dengan hasil penelitian (Blaber et al. 1999: Wagiyo 2001 & 2003).
Pemusatan kelimpahan larva ikan terubuk pada saat penelitian terjadi pada
area yang sama dengan penelitian terdahulu oleh Wagiyo (2008) yaitu di area
antara Sungai Pakning (stasiun 9), muara Sungai Siak (stasiun 10 & 11) - Sungai
Apit (stasiun 15/ di badan Sungai Siak dan di stasiun 13/di Selat Lalang).
212 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
Melimpahnya larva di daerah ini dimungkinkan merupakan daerah pemijahan,
adanya arus mutar dan pertemuan arus (Grimes & Kingford 1996), shelter dan
barrier. Blaber et al. (2005) menyatakan bahwa melimpahanya larva dibadan sungai
karena terbawa arus dari area pemijahan.

Komposisi
Kontribusi kelimpahan larva terubuk dan larva ikan bilis terhadap
kelimpahan larva keseluruhan masing-masing 3,80 % dan 8,29 %. Kontribusi larva
ikan terubuk saat ini telah menurun sebesar 5,4 % dibandingkan penelitian
terdahulu dengan kontribusi 9,2 % (Wagiyo 2002) dari total kelimpahan larva ikan
di perairan Selat Bengaklis dan sekitarnya Kontribusi larva ikan terubuk yang
menurun ini dapat disebabkan oleh; tekanan penangkapan berlebih, gangguan alur
migrasi karena degradasi lingkungan dan faktor lainnya.
Komposi terbesar fase pre fleksion larva ikan terubuk dan larva ikan bilis
terjadi pada stasiun yang berbeda, menunjukkan area pemijahan utama keduanya
berbeda. Kelimpahan fase preflexion larva ikan terubuk tertinggi terjadi di Sekitar
Sungai Pakning dan Sungai Apit (Tanjung Kurau di Selat Lalang dan Tanjung Kuras
di bagian downstream Sungai Siak ). Ini sesuai dengan penemuan Blabber et al.
(2005) bahwa area pemijahan ikan terubuk disekitar Sungai Pakning. Presentase
fase prefleksion ikan bilis terjadi di sekitar Tanjung Kelemin. Secara bulanan
persentase fase prefleksion larva terubuk terbesar pada September, larva ikan bilis
pada Juli. Pada September di perairan Bengkalis, mulai musim hujan. Aliran air
tawar ini yang dapat merangsang pemijahan ikan terubuk (Ahsan et al. 2014)

Karakter Morfologi
Perbedaan morfologi keduanya pada sirip yang overlapping (Delsman 1933;
Leis &Trnski 1989). Baik larva ikan terubuk maupun ikan larva ikan bilis
mempunyai hubungan yang kuat antara panjang tubuh (BL) dengan panjang perut
bagian depan (PAL). Perbedaan lain adalah larva ikan terubuk mempunyai panjang
tubuh dan panjang bagian perut lebih besar dibandingkan dengan larva ikan bilis

Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 213
(Leis & Carson-Ewart 2000 ). Hubungan yang tidak signifikan antar bagian tubuh
pada larva terubuk dan larva ikan bilis, masing-masing adalah hubungan antar
panjang bagian depan punggung (PDL) dengan panjang bagian mulut (SnL) dan
antara lebar badan (BD) dengan SnL.

Kondisi Habitat
Kondisi habitat merupakan faktor ekternal yang mempengaruhi migrasi
ikan diadromous (Høgåsen 1998), seperti ikan terubuk. Di Bangladesh faktor utama
yang mepengaruhi migrasi ikan yang semarga dengan terubuk yaitu Tenualosa
ilisha adalah suhu air, pH, salinitas dan kekeruhan/kecerahan (Ahsan et al. 2014).
Faktor kondisi habitat merupakan penyumbang penurunan populasi ikan terubuk
(Merta et al. 1999) dan keberhasilan survival rate larvanya. Pengaruh habitat yang
komplek ditemukan pada marga terubuk lainnya dari anggota Alosinae di Amerika
(Hasselma & Limburg 2012).
Hassil penelitian parameter kondisi perairan yang meliputi; suhu perairan
rerata 29,5 oC, derajat keasaman rerata 7,2 skala, salinitas rerata 18 ppt dan
kecerahan rerata 0,4 m, menunjukkan kenaikan dibandingkan hasil penelitian
terdahulu yaitu suhu perairan rerata 29,1 oC, derajat keasaman 6,5 skala, salinitas
9,6 ppt dan kecerahan rerata 0,28 m (Wagiyo 2008). Kenaikan beberapa parameter
ini menunjukkan adanya perbaikan kondisi habitat. Walaupun demikian hasil
penelitian mendapatkan kelimpahan larva ikan terubuk yang menurun, ini dapat
disebabkan adanya zat kimia induser yang mencemari habitat terubuk dan
penangkapan yang berlebih. Kondisi perairan area inti penyebaran larva ini berbeda
dengan kondisi perairan daerah pemijahan yaitu dengan kisaran salinitas 20-25 ppt
(Blaber et al. 1999 &2005). Kondisi perairan yang berbeda antar tingkat kehidupan
juga terjadi pada ikan satu marga yaitu Tenualosa ilisha (Hossain et al. 2016;
Hossain et al. 2019)

KESIMPULAN DAN SARAN

214 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
Kelimpahan larva ikan terubuk lebih rendah dan lebih menyebar
dibandingkan larva ikan bilis. Kelimpahan larva ikan terubuk tertinggi di sekitar
Sungai Apit (stasiun 15) dan larva ikan bilis di sekitar muara Tanjung kelemin di
Pulau Padang (stasiun 11). Kelimpahan fase preflexion larva ikan terubuk tertinggi
terjadi di Sekitar Sungai Apit (Tanjung Kurau-Selat Lalang dan Tanjung.Kuras).
Persentase fase prefleksion larva terubuk terbesar pada September, larva ikan bilis
pada Juli. Area dengan persentase fase prefleksion larva terubuk terbesar di sekitar
Sungai Pakning & Muara Siak, larva ikan bilis di sekitar Tanjung Kelemin.
Morfologi larva ikan terubuk dan larva ikan bilis dicirikan mempunyai kesamaan
hubungan yang kuat antara panjang tubuh (BL) dengan panjang perut bagian depan
(PAL). Perbedaan larva ikan terubuk mempunyai panjang tubuh dan panjang
bagian perut lebih besar dibandingkan dengan larva ikan bilis. Area sebaran larva
terubuk mempunyai range yang lebar terhadap salinitas dan tranparasi. Habitat inti
asuhan larva terubuk mempunyai salinitas dan tranparasi rendah dengan pH netral
. Untuk keberhasilan konservasi terubuk disarankan konservasi habitat asuhan
larva & larva rearing

Daftar Pustaka
Ahmad M. 1974. Perkembangan Usaha Perikanan di Tanjung Medang Kecamatan
Rupat. Warta Universitas Riau, Pekanbaru. 20 hal
Ahmad M, Dahril T & Efizon D. 1995. Ekologi reproduksi ikan Terubuk (Alosa
toli) di Perairan Bengkalis.
Ahsan DA, Naser MN, Bhaumik U, Hazra S & Bhattacharya SB. 2014. Migration,
Spawning Patterns and Conservation of Hilsa Shad (Tenualosa ilisha) in
Bangladesh and India. Copyright: IUCN, International Union for Conservation
of Nature and Natural Resources. 95p
Anonim. 2013. Asal Usul Nama Bengkalis. Sagang online Penyangga dan
Penggerak Kebudayaan Melayu Riau.
Blaber SJM. 2000. Tropical Estuarine Fishes, Ecology, Exploitation and
Conservation. CSIRO Marine Research. Australia
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 215
Blaber SJM, Milton DA, Brewer DT & Salini JP. 2003. Biology, Fisheries, and
Status of Tropical Shads (Tenualosa spp.) in South and Southeast Asia.
American Fisheries Society Symposium 35.
Blaber SJM, Fry G, Milton DA, Van der Velde T, Boon-Teck O, Pang J & Wong
P. 2005. The life history of Tenualosa macrura in Sarawak, further notes on
protandry in the genus and management strategies. Fisheries Management and
Ecology, 12, 201–210
Carpenter KE, & Niem VH. 1999. The Living Marine Resources of the Western
Central Pacific.Vol. 3. Batoid fishes, Chimaeras and Bony Fish Part 1 (Elopidae
to Linophrynidae). FAO Species Identification Guide for Fishery Purposes.
Rome. p.2790.
Delsman HC. 1933. Fish Eggs and Larvae from the Java Sea. Treubia
VOL.XIV,LIVR. 1.
Ganias K. (2014). Biology and Ecology of Sardines and Anchovy.CRC Press. Boca
Raton, London, New york.p.382
Efizon D, Djunaedi OS, Dhahiyat Y & Koswara B. 2012. Kelimpahan Populasi dan
Tingkat Eksploitasi Ikan Terubuk (Tenualosa macrura) di Perairan Bengkalis,
Riau. Berkala Perikanan Terubuk. Vol. 40. No.1. p.52 – 65
Gangan SS, Kumar AP, Bamaniya D, Jahageendars S, Lakra WS & Jaiswar AK.
2018. A Report on Ecotype of Setipinna phasa (Hamilton-Buchanan, 1822) from
Indian Waters. Turk. J.Fish.Aquqt. Sci. 18: 729-738. DOI: 10.4194/1303-2712-
v18_5_08
Grim LB & Kingford MJ. 1996. How do riverine plumes of difference size
influence fish larval: do they enhance recruitment. Mar.Freswater. Res.47:191-
208.
Hasselma DJ & Limburg KE. 2012. Alosine Restoration in the 21st Century:
Challenging the Status Quo. Marine and Coastal Fisheries Dynamics,
Management, and Ecosystem Science 4:174–187. DOI:
10.1080/19425120.2012.675968
216 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
Høgåsen HR. 1998. Physiological Changes Associated with the Diadromous
Migration of Salmonids. Can. Spec. Publ. Fish Aquat. Sci. 127. 128 p.
Hossain MS, Sharifuzzaman SM & Chowdhury SR. 2016. Habitats across the life
cycle of hilsa shad (Tenualosa ilisha) in aquatic ecosystem of Bangladesh.
Fisheries Management and Ecology.p. 1-13. doi: 10.1111/fme.12185
Hossain MS, Sharifuzzaman SM, Rouf MA, Pomeroy RS, Hossain MD,
Chowdhury SR & Uddin SA. 2019. Tropical hilsa shad (Tenualosa ilisha):
Biology, fishery and management. Fish and Fisheries.;20:44–65. DOI:
10.1111/faf.12323
Hufiadi, Mahaiswara & Baihaqi. 2018. Uji Coba Penangkapan Jaring Insang Dua
Lapis untuk Menangkap Ikan Terubu (Tenualosa macrura Bleeker, 1852) Hidup
di Bengkalis. J.Lit.Perikan.Ind. Vol.24 No.1 : 25-36
Kakati BK & Goswani UC. 2013. Characterization of the traditional fermented fish
product Shidol of Northeast India prepared from Puntius sophore and Setipinna
phasa. Indian Journal of Traditional Knowledge. Vol. 12(1) pp.85-90.
Kakati BK & Goswani UC. 2017. Nutritional, microbial and sensory quality
evaluation of fermented Setipinna phasa, Hamilton 1822, (Phassya Shidal),
marketed in North-east India. J. Appl. & Nat. Sci. 9 (1): 237- 244 (2017)
Leis JM & Rennis DS. 1983. The Larvae of Indo-Pacific Coral Reef Fishes. New
South Wales University Press and University of Hawaii Press. Sydney.Honolulu.
Leis JM & Trnski T. 1989. The Larvae of Indo-Pacific Shorefishes. New South
Wales University Press.
Leis JM & Carson-Ewart BM. 2000. The Larvae of Indo-Pacific Coastal Fishes.
An Identification guide to marine fish larvae. Fauna Malesiana Handbook
2.Brill.
Merta GS, Suwarso, Wasilun,. Wagiyo K, Girsang ES & Suprapto. 1999. Status
populasi dan bio-ekologi ikan terubuk Tenualosa macrura (Clupeidae) di
Propinsi Riau. J.Lit.Perik.Ind.5(3), 15-29.

Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 217
Merta GS. 2001. A description of the Terubuk Fishery (Tenualosa macrura) in the
Bengkalis Region of Riau Province, Indonesia. Proceedings of The International
Terubuk Conference. Sarawak, Malaysia. 11-12 September 2001.p.85-99.
Muawinah. 2012. Nilai-nilai Pendidikan Akhlak dalam Syair Ikan Terubuk.
Program Pasca sarjana Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim. Riau.
Purwanto E, Yani AH & Efizon D. 2014. Study the Potential Fisheries Fish Terubuk
(Tenualosa macrura) in Waters Bengkalis Riau. Jurnal Online Mahasiswa
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Riau.Vol.1. No.2.
Roper DS.1986. Occurrence and Recruitment of Fish Larvae in a Northern New
Zealand Estuary. Estuarine, Coastal and Shelf Science. 22, 705-717.
Sarma PK. 2015. Length-Weight relationship and relative condition factor of
gangetic hairfin anchovy Setipinna phasa (Hamilton, 1882) in Dhubri districh of
Assam, India. Adv. Appl.Sci.Res.6(1):5-10.
SEAFDEC. 2007. Larval Fish. Identification Guide for the China Sea and Gulf of
Thailand. Southeast Asian Fisheries Development Center in Collaboration with
the UNEF/GEF South China Sea Project.
Sihotang C, Dahril T & Alawi H. 1991. Studi tentang bio-ekologi ikan Terubuk
(Clupea toli). Fakultas Perikanan, Universitas Riau.
Srilatha G, Mayavu P, Varadharajan D & Chamundeeswari K. 2013. Distribution
of Fin-fish Eggs and Larvae from Point Calimere and Muthupettai, South East
Coast of India. J Aquac Res Development 4:4 . doi.org/10.4172/2155-
9546.1000178
Suwarso & Merta IG. 2003. Penurunan Populasi dan Alternatif Pengelolaan
IkanTerubuk,Tenualosa macrura (Clupeidae),diPropinsiRiau.J.Lit.Perik. Ind.
6(2), 25- 36.
Suwarso. 2017. Tipe Perikanan dan Status Sumberdaya Ikan Terubuk (Tenualosa
macrura, Bleeker 1852) di Perairan Estuarin Bengkalis dan Selat Panjang.
J.Lit.Perikan.Ind. Vol.23 No.4: 261-273

218 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
Wagiyo K. 2001. Spawning site and larval distribution of terubuk in the Bengkalis
Region of Riau Province Indonesia. Proceedings of The International Terubuk
Conference. Sarawak, Malaysia. 11-12 September 2001.p.168-176.
Wagiyo, K. 2002. Kelimpahan larva Terubuk (Tenualosa macrura) dan beberapa
Faktor Hidrologis daerah asuhannya. Seminar Hasil Penelitian Terubuk.
Pekanbaru.
Wagiyo K. 2008. Bioekologi, Sediaan, Eksploitasi dan Konservasi Ikan Terubuk
(Tenualosa macrura). Prosiding Seminar Nasional lkan V Bogor, 3 Juni 2008
Westhaus-Ekau P. 2002. Early Life History of Fish. Series Course on The Sea and
Its Resources. 16-21 September 2002. Purwokerto: Jenderal Soedirman
University. Faculty of Biology.

Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 219
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8

“Arah Pembangunan Perikanan Tangkap Masa


Depan: Pendekatan Transdisiplin untuk
Pengembangan Perikanan Tangkap
Berkerlanjutan”
IPB International Convention Center - Bogor, 17 Oktober 2019

Diselenggarakan oleh:
Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan - Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan - IPB University
dan
Forum Komunikasi Kemitraan Perikanan Tangkap (FK2PT)

Didukung oleh:

220 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019

Anda mungkin juga menyukai