Editor:
Dr Ir Darmawan, MAMA
Prof Dr Ir Tri Wiji Nurani, MSi
Penata Isi:
Nurani Khoerunnisa, SPi
Desain Sampul
Dwi Putra Yuwandana, SPi, MSi
Jumlah Halaman:
219 hal + 5 hal romawi
Penerbit
Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor
Jl. Agatis, Kampus IPB Darmaga, Bogor
Fax: (0251) 8622935
Web: https://psp.fpik.ipb.ac.id
ISBN 978-979-1225-37-3
Perhatian dan harapan tersebut telah ditanggapi oleh jajaran Pemerintah dengan
menyusun dan melaksanakan program pembangunan. Setiap periode Pemerintahan
membuat fokus-fokus tertentu yang ditampikan sebagai program-program
unggulan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan. Namun dua isu besar, yaitu
aspek keberlanjutan dan keadilan dari perikanan tangkap, selalu menjadi tantangan
kita. Sekarang ini boleh dikatakan jargon perikanan yang berkelanjutan, perikanan
yang bertanggungjawab, penangkapan ikan yang ramah lingkungan, konservasi
atau kelestarian sumberdaya ikan semakin popular. Kegiatan penangkapan ikan
harus selalu dikelola agar sumberdaya ikan tidak mengalami overfished. Hal ini
yang kemudian menyebabkan pengawasan dan pengendalian kegiatan
penangkapan ikan semakin meningkat dengan program penanganan Illegal,
Unreported and Unregulated Fishing. Niat untuk mewujudkan pengelolaan yang
lebih baik dapat dilihat dari berbagai upaya lain. Salah satu di antaranya
pengembangan sistem pengelolaan yang dirancang untuk mengakomodasi
karakteristik lokal, yaitu pengelolaan untuk sebelas WPP NRI.
Saat ini kita mengenal banyak konsep yang mencerminkan penerapan multi-disiplin
dalam perikanan tangkap. Beberapa di antaranya adalah konsep integrated coastal
zone management (UN 1992), tata nilai yang disebut Code of Conduct for
Responsible Fisheries (FAO 1995), piranti Rappid Appraisal Tehcnique for
Fisheries (RAPFISH) yang pengembangannya diprakarsai tim dari University of
British Columbia sejak tahun 1996 (Pitcher 1999) dan Ecosystem Approach to
Fisheries Management (Staples et al. 2014) serta harapan global yang tertuang
dalam Sustainable Development Goals. Secara bertahap, Pemerintah juga
mengadopsi dengan adaptasi perspektif dan tata nilai global tersebut guna
menyempurnakan kebijakan dan program di tanah air. Pada institusi
pengembangan SDM, seperti IPB University, proses pembelajaran dan penelitian
untuk sains dan teknologi perikanan menunjukkan perubahan dengan mata kuliah
yang semakin beragam dan fokus.
Seminar nasional ini juga dalam rangka ikut terlibat dalam mendiskusikan
kebijakan nasional perikanan tangkap di masa depan (2019-2024). Konsep
pengembangan perikanan tangkap perlu dipahami secara lebih jelas, agar kita
semua dapat menyiapkan diri berperan aktif mewujudkan pendekatan yang akan
diterapkan.
Kami melihat faktor sumberdaya manusia akan sangat menentukan arah dan
manfaat dari upaya-upaya yang akan digulirkan kalangan pemerintahan di negara
tercinta ini. Oleh karena itu, seminar ini menghadirkan pembicara kunci yang
berasal dari institusi pengembangan sumberdaya manusia (IPB University) dan
institusi yang membuat rencana pembangunan nasional (BAPPENAS). Selain itu,
menghadirkan juga pemikiran dari para pembicara khusus untuk topik-topik: (1)
aspek teknologi perikanan tangkap, (2) aspek bisnis dan perdagangan produk
perikanan, (3) aspek tata kelola dan kebijakan perikanan, (4) aspek masyarakat dan
stakeholder perikanan tangkap, dan (5) aspek pengelolaan kawasan. Sebagai
bagian dari upaya menyalurkan kontribusi dan partisipasi terhadap pengembangan
perikanan nasional, seminar ini dirancang untuk memfasilitasi 50 peserta yang telah
menyampaikan pemikiran yang bermanfaat untuk pengembangan perikanan
Indonesia ke depan.
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 iii
PENGHARGAAN
Pada kesempatan ini atas nama panitia, kami mengucapkan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi tingginya kepada semua pihak yang telah membantu
terselenggaranya kegiatan ini, khususnya kepada:
1. Rektor Institut Pertanian Bogor.
2. Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB.
3. Ketua Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan FPIK IPB.
4. Ketua Forum Komunikasi dan Kemitraan Perikanan Tangkap.
5. Para pembicara.
6. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia/
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Kementerian PPN/
BAPPENAS).
7. Sponsor pendukung (BAPPENAS, Sekolah Vokasi IPB, PT Sahabat
Nelayan Indonesia, dan Perum Perindo)
8. Semua pihak yang telah membantu terselenggaranya kegiatan ini.
Pengantar .............................................................................................................i
Penghargaan ........................................................................................................iv
Daftar Isi..............................................................................................................v
Susunan Panitia ..................................................................................................1
Susunan Acara ............... .....................................................................................4
Jadwal Penyajian Lisan ......................................................................................6
Penyajian Poster .................................................................................................14
Abstrak Pembicara Tema ....................................................................................15
Naskah Prosiding ...............................................................................................22
1. Domestikasi Ikan Sebagai Upaya Membudidayakan Ikan Seluang (Rasbora
sp.) ..................................................................................................................23
2. Laju Penangkapan Hiu yang Didaratkan di Tanjung Luar, Lombok Timur ..36
3. Tren Hasil Tangkapan Gurita Menggunakan Pancing Modifikasi: Studi
Kasus Nelayan Seurapong Kabupaten Aceh Besar ........................................48
4. Prospek Usaha dan Strategi Pengembangan Perikanan Tangkap di PPP
Sadeng, Yogyakarta........................................................................................59
5. Kelayakan Usaha Penangkapan Teri yang Berbasis di PPI Sumur,
Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten .......................................................74
6. Laju Tangkap, Karakteristik Biologi dan Status Pemanfaatan Rajungan
(Portunus pelagicus Linnaeus, 1758) di Perairan Pati ...................................90
7. Distribusi dan Pasokan Ikan Tuna dari Pelabuhan Perikanan Samudera
Cilacap ............................................................................................................110
8. Strategi Peningkatan Mutu Ikan Tuna Hasil Tangkapan Nelayan Pancing
Tonda di Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu ..............................131
9. Peluang Usaha Penyewaan Cold Storage Ikan di Pelabuhan Perikanan
Muara Angke (Studi Kasus PT Lautan Mutiara Jaya) ...................................150
10. Strategi Pemenuhan Standar Dan Persyaratan Ekspor Ikan Tuna ke
Pasar Uni Eropa ...........................................................................................173
11. Kelimpahan, Karakter Morfologi, Komposisi dan Kondisi Perairan
Habitat Larva Ikan Terubuk (Tenualosa macrura) dan Larva Ikan Bilis
(Setipinna sp.) di Estuaria Bengkalis ...........................................................199
SUSUNAN PANITIA
PENANGGUNGJAWAB
Ketua Departemen PSP FPIK IPB
PANITIA PENGARAH
1. Ketua Forum Komunikasi dan Kemitraan Perikanan Tangkap (FK2PT)
2. Dekan FPIK IPB
3. Dr Gellwynn Jusuf
4. Prof Dr Ir Mulyono S Baskoro, MSc
5. Prof Dr Ir Ari Purbayanto, MSc
6. Prof Dr Ir Domu Simbolon, MSi
7. Prof Dr Ir Nazamudin
8. Prof Dr Ir Wudianto
9. Dr Ir Budy Wiryawan, MSc
10. Lida Pet Soede, BSc, MSc, PhD
PANITIA PELAKSANA
Ketua : Dr Ir M. Fedi A Sondita, MSc
Sekretaris : Dr Ir Tri Wiji Nurani, MSi
Bendahara : Dr Retno Muninggar, SPi, MSi
SEKSI KONSUMSI
1. Prihatin Ika Wahyuningrum, SPi, MSi (Koordinator)
2. Dini Handayani, Amd
3. Siskawati, Amd
4. Siti Fina Nurcahyani
EDITOR
1. Prof Dr Ir Tri Wiji Nurani, Msi
2. Dr Ir Darmawan, MAMA
PENERBIT
Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor
Jl. Agatis, Kampus IPB Darmaga, Bogor
Fax: (0251) 8622935
Web: https://psp.fpik.ipb.ac.id
Sesi 1 Tempat: Ruang B Moderator: Prof Tri Wiji Nurani & Dr Naslina
Alimina
Waktu Penyaji Judul Presentasi
13.30-14.00 Pembicara Utama: Machmud SP, MSc, Arief Guntoro MBA
14.00-14.15
14.15-14.30 Budiansyah, Tri 5 Distribusi dan Pasokan Ikan Tuna dari
Wiji Nurani; Sugeng Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap
Hari Wisudo
14.30-14.45 Audita Diah 12 Strategi Pemenuhan Standar dan
Sabrina, Tri Wiji Persyaratan Ekspor Ikan Tuna ke Pasar Uni
Nurani, Prihatin Ika Eropa
Wahyuningrum
14.45-15.00 Nurani 07 Usaha Penyewaan Cold Storage Ikan di
Khoerunnisa, Julia PT Lautan Mutiara Jaya, Pelabuhan
Eka Astarini, Perikanan Muara Angke
Wawan Oktariza
15.00-15.15 Ririn Irnawati, 40 Kelayakan Usaha Penangkapan Teri
Fahresa Nugraheni yang Berbasis di PPI Sumur, Kabupaten
Supadminingsih, Pandeglang, Provinsi Banten
Dini Surilayani,
Hery Sutrawan
Sutrawan, Adi
Susanto, Asep
Hamzah
PENYAJIAN POSTER
Kamis 17 Oktober 2019
Tempat: Ballroom
No Penyaji Judul Poster
1 Andina Ramadhani Putri 02 Status Pemanfaatan Perikanan Kepiting
Pane Merah (Scylla olivacea) di Perairan Mimika
dan Sekitarnya, Papua
2 Heri Widiyastuti 03 Sebaran Frekuensi Panjang, Ukuran Rata-
Rata Tertangkap dan Ukuran Pertama Kali
Matang Gonad Ikan Pelagis Kecil di Perairan
Kendari, Sulawesi Tenggara
3 Nur’ainun Muchlis 04 Karakteristik Biologi Ikan Kuniran
(Upeneus sulphureus) di Perairan Bombana
Sulawesi Tenggara
4 Siti Mardlijah 05 Analisis Isi Lambung Ikan Tongkol Abu
(Thunnus tonggol Bleeker 1851) di Perairan
Laut Jawa
5 Prihatiningsih 06 Musim Pemijahan, Pertumbuhan dan
Mortalitas Ikan Lencam (Lethrinus
atkinsoni) di Perairan Wakatobi, Sulawesi
Tenggara
6 Umi Chodrijah 07 Estimasi Parameter Pertumbuhan Hiu
Monyet (Alopias superciliosus Lowe, 1841)
di Perairan Samudera Hindia Selatan Jawa
7 Tri Wahyu Budiarti 08 Penentuan Jenis Komoditas Unggulan
Sektor Perikanan di Kabupaten Paser
Kalimantan Timur
Indra Jaya
Dept. Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK – IPB, Bogor
Email: indrajaya@apps.ipb.ac.id
Abstrak
Aktivitas perikanan tangkap telah ada dan dimulai sejak pertama kali manusia
berinteraksi dengan perairan sekitarnya, dari era pre-industri hingga era revolusi
industry 4.0 Saat ini. Perikanan tangkap merupakan salah satu sumber penyedia
utama protein, lapangan kerja bagi masyarakat pesisir, sumber pendapatan negara,
dan bahkan sebagai sarana relaksasi. Dalam presentasi ini akan diuraikan jejak
perkembangan industrialisasi di bidang perikanan tangkap hingga saat ini,
khususnya bagaimana denyut perkembangan industri perikanan tangkap yang
diwarnai oleh atau tidak terlepas dari kemajuan iptek dari waktu ke waktu. Seiring
dengan perkembangan iptek, berkembang pula smart fishing, perikanan tangkap
yang mengintegrasikan berbagai data dan informasi sehingga operasi penangkapan
ikan dapat dilakukan semakin efisien, efektif, dan adaptif. Walaupun demikian,
perikanan tangkap Indonesia umumnya masih minim sentuhan teknologi. Oleh
karena itu perlu ada strategi dan langkah-langkah konkrit agar smart fishing dapat
terwujud dalam perikanan tangkap Indonesia. Pilihan strategi dan langkah konkrit
apa yang perlu diambil agar perikanan tangkap tetap berkelanjutan sembari
menerapkan smart fishing akan disampaikan dalam presentasi ini.
Kata kunci: perikanan tangkap, industrialisasi, smart fishing, strategi
Biografi
Prof Dr Indra Jaya, MSc adalah seorang dosen senior pada Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan IPB University. Pendidikan S1 Pemanfaatan Sumberdaya
Perikanan FPIK IPB, S2 dan S3 Marine Accoustic Univ of Delaware USA. Bidang
keahlian Beliau adalah akustik dan instrumentasi kelautan. Banyak karya inovatif
yang telah dihasilkan dan hingga saat ini telah mengajukan beberapa paten antara
lain fry counter, alat pengukur tingkat kesegaran ikan, pemberi pakan ikan/udang
otomatis, instrumen pembeda jenis kelamin ikan koi, alat sortir dan penghitung ikan
hidup, dan alat pengambil sampel ikan air tawar.
1
Badan Riset dan Sumber Daya Manusia, Kementerian Kelautan dan Perikanan
2
Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Korespondensi: a_heri_p@yahoo.com
Abstrak
Bagi Indonesia, keanggotaan dalam Regional Fisheries Management Organizations
(RFMOs) merupakan hal yang praktis tidak dapat dihindarkan. Ada pasal-pasal
UNCLOS yang secara eksplisit mewajibkan negara-negara yang terlibat dalam
kegiatan penangkapan ikan di laut lepas untuk bekerjasama dalam upaya konservasi
dan pengelolaan sumber daya hayati. Indonesia telah merespon ini melalui undang-
undang, peraturan menteri dan sejumlah tindakan yang dilaksanakan dalam rangka
mematuhi pasal-pasal UNCLOS tersebut. Sejumlah keuntungan dapat diperoleh
melalui keanggotaan Indonesia dalam RFMO, misalnya akses pasar dunia untuk
hasil perikanan dan diplomasi perikanan. Terlepas dari itu semua, banyak tantangan
yang harus diselesaikan untuk mengoptimalkan keanggotaan Indonesia dalam
RFMO, misalnya dalam hal monitoring dan pengumpulan data. Makalah ini ditutup
dengan tiga rekomendasi. Ketiga rekomendasi tersebut adalah: (i) pembentukan
Pokja RFMO yang melibatkan akademisi, birokrat, dan pengusaha, (ii) membangun
sistem informasi berbasis teknologi yang terkoneksi antar pelabuhan perikanan
yang melayani perizinan penangkapan ikan di wilayah RFMO, dan (iii)
membangun ketelusuran (traceability) data perikanan.
Kata kunci: akses pasar, diplomasi perikanan, konservasi, laut lepas, pengelolaan,
UNCLOS
Biografi
Prof Dr Agus Heri Purnomo adalah seorang peneliti utama pada Balai Besar Riset
Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan. Pendidikan S1
ditempuh di Jurusan Teknologi Pertanian UGM (1984), S2 Resource and
Environmental Economics, URI USA (1991), dan S3 Fisheries Economics and
Management, SFU, Canada (2000). Dari 2010 hingga saat ini Beliau bekerja
sebagai peneliti utama Bidang Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, dan sejak
2016 hingga saat ini menjabat sebagai National Coordinator Kerjasama Riset
ACIAR (Indonesia – Australia).
Arief Guntoro1
1
Perum Perikanan Indonesia
Abstrak
Penerapan bisnis perikanan secara terpadu di Indonesia tergambar melalui beberapa
lini bisnis yang diterapkan oleh Perum Perikanan Indonesia. Pertama, Lini Bisnis
Kepelabuhanan. Pada segmen ini bisnis perikanan di area pelabuhan meliputi
fasilitas cold storage untuk penyimpanan ikan, pengadaan BBM, air bersih, docking
kapal untuk perbaikan kapal ikan yang rusak, serta tambat labuh untuk kapal
berlabuh di area pelabuhan, serta perdagangan melalui pengelolaan Pasar Ikan
Modern ( PIM Muara Baru).
Kedua, Lini Bisnis Penangkapan. Perum Perindo saat ini telah memiliki kapal
penampung/pengangkut (195 GT dan 132 GT) dan kapal penangkap cumi (140
GT). Pengoperasian kapal cumi menggunakan alat bantu berupa lampu dan
menangkap secara manual dengan alat yang ramah lingkungan.
Ketiga, Lini Bisnis Budidaya. Pada segmen ini Perum Perindo juga mengelola
budidaya perikanan mulai dari budidaya udang Vannamei, Keramba Jaring Apung
(KJA) Kerapu dan Kakap putih hingga menghadirkan pabrik pakan ikan dan udang
merah putih pertama di Indonesia.
Keempat, Lini Bisnis Perdagangan. Komoditas pengolahan laut yang dikelola
Perum Perindo terdapat top 7 komoditas bahan baku perikanan, diantaranya Tuna,
Gurita, Kakap Merah, Cumi – Cumi, Cakalang, Kepiting dan udang.
Biografi
Arief Goentoro, MBA adalah seorang lulusan UGM bidang Manajemen
Agribisnis. Pernah berkarir di PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. sejak 1998
hingga Januari 2018 dengan jabatan terakhir sebagai Assistant Vice President
Corporate Credit Risk Policy. Pada Januari-Oktober 2018 berkarir sebagai General
Manager Credit Risk Management di PT Pegadaian (Persero). Saat ini Beliau
menjabat sebagai Direktur Keuangan pada Perum Perikanan Indonesia.
Abstrak
Istilah Other Effective-area-based Conservation Measure (OECM) yang kemudian
dapat diartikan sebagai “kegiatan konservasi berbasis area selain kawasan
konservasi” dicanangkan pada 2010 Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD).
Indonesia sampai saat ini belum mendeklarasikan wilayah-wilayah yang dikelola
sebagai OECM, yaitu suatu wilayah yang ditentukan secara geografis selain dari
Kawasan Konservasi. Kawasan ini diatur dan dikelola dengan cara untuk mencapai
hasil jangka panjang yang positif dan berkelanjutan untuk konservasi in situ
keanekaragaman hayati. Saat sekarang Indonesia telah meresmikan Rencana Tata
Ruang Laut Nasional (Peraturan Pemerintah No.32 Tahun 2019), namun
pemanfaatan ruang laut antar wilayah termasuk laut lepas di Zona Ekonomi
Eksklusif yang konkrit, masih belum ada. Pendirian OECM selaras dengan upaya
untuk melakukan pemanfaatan dan konservasi sumberdaya ikan secara mandiri di
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) dengan Undang-Undang No.5 Tahun
1983 tentang ZEEI, untuk melindungi kepentingan nasional, khususnya
pemanfaatan sumberdaya alam hayati (ikan) dan non-hayati (misal, mineral dan
gunung bawah laut), perlindungan dan pelestarian lingkungan laut, dan penelitian
ilmiah kelautan dan perikanan. Pendirian OECM ke depan, akan juga memperkuat
implementasi Sustainable Development Goals (SDGs) melalui Peraturan Presiden
RI Nomor 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan, utamanya Tujuan 14.
Indonesia sejauh ini telah mendirikan 170 kawasan konservasi di wilayah pesisir,
dengan luas keseluruhan mencapai lebih dari 20 juta hektar dalam rangka mencapai
komitmen Indonesia untuk mencapai Target Konservasi Keanekaragaman Hayati
Aichi 11, seluas paling tidak 30 juta hektar. Namun Kawasan tersebut belum ada
yang dikembangkan di wilayah perairan lepas pantai, seperti OECM. Padahal,
perairan lepas pantai juga merupakan tempat hidup bagi beragam sumberdaya
hayati, terutama ikan-ikan pelagis bernilai ekonomi seperti tuna, cakalang dan
tongkol, yang penting bagi pembangunan ekonomi Indonesia. Oleh karenanya,
untuk menjaga kesinambungan potensi ikan-ikan pelagis bernilai ekonomi,
18 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
pendirian kawasan OECM merupakan sebuah keputusan yang strategis. Pendekatan
berbasis ilmiah dan transdisiplin untuk pengembangan OECM masih menjadi
tantangan bagi Indonesia. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), dengan
para partnernya, seperti Wildlife Conservation Society (WCS Indonesia) dan
Perguruan tinggi (IPB) menginisiasi pengembangan OECM di Laut Sulawesi.
Pendekatan ilmiah dengan proses partisipatif akan dilakukan dalam 5 tahun ke
depan untuk merancang OECM. Proses inisiasi telah mengidentifikasi lima kriteria
yang harus dipenuhi OECM, yaitu: (1) Lokasi geografis yang jelas, secara spasial
(boundary) ; (2) Tujuan konservasi dan manajemen stok ikan terintegras dengan
industri perikanan tangkapi, utamanya spesies pelagis (Science based); (3)
Kehadiran komponen ekologis yang menarik, seperti habitat gunung laut (non-
commercial value); (4) Durasi implementasi jangka panjang selaras dengan
peraturan-perundangan (policy); (5) Komponen ekologis yang menarik, dengan
prinsip tidak ada kegiatan manusia yang tidak sesuai dengan konservasi
(collaborative).
Kata kunci: OECM, transdisiplin, pengelolaan perikanan tangkap
Biografi
Dr Ir Budy Wiryawan, MSc merupakan Dosen Senior IPB University. Doktor di
bidang Fisheries Oceanography diraihnya pada tahun 1997 dari Christian Albrecht
University, Kiel, Jerman. Beliau adalah peneliti bidang perikanan dan kelautan,
dengan Indeks Scopus (article = 17, citation 19, H-Index=3, Scholar Index
(Article=160, Citation =225, H-Index=9 dan Dikti Sinta Score = 8.72. Penelitian
kerjasama bidang perikanan tangkap telah Beliau rintis secara internasional dengan
berbagai institusi, seperti: BestTuna Research Project-Wageningen University,
Belanda; Lifelihood Research Project-ACIAR Australia; Joint Degree & Research
Collaboration-Murdoch University Australia; dan sekaligus menjadi Adjunct
Professor (2018-2021). Research Collaboration on Reef Fisheries-Rostock
University, Jerman, sebagai technical advisor Yayasan Masyarakat dan Perikanan
Indonesia (MDPI) dan DHI Water & Environment.
Abstract
This paper will discuss the role of community and other stakeholders in coastal
(fisheries) management. In so doing, the discussion will work at two different
levels, theoretical and practical. For the first, the paper will explain the development
of theory of the commons and see how Indonesian cases are talked about. Hardin’s
tragedy of the commons will be the departing point of the discussion and followed
by anthropological studies on marine communal tenure and community based
management by which Indonesian cases are part of it. In the early 1980s, Indonesian
cases were used to criticize the notion of the tragedy of the common and argued that
traditional communities had been practicing sustainable coastal (fisheries)
management. Latter studies looked at the cases in more critical, and found that the
‘greening’ of the tradition happened just recently via the involvement of
conservation NGOs in 1980s. Studies also found that communal tenure and
traditional coastal management practice were seen differently by different people
and they were also integral part of the whole construction of social order in the
community. This means that the communal tenure and tradition are not only
understood as a means of resource management. Thus, when we use communal
tenure and the tradition as the basis for the establishment of a better coastal
(fisheries) management, we need to think beyond revitalization and formalization
but the improvement by which modern sciences are needed. This is the call for the
involvement of other stakeholders.
Second, the paper will demonstrate how community-based coastal management
practices in Indonesia, particularly in Maluku and Papua, are improved. This part
of the discussion will highlight some efforts conducted by The Indonesian Locally
Managed Marine Area (ILLMA) in turning communal marine tenure and the
traditional practices into a better coastal (fisheries) management. In this context, the
paper will show that the ILLMA has helped the community to focus their
perspective on communal marine area as a coastal (fisheries) management area
rather than as object of ownership. With this, the conflict pertaining to multiple
ownership claims can be avoided. The paper will also show that ILLMA has
successfully convinced communities to revise and adopt new resource management
tools for a betterment of their tradition.
Biografi
Dedi Supriadi Adhuri, PhD (Antropologi) adalah seorang peneliti senior pada
Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB)-LIPI. Beliau menempuh
pendidikan S1Antropologi Universitas Indonesia (1990), Graduate Non-degree,
Antropologi, ANU Australia (1995), serta PhD Antroplogi di ANU Australia pada
tahun 2002. Dari tahun 2006-2010 mengikuti Post-doc WorldFish Center, dan
bekerja sebagai peneliti LIPI dari tahun 1992 hingga saat ini.
ABTRACT
Seluang is a river fish that is a typical food of the community, especially in South
Sumatra. As an economical fish, pollution of the river environment and
overexploitation have made decline catches, especially Seluang. Fish culture is
needed to maintain the continuity of fish species and increase stock.The study was
conducted to look at opportunities for fish culture with domestication from May to
July 2019 at the Laboratory of Fisheries, Faculty of Agriculture, Muhammadiyah
University, Palembang. The method used is a Completely Randomized Design
(CRD) with six treatments and three replications with stocking densities of 5 fish,
ten fish, 15 fish, 20 fish, 25 fish, and 30 fish. The results of the 60-day study showed
domestication could be carried out, and the fish responded to the pellet feed given.
The 25-tailed stocking density treatment had a long growth with an average of
2.235 cm and a substantial growth with an average of 0.332grams. The survival
rate of treatments 5-25 fish is classified as high, with values ranging from 86-96%,
while at 30 stocked densities, the survival rate is low with a value of 79.33%.
Keywords: Cultivation, domestication, seluang fish, stocking density
ABSTRAK
Ikan seluang (Rasbora sp.) merupakan ikan sungai yang menjadi makanan khas dari
masyarakat, terutama di Sumatera Selatan. Pencemaran lingkungan sungai dan
eksploitasi berlebih membuat hasil tangkapan ikan seluang semakin rendah.
Sebagai ikan ekonomis, ikan seluang perlu mulai dibudidayakan. Penelitian
dilakukan untuk melihat peluang budidaya ikan seluang dengan upaya domestikasi.
Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juli 2019 di Laboratorium
Perikanan Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Palembang. Metode
yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 6 perlakuan dan
3 ulangan dengan padat tebar ikan seluang 5ekor, 10ekor, 15ekor, 20ekor, 25ekor
dan 30ekor. Hasil penelitian selama 60 hari menunjukkan domestikasi dapat
dilakukan dan ikan seluang merespon pakan buatan yang diberikan. Pertumbuhan
terbaik pada panjang dengan rata-rata 2,235cm dan pertumbuhan berat dengan rata-
rata 0,332gram pada padat tebar 25 ekor. Tingkat kelangsungan hidup ikan seluang
padat tebar 5- 25 ekor tergolong tinggi dengan nilai berkisar 86-96%, sementara
pada padat tebar 30 ekor, kelangsungan hidup rendah dengan nilai 79,33%.
Kata Kunci : Budidaya, domestikasi, ikan seluang, padat tebar
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 23
PENDAHULUAN
Daerah aliran Sungai Musi yang termasuk dalam perairan umum memiliki
keanekaragaman jenis ikan yang tinggi. Menurut BRPPU (2010), tidak kurang dari
233 spesies ikan di Sungai Musi yang keseluruhan tercakup dalam 38 familia. Ikan
seluang merupakan salah satu keanekaragaman jenis ikan di Sungai Musi yang
termasuk ke dalam genus Rasbora. Di Asia Tenggara danAfrika dapat ditemukan
70 spesies Rasbora, sedangkan di Indonesia terdapat beberapa spesies seperti;
Rasbora heteromorpha, Rasbora argyrotaenia, Rasbora bankanesis, Rasbora
borapetensis, Rasboraeleganns (BRPPU, 2007). Ikan seluang di Indonesia tersebar
di Pulau Sumatera, Kalimantan dan Jawa (Kottelat, 1993). Ikan seluang memiliki
beberapa nama lokal, seperti ikan bada (Sumatera Barat), ikan paray (Jawa Barat),
ikan wader (Jawa), ikan badar (Sungai Rokan, Riau), ikan pantau (Kampar), ikan
cempedik (Belitung), ikan marem (Mariana, Banyuasin) dan ikan depik (Aceh
Tengah). Ikan depik (Rasbora tawarensis) merupakan ikan endemik di Laut Tawar
Kabupaten Aceh Tengah menurut Weber and de Beaufort (1916). Ikan seluang di
Jogjakarta tepatnya di Kabupaten Kulon Progo disebut ikan wader pari. Ikan ini
menjadi komoditas penting bagi warga Kulon Progo (Djumanto et al., 2008).
Ikan seluang yang bernilai ekonomis merupakan makanan khas masyarakat
di Sumatera Selatan. Ikan seluang dalam bentuk goreng banyak disajikan di rumah
makan, restoran bahkan di hotel berbintang dengan harga yang tinggi. Husnah dan
Nasyirudin (2009) menjelaskan bahwa ikan seluang habitatnya di air yang mengalir
dengan kecepatan arus berkisar 0,2-1,1m/detik seperti badan utama sungai dan
anak-anak sungai. Sulit menemukan ikan seluang di tempat yang berlumpur seperti
muara (Ahmad san Nofrizal, 2011). Hampir disetiap daerah aliran Sungai Musi,
menjadi habitat ikan seluang, sehingga keberadaannya melimpah tetapi ekploitasi
berlebih dan pencemaran lingkungan membuat hasil tangkapan ikan seluang
semakin berkurang.
Ikan seluang jenis Rasbora bankanensis merupakan ikan seluang pertama
yang ditemukan di Pulau Bangka, saat ini populasinya sudah sulit ditemukan.
METODE
Penelitian dilakukan di laboratorium Perikanan Fakultas Pertanian
Universitas Muhammadiyah Palembang selama dua bulan, yaitu dari bulan Mei –
Juli 2019. Metode yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan
6 perlakuan (P1:5ekor, P2:10ekor, P3:15ekor, P4:20ekor, P5:25ekor dan
P6:30ekor) dengantiga (3) kali ulangan. Media pemeliharaan adalah akuarium
berukuran 30×30×13cm, yang berjumlah 18 buah dengan volume air 12 liter.
Ikan contoh diperoleh dari hasil tangkapan nelayan di anak sungai Musi
bagian hilir dengan menggunakan alat tangkap bubu payung pada bulan Maret-
April 2019. Bubu dipasang di sungai yang mengalir selama ± 1 jam. Ikan yang
tertangkap dipelihara di dalam bak beton agar ikan dapat beradaptasi dengan
lingkungan sebelum dilakukan penelitian.
Akuarium yang sudah dibersihkan sebagai media pemeliharaan diisi air 12
liter dan diberi aerasi, lalu dimasukkan ikan seluang sesuai dengan padat tebar.
Sebagai data awal dihitung panjang, berat dan kelangsungan hidup ikan. Selama 60
hari pemeliharaan ikan seluang dibiasakan mengkonsumsi pakan komersil secara
adlibitum, dengan frekuensi pemberian pakan dua kali sehari, pagi dan sore hari.
Pengukuran kualitas air meliputisuhu, pH, oksigen terlarut. Sampling ikan
dilakukan 15 hari sekali dengan teknik random. Ikan diambil dari setiap akuarium
sebanyak 30% dari jumlah ikan, lalu diukur panjangnya dengan rumus (Effendi,
2004) :
𝑳𝒎 = 𝐋𝐭 − 𝐋𝐨
Keterangan : Lm : Pertumbuhan panjang mutlak (cm)
Lt : Panjang akhir ikan (cm)
Lo : Panjang awal ikan (cm)
Hasil pertumbuhan berat ikan seluang yang terbaik terdapat pada padat tebar
25 ekor (P5) dengan berat rata-rata 0,332gram sedangkan perlakuan yang terendah
terdapat pada padat tebar 5 ekor (P1) dengan berat rata-rata 0,115gram.
Berdasarkan analisis sidik ragam menunjukkan pertumbuhan berat berpengaruh
nyata.
0,350 0,332
0,313 0,308
0,300
Pertumbuhan Berat (g)
0,250
0,207
0,200
0,146
0,150 0,115
0,100
0,050
0,000
5 10 15 20 25 30
Perlakuan (ekor)
Gambar 2. Pertumbuhan berat ikan seluang berdasar perlakuan.
120,00
Kelangsungan Hidup (%)
60,00
40,00
20,00
0,00
5 10 15 20 25 30
Perlakuan (ekor)
Gambar 3. Tingkat kelangsungan hidup ikan seluang berdasar perlakuan.
Data kualitas air pada media pemeliharaan diambil setiap 15 hari sekali
dengan menggunakan DO meter untuk menganalisis oksigen terlarut, pH meter
untuk mengukur keasaman dan termometer untuk mengukur suhu.
Ikan seluang yang tertangkap terdapat dua jenis yaitu Rasbora argyrotaenia
dan Rasbora borapetensis. Dua minggu awal pemeliharaan Rasbora argyrotaenia
banyak mengalami kematian dibandingkan dengan Rasbora borapetensis. Satu
minggu pertama Rasbora argyrotaenia merespon makanan dengan baik tetapi di
minggu kedua menjadi lebih pasif dan tidak merespon makanan.
Berdasarkan informasi nelayan setempat, saat musim kemarau di sepanjang
anak Sungai Musi banyak terdapat ikan seluang yang kecil. Menurut Windarti
(2004) bahwa di musim penghujan ikan Rasbora trilineata melakukan pemijahan
(Oktober-Desember). Penelitian Suryani, F.Y et al. (2019) menyatakan ikan
seluang kecil berukuran 2-6cm, sedang 7-11cm dan besar 12-16cm, dengan
demikian ikan sampel yang tertangkap pada bulan Maret dan April 2019 oleh
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 29
nelayan adalah anakan ikan seluang atau ikan kecil dengan ukuran 1-2cm. Menurut
Sudarto (2010), panjang ikan seluang maksimum mencapai 12 cm, tidak
mempunyai sungut tetapi memiliki duri sirip punggung 2 buah. Diduga kematian
ikan jenis Rasboravargyrotaenia yang tertangkap di anak Sungai Musi tidak tahan
terhadap perubahan lingkungan karena masih anakan.
Hasil uji BNT menunjukkan padat tebar 25 ekor berbeda nyata terhadap
pertumbuhan panjang dan berat ikan seluang. Hal ini dikarenakan ikan seluang
hidupnya berkoloni dan tidak pernah menyendiri di air yang jernih. Semakin
banyak ikan yang ditebar maka respon ikan terhadap pakan juga lebih tinggi,
sehingga pertumbuhan ikan juga meningkat seiring dengan peningkatan padat
tebar. Pada padat tebar yang tinggi, ikan akan mempunyai daya saing dalam
memanfaatkan makan dan ruang gerak, sehingga memicu ikan lainnya untuk
bergerak aktif dalam pemanfaatan makanan. Kondisi ini sejalan dengan ungkpan
Sarah et al. (2009) bahwa pertumbuhan ikan tergantung pada beberapa faktor yaitu
jenis ikan, sifat genetik dan kemampuan memanfatkan pakan. Menurut Effendi
(2002), pertumbuhan benih ikan terjadi akibat adanya asupan makanan yang masuk
ke dalam tubuh dan diubah menjadi energi untuk beraktifitas dan metabolisme.
Makanan yang didapat oleh ikan digunakan untuk pergerakan, pemulihan organ
tubuh yang rusak, dan selebihnya digunakan untuk pertumbuhan (Helmizuryani et
al. 2017).
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa domestikasi ikan seluang
tidak berpengaruh nyata terhadap kelangsungan hidup, dengan nilai SR lebih dari
79,33%. Dikarenakan kemampuan hidup ikan cukup tinggi dalam domestikasi,
sehingga dengan padat tebar yang berbeda tidak berpengaruh secara nyata. Tingkat
kelangsungan hidup dapat digunakan sebagai salah satu indikator keberhasilan
suatu kegiatan budidaya ikan. Jika diperoleh nilai SR yang tinggi pada suatu
KESIMPULAN
Ikan seluang merespon pakan yang diberi dan dapat bertahan hidup pada
media pemeliharaan. Pertumbuhan panjang dan berat terbaik terdapat pada padat
SARAN
Penelitian hendaknya diteruskan dengan menganalisis kualitas air pada media
pemeliharaan dengan menambah parameter total alkalinitas dan amoniak.
Domestikasi lanjutan dilakukan dengan beberapa jenisikan seluang hasil tangkapan
di sepanjang Sungai Musi (inventarisasi ikan seluang) dengan melakukan
pertimbangan hasil FCR yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad M, Nofrizal. 2011. Pemijahan dan Penjinakan Ikan Pantau(Rasbora
latestriata). Jurnal Perikanan dan Kelautan, 16(1): 71-78.
Augusta TS. 2018. Studi Adaptasi Ikan Seluang (Rasbora agyrotaenia)
Berdasarkan Tahap Domestikasi dari Perairan Sebangau. University
Palangka Raya. Jurnal Daun. 5(1).
Arsyad MN, Syaefudin A. 2010. Food and Feeding Habit of Rasbora (Rasbora
argyrotaenia, Blkr) in The down Stream of Musi River. Proceeding of
Internastional Conference on Indonasian Inland Waters II. Reasearch Institute
for Inland Fisheries, Palembang . Hal 217-224.
Balai Riset Perikanan Perairan Umum. 2007. Mengenal Ikan Perairan Umum.
Balai Riset Perikanan Perairan Umum, Palembang.
Balai Riset Perikanan Perairan Umum. 2010. Perikanan Perairan Sungai Musi
Sumatera Selatan. Palembang: Balai Riset Perikanan Perairan Umum.
Dian M, Helmi H, dan Arsyad N. 2017. Kebiasaan Makan Ikan Seluang (Rasbora
agrytaenia) di Perairan Sungai Musi. Program Studi Ilmu Perikana, Fakultas
Perikanan, Universitas PGRI Palembang. (https://jurnal.univpgri-
palembang.ac.id diakses 28 maret 2019).
ABSTRACT
Shark is the main target in Tanjung Luar, East Lombok with increasing fishing
efforts. This issue contradicts with the several regulations regarding the capture,
use and conservation of shark species in Indonesia. This study aims to examine the
rate of shark landed in Tanjung Luar from March to December 2018. The method
used is direct data collection using survey methods and data processing with the
Catch per Unit Effort (CpUE) consisting of fishing gear types, number of species,
biomass and number of ships. Data analysis is performed descriptively based on
shark catch rate. The results was given reveals that a total number of 10,712
individuals from 15 variations of fishing gear, obtained the highest average catch
rate of catching individuals by a fleet that operated drift gillnet and drift longline
was 7.90 tails / ship / month. Furthermore, the highest average cacth rate based on
biomass is owned by the fleet that operates the drift longline (242.89 kg/ ship/
month). Based on the results of the analysis, the value of shark catch rate is
influenced by several factors including the gear, the method of operation and the
skills of fisherman.
Keywords: Catching rate, East Lombok, shark, Tanjung Luar
ABSTRAK
Produksi perikanan hiu merupakan kelompok ikan target utama di Tanjung Luar,
Lombok Timur dengan upaya penangkapan yang terus meningkat. Hal ini
bertentangan dengan beberapa peraturan terkait penangkapan, pemanfaatan dan
status perlindungan spesies hiu di Indonesia. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan
untuk mendapatkan informasi terkait laju penangkapan hiu yang didaratkan di
Tanjung Luar selama bulan Maret – Desember 2018. Metode penelitian ini dengan
melakukan pendataan langsung menggunakan metode survey dan pengolahan data
berdasarkan perhitungan catch per unit effort (CPUE) terdiri dari jenis alat tangkap,
jumlah spesies, biomassa dan jumlah kapal. Analisis data dilakukan secara
deskriptif berdasarkan laju tangkapan hiu. Hasil penelitian menunjukkan dari
PENDAHULUAN
Hiu merupakan salah satu komoditas perikanan yang memiliki nilai ekologis
yang penting dalam ekosistem terumbu karang dan lautan (Hanifa 2017). Spesies
Elasmobranchii ini adalah predator puncak pada rantai makanan di laut dan jika
ditangkap terus menerus akan mengalami kepunahan, sehingga ekosistem laut akan
mengalami kerusakan parah (Graham et al. 2010; Hanifa 2017). Data FAO
melaporkan bahwa total tangkapan hiu di dunia pada tahun 1994 mencapai 731 ribu
ton (Fahmi dan Dharmadi 2005). Dari jumlah tersebut, Negara di Asia
menyumbang 60% dari total tangkapan tersebut (Froeschke et al. 2010). Empat
negara di Asia, yaitu Indonesia, India, Jepang dan Pakistan berkontribusi sekitar
75% dari total tangkapan ikan hiu di wilayah Asia (Bonfil 2002).
Salah satu daerah potensial penangkapan dan produksi hiu berdasarkan
distribusinya di Indonesia adalah Tanjung Luar (Sentosa 2016). Keragaan jenis hiu
dan pari hasil tangkapan nelayan Tanjung Luar juga relatif tinggi dimana tahun
2016 tercatat lebih banyak lagi jenisnya, yaitu sekitar 21 famili dan 70 spesies ikan
hiu, 6 famili dan 33 spesies pari serta 1 famili dan 2 spesies Chimaera atau hiu hantu
(Sentosa et al. 2017). Aktivitas penangkapan hiu oleh nelayan Tanjung Luar
menggunakan alat tangkap rawai (longline) yang dioperasikan di dasar maupun di
permukaan walaupun juga terdapat alat tangkap lainnya yang digunakan seperti
jaring insang (gillnet), pancing dan jaring lingkar (White et al. 2012; Dharmadi et
al. 2013; Fahmi dan Dharmadi 2015). Tingginya kegiatan penangkapan yang
dilakukan oleh nelayan Tanjung Luar dipengaruhi oleh faktor permintaan pasar
METODE
Penelitian dilakukan di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Tanjung Luar,
Lombok Timur selama bulan Maret – Desember 2018 (Gambar 1). Pengumpulan
data terkait jenis alat tangkap, jumlah spesies, biomassa dan jumlah kapal
didapatkan melalui pendataan secara langsung menggunakan metode survey.
Pencatatan data dilakukan setiap hari dari sejumlah kapal yang menggunakan
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑇𝑎𝑛𝑔𝑘𝑎𝑝𝑎𝑛
𝐶𝑝𝑈𝐸 = 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ (1)
𝑇𝑟𝑖𝑝 𝐾𝑎𝑝𝑎𝑙
Keterangan:
𝐶𝑝𝑈𝐸 : Hasil tangkapan per upaya penangkapan alat tangkap
Total tangkapan : Jumlah hiu yang tertangkap baik ekor ataupun bobotnya
Jumlah Trip kapal : Trip kapal yang melakukan penangkapan
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 39
Hasil pengolahan data kemudian dilakukan analisis deskriptif, dengan
menjelaskan semua rangkaian kegiatan mulai dari komposisi hasil tangkapan dan
laju tangkap hiu yang didaratkan di Tanjung Luar.
HASIL
Tanjung Luar merupakan salah satu sentra pendaratan hiu terbesar di Wilayah
Pengelolaan Perikanan (WPP) 573 dimana hampir sebagian besar jenis hiu
ditangkap dan didaratkan secara utuh dengan alat tangkap didominasi oleh rawai
dasar dan rawai hanyut (White et al. 2012; Dharmadi et al. 2013; Sentosa et al.
2016). Jenis hiu yang didaratkan di Tanjung Luar merupakan hasil tangkapan dari
nelayan sekitar perairan Nusa Tenggara Barat. Berdasarkan hasil survey diperoleh
tangkapan hiu yang didaratkan sebanyak 10.712 ekor yang dibagi menjadi
berdasarkan jumlah ekor dan berat (Gambar 2 dan 3).
Orectolobus leptolineatus
Hemitriakis indroyonoi
Galeocerdo cuvier Total-ID
Atelomycterus marmoratus (Ekor)
Carcharhinus falciformis
Carcharhinus brevipinna
Carcharhinus leucas
Heptranchias perlo
Mustelus manazo
Galeocerdo cuvier
Triaenodon obesus
0 50 100
Ekor
Gambar 2 Proporsi tangkapan hiu berdasarkan jumlah ekor Maret – Desember 2018
Loxodon macrorhinus
Sphyrna lewini
Carcharhinus falciformis
Prionace glauca Weight-ID
Sphyrna lewini (kg)
Galeocerdo cuvier
Hemitriakis indroyonoi
Squalus nasutus
Triaenodon obesus
Hemitriakis indroyonoi
Triaenodon obesus
Mustelus manazo
Triaenodon obesus
0,00 1000,00 2000,00 3000,00
Kg
Gambar 3 Proporsi tangkapan hiu berdasarkan jumlah berat Maret – Desember 2018
250 November
Agustus
200
Desember
150
Juli
100
Juni
50
Maret
0 Mei
Oktober
Alat Tangkap
9
8
CpUE (Ekor/kapal/bulan)
7
6
5
4 Total
3
2
1
0
Alat Tangkap
Gambar 5 Laju tangkap hiu berdasarkan jumlah spesies (ind) Maret - Desember 2018
300
CPUE (kg/kapal/bulan)
250
200
150
100
Total
50
0
Alat Tangkap
Gambar 6 Laju tangkap hiu berdasarkan jumlah biomassa (kg) Maret – Desember 2018
PEMBAHASAN
Proporsi jenis hiu yang didaratkan di Tanjung Luar pada tahun 2018 secara
umum tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya oleh White et al.
(2012), Faizah et al. (2013) dan Chodrijah (2014) dimana famili Carcharhinidae
mendominasi hasil tangkapan dari spesies hiu kejen (Carcharhinus falciformis).
Jenis hiu yang didaratkan pada tahun 2018 relatif lebih beragam yang terdiri dari
72 spesies, dengan spesies dominan diantaranya adalah Carcharhinus falciformis
KESIMPULAN
Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa dari 10.712 ekor hiu dengan 15
variasi alat tangkap, rerata laju penangkapan individu tertinggi oleh armada yang
mengoperasikan gillnet hanyut dan rawai hanyut sebesar 7,90 ekor/kapal/bulan.
Rerata laju penangkapan berdasarkan biomassa tertinggi dimiliki oleh armada yang
mengoperasikan alat tangkap rawai hanyut (242,89 kg/kapal/bulan). Berdasarkan
hasil analisa, nilai laju penangkapan hiu dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya yaitu jenis alat tangkap, metode pengoperasian dan keahlian nelayan
dalam mengoperasikan alat tangkap.
DAFTAR PUSTAKA
Allen G. 1999. Marine Fishes of South East Asia: A Field Guide for Anglers and
Divers. Singapore: Western Australian Museum, Periplus Edition. 292.
Blaber SJM, Dichmont CM, White W, Buckworth R, Sadiyah L, Iskandar B,
Nurhakim S, Pillans R, Andamari R, Dharmadi, Fahmi. 2009.
Elasmobranchs in Southern Indonesian Fsheries: The Fisheries, the Status
of the Stocks and Management Options. Rev Fish Biol Fisheries. 19: 367-
391.
Bonfil R. 1994. Overview of World Elasmobranch Fisheries. FAO Fisheries
Technical Paper. 341-119.
Cavanagh RD, Kyne PM, Fowler SL, Musick JA, Bennetf MB. (Eds). 2003. The
Consentalion Status of Australasian Chondrichthyans: Report of the Shark
Specialist Group Australia and Oceania regional Red List Workshop,
Queensland, Australia. Brisbane: The University of Queensland, Schoolof
Biomedical Sciences.
Chodrijah U. 2014. Komposisi dan Fluktuasi Tangkapan Ikan Cucut dari Perairan
Samudera Hindia Selatan Jawa Pada Area Selatan Nusa Tenggara Barat.
In Suman, A., Wudianto, A. Ghofar, dan J. Haluan (eds.). Status
pemanfaatan sumberdaya ikan di Samudera Hindia (WPP 572, 573) dan
Samudera Pasifik (WPP 717). Jakarta: Ref Graphika dan Balai Penelitian
Perikanan Laut.
Compagno LJV. 1984. FAO Species Catalogue. Vol. 4. Sharks of the world. An
annotated and illustrated catalogue of shark species known to date. InFAO
Fish. Synop. 125(4).
Dharmadi, Fahmi. 2008. Biodiversitas Ikan Pari yang Tertangkap di Perairan
Samudera Hindia. Prosiding Seminar Nasional Ikan V. 187-195.
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 45
Dharmadi S, Triharyuni, J Rianto. 2010. Hasil Tangkapan Cucut yang Tertangkap
dengan Jaring Insang Permukaan di Perairan Samudera Hindia.
J.Lit.Perikan.Ind. 16(4): 285– 291.
Dharmadi R, Faizah, L Sadiyah. 2013. Shark Longline Fishery in Tanjungluar East
Lombok. Indonesia Fisheries Research Journal. 19(1): 39–46.
Fahmi, Dharmadi. 2005. Status Perikanan Hiu dan Aspek Pengelolaannya. Oseana.
30: 1-8.
Fahmi, Dharmadi. 2013. Tinjauan Status Perikanan Hiu dan Upaya Konservasinya
di Indonesia. Jakarta: Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan
Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. 179.
Fahmi, Dharmadi. 2015. Pelagic Shark Fisheries of Indonesia’s Eastern Indian
Ocean Fisheries Management Region. African Journal of Marine Science.
37(2): 259–265.
Faizah R, L Sadiyah, Dharmadi. 2013. Komposisi Jenis Cucut Hasil Tangkapan
Rawai Cucut yang didaratkan di PPI Tanjung Luar, Lombok Timur. In
Kartamihardja et al. (Ed.). Prosiding Forum Nasional Pemulihan dan
Konservasi Sumberdaya Ikan IV, KSI–PI 43. Purwakarta: Balai Penelitian
Pemulihan dan Konservasi Sumber Daya Ikan. 1-11.
Froeschke J, Stunz GW, Wildhaber ML. 2010. Enviromental Influences on the
Occurrence Coastal Sharks in Estuarine Waters. Mar. Ecol. Prog. Ser. 407:
279-292.
Graham NA, Spalding MD, Sheppard CRC. 2010. Reef Shark Declines in Remote
Atolls Highlight The Need For Multi-Faceted Conservation Action. Aquatic
Conserv: Mar. Freshw. Ecosys. 20: 543-548.
Hanifa I. 2017. Komposisi Hasil Tangkapan Hiu yang didaratkan di Pelabuhan
Perikanan Samudera (PPS) Cilacap [tesis]. Bogor: IPB University.
Indian Ocean Tuna Commission (IOTC). 2012. Shark and Ray Identification in
Indian Ocean Pelagic Fisheries. Indian Ocean Tuna Commission (IOTC), in
Collaboration with the Secretariat of the Pacific Community (SPC).
Victoria: Seychelles.
ABSTRACT
Pulo Aceh is part of the Conservation Waters Conservation Area in Aceh Besar
District with an area of 240.75 Km2. Pulo Aceh has considerable fisheries resource
potential with dominant fisheries commodities consisting of octopus, reef fish,
pelagic fish and lobster. This study aims to determine the level of exploitation of
octopus catches and the effectiveness of modified fishing rods used by Seurapong
fishermen. The method used is experimental fishing with a duration of observation
and data collection of 1 trip per day for 31 days. The method used is with a duration
of observation and data collection of 1 trip per day for 31 days. This research was
conducted in July - August 2019 in Pulo Aceh, Aceh Besar District. Modified fishing
bait resembling an orange crab used by fishermen can increase octopus’s catches.
This can be seen from the total weight of the catch for 31 trips (days), namely Amir
at 368 kg and Syaribin by 378 kg.
Keywords: biodiversity, experimental fishing, modified fishing, octopus
exploitation
ABSTRAK
Pulo Aceh merupakan bahagian dari Kawasan Konservasi Perairan Suaka Alam
Perairan di Kabupaten Aceh Besar dengan luas 240,75 Km2. Pulo Aceh memiliki
potensi sumberdaya perikanan yang cukup besar dengan komoditas perikanan
dominan berupa gurita, ikan karang, ikan pelagis dan lobster. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui tingkat eksploitasi hasil tangkapan gurita dan
efektifitas pancing modofikasi yang digunakan nelayan Seurapong. Metode yang
digunakan adalah observasi langsung dengan durasi pengamatan dan pengambilan
data sebanyak 1 trip perhari selama 31 hari. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan
Juli - Agustus 2019 di Pulo Aceh Kabupaten Aceh Besar. Umpan pancing yang
dimodifikasi menyerupai kepiting dengan warna orange yang digunakan oleh
nelayan dapat meningkatkan hasil tangkapan gurita hal ini dapat dilihat dari total
berat hasil tangkapan selama 31 trip (hari) yaitu Amir sebesar 368 kg dan Syaribin
sebesar 378 kg.
PENDAHULUAN
Metode yang digunakan pada penelitian ini yaitu partisipasi aktif. Peneliti
terlibat langsung dengan cara mengamati dan wawancara pedagang pengumpul
yaitu terkait berat hasil tangkapan nelayan per hari. Durasi penelitian ini dengan
pengambilan data sebanyak 1 trip perhari selama 31 trip (hari) dengan lama
pengambilan data satu bulan.
Pengumpulan data primer ditempuh melalui dua cara, yaitu observasi dan
wawancara baik sebelum maupun sesudah proses penelitian. Data primer yang
diperoleh adalah data pengetahuan mitra/responden sebelum dan sesudah
pelaksanaan kegiatan penelitian (Ngabalin et al. 2018).
Kontruksi dasar pancing diambil dari botol air mineral (bagian atas botol saja
yang diambil), kakinya terbuat dari benang monofilamen (nomor 100) dan pada
ujung kaki dilengkapi dengan daun sendok makan yang dihubungkan oleh kili-kili.
Pada kerangka botol dipasang mata pancing (nomor 9) yang banyaknya berkisar 8-
11 pcs yang semua mata pancing dirangkai satu simpul ke dalam kerangka, pada
bagian dalam diisi semen yang diaduk dengan dumpul (semen dan dumpul
mempunyai dua fungsi yaitu sebagai perekat mata pancing sekaligus pemberat).
Tahap terakhir yaitu proses pengecatan dengan chat pilox warna orange.
Hal ini sesuai dengan metode yang dikemukakan Widodo dan Suparman
(2008); Farikha et al. (2014) konstruksi alat tangkap pancing ulur terdiri dari
penggulung (reel), tali pancing (line), mata pancing (hook) dan pemberat (sinker).
(a)
Gambar 4 Hasil tangkapan gurita pertrip bulan Juli sampai Agustus 2019 (a) dan
Grafik total hasil tangkapan gurita selama 31 trip pada bulan Juli sampai
Agustus 2019 (b)
KESIMPULAN
Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa umpan pancing yang
dimodifikasi menyerupai kepiting dengan warna orange yang digunakan oleh
nelayan dapat meningkatkan hasil tangkapan gurita, yaitu total berat hasil
tangkapan selama 31 trip (hari) dari 2 responden, yaitu Amir sebesar 368 kg dan
Syaribin sebesar 378 kg.
SARAN
Adapun saran dari penulis yaitu adanya kajian lanjutan terkait perbandingan
warna orange (umpan pancing gurita modifikasi) dengan warna-warna lain dan
pengambilan data dilakukan dalam jangka waktu yang lebih lama.
UCAPAN TERIMAKASIH
DAFTAR PUSTAKA
Bagus Bagaskoro. 2018. Identifikasi Morfologi dan Molekuler Pada Gurita (Genus
Octopus Covier, 1798) yang ditangkap di Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa
Barat.
Paruntu CP, Boneka FB, Talare SL. 2009. Gurita (Cephalopoda) dari Perairan
Sangihe. Universitas Sam Ratulangi Manado Sulawesi Utara. Jurnal
EKOTON. 9(2): 13-27.
Oleh :
ABSTRACT
Sadeng Fishing Port is the biggest of capture fishery base in Yogyakarta, with
contributions rate 35.2 - 35.21% of the total marine fisheries production in
Yogyakarta. The continuity of these contributions depends very much on the type of
fishing effort that is developing and the regional policies on capture fisheries. This
study aims to analyze effort prospects and formulate strategies for developing
capture fisheries in Sadeng Fishing Port. The method used consists of feasibility
analysis and SWOT method. The results showed that drifting gillnet, trammel net,
and fixed gillnet were prospective efforts to be developed in Sadeng Fishing Port,
because they had good income and expenditure ratio (NPV, B / C Ratio), safe profit
and loss limits (IRR), and good return on investment (ROI). Development strategy
for capture fisheries in Sadeng Fishing Port were improvement of investment
promotion for three fishing efforts dominantly, technical guidance on fishing
operations and capital management, involvement of DPRD in fishing conflict
resolution, improvement of electricity services and road conditions to the Sadeng
Fishing Port, realization of auction activities in the Sadeng Fish Market, and
organizing activities fishing in polluted coastal waters.
Keywords: feasibility analysis, coastal waters, Sadeng Fishing Port, fish
production, and development strategies
ABSTRAK
Pelabuhan Perikanan Pantai Sadeng merupakan basis perikanan tangkap terbesar di
D.I. Yogyakarta, dengan kontribusi berkisar 35,2 - 35,21% dari total produksi
perikanan laut D.I. Yogyakarta. Kontinyuitas kontribusi tersebut sangat bergantung
pada jenis usaha yang berkembang dan kebijakan daerah dalam pengembangan
perikanan tangkap. Penelitian ini bertujuan menganalisis prospek usaha dan
merumuskan strategi pengembangan perikanan tangkap di PPP Sadeng. Metode
yang digunakan terdiri dari analisis kelayakan usaha dan metode SWOT. Hasil
penelitian menunjukkan usaha perikanan gillnet hanyut, trammel net, dan gillnet
tetap prospektif untuk dikembangkan di PPP Sadeng karena mempunyai rasio
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 59
penerimaan dan pengeluaran (NPV, B/C Ratio) yang baik, batas untung rugi (IRR)
yang aman, dan pengembalian investasi (ROI) yang baik. Strategi yang bisa
dilakukan untuk mendukung pengembangan perikanan tangkap di PPP Sadeng, D.I.
Yogyakarta adalah penggalakan promosi investasi tiga usaha perikanan tangkap
dominan, bimbingan teknis operasi penangkapan dan pengelolaan modal, pelibatan
DPRD dalam penyelesaian konflik perikanan, peningkatan layanan listrik dan
kondisi jalan ke PPP Sadeng, realisasi kegiatan lelang di TPI PPP Sadeng, serta
pengaturan penangkapan di perairan pantai yang mudah tercemar.
Kata kunci : kelayakan usaha, perairan pantai, PPP Sadeng, produksi ikan, dan
strategi pengembangan
PENDAHULUAN
Pengelolaan sektor perikanan dan kelautan yang baik dapat menjadi
penggerak utama (prime mover) pembangunan di seluruh Indonesia, termasuk di
D.I. Yogyakarta. Hal ini karena sektor ini memiliki keunggulan komparatif
dibanding sektor lainnya berupa ketersediaan sumberdaya alam yang sangat besar
dan mempunyai potensi ekonomi yang luar biasa, yang mampu menghasilkan
produk dan jasa dengan daya saing tinggi, sepanjang dapat mengelolanya dengan
tepat. Dalam penyampaian visi dan misi untuk tahun 2017 – 2022, Gubernur D.I.
Yogyakarta menekankan pentingnya pengelolaan dan pengembangan sektor
perikanan dan kelautan tersebut, yaitu dengan mencetuskan semangat
"Perjumpaan" dan "Silang Belajar" sebagai strategi penting untuk pengembangan
potensi sumberdaya terutama yang berbasis laut. Semangat perjumpaan diharapkan
dapat mendorong pengembangan potensi kelautan dan perikanan D.I. Yogyakarta
dengan mengundang investor lokal (PMDN) maupun asing (PMA). Dalam konteks
pengembangan usaha perikanan tangkap, investor akan disambut dengan baik dan
kawasan pelabuhan perikanan menjadi pintu gerbang bagi mereka untuk
mengembangkan investasinya. Dengan semangat silang belajar diharapkan dapat
terjalin hubungan dan kerjasama kelembagaan, baik di dalam maupun di luar
lembaga pemerintahan D.I. Yogyakarta sehingga mendukung berkembangnya
investasi perikanan.
Visi dan misi Gubernur D.I. Yogyakarta tersebut sejalan dengan Permen KP
Nomor PER.08/MEN/2012 tentang Kepelabuhanan Perikanan terutama yang
METODE
Waktu dan Tempat
Berdasarkan nilai B/C ratio (Tabel 4), usaha gillnet hanyut, trammel net, dan
gillnet tetap layak dikembangkan karena mempunyai nilai B/C Ratio yang baik,
yaitu masing-masing 1,13, 1,10, dan 1,09. Nilai B/C Ratio memberi informasi
tentang perimbangan antara penerimaan dengan pembiayaan yang dikeluarkan
untuk mendukung operasi penangkapan ikan (Prabowo et al., 2013). Ketiga usaha
perikanan tangkap mempunyai nilai B/C ratio > 1, yang berarti penerimaannya
dapat menutupi semua pembiayaan yang dikeluarkan untuk operasi penangkapan
ikan di perairan sekitar PPP Sadeng, D.I. Yogyakarta.
Bila melihat secara keseluruhan dari hasil analisis kelayakan (NPV, IRR,
ROI, dan B/C Ratio), maka usaha gillnet hanyut, trammel net, dan gillnet tetap
prospektif untuk terus dikembangkan dan ditingkatkan investasinya di PPP Sadeng,
D.I. Yogyakarta. Ketiga usaha perikanan tangkap dapat dijadikan prioritas
Strategi pengembangan
Hasil analisis sebelumnya menunjukkan bahwa tipe strategi agresif moderat
cocok bagi pengembangan perikanan tangkap yang berbasis di PPP Sadeng, D.I.
Yogyakarta. Pangesti et al. (2011) dan Rangkuti (2006) menyatakan bahwa tipe
agresif moderat membantu mempertahankan irama pertumbuhan yang sudah
terjadi, namun upaya perbaikan terus dilakukan (secara bertahap/prioritas) hingga
mencapai kondisi optimal. Tabel 5 menyajikan hasil analisis matriks SWOT
penentuan strategi agresif moderat pengembangan perikanan tangkap di PPP
Sadeng, D.I. Yogyakarta.
Tabel 5 Hasil analisis matriks SWOT penentuan strategi pengembangan perikanan
tangkap di PPP Sadeng
Kontinyuitas produksi Pendidikan SDM
ikan di PPP Sadeng Keterampilan teknik
Faktor Internal Keaktifan usaha penangkapan ikan
perikanan tangkap SOP penanganan hasil
Fasilitas dermaga tangkapan
pelabuhan Konflik antar nelayan
Kios perbekalan di PPP Kemampuan modal nelayan
Faktor Eksternal Sadeng Sadeng
Fasilitas TPI di PPP
Sadeng
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan yang disampaikan, dapat disimpulkan :
1. Usaha perikanan gillnet hanyut, trammel net, dan gillnet tetap mempunyai nilai
NPV, ROI, IRR, dan B/C Ratio yang baik, sehingga prospektif untuk
dikembangkan di PPP Sadeng, D.I. Yogyakarta.
2. Strategi yang bisa dilakukan untuk mendukung pengembangan perikanan
tangkap di PPP Sadeng, D.I. Yogyakarta adalah penggalakan promosi investasi
tiga usaha perikanan tangkap dominan, bimbingan teknis operasi penangkapan
ikan dan pengelolaan modal, pelibatan lembaga politik (DPRD) dalam
penyelesaian konflik perikanan, peningkatan layanan layanan listrik dan
prasarana jalan ke PPP Sadeng, realisasi kegiatan lelang di TPI PPP Sadeng,
serta pengaturan penangkapan di perairan pantai yang mudah tercemar.
DAFTAR PUSTAKA
ABSTRACT
Anchovy (Stolephorus sp) is one of the most targeted fish on fishing operation in
PPI Sumur. But the fishing operation in the end of 2018 was obstructed because
afftected by the tsunami of Sunda Strait. Based on these conditions, a study is
needed to assess the feasibility of anchovy fisheries after the tsunami disaster in
Sumur. The study was conducted during June-August 2019 using survey methods.
Data analysis includes calculation of Net Present Value (NPV), Revenue Cost Ratio
(R/C), Payback Period (PP). The results showed that the anchovy capture business
using 3 types of fishing gear consist of bagan badak, bagan congkel, dan bagan
jerigen which is operated in 20 days per month for 8 months of the fishing season.
The feasibility value of anchovy that caught by bagan badak revenue was
Rp11.550.000.000, NPV Rp. 23.637.700.693, R/C 1.75, and PP in 3 months and 8
days. Bagan congkel revenue was Rp.2.520.000.000, NPV Rp.6.061.463.760, R/C
2.35 and PP when the business reaches in10 months and 2 days. Bagan jerigen
revenue was Rp. 1.575.000.000, NPV Rp.1.029.498.488, R/C 1.88 and PP within 2
months and 22 days. The entire of fishing operation bussines of anchovy in PPI
Sumur after the tsunami disaster is feasible to continue with all R/C >1. The biggest
business revenue value and the fastest time to return the investment is bagan badak
fishing gear.
Keywords: Anchovy, bagan badak, bagan jerigen, feasibility, Sumur
ABSTRAK
Ikan teri merupakan salah satu target utama pada kegiatan penangkapan ikan
di PPI Sumur. Usaha penangkapan teri di Sumur sempat terhenti akibat bencana
tsunami Selat Sunda pada Desember 2018. Berdasarkan kondisi tersebut,
diperlukan studi untuk menilai kelayakan usaha penangkapan teri pasca bencana.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kelayakan usaha penangkapan teri yang
berbasis di PPI Sumur. Penelitian dilakukan pada bulan Juni-Agustus 2019 dengan
PENDAHULUAN
Ikan teri (Stolephorus sp) merupakan salah satu jenis sumberdaya ikan pelagis
kecil yang memiliki nnilai ekonomis tinggi dan berkontribusi besar terhadap
produksi perikanan di Banten. Potensi sumberdaya ikan teri di Banten berkisar
4.860,39 ton/tahun (Irnawati et al. 2018). Ikan teri umumnya ditangkap dengan alat
tangkap bagan, seperti bagan tetap, bagan apung, stick-held dip net dan bagan
perahu (Susanto et al. 2017).
Salah satu pusat perikanan teri di Provinsi Banten adalah di daerah Sumur
dengan pusat pendaratan ikan berada di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Sumur.
Penangkapan teri di wilayah Sumur biasa dilakukan dengan alat tangkap bagan
tancap, bagan congkel dan bagan jerigen (Irnawati et al. 2017). Kegiatan
penangkapan ikan teri telah lama berkembang di wilayah ini, hingga menjadi salah
satu pusat produksi perikanan teri terbesar di Kabupaten Pandeglang dan Provinsi
Banten. Kondisi ini didukung oleh perairan Selat Sunda yang menjadi daerah
penangkapan ikan bagi para nelayan Sumur. Perairan Selat Sunda yang merupakan
pertemuan dua massa air dari Laut Jawa dan Samudera Hindia menyebabkan
perairan ini menjadi subur dan menyumbang pengaruh positif terhadap
METODE
Penelitian dilakukan pada bulan Juni-Agustus 2019 di PPI Sumur, Kabupaten
Pandeglang, Provinsi Banten. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah
survei. Pengumpulan data dilakukan dengan observasi dan wawancara dengan
pelaku penangkapan ikan teri. Data yang diambil meliputi: biaya investasi, biaya
tetap, biaya variabel, jumlah ikan hasil tangkapan, dan harga ikan.
Analisis kelayakan usaha terhadap kegiatan perikanan teri dilakukan dengan
kriteria keuntungan usaha, revenue cost ratio (R/C), net present value (NPV), dan
payback period (PP) (Hermanto 1998; Kadariah et al. 1999).
(a) Keuntungan Usaha, merupakan besarnya penerimaan setelah dikurangi dengan
biaya yang dikeluarkan untuk proses produksi.
𝜋 = TR − TC
(c) Payback period (PP), adalah suatu periode yang diperlukan untuk menutup
kembali pengeluaran investasi dengan menggunakan aliran kas.
𝑚𝑜𝑑𝑎𝑙 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑏𝑒𝑙𝑢𝑚 𝑘𝑒𝑚𝑏𝑎𝑙𝑖 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑎𝑤𝑎𝑙 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛 𝑟𝑒𝑐𝑜𝑣𝑒𝑦 𝑚𝑜𝑑𝑎𝑙
PP = 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛 𝑠𝑒𝑏𝑒𝑙𝑢𝑚 𝑚𝑜𝑑𝑎𝑙 𝑘𝑒𝑚𝑏𝑎𝑙𝑖 +
𝑎𝑙𝑖𝑟𝑎𝑛 𝑘𝑎𝑠 𝑠𝑒𝑙𝑎𝑚𝑎 𝑠𝑒𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛 𝑟𝑒𝑐𝑜𝑣𝑒𝑟𝑦 𝑚𝑜𝑑𝑎𝑙
(d) Net Present Value (NPV), merupakan kombinasi antara penerimaan dengan
pengeluaran yang diperoleh selama umur ekonomis usaha.
𝐶𝐹𝑡(𝑎)
NPV = ∑𝑛𝑡 (1+𝐾)𝑡 − 𝑙𝑜
Dimana:
CFt : Aliran kas per tahun pada periode t
Io : Nilai investasi awal pada tahun ke 0 (Rp)
K : Suku bunga atau discount rate (%)
HASIL
Kegiatan penangkapan ikan teri yang berbasis di PPI Sumur dilakukan
dengan bagan perahu dan bagan apung, seperti disajikan pada Gambar 1. Terdapat
dua jenis bagan perahu, yang oleh masyarakat setempat dikenal dengan nama bagan
congkel dan bagan badak, keduanya menggunakan kapal berukuran 30 GT. Bagan
congkel memiliki ukuran panjang, lebar dan tinggi sebesar 17 x 17 x 20 m,
sedangkan bagan badak 35 x 35 x 20 m. Sementara bagan apung (dikenal dengan
sebutan bagan jerigen) merupakan bagan rakitan dari bambu dan kayu dengan
jerigen sebagai alat bantu apung, memiliki ukuran 5 x 5 x 15 m.
Kelayakan usaha dari kegiatan penangkapan ikan teri di PPI Sumur dihitung
berdasarkan kondisi aktual, dimana biaya dan penerimaan dari masing-masing alat
tangkap dihitung berdasarkan nilai rata-ratanya. Biaya investasi, biaya variabel dan
penerimaan dari masing-masing alat tangkap disajikan pada Tabel 1, 2 dan 3. Hasil
analisis kelayakan usaha penangkapan ikan teri disajikan pada Tabel 1. Hasil
analisis kelayakan usaha menunjukkan secara finansial usaha penangkapan ikan teri
di wilayah Sumur masih layak untuk terus diusahakan, dan masih menguntungkan
untuk berinvestasi.
Tabel 1. Biaya investasi bagan perahu dan bagan apung di PPI Sumur
Komponen Biaya Investasi Biaya (Rp)
Bagan Perahu (Bagan Badak)
1. Kapal 800.000.000
2. Alat tangkap ukuran 35 x 35 x 20 m 250.000.000
3. Mesin kapal 80 HP 85.000.000
4. Genset 5.000 Watt (2 buah) 170.000.000
5. Tris 600 buah @6.000 3.600.000
6. Lampu 40 buah 50.000.0000
Total biaya investasi bagan badak 1.358.600.000
Bagan Perahu (Bagan Congkel)
1. Kapal 800.000.000
2. Alat tangkap ukuran 17 x 17 x 20 m 130.000.000
3. Mesin kapal 80 HP 85.000.000
Tabel 2. Biaya operasional bagan perahu dan bagan apung di PPI Sumur
Komponen Biaya Operasional Biaya (Rp)
Bagan Perahu (Bagan Badak)
Perbekalan Musim Puncak (per trip 20 hari)
1. BBM Genset 200 Liter x Rp. 10.000 x 20 hari 40.000.000
2. Ransum ABK 18 orang x Rp. 50.000 x 20 hari 18.000.000
3. Es balok 20 x Rp. 30.000 x 20 hari 12.000.000
4. Pelumas Rp. 250.000/minggu x 4 1.000.000
Jumlah perbekalan per bulan 71.000.000
Total Perbekalan musim puncak (2 bulan) 142.000.000
Perbekalan Musim Biasa (per trip 20 hari)
1. BBM Genset 200 Liter x Rp. 10.000 x 20 hari 40.000.000
2. Ransum ABK 16 orang x Rp. 50.000 x 20 hari 16.000.000
3. Es balok 20 x Rp. 30.000 x 20 hari 12.000.000
4. Pelumas Rp. 250.000/minggu x 4 1.000.000
Jumlah perbekalan per bulan 69.000.000
Total Perbekalan musim biasa (6 bulan) 414.000.000
Total Perbekalan bagan badak 556.000.000
Jika dilihat dari keuntungan dari usaha penangkapan ikan teri yang dilakukan,
maka semua usaha penangkapan teri dengan bagan tersebut masih menguntungkan,
karena penerimaan yang diperoleh masih lebih besar dari biaya yang dikeluarkan.
Hasil analisis perbandingan penerimaan dan biaya (R/C) menunjukkan semua jenis
bagan masih menguntungkan karena semuanya bernilai lebih dari satu (R/C > 1).
Periode pengembalian investasi dari semua jenis bagan kurang dari satu tahun, yang
berarti usaha penangkapan teri masih menguntungkan untuk dilakukan karena
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 81
pengembalian modal investasi dapat lebih cepat dilakukan. Hasil perhitungan NPV
semua jenis bagan lebih besar dari nol, yang berarti usaha penangkapan teri yang
dilakukan menghasilkan tingkat keuntungan sehingga layak untuk diteruskan.
Tingkat keuntungan terbesar (NPV) diperoleh bagan badak, dan tingkat keuntungan
(NPV) yang paling kecil adalah bagan jerigen.
PEMBAHASAN
Kegiatan penangkapan ikan teri yang berbasis di PPI Sumur dilakukan
dengan bagan perahu dan bagan apung. Bagan perahu di wilayah Sumur dikenal
dengan nama bagan congkel, dimana alat tangkap menyatu dengan kapalnya.
Adapula bagan badak, yang merupakan modifikasi dari bagan congkel, karena
ukurannya yang besar (dua kali lipat bagan congkel) maka disebut bagan badak.
Bagan congkel memiliki jaring di salah satu sisi kapal, sedangkan pada bagan badak
jaring ada di kedua sisinya. Bagan badak merupakan jenis bagan baru, yang
berkembang dengan pesat pasca bencana tsunami Selat Sunda pada Desember
2018. Bagan congkel dan bagan badak keduanya memiliki ukuran kapal yang sama
yaitu 30 GT, hanya ukuran alat tangkap, jumlah lampu dan tris (keranjang tempat
menampung ikan teri) saja yang berbeda (Tabel 1). Lama trip bagan congkel rata-
rata 6 trip setiap bulan dan saat musim puncak sebanyak 8 trip per bulan, dengan
waktu operasi per trip berkisar 2-4 hari tergantung jumlah ikan hasil tangkapan.
Jumlah trip operasi bagan badak 20 hari setiap bulannya, seperti yang disajikan
pada Tabel 2.
Sedangkan bagan apung dikenal dengan nama bagan jerigen, karena
menggunakan jerigen sebagai alat apungnya. Konstruksinya hanya berupa alat
tangkap bagan saja, tidak menyatu dengan kapal. Kapal hanya digunakan untuk
membawa bagan apung ke menuju dan kembali dari daerah penangkapan ikan, serta
mengangkut ikan hasil tangkapan ke darat. Jumlah trip bagan apung ini sama
dengan bagan badak, yaitu 20 hari/bulan.
Nilai investasi yang paling besar pada bagan perahu (bagan badak dan bagan
congkel) adalah untuk pembelian kapal, disusul alat tangkap dan genset. Sedangkan
KESIMPULAN
Kegiatan usaha penangkapan teri dengan bagan perahu (bagan badak dan
bagan congkel) dan bagan apung (bagan jerigen) yang berbasis di PPI Sumur masih
menguntungkan dan layak untuk diteruskan, dengan melihat nilai NPV positif, R/C
>1 dan payback period kurang dari 1 tahun.
DAFTAR PUSTAKA
Alam AG, Sardiyatmo, Ayunita DNND. 2017. Analisis Kelayakan Usaha
Perikanan Tangkap Bagan Perahu di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN)
Karangantu Serang Banten. Journal of fisheries resources utilization
management and technology. 6(3): 106-114.
Oleh:
ABSTRACT
Catch rate, biological characteristic and exploitation rate of blue swimming crab
(Portunus pelagicus Linnaeus, 1758) in Pati Waters was important study for
determining the sustainable management of blue swimming crab. The aimed of this
study was to study the catch rate, biological characteristic and exploitation rate of
blue swimming crab as the basis study for formulating the sustainable management
in Pati Waters. This research was conducted on March-September 2017 in some
landing areas of blue swimming crab. Catch per trip of traps and gillnet vessel was
used for determaining the catch rate. Exploitation status including exploitation rate
and spawning potential ratio were determined by analytical model that was based
on the movement of the monthly mode length, the mortality paramaters and the
proportion of the length distribution. The results showed that the catch rate of P.
pelagicus by traps (Mean CPUE=9,8±0,6 kg/trip) was higher that the catch rate of
P. pelagicus by gillnet (2,4±0,08 kg/trip). The peak of catch rate for P. pelagicus
by traps and gillnet was found in July and August. The size of P. pelagicus ranged
between 80 to 170 mmCW and the growth of weights was faster than the growth of
its carapace width. Based on the size of captured crabs, the traps gear was more
selective than gillnet that the length at first captured (Lc) of P. pelagicus by traps
was bigger than the length at first captured of P. pelagicus by gillnet (Lc
traps=129,6 mmCW; Lc Jaring=120,3 mmCW). The length at first maturity was
113 mmCW. P. pelagicus was the fast-growing species by the growth rate of 1,44
year-1 for male and 1,26 year-1 for female. The exploitation status of P. pelagicus
in Pati Waters was fully exploited based on the spawning potential ratio of 28%
and exploitation rate (E) of 0,63-0,75. The recommendation from this research was
to continue the fishing without increasing its quota until reaching the SPR target of
30% following by the yearly evaluation study of its stock in Pati waters.
Keywords: fully exploited; Portunus pelagicus; spawning potential ratio
PENDAHULUAN
METODE
Analisis data yang dilakukan meliputi laju tangkap armada bubu dan jaring
dan jumlah trip penangkapan, sebaran ukuran, hubungan lebar-berat, selektivitas
dan ukuran rata-rata pertama kali matang gonad, pertumbuhan dan tingkat
pemanfaatan. Laju tangkap atau catch per unit effort (CPUE) dianalisis berdasarkan
hasil tangkapan tiap kapal pada tiap trip (Sparre & Venema, 1992). Korelasi antara
alat tangkap yang digunakan terhadap laju tangkap menggunakan uji korelasi
Pearson dan perbandingan rata-rata hasil tangkapan bubu dan jaring menggunakan
uji ANOVA dan kemudian dibandingkan dengan diagram boxplot. Rata-rata laju
tangkap tiap bulan dianalisis dan ditampilkan dengan diagram batang.
Lt adalah lebar karapas rajungan saat umur t, L∞ adalah lebar karapas maksimum
secara teoritis (lebar karapas asimptotik), K adalah koefisien pertumbuhan dan t0
adalah umur teoritis saat lebar karapas rajungan nol. Parameter pertumbuhan
meliputi lebar karapas asimptotik (L∞) dan laju pertumbuhan (K) diestimasi dengan
program ELEFAN I dalam program FISAT II (Gayanilo et al., 2005). Umur pada
saat sebelum memasuki perikanan (t0) diduga berdasarkan persamaan Pauly (1983):
Log (M) = -0,0066 – 0,279 log (L∞) + 0.6543 log (K) + 0.4634 log (T)…….(4)
Laju mortalitas penangkapan dan laju eksploitasi diduga dengan persamaan Sparre
& Venema, (1992) :
𝐹
𝐹 = 𝑍 − 𝑀 dan 𝐸 = 𝑍 ………………………………………………………(5)
94 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
Rasio potensi pemijahan rajungan di perairan Pati dianalisis berdasarkan
metode yang berbasis data panjang (Length Based Spawning Potensial
Ratio/LBSPR) dengan beberapa parameter input yang diperlukan diantaranya
komposisi sebaran ukuran, rasio mortalitas alami dengan laju pertumbuhan (M/K),
ukuran panjang 50% populasi matang gonad (Lm50), ukuran panjang 95% populasi
matang gonad (Lm95) dan panjang asimptotik (Hordyk et al., 2015a; Hordyk et al.,
2015b; Prince et al., 2015). Rasio potensi pemijahan didasarkan pada perbandingan
potensi reproduksi ketika terdapat tekanan penangkapan (SSBRfished) dengan
potensi reproduksi tanpa tekanan penangkapan (SSBRunfished) (Goodyear, 1993) :
𝑆𝑆𝐵𝑅𝑓𝑖𝑠ℎ𝑒𝑑
𝑆𝑃𝑅 =
𝑆𝑆𝐵𝑅𝑢𝑛𝑓𝑖ℎ𝑠ℎ𝑒𝑑
……………………………………………………..(6)
HASIL
Laju tangkap
Sebaran ukuran
Ukuran rata-rata pertama kali tertangkap dan ukuran rata-rata pertama kali
matang gonad
Ukuran rata-rata pertama kali tertangkap (Lc) rajungan oleh bubu lebih
besar dibandingkan ukuran rata-rata pertama kali tertangkap (Lc) rajungan oleh
98 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
jaring. Ukuran rata-rata pertama kali tertangkap rajungan oleh bubu sebesar 129,6
mmCW dan ukuran rata-rata pertama kali tertangkap rajungan oleh jaring sebesar
120,3 mmCW. Ukuran rata-rata pertama kali matang gonad (Lm50) rajungan betina
di perairan Pati sebesar 113 mmCW (Gambar 6).
1.00 1.00
Portunus pelagicus Portunus pelagicus
Pati, Mar-Sept 2017 Pati, Mar-Sept 2017
Lc Bubu= 129,6 mmCW Lc Gillnet= 120,3 mmCW
Selektivitas
Selektivitas
0.50 0.50
0.00 0.00
100 105 110 115 120 125 130 135 140 145 150 155 160 165 170 80 85 90 95 100 105 110 115 120 125 130 135 140 145 150 155 160
Lebar Karapas (mm) Lebar Karapas (mm)
estimasi observasi estimasi observasi
Gambar 6. Ukuran rata-rata pertama kali tertangkap (Lc) rajungan dengan bubu dan
jaring dan ukuran rata-rata pertama kali matang gonad rajungan betina di perairan
Pati, 2017.
Pertumbuhan
Mortalitas alami rajungan di perairan Pati adalah 1,41 per tahun pada
rajungan jantan dan 1,29 per tahun pada rajungan betina. Mortalitas penangkapan
rajungan di perairan Pati adalah 4,29 per tahun pada rajungan jantan dan 2,21 per
tahun pada rajungan betina. Laju eksploitasi rajungan di perairan Pati adalah 0,75
per tahun pada rajungan jantan dan 0,63 per tahun pada rajungan betina (Tabel 1).
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 101
Tabel 1. Total mortalitas (Z), mortalitas alami (M), mortalitas penangkapan (F)
dan laju eksploitasi rajungan di perairan Pati, 2017.
Kelamin Z M F E
Jantan 5.7 1.41 4.29 0.75
Betina 3.5 1.29 2.21 0.63
Parameter Nilai
L∞ 175 mmCW
M/K 1,02
Lm50 113 mmCW
Lm95 150 mmCW
SPR 0,28
PEMBAHASAN
104 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
di perairan Pati yang relatif cepat disebabkan kondisi lingkungan perairan Pati
masih tergolong cukup baik bagi pertumbuhan rajungan.
Laju eksploitasi rajungan di perairan Pati saat ini sebesar 0,63-0,75 lebih
rendah dibandingkan laju eksploitasinya di tahun 2013 sebesar 0,8-0,81. Kondisi
tersebut diduga disebabkan upaya penangkapan saat ini di Laut Jawa yang lebih
rendah jika dibandingkan dengan upaya penangkapannya di tahun 2013. Laju
eksploitasi rajungan di perairan Pati saat ini masih tergolong cukup tinggi jika
mengacu pada laju eksploitasi optimum yang disarankan oleh Gulland (1983)
sebesar 0,5. Salah satu parameter lain yang dapat digunakan sebagai indikator
tekanan penangkapan adalah rasio potensi pemijahan (Goodyear, 1993).
Rasio potensi pemijahan merupakan sisa proporsi sumberdaya yang tidak
tertangkap yang berpotensi untuk melakukan reproduksi (Goodyear, 1993; Hordyk
et al, 2015a). Rasio potensi pemijahan berkisar antara 0-100% dan nilainya akan
semakin kecil dengan bertambahnya tekanan penangkapan (Goodyear, 1993;
Brooks et al., 2009). Rasio potensi pemijahan rajungan saat ini sebesar 28% telah
lebih besar dibandingkan titik referensi minimimum SPR sebesar 20% namun
masih lebih kecil dibandingkan titik referensi target SPR sebesar 30% sehingga
status penangkapannya saat ini digolongkan dalam fully-exploited (Mace &
Sissenwine, 1993; Ault et al., 2008).
Pengelolaan perikanan rajungan di perairan Pati yang disarankan
berdasarkan penelitian ini adalah penggunaan bubu dapat direkomendasikan
sebagai alat tangkap yang selektif dalam menangkap rajungan di perairan Pati dan
sebaiknya tidak dilakukan penambahan upaya melebihi upaya penangkapan saat ini
serta peraturan terkait larangan penangkapan rajungan bertelur dan minimum legal
size (MLS) sebesar 100 mmCW dapat terus direalisasikan pada perikanan rajungan
di Pati. Kajian stok sumberdaya rajungan sebaiknya terus dilakukan sebagai
monitoring dan evaluasi untuk mencapai target SPR30% sebagai salah satu upaya
menjaga keberlanjutan perikanan rajungan di perairan Pati.
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 105
KESIMPULAN
SARAN
106 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
DAFTAR PUSTAKA
Ault JS, Smith SG, Luo J, Monaco ME, Appeldoorn RS. 2008. Length-Based
Assessment of Sustainability Benchmarks for Coral Reef Fishes in Puerto
Rico. Environmental Conservation. 35(3): 221-231.
Brooks EN, Powers JE, Cortes E. 2010. Analytical Reference Points for Age-
Structured Models: Application to Data-Poor Fisheries. ICES Journal of
Marine Science. 67: 165 – 175.
Damora A, Nurdin E. 2016. Beberapa Aspek Biologi Rajungan (Portunus
pelagicus) di Perairan Labuan Maringgai, Lampung Timur. BAWAL. 8(1):
13-20.
Ernawati T, Wedjatmiko, Suman A. 2015. Kajian Parameter Populasi dan Tingkat
Pemanfaatan Rajungan (Portunus pelagicus Linnaeus, 1758) di perairan
Pati dan Sekitarnya. J. Lit. Perikan. Ind. 21(3): 169-176.
Ernawati T, Boer M, Yonvitner. 2014. Biologi Populasi Rajungan (Portunus
pelagicus) di perairan Sekitar Wilayah Pati, Jawa Tengah. BAWAL. 6(1):
31-40.
Gayanilo FCJ, Sparre P, Pauly D. 2005. FAO-ICLARM Stock Assessment Tools II
(FISAT II). Revised version. User’s guide. FAO Computerized
Information Series (Fisheries) No. 8. Revised Version. Rome : FAO.
Goodyear CP. 1993. Spawning Stock Biomass per Recruit in Fisheries
Management: Foundation and Current Use. p.67-81. In SJ Smith, JJ Hunt
and D Rivard (ed). Risk Evaluation and Biological Reference Points for
Fisheries Management. Can. Spec. Publ. Fish. Aquat. Sci. 120 pp.
Hordyk A, Ono K, Sainsbury KJ, Loneragan N, Prince J. 2015a. Some Explorations
of the Life History Ratios to Describe Length Composition, Spawning-Per-
Recruit, and The Spawning Potential Ratio. ICES J. Mar. Sci. 72: 204-216.
Hordyk A, Ono K, Valencia S, Loneragan N, Prince J. 2015b. A Novel Length-
Based Empirical Estimation Method of Spawning Potential Ratio (SPR), and
Tests of its Performance, for Small-Scale, Data-Poor Fisheries. ICES Journal
of Marine Science. 72(1): 217-231.
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 107
Hufiadi. 2017. Selektivitas Alat Tangkap Rajungan (Portunus pelagicus) di Laut
Jawa (Studi Kasus Alat Tangkap Cirebon). Prosiding Simposium Nasional
Krustase 2017. 131-138.
King M. 1995. Fishery Biology, Assessment and Management. United Kingdom:
Fishing New Books. 341 p.
Lappalainen A, Saks L, Sustar M, Heikinheimo O, Jurgens K, Kokkonen E,
Kurkilahti M, Verliin A, Vetemaa M. 2016. Length at Maturity as A
Potential Indicator of Fishing Pressure Effects on Coastal Pikeperch (Sander
lucioperca) Stocks in The Northern Baltic Sea. Fisheries Research. 174:
47-57.
Lelono TD, Wardhani IP. 2017. Hubungan Lebar Berat Rajungan Batik (Portunus
pelagicus) yang Tertangkap dengan Alat Tangkap Bubu di Wilayah
Paciran Kabipaten Lamongan, Jawa Timur. Prosiding Simposium
Nasional Krustasea 2017. 147-154.
Mace PM, Sissenwine MP. 1993. How Much Spawning per Recruit is Enough? In
SJ Smith, JJ Hunt and D Rivard (eds.) Risk Evaluation and Biological
Reference Points for Fisheries Management. Canadian Special Publications
in Fisheries and Aquatic Sciences. 120: 101-118.
Nuraini S, Prihatiningsih, Hartati ST. 2009. Parameter Populasi dan Selektivitas
Rajungan (Portunus pelagicus Linnaeus) yang Tertangkap dengan
Beberapa Jenis Alat Tangkap di Teluk Jakarta. J. Lit. Perikan. Ind. 15(4):
287-295.
Panggabean AA, Pane ARP, Hasanah A. 2018. Dinamika Populasi dan Tingkat
Pemanfaatan Rajungan (Portunus pelagicus Linnaeus, 1758) di perairan
Teluk Jakarta. J. Lit. Perikan. Ind. 24(1): 73-85.
Pauly D. 1983. Some Simple Methods for the Assessment of Tropical Fish Stocks.
FAO Fisheries Technical Paper, 254, 52.
Pauly D, Ingles J, Neal R. 1984. Application to Shrimp Stocks of Objective
Methods for The Estimation of Growth, Mortality and Recruitment-related
Parameters from Legth-Frequency Date (ELEFAN I and II). Penaeid
108 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
Shrimps-Their Biology and Management. Fishing News Books Ltd. 308
pp.
Potter IC, Lestang SD. 2000. Biology of the blue swimmer crab Portunus pelagicus
in Leschenault estuary and Koombana Bay, southwestern Australia. Jour.
Royal. Soc. Western Australia. 83: 443-458.
Prihatiningsih, Wagiyo K. 2009. Sumberdaya Rajungan (Portunus pelagicus) di
perairan Tangerang. BAWAL. 2(6): 273-282.
Prince J, Victor S, Kloulchad V, Hordyk A. (2015). Length Based SPR Assessment
of Eleven IndoPacific Coral Reef Fish Populations in Palau. Fisheries
Research. 171: 42-58.
Sparre P, Venema SC. 1992. Introduction to Tropical Fish Stock Asseessment Part
1. Manual. Fao Fish. Tech. Pap. (306/1). Rev.1: 376 p.
Tirtadanu, Chodrijah U. 2019. Fishery, Population Parameters and Exploitation
Status of Blue Swimming Crab (Portunus pelagicus) in Kwandang
Waters. Indonesia. AACL Bioflux. 12(4): 1323-1334.
Tirtadanu, Suman A. 2017. Aspek Biologi, Dinamika Populasi dan Tingkat
Pemanfaatan rajungan (Portunus pelagicus Linnaeus, 1758) di Perairan
Kotabaru, Kalimantan Selatan. J. Lit. Perikan. Ind. 23(3): 205-214.
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 109
DISTRIBUSI DAN PASOKAN IKAN TUNA DARI PELABUHAN
PERIKANAN SAMUDERA CILACAP
Tuna Supply And Distribution At Cilacap Fishing Port
Oleh:
Budiansyah; Tri Wiji Nurani; Sugeng Hari Wisudo
Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor, Indonesia
Email: budiansyah027@gmail.com
ABSTRACT
Cilacap Fishing Port as one of the main fishing ports where Indonesian tuna
landed. Tuna catches fluctuate as a result of goverenment policies and water
conditions. Tuna product of Cilacap, cannot be directly marketed overseas, but
must first be distributed to export in Jakarta ports. The purpose of research were
to describe distribution of tuna products and estimate the tuna supply at PPS
Cilacap. Data were collected distribution of tuna products through observation,
interview, and questionnaire. Data were analyzed using descriptive analysis.
Estimate tuna supply is based on monthly catch data for the 2014-2018. Data were
analyzed using multiplicative decomposition analysis. The research result prove
that tuna distributed to Jakarta for export purposes were only grade A and B, grade
C and D tuna were marketed locally in Cilacap. The estimation result tuna supply
for the next 5 years, the albacore supply highest occur in June 2021 amounting to
210 tons and the lowest supply occur in August-December 2019 which was an
average of around 6 tons. Bigeye supply highest occur in September 2022
amounting to 201 tons, and lowest supply occur in Februari 2019 amounting to 9
tons. Yellow fin supply highest occur in June 2020 amounting 110 tons and lowest
supply occur in Desember 2019 amounting to 2 tons.
Kata kunci: distribution, PPS Cilacap, supply, tuna
ABSTRAK
PENDAHULUAN
112 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
peningkatan setiap tahunnya, sehingga permintaan akan selalu terpenuhi. Selain
itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada nelayan dalam
melakukan aktivitas penangkapan ikan tuna dengan mengetahui musim
penangkapan pada bulan-bulan yang mengalami musim puncak. Tujuan dari
penelitian ini adalah mendeskripsikan distribusi produk ikan tuna dari PPS Cilacap
dan mengestimasi pasokan ikan tuna dari PPS Cilacap.
METODE
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 113
Metode Penelitian
Tabel 1 Kebutuhan data, pengumpulan data, pengolahan data dan analisis data
Kebutuhan Pengolahan
Tujuan Penelitian Pengumpulan Data Analisis
Data Data
Mendeskripsikan Data produksi, Wawancara Menjelaskan Analisis
produksi dan aliran - Simple random kondisi deskriptif
rantai distribusi distribusi, sampling distribusi,
tuna dari PPS tujuan terhadap nelayan tujuan distribusi
Cilacap distribusi dan - Purposive dan sumberdaya
sumberdaya sampling yang digunakan
yang terhadap di PPS Cilacap
digunakan di pengumpul,
PPS Cilacap pihak KUD, dan
pihak pelabuhan
Mengestimasikan Data statistik Survey Menghitung Analisis
ketersediaan hasil produksi ikan (Pengambilan data nilai indek dekomposisi
tangkapan ikan tuna yang melalui dokumen musim, nilai multiplikatif
tuna di PPS didaratkan 10 tertulis dari lembaga siklik, nilai
Cilacap tahun terakhir pengelola PPS trend, dan nilai
(2009-2018) Cilacap) ramalan
114 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
Analisis Data
Rantai Distribusi
Rantai distribusi dilakukan analisis secara deskriptif. Deskripsi mencakup
produksi, aliran distribusi, tujuan distribusi dan sumberdaya yang digunakan di PPS
Cilacap.
Analisis Ketersediaan Ikan Tuna di PPS Cilacap
Dekomposisi Multiplikatif
Dekomposisi multiplikatif merupakan metode yang digunakan dalam
mendekomposisikan suatu data runtun waktu pada komponen-komponen musiman,
tren, siklus dan galat untuk mengestimasikan nilai masa depan. Model ini
diasumsikan bersifat multiplikatif karena semua komponen yang ada dikalikan satu
sama lain untuk memperoleh nilai peramalan (Makridakis et al. 1992). Persamaan
model dekomposisi multiplikatif adalah sebagai berikut:
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 115
𝑌𝑡 = 𝑇𝑡 + 𝑀𝑡 + 𝑆𝑡 + 𝐼𝑡
Dimana :
Yt : Data aktual
Tt : Komponen Trend
Mt : Komponen musim
St : Komponen siklik
It : Komponen irreguler
Definisi Musiman
Musiman merupakan suatu pola yang dapat berubah sendiri setelah selang waktu
yang tetap. Pola musiman tersebut dapat berupa kwartal (4 bulan), semesteran (6
bulan) maupun tahunan (12 bulan). Indeks musim didapat dengan menggunakan
metode rata-rata bergerak.
∑−𝑛
𝑡 𝑌
𝐹𝑡+1 =
𝑛
Definisi Trend
Trend merupakan suatu kondisi dimana suatu deret mengalami gerakan naik
ataupun turun dalam jangka panjang. Trend tersebut dapat dicari dengan
menggunakan metode regresi.
Y = a + bX
Definisi Siklis
Siklis merupakan suatu deret berkala yang dipengaruhi oleh fluktuasi yang terjadi
secara periodik ataupun tidak dalam jangka panjang. Indeks siklis didapat dengan
menghilangkan pengaruh musim dan trend. Selanjutnya dihitung dengan
menggunakan rata-rata bergerak binomium.
116 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
HASIL DAN PEMBAHASAN
Unit penangkapan ikan di PPS Cilacap pada tahun 2013 berjumlah 902 unit
dan pada tahun 2017 mengalami penurunan menjadi 646 unit, atau terjadi
penurunan rata-rata sebesar 7,37% per tahun pada periode 2013-2017. Salah
satunya adalah alat tangkap longline yang mengalami penurunan dengan rata-rata
pertahunnya sebesar 7.89% per tahun. Penurunan terjadi karena banyaknya kapal
yang berpindah pangkalan dan ada sebagian hasil tangkapan dijual keluar daerah
Cilacap. Hal ini disebabkan oleh kebutuhan terhadap biaya operasional yang
semakin mahal, sedangkan biaya yang dikeluarkan tidak sesuai dengan hasil yang
didapatkan oleh nelayan sehingga nelayan mengalami kerugian (Statistik Perikanan
Cilacap 2017).
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 117
Nelayan PPS Cilacap dalam memperoleh ikan tuna adalah dengan
menggunakan alat tangkap handline, rawai tuna (longline) dan gillnet. Nurani dan
Wisudo (2007) menyatakan bahwa penangkapan ikan tuna termasuk dalam
perikanan laut dalam (high sea fisheries) karena habitat ikan tuna tersebut berada
di perairan laut bebas (oceanic) dan perairan yang cukup dalam. Ikan tuna yang
berada di perairan dalam ditangkap dengan menggunakan alat tangkap rawai tuna
(longline) dengan aktivitas pengoperasian oleh nelayan membutuhkan waktu yang
relatif lama dan harus di perairan laut lepas, sedangkan untuk ikan tuna yang berada
di permukaan ditangkap dengan menggunakan alat tangkap gillnet dan handline.
Ikan pelagis besar seperti tuna merupakan sasaran utama dari alat tangkap longline.
Menurut Adyas et al. (2011), komponen yang terdapat pada alat tangkap
rawai tuna adalah terdiri dari tali utama, tali cabang, pelampung, tali pelampung,
mata pancing, swivel, pemberat, kawat, bendera dan umpan. Umumnya kapal yang
paling dominan digunakan di PPS Cilacap adalah yang berukuran 20 - 60 GT.
Ikan tuna yang ditangkap oleh nelayan yang mendaratkan hasil tangkapannya
di PPS Cilacap sebagian besar berasal dari fishing ground di wilayah perairan
selatan Yogyakarta (110 BT) sampai wilayah Bengkulu (100 BT), dengan trip
operasi antara 5 sampai 7 bulan. Sedangkan untuk nelayan yang menggunakan alat
tangkap jaring insang hanyut meliputi wilayah perairan pantai Yogyakarta (110 BT)
sampai wilayah perairan Pelabuhanratu dengan lama waktu operasi adalah 15-25
hari per trip (Statistik Perikanan Cilacap 2017). Menurut Nurani dan Wisudo
(2007), jenis ikan tuna yang biasanya tertangkap di perairan Selatan Jawa yaitu
albacore (Thunnus alalunga), big eye tuna (Thunnus obesus), madidihang
(Thunnus albacares) dan blue fin tuna selatan (Thunnus maccoyii). Ikan tuna
tersebut merupakan spesies yang melakukan ruaya jauh (highly migratory spesies)
serta penyebarannya terjadi di Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.
118 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
Deskripsi Distribusi Ikan Tuna dari PPS Cilacap
Tabel 3 Produksi ikan tuna yang didaratkan di PPS Cilacap Tahun 2008-2017
Jumlah Produksi dari Laut (ton)
(Tahun) Albakor Sirip Tuna kecil Tuna kecil Mata Sirip TOTAL
Biru mata besar sirip kuning Besar Kuning
2009 72,51 13,84 49,18 9,76 1.295,05 217,51 1.657,85
2010 195,29 9,70 123,11 13,91 753,33 237,38 1.332,72
2011 437,53 9,77 168,98 21,51 707,82 241,73 1.587,34
2012 157,95 16,05 132,12 89,00 664,01 247,10 1.306,23
2013 115,43 9,97 83,37 11,54 842,34 168,79 1.231,44
2014 77,73 0,09 170,28 33,44 390,15 98,21 769,90
2015 272,04 0,74 432,40 119,04 586,32 146,40 1.556,94
2016 763,03 6,45 530,99 265,31 738,54 481,89 2.786,21
2017 818,34 26,88 492,60 337,93 912,89 288,85 2.877,49
2018 308,61 8,96 1.255,83 474,38 564,74 307,35 2.919,87
Sumber : Statistik PPS Cilacap 2009-2018
120 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
Gambar 2 Aliran pemasaran ikan tuna dari PPS Cilacap
Tabel 2 Pelaku rantai pasok ikan tuna PPS Cilacap dan peranannya.
Tingkat Anggota Aktivitas
Suplier Nelayan pemilik kapal Memasok dan menjual hasil
tangkapan tuna
Manufaktur - Pengusaha transhit Melakukan proses pengolahan bahan
sheed baku dalam kondisi mentah menjadi
- Industri pengolahan setengah jadi
Distributor - Pengusaha transhit Melakukan pendistribusian bahan
sheed baku/ produk olahan kepada
- Industri pengolahan konsumen dalam negeri dan luar
- Eksportir negeri
- Pengumpul/bakul
- Industri rumah
tangga
Retail 1 - Pengumpul/bakul Membeli ikan tuna dari nelayan dan
- Industri rumah melakukan pengolahan kemudian
tangga dijual kepada konsumen lokal atau
luar kota
Retail 2 Pasar luar negeri, agen, pasar Membeli ikan tuna langsung dari
dan pelelangan transhit sheed, mengolah dan menjual
ke pasar swalayan
Pelanggan 1 Konsumen dalam negeri Membeli ikan tuna segar maupun
produk olahan dari retail 1
Pelanggan 2 Konsumen luar negeri Membeli ikan tuna segar maupun
produk olahan dari retail 2
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 121
Proses Pemasaran Tuna dari PPS Cilacap
Ikan tuna baik segar maupun beku langsung didistribusikan oleh nelayan
(pemilik kapal) kepada pihak pengusaha yang berada di Jakarta dengan
menggunakan transportasi berupa mobil box yang sudah dilengkapi dengan
pendingin (es serut, freezer). Lama proses distribusi sekitar 6-7 jam yang berisi 70-
100 ekor ikan tuna, biasanya dilakukan pada pukul 08.00 WIB - selesai dan jika
hasil tangkapan melimpah maka proses pendistribusian dilakukan setiap hari baik
pagi, siang, bahkan malam ikan akan langsung didistribusikan ke Jakarta, kecuali
hari kamis tidak dilakukan pendistribusian. Menurut Diatin et al. (2006), aktivitas
terhadap perlakuan untuk hasil tangkapan komoditas ekspor, kualitas ikan
merupakan hal yang paling penting dan paling diutamakan dalam suatu persaingan
baik pasar global maupun lokal. Ketika kualitas selalu diutamakan maka akan
berdampak positif terhadap bisnis yaitu terhadap pendapatan dan biaya produksi.
Biaya transportasi yang dikeluarkan untuk mendistribusikan ikan tuna dengan
menggunakan jalur darat dari Cilacap untuk sampai ke Jakarta adalah sebesar
Rp.3.500.000 dalam satu kali pengiriman. Perusahaan akan berusaha mengurangi
biaya transportasi yang dikeluarkan dengan memaksimalkan kapasitas mobil box.
Jumlah ikan yang didistribusikan dalam satu kali pengiriman tidak akan
berpengaruh terhadap biaya yang dikeluarkan sehingga biaya akan tetap sama,
sebab semakin panjang proses pendistribusian maka biaya yang dikeluarkan
semakin besar (Paoki 2016).
Hubungan keterkaitan yang terjadi antara nelayan dengan mitra di PPS
Cilacap adalah menggunakan metode pull. Produsen (nelayan) dengan mitra sudah
melakukan kerjasama yang cukup lama sehingga timbul kepercayaan dalam bisnis
tersebut yang sudah tidak diragukan lagi. Hal tersebut akan berdampak pada
hubungan bisnis, dimana bisnis yang terjalin diantara keduanya akan berjalan
dengan baik dan lancar. Adapun keuntungan dari metode pull adalah tidak akan
terjadinya penumpukan produk (ikan tuna) di nelayan, sebab jika terjadi
penumpukan maka akan mempengaruhi kualitas mutu ikan tersebut. Akan tetapi,
122 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
pelanggan (mitra) akan membutuhkan waktu yang lebih lama sampai ikan
didistribusikan.
Estimasi pasokan ikan tuna dari PPS Cilacap, dilakukan berdasarkan data
produksi periode lima tahun sebelumnya, yaitu periode 2014-2018. Estimasi
dilakukan untuk empat tahun kedepan. Estimasi dilakukan untuk masing-masing
jenis ikan yaitu albakor, tuna mata besar (big eye) , tuna sirip kuning (yellowfin),
big eye baby tuna dan yellowfin baby tuna.
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 123
Volume Produksi (ton) 350,00
300,00
250,00
200,00
150,00
100,00
50,00
0,00
Januari
Januari
Januari
Januari
September
Januari
Januari
Januari
Januari
Januari
Mei
Mei
Mei
Mei
Mei
Mei
Mei
Mei
Mei
September
September
September
September
September
September
September
September
2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022
Gambar 2 Produksi ikan albakor di PPS Cilacap tahun 2014-2018 dan estimasi
periode tahun 2019-2022
Gambar 2 menunjukkan produksi ikan tuna jenis albakor di PPS Cilacap
periode 2014-2018 dan hasil estimasi tahun 2019-2022. Puncak musim ikan
albakor pada periode 5 tahun terakhir (2014-2018) terjadi pada bulan Juni tahun
2016 sebesar 294,20 ton sedangkan musim paceklik terjadi pada bulan Agustus
tahun 2014 yaitu sebesar 0,04 ton. Hasil estimasi, puncak musim tertinggi
diestimasi akan terjadi pada bulan Juni tahun 2021 sebesar 210,29 ton dan musim
paceklik terendah akan terjadi pada bulan Agustus - Desember tahun 2019 sebesar
5,91, 5,72, 4,29, 4,39, 5,96 ton.
250,00
Volume Produksi (ton)
200,00
150,00
100,00
50,00
0,00
Januari
Januari
September
Januari
September
September
Januari
September
September
Januari
September
Januari
September
Januari
September
Januari
September
Januari
Mei
Mei
Mei
Mei
Mei
Mei
Mei
Mei
Mei
Gambar 3 Produksi ikan tuna jenis big eye di PPS Cilacap tahun 2014-2018 dan
estimasi periode tahun 2019-2022
124 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
Gambar 3 menunjukkan produksi ikan tuna jenis big eye di PPS Cilacap
periode tahun 2014-2018 dan hasil estimasi tahun 2019-2022. Produksi ikan tuna
mata besar atau big eye berfluktuasi setiap bulannya, dengan puncak musim erjadi
pada bulan September tahun 2014 sebesar 228,56 ton dan musim paceklik terjadi
pada bulan maret tahun 2015 sebesar 1,65 ton. Hasil estimasi, puncak musim
tertinggi akan terjadi pada bulan September tahun 2022 sebesar 201,96 ton dan
musim paceklik akan terjadi pada bulan Februari tahun 2019 sebesar 9,19 ton.
140,00
Volume Produksi (ton)
120,00
100,00
80,00
60,00
40,00
20,00
0,00 Januari
Januari
Januari
Januari
Mei
September
Januari
Januari
Mei
September
Mei
September
Januari
Mei
September
Mei
September
Januari
Mei
September
Mei
September
Januari
Mei
September
Mei
September
2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022
Waktu
Gambar 4 Produksi ikan tuna jenis yellowfin di PPS Cilacap tahun 2014-2018 dan
estimasi periode tahun 2019-2022
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 125
Volume Produksi (ton) 300,00
250,00
200,00
150,00
100,00
50,00
0,00
Januari
Januari
September
Januari
Januari
Januari
Januari
Januari
Januari
Januari
Mei
Mei
Mei
Mei
Mei
Mei
Mei
Mei
Mei
September
September
September
September
September
September
September
September
2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022
Data Aktual Data Estimasi
Waktu
Gambar 5 Produksi ikan tuna jenis big eye baby tuna di PPS Cilacap tahun 2014-
2018 dan estimasi periode tahun 2019-2022
Gambar 5, menunjukkan produksi big eye baby tuna di PPS Cilacap periode
tahun 2014-2018 dan hasil estimasi tahun 2019-2022. Produksi periode 5 tahun
terakhir (2014-2018) berfluktuasi, dengan musim puncak tertinggi terjadi pada
bulan Agustus tahun 2018 sebesar 259,86 ton dan musim paceklik terjadi pada
bulan Januari tahun 2014 sebesar 0,19 ton. Hasil estimasi, puncak musim tertinggi
akan terjadi pada bulan April tahun 2022 sebesar 126,74 ton dan musim paceklik
akan terjadi pada bulan Januari tahun 2019 sebesar 14,48 ton.
160,00
Volume Produksi (ton)
140,00
120,00
100,00
80,00
60,00
40,00
20,00
0,00
Januari
September
Januari
September
September
Januari
September
Januari
September
Januari
September
Januari
September
Januari
September
Januari
September
Januari
Mei
Mei
Mei
Mei
Mei
Mei
Mei
Mei
Mei
Waktu
Gambar 6 Produksi ikan tuna jenis yellowfin baby tuna di PPS Cilacap tahun 2014-
2018 dan estimasi periode tahun 2019-2022
126 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
Gambar 6 menunjukkan produksi ikan tuna jenis yellowfin baby tuna di
PPS Cilacap periode tahun 2014-2018, dan hasil estimasi tahun 2019-2022.
Produksi pada 5 tahun terakhir (2014-2018) berfluktuasi, dengan musim puncak
tertinggi terjadi pada bulan Juni tahun 2018 sebesar 140,69 ton dan musim paceklik
terjadi pada bulan Januari, Juni, Desember tahun 2014 dan bulan Januari – Maret
tahun 2016. Hasil estimasi menunjukkan bahwa puncak musim tertinggi akan
terjadi pada bulan Mei tahun 2022 sebesar 102,13 ton dan musim paceklik akan
terjadi pada bulan Desember tahun 2019 sebesar 2,71 ton.
800 718,192
Rata-rat volume produksi (ton)
700
582,182 695,53
600 555,952
493,704
570,122
500
100 153,962
0
2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022
Tahun
Gambar 7 Rata-rata pertumbuhan volume produksi tahunan ikan tuna tahun 2009-
2022 di PPS Cilacap
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 127
bulan April – Juli dengan yang tertinggi dicapai pada bulan Juni sebesar 600,74 ton.
Ikan tuna jenis big eye mengalami puncak musim penangkapan terjadi pada bulan
Agustus – November dengan yang tertinggi dicapai pada bulan September sebesar
599,03 ton. Ikan tuna jenis yellowfin mengalami puncak musim penangkapan
terjadi pada bulan April – September dengan yang tertinggi dicapai pada bulan Juni
sebesar 254,15 ton. Jenis big eye baby tuna mengalami puncak musim penangkapan
terjadi pada bulan April – November dengan yang tertinggi dicapai pada bulan Mei
sebesar 415,36 ton. Sedangkan jenis yellowfin baby tuna mengalami puncak musim
penangkapan terjadi pada bulan April – Juli kemudian September – November
dengan yang tertinggi dicapai pada bulan Mei sebesar 242,67 ton. Lintang et al.
(2012) menyatakan bahwa terjadinya puncak musim yang meningkat terhadap ikan
tuna pada bulan-bulan tersebut, menunjukkan bahwa keadaan perairan sedang
berada dalam kondisi yang cukup sesuai dan ketersediaan makanan bagi ikan tuna
yang melimpah, sehinga ikan tuna yang sedang bermigrasi memanfaatkan keadaan
tersebut. Sedangkan menurut Susanto et al. (2001), pada musim ikan tuna
bersamaan dengan nilai klorofil-a tinggi pada bulan-bulan tersebut, karena
disepanjang pesisir selatan Jawa terjadi upwelling yang disebabkan oleh angin
muson tenggara (southeast monsoon). Dampak upwelling tersebut meningkatkan
kesuburan perairan dengan zat hara yang melimpah, sehingga fitoplankton
mengalami peningkatan.
Hasil tangkapan ikan tuna di perairan Samudera Hindia sangat dipengaruhi
oleh faktor musim dimana musim sangat berhubungan dengan pola angin muson
Asia dengan Australia. Angin muson biasanya terjadi pada bulan Desember
sampai Februari sehingga pada bulan tersebut merupakan musim paceklik.
Sedangkan angin muson tenggara berhembus pada bulan Juli sampai Agustus
(Wahju et al. 2013). Aktivitas penangkapan yang dilakukan oleh nelayan dalam
memperoleh hasil tangkapan ikan tuna dengan kondisi yang berfluktuatif sangat
dipengaruhi juga oleh kondisi cuaca. Ketika kondisi cuaca dengan angin bertiup
dengan kencang disertai oleh gelombang yang tinggi, maka nelayan memilih untuk
tidak melaut, para nelayan lebih memilih berada didaratan untuk beristrirahat
128 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
sekaligus memperbaiki alat tangkap mereka. Oleh karena itu, meskipun ikan pada
saat itu melimpah dilaut, jika cuaca tidak mendukung maka hasil tangkapan juga
akan menurun (Lintang et al. 2012).
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa:
1. Stakeholder yang terlibat dalam pendistribusian ikan tuna dari PPS Cilacap
diantaranya adalah nelayan pemilik kapal, pengusaha ikan (Jakarta),
pengumpul, perusahaan pengolahan, eksportir, industri rumah tangga dan
konsumen.
2. Hasil estimasi terhadap ketersediaan produksi ikan tuna di PPS Cilacap tahun
2019 sampai 2022 akan mengalami puncak musim penangkapan tertinggi
untuk albacore pada bulan Juni, big eye tuna pada bulan September dan
yellowfin tuna pada bulan Juni.
DAFTAR PUSTAKA
Adyas HA, Zainudin IM, Yusuf M. 2011. Panduan Pengoperasian Tuna Longline
Ramah Lingkungan untuk Mengurangi Hasil Tangkapan Sampingan
(Bycatch). WWF-Indonesia.
Asyhar AN. 2017. Dampak Peraturan Pelarangan Alih Muatan Terhadap Aktivitas
Kapal Rawai Tuna di Cilacap Jawa Tengah. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2018. https://www.bps.go.id. [Diakses tanggal 28
Agustus 2019].
Diatin IN, Farmayanti, Nita SD. 2006. Kajian Penerapan Manajemen Mutu Terpadu
di CV Banyu Biru, Kebayoran Lama Jakarta Selatan. Buletin Ekonomi
Perikanan. 6(3): 81-96.
[Ditjen PSDKP]. Direktorat Jenderal Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan
Perikanan. 2018. Statistik Ekspor Hasil Perikanan Indonesia. Jakarta (ID):
Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 129
[DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Tengah. 2004. Statistik
Perikanan Tangkap. Cilacap (ID): Dinas Kelautan dan Perikanan Jawa
Tengah.
Hendratmoko C, Marsudi H. 2010. Analisis tingkat keberdayaan sosial ekonomi
nelayan tangkap di Kabupaten Cilacap. Jurnal Dinamika Sosial. 6(1): 1-17.
Lintang CJ, Labaro IV, Telleng ATR. 2012. Kajian musim penangkapan ikan tuna
dengan alat tangkap hand line di Laut Maluku. Jurnal Ilmu dan Teknologi
Perikanan Tangkap 1(1): 6-9.
Makridakis S, Wheelwright SC. 1999. Metode dan Aplikasi Peramalan. Jakarta
(ID): Binarupa Aksara.
Nurani TW, Wisudo SH. 2007. Bisnis Perikanan Tuna Longline. Bogor (ID): PSP
Institut Pertanian Bogor.
Paoki K. 2016. Analisis manajemen rantai pasokan pada ponsel samsung di
Samsung Center ITC Manado. Jurnal Berkala Ilmiah Efisiensi. 16(4): 335-
336.
[PPS] Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap. 2017. Laporan Tahunan Pelabuhan
Perikanan Samudera Cilacap. Cilacap (ID): PPS Cilacap.
[PPS] Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap. 2018. Laporan Tahunan Pelabuhan
Perikanan Samudera Cilacap. Cilacap (ID): PPS Cilacap.
Sibagariang OP, Fauziyah, Agustriani F. 2011. Analisis potensi lestari sumberdaya
perikanan tuna longline di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Maspari
Journal 03. 24-29.
Susanto RD, Gordon AL, and Zheng Q. 2001. Upwelling along the coasts of Java
and Sumatra and its relation to ENSO. Geophysical Research Letters. 28(8):
159-160.
[UN Comtrade]. United Nations Commodity Trade Statistics Database. 2017.
https://comtrade.un.org. [Diakses tanggal 15 Mei 2019].
Wahju RI, Zulbainarni N, Soeboer DA. 2013. Hasil tangkapan pancing tonda
berdasarkan musim penangkapan dan daerah penangkapan tuna dengan
rumpon di perairan selatan Pelabuhanratu. BULETIN PSP. 21(1): 97-105.
130 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
STRATEGI PENINGKATAN MUTU IKAN TUNA HASIL TANGKAPAN
NELAYAN PANCING TONDA DI PELABUHAN PERIKANAN
NUSANTARA PALABUHANRATU
Oleh:
Yuliyanah; Tri Wiji Nurani; Prihatin Ika Wahyuningrum
Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor, Indonesia
Email: yuliyanah397@gmail.com
ABSTRACT
Nusantara port of fisheries (PPN) Palabuhanratu is a fishing port which the largest
tuna fishing center in West Java. The dominant fishing gear that catches tuna in
Palabuhanratu is troll line. Howeever, the catch does not fully meet the fresh intact
export standars that have an impact on the selling valeu of tuna is still low. Fresh
tuna export standards refers to SNI 2693-2006. The purpuso of this study was to
identify the quality of tuna formulate a strategy to improve the quality of tuna
catches of trolling fisherman in Palabuhanratu. The analytical method used is
pareto diagram to identfy the type of defect and swot analysis. The results showed
that the quality of tuna landed in the fresh category tended to be somewhat fresher
wit a value 7. Detective quality of tuna was seen from eyes in a flat eyeball, pupils
were slighty dull gills and 20% mucus of the total sample. The most dominant
quality defect is seen from tuna lended by trolling boats, namely bruises and the the
number of scrateches on the budy of the fish. This has an impact on the catch of the
tackle fishing boats not meeting the fresh intact export standards. Quality defects
in the catches of trolling fisherman caused by the handling carried out by trolling
fisherman are still simple. Therfore a strategy is needed to improve the quality of
tuna. The recommended strategies for improving quality are the application of
CPIB on board, the use of a roof when conducting tuna fishing operations,
improving the understanding of quality by all stakeholders, increasing the hygiene
of handling equipment and controlling the disposal in the hold.
Keywords: Tuna, Troll line, Quality, PPN Palabuhanratu
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 131
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Perikanan tuna memiliki daya saing yang tinggi dan merupakan produk
andalan Indonesia di sektor perikanan, menjadikannya tidak hanya dipasarkan
secara lokal tetapi juga dipasarkan secara ekspor. Tujuan pasar ekspor ikan tuna di
Indonesia diantaranya yaitu Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Eropa (Yusuf et al.
2017). Pemasaran ikan tuna yang ditujukan untuk pasar ekspor salah satunya
ditentukan dari aspek mutu (Maulana et al. 2012).
Mutu merupakan karakter dari suatu produk yang mempengaruhi nilai jual
produk tersebut. Mutu ikan tidak dapat diperbaiki tetapi dapat dipertahankan
melalui proses penanganan (Huda et al. 2012). Mutu yang baik didapatkan dari
proses penanganan yang baik di kapal, di pelabuhan, sampai dengan ke tempat
tujuan pasar (Nurani et al. 2012). Sjarif et al. (2012) menyatakan bahwa proses
penanganan ikan dimulai dari menjaga kebersihan dan kesehatan di kapal,
132 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
kemudian saat menaikkan ikan ke atas geladak, cara penyimpanan, cara
pembongkaran, sampai hasil tangkapan dikemas untuk siap dipasarkan.
Keberpihakan pemerintah akan pentingnya jaminan mutu dan keamanan hasil
perikanan telah tercantum dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan
Indonesia (KEPMENKP) No 52A tahun 2013. Peraturan ini telah mencantumkan
prosedur-prosedur untuk menjamin mutu ikan pada setiap rantai dari kegiatan
industri penangkapan ikan (Nurani et al. 2012). Prosedur tersebut harus dilakukan
oleh pelaku perikanan baik perorangan maupun badan usaha dalam mendukung
terjaminnya mutu dan keamanan hasil perikanan. Manajemen mutu diterapkan dari
hulu sampai hilir, yaitu mulai dari kapal penangkap ikan, di pelabuhan perikanan,
distribusi produk perikanan dan tempat pemasaran ikan (Nurani et al. 2013).
Kapal penangkap ikan sebagai unit operasi penangkapan ikan, memegang
peran sangat penting dari aktivitas utama manajemen mutu setelah ikan ditangkap.
Pada proses produksi di bidang perikanan tangkap, yaitu proses penangkapan ikan,
telah ditetapkan mengenai persyaratan kapal penangkap ikan, persyaratan higenis
kapal dan persyaratan higenis penanganan di kapal dalam menjamin mutu ikan tuna
yang didaratkan (Nurani et al. 2012). Selain itu, tempat pendaratan ikan sebagai
fasilitas utama di pelabuhan perikanan, juga telah ditetapkan persyaratan dalam
mempertahankan mutu ikan.
Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu merupakan pelabuhan
perikanan di Indonesia yang bertipe B, yang menjadi tempat bersandarnya kapal
penangkap tuna. Letak PPN Palabahunratu berada di Teluk Palabuhanratu yang
berhadapan langsung dengan Samudera Hindia. Hasil tangkapan ikan pelagis besar
dan ikan pelagis kecil yang cukup besar didaratkan di pelabuhan ini. PPN
Palabuhanratu merupakan penyumbang produksi ikan tuna terbesar di Indonesia,
yaitu dengan persentase pendaratan ikan tuna sebesar 21% dari total pendaratan
ikan tuna Indonesia (Yusuf et al. 2012).
Unit penangkapan ikan tuna yang terdapat di PPN Palabuhanratu terdiri dari
rawai tuna, pancing ulur dan pancing tonda. Unit penangkapan ikan tuna yang
banyak beroperasi yaitu pancing tonda. Pancing tonda yang beroperasi di PPN
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 133
Palabuhanratu sebanyak 90 unit dengan rentang ukuran 5-10 GT (PPNP 2018).
Hasil tangkapan pancing tonda meliputi madidihang, bigeye tuna, cakalang, dan
bluefin tuna. Ikan tuna jenis madidihang atau tuna sirip kuning yang memenuhi
standar ekspor dikirim ke Negara tujuan ekspor melalui perusahaan eksportir di
Jakarta. Namun sebagian besar ikan tuna yang ditangkap tidak memenuhi mutu tuna
untuk standar ekspor dalam bentuk utuh (Nurani et al. 2012). Hal ini disebabkan
penanganan yang dilakukan nelayan pancing tonda masih melalui prosedur
penanganan yang sederhana dan belum memenuhi standar penanganan yang ada.
Selain itu, kemunduran mutu pada hasil tangkapan pancing tonda berupa cacat fisik
yang berdampak pada nilai jual ikan tersebut (Sidik 2013).
Berdasarkan permasalahan yang dihadapi oleh nelayan pancing tonda
tersebut, diperlukan penelitian mengenai perbaikan penanganan ikan tuna pada
perikanan pancing tonda di PPN Palabuhanratu. Dengan demikian, diharapkan ikan
tuna hasil tangkapan pancing tonda memiliki nilai jual yang tinggi dan dapat
dipasarkan untuk pasar ekspor. Tujuan akhir penelitian ini adalah merumuskan
strategi dalam membantu nelayan meningkatkan penanganan yang dilakukan untuk
mempertahankan mutu ikan tuna yang didaratkan.
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Mengidentifikasi mutu ikan tuna hasil tangkapan nelayan pancing tonda di
PPN Palabuhanratu.
2. Merumuskan strategi peningkatan mutu ikan tuna hasil tangkapan kapal
pancing tonda di PPN Palabuhanratu.
METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada tanggal 05 Maret sampai 30 Maret 2019.
Lokasi penelitian yaitu Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu dan CV
Jaya Mitra.
134 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode studi kasus.
Studi kasus adalah kajian yang rinci akan suatu peristiwa (Sugiyono 2018). Kasus
yang diteliti yaitu penanganan ikan tuna pada perikanan pancing tonda di PPN
Palabuhanratu. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan
accidental sampling untuk menentukan sampel kapal yang akan diamati
penanganannya. Responden dipilih berdasarkan prinsip kebetulan, objek atau
subjek penelitian yang secara cocok dengan tujuan penelitian bertemu dengan
peneliti yang dapat digunakan sebagai sampel penelitian (Sugiyono 2018).
Pengamatan sampel kapal pancing tonda menggunakan proporsi sampel 10% dari
total kapal pancing tonda yang beroperasi di PPN Palabuhanratu. Hal ini mengacu
pada Gulo (2005), yang menyatakan bahwa ukuran minimum sampel yang dapat
ditarik berdasarkan desain penelitian yang digunakan yaitu metode deskriftif
minimal 10% populasi dengan karakteristik sampel tersebut relatif homogen.
Kapal pancing tonda yang terdapat di PPN Palabuhanratu memiliki ukuran 5-
10 GT (PPNP 2018). Sampel kapal yang diamati sebanyak 13 kapal berukuran 6
GT. Nelayan yang diwawancarai sebanyak 20 orang untuk mendapatkan data
penanganan ikan tuna di atas kapal. Rincian nelayan yang diwawancarai terdiri dari
13 nelayan kapal pancing tonda ukuran 6 GT, 3 nelayan kapal pancing tonda ukuran
5 GT, dan 4 nelayan kapal pancing tonda ukuran 10 GT. Selain itu, wawancara
kepada pihak enumerator mutu ikan PPN Palabuhanratu dan wawancara kepada
manager CV Jaya Mitra untuk mengetahui gambaran mutu ikan tuna yang
didaratkan oleh kapal pancing tonda.
Teknik pengambilan sampel ikan tuna yang akan diuji organoleptiknya
menggunakan teknik pengambilan acak sederhana (simpel random sampling).
Teknik ini merupakan teknik pengambilan anggota sampel yang dilakukan secara
acak (Sugiyono 2018). Pengujian organoleptik didasarkan pada 3 spesifikasi yaitu
mata, insang, dan tekstur. Jumlah sampel ikan tuna yang diambil sebanyak 57 ekor
ikan dari 13 kapal pancing tonda yang mendaratkan hasil tangkapan di PPN
Palabuhanratu. Kategori sampel ikan tuna yang dinilai organoleptiknya memiliki
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 135
berat minimal 10 kg. Pengambilan sampel ikan tuna di setiap kapal pancing tonda
diambil secara acak dengan proporsi sebanyak 30% dari populasi yang ada. Ukuran
minimum sampel ikan tuna yang dapat ditarik minimal 30% dari populasi dengan
karakteristik sampel tersebut heterogen (Gulo 2005).
Pengamatan cacat mutu pada ikan tuna berpedoman pada beberapa indikator
yang telah ditetapkan sebelumya. Indikator tipe cacat mutu didasarkan pada tiga
jenis cacat yang telah melalui pengujian organoleptik. Tiga jenis cacat tersebut
terdiri dari mata merah, insang berlendir dan berwarna coklat serta daging kurang
kenyal.
136 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
Unit Armada Pancing Tonda
Kapal
Unit armada pancing tonda di PPN Palabuhanratu terdiri dari kapal pancing
tonda dan alat tangkap yang digunakan dalam kapal pancing tonda. Kapal pancing
tonda yang terdapat di PPN Palabuhanratu termasuk kapal mandar atau kapal
sulawesi. Kapal pancing tonda terdiri dari 2 jenis kapal yaitu kapal pancing tonda
yang terbuat dari fiber dan yang terbuat dari kayu. Kapal kayu terbuat dari bahan
kayu bungur. Ukuran kapal pancing tonda berkisar 5-10 GT dengan spesifikasi
panjang kapal 10-15 m, lebar kapal 2-3 m, dan lebar 3-4 m. Daerah penangkapan
kapal pancing tonda berada di koordinat 7, 8, dan 9 LS yang merupakan perairan
Samudera Hindia.
Pancing Tomba
Alat tangkap yang digunakan oleh kapal pancing tonda yaitu pancing taber,
pancing tomba, pancing tonda dan pancing layang-layang. Pancing yang banyak
menangkap ikan tuna yaitu pancing tomba, pancing tonda dan pancing layang-
layang. Pancing tomba merupakan pancing yang target tangkapan utamanya berupa
ikan tuna dengan berat lebih dari 30 kg. Pancing tomba memiliki spesifikasi mata
pancing no 1 dengan tali utama terbuat dari PA monofilament no 3000 dengan
panjang 45 m, tali cabang terbuat dari PA monofilament no 1200 dengan panjang
10m. Pelampung yang digunakan dalam pancing tomba yaitu jerigen (Ihsan et al.
2017).
Pancing Tonda
Pancing tonda merupakan pancing yang paling banyak digunakan selama
operasi penangkapan oleh kapal pancing tonda di PPN Palabuhanratu. Pancing
tonda memiliki spesifikasi mata pancing no 6-7 dengan tali utama terbuat dari PA
monofilament no 50-60 dengan panjang 30-50 m, tali cabang terbuat dari PA
monofilament no 35 sebanyak 12-15 buah dengan panjang 20-30 cm serta jarak
antar pancing sepanjang 1 m (Ihsan et al. 2017). Pada mata pancing diberikan
umpan buatan berupa serabut yang terbuat dari tali plastik.
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 137
Pancing Layang-Layang
Pancing layang-layang merupakan pancing yang target utamanya berupa
ikan tuna dengan berat lebih dari 30 kg. Pancing layang-layang memiliki spesifikasi
mata pancing no 5-7 dengan tali utama terbuat dari PA monofilament no 60-80
dengan panjang 30-60 m, tali cabang terbuat dari PA monofilament no 50-60
dengan panjang 3-3.5 m serta jarak antar tali cabang sepanjang 7-10 m (Ihsan et al.
2017). Umpan yang digunakan merupakan umpan buatan yang berbentuk cumi-
cumi.
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 139
Penanganan Ikan Tuna Di PPN Palabuhanratu
Penanganan ikan madidihang di PPN Palabuhanratu masih dilakukan dengan
sederhana. Penggunaan peralatan bongkar seperti sapu tangan dan sepatu sangat
sederhana dan tidak memperhatikan sanitasi dan higenis. Kapal pancing tonda
setelah tiba di pelabuhan langsung melakukan pembongkaran di dua titik dermaga.
Pembongkaran hasil tangkapan kapal pancing tonda dilakukan secara sederhana
tanpa menggunakan teknologi yang mempermudahkan dalam proses bongkar ikan
tuna. Pembongkaran ikan tuna hasil tangkapan kapal pancing tonda di PPN
Palabuhanratu tidak dilakukan di tempat pendaratan ikan. Pembongkaran dilakukan
di dua titik dermaga. Proses pembongkaran ikan madidihang dilakukan bergantung
pada waktu kapal pancing tonda tiba di PPN Palabuhanratu. Pembongkaran tidak
mempertimbangkan waktu yang tepat untuk melakukan proses pembongkaran.
Selama penelitian berlangsung, 13 kapal yang bongkar, sebanyak 9 kapal pancing
tonda melakukan pembongkaran pada siang hari yang dapat berpengaruh terhadap
kemunduran mutu ikan.
Kapal pancing tonda tiba di PPN Palabuhanratu, kemudian nelayan
melakukan pemberian air laut ke dalam palka. Hal ini bertujuan agar ikan tuna yang
telah menyatu dengan es dapat mudah diangkat oleh nelayan. Selama pemberian air
laut pada palka, ada nelayan yang masuk ke dalam palka. Nelayan ini bertugas
untuk mengangkat ikan tuna ke atas geladak kapal. Namun selama pengangkatan
ikan tuna dari dalam palka ke geladak kapal. Nelayan menginjak ikan tuna dan
selama proses pengangkatan, nelayan tidak melakukannya dengan hati-hati yang
akan berdampak pada kualitas ikan tuna yang didaratkan.
Pembongkaran ikan madidihang yang dilakukan pada kapal pancing tonda di
PPN Palabuhanratu tidak dipersiapkan dengan baik. Pembongkaran ikan
madidihang tidak ditutupi terpal untuk menjaga ikan tuna terpapar sinar matahari.
Nelayan hanya mempercepat waktu bongkar hasil tangkapan ikan madidihang di
PPN Palabuhanratu. Saat pembongkaran berlangsung, nelayan tidak melakukan
pemberian es secara berkelanjutan yang menyebabkan rantai dingin terputus.
Gambar 2 menunjukkan proses pemindahan ikan tuna dari kapal ke darmaga.
140 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
Gambar 2 Pemindahan ikan tuna dari kapal ke dermaga
Interval nilai
organoleptik P(6.62 ≤ µ ≤ 7.58)
Mengacu pada standar ikan segar yaitu SNI 01-2346-2006, interval nilai rata-
rata organoleptik ikan tuna berada pada P(6.62 ≤ µ ≤ 7.58). Nilai rata-rata
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 141
organoleptik ini menunjukkan bahwa ikan tuna dalam kategori masih segar.
Kisaran nilai rata-rata berada pada nilai 6.62 dan dibulatkan menjadi 7.0, untuk nilai
spesifikasi dari mata, insang dan tekstur.
Kisaran kriteria kesegaran ikan menurut uji organoleptik dibagi menjadi 3
kategori, yaitu segar, agak segar, dan tidak segar (SNI 2006). Kisaran kriteria Segar
yaitu nilai kisaran uji organoleptik 7-9; Agak segar yaitu nilai kisaran uji
organoleptik 5-6; dan Tidak segar yaitu nilai kisaran uji organoleptik 1-4
Secara umum mata ikan tuna yang didaratkan agak cerah, bola mata rata,
pupil agak ke abu-abuan, kornea agak keruh. Insang ikan tuna berwarna merah
agak kusam tanpa lendir, dan untuk tekstur atau konsistensi ikan tuna yang
didaratkan agak lunak, elastis bila ditekan dengan jari, sulit menyobek daging dari
tulang belakang.
Tipe cacat mutu ikan madidihang yang didaratkan oleh kapal pancing tonda
di PPN Palabuhanratu
Mutu merupakan karakter dari suatu produk yang mempengaruhi nilai jual
produk tersebut. Kemunduran mutu pada suatu produk sangat berpengaruh
terhadap kualitas yang menyebabkan nilai jual semakin rendah. Kemunduran mutu
pada ikan tuna yang diamati dapat dilihat dari beberapa tipe cacat mutu yang
didapatkan secara sensori dengan melihat, meraba dan menekan ikan dengan
berpatokan pada SNI 01-2346-2006. Cacat mutu ikan tuna hasil tangkapan kapal
pancing tonda dapat dilihat pada Gambar 3.
142 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
100% 100%
14
12 80%
10
8 50%
47%
6
4
2
0 0%
Mata merah Daging Insang
kurang berlendir dan
kenyal berwarna
coklat
Jumlah Persentase cacat kumulatif
Strategi Peningkatan Mutu Ikan Tuna yang dilakukan di Atas Kapal Pancing
Tonda
Perumusan strategi peningkatan penanganan ikan tuna di atas kapal
menggunakanan analisis SWOT. Analisis SWOT dilakukan melalui
memaksimalkan kekuatan dalam penanganan yang dilakukan oleh nelayan kapal
pancing tonda untuk mempertahankan mutu ikan tuna, dan peluang yang terdapat
144 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
di luar penanganan ikan tuna yang bernilai positif untuk peningkatan penanganan
ikan tuna oleh nelayan pancing tonda. Secara bersamaan meminimalkan kelemahan
dalam penanganan yang dilakukan oleh nelayan pancing tonda dan berdampak pada
aktivitas kemunduran mutu ikan tuna, serta ancaman yang dapat merugikan
nelayan pancing tonda. Hasil perumusan strategi disajikan pada Tabel 2.
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 145
TREATS ( T) STRATEGI ST STRATEGI WT
1) Penanganan ikan 1) Penggunaan atap 1) Penambahan lubang
tuna berdasarkan saat melakukan buangan (drainase) pada
pengalaman nelayan operasi palka (W2) (T1)
setempat(T1) penangkapan ikan 2) peningkatan higienitas
2) Konstruksi armada tuna (S1), (S3), peralatan penanganan
pancing tonda yang (T2) (W1)(T1)
tidak dilengkapi 2) peningkatan
atap(T2) pemahaman mutu
oleh semua
stakeholder
(S3),(T1)
Strategi S-O
Strategi yang memanfaatkan kekuatan untuk mendapatkan peluang.
Kekuatan didapatkan dari aktivitas penanaganan serta peralatan yang digunakan
selama penanaganan ikan tuna. Peluang didapatkan dari luar aktivitas penanganan
ikan tuna yang menguntungkan subjek strategi. Strategi S-O yaitu Sosialisasi dan
penyuluhan kepada nelayan terkait cara penanganan ikan yang baik (CPIB) dalam
mendukung ikan tuna layak ekspor.
Strategi W-O
Strategi yang memanfaatkan peluang untuk meminimalkan kelemahan.
Kelemahan didapatkan dari aktivitas penanganan serta peralatan yang digunakan
yang menyebabkan kemunduran mutu ikan tuna. Strategi W-O terdiri dari
pengontrolan pembuangan air dalam palka, penambahan peralatan penanganan di
atas kapal yang sesuai dengan standar peraturan yang ada.
Strategi S-T
Strategi yang memanfaatkan kekuatan untuk menghindari ancaman.
Ancaman didapatkan dari luar aktivitas penanganan ikan tuna yang dilakukan oleh
nelayan kapal pancing tonda dalam mempertahankan mutu ikan. Strategi S-T terdiri
dari penggunaan atap saat melakukan operasi penangkapan dan peningkatan
pemahaman mutu oleh stakeholder.
146 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
Strategi W-T
Strategi yang mengurangi kelemahan dan ancaman yang ada. Strategi W-T
terdiri dari Penambahan lubang buangan (drainase) pada palka dan peningkatan
higienitas peralatan penanganan.
KESIMPULAN
1. Penanganan ikan tuna di atas kapal terdiri dari beberapa tahapan. Tahapan
tersebut berupa operasi penangkapan ikan, hauling ikan tuna, pembunuhan ikan
madidihang, penyiangan ikan tuna, pembersihan ikan tuna, pemberian es dan
tahapan terakhir berupa penyimpanan dalam palka. Penanganan ikan tuna di
PPN Palabuhanratu terdiri dari beberpa tahapan yaitu pemberian air ke dalam
palka, hauling ikan tuna, dan meletakkan ikan ke gerobak.
2. Ikan madidihang yang didaratkan masih dalam kategori segar. Nilai organoleptik
pada mata ikan yang diamati dengan nilai 7, untuk insang dengan nilai 7 dan
untuk tekstur dengan nilai 7. Cacat mutu pada ikan madidihang terdiri dari mata
merah dengan persentase cacat 47%, daging kurang kenyal 33% dan insang
berlendir dan berwarna coklat sebesar 20 %.
3. Strategi penanganan ikan tuna yang perlu dilakukan di atas kapal yaitu strategi
WT yang terdiri dari penggunaan atap saat melakukan operasi penangkapan
ikan.
DAFTAR PUSTAKA
Ardani, Nurani TW, Lubis E. 2013. Integrasi Pasar Komoditas Unggulan
Minapolitan di Palabuhanratu. Marine Fisheries. 4(1):23-33.
Furqan I. 2017. Penanganan Hasil Tangkapan Tuna di Pelabuhan Perikanan
Pondokdadap untuk Memenuhi Standar Pasar Ekspor [tesis]. Bogor(ID):
Institut Pertanian Bogor.
Huda MA, Baheramsyah A, Cahyono B. 2013. Desain Sistem Pendingin Ruang
Muat Kapal Ikan Tradisional dengan Menggunakan Campuran Es Kering
dan Cold Ice yang Berbahan Dasar Propylene Glycol. Jurnal Teknik Pomits.
2(1): 2301-9271.
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 147
Ihsan M, Yusfiandani R, Baskoro MS, Mawardi W. 2017. Hasil Tangkapan Ikan
Madidihang dari Aspek Teknis dan Biologi Menggunakan Armada Pancing
Tonda di PPN Palabuhanratu. Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan.
8(1):115-123.
Ishikawa K. 1989. Teknik Penentuan Pengendalian Mutu. Jakarta (ID):
Mediyatama Sarana Perkasa.
[KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2013. Keputusan Menteri Kelautan
dan Perikanan Nomor 52 Tahun 2013 Tentang Persyaratan Jaminan Mutu dan
Keamanan Hasil Perikanan pada Proses Produksi, Pengolahan dan Distribusi.
Jakarta (ID): KKP.
[KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2014. Inspeksi Cara Penanganan Ikan
yang Baik (CPIB) Berdasarkan Konsepsi HACCP pada Unit
Pengumpul/Supplier. Jakarta(ID): KKP
Kusumah AP, Novita Y, Soeboer DA. 2015. Performa Pelelehan Es pada Bentuk
Es yang Berbeda. Marine Fisheries. 6(1): 97-108
Litaay C, Wisudo SH, Haluan J, Harianto B. 2017. Pengaruh Perbedaan Metode
Pendinginan dan Waktu Penyimpanan Terhadap Mutu Organoleptik Ikan
Cakalang Segar. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis. 9(2):717-726.
Lestari N, Yuwana, Efendi Z. 2015. Identifikasi Kesegaran dan Kerusakan Fisik
Ikan di Pasar Minggu Kota Bengkulu. Jurnal Agroindustri. 5(1): 44-56.
Lubis E, Wiyono ES, Nirmalanti M. 2010. Penanganan Selama Transportasi
Terhadap Hasil Tangkapan Didaratkan di Pelabuhan Perikanan Nusantara
Nizam Zachman: Aspek Biologi dan Teknis. Jurnal Mangrove dan Pesisir.
10(1):1-7.
Maulana H, Afrianto E, Rustikawati I. 2012. Analisis Bahaya Penanganan dan
Penentuan Titik Kritis pada Penanganan Tuna Segar Utuh di PT Bali Ocean
Anugrah Linger Indonesia Benoa. Journal Perikanan dan Kelautan.3(4):1-5.
Nugroho P. 2002. Pengaruh Perbedaan Mata Ukuran Pancing Terhadap Hasil
Tangkapan Pancing Tonda di Perairan Palabuhanratu, Sukabumi Jawa Barat
[skripsi]. Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor.
Nurani TW, Wisudo SH, Imron M. 2012. Implementasi Manajemen Mutu pada
Industri Penangkapan Ikan. Jurnal Perikanan dan Kelautan. 3(2):103-113.
Nurani TW, Astarini JE, Nareswari M. 2011. Sistem Penyedian dan Pengendalian
Kualitas Produk Ikan Segar Hypermarket. Journal Pengolahan Hasil
Perikanan. 14(1): 56-62.
Nurani TW. 2011. Manajemen Mutu dalam Industri Perikanan. di dalam: Nurani
Tw, Simbolon D, Solihin A,Yuniarta S, Editor. Buku I New Paradigm In
Marine Fisheries: Pemanfaatan dan Pengeloloan Sumberdaya Laut
148 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
Berkelanjutan. 2011 Jun 28; Bogor, Indonesia Bogor (ID). Departemen
Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. hlm 223-224.
Nurani TW, Murdanil RPS, Harahap MH. 2013. Upaya Penanganan Mutu Ikan
Tuna Segar Hasil Tangkapan Kapal Tuna Longline untuk Tujuan Ekspor.
Marine Fisheries. 4(2): 153-162.
Nurani TW, Wisudo SH. 2007. Bisnis Perikanan Tuna Longline. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor
[PPNP] Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu. 2018. Statistik Perikanan
Pelabuhan Nusantara Palabuhanratu tahun 2014-2018. PPN Palabuhanratu.
Putra AP. 2015. Penerapan Teknik Produksi Bersih pada Usaha Perikanan Tuna
(Studi Kasus Kapal Longline Di PPS Cilacap) [skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Wahyuningrum PI, Nurani TW, Rahmi TA. 2012. Usaha Perikanan Tangkap Multi
Purpose di Sadeng, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Maspari Journal. 4(1): 10-22
Rangkuti F. 2006. Teknik Membedah Kasus Bisnis, Analisis SWOT. Jakarta(ID): PT
Gramedia Pustaka Utama.
Rumbewas F, Andaki JA, Dien CR. 2015. Karakteristik Buruh Wanita Pengangkut
Ikan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Tumumpa Kota Manado. Jurnal Ilmiah
Agrobisnis Perikanan. 3(5): 249-258
Sidik F. 2013. Mutu dan Perdagangan Ikan Tuna Hasil Tangkapan Longline yang
didaratkan di PPS Nizam Zachman Jakarta [skripsi]. Bogor(ID): Institut
Pertanian Bogor.
Suryaningrum TD, Ikasari D, Octavini H. 2017. Evaluasi Mutu Tuna Loin Segar
untuk Sashimi yang Diolah Diatas Perahu Selama Penanganan dan
Distribusinya di Ambon. JPB Kelautan dan Perikanan. 12(2):165-178
Sjarif B, Suwardiyono, Gautama S D. 2012. Penangkapan dan Penangan Ikan Tuna
Segar di Kapal Rawai Tuna. Asikin Z, Editor. Jakarta(ID): Balai Besar
Pengembangan Penangkapan Ikan.
Sugiyono. 2018. Metode Penelitian Kombinasi. Bandung (ID): ALFHABETA
Suhubawa latif. 2016. Teknik Penanganan Hasil Perikanan. Yogyakarta(ID):
UGM Press.
Yusuf R, Arthatiani FY, Putri HM. 2017. Peluang Pasar Ekspor Indonesia: Suatu
Pendekatan Analisis Bayesian. Jurnal Kebijakan dan Sosek. 7(1): 39-50.
Yusra M, Hamzah A, Syahnur S. 2014. Analisis Permintaan Tuna Sirip Kuning
(Yellowfin) Indonesia di Pasar Jepang. Jurnal Ilmu Ekonomi. 2(2):72-81.
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 149
PELUANG USAHA PENYEWAAN COLD STORAGE IKAN DI
PELABUHAN PERIKANAN MUARA ANGKE (STUDI KASUS PT
LAUTAN MUTIARA JAYA)
Business Opportunities for Leasing Fish Cold Storage in Muara Angke Fishing
Port (Case Study in PT Lautan Mutiara Jaya)
Oleh:
Nurani Khoerunnisa1, Julia Eka Astarini2, Wawan Oktariza2
1,2
Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan Institut Pertanian Bogor
Email: khoerunnisa.nurani@yahoo.co.id, julia_ea@yahoo.com,
wawanoktariza11@gmail.com
ABSTRACT
150 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
and payback periods (2,54) obtained, the calculation results have met the feasibility
criteria based on the investment criteria. Thus, cold storage business PT Lautan
Mutiara Jaya feasible to be implemented.
Keywords: Business analysis, cold storage, Muara Angke Fishing Port
ABSTRAK
152 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
hingga menjadi 7.360 ton. Pemilik cold storage terdiri dari berbagai badan usaha
yaitu UD, CV, dan PT dengan jumlah 26 perusahaan (UPT PPN Muara Angke
2017). Pembangunan cold storage tersebut terus bertambah agar dapat menyerap
ikan lokal dalam jumlah banyak.
Salah satu perusahaan cold storage di PPN Muara Angke yaitu PT. Lautan
Mutiara Jaya. Perusahaan ini merupakan milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta,
satu-satunya perusahaan cold storage pemerintah yang dibangun di kawasan PPN
Muara Angke di antara 25 perusahaan cold storage lainnya yang merupakan milik
swasta. Cold storage tersebut dapat memuat 900 ton ikan. Berdasarkan laporan
UPT Muara Angke tahun 2017, volume ikan yang disimpan di cold storage PT
Lautan Mutiara Jaya rata-rata 600 ton per minggu dari total rata-rata volume
keseluruhan cold storage yang ada di Muara Angke yaitu sebanyak 4.380 ton ikan
per minggu atau sekitar 16%.
Permintaan ikan yang tinggi di Pelabuhan Perikanan Nusantara Muara Angke
Jakarta dari berbagai daerah perlu memperhitungkan kapasitas tempat
penyimpanan ikan (cold storage) untuk menjaga mutunya. Pada tahun 2016,
penjualan dari pasar ikan mencapai 56.997,390 ton selanjutnya meningkat hingga
57.701,284 ton di tahun 2017. Ikan yang belum laku terjual perlu disimpan
beberapa waktu untuk menjaga mutunya. Maka kapasitas cold storage terus
meningkat seiring bertambahnya permintaan ikan dari tahun ke tahun. Oleh karena
hal tersebut, tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui secara terperinci
mengenai kondisi kapasitas, utilitas, komposisi jenis dan besaran ikan yang
disimpan dalam cold storage dan kelayakan, serta peluang usaha cold storage
dengan contoh kasus di PT Lautan Mutiara Jaya PPN Muara Angke Jakarta.
METODE
Penelitian dilakukan pada bulan Maret hingga April 2018 dengan metode
studi kasus. Pengumpulan data difokuskan untuk mengetahui kapasitas, utilitas,
komposisi jenis dan besaran ikan yang disimpan di cold storage serta kelayakan
dan peluang usaha cold storage di PPN Muara Angke Jakarta. Data yang digunakan
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 153
diperoleh dari perusahaan cold storage dan Unit Pelaksana Teknis PPN Muara
Angke, berupa laporan perusahaan dan hasil wawancara. Adapun responden yang
diwawancarai berjumlah 8 orang, yaitu 2 orang pegawai Unit Pelaksana Teknis
(UPT), 1 orang pemimpin perusahaan, 3 orang karyawan perusahaan bagian
produksi, 1 orang kepala mekanik perusahaan, dan 1 orang karyawan perusahaan
bagian keuangan. Penentuan responden tersebut berdasarkan pengetahuan
mengenai kondisi cold storage di PPN Muara Angke dan PT Lautan Mutiara Jaya.
Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis kualitatif dan analisis
kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan secara deskriptif untuk mengetahui
kapasitas, utilitas, serta komposisi jenis dan besaran ikan yang disimpan di cold
storage. Analisis kuantitatif dilakukan dengan analisis kelayakan usaha untuk
menghitung kelayakan usaha cold storage.
1. Keuntungan
Keuntungan adalah besarnya penerimaan setelah dikurangi dengan biaya
yang dikeluarkan untuk proses produksi baik tetap maupun tidak tetap. Rumus
untuk menghitung keuntungan menurut Primyastanto (2011) sebagai berikut.
π = TR - TC
Keterangan:
𝜋 : keuntungan (Rp/tahun)
TR : Total revenue (pendapatan total)
TC : Total cost (biaya total)
Kriteria:
Jika total penerimaan > total biaya, maka usaha dikatakan untung dan
layak untuk dilanjutkan.
Jika total penerimaan = total biaya, maka usaha dikatakan tidak untung dan
tidak rugi (impas).
Jika total penerimaan < total biaya, maka usaha dikatakan rugi dan tidak
layak untuk dilanjutkan.
154 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
2. Net Present Value (NPV)
Net Present Value (NPV) yaitu selisih antara manfaat (benefit) dengan biaya
(cost) yang telah dijadikan nilai sekarang (Kadariah 1999). Rumus NPV sebagai
berikut:
n
Bt-Ct
𝑁𝑃𝑉 = ∑
(1+i)t
t=0
Keterangan:
Bt= manfaat yang diperoleh tiap tahun
Ct= biaya yang dikeluarkan tiap tahun
n= jumlah tahun
i= tingkat suku bunga
t= tahun
Kriteria:
NPV > 0, artinya suatu proyek sudah dinyatakan menguntungkan dan dapat
dilaksanakan.
NPV < 0, artinya proyek tersebut tidak menghasilkan nilai biaya yang
dipergunakan. Dengan kata lain, proyek tersebut merugikan dan sebaiknya
tidak dilaksanakan.
NPV = 0, artinya proyek tersebut mampu mengembalikan persis sebesar
modal sosial Opportunities Cost faktor produksi normal. Dengan kata lain,
proyek tersebut tidak untung dan tidak rugi
3. Net Benefit and Cost Ratio (Net B/C)
Net benefit and cost ratio (Net B/C) merupakan angka perbandingan antara
jumlah nilai sekarang yang bernilai positif dengan jumlah nilai sekarang yang
bernilai negatif. Rumus Net B/C sebagai berikut (Kadariah et al. 1999):
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 155
Kriteria:
Keterangan:
i : discount rate yang menghasilkan NPV positif
i’ : discount rate yang menghasilkan NPV negatif
NPV : NPV yang bernilai positif
NPV’ : NPV yang bernilai negatif
5. Payback Period (PP)
Payback Period (PP) atau tingkat pengembalian investasi menunjukkan
jangka waktu pengembalian modal. Semakin cepat modal itu dapat kembali,
semakin baik suatu proyek untuk diusahakan karena modal yang kembali dapat
dipakai untuk membiayai kegiatan lain (Husnan dan Suwarsono 2000). Rumus
untuk payback period (Brigham dan Houston 2011):
(a-b)
PP = n + (c-b) x 1 tahun
156 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
Keterangan:
n : tahun terakhir dimana jumlah arus kas masih belum menutup investasi
mula-mula
a : jumlah investasi mula-mula
b : jumlah arus kas pada tahun ke-n
c : jumlah kumulatif arus kas pada tahun ke-n + 1
6. Break Even Point (BEP)
Break Even Point atau titik impas merupakan keadaan suatu usaha berada
pada posisi tidak memperoleh keuntungan dan tidak mengalami kerugian. Analisis
BEP merupakan profit planning approach yang mendasarkan pada hubungan antara
biaya dan penghasilan penjualan (Primyastanto 2011). Cara perhitungan BEP
sebagai berikut:
FC
BEP penjualan = 1- vc
S
FC
BEP unit = p-v
Keterangan:
FC : biaya tetap
VC : biaya variabel
S : jumlah penerimaan
p : harga per unit
v : biaya variabel per unit
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 157
ukuran 15 m x 30 m. Total kapasitas ketiga cold storage adalah 900 ton, dapat diihat
pada tabel 1 berikut.
Tabel 1 Kapasitas ruangan cold storage
Ruang pembekuan yang disewakan berupa ABF1 dengan kapasitas 2,5 ton
dan ABF2 sebesar 3,5 ton. Perusahaan menyewakan alat pembeku jenis lain kepada
pelanggan berupa mesin contact plat freezer (CPF) dengan kapasitas 1,1 ton.
158 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
Tabel 2 Perhitungan persentase utilitas cold storage
Ikan hasil tangkapan yang telah dibongkar dari kapal ikan akan disimpan
dalam cold storage dalam beberapa waktu. Tujuan ikan disimpan yaitu untuk
mempertahankan mutu dan menjaga stok ikan. Ketika hasil tangkapan banyak
(musim ikan), maka ikan disimpan agar saat hasil tangkapan sedikit (musim
paceklik) ikan tetap tersedia. Hasil tangkapan dari bongkar muat kapal selanjutnya
diantarkan ke cold storage dengan truk pendingin. Ikan yang akan masuk ke tempat
penyimpanan diterima dahulu di ruang material penerimaan ikan untuk dibersihkan,
selanjutnya ikan disortir berdasarkan jenis dan ukuran di ruang proses. Ikan yang
telah disortir akan ditimbang dan dikemas dalam karung, kardus atau box styrofoam
di ruang pengepakan. Jika ikan sudah dikemas dengan rapi, selanjutnya dimasukkan
ke dalam cold storage, disimpan berdasarkan jenisnya, serta diberi label untuk
mempermudah pengambilan ikan.
Ikan yang disimpan dalam cold storage dan ABF bermacam-macam jenisnya
seperti kakap, cucut, udang, layang, dan tenggiri namun komoditas ikan terbanyak
yang disimpan adalah cumi-cumi. Ikan-ikan tersebut dikelompokkan ukurannya
berdasarkan permintaan pasar. Ikan kakap dan cucut biasanya hanya dibekukan
160 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
dalam ABF dan dalam sehari diambil kembali oleh pemiliknya. Ikan yang disimpan
dalam cold storage disajikan dalam Gambar 3.
Cumi-cumi Udang
Layang Tenggiri
Gambar 3 Jenis ikan yang disimpan dalam cold storage
Cold storage dapat menampung ikan hingga 120 ton dalam satu hari. Berikut
gambaran rata-rata penyimpanan ikan dalam satu hari (Tabel 3).
Tabel 3 Jenis, ukuran, volume rata-rata dan persentase ikan per hari yang disimpan
dalam cold storage
Volume rata-rata
Jenis ikan Nama dagang Ukuran (kg) /hari Persentase
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 161
udang udang king 13-17 cm 40 0,034%
udang jumbo 18-21 cm
layang 8-10 kg/ekor 19.000 16%
10-12 kg/ekor
12-15 kg/ekor
tenggiri 1-2 kg/ekor 20.000 17%
3-5 kg/ekor
5-7 kg/ekor
Total 119.040
Sumber: Hasil dari wawancara dengan karyawan bagian produksi perusahaan
(data diolah)
Penerimaan
Penerimaan PT LMJ diperoleh dari jasa sewa penyimpanan, jasa sewa
pembekuan, dan jasa pengepakan ikan. Penerimaan perusahaan dihitung dengan
mengalikan jumlah produksi dengan harga setiap kilogram ikan selama umur usaha.
Produksi ikan tergantung pada musim penangkapan ikan. Hasil tangkapan pada saat
musim ikan (musim timur) akan lebih banyak dibandingkan pada musim paceklik
(musim barat) (Yustiarani 2008). Saat ikan berlimpah maka penerimaan tinggi,
sebaliknya jika ikan sedikit maka penerimaan rendah. Penerimaan perusahaan dari
ikan yang disimpan dalam satu tahun disajikan dalam Tabel 4 berikut.
162 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
Tabel 4 Penerimaan PT LMJ dalam satu tahun
Cold storage ABF
Bulan Penerimaan Penerimaan
Jumlah (kg) (Rp) Jumlah (kg) (Rp)
Januari 447.455 313.218.500 - -
Februari 413.278 289.294.600 - -
Maret 445.502 311.851.400 4.665 6.997.500
April 554.646 388.252.200 8.242 12.363.000
Mei 498.900 349.230.000 4.100 6.150.000
Juni 703.137 492.195.900 3.658 5.487.000
Juli 483.100 338.170.000 - -
Agustus 363.200 254.240.000 - -
September 970.200 679.140.000 40.052 60.078.000
Oktober 1.227.000 858.900.000 28.802 43.203.000
Nopember 1.417.200 992.040.000 36.180 54.270.000
Desember 1.405.000 983.500.000 35.550 53.325.000
Jumlah 8.928.618 6.250.032.600 161.249 241.873.500
Total penerimaan cold storage dan ABF 6.491.906.100
Keterangan : Penerimaan cold storage = jumlah x harga (Rp 25) x hari (28)
Penerimaan ABF = jumlah x harga (Rp 1.500) x hari (1)
Harga sewa dihitung berdasarkan jumlah ikan per kilogram per lama
penyimpanan. Harga sewa penyimpanan ikan dalam cold storage adalah Rp 25,-
per kg/hari, untuk pembekuan ikan dalam ABF per kg/penyimpanan sebesar
Rp1.500,-. Jumlah penerimaan dari jasa sewa penyimpanan dalam cold storage
diasumsikan dengan jumlah hari kerja yaitu 28 hari per bulan sehingga diperoleh
Rp 6.250.032.600,- dalam satu tahun. Penerimaan dari jasa pembekuan dalam ABF
yaitu Rp 241.873.500,- dalam satu tahun dengan perhitungan sewa per hari. Total
penerimaan PT LMJ dalam setahun sebesar Rp 6.491.906.100,-.
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 163
Biaya Investasi
Biaya investasi yaitu biaya yang dikeluarkan saat usaha mulai dilakukan pada
tahun pertama. Biaya investasi perusahaan disesuaikan dengan kebutuhan
penyewaan tempat penyimpanan ikan dan pembekuan ikan meliputi mesin,
bangunan serta peralatan. Investasi terdiri dari aset berupa bangunan, mesin cold
storage dan air blast freezer (ABF), mesin contact plat freezer (CPF), forklift, meja
besi, timbangan dan trolley. Total biaya investasi perusahaan sebesar Rp
8.209.200.000,- (Tabel 5).
Tabel 5 Biaya investasi
No Uraian Unit Satuan Harga (Rp) Jumlah (Rp)
1. Mesin
Cold storage 3 Unit 800.000.000 2.400.000.000
Air blast freezer 2 Unit 500.000.000 1.000.000.000
(ABF)
Contact plat freezer 1 Unit 60.000.000 60.000.000
(CPF)
2. Gedung pembekuan 450 m2 3.000.000 1.350.000.000
3. Gedung penyimpanan 675 m2 3.000.000 2.025.000.000
4. Gedung kantor 7,5 m2 3.000.000 22.500.000
5. Gedung operator 142,5 m2 3.000.000 427.500.000
6. Gedung pengepakan 300 m2 3.000.000 900.000.000
7. Forklift 1 unit 15.000.000 15.000.000
8. Meja besi 3 unit 900.000 2.700.000
9. Timbangan manual 1 unit 2.000.000 2.000.000
kap 100 kg
10. Timbangan digital kap 1 unit 1.500.000 1.500.000
30 kg
11. Trolley 3 unit 3.000.000 3.000.000
Total investasi 8.209.200.000
Biaya Operasional
Biaya operasional yang dikeluarkan PT LMJ meliputi biaya tetap dan biaya
variabel. Biaya tetap merupakan biaya yang dikeluarkan dalam proses produksi
yang penggunaannya tidak dipengaruhi oleh jumlah produksi (Primyastanto 2011).
Total biaya tetap yang dikeluarkan sebesar Rp 774.728.000,- (Tabel 6).
164 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
Tabel 6 Biaya tetap
No Uraian Unit Satuan Harga (Rp)
1. Biaya Penyusutan mesin
Cold storage 1 tahun 216.000.000
Air blast freezer (ABF) 1 tahun 90.000.000
Contact plat freezer (CPF) 1 tahun 5.400.000
2. Biaya penyusutan gedung
Gedung pembekuan 1 121.500.000
Gedung penyimpanan 1 182.250.000
Gedung kantor 1 2.025.000
Gedung operator 38.475.000
Gedung pengepakan 81.000.000
3. Biaya penyusutan peralatan
Forklift 1 tahun 1.350.000
Meja besi 1 tahun 243.000
Timbangan manual kap 100 kg 1 tahun 180.000
Timbangan digital kap 30 kg 1 tahun 135.000
Trolley 1 tahun 270.000
4. Biaya Pemeliharaan
Mesin (oli) 1 tahun 18.900.000
Overhaul 1 tahun 12.000.000
5. Biaya pemeliharaan gedung 1 tahun 5.000.000
Total biaya tetap 774.728.000
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 165
Tabel 7 Biaya variabel
No Uraian Unit Satuan Harga (Rp) Jumlah (Rp)
1 Upah pegawai
1 tahun 1.147.800.000 1.147.800.000
2 Listrik
1 tahun 840.000.000 840.000.000
Bahan baku
3 (pengepakan tujuan
ekspor) 1 tahun 37.836.000 37.836.000
4 Biaya cargo
24.000 kg 16.000 384.000.000
5 Biaya retribusi
1 tahun 370.298.190 370.298.190
6 Pajak
1 tahun 462.068.313 462.068.313
Total biaya variabel 3.242.002.503
NPV 6.021.942.437
Net B/C 4,64
IRR 53%
PP 2,54
Berdasarkan hasil perhitungan kriteria investasi di atas, PT LMJ
menghasilkan Net Present Value (NPV) yang lebih besar dari nol yaitu sebesar
6.021.942.437. Nilai tersebut menunjukkan bahwa usaha ini layak untuk dijalankan
secara finansial. Nilai Net B/C yang diperoleh dari analisis sebesar 4,64. Hal ini
menunjukkan bahwa penggunaan investasi dalam usaha memenuhi ukuran
kelayakan berdasarkan kriteria Net B/C lebih dari 1, maka usaha menguntungkan.
Nilai Net B/C sebesar 2,54 menunjukkan bahwa setiap biaya sebesar Rp 1,- akan
menghasilkan manfaat bersih sebesar Rp 2,54,-.
Ukuran kriteria investasi lainnya yaitu IRR diperoleh hasil sebesar 53%. Nilai
tersebut menunjukkan bahwa penggunaan investasi pada usaha ini lebih baik
memberikan keuntungan interen sebesar 53% per tahun. Nilai tersebut lebih besar
dari tingkat suku bunga yang digunakan yaitu 53% sehingga dapat dikatakan bahwa
usaha layak untuk dilaksanakan.
Jangka waktu pengembalian investasi dari usaha ditunjukkan dari nilai
payback period yang diperoleh yaitu 2,54 atau 2 tahun 6 bulan 14 hari. Jangka
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 167
waktu tersebut kurang dari umur usaha selama 10 tahun sehingga dapat dikatakan
bahwa usaha baik untuk dijalankan. Menurut Husnan dan Suwarsono (2000),
semakin cepat modal itu dapat kembali, semakin baik suatu proyek untuk
diusahakan karena modal yang kembali dapat dipakai untuk kegiatan lain.
Berdasarkan perhitungan NPV, Net B/C, IRR dan payback period yang diperoleh,
hasil perhitungan telah memenuhi ukuran kelayakan berdasarkan kriteria investasi.
Dengan demikian, usaha cold storage PT Lautan Mutiara Jaya layak untuk
dilaksanakan.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan sebelumnya,
maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 169
sebesar 900 ton, dua ruang pembekuan sebesar 6 ton dan satu ruang contact
plat freezer dengan kapasitas 1.1 ton.
2. Utilitas cold storage PT Lautan Mutiara Jaya dari tiga ruang pendingin yaitu
750 ton atau 83% dari total kapasitas yang tersedia.
3. Ikan yang disimpan dalam cold storage PT Lautan Mutiara Jaya yaitu cumi-
cumi (8 - >31 cm), udang ( 13-21 cm), layang (8-15 ekor/kg) dan tenggiri (1-
7 kg/ekor) dengan rata-rata volume ikan per hari sebanyak 120 ton.
4. Berdasarkan perhitungan NPV, Net B/C, IRR dan payback period yang
diperoleh, usaha cold storage memenuhi ukuran kelayakan berdasarkan kriteria
investasi. Perusahaan cold storage layak dikembangkan dengan tujuh
rekomendasi peluang usaha berdasarkan hasil analisis SWOT.
SARAN
1. Perusahaan dapat memperluas kerjasama dengan nelayan ataupun perusahaan
lain untuk kegiatan penyewaan cold storage agar kapasitas ruangan dapat terisi
lebih optimal.
2. Perusahaan dapat menambah tenaga kerja terampil, khususnya pada bagian
produksi agar kegiatan di cold storage seperti pencatatan ikan yang masuk ke
dalam cold storage ataupun kegiatan ekspor dapat berjalan dengan rapi dan
teratur.
3. Perlu dilakukan penelitian serupa dengan pengambilan sampel lebih dari satu
perusahaan dan menambah analisis aspek lainnya seperti aspek pemasaran dan
aspek teknis sehingga hasil yang didapatkan lebih variatif dan dapat dijadikan
perbandingan.
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Anton dan UPT PPN Muara
Angke yang telah memberi izin penelitian di perusahaan cold storage PT Lautan
Mutiara Jaya.
170 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
DAFTAR PUSTAKA
Brigham EF, Houston JF. 2011. Dasar-dasar Manajemen Keuangan. Edisi 11.
Jakarta (ID): Salemba Empat.
Faruza F, Zain J, Ronald MH. 2015. Efficiency of utilization of facility cold storage
PT Golden Cup Seafood in Ocean Fishing Port of Belawan North Sumatra.
Jurnal Perikanan dan Kelautan 16(1): 1-9.
Laoli N. 2015 Jun 30. Muara Angke tambah kapasitas cold storage ikan.
Kontan.co.id
PPN Muara Angke. 2015. Laporan Tahunan Pelabuhan Perikanan Nusantara Muara
Angke. Jakarta (ID): PPN Muara Angke.
Putra DP, Baskoro MS, Wiyono ES, Wisudo SH. 2015. Peran Stakeholder Dalam
Pengelolaan Perikanan Udang Skala Kecil di Kabupaten Cilacap, Provinsi
Jawa Tengah. Jakarta (ID): Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan
Konservasi Sumberdaya.
Syafril M. 2009. Kelayakan Finansial Pembangunan Cold Storage di Desa Senaken
Kabupaten Paser. Jurnal EPP. 6(1): 1-8.
[UPT PPN Muara Angke] Unit Pelaksana Teknis Pelabuhan Perikanan Nusantara
Muara Angke. 2017. Data Kapasitas Cold Storage Unit Pengelola Pelabuhan
Muara Angke. Jakarta (ID): UPT PPN Muara Angke.
[UPT PPN Muara Angke] Unit Pelaksana Teknis Pelabuhan Perikanan Nusantara
Muara Angke. 2017. Laporan Produksi Perikanan Tahun 2017. Jakarta (ID):
UPT PPN Muara Angke.
Yustiarani A. 2008. Kajian Pendapatan Nelayan dari Usaha Penangkapan Ikan dan
Bagian Retribusi Pelelangan Ikan di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Muara
Angke. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor
172 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
STRATEGI PEMENUHAN STANDAR DAN PERSYARATAN EKSPOR
IKAN TUNA KE PASAR UNI EROPA
Strategy to Meet The Standards and Requirements for Tuna Exports to The EU
Market
ABSTRACT
The European Union market is an Indonesia export destination sountry with strict
quality standards for tuna products. This caused many tuna fish products from the
Indonesian fish processing unit to experience rejection. This study aims to measure
the gap in the quality of tuna products exported with EU market standards and
requirements, analyze the cause of rejection and make recomendations on
strategies for meeting the standards and export requirements of Europeans. This
research was conducted at the Nizam Zachman Jakarta Fishing Port, with case
study in PT X. The analytical method used is the scoring method, fish bone and
SWOT analysis. The results of the study showed that the Indonesian eligibility score
was 19 or a moderate level of tension, while the European Union score was 23 or
high. The main cause of the decline in the quality of tuna products in PT X is caused
by human factors, machinery, methods, testing, environment, and material. The
recomendation strategy is to carry out comprehensive monitoring in each proces
flow process up to transport to the destination, the implementation of traceability
in the raw material supply chain, optimization of the application of HACCP and
CPIB, and laboratory testing with the right sample.
ABSTRAK
Pasar Uni Eropa merupakan negara tujuan ekspor Indonesia dengan standar mutu
produk ikan tuna ketat. Hal tersebut menyebabkan banyak produk ikan tuna dari
unit pengolahan ikan Indonesia mengalami penolakan. Penelitian ini bertujuan
untuk mengukur kesenjangan mutu produk tuna yang diekspor dengan standar dan
persyaratan pasar Uni Eropa, menganalisis penyebab penolakan dan membuat
rekomendasi strategi untuk pemenuhan standar dan persyaratan ekspor ikan tuna ke
Uni Eropa. Penelitian dilakukan di Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam
Zachman Jakarta, dengan studi kasus di PT X. Metode analisis yang digunakan
yaitu metode skoring, analisis fish bone dan analisis SWOT. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kesenjangan persyaratan Indonesia memperoleh skor 19 atau
tingkat keketatan sedang, sementara skore Uni Eropa adalah 23 atau keketatan
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 173
tinggi. Penyebab utama penurunan mutu produk tuna di PT X yaitu disebabkan oleh
faktor manusia, mesin, metode, pengujian, lingkungan dan material. Strategi yang
direkomendasikan adalah pengawasan dilakukan menyeluruh pada setiap alur
proses pengolahan hingga transportasi ke tempat tujuan ekspor, penerapan
traceability pada rantai suplai bahan baku, optimalisasi penerapan HACCP dan
CPIB, serta pengujian laboratorium dengan sampel yang tepat.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Produksi ikan Indonesia dalam periode lima tahun terus meningkat,
menjadikan Indonesia menjadi negara pengekspor nomor 12 komoditi ikan dunia
(KKP 2018). Komoditas ekspor utama Indonesia meliputi udang, rumput laut,
cumi-sotong-gurita, tuna dan cakalang-tongkol (Dirjen PDSPKP 2018). Ikan tuna
merupakan salah satu komoditas ikan yang paling banyak diekspor di dunia
(Kementerian Perdagangan 2014). Ekspor ikan tuna Indonesia dari kurun waktu
lima tahun terakhir 2014-2018 terus meningkat, yaitu sekitar 1,70% dalam volume
dan 4,46% dalam nilai per tahun. Volume ekspor meningkat dari 679 ribu ton tahun
2014 menjadi 703 ribu ton tahun 2018. Nilai ekspor meningkat dari US $ 258 ribu
tahun 2014 menjadi US $ 310 ribu (Dirjen PDSPKP 2018). Ikan tuna yang diekspor
Indonesia dalam bentuk tuna segar, tuna beku, tuna loin dan tuna kaleng
(Kementerian Perdagangan 2012). Jenis ikan tuna yang diekspor Indonesia yaitu
skipjack, yellowfin, albacore, bigeye, bluefin tuna (Kementerian Perdagangan
2012). Negara yang menjadi tujuan ekspor ikan tuna Indonesia meliputi Jepang,
Hongkong, Taiwan, Thailand, Singapura, Vietnam, Australia, Amerika Serikat,
Belanda, Belgia, Uni Eropa (KKP 2018).
Uni Eropa merupakan pasar perikanan terbesar di dunia. Permintaan terhadap
produk perikanan Uni Eropa sangat tinggi sehingga menjadi tujuan ekspor yang
potensial bagi Indonesia (Desty 2017). Ekspor ikan tuna Indonesia ke Uni Eropa
78% didominasi produk olahan (Risna et al 2017). Uni Eropa merupakan salah satu
negara tujuan ekspor Indonesia yang memperketat standar ikan yang dibelinya
174 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
(Direktorat Jendral Pemasaran Luar Negeri 2014). Hal tersebut menyebabkan
banyak produk ikan olahan dari unit pengolahan ikan Indonesia yang mengalami
penolakan (Ababouch et al 2005). Indonesia menempati peringkat 21 negara
eksportir perikanan yang produknya paling banyak ditolak oleh Uni Eropa dengan
alasan mutu dan administrasi, adapun jenis ikan ekspor Indonesia yang ditolak
yakni tuna, marlin, swordfish (KKP 2016). Kasus penolakan produk perikanan
Indonesia ke Uni Eropa pada tahun 2012-2016 mencapai 33 kasus per tahun dan
4% diantaranya adalah produk tuna. Alasan utama penolakan produk adalah
higienitas, kontaminasi mikroba, kesalahan pelabelan, bahan tambahan pangan,
logam berat, dan kontrol suhu yang tidak ketat (Arizona 2018).
Menyikapi banyaknya kasus-kasus penolakan produk tuna ekspor Indonesia
oleh Uni Eropa, maka diperlukan suatu kajian terkait dengan kasus-kasus penolakan
ikan tuna dan permasalahannya. Pengkajian diperdalam dengan menambahkan
studi kasus proses ekspor produk ikan tuna dari unit pengolahan ikan yang
mengalami penolakan dari Uni Eropa. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat
bagi pemerintah dan industri pengolahan ikan untuk meningkatkan nilai ekspornya.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan prosedur dan persyaratan ekspor ikan tuna ke Uni Eropa.
2. Mengukur kesenjangan kualitas produk tuna yang diekspor dengan standar pasar
Uni Eropa.
3. Mengidentifikasi penyebab penolakan ikan tuna Indonesia di pasar Uni Eropa.
4. Memberikan rekomendasi strategi perusahaan ekspor tuna ke Uni Eropa untuk
memenuhi persyaratan ekspor.
METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada tanggal 27 Februari sampai 27 Maret. Lokasi
penelitian mencakup kegiatan pengambilan data kasus-kasus penolakan, proses
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 175
ekspor, persyaratan ekspor di Kementerian Kelautan dan Perikanan, pengambilan
data rantai pemasaran ekspor ikan tuna dan pelaku ekspor ikan tuna di PPS Nizam
Zachman Jakarta, studi kasus penolakan ekspor oleh Uni Eropa di PT X,
pengambilan data kekuatan dan kelemahan unit pengolahan ikan di PPS Nizam
Zachman.
Jenis dan Metode Pengambilan Data
Pengumpulan data diperoleh dengan melakukan observasi, wawancara dan
studi literatur. Studi kasus proses ekspor produk ikan tuna dilakukan secara khusus
di Perusahan Pengolahan Ikan X.
Jumlah sampel responden dalam penelitian ini sebanyak 23 responden dengan
rincian 5 responden perusahaan, 2 narasumber dari Dirjen Penguat Daya Saing
Produk Kelautan dan Perikanan, 2 narasumber dari Badan Karantina Ikan,
Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan, 3 narasumber dari pelabuhan
(Unit Pelaksana Teknis, enumerator dan petugas sertifikasi hasil tangkapan ikan),
1 narasumber dari pemilik kapal, 5 narasumber dari supplier, 5 narasumber dari
ASTUIN.
Penentuan sampel responden mengunakan teknik snowball sampling untuk
mendapatkan kelengkapan informasi yang mendalam dengan mencari narasumber
lain dari petunjuk narasumber pertama yang digunakan untuk melengkapi data
(Sugiyono 2008) dan purposive sampling dengan pertimbangan bahwa narasumber
dianggap tahu tentang informasi yang dibutuhkan (Muhajir 1996). Data yang
dibutuhkan pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Metode pengambilan data
Tujuan Jenis data Sumber Pengumpulan Pengolaha Analisis
penelitian data data n data data
5. Mendeskri Rantai PPS Nizam Observasi di Membuat deskripsi
psikan pemasaran Zachman, PPS Nizam alur
prosedur ekspor ikan Penguat Zachman dan pemasaran,
dan tuna Daya Saing wawancara proses
persyarata Proses Produk - Snowball ekspor, dan
n ekspor ekspor ikan Kelautan sampling membuat
ikan tuna terhadap
tuna ke Uni dan tabel
ke Uni pemilik
Eropa Perikanan, persyaratan
Eropa kapal,
Kementeria
176 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
Tujuan Jenis data Sumber Pengumpulan Pengolaha Analisis
penelitian data data n data data
Persyaratan n Kelautan supplier, ekspor ke
ekspor ikan dan narasumber Uni Eropa
tuna ke Uni Perikanan, dari Dirjen
Eropa PT X Penguatam
Prosedur Daya Saing
ekspor unit Produk
Kelautan dan
pengolahan
Perikanan
ikan
Kementerian
Kelautan dan
Perikanan
Mengukur Kasus kasus Badan Studi pustaka Membuat Skoring
kesenjanga penolakan Karantina dan wawancara skoring
n kualitas ekspor ikan Ikan, - Snowball penilaian
produk tuna ke Uni Pengendali sampling terhadap
tuna yang Eropa 5 an Mutu terhadap kedua
diekspor tahun dan narasumber regulasi
dengan terakhir, Keamanan dari Badan terkait
standar Regulasi Hasil Karantina keketatan
Ikan,
pasar Uni Indonesia Perikanan, dalam
Pengendalia
Eropa terkait Kementeria penentuan
n Mutu dan
penentuan n Kelautan Keamanan batas
batas dan Hasil kontaminan
kontamina, Perikanan Perikanan
Regulasi Uni Website
Eropa terkait Rapid Alert
penentuan System for
batas Food and
kontaminan Feed
Mengident Kendala PT X Observasi di PT Pembuatan Fish Bone
ifikasi yang X dan diagram
penyebab dihadapi wawancara tulang ikan
penolakan perusahaan - Purposive terhadap 6
ikan tuna berdasarkan sampling faktor
Indonesia 6 aspek terhadap pengamata
di pasar pengamatan direktur PT n (manusia,
Uni Eropa (manusia, X material,
material, mesin,
mesin, lingkungan,
lingkungan, pengujian,
pengujian, metode)
metode)
Memberik Kekuatan, 5 Wawancara Matriks SWOT
an kelemahan, Perusahaan kuisioner SWOT
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 177
Tujuan Jenis data Sumber Pengumpulan Pengolaha Analisis
penelitian data data n data data
rekomend peluang, yang ada di - Snowball
asi strategi ancaman Nizam sampling
perusahaa industri Zachman terhadap
n ekspor pengolahan Asosiasi pengurus
tuna ke ekspor tuna Tuna ekspor dari 5
Uni Eropa Indonesia Indonesia perusahaan
yang ada di
untuk Kementeria
Nizam
memenuhi n Kelautan
Zachman
persyarata dan
n ekspor Perikanan
Direktorat
Pemasaran
Analisis Data
Analisis data mencakup 4 analisis yaitu deskripsikan prosedur dan
persyaratan ekspor ikan tuna ke Uni Eropa, mengukur kesenjangan kualitas produk
tuna yang diekspor dengan standar pasar Uni Eropa, identifikasi penyebab
penolakan ikan tuna Indonesia di pasar Uni Eropa, rekomendasi strategi perusahaan
ekspor tuna ke Uni Eropa untuk memenuhi persyaratan ekspor.
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 179
Man Measurement Method
Masalah
180 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
transportasi 5
Pembongkaran ikan Domestik
1
2 1 3 transportasi 4
Nelayan
PPS Nizam PPS Supplier
Nizam PPS Nizam UPI di PPS Nizam
Zachman
2 Zachman Zachman Zachman
6
Rantai pemasaran ekspor ikan tuna di PPS Nizam Zachman dimulai dari hasil
tangkapan nelayan yang didaratkan di dermaga pelabuhan (Fadly 2009). Ikan tuna
ditangkap menggunakan longline, handline, purse seine, pancing tonda (Risna et
al. 2017). Kapal kapal penangkap tuna di PPS Nizam Zachman telah memiliki
supplier mitra untuk menjual hasil tangkapannya. Supplier tersebut berasal dari
dalam PPS Nizam Zachman ataupun berasal dari luar pelabuhan Nizam Zachman
seperti dari daerah Jakarta, Surabaya, Bitung, Sukabumi, Cilacap. Kapal
penangkap tuna akan bersandar di dermaga dan supplier akan datang untuk
mengambil ikan tuna sehingga kegiatan pembongkaran ikan dapat dilakukan.
Kapal tidak langsung melakukan bongkar ikan dan menunggu pembeli datang
apabila belum memiliki mitra atau pembeli agar menjaga kualitas mutu ikan.
Penanganan ikan di PPS Nizam Zachman dimulai dari proses pembongkaran ikan
yaitu dilakukan di dermaga pelabuhan kemudian ikan dibawa ke landing transit
dengan mesin berjalan untuk dilakukan penyortiran kualitas ikan, pembersihan
ikan, penimbangan, pengukuran, pencatatan (Nurani et al 2013). Supplier
kemudian akan membawa ikan ke unit pengolahan ikan menggunakan mobil bak
tertutup untuk unit pengolahan ikan di PPS Nizam Zachman dan mobil
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 181
berpendingin untuk unit pengolahan ikan yang berada diluar PPS Nizam Zachman
seperti beberapa wilayah di Jakarta dan beberapa daerah di Pulau Jawa. Saat ini
unit pengolahan ikan di PPS Nizam Zachman mengeluhkan bahwa ketersediaan
ikan tuna segar dengan kualitas yang baik sangat sulit didapatkan. Ikan tuna yang
masuk ke unit pengolahan ikan di PPS Nizam Zachman kebanyakan ikan tuna
frozen dengan kualitas ikan yang kurang bagus untuk dijual secara utuh karena tidak
memenuhi persyaratan ekspor tuna utuh. Ikan tuna yang kualitasnya tidak bagus
disebabkan ikan tuna ditangkap menggunakan alat tangkap purse seine yang
membuat tubuh ikan tuna akan tergores jaring purse seine. Suplai ikan tuna segar
ke unit pengolahan ikan di PPS Nizam Zachman mengandalkan dari daerah Bali,
Surabaya, Sukabumi, Bitung (Risna et al 2017).
182 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
(GMP), dan menerapkan prosedur operasi sanitasi standar atau Sanitation Standard
Operating Procedures (SSOP).
2. Sertifikat Kesehatan Ikan (Health Certificate)
Dokumen ini dibuat jika negara importir mengharuskan dan meminta
pelengkapan Health Certificate. Uni Eropa merupakan importir yang mewajibkan
sertifikat Health Certificate yang berguna untuk menjamin keamanan produk untuk
pencegahan hama dan penyakit ikan. Lembaga yang mengeluarkan Health
Certificate yaitu Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan
Perikanan di pelabuhan setempat.
3. Sertifikat Penerapan HACCP
Dokumen ini menjadi syarat wajib bagi unit pengolahan ikan untuk
melakukan perdagangan ekspor. Menurut Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan No.PER.19/MEN/2010 tentang Pengendalian Jaminan Mutu Dan
Keamanan Hasil Perikanan menyatakan perlu upaya pencegahan bahaya yang
dilakukan sejak pra produksi hingga pemasaran maka, unit pengolahan ikan harus
memiliki surat keterangan validasi HACCP (Hazard Analysis Critical Control
Points) dari Balai Keamanan Ikan dan Pengendalian Mutu. Uni Eropa sendiri
mewajibkan unit pengolahn ikan memiliki dokumen HACCP grade A.
4. Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB)
Produk yang diekspor wajib membayar pajak ekspor dengan mengisi formulir
Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) di bea dan cukai. Pemberiahuan Ekspor
Barang berisi tentang adanya transaksi ekspor seperti volume barang, ukuran
barang, jenis barang, harga barang per satuan, kondisi barang, harga barang, nama
perusahaan pengangkut, nama kapal pengangkut. Eksportir harus mengisi
Pemberitahuan Ekspor Barang dengan lengkap dan mengajukannya kepada kantor
Pabean.
5. Surat Keterangan Asal
Dokumen ini digunakan sebagai bukti bahwa barang yang diekspor berasal
dari Indonesia. Surat Keterangan Asal berguna untuk mendapatkan kemudahan bea
masuk oleh importir yang telah melakukan kerja sama dengan Indonesia. Dokumen
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 183
ini diterbitkan oleh Kementerian Perdagangan. Menurut Peraturan Menteri
Perdagangan RI Nomor 24 Tahun 2018 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan
Surat Keterangan Asal untuk Barang Asal Indonesia bahwa permohonan penerbitan
SKA harus dilengkapi dengan scan dokumen asli:
a. Pemberitahuan Ekspor Barang (PIB)
b. Bill of lading (B/L)
c. Invoice
d. Packing list
e. Perhitungan struktur biaya proses produksi.
6. Nomor Induk Berusaha (NIB)
Menurut PP No.24 Tahun 2018 tentang pelayanan perizinan usaha
terintegrasi secara elektronik dan memperhatikan kesiapan Online Single
Submission (OSS). Kementerian Kelautan dan Perikanan memberikan pelayanan
izin usaha dengan mendaftarkan diri secara online dan mengisi Online Single
Submission (OSS).
7. Registrasi Eksportir
Approval number diberikan oleh Uni Eropa kepada unit pengolahan ikan
Indonesia. Unit pengolahan ikan didaftarkan oleh otoritas kompeten Indonesia
yakni Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan
kepada otoritas kompeten negara tujuan ekspor tersebut. Pengajuan registrasi ke
Uni Eropa sebagai berikut:
a. Unit pengolahan ikan mengajukan permohonan ke kepala sertifikasi mutu dan
keamanan hasil perikanan dengan melampirkan persyaratan yang ditetapkan.
b. Kepala sertifikasi mutu dan keamanan hasil perikanan mengirim tim verifikasi
untuk melakukan verifikasi terhadap Unit pengolahan ikan
c. Hasil verifikasi jika sesuai maka kepala sertifikasi mutu dan keamanan hasil
perikanan kemudian mendaftarkan ke negara mitra.
Approval number akan diberikan jika Indonesia terdaftar dalam beberapa
organisasi terkait kelestarian lingkungan dan sumberdaya ikan tuna serta keamanan
pangan yang menjadi persyaratan Uni Eropa. Konvensi hukum laut (UNCLOS)
1982 mewajibkan kerjasama antar negara baik regional maupun internasional untuk
184 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
mengatur dan mengelola pemanfaatan sumberdaya perikanan agar menjaga
keberlanjutan (Sustainability). Third party certification menandakan bahwa
perusahaan mematuhi standar khusus keselamatan, kualitas, kinerja, pengujian,
inspeksi fasilitas untuk pembuatan suatu produk (National Science Foundation
tahun tidak diketahui). Traceability menjadi persyaratan ekspor ke Uni Eropa
untuk pelacakan produk apabila tejadi bahaya pangan (KEMENDAG 2005). Catch
certification harus dimiliki oleh kapal, supplier dan unit pengolahan ikan (Febrianik
et al 2017). Tabel 4 merupakan persyaratan ekspor ke Uni Eropa.
Tabel 3 Persyaratan ekspor ke Uni Eropa
Persyaratan Uni Eropa
Sustain-ability Big Eye Statistical Document, IOTC, COO, ECO
LABEL CDS, SBT-CCSBT, ICCAT, MSC
Third Party Certification GLOBALGAP, ISO 22000, BRC, ECO LABEL, SQF
Traceability Catch Certification
Eksportir 1 Importir
4 2 12
11
Bank koresponden Opening Bank
5
3
Produksi barang
3
6
Penerbangan/kapa 13
10
l
7
8 Pelabuhan/bandara
Pemuatan barang 9 tujuan
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 185
Gambar 3 Prosedur ekspor produk tuna di unit pengolahan ikan Indonesia
Eksportir dan importir membuat kontrak dagang (sales contract). Importir
akan mengajukan pembukaan L/C kepada opening bank di luar negeri sesuai
penunjukkan importir. L/C yaitu cara pembayaran internasional berupa surat yang
dikeluarkan oleh opening bank atas permintaan importir yang ditujukan kepada
eksportir melalui bank koresponden yang menyatakan bahwa opening bank akan
membayar sejumlah uang tertentu apabila syarat-syarat yang ada dalam L/C telah
terpenuhi. Opening Bank akan meneruskan L/C kepada correspondent bank yang
ditunjuk oleh eksportir. Correpondent Bank memberitahukan L/C kepada eksportir
untuk melakukan penyiapan barang ekspor. Setelah barang siap maka, eksportir
menghubungi pihak pelayaran/penerbangan untuk pengiriman barang. Apabila
sudah ada jadwal pengkapalan, eksportir mengurus dokumen Pemberitahuan
Ekspor Barang (PEB) di bea cukai pelabuhan muat agar segera memfiat muat
barang keatas kapal. Setelah barang dikirim maka eksportir melakukan negosiasi
L/C kepada correspondent bank dengan membawa PEB, B/L negotiable dan
dokumen lain yang disyaratkan dalam L/C. Correspondent Bank mengirim
dokumen tersebut kepada opening bank untuk penagihan pembayaran. Opening
Bank memberitahukan dan menyerahkan dokumen tersebut kepada Importir untuk
pengeluaran barang dari pelabuhan/bandara serta melakukan pembayaran.
Tabel 4 Kasus penolakan produk olahan tuna Indonesia oleh Uni Eropa
Tahun Jenis Produk dan Volume Alasan Penolakan
2014 Yellowfin Tuna, Net Weight 25,000 Kg histamine
2016 Frozen Tuna (Thunnus alalunga) 25,000kg poor temperature
control
2017 Frozen Tuna loin, 600kg 24 karton CO (619 ppm)
Frozen cooked tuna flakes, 25 ton histamine (517 mg/kg-
ppm)
Canned tuna chunks in vegetable oil,2124.72 kg histamine (377,7 ppm)
2018 Frozen tuna loin (Thunnus Albacares),12.275 kg Supcision of Carbon
Monoxide treatment of
frozen tuna loins
Frozen tuna steak, 5.725 kg Mercury
Loins and crumbs of Yellowfin Tuna Mercury
Sumber RASFF 2018
Tahun 2014 terdapat 1 kasus penolakan dengan alasan histamin pada produk
yellow fin tuna yang merupakan sampel ikan dieskspor perusahaan bersama dengan
produk perikanan lainnya. Tahun 2015 tidak terjadi kasus penolakan produk tuna.
Tahun 2016 terdapat 1 kasus penolakan dengan alasan poor temperature control
pada produk frozen tuna disebabkan 1 dari 4 kontainer pada saat pengiriman
mengalami kerusakan. Tahun 2017 terdapat 3 kasus penolakan dengan alasan 1
produk mengandung CO pada produk frozen tuna loin dan 2 produk mengandung
histamin pada produk frozen cooked tuna flakes dan canned tuna chunks in
vegetable oil diakibatkan kesalahan proses packing dan labeling. Produk yang
mengandung CO akan dipasarkan ke Amerika Serikat dan produk non CO ke Uni
Eropa. Tahun 2018 terdapat 3 kasus penolakan dengan alasan CO yaitu produk
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 187
frozen tuna loin dicurigai menggunakan treatmen CO, frozen tuna steak
mengandung histamin dan pada produk loins and crumb of yellow fin tuna
mengandung merkuri (BKIPM 2018).
Penilaian kualitas produk tuna beku dan tuna olahan Indonesia sesuai batas
kontaminan standar Uni Eropa
Adanya kasus penolakan menandakan ada kesalahan pengujian dalam proses
pemenuhan standar dari Uni Eropa dan perbedaan regulasi terkait penentuan batas
kontaminan antara Uni Eropa dengan Indonesia. Standar batas kontaminan Uni
Eropa mengacu pada EC No.1881/2006 dan standar batas kontaminan Indonesia
mengacu pada standar SNI batas kontaminan perikanan.
Tabel 5 Kesenjangan batas kontaminan produk tuna Indonesia terhadap Uni Eropa
Batas kontaminan Regulasi Nilai Regulasi Indonesia Nilai
Uni Eropa
Salmonella (25gr) negatif 2 negatif (SNI 01-2332.2- 2
2006)
CO Non CO 3 CO 2
Histamine (ppm) 50 2 100 (SNI 2354.10:2016) 1
Mercury (mg/kg) 1 2 1 (SNI 01- 2
2354.6:2016)
Lead / pb (mg/kg) 0.30 2 0.40 (SNI 2354.5:2011) 1
Cadmium ( mg/kg) 0.10 2 1 (SNI 2354.5:2011) 1
V.Cholerae negatif 2 negatif (SNI 01-2332.4- 2
2006)
Escherchia coli 1.8 2 1.8 (SNI-2332-2006) 2
(mpn/g)
s. aureus (colony/g) 1 2 1 (SNI 2332.9:2015) 2
Listeria negatif 2 negatif 2
monocytogenesis
Clostrodium negatif 2 negatif 2
botulinum
SKOR 23 19
188 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
yang menandakan bahwa tingkat keketatan penentuan batas kontaminan Uni Eropa
tinggi.
Uni Eropa menetapkan persyaratan bahwa produk yang diekspor harus
terhindar dari praktek IUU fishing yang diatur dalam council regulation (EC) No
1005/2008. Semua produk yang masuk ke Uni Eropa wajib memiliki catch
certificate (Samola et al 2018). Indonesia memiliki sertifikat hasil tangkapan ikan
yang terdiri dari 4 jenis yaitu lembar awal, lembar turunan, lembar turunan yang
disederhanakan, lembar impor. Lembar awal berisi informasi tentang hasil
tangkapan pada saat ikan didaratkan (Samola et al 2018). Lembar turunan berisi
seluruh atau sebagian hasil tangkapan yang dibongkar dalam satu kali
pembongkaran, lembar turunan yang disederhanakan ditujukan untuk kapal yang
ukurannya kurang dari 20GT (Rahmat 2016). Lembar impor digunakan apabila
unit pengolahan ikan membeli ikan yang akan diolah dari luar negeri. Unit
pengolahan ikan mendapatkan buyer atau importir dengan cara menghubungi
Indonesian Trade Promotion Centre (ITPC), mendatangi pemerintah untuk
dicarikan buyer, mencari di internet, mengikuti pameran dagang internasional,
informasi dari pengusaha lain (Triyono 2008).
Pemahaman unit pengolahan ikan terhadap SNI, Good Manufacturing
Practices, Sanitation Standar Operating Procedures dan pengawas mutu berperan
penting untuk meningkatkan jaminan mutu dan keamanan produk perikanan
(Yuwono et al 2012). Efektivitas penerapan SNI cukup memadai namun masih
banyak kelemahan dari berbagai aspek seperti manusia, sulit mengkalibrasi
peralatan laboratorium, biaya sertifikasi mahal (Herjanto 2011). Padahal penerapan
SNI yang baik akan memberikan keuntungan dan manfaat bagi unit pengolahan
ikan untuk menghasilkan produk yang berkualitas. Sehingga dapat meningkatkan
daya saing di pasar internasional (Puska Dagri 2012).
Penentuan batas kontaminan Indonesia relatif sedang dan masih dalam batas
aman untuk dikonsumsi (Trilaksani W 2010). Penentuan batas kontaminan
ditentukan oleh importir. Jika importir menentukan batas kontaminan lebih ketat
maka, unit pengolahan ikan di PPS Nizam Zachman harus memenuhi persyaratan
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 189
tersebut. Pengujian dilakukan di Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan
Keamanan Perikanan yang telah memiliki sertifikat internasional. Ada beberapa
negara Uni Eropa yang menerapkan batas kontaminan lebih ketat dari ketentuan
Uni Eropa hal tersebut berdampak pada unit pengolahan ikan di Indonesia harus
mengeluarkan biaya untuk melakukan pengujian ikan di laboratorium negara
tersebut dikarena keterbatasan alat pengujian di Indonesia dalam mendeteksi
kontaminan. Pemerintah terus berupaya mengembangkan sarana dan prasarana
laboratorium uji dan sumberdaya manusia yang berkompeten dibidang standarisasi
yang telah memiliki akreditasi nasional dan internasional (Puska Dagri 2012)
Negara di Uni Eropa juga meminta beberapa persyaratan seperti sertifikasi bebas
nuklir, sertifikasi bebas radiasi untuk pasar Rusia (Resnia et al 2014) . Padahal di
Indonesia belum ada lembaga untuk pengujian tersebut karena mahalnya biaya alat
dan bahan pengujian untuk itu Indonesia tidak mengekspor ke negara yang
memiliki peraturan tersebut.
Sebab akibat untuk kasus penolakan produk tuna PT X oleh Uni Eropa
Penolakan produk ikan tuna PT X oleh Uni Eropa disebabkan 6 faktor yaitu
manusia, mesin, material, metode, pengujian, lingkungan. Gambar 6 merupakan
diagram tulang ikan untuk menentukan factor penyebab dari ikan tuna yang
mengalami penolakan, berdasarkan studi kasus di PT X. Berikut adalah rincian dari
6 faktor tersebut,
190 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
1. Faktor manusia
a. Koordinasi antar pegawai satu tim saat proses produksi ikan belum
berjalan baik, pegawai tidak tanggap untuk menangani apabila ada
bagian job yang belum tertangani karena merasa bukan jobnya
dikarenakan pembagian job tidak merata terpusat pada proses tertentu.
Rencana penanggulangannya yaitu pembuatan job desk dan
pembagaian kuota saat proses produksi berdasarkan tingkat kesulitan.
b. Quality Control lulusan SMK hal tersebut menyebabkan QC kurang
berani untuk menegur pegawai senior. QC kurang mengawasi
prosesnya dikarenakan QC ikut membantu bekerja untuk
menyelesaikan target yang diberikan. QC juga tidak memiliki sertifikat
keahlian. Rencana penanggulangannya yaitu perekrutkan QC yang
memiliki sertifikat keahlian seperti HACCP dan QC harus menjalankan
tugasnya saja sebagai pengawas tidak membantu bekerja.
c. Motivasi yang kurang menyebabkan beberapa pekerja kurang
semangat, dan cepat dalam penanganan ikan. Rencana
penanggulangannya yaitu pemberian reward bagi yang bagus dalam
bekerja dan punishment bagi yang malas malasan.
2. Faktor metode
a. Penerimaan masih kurang sesuai dengan cara penanganan ikan yang baik
(CPIB) dikarenakan ada beberapa pegawai yang teledor mengganco
ikan pada bagian badan ikan yang seharusnya penggancoan ikan pada
bagian kepala dan ekor. Kebersihan kurang karena ikan diletakan
dilantai tanpa alas. Rencana penanggulangannya yaitu pengawasan pada
saat proses penerimaan dan memberikan alas untuk menaruh ikan.
b. Packing manual, karena dilakukan harus dengan cepat maka, ikan
terkadang terjatuh kelantai dan pegawai lupa menyemprot ikan dengan
cairan PH. Rencana penanggulangannya yaitu memperbanyak pegawai
dibagian packing dan pengawasan dilakukan.
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 191
3. Faktor mesin
a. Pada proses penerimaan timbangan hanya ada 1 untuk menangani ikan
1 kontainer. Hal tersebut membuat antrian ikan, sehingga proses
penerimaan memakan waktu lama. Timbangan pada saat packing
masih sedikit sehingga menghambat kecepatan produksi. Rencana
penanggulangannya yaitu penambahan jumlah timbangan yang anti air.
b. Alat pengangkut yang kotor, ada beberapa tempat pengangku dan troli
pengangkut kotor dan menggunakan bahan yang mudah berkarat.
Rencana penanggulangannya alat pengangkut ikan harus dibersihkan
setelah dipakai.
4. Faktor bahan baku
a. Ikan kondisi rusak dengan daging yang tergores, siripnya patah, mata
ikan tidak jernih, ikan terpotong tubuhnya hal tersebut diakibat
penanganan diatas kapal kurang baik, terlempar dan terinjak pada saat
pembongkaran, dan bahan baku ikan tuna berasal dari kapal purse seine.
Rencana penanggulangannya yaitu memiliki armada penangkapan
sendiri.
b. Kemasan rusak, alat pengepresan yang dimiliki ada sedikit sehingga
pegawai harus terburu buru untuk melakukanpengepresan dan
terkadang ada kemasan yang rusak. Rencana penanggulangannya yaitu
penambahan alat pengepresan.
5. Faktor pengujian
a. Pengujian organoleptik tidak sesuai dengan penampakan ikan,
dikarenakan ikan akan diolah dan dimanfaatkan dagingnya sehingga
wujud ikan tidak berpengaruh. Rencana penanggulangannya
pengecekan mata, insang, bau, suhu, tekstur.
b. Uji kontaminasi belum menyeluruh, pengujian kontaminasi hanya pada
produk akhir saja. Rencana penanggulangannya pengujian pada setiap
proses penanganannya.
192 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
6. Faktor Lingkungan
a. Adanya binatang pada saat proses produksi dikarenakan PT X masih
dalam proses pembangunan. Rencana penanggulangannya yaitu
dibuatnya pengendalian terhadap hewan pengganggu meskipun sedang
ada pembangunan.
b. Udara pada saat penerimaan panas karena tidak ada pendingin. Rencana
penanggulangannya diberi pendingin agar ikan tetap segar.
194 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
Tabel 7 Matriks SWOT industri pengolahan ekspor tuna di PPS Nizam Zachman
STRENGHT (S) WEAKNESS (W)
1.Hubungan dengan 1.Alat pengujian pada UPI
importir baik belom lengkap
2.Memiliki mitra 2.proses penerimaan
pensuplai ikan tuna kurang menerapkan CPIB
3.Pegawai banyak usia 3.Produksi tidak tepat
produktif waktu
4.Dukungan dari 4.Pengawasan belum
pemerintah menyeluruh
5.Kualitas produk 5.Belum mempunyai bahan
mampu bersaing pengganti CO.
OPPORTUNITIES (O) STRATEGI S-O STATEGI W-O
1.Permintaan ekspor 1.Memanfaatkan skill 1.Pengawasan dilakukan
ke Uni Eropa tinggi karyawan dalam proses menyeluruh dari proses
2. Kualitas produk pengolahan utuk penerimaan hingga
baik menghasilkan banyak pemasaran (W4,O3)
3.Produk yang produk (S3,O1,O3) 2.Memiliki kapal untuk
dihasilkan banyak 2.Penambahan coldstorage penyedia bahan baku
4.Harga produk tinggi agar dapat menyimpan (W3,W5,O4,O3)
5.Lebih banyak jenis bahan baku tau bahan jadi 3.Penggunaan mesin agar
ikan yang diekspor lebih banyak (S5,O2,05) menghasilkan produk yang
3.Perekrutan quality control banyak (W3,O2,O3)
yang mempunyai sertifikat
HACCP (S2,O3)
4.Mengikuti pameran
dagang Uni Eropa
(S1,S4,S5O1)
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 195
Strategi untuk peningkatan ekspor unit pengolahan ikan di PPS Nizam
Zachman yaitu: 1) Memanfaatkan skill karyawan dalam proses pengolahan utuk
menghasilkan banyak produk, 2) Pengembangan teknologi pengolahan untuk
menghasilkan produk yang bermutu dan berkualitas, 3) Ikut aktif mengikuti
pameran dagang Uni Eropa untuk mendapat banyak mitra dagang, 4) Pengawasan
dilakukan menyeluruh pada setiap prosesnya hingga ke pemasaran, 5) Memiliki
armada kapal untuk penyedia bahan baku, 6) Optimalisasi penerapan HACCP dan
CPIB untuk menghindari penolakan, 7) Melakukan pengujian organoleptik pada
setiap prosesnya.
DAFTAR PUSTAKA
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 197
Nurani TW, Murdaniel RPS, Harahap MH. 2013. Upaya Penanganan Mutu Ikan
Tuna Segar Hasil Tangkapan Kapal Tuna Longline untuk Tujuan Ekspor.
Marine Fisherie. 4(2):153-162
Rangkuti F. 2006. Teknik Mengukur dan Strategi Meningkatkan Kepuasan
Pelanggan. Jakarta (ID): Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Resnia R, Wicaksana B, Salim Z. 2015. Kesesuaian SNI dengan Standar
Internasional dan Standar Mitra Dagang pada Produk Ekspor Perikanan Tuna
dan Cakalang. Jurnal Standarisasi. 17(2):87-98
Rahmat Khaerunnisa CA.2016. Pengaruh Kebijakan Sertifikasi Hasil Tangkapan
Ikan (SHTI) Uni Eropa terhadap Indonesia [skripsi]. Makassar (ID):
Universitas Hasanuddin
Scarvada, A.J., Tatiana Bouzdine-Chameeva. Susan Meyer Goldstein, Julie
M.hays, Arthur V. Hill. 2004. A Review of the Causal Mapping Practice and
Research Literature. Second World Conference on POM and 15th Annual
POM Conference, Cancun, Mexico, April 30- May 3
Sugiyono. 2008. Metode penelitian kuantitatif kualitatif dan R&d. Bandung (ID):
Alfabeta
Samola B Arthur, Budiman Johnny, Dien V H. 2018. Studi Tentang Sertifikasi
Hasil Tangkapan Ikan di Pelabuhan Perikanan Samudera Bitung. J Ilmu dan
Teknologi Perikanan Tangkap. 3(1):23-31
Tambunan, Tulus T H. 2001. Perekonomian Indonesia Teori dan Temuan Empiris.
Jakarta (ID): Ghalia Indonesia
Triyono. 2008. Upaya Meningkatkan Daya Saing di Pasar Internasional pada Era
Globalisasi. J Unimus. Vol 4 (2)
Trilaksani W, Bintang M, Monintja DR, Hubeis M. 2010. Analisis Regulasi Sistem
Manajemen Keamanan Pangan Tuna di Indonesiadan Negara Tujuan Ekspor.
J Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia. Vol 8 (1)
Yuwono, Zakaria, Panjaitan. 2012. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerapan
Cara Produksi yang Baik dan Standar Prosedur Operasi Sanitasi Pengolahan
Fillet Ikan di Jawa. Manajemen IKM. 7(1):10-19
Yusuf Risna, Arthatiani Freshty, Putri Hertia. 2017. Peluang Ekspor Tuna
Indonesia: Suatu Pendekatan Analisis Bayesian. J Kebijakan Sosek KP.
7(1):13-50
198 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
KELIMPAHAN, KARAKTER MORFOLOGI, KOMPOSISI DAN
KONDISI PERAIRAN HABITAT LARVA IKAN TERUBUK (Tenualosa
macrura) DAN LARVA IKAN BILIS (Setipinna sp.) DI ESTUARIA
BENGKALIS
Oleh:
Karsono Wagiyo, Asep Priatna dan Duranta Kembaren
Balai Riset Perikanan Laut, Cibinong, Bogor, Jl. Raya Bogor KM. 47 Cibinong,
Bogor- Jawa Barat, Indonesia
E-mail:k_giyo@yahoo.co.id
ABSTRACT
The larvae phase of the Tropical shads (Tenualosa macrura) and hairfin anchovy
(Setipinna sp.) have similar characteristics, misidentification of species can lead to
failure in managing the sustainability of the tropical shads. This paper discusses
the abundance, morphological characteristics and water conditions of tropical
shads fish larvae and hairfin anchovy fish larvae. Larvae sampling uses bongo net
by “systematic cluster random sampling” in waters around the Bengkalis Strait.
The results showed the highest abundance of tropical shads fish larvae was found
at station 15 (Sungai Apit-in Body Siak River) 51 ind. 1/000 m3, and hairfin
anchovy fish 251 ind./1,000 m3. The highest of preflexion larvae phase of tropical
shads fish at station 14 (Kurau Cape-Lalang Strait) was 113 ind./1,000 m3 and
hairfin anchovy fish at station 11 (Siak River estuary-Padang Island) was 745
ind./1,000 m3. Correlation between the main part of body tropical shads fish
larvae, low between pre dorsal length (PDL) and snout length (SnL) with R2 =
0.4563 and height between (PDL) and pre anal length (PAL) has R2 = 0.9196,
Correlation between the main part of body hairfin anchovy fish larvae, low body
depth (BD) with SnL value R2 = 0.07 and the highest body length (BL) with PAL
with value R2 = 0.781. The core habitat of tropical shads fish larvae has an
average; salinity 15 ppt, acidity (pH) 6.9, transparency 0.3 m and temperature
27.9oC. The core habitat of hairfin anchovy larvae has a mean; salinity 25 ppt,
acidity (pH) 6.9, transparency 0.3 m and temperature 30oC.
Keywords: Tropical Shads Fish Larvae, Hairfin Anchovy Fish Larvae, Abundance,
Morphological Characteristics, Habitat Waters Conditions.
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 199
ABSTRAK
Fase larva dari ikan terubuk (Tenualosa macrura) dan ikan bilis (Setipinna sp.)
memiliki karakteristik yang serupa, kesalahan identifikasi spesies dapat
menyebabkan kegagalan dalam mengelola keberlanjutan ikan terubuk. Makalah ini
membahas kelimpahan, karakteristik morfologi dan kondisi air larva ikan terubuk
dan larva ikan bilis. Pengambilan sampel larva menggunakan bongo net dengan
“cluster random sampling” sistematis di perairan sekitar Selat Bengkalis. Hasil
penelitian menunjukkan kelimpahan tertinggi dari larva ikan terubuk ditemukan di
stasiun 15 (Sungai Apit-in Tubuh Siak Sungai) 51 ind. 1/000 m3, dan ikan bilis 251
ind./1000 m3. Fase larva preflexion tertinggi dari ikan terubuk di stasiun 14 (Selat
Kurau-Lalang) adalah 113 ind./1.000 m3 dan ikan bilis di stasiun 11 (muara Sungai
Siak-Pulau Padang) adalah 745 ind./1.000 m3. Korelasi antara bagian utama tubuh
larva ikan terubuk, yang terendah antara pre dorsal length (PDL) dengan snout
length (SnL) mempunyai R2 = 0,4563 dan yang tertinggi antara (PDL) dengan
(PAL) mempunyai R2=0,9196. Korelasi antar bagian utama tubuh yang terendah
body depth (BD) dengan SnL nilai R2=0,07dan yang tertinggi body length (BL)
dengan PAL dengan nilai R2=0,781. Pada habitat inti larva ikan terubuk memiliki
salinitas rerata 15 ppt, keasaman (pH) 6,9, transparansi 0,3 m dan suhu 27,9oC.
Pada habitat ditemukan kelimpahan larva ikan bilis tertinggi mempunyai salinitas
rerata 25 ppt, derajat keasaman (pH) 6,9, kecerahan 0,3 m dan suhu 30oC.
Kata Kunci: Larva Ikan Terubuk, Larva Ikan Bilis, Kelimpahan, Karakteristik
Morfologi, Kondisi Perairan Habitat.
PENDAHULUAN
Ikan terubuk (Tenualosa macrura) dan ikan bilis (salah satunya genus
Setipinna), merupakan ikan legenda di Bengkalis. Legenda ikan terubuk berkaitan
dengan sosial politik, mempunyai makna yang luas, sebagaimana tercantum dalam
“syair ikan terubuk” (Muawinah 2012) dan moto Bengkalis kota
“TERUBUK=Tertib, Rukun, Usaha Bersama dan Kenyamanan ” (Efizon et al.
2012). Legenda ikan bilis lebih spesifik berkaitan dengan sumberdaya perikanan.
Nama Bengkalis berasal dari dua kata dari dua sumber yang berbeda. Sumber
pertama dari Kantor Dinas Kebudayaan, Kesenian dan Pariwisata Riau yang
menyebutkan Bengkalis berasal dari kata “Bengkak” dan “Lis” (Bengkak yang
diderita ikan bilis, akibat tabrakan dengan ikan hiu). Sumber kedua berasal dari
Prof. Said Mahmud Umar dalam sarahan perdana tradisi Melayu tahun 1989, kata
200 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
Bengkalis berasal dari kata “Bangsal” dan “Bilis” yang berarti bangsal tempat
menjemur ikan bilis (Anonim 2013).
Adanya legenda dari ikan terubuk dan ikan bilis, menggambarkan pada
mulanya kedua ikan ditemukan melimpah di Perairan Bengkalis dan betapa
pentingnya untuk kehidupan masyarakat di sekitarnya. Ke dua jenis ikan tertangkap
bersamaan dengan jaring insang (Suwarso et al. 2017 & Hufiadi et al. 2018),
Populasi ikan terubuk disinyalir mulai menurun pada tahun 1970 (Ahmad 1974)).
Hasil penelitian menunjukkan menuju tahun terkini kelimpahan ikan terubuk
semakin menurun; catatan pertama dibuat oleh Gramberg (1888) produksi 1000-
2000 ekor/hari (Blaber et al. 2001), kemudian Merta et al.(1999) mendapatkan 3-
95 ekor/trip atau 0,5-11kg/trip, Merta (2001) mendapatkan 22-42 ekor/kapal/hari,
Suwarso et al. (2017) mendapatkan rerata 4,5 kg/trip yang tertinggi 10 kg/trip, dan
hasil penelitian ekperimen Hufiadi et al. (2018) mendapatkan 0,7-2,6 ekor/seting.
Penurunan populasi ikan terubuk, disebabkan karena degradasi lingkungan,
tekanan penangkapan. penyebaran yang terbatas bahkan hanya endemik di Perairan
Bengkalis (Blaber et al. 2003). Hasil penelitian Purwanto et al. (2014) menujukkan
laju ekploitas ikan terubuk sudah berlebih. Populasi ikan bilis belum mendapatkan
perhatian (Carpenter & Niem 1999). Berbagai laporan hasil tangkapan bilis
semakin menurun dan pemanfaatan ikan bilis di India semakin intensif sebagai
bahan pangan fermentasi (Kakati & Goswani 2013; Sarma 2015; Kakati &
Goswani 2017 & Gangan et al. 2018). Populasi ikan bilis menurun, tetapi tidak
mengkuatirkan karena daerah penyebarannya luas. Kondisi populasi ikan terubuk
di Perairan Bengkalis yang dikuatirkan akan punah, mendorong Menteri Kelautan
dan Perikanan mengeluarkan peraturan Nomor 59/KEPMEN-KP/2011 untuk
melindungi ikan terubuk, sehingga tetap lestari.
Dalam usaha pelestarian ini di perlukan data dan informasi mengenai
keberadaan larva ikan terubuk dan larva ikan lainnya yang terkait dengan life
history dan daerah sebaran ikan terubuk (Sihotang et al. 1991; Ahmad et al. 1995;
Blaber et al. 1999 & Merta et al. 1999). Larva ikan bilis adalah salah satu yang
serupa dengan larva ikan terubuk. Larva keduanya ditemukan pada area yang sama
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 201
(Delsman 1933 & Srilatha et al. 2013). Pada beberapa survai di estuaria Bengkalis
ditemukan dalam satu stasiun towing.
Identifikasi larva terubuk di alam sangat sulit karena ada beberapa ikan
memiliki morfologi dan habitat yang sama dengan terubuk. Larva ikan yang
mempunyai Morfologi serupa dengan ikan terubuk adalah ikan bilis, sehingga
keduanya dimasukan dalam satu ordo clupeiformes (Ganias 2014). Larva ikan bilis
adalah salah satu larva yang sering menyebabkan kesalahan identifikasi dengan
larva ikan terubuk.
Kegiatan penelitian terdahulu mengenai larva ikan terubuk di Perairan
Bengkalis pernah dilakukan oleh Wagiyo (2001), yang memberikan informasi
mengenai kelimpahan dan lingkungan. Pada kegiatan penelitian ini, bertujuan
memberikan informasi selain kelimpahan dan morfometrik ikan terubuk, juga ikan
terkait lainnya yaitu ikan bilis. Hasil ini diharapkan dapat memberikan gambaran
secara detail mengenai larva ikan terubuk dan ikan bilis untuk mencegah terjadinya
kesalahan identifikasi. Harapan selanjutnya kebenaran identifikasi ini memberikan
dampak pada dugaan kelimpahan dan sebaran larva ikan terubuk yang lebih tepat,
sehingga kebijakan konservasi ikan terubuk baik insitu maupun eksitu akan lebih
mudah dilaksanakan dan berhasil dengan baik.
METODOLOGI
Penelitian dilakukan pada bulan Juli-September 2014. Stasiun sampling
ditentukan sistematik porposive random sampling pada area Selat Bengkalis dan
sekitarnya (Gambar 1). Pengambilan contoh larva menggunakan bongo net
berdiameter mulut 60 cm dan panjang 300 cm dengan mata 500 µm. Towing bongo
net dilakukan pada kedalaman 20-6 m selama 10-15 menit. Contoh larva diawetkan
dengan larutan formalin 10 %.
Pencacahan dan identifikasi larva dibawah mikroskope stereo dan identifikasi
menggunakan buku panduan dari Delsman (1933), Leis & Rennis (1983), Leis &
Trnski (1989), Leis & Carson-Ewart (2000), Westhaus-Ekau, P.(2002). SEAFDEC
(2007). Pengukuran bagian-bagian utama tubuh dilakukan dibawah mikroskop
202 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
stereo dengan satuan ukur dalam mm, meliputi BD=body depth/lebar badan,
BL=body length/panjang badan, HL=head length/panjang kepala ED=eye
diameter/diameter mata, PDL=predorsal-fin lengt/panjang bagian depan punggung.
SnL=snout length/panjang bagian mulut dan PAL= preanal length/panjang bagian
depan perut.
Perhitungan kelimpahan larva menggunakan persamaan SEAFDEC (2007)
sebagai berikut:
1
K=𝑛x x 1.000
𝑉
K = Kelimpahan larva ( /103 m3), n = Larva terhitung dan V= volume air tersaring
(m3), diperoleh dari perkalian antara jumlah putaran flow meter dengan faktor
kalibrasi flow meter (0,009) dan luas lingkaran bongo net.
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 203
HASIL
Kelimpahan
Sebaran kelimpahan larva ikan terubuk secara spasial tercantum pada Gambar
2a. Kisaran kelimpahan larva ikan terubuk pada seluruh stasiun, dari tiga kali
sampling 0-142 ind./103m3, terbesar dijumpai pada stasiun 15. Lokasi yang selalu
ditemukan larva ikan terubuk setiap sampling adalah stasiun 13. Kelimpahan larva
ikan terubuk rata-rata tertinggi di jumpai di stasiun 15 sebesar 51 ind./103m3.
Sebaran kelimpahan larva ikan terubuk secara bulanan tercantum pada Gambar 2b.
Kelimpahan larva tertinggi dijumpai pada bulan Juli dengan kisaran 0-142
ind./103m3 dan rata-rata 25 ind./103m3. Kelimpahan larva ikan terubuk terendah di
jumpai pada bulan Agustus dengan kisaran 0-19 ind./103m3 dan rata-rata 4
ind./103m3. Pada bulan September mempunyai kelimpahan larva ikan terubuk
dengan kisaran 0-93 ind./103m3, dan rata-rata 14 ind./103m3.
150 Min Rerata Maks.
140 Min Rerata Maks. 150
Kelimpahan Larva ( ind./1.000 m³)
130 140
120 130
110 120
100 110
90 100
80 90
70 80
60 70
50 60
40 50
30 40
20 30
10 20
0 10
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
a Stasiun b Juli Agust. Sept.
204 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
September dengan kisaran 0-101 ind./103m3 dan rata-rata 19 ind./103m3. Pada bulan
Agustus mempunyai kelimpahan larva ikan bilis dengan kisaran 0-116 ind./103m3,
dan rata-rata 38 ind./103m3.
700
600
600
500
500
400
400
300
300
200
200
100
100
0
0
a 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1314 1516 b
Stasiun Juli Agust. Sept.
Komposisi
Selain larva ikan terubuk dan larva ikan bilis, secara keseluruhan di jumpai
ada 31 takson larva setingkat familia (Gambar 4). Kontribusi kelimpahan larva
terubuk dan larva ikan bilis terhadap kelimpahan larva keseluruhan masing-masing
3,80 % dan 8,29 %.
30
25
20
Persentase
15
10
0
Mullidae
Pristigasteridae
Telur 1
Telur 2
Telur 3
Blennidae
Engraulidae
Lutjanidae
Balistidae
Clupeidae
Cynoglosidae
Gobidae
Labridae
Nemeptheridae
Nomeidae
Carangidae
Percophidae
Scombridae
Soleneidae
Tetraodontidae
Serranidae
Chanidae
Microdesmidae
Monachantidae
Antenaridae
Leiognathidae
Pomacentridae
Synodontidae
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 205
Komposisi fase larva ikan terubuk secara spasial tercantum pada Gambar
5a. Fase prefleksion, hampir dijumpai di semua stasiun sampling kecuali di satasiun
3 dan 12. Di stasiun 3 larva ikan terubuk yang diujumpai semuanya dalam fase
fleksion. Di stasiun 12 larva ikan terubuk yang dijumpai semuanya dalam fase
postfleksion. Ada dua stasiun yang mempunyai ke tiga fase larva yaitu stasiun 1
dan stasiun 11. Ada dua lokasi yang mempunyai fase prefleksion dan fleksion yaitu
stasiun 14 dan 15. Komposisi fase larva ikan terubuk secara bulanan tercantum pada
Gambar 5b. Pada bulan September mempunyai kontribusi fase prefleksion tertinggi
diantara bulan sampling lainnya yaitu sebesar 98,02 %. Kontribusi fase postfleksion
tertinggi dijumpai pada bulan Agustus sebesar 23,4 %. Fase fleksion mempunyai
kontribusi tertinggi pada bulan Juli 22,45 %.
Postflexion Flexion Preflex Postflexion Flexion Preflexion
100
100%
90
90%
80
Komposisi Fase Larva (%)
80%
70
70%
60
60%
50
50%
40
40%
30 30%
20 20%
10 10%
0 0%
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 Jul. Agust. Sept.
a Stasiun b
Gambar 5. Komposisi fase larva terubuk a) lokasi b) bulan
Komposisi fase larva ikan bilis secara spasial tercantum pada Gambar 6a.
Fase prefleksion, tidak dijumpai di pada stasiun sampling 1,2,4, 15 dan 16. Ada
stasiun yang hanya dijumpai fase prefleksion yaitu stasiun 5 dan 13. Stasiun yang
dijumpai semua fase larva adalah 11 dan 12. Stasiun yang tidak ditemukan larva
adalah St 1,2, 4 dan 15. Komposisi fase larva ikan setipina secara bulanan
tercantum pada Gambar 6b. Pada bulan Agustus mempunyai kontribusi fase
prefleksion tertinggi diantara bulan sampling lainnya yaitu sebesar 91,37 %.
206 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
Kontribusi fase postfleksion tertinggi dijumpai pada bulan Agustus sebesar 2,69 %.
Fase fleksion mempunyai kontribusi tertinggi pada bulan September 20,02 %.
Persentas
Persentase
60
60
40
40
20
20
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 0
Stasiun Jul. Agust. Sept.
Karakter Morfologi
Morfologi larva ikan terubuk secara garis besarnya dapat dibedakan menjadi
tiga fase yaitu; prefleksion, fleksion dan postfleksion (Gambar 7). Masing-masing
fase mempunyai karakter; notochord dan dasar sirip yang masih rudimenter untuk
prefleksion, notochord melengkung dan dasar sirip pada fase fleksion dan
notochord hilang untuk post fleksion. Karakteristik utama larva ikan terubuk
mempunyai tubuh sangat panjang dan antara dasar sirip punggung dengan dasar
sirip perut tumpang tindih.
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 207
lainnya: lebar badan (0,067), panjang kepala (0,125), diameter mata (0,031),
panjang punggung (0,717), snouth length (0,048) dan panjang perut (0,899). Pada
bentuk postfleksi larva, porposi panjang badan dengan bagian tubuh lainnya; lebar
badan (0,088), panjang kepala (0,196), diameter mata (0,043), panjang punggung
(0,65), snouth lengh (0,056) dan panjang perut (0,87).
Tabel 1. Ukuran bagian-bagian tubuh larva ikan terubuk (mm)
Korelasi antara bagian tubuh larva ikan terubuk tercantum pada Tabel 2.
Korelasi lemah terjadi antara semua bagian tubuh dengan snouth lengh. Korelasi
yang kuat terjadi antara panjang badan dengan panjang bagian punggung dan
bagian perut, panjang bagian punggung dengan panjang bagian perut.
208 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
Morfologi larva ikan bilis secara garis besarnya dapat dibedakan menjadi
tiga fase yaitu; prefleksion, fleksion dan postfleksion (Gambar 8). Masing-masing
fase mempunyai karakter ; notochord dan dasar sirip yang masih rudimenter untuk
prefleksion, notochord melengkung dan dasar sirip pada fase fleksion dan
notochord hilang untuk post fleksion. Karakteristik utama larva ikan bilis tubuh
berbentuk sangat memanjang dan antara dasar sirip punggung dengan dasar sirip
perut tumpang tindih.
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 209
Post flexion Min. 0,211 4,529 0,828 0,139 2,297 0,220 3,064
Rerata 0,340 5,558 1,055 0,221 3,136 0,317 3,865
Nilai korelasi antara bagian tubuh larva ikan bilis mempunyai kisaran 0,07-
0,781 (Tabel 4). Korelasi lemah terjadi antara semua bagian tubuh dengan snouth
lengh dan antar lebar badan dengan semua bagian tubuh. Korelasi sedang,
didapatkan antara panjang badan dengan semua bagian tubuh kecuali dengan
Snouth length berkorelasi lemah.
Kondisi Habitat
Kondisi perairan habitat larva ikan terubuk dan larva ikan bilis dapat
dibedakan menjadi area penyebaran dan area inti (konsentrasi larva dengan
kelimpahan tinggi). Kondisi perairan pada area penyebaran mempunyai .salinitas
5-30 ppt dengan rerata 24,6 ppt, derajat keasaman (pH) 6,6-7,9 skala, rerata 7,1
skala, kecerahan 0,3-2,1 m rerata 0,9 m dan suhu perairan 29,5-31,2 oC, rerata 30,4
o
C (Tabel 5). Kondisi perairan area penyebaran larva ikan bilis mempunyai
salinitas 23-30 ppt dengan rerata 27 ppt, derajat keasaman (pH) 6,6-7,9 skala
dengan rerata 7,1 skala, kecerahan 0,3-1,9 m rerata 1,8 m dan suhu perairan 29,5-
31,2 oC, rerata 30,4 oC (Tabel 5.).
210 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
Tabel 5. Kondisi perairan area penyebaran larva ikan terubuk dan ikan bilis
Sal.(ppt) 27 23 30
Kondisi perairan area inti daerah asuhan larva ikan terubuk mempunyai
salinitas 5-23 ppt dengan rerata 18 ppt, derajat keasaman (pH) 7-7,5 skala, rerata
7,2 skala, kecerahan 0,3-0,5 m rerata 0,4 m dan suhu perairan 29,5-31 oC, rerata
30,4 oC (Tabel 6). Kondisi perairan habitat inti daerah asuhan larva ikan bilis
mempunyai salinitas 25-27 ppt dengan rerata 26 ppt, derajat keasaman (pH) 6,9-
7,5 skala dengan rerata 7,1 skala, kecerahan 0,3-0,9 m rerata 0,6 m dan suhu
perairan 30-31,2 oC, rerata 30,5 oC (Tabel.6).
Tabel 6. Kondisi perairan habitat inti daerah asuhan larva ikan terubuk dan ikan
bilis
Larva Parameter Rerata Min Max
Terubuk/Tropical Sal.(ppt) 18 5 23
shad larvae pH (skala) 7.2 7 7.5
Trans.(m) 0.4 0.3 0.5
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 211
Bilis/Hairfin Sal.(ppt) 26 25 27
anchovy larvae pH (skala) 7.1 6.9 7.5
Trans.(m) 0.6 0.3 0.9
Kelimpahan
Kelimpahan larva ikan terubuk lebih rendah dibandingkan kelimpahan larva
ikan bilis. dikarenakan populasi ikan terubuk lebih rendah. Keadaan ini sesuai
dengan statusnya ikan terubuk yang terancam punah (Suwarso et al, 2003), lebih
sensitif terhadap penangkapan (Blaber et al. 2005), tekanan penangkapan induknya
tinggi (Merta et al. 1999; Efizon et al. 2012), sedangkan ikan bilis status
populasinya belum mendapatkan perhatian (Carpenter & Niem 1999).
Kelimpahan larva ikan terubuk pada saat penelitian 14 ind./103m3,
menunjukkan penurunan dibandingkan peneliti terdahulu dengan kelimpahan 38
ind./103m3, ini sejalan dengan penurunan kelimpahan sumberdaya ikan terubuk
yang tercermin dari penurunan hassil tangkapan per unit usaha yaitu 22-42
ekor/kapal/hari (Merta et al. 1999) menjadi rerata 4,5 kg/trip (Suwarso et al. 2017)
dan ditunjukkan dengan tingkat ekploitasi ikan terubuk yang tinggi (Efizon et al.
2012; Purwanto et al. 2014).
Penyebaran larva ikan terubuk di perairan estuaria Bengkalis lebih luas
dibandingkan larva ikan bilis, karena ikan terubuk mempunyai toleransi yang lebih
lebar terhadap perubahan salinitas dan kekeruhan yang sering terjadi di area
estuaria. Keadaan ini sesuai dengan pernyataan Hogasen (1998) bahwa ikan
diadromous lebih tahan terhadap kondisi ekstrim salinitas dan
kekeruhan/kecerahan, seperti ikan terubuk. Sebaran larva terubuk yang luas ini
sesuai dengan hasil penelitian (Blaber et al. 1999: Wagiyo 2001 & 2003).
Pemusatan kelimpahan larva ikan terubuk pada saat penelitian terjadi pada
area yang sama dengan penelitian terdahulu oleh Wagiyo (2008) yaitu di area
antara Sungai Pakning (stasiun 9), muara Sungai Siak (stasiun 10 & 11) - Sungai
Apit (stasiun 15/ di badan Sungai Siak dan di stasiun 13/di Selat Lalang).
212 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
Melimpahnya larva di daerah ini dimungkinkan merupakan daerah pemijahan,
adanya arus mutar dan pertemuan arus (Grimes & Kingford 1996), shelter dan
barrier. Blaber et al. (2005) menyatakan bahwa melimpahanya larva dibadan sungai
karena terbawa arus dari area pemijahan.
Komposisi
Kontribusi kelimpahan larva terubuk dan larva ikan bilis terhadap
kelimpahan larva keseluruhan masing-masing 3,80 % dan 8,29 %. Kontribusi larva
ikan terubuk saat ini telah menurun sebesar 5,4 % dibandingkan penelitian
terdahulu dengan kontribusi 9,2 % (Wagiyo 2002) dari total kelimpahan larva ikan
di perairan Selat Bengaklis dan sekitarnya Kontribusi larva ikan terubuk yang
menurun ini dapat disebabkan oleh; tekanan penangkapan berlebih, gangguan alur
migrasi karena degradasi lingkungan dan faktor lainnya.
Komposi terbesar fase pre fleksion larva ikan terubuk dan larva ikan bilis
terjadi pada stasiun yang berbeda, menunjukkan area pemijahan utama keduanya
berbeda. Kelimpahan fase preflexion larva ikan terubuk tertinggi terjadi di Sekitar
Sungai Pakning dan Sungai Apit (Tanjung Kurau di Selat Lalang dan Tanjung Kuras
di bagian downstream Sungai Siak ). Ini sesuai dengan penemuan Blabber et al.
(2005) bahwa area pemijahan ikan terubuk disekitar Sungai Pakning. Presentase
fase prefleksion ikan bilis terjadi di sekitar Tanjung Kelemin. Secara bulanan
persentase fase prefleksion larva terubuk terbesar pada September, larva ikan bilis
pada Juli. Pada September di perairan Bengkalis, mulai musim hujan. Aliran air
tawar ini yang dapat merangsang pemijahan ikan terubuk (Ahsan et al. 2014)
Karakter Morfologi
Perbedaan morfologi keduanya pada sirip yang overlapping (Delsman 1933;
Leis &Trnski 1989). Baik larva ikan terubuk maupun ikan larva ikan bilis
mempunyai hubungan yang kuat antara panjang tubuh (BL) dengan panjang perut
bagian depan (PAL). Perbedaan lain adalah larva ikan terubuk mempunyai panjang
tubuh dan panjang bagian perut lebih besar dibandingkan dengan larva ikan bilis
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 213
(Leis & Carson-Ewart 2000 ). Hubungan yang tidak signifikan antar bagian tubuh
pada larva terubuk dan larva ikan bilis, masing-masing adalah hubungan antar
panjang bagian depan punggung (PDL) dengan panjang bagian mulut (SnL) dan
antara lebar badan (BD) dengan SnL.
Kondisi Habitat
Kondisi habitat merupakan faktor ekternal yang mempengaruhi migrasi
ikan diadromous (Høgåsen 1998), seperti ikan terubuk. Di Bangladesh faktor utama
yang mepengaruhi migrasi ikan yang semarga dengan terubuk yaitu Tenualosa
ilisha adalah suhu air, pH, salinitas dan kekeruhan/kecerahan (Ahsan et al. 2014).
Faktor kondisi habitat merupakan penyumbang penurunan populasi ikan terubuk
(Merta et al. 1999) dan keberhasilan survival rate larvanya. Pengaruh habitat yang
komplek ditemukan pada marga terubuk lainnya dari anggota Alosinae di Amerika
(Hasselma & Limburg 2012).
Hassil penelitian parameter kondisi perairan yang meliputi; suhu perairan
rerata 29,5 oC, derajat keasaman rerata 7,2 skala, salinitas rerata 18 ppt dan
kecerahan rerata 0,4 m, menunjukkan kenaikan dibandingkan hasil penelitian
terdahulu yaitu suhu perairan rerata 29,1 oC, derajat keasaman 6,5 skala, salinitas
9,6 ppt dan kecerahan rerata 0,28 m (Wagiyo 2008). Kenaikan beberapa parameter
ini menunjukkan adanya perbaikan kondisi habitat. Walaupun demikian hasil
penelitian mendapatkan kelimpahan larva ikan terubuk yang menurun, ini dapat
disebabkan adanya zat kimia induser yang mencemari habitat terubuk dan
penangkapan yang berlebih. Kondisi perairan area inti penyebaran larva ini berbeda
dengan kondisi perairan daerah pemijahan yaitu dengan kisaran salinitas 20-25 ppt
(Blaber et al. 1999 &2005). Kondisi perairan yang berbeda antar tingkat kehidupan
juga terjadi pada ikan satu marga yaitu Tenualosa ilisha (Hossain et al. 2016;
Hossain et al. 2019)
214 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
Kelimpahan larva ikan terubuk lebih rendah dan lebih menyebar
dibandingkan larva ikan bilis. Kelimpahan larva ikan terubuk tertinggi di sekitar
Sungai Apit (stasiun 15) dan larva ikan bilis di sekitar muara Tanjung kelemin di
Pulau Padang (stasiun 11). Kelimpahan fase preflexion larva ikan terubuk tertinggi
terjadi di Sekitar Sungai Apit (Tanjung Kurau-Selat Lalang dan Tanjung.Kuras).
Persentase fase prefleksion larva terubuk terbesar pada September, larva ikan bilis
pada Juli. Area dengan persentase fase prefleksion larva terubuk terbesar di sekitar
Sungai Pakning & Muara Siak, larva ikan bilis di sekitar Tanjung Kelemin.
Morfologi larva ikan terubuk dan larva ikan bilis dicirikan mempunyai kesamaan
hubungan yang kuat antara panjang tubuh (BL) dengan panjang perut bagian depan
(PAL). Perbedaan larva ikan terubuk mempunyai panjang tubuh dan panjang
bagian perut lebih besar dibandingkan dengan larva ikan bilis. Area sebaran larva
terubuk mempunyai range yang lebar terhadap salinitas dan tranparasi. Habitat inti
asuhan larva terubuk mempunyai salinitas dan tranparasi rendah dengan pH netral
. Untuk keberhasilan konservasi terubuk disarankan konservasi habitat asuhan
larva & larva rearing
Daftar Pustaka
Ahmad M. 1974. Perkembangan Usaha Perikanan di Tanjung Medang Kecamatan
Rupat. Warta Universitas Riau, Pekanbaru. 20 hal
Ahmad M, Dahril T & Efizon D. 1995. Ekologi reproduksi ikan Terubuk (Alosa
toli) di Perairan Bengkalis.
Ahsan DA, Naser MN, Bhaumik U, Hazra S & Bhattacharya SB. 2014. Migration,
Spawning Patterns and Conservation of Hilsa Shad (Tenualosa ilisha) in
Bangladesh and India. Copyright: IUCN, International Union for Conservation
of Nature and Natural Resources. 95p
Anonim. 2013. Asal Usul Nama Bengkalis. Sagang online Penyangga dan
Penggerak Kebudayaan Melayu Riau.
Blaber SJM. 2000. Tropical Estuarine Fishes, Ecology, Exploitation and
Conservation. CSIRO Marine Research. Australia
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 215
Blaber SJM, Milton DA, Brewer DT & Salini JP. 2003. Biology, Fisheries, and
Status of Tropical Shads (Tenualosa spp.) in South and Southeast Asia.
American Fisheries Society Symposium 35.
Blaber SJM, Fry G, Milton DA, Van der Velde T, Boon-Teck O, Pang J & Wong
P. 2005. The life history of Tenualosa macrura in Sarawak, further notes on
protandry in the genus and management strategies. Fisheries Management and
Ecology, 12, 201–210
Carpenter KE, & Niem VH. 1999. The Living Marine Resources of the Western
Central Pacific.Vol. 3. Batoid fishes, Chimaeras and Bony Fish Part 1 (Elopidae
to Linophrynidae). FAO Species Identification Guide for Fishery Purposes.
Rome. p.2790.
Delsman HC. 1933. Fish Eggs and Larvae from the Java Sea. Treubia
VOL.XIV,LIVR. 1.
Ganias K. (2014). Biology and Ecology of Sardines and Anchovy.CRC Press. Boca
Raton, London, New york.p.382
Efizon D, Djunaedi OS, Dhahiyat Y & Koswara B. 2012. Kelimpahan Populasi dan
Tingkat Eksploitasi Ikan Terubuk (Tenualosa macrura) di Perairan Bengkalis,
Riau. Berkala Perikanan Terubuk. Vol. 40. No.1. p.52 – 65
Gangan SS, Kumar AP, Bamaniya D, Jahageendars S, Lakra WS & Jaiswar AK.
2018. A Report on Ecotype of Setipinna phasa (Hamilton-Buchanan, 1822) from
Indian Waters. Turk. J.Fish.Aquqt. Sci. 18: 729-738. DOI: 10.4194/1303-2712-
v18_5_08
Grim LB & Kingford MJ. 1996. How do riverine plumes of difference size
influence fish larval: do they enhance recruitment. Mar.Freswater. Res.47:191-
208.
Hasselma DJ & Limburg KE. 2012. Alosine Restoration in the 21st Century:
Challenging the Status Quo. Marine and Coastal Fisheries Dynamics,
Management, and Ecosystem Science 4:174–187. DOI:
10.1080/19425120.2012.675968
216 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
Høgåsen HR. 1998. Physiological Changes Associated with the Diadromous
Migration of Salmonids. Can. Spec. Publ. Fish Aquat. Sci. 127. 128 p.
Hossain MS, Sharifuzzaman SM & Chowdhury SR. 2016. Habitats across the life
cycle of hilsa shad (Tenualosa ilisha) in aquatic ecosystem of Bangladesh.
Fisheries Management and Ecology.p. 1-13. doi: 10.1111/fme.12185
Hossain MS, Sharifuzzaman SM, Rouf MA, Pomeroy RS, Hossain MD,
Chowdhury SR & Uddin SA. 2019. Tropical hilsa shad (Tenualosa ilisha):
Biology, fishery and management. Fish and Fisheries.;20:44–65. DOI:
10.1111/faf.12323
Hufiadi, Mahaiswara & Baihaqi. 2018. Uji Coba Penangkapan Jaring Insang Dua
Lapis untuk Menangkap Ikan Terubu (Tenualosa macrura Bleeker, 1852) Hidup
di Bengkalis. J.Lit.Perikan.Ind. Vol.24 No.1 : 25-36
Kakati BK & Goswani UC. 2013. Characterization of the traditional fermented fish
product Shidol of Northeast India prepared from Puntius sophore and Setipinna
phasa. Indian Journal of Traditional Knowledge. Vol. 12(1) pp.85-90.
Kakati BK & Goswani UC. 2017. Nutritional, microbial and sensory quality
evaluation of fermented Setipinna phasa, Hamilton 1822, (Phassya Shidal),
marketed in North-east India. J. Appl. & Nat. Sci. 9 (1): 237- 244 (2017)
Leis JM & Rennis DS. 1983. The Larvae of Indo-Pacific Coral Reef Fishes. New
South Wales University Press and University of Hawaii Press. Sydney.Honolulu.
Leis JM & Trnski T. 1989. The Larvae of Indo-Pacific Shorefishes. New South
Wales University Press.
Leis JM & Carson-Ewart BM. 2000. The Larvae of Indo-Pacific Coastal Fishes.
An Identification guide to marine fish larvae. Fauna Malesiana Handbook
2.Brill.
Merta GS, Suwarso, Wasilun,. Wagiyo K, Girsang ES & Suprapto. 1999. Status
populasi dan bio-ekologi ikan terubuk Tenualosa macrura (Clupeidae) di
Propinsi Riau. J.Lit.Perik.Ind.5(3), 15-29.
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 217
Merta GS. 2001. A description of the Terubuk Fishery (Tenualosa macrura) in the
Bengkalis Region of Riau Province, Indonesia. Proceedings of The International
Terubuk Conference. Sarawak, Malaysia. 11-12 September 2001.p.85-99.
Muawinah. 2012. Nilai-nilai Pendidikan Akhlak dalam Syair Ikan Terubuk.
Program Pasca sarjana Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim. Riau.
Purwanto E, Yani AH & Efizon D. 2014. Study the Potential Fisheries Fish Terubuk
(Tenualosa macrura) in Waters Bengkalis Riau. Jurnal Online Mahasiswa
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Riau.Vol.1. No.2.
Roper DS.1986. Occurrence and Recruitment of Fish Larvae in a Northern New
Zealand Estuary. Estuarine, Coastal and Shelf Science. 22, 705-717.
Sarma PK. 2015. Length-Weight relationship and relative condition factor of
gangetic hairfin anchovy Setipinna phasa (Hamilton, 1882) in Dhubri districh of
Assam, India. Adv. Appl.Sci.Res.6(1):5-10.
SEAFDEC. 2007. Larval Fish. Identification Guide for the China Sea and Gulf of
Thailand. Southeast Asian Fisheries Development Center in Collaboration with
the UNEF/GEF South China Sea Project.
Sihotang C, Dahril T & Alawi H. 1991. Studi tentang bio-ekologi ikan Terubuk
(Clupea toli). Fakultas Perikanan, Universitas Riau.
Srilatha G, Mayavu P, Varadharajan D & Chamundeeswari K. 2013. Distribution
of Fin-fish Eggs and Larvae from Point Calimere and Muthupettai, South East
Coast of India. J Aquac Res Development 4:4 . doi.org/10.4172/2155-
9546.1000178
Suwarso & Merta IG. 2003. Penurunan Populasi dan Alternatif Pengelolaan
IkanTerubuk,Tenualosa macrura (Clupeidae),diPropinsiRiau.J.Lit.Perik. Ind.
6(2), 25- 36.
Suwarso. 2017. Tipe Perikanan dan Status Sumberdaya Ikan Terubuk (Tenualosa
macrura, Bleeker 1852) di Perairan Estuarin Bengkalis dan Selat Panjang.
J.Lit.Perikan.Ind. Vol.23 No.4: 261-273
218 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019
Wagiyo K. 2001. Spawning site and larval distribution of terubuk in the Bengkalis
Region of Riau Province Indonesia. Proceedings of The International Terubuk
Conference. Sarawak, Malaysia. 11-12 September 2001.p.168-176.
Wagiyo, K. 2002. Kelimpahan larva Terubuk (Tenualosa macrura) dan beberapa
Faktor Hidrologis daerah asuhannya. Seminar Hasil Penelitian Terubuk.
Pekanbaru.
Wagiyo K. 2008. Bioekologi, Sediaan, Eksploitasi dan Konservasi Ikan Terubuk
(Tenualosa macrura). Prosiding Seminar Nasional lkan V Bogor, 3 Juni 2008
Westhaus-Ekau P. 2002. Early Life History of Fish. Series Course on The Sea and
Its Resources. 16-21 September 2002. Purwokerto: Jenderal Soedirman
University. Faculty of Biology.
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019 219
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8
Diselenggarakan oleh:
Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan - Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan - IPB University
dan
Forum Komunikasi Kemitraan Perikanan Tangkap (FK2PT)
Didukung oleh:
220 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-8, Bogor, 17 Oktober 2019