Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


“HAKIKAT MANUSIA DALAM AL-QUR’AN”

Disusun Oleh :

Kelompok 2
Amelia Dwi Guna Putri
Muhammad Fadhil Baihaqi
Muhammad Maulana

JURUSAN KRIMINOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM RIAU
TAHUN 2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT, yang atas Rahmat-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Hakikat
Manusia Dalam Al-Qur’an”. Penulisan makalah ini merupakan salah satu tugas
yang diberikan dalam mata kuliah Pendidikan Agana Islam di Universitas Islam
Riau.
Dalam penulisan makalah ini kami merasa banyak kekurangan baik pada
teknik penulisan maupun materi, meningat akan kemampuan yang kami miliki
.untuk itu, kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan demi
penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Dalam penulisa makalah ini penulis menyampaikan terima kasih yang
sebesar;besarnya kepda pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan
makalah ini, khususnya kepada Dosen kami yang telah memberikan tugas dan
petunjuk kepada kami,sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini.

Pekanbaru, 22 Oktober 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................... i
DAFTAR ISI...................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang............................................................................................... 1
Rumusan Masalah.......................................................................................... 2
Tujuan Masalah.............................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN
Hakikat Manusia dalam Konsep Al-Qur’an................................................... 3
Proses Penciptaan Manusia dalam Konsep Al-Qur’an................................... 7
Kedudukan Manusia di Dunia dalam Konsep Al-Qur’an.............................. 8
Hubungan Kedudukan Manusia dengan Pendidikan...................................... 12
Implikasi Konsep Manusia Terhadap Pendidikan Islam................................ 13
BAB III PENUTUP
Kesimpulan..................................................................................................... 14
Saran............................................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 15

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Manusia diciptakan oleh Allah SWT adalah paling sempurna
dibandingkan dengan makhluk yang lainya diantaranya Malaikat, Jin, Iblis,
Binatang, dan makhluk lainnya.
Manusia sebagai makhluk individu memiliki unsur jasmani dan rohani,
unsur fisik dan psikis, unsur raga dan jiwa. Seseorang dikatakan sebagai
manusia individu manakala unsur-unsur tersebut menyatu dalam dirinya. Jika
unsur tersebut sudah tidak menyatu lagi maka seseorang tidak disebut
sebagai manusia individu. Dalam diri individu ada unsur jasmani dan
rohaninya, atau dapat dikatakan  unsur raga dan jiwanya.
Manusia merupakan makhluk dengan kebutuhan jasmani yang nyaris
tak berbeda dengan makhluk lain seperti makan, minum, kebutuhan akan
seks, menghindarkan diri dari rasa sakit dan sebagainya tetapi juga sebuah
kesadaran tentang kebutuhan yang mengatasinya, kebutuhan jasmaniah, yakni
rasa aman, kasih sayang perhatian, yang semuanya mengisyaratkan adanya
kebutuhan ruhaniah dan terakhir, manusia menghadapi problema yang
menyangkut kepentiangan dirinya, rahasia pribadi, milik pribadi, kepentingan
pribadi, kebutuhan akan kesendirian, namun juga tak dapat disangkan bahwa
manusia tidak dapat hidup secara “soliter” (sendirian) melainkan harus
“solider” (bersama-sama), hidupnya tak mungkin dijalani sendiri tanpa
kehadiran orang lain.
Pengetahuan tentang hakikat dan kedudukan manusia merupakan
bagian amat esensial, karena dengan pengetahuan tersebut dapat diketahui
tentang hakikat manusia, kedudukan dan peranannya di alam semesta ini.
Pengetahuan ini sangat penting karena dalam proses pendidikan manusia
bukan saja objek tetapi subjek, sehingga pendekatan yang harus dilakukan
dan aspek yang diperlukan dapat direncanakan secara matang.

1
Dari latar belakang diatas, pertanyaan penting yang berkenaan dengan ini
adalah apa hakikat dan kedudukan manusia dalam realitas dirinya yang akan
dibahas pada makalah ini.

1.2. Rumusan Masalah


Mengingat dengan latar belakang yang dipaparkan di atas, dapat
dirumuskan rumusan sebagai berikut:
1. Apa sebenarnya hakikat manusia itu?
2. Bagaimana kedudukan manusia diatas dunia ini?
3. Bagaimana proses penciptaan manusia dalam konsep al-Quran?
4. Bagaimana kedudukan manusia di dunia dalam konsep Al-Quran?
5. Bagaimana implikasi konsep manusia terhadap pendidikan islam?

1.3. Tujuan Masalah


1. Untuk mengetahui hakikat manusia
2. Untuk mengetahui kedudukan manusia di dunia ini
3. Untuk mengetahui proses penciptaan manusia dalam konsep al-Quran
4. Untuk mengetahui kedudukan manusia di dunia dalam konsep al-Quran
5. Untuk mengetahui  implikasi konsep manusia terhadap pendidikan islam

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Hakikat Manusia dalam Konsep al-Quran


Al-Quran sebagai sumber utama dalam Islam, banyak memberikan
isyarat yang menunjuk pada hakikat manusia, antara lain termuat dalam surat
al-Sajadah : 7-9, surat al-Hajj: 5, al-An’am : 2 dan surat At-Tin: 4-6.
Secara terminologi, ungkapan al-Quran untuk menunjukkan konsep
manusia terdiri atas tiga kategori, yaitu: al-insan,  al-basyar, dan bani
adam /anak adam/keturunan adam Menurut M. Dawam Raharjo istilah
manusia yang diungkapkan dalam al -Qur’an seperti “basyar,
insan” semuanya mengandung petunjuk sebagai manusia dalam hakekatnya.

a. Konsep al-Basyar
Secara etimologi al-Basyar juga diartikan mulamasah, yaitu
persentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan. Makna ini dapat
dipahami bahwa manusia merupakan makhluk yang memiliki segala sifat
kemanusiaan yang terbatas, seperti makan, minum, seks, keamanan,
kebahagiaan, dan lain sebagainya. Penunjukkan kata al-
Basyar ditunjukan Allah kepada seluruh manusia tanpa kecuali.
Demikian pula halnya dengan para rasul-rasul-Nya. Hanya saja kepada
mereka diberikan wahyu, sedangkan kepada manusia umumnya tidak
diberikan. Firman Allah Swt. dalam Surat al-Kahfi :

‫صلِحًا‬ ْ ‫ى أَنَّ َمٓا إِ ٰلَهُ ُكمۡ إِ ٰلَهٌ ٰ َو ِح ٌد ۖ فَ َمن َكانَ يَ ۡرج‬


َ ٰ ‫ُوا لِقَٓا َء َربِّ ِهۦ فَ ۡليَ ۡع َم ۡل َع َماًل‬ َ ‫قُ ۡل إِنَّ َمٓا أَن َ۠ا بَ َش ٌر ِّم ۡثلُ ُكمۡ ي‬
َّ َ‫ُوح ٰ ٓى إِل‬
‫َواَل ي ُۡش ِر ۡك بِ ِعبَا َد ِة َربِّ ِٓۦه أَ َحدًا‬

Artinya : “Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti


kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa Sesungguhnya
Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa". Barangsiapa
mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah

3
ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia
mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada
Tuhannya.

Dalam buku Al Rasyidin, Kata al-Basyar dinyatakan dalam Al-


Quran sebanyak 36 kali dan 25 diantaranya menjelaskan kemanusiaan
para nabi dan rasul. Manusia disebut al-Basyar karena memang kulitnya
tampak jelas dilihat dan tidak ditutupi bulu tebal seperti hewan.
Karenaya, kata al-Basyar  selalu dihadirkan al-Quran dalam arti fisik
biologis manusia yang tampak jelas.[6] Hal tersebut dapat dilihat dari
dari berbagai ungkapan al-Quran mengenai al Basyar yang konteksnya
selalu merujuk pada manusia sebagai makhluk biologis.

b. Konsep al-Nas
Menurut Aisyah Abdurrahman, dalam Al Quran al-Nas, Ins dan al-
Insan tidak pernah diungkapkan untuk arti manusia secara fisik. Kata al-
Nas yang disebutkan sebanyak 240 kali adalah sebagai nama jenis untuk
keturunan Adam, yaitu satu spesies di alam semesta. Contoh untuk hal ini
firman Allah Swt dalam surat al-hujurat yang artinya :
‫يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَ لَ ْقنَا ُكم ِّمن َذ َك ٍر َوأُنثَى َو َج َع ْلنَا ُك ْم ُشعُوبًا َوقَبَائِ َل لِتَ َعا َرفُوا إِ َّن أَ ْك َر َم ُك ْم ِعن َد هَّللا ِ أَ ْتقَا ُك ْم‬
١٣﴿ ‫﴾إِ َّن هَّللا َ َعلِي ٌم َخبِي ٌر‬
Hai manusia (al-Nas), Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi
Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
Adapun kata al-Ins dan al-Insan, keduanya memiliki intensi makna
yang serumpun karena berasal dari akar kata yang sama,
yakni anasa yang menunjukkan arti lawan dari kebuasan. Kata al-
Insan, nilai  kemanusiaanya tidak hanya terbatas pada kenyataan spesifik
manusia untuk tumbuh menjadi al-Ins, tetapi juga sampai pada tingkat

4
yang membuatnya pantas untuk menjadi khalifah di bumi, menerima
beban aktif dan amanah kemanusiaan. Karena al-Ins dibekali dengan al-
Ilm, al-Bayan al-Aql dan al-Tamyiz, maka dia harus berhadapan dengan
ujian kebaikan dan kejahatan, ilusi tentang kekuatan dan kemampuannya,
serta optimisme untuk mencapai tingkat perkembangan yang paling
tinggi spesies lain yang ada di alam ini.
Menurut Muhmidayeli, kata Insan, al-Uns, al-Ins dan Anisa, yang
berasal dari kata Anasa berarti melihat, mengetahui dan minta izin.
Kata Insan kalau dikaitkan dengan aspek utama kemanusiaan yaitu
kemampuan penalaran yang dengannya manusia mampu mengamati,
mencermati, menangkap, mengidentifikasi, mengelompokkan dan
menganalisis berbagai kasus dan kondisi dalam berbagai realitas yang
dihadapinya dengan cara membuat hubungan antra fakta dan infomasi
dalam berbagai realitas yang ada menuju pengambilan suatu kesimpulan
dan atu keputusan yang akan menjadi pelajaran atau hikmah yang
berguna bagi kehidupannya.
          
c. Konsep Bani Adam
Secara terminologi, kata bani Adam bermakna generasi keturunan
Adam. Kata Bani Adam yang dalam bentuk masdarnya adalah al-
bina yang berarti bangunan. Sedangkan kata Adam merujuk pada nabi
Adam yang merupakan manusia pertama yang diciptakan Allah Swt.
Karena itu secara umum terma bani Adam bisa dimaknai secara generasi
yang dibangun, diturunkan atau dikembangbiakkan dari Adam dan sama-
sama memiliki harkat dan martabat kemanusiaan yang universal.
Manusia sebagai Bani Adam, termaktub di tujuh tempat dalam Al-
Qur’an. Menurut a- Gharib al- Ishfahany, bani berarti keturunan dari
darah daging yang dilahirkan. Berkaitan dengan penciptaan manusia
menurut Christyono Sunaryo, bahwa bumi dan dunia ini telah diciptakan
Allah SWT jutaan tahun sebelum Nabi Adam AS diturunkan dibumi ,
7000 tahun yang lalu. Pada waktu itu Allah SWT sudah menciptakan

5
“manusia”, jauh sebelum Nabi Adam AS diturunkan. Dalam surat al
Ankabuut ayat 19 dijelaskan sebagai berikut:

•َ •ِ‫ق• ثُ• َّم• يُ• ِ•ع• ي• ُد• هُ• ۚ• إِ• َّن• ٰ• َذ• ل‬
•‫ك• َع• لَ• ى• هَّللا ِ• يَ• ِس• ي• ٌر‬ َ •‫ئ• هَّللا ُ• ا• ْل• َ•خ• ْل‬ •َ •‫أَ• َو• لَ• ْم• يَ• َر• ْ•و• ا• َك• ْي‬
ُ •‫ف• يُ• ْب• ِد‬

Artinya : “dan Apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana Allah


menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian
mengulanginya (kembali). Sesungguhnya yang demikian itu
adalah mudah bagi Allah.”

Ayat ini memperlihatkan bahwa kita seharusnya dapat


memperhatikan adanya pengulangan kerena memang telah terjadi. Bukan
pengulangan kebangkitan kembali nanti setelah hari kiamat, karena
(pengulangan) kebangkitan setelah kiamat itu belum terjadi, sehingga
masih sulit untuk dimengerti oleh yang tidak percaya .
Dan jika dicermati dan dipahami, banyak ayat-ayat al- Qur’an, data
dan kejadian yang menunjang konsep pemikiran ini. Seperti misalnya:
Pada saat manusia akan diciptakan Allah Swt untuk menjadi kalifah
dibumi, bagaimana para Malaikat mungkin mengetahui bahwa manusia
hanya akan membuat kerusakan diatas bumi. Sedangkan Malaikat hanya
mengetahui apa-apa yang diberitahukan Allah Swt. kepada mereka.
Tentunya karena memang mereka pernah mengetahui adanya “manusia”
dibumi sebelum   Adam AS diciptakan. Oleh sebab itu Allah Swt. selalu
menyatakan bahwa: “Manusia (anak-cucu Adam AS) diciptakan
dalam kesempurnaan-nya”.
Apapun yang dikatakan dalam kitab-kitab suci , ilmu pengetahuan
ataupun teknologi dapat membuktikan bahwa ada sisa-sisa “manusia”
yang telah berumur jutaan tahun . Bahkan teori Darwin-pun mengalami
kesulitan dalam menghubungkan manusia purba dengan manusia masa
kini.

6
Dalam konsep ini dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwa
jelaslah disini bahwa Adam AS bukanlah merupakan hasil
evolusi ataupun “keturunan monyet” , seperti dikatakan Darwin.

.2. Proses Penciptaan Manusia dalam Konsep Al-Quran


Dan dilihat dari proses penciptaannya, Al-Quran menyatakan peroses
penciptaan manusia dalam dua tahapan yang berbeda, yaitu: pertama, disebut
dengan tahapan primordial. Kedua, disebut dengan tahapan biologi. Manusia
pertama, Adam AS , diciptakan dari at-tin (tanah), at-turob (tanah debu), min
shal (tanah liat), min hamain masnun (tanah lumpur hitam yang busuk) yang
dibentuk Allah dengan seindah-indahnya, kemudian Allah meniupkan ruh
dari-Nya kedalam diri (manusia). Hal ini terdapat dalam Q.S, Al-Anam/6:2,
Al-Hijr/15:26,28,29, Al-Mu’minun/23:12, Ar-Ruum/30:20, Ar-Rahman/55:4.
Penciptaan manusia selanjutnya adalah peruses biologi yang dapat
dipahami secara sains-empirik. Di dalam peruses ini, manusia diciptakan dari
inti sari tanah yang dijadikan air mani (nuthfah) yang disimpan di tempat
yang kokoh (rahim). kemudian air mani di jadikan darah beku (‘alaqah) yang
menggantung dalam rahim. Darah beku tersebut kemudian dijadikan-Nya
segumapal daging (mudghah) dan kemudian di balut dengan tulang belulang
lalu kepadanya ditiupkan ruh. (Q.S, Al Mu’minun/23:12-24). Hadist yang
diriwayatkan Bukhori dan Muslim menyatakan bahwa ruh di hembuskan
Allah SWT ke dalam janin setelah ia mengalami perkembangan 40
hari nuthfah, 40 hari alaqah daan 40 hari mudghah.
Al-Ghazali mengungkapkan proses penciptaan manusia dalam teori
pembentukan (taswiyah) sebagai suatu proses yang timbul di dalam materi
yang membuatnya cocok untuk menerima ruh. Materi itu merupakan sari pati
tanah liat nabi Adam AS yang merupakan cikal bakal bagi keturunannya.
Cikal bakal atau sel benih (nuthfah) ini yang semula adalah tanah liat setelah
melewati berbagai proses akhirnya menjadi bentuk lain (khalq akhar) yaitu
manusia dalam bentuk yang sempurna.

7
Tanah liat menjadi makanan (melalui tanaman dan hewan), makanan
menjadi darah, kemudian menjadi sperma jantan dan indung telur. Kedua
unsure ini bersatu dalam satu wadah yaitu rahim dengan transformasi panjang
yang akhirnya menjadi tubuh harmonis (jibillah) yang cocok untuk menerima
ruh. Sampai disini prosesnya murni bersifat materi sebagai warisan dari
leluhurnya. Kemudian setriap manusia menerima ruhnya langsung dari Allah
disaat embiro sudah siap dan cocok menerimanya. Maka dari pertemuan ruh
dan badan, terbentuklah makhluk baru manusia.

.3. Kedudukan Manusia di Dunia dalam Konsep Al-Quran


Kesatuan wujud manusia antara pisik dan pisikis serta didukung oleh
potensi-potensi yang ada membuktikan bahwa manusia sebagai ahsan at-
taqwin dan merupakan manusia pada posisi yang strategis yaitu :

1. Manusia Sebagai Hamba Allah (‘abd Allah)


Firman Allah dalam al-Quran surat Az-Zariat ayat 56 :
َ ‫ت ْال ِج َّن َواإْل ِ ْن‬
‫س إِاَّل لِيَ ْعبُدُو ِ•ن‬ ُ ‫َو َما خَ لَ ْق‬
Artinya : dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka mengabdi kepada-Ku.
Secara sempit, makna ibadah mengacu pada tugas-tugas
pengabdian manusia secara individual sebagai hamba Allah Swt. Tugas
ini diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan ibadah ritual yang
dilaksanakan secara terus menerus dengan penuh keiklasan.
Kalimat liya’budun  pada ayat diatas berbentuk Fi’il Mudlori’ yang dalam
gramatika bahasa arab lazim digunakan untuk suatu perbuatan yang
sedang dan akan terus menrus dilakukan dimasa akan datang.
Musa Asy’arie mengatakan bahwa esensi hamba adalah ketaatan,
ketundukan dan kepatuhan yang kesemuanya itu hanya layak di berikan
kepada Tuhan. Ketundukan dan ketaatan pada kodrat alamiah senantiasa
berlaku baginya. Ia terikat oleh hokum-hukum Tuhan yang menjadi
kodrat pada setiap ciptaannya, manusia menjadi bagian dari setiap

8
ciptaannya, dan ia bergantung pada sesamanya. Sebagai hamba Allah,
manusia tidak bisa terlepas dan kekuasaannya. Sebab, manusia
mempunyai fitrah (potensi) untuk beragama.
Muhmidayeli, dalam hal ini menegaskan bahwa sebagai hamba,
manusia dituntut tidak hanya semata-mata dalam konteks ibadah wajib,
tetapi juga bahwa segala sesuatu aktivitas yang bernilai baik dalam
kehidupan manusia yang dilakukan dengan tujuan pendekatan diri pada
penciptanya. Manusia dalam hal ini dituntut untuk mampu merefleksikan
sifat-sifat Tuhan kedalam dirinya dan menjadikan sifat-sifat itu actual
dalam berbagai tindakannya. Pengupayaan menarik sifat-sifat Tuhan ini
kedalam dirinya merupakan suatu keniscayaan dalam pembentukan
humanitas manusia muslim.
Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa konsep ini lebih cenderung
mengacu pada tugas manusia sebagai hamba Allah. Tugas ini
diwujudkan dalam bentuk pengabdian diri sepenuhnya kepada Allah
dengan penuh keikhlasan. Jika konsep ini dapat diraih dengan baik, maka
manusia akan selalu bersikap tawadhu’, tidak sombong, dan senantiasa
menjalankan apa yang diperintahkan Allah.
Selanjutnya, Islam menegaskan bahwa apapun yang dikerjakan
manusia hidup, maka itu bisa disebut ibadah, yang mana pekerjaan itu
semata-mata hanya ditujukan untuk mencari ridho Allah. Seperti halnya
belajar, bekerja dan yang lainnya, itu akan dinilai ibadah apabila dalam
melakukan hal itu semata-mata hanya untuk mencari ridho Allah.

2. Manusia Sebagai Khalifah Allah fi al-Ardh


Firman Allah dalam al-Quran surat Al-Baqarah ayat 30 yang berbunyi:
ُ ِ‫ض َخلِيفَةً ۖ قَالُوا أَتَجْ َع ُل فِيهَا َم ْن يُ ْف ِس ُد فِيهَا َويَ ْسف‬
‫ك ال • ِّد َما َء‬ ِ ْ‫ك لِ ْل َماَل ئِ َك ِة ِإنِّي َجا ِع ٌل فِي اأْل َر‬
َ ُّ‫َوإِ ْذ قَا َل َرب‬
َ‫ك ۖ قَا َل إِنِّي أَ ْعلَ ُم َما اَل تَ ْعلَ ُمون‬ َ ‫َونَحْ نُ نُ َسبِّ ُح بِ َح ْم ِدكَ َونُقَدِّسُ َل‬
Artinya: “ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat:
"Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka
bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan
(khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan

9
padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa
bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan
berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu
ketahui.
Menurut Quraish Shihab, istilah khalifah dalam
bentuk mufrad (tunggal) berarti pengusaan politik dan religius.
Istilah ini digunakan nabi-nabi dan tidak digunakan untuk manusia
pada umumnya. Sedangkan manusia bisa digunakan khala’if yang
didalamnya mengandung makna yang lebih luas, yaitu bukan hanya
sebagai penguasa dalam berbagai bidang kehidupan. Dalam
hubungan pembicaraan dengan kedudukan manusia di alam ini,
nampaknya istilah khala cocok digunakan dibanding kata khalifah.
Namun demikian yang terjadi dalam penggunaan sehari-hari adalah
bahwa manusia sebagi khalifah di muka bumi. Dan sebagi seorang
khalifah manusia berfungsi mengantikan orang lain dan menempati
tempat serta kedudukan-Nya. Ia menggantikan kedudkan orang lain
dalam aspek kepemimpinan atau kekuasaan. Dan Quraisy Shihab
pun menyimpulkan bahwa kata khalifah itu mencakup dua
pengertian:
a. Orang yang di beri kekuasaan untuk mengelola wilayah, baik
luas maupun terbatas.
b. Khalifah memilki potensi untuk mengemban tugasnya, namun
juga dapat berbuat kesalahan dan kekeliruan.
Al-Maraghi menjelaskan kata khalifah pada ayat diatas memiliki
dua makna:
a. Pengganti, yakni pengganti Allah Swt untuk melaksanakan
titah-Nya di muka bumi ini.
b. Pemimpin yang kepadanya diserahi tugas untuk memimpin diri
dan makhluk lainnya serta memakmurkan dan
mendayagunakan alam semesta untuk kepentingan manusia
secara keseluruhan.

10
Dalam persfektif falsafah pendidikan Islami, manusia
adalah khalifah Allah yang diberi tugas sebagai pemimpin dan
pengganti Allah untuk melaksanakan titah-Nya, baik terhadap diri
sendiri, manusia dan makhluk lainnya serta memakmurkan
kehidupan di bumi.
Ahmad Hasan Firhat membedakan kedudukan kekhalifahan
manusia pada dua bentuk sebagaimana yang dikutip oleh
Ramayulis yaitu :
a. Khalifah kauniyah
Dimensi ini mencakup wewenang manusia secara umum yang
telah dianugrahkan Allah Swt. untuk mengatur dan
memamfaatkan alam semesta beserta isinya bagi kelangsungan
kehidupan umat manusia di muka bumi ini. Pemeberian
wewenang Allah Swt. kepada manusia dalam konteks ini,
meliputi pemaknaan yang bersifat umum, tanpa dibatasi oleh
agama apa yang mereka yakini.
b. Khalifah syari’at
Dimensi ini wewenang Allah yang diberikan kepada manusia
untuk memakmurkan alam semesta. Hanya saja,untuk
melaksanakan tugas dan tanggung jawab ini, predikat khalifah
secara khusus ditujukan kepada orang-orang mukmin. Hal ini
dimaksudkan agar dengan keimanan yang dimilikinya, mampu
menjadi pilar control dalam mengatur mekanisme alam
semesta, sesuai dengan nilai-nilai ilahiyah yang telah
digariskan Allah lewat ajarannya. Dengan prinsip ini, manusia
akan senantiasa berbuat kebaikan dan memanfaatkan alam
semesta demi kemaslahatan umat manusia.
Dengan tugasnya sebagai khlifah fil al-ardh manusia diberi
hak untuk mengembangkan dan memelihara sifat-sifat
potensial yang berdimensi sifat Ilahiah yang bersemayam
dalam dirinya agar benar-benar menjadi perilaku-perilaku
senyatanya. Manusia dalam hal ini dituntut untuk berpikir

11
kreatif dan inovatif untuk mengembangkan dirinya kea rah
perealisasian sifat-sifat Tuhan yang ada didalam dirinya dan
selalu menjaga dan memelihara sifat-sifat potensial itu dari
kehancura.

3. Immarah fi al-Ardh
Dalam konteks ini, manusia diperintahkan untuk senantiasa
menelaah dan menguak rahasia ciptaan Allah dan mengambil hikmahnya,
sehingga dengan demikian berbagai kebutuhan kehidupannya pun dapat
terisi dengan baik dan semprna.
Menurut Raghib al-Isfahani, sebagaimana yang dikutip oleh
Muhmidayeli, bahwa tugas dan fungsi manusia tidak hanya sebagai
khalifah untuk mendapat predikat khalifah Allah Swt. Atau ibadah
dan Immarah fi al-Ardh, akan tetapi memiliki jangkauan yang lebih luas,
yaitu menyangkut akhlak terpuji dan menghindarkan diri dari yang terela.
Hal ini dapat dipahami dari perolehan daya-daya jiwa manusia. Dan
implikasinya bahwa tugas dan fungsi utama manusia tidak lain
menegakkan dan merealisasikan moralitas kehidupannya. Moralitas
dalam hal ini, dapat dikatakan sebagai wujud dan bukti bagi kemanusiaan
manusia sebagai makhluk yang utama yang memang diberi potensi
moral.

.4. Hubungan Kedudukan Manusia dengan Pendidikan


Bila dimensi diatas dikembangkan dalam kajian pendidikan, maka
dalam proses mempersiapkan generasi penerus estafet keahlian yang sesuai
dengan nilai-nilai ilahiyah, maka pendidikan yang ditawarkan harus mampu
memberikan dan membentuk pribadi peserta didiknya dengan acuan nilai-
nilai Ilahiyah. Dengan penanaman ini, akan menjadikan panduan baginya
dalam melaksanakan amanat Allah dimuka bumi ini.
Berdasarkan uraian diatas jelaslah bahwa untuk merealisasikan tugas
dan kedudukan manusia tersebut dapat ditempuh manusia melalui pendidikan.

12
Dengan media ini, diharapkan manusia mampu mengembangkan potensi yang
diberikan Allah Swt secara optimal untuk merealisasikan kedudukan, tugas
dan fungsinya.

.5. Implikasi Konsep Manusia Terhadap Pendidikan Islam


Dari uraian diatas yang dipaparkan oleh penulis diatas, palin tidak ada
dua implikasi terpenting dalam hubungannya dengan pendidikan Islam :
1. Karena manusia adalah makhluk yang merupakan resultan dari dua
komponen (materi dan immateri), maka konsepsi itu menghendaki proses
pembinaan yang mengacuh kea rah realisasi dan pengembangan
komponen-komponen tersebut. Hal ini berarti bahwa system pendidikan
Islam harus dibangun di atas konsep kesatuan antara
pendidikan qalbiyah dan aqliyah  sehingga mampu menghasilkan
manusia muslim yang pintar secara intelektual dan terpuji secara moral.
2. Al-Quran menjelaskan bahwa fungsi penciptaan manusia dialam ini
adalah sebagai Khalifah dan ‘abd. Untuk melaksanakan fungsi ini Allah
Swt membekali manusia dengan seperangkat potensi. Dalam konteks ini
maka pendidikan Islam harus merupakan upaya yang ditujukan ke arah
pengembangan potensi yang dimiliki manusia secara maksimal sehingga
dapat diwujudkan dalam bentuk konkrit dalam kehidupan sehari-hari.
Kedua hal di atas harus menjadi acuan dasar dalam menciptakan dan
mengembangkan system pendidikan Islam masa kini dan masa depan.

13
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
1. Hakikat Manusia dalam Konsep al-Quran
a. Konsep al-Basyar
b. Konsep al-Nas
c. Konsep Bani Adam
2. Proses Penciptaan Manusia dalam Konsep Al-Quran
Dan dilihat dari proses penciptaannya, Al-Quran menyatakan
peroses penciptaan manusia dalam dua tahapan yang berbeda,
yaitu: pertama, disebut dengan tahapan primordial. Kedua, disebut
dengan tahapan biologi. Manusia pertama, Adam AS , diciptakan dari at-
tin, at-turob, min shal, min hamain masnun yang dibentuk Allah dengan
seindah-indahnya, kemudian Allah meniupkan ruh dari-Nya kedalam diri
(manusia).
3. Kedudukan Manusia di Dunia dalam Konsep Al-Quran
Kesatuan wujud manusia antara pisik dan pisikis serta didukung
oleh potensi-potensi yang ada membuktikan bahwa manusia
sebagai ahsan at-taqwin dan merupakan manusia pada posisi yang
strategis yaitu :
a. Manusia Sebagai Hamba Allah (‘abd Allah)
b. Manusia Sebagai Khalifah Allah fi al-Ardh
c. Immarah fi al-Ardh
4. Hubungan Kedudukan Manusia dengan Pendidikan
Bila dimensi diatas dikembangkan dalam kajian pendidikan, maka
dalam proses mempersiapkan generasi penerus estafet keahlian yang
sesuai dengan nilai-nilai ilahiyah, maka pendidikan yang ditawarkan
harus mampu memberikan dan membentuk pribadi peserta didiknya
dengan acuan nilai-nilai Ilahiyah. Dengan penanaman ini, akan

14
menjadikan panduan baginya dalam melaksanakan amanat Allah dimuka
bumi ini.
5. Implikasi Konsep Manusia Terhadap Pendidikan Islam
Implikasi terpenting dalam hubungannya dengan pendidikan Islam :
a. Karena manusia adalah makhluk yang merupakan resultan dari dua
komponen (materi dan immateri), maka konsepsi itu menghendaki
proses pembinaan yang mengacuh kea rah realisasi dan
pengembangan komponen-komponen tersebut.
b. Al-Quran menjelaskan bahwa fungsi penciptaan manusia dialam ini
adalah sebagai Khalifah dan ‘abd. Untuk melaksanakan fungsi ini
Allah Swt membekali manusia dengan seperangkat potensi.

.2. Saran
Makalah ini masih jauh dari nilai sempurna, tetapi paling tidak hasil
dari makalah ini dapat menggambarkan hakikat dan kedudukan manusia
dalam Al-Qur’an. Oleh karena itu jika ada kesalahan dalam isi makalah ini
adakalanya kepada semua pembaca dapat memberikan kritikan, saran atau
yang lainnya.

15
DAFTAR PUSTAKA

Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Ilmu Kalam, 2011), hal. 1

Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan (Bandung: Refika Aditama, 2013), hal 46

] Rif’at Syauqi Nawawi, Konsep Manusia Menurut al-Qur’an dalam Metodologi


Psikologi Islami  (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000), hal. 5

Ramayulis, Op.Cit., hal. 5

Q.S, al-Kahfi : 110

Al Rasyidin, falsafah Pendidikan Islam ( Bandung : Cita Pustaka Media Printis,


2012), hal. 15

Q.S, Al-Hujurat: 13

Al Rasyidin, Op.Cit., hal. 14

Muhmidayeli, Op.Cit., hal 46

Al Rasyidin, Op.Cit., hal. 15

Jalaludin, Teologi Pendidikan (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2001),  hal 19

http://www.macsonic.org. di akses pada tanggal 20 April 2015

Lihat Q.S, Al-Baqarah [2] ayat 30-34

Abdurrahman An-Nahlawi, Prinsip-Prinsip dan Metode pendidikan


Islam (Bandung : Diponogoro, 1992), hal. 31

]H.R, Bukhari dan Muslim

Ali Isa Othman, Manusia menurut Al-Ghazali (Bandung : Pustaka, 1985), hal. 15-


16

Q.S, al-Dzariyat [51] : 56

Al Rasyidin, Op.Cit., hal. 25

Ramayulis, Op.Cit., hal. 7

Muhmidayeli, Op.Cit hal. 61

16
Samsul Nizar, Filsafat pendidikan islam (Jakarta : Ciputat Pers, 2010),  hal.18

Q.S, al-Baqarah [2] : 30

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah : Pesan, Kesan, dan Keserasian al-


Quran  (Jakarta: Lentera Hati, 2005), hal. 142

Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir alMaraghi (Semarang: Toha Putra, 1985),


hal. 131

Al Rasyidin, Op.Cit., hal. 28

Ramayulis, Op.Cit hal. 11

Mumidayeli, Op.Cit., hal. 64

Mumidayeli, Op.Cit., hal. 62

Ibid., hal. 63

Ramayulis, Op.Cit., hal. 11

Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam ( Jakarta: Kalam Mulia,


2011), hal. 62

17

Anda mungkin juga menyukai