Anda di halaman 1dari 3

Data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) di Indonesia tahun 2013 menunjukkan bahwa

prevalensi gangguan jiwa emosional yang ditunjukkan oleh gejala depresi dan kecemasan pada
usia 15 tahun ke atas mencapai sekitar 14 juta orang atau 6% dari total penduduk Indonesia.
Sedangkan untuk prevalensi gangguan jiwa berat, seperti Skizofrenia mencapai sekitar 400.000
orang atau sebanyak 1,7 per 1.000 penduduk. Sementara itu, menurut data WHO pada tahun
2016, secara global terdapat sekitar 35 juta orang yang mengalami depresi, 60 juta orang dengan
gangguan bipolar, 21 juta orang dengan Skizofrenia. Peningkatan proporsi gangguan jiwa pada
data yang didapatkan Riskesdas 2018 cukup signifikan jika dibandingkan dengan Riskesdas
2013, naik dari 1,7% menjadi 7% (Riskesdas Depkes RI, 2018).

Skizofrenia adalah gangguan mental kronis yang mempengaruhi cara berpikir, perilaku,
dan ditandai oleh gejala psikotik yang jelas seperti halusinasi, agitasi, insomnia, dan lain-lain
serta memerlukan proses panjang dan mempengaruhi seluruh aspek kehidupan pasien.
Skizofrenia menjadi salah satu penyakit yang berkontribusi pada beban penyakit global (Fischer
dan Buchanan, 2016). Skizofrenia menyebabkan terjadinya kemunduran pada kesehatan fisik
yang mungkin disertai dengan komplikasi, penurunan fungsi kognitif, defisit pada kinerja/
keterampilan psikomotorik, dan mengurangi tingkat kemandirian (Strassing et al., 2014).

Tanda-tanda awal yang bisa terdeteksi antara lain: penderita mudah curiga, cenderung
depresi, cemas, tegang, mudah marah, cepat tersinggung, dan perasaannya mudah berubah-ubah,
mengalami gangguan makan, sulit tidur. Kehilangan energi dan motivasi, lebih susah mengingat
dan berkonsentrasi. Umumnya mereka langsung tidak bisa berfungsi dalam kehidupan dalam
kehidupan sosialnya. Mereka mengalami halusinasi. Penderita mendengar, melihat, mencium,
atau merasakan sesuatu yang sebenarnya tidak ada. Oleh sebab itu, penderita skizofrenia sering
terlihat tertawa sendiri, berbicara sendiri, atau melakukan tindakan diluar akal sehat. Selain itu,
ia juga mengalami waham (delusi), yakni penderita meyakini sesuatu yang tidak wajar dan aneh.

Expressive writing therapy termasuk salah satu intervensi. Expressive writing theraphy
adalah terapi menulis yang digunakan sebagai media menyembuhkan dan peningkatan kesehatan
mental. Secara umum tujuan dari terapi menulis diantaranya: (1) Meningkatkan pemahaman bagi
diri sendiri maupun orang lain dalam bentuk tulisan dan literatur lain; (2) Meningkatkan
kreatifitas, ekspresi diri dan harga diri; (3) Memperkuat kemampuan komunikasi dan
interpersonal; (4) Mengekspresikan emosi yang berlebihan (katarsis) dan menurunkan
ketegangan; (5) Meningkatkan kemampuan individu dalam menghadapi masalah dan beradaptasi
(Davis dalam Kurniawan & Kumolohadi, 2015). Expressive Writing dianggap mampu mereduksi
stres karena saat individu berhasil mengeluarkan emosi-emosi negatifnya (perasaan sedih,
kecewa, duka) ke dalam tulisan tangan maka individu tersebut dapat mulai merubah sikap,
meningkatkan kreativitas, mengaktifkan memori, memperbaiki kinerja dan kepuasan hidup serta
meningkatkan kekebalan tubuh agar terhindar dari psikosomatik.
Klien skizofrenia 70% mengalami halusinasi (Stuart, 2009). Halusinasi dapat menjadi
suatu alasan mengapa klien melakukan tindakan perilaku kekerasan karena suara-suara yang
memberinya perintah sehingga rentan melakukan perilaku yang tidak adaptif. Perilaku kekerasan
yang timbul pada klien skizofrenia diawali dengan adanya perasaan tidak berharga, takut, dan
ditolak oleh lingkungan sehingga individu akan menyingkir dari hubungan

Klien skizofrenia sering juga mengalami ke-kambuhan karena kekambuhan adalah keadaan
penyakit setelah berada pada periode pemulihan yang disebabkan tiga faktor yaitu: aspek obat,
aspek pasien, dan aspek keluarga (Wardani, Hamid, & Wiarsih, 2009. Penyebab klien
skizofrenia tidak teratur meminum obat yaitu karena adanya gangguan realitas dan ketidak-
mampuan mengambil keputusan, dan hospitalisasi yang lama memberi konsekuensi kemunduran
pada klien (ditandai dengan hilangnya motivasi dan tanggung jawab, apatis, menghindar dari
kegiatan dan hubungan sosial, kemampuan dasar sering terganggu, seperti perawatan mandiri
dan aktifitas hidup seharian) (Wardani, et al., 2009). Oleh karena itu, perlu tindakan keperawatan
yang komprehensif untuk menangani klien skizofrenia ini.

Beberapa penelitian yang telah dilakukan untuk menurunkan gejala perilaku kekerasan
dengan Pemberian Cognitive Behavior Therapy (CBT) pada klien skizofrenia. Hasil penelitian
lain menunjukkan adanya perbedaan penurunan tanda dan gejala klien perilaku kekerasan yang
bermakna setelah diberikan CBT dan Rational Emotive Behavior Therapy (REBT) (Sudiatmika,
Keliat, & Wardani, 2011). Penelitian menggunakan Acceptance and Commitment Therapy
(ACT) sangat efektif dalam menciptakan penerimaan, perhatian dan lebih terbuka dalam
mengembang-kan kemampuan yang dimiliki klien skizofrenia (Hayes & Smith, 2005).
Berdasarkan hasil dari beberapa penelitian ini menunjukkan tindakan keperawatan spesialis
sudah terbukti mampu menangani klien skizo-frenia seperti yang sudah dipaparkan tetapi perlu
diantisipasi untuk menghindari kekambuhan akibat ketidakpatuhan minum obat sehingga terapi
keperawatan perlu dikombinasikan dengan pendidikan kesehatan kepatuhan minum obat.

Pasien skizofrenia tidak mampu menjalankan kegiatan sehari-hari dengan baik dan
memerlukan bantuan orang lain dalam merawat keseharian mereka (Prianto, 2005 dalam
Fitrikasari et al., 2012). Keluarga merupakan perawat utama yang memiliki peran penting dalam
membantu pemulihan terhadap pasien skizofrenia. Akan tetapi, dalam merawat pasien
skizofrenia, keluarga memiliki beban tersendiri yang berpengaruh terhadap psikologis keluarga
dan keluarga berisiko mengalami gangguan mental (Geriani et al., 2015; Gupta et al., 2014;
Lesibikan dan Ayinde, 2013).

Keluarga yang merawat klien Skizofrenia memerlukan dukungan supaya memiliki self
efficacy. Self efficacy merupakan suatu keyakinan dan diiringi kepercayaan atas dasar
kemampuannya, sehingga dapat melakukan sebuah kontrol dengan batasan mereka sendiri dari
fungsi dan atas peristiwa ( Zakeri A, et al, 2016). Self efficacy mengacu pada suatu keyakinan
bahwa individu mempunyai kapasitas mereka sendiri untuk mengatur dan melaksanakan
program tindakan yang diperlukan untuk menghasilkan hasil yang diinginkan. Self-efficacy
mampu untuk merubah perilaku, memotivasi anggota keluarga belajar memberikan
perawatanyang terbaik, dan menjaga dari kekambuhan. Self efficacy mempengaruhi
perilakukeluarga, seperti tidak ditemukan lagipengurungan terhadap klien Skizofernia (Perez et
al, 2011). Literatur review ini memiliki tujuan untuk mengetahui intervensi keperawatan yang
digunakan terhadap keyakinan diri keluarga/ self efficacy keluarga terhadap pasien skizofrenia
melalui studi literature review.

Anda mungkin juga menyukai