Anda di halaman 1dari 10

PENERAPAN ASAS KEADILAN DALAM

PEMBENTUKAN SUATU PRODUK HUKUM

Oleh:
Wandi D. Ciputra
14/371453/PHK/08211

PROGRAM MAGISTER HUKUM KENEGARAAN


UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
BAB I
PERMASALAHAN

A. Latar Belakang
Dalam menciptakan produk hukum yang berujung pada cita-cita Negara,
terdapat beberapa prinsip/asas yang harus diperhatikan oleh para aparat Negara,
khususnya legal drafter. Prinsip-prinsip itu adalah sebagai berikut:
1. Asas Pancasila
2. Asas Negara hukum
3. Asas demokrasi/kerakyatan
4. Asas kepentingan umum
5. Asas Kemajukan/pluralistis
Dari kelima prinsip-prinsip/asas-asas tersebut di atas, kurang lebih hampir
kesemuanya berbicara mengenai keadilan. Asas Pancasila misalnya, dalam sila ke-5
(lima) Pancasila, berbunyi “Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia”.
Begitupun asas kedua, asas Negara hukum, berbicara mengenai kepastian hukum,
kesamaan di muka hukum, dan keadilan. Oleh karena itu, produk hukum haruslah
mencerminkan rasa adil.
Selanjutnya dalam membuat produk hukum yang mencerminkan rasa
keadilan, haruslah diperhatikan bahwa hukum tersebut menjamin keseimbangan
antara hak dan kewajiban seluruh subyek hukum. Kemudian John Rawls 1
menambahkan 2 (dua) prinsip keadilan, yaitu:
1. Setiap orang mempunyai hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling
luas, seluas kebebasan yang sama bagi semua orang
2. Ketimpangan social dan ekonomi mesti diatur sedemikian rupa sehingga dapat
diharapkan memberi keuntungan semua orang, dan semua posisi dan jabatan
terbuka bagi semua orang

Kebebasan dasar warga Negara adalah kebebasan politik (hak untuk memilih dan
dipilih menduduki jabatan publik) bersama dengan kebebasan berbicara dan
berserikat, kebebasan berkeyakinan dan kebebasan berpikir, kebebasan untuk
mempertahankan hak milik (personal), dan kebebasan dari penangkapan sewenang-
wenang sebagaimana didefinisikan oleh konsep rule of law. Kebebasan-kebebasan ini
oleh prinsip pertama diharuskan setara, karena warga suatu masyarakat yang adil
1
John Rawls, Teori Keadilan (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 72

1
mempunyai hak-hak dasar yang sama. Prinsip kedua berkenaan dengan distribusi
pendapatan dan kekayaan serta dengan design organisasi yang menggunakan
perbedaan dalam otoritas dan tanggung jawab. Prinsip-prinsip ini ditata dalam tata
urutan dengan prinsip pertama mendahului prinsip kedua. Urutan ini mengandung
makna bahwa pemisahan dari lembaga-lembaga kebebasan setara yang diperlukan
prinsip pertama tidak dapat dijustifikasi oleh keuntungan sosial dan ekonomi yang
lebih besar. Distribusi kekayaan dan pendapatan, serta hirarki otoritas, harus sejalan
dengan kebebasan warga Negara dan kesamaan kesempatan.
Hans Kelsen2 selanjutnya berpendapat bahwa jika hukum dan keadilan
disamakan, jika hanya tatanan yang adil saja yang disebut hukum, maka tatanan sosial
yang disebut hukum, dalam waktu yang sama juga akan disebut adil. Dan itu berarti
bahwa tatanan sosial ini dibenarkan secara moral. Kecenderungan untuk menyamakan
hukum dan keadilan merupakan kecenderungan politik, bukanlah kecenderungan
ilmiah. Dari pendapat Hans Kelsen di atas, dapat disimpulkan juga bahwa hukum
yang adil itu juga mencakup hukum yang tidak adil.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana hubungan antara hukum dan keadilan?
2. Bagaimana penggunaan asas keadilan dalam pembentukan suatu produk hukum?

BAB II

2
Hans Kelsen, Teori Umum tentang Hukum dan Negara (Bandung:Nusa Media, 2008), hlm. 6

2
ANALISA

A. Hubungan antara hukum dan keadilan


Bertolak dari berbagai rumusan keadilan sebagaimana di uraikan di atas, maka
Aristoteles dalam bukunya “Rhetorica” mengatakan bahwa tujuan dari hukum adalah
menghendaki keadilan semata-mata dan isi dari pada hukum ditentukan oleh
kesadaran etis mengenai apa yang di katakan adil dan apa yang dikatakan tidak adil.
Menurut teori ini, hukum mempunyai tugas yaitu mewujudkan keadilan dengan
memberikan kepada tiap-tiap orang apa yang berhak mereka terima, serta
memerlukan peraturan tersendiri bagi tiap-tiap kasus. Untuk terlaksananya hal
tersebut, maka menurut teori ini hukum harus membuat apa yang dinamakan
“Algemeene Regels” ( peraturan/ ketentuan umum). Dimana peraturan/ ketentuan
umum ini diperlukan masyarakat demi kepastian hukum.
Jelas bahwa tidak mungkin ada hukum yang ‘adil’, yakni hukum yang
memberikan kebahagiaan kepada setiap orang, dimana bila kita mendefinisikan
konsep kebahagiaan menurut pengertian aslinya yang sempit tentang kebahagiaan
perseorangan, mengartikan kebahagiaan seseorang sebagai apa yang menurutnya
memang demikian. Oleh karena itu, kemudian tidak dipungkiri bahwa kebahagiaan
seseorang pada suatu saat akan bertentangan secara langsung dengan kebahagiaan
orang lain. Maka tidak mungkin pula adanya suatu tatanan yang adil meskipun atas
dasar anggapan bahwa tatanan ini berusaha menciptakan bukan kebahagiaan
perseorangan, melainkan kebahagiaan sebesar-besarnya bagi sebanyak mungkin
individu. Kebahagiaan yang dapat dijamin oleh suatu tatanan sosial hanya bisa berupa
kebahagiaan dalam arti kelompok, yakni, terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan tertentu,
yang oleh penguasa masyarakat, yaitu pembuat hukum, dianggap sebagai kebutuhan-
kebutuhan yang patut dipenuhi, dan, terutama bagaimana tata urutan pemenuhannya
yang tepat. Hans Kelsen3 mengemukakan bahwa kekhasan pada diri manusia ialah
bahwa dirinya mempunyai kebutuhan mendalam untuk membenarkan perbuatannya,
ungkapan emosinya, harapan dan keinginannya, melalui fungsi intelek, pemikiran dan
pengetahuannya. Pembenaran ini menurut Kelsen, dimungkinkan, paling tidak pada
prinsipnya, bila hasrat dan keinginannya itu berkaitan dengan sarana untuk mencapai
tujuan yang satu atau yang lain, karena hubungan antara sarana dan tujuan merupakan
3
Ibid., hlm. 8

3
hubungan sebab akibat dan hubungan ini dapat ditentukan atas dasar pengalaman,
yakni secara rasional.
Oleh sebab itu, persoalan tentang sarana yang tepat untuk mencapai tujuan ini
seringkali lebih banyak ditentukan oleh pertimbangan nilai subjektif daripada oleh
pemahaman objektif terhadap hubungan antara sarana dan tujuan, antara sebab dan
akibat. Dan oleh karena itu, paling tidak untuk sementara, masalah keadilan sekalipun
dibatasi pada persoalan sarana yang tepat bagi suatu tujuan yang diakui secara umum,
tidak selalu dapat dijawab secara rasional.
Seiring dengan kecenderungan untuk menarik masalah keadilan dari wilayah
pertimbangan nilai subjektif yang tidak terjamin, maka terjadi perubahan makna
konsep keadilan, yaitu keadilan yang bermakna legalitas. Suatu peraturan umum
adalah adil jika ia benar-benar diterapkan kepada semua kasus yang menurut isisnya,
peraturan ini harus diterapkan. Suatu peraturan umum adalah tidak adil jika
diterapkan pada satu kasus dan tidak diterapkan pada kasus lain yang serupa. 4
Keadilan dalam pengertian legalitas adalah suatu kualitas yang berhubungan bukan
dengan isi dari suatu tatanan hukum positif, melainkan dengan penerapannya.
Keadilan dalam pengertian ini sesuai dengan setiap hukum positif, baik itu tatanan
hukum kapitalistik maupun komunistik, demokratik maupun otokratik.
Keadilan ini adalah keadilan berdasarkan hukum, dimana perbuatan
berdasarkan hukum atau perbuatan tidak berdasarkan hukum, sesuai atau tidak dengan
suatu norma hukum yang dianggap sah oleh subjek yang menilainya, karena norma
ini termasuk dalam tatanan hukum positif. Pernyataan tersebut secara rasional
memiliki sifat yang sama dengan pernyataan untuk memasukkan suatu fenomena
konkret ke dalam suatu konsep abstrak. Kemudian jika pernyataan yang menyatakan
bahwa perbuatan tertentu sesuai atau tidak sesuai dengan suatu norma hukum disebut
suatu pertimbangan nilai, maka pertimbangan nilai objektiflah yang harus dibedakan
secara jelas dari pertimbangan nilai subjektif yang menyatakan suatu kehendak dan
perasaan dari subjeknya.
Pernyataan bahwa perbuatan tertentu berdasarkan hukum atau tidak
berdasarkan hukum itu terlepas dari keinginan dan perasaan dari orang yang memberi
pertimbangan nilai tersebut, pernyataan tersebut dapat diverifikasi menurut suatu cara
yang objektif. Hanya dalam pengertian legalitas inilah konsep keadilan bisa masuk ke
dalam hukum.
4
Ibid., hlm. 17

4
B. Produk hukum yang mencerminkan asas keadilan
Menurut prof. Muchsan, sebuah produk hukum yang baik haruslah produk
hukum yang populis. Artinya, produk hukum tersebut dapat diterima dalam
masyarakat yang mewujudkan keadilan yang berpihak terhadap kepentingan
masyarakat umum.
Untuk membuat suatu produk hukum yang populis, terdapat 3 (tiga) teori, yaitu:
1. Teori Materiil (Materiele Teorie);
2. Teori Formil (Formele Teorie); dan
3. Teori Filosofi (Filosofische Teorie).
Secara teoritis produk hukum dibagi menjadi dua, yaitu :
1. Regeling (peraturan) adalah produk hukum tertulis dibawah undang-undang
yang diproduksi atau dibuat dari pejabat tata usaha negarayang fungsinya
mempunyai daya ikat atau materinya sebagaian atau seluruh wilayah teritorial
tersebut.
2. Beschikking (keputusan) adalah penetapan tertulis yang diproduksi oleh
pejabat tata usaha negara dan mendasarkan diri terhadap peraturan perundang-
undangan tertentu, bersifat konkrit, individual dan final.
Di Indonesia dalam membuat suatu produk hukum para pejabat tata usaha negara juga
harus berpedoman pada asas-asas umum pemerintahan yang baik. Menurut Prof
Muchsan asas-asas tersebut yang wajib hanya 5 (lima) yakni :
1. Asas kepastian hukum
2. Asas permainan yang layak/patut
3. Asas kecermatan
4. Asas keseimbangan
5. Asas ketetapan dalam mengambil sasaran
Juga sesuai amanat pada Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang no. 12 tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, bahwa materi muatan peraturan
perundang-undangan harus mencerminkan beberapa asas-asas, salah satunya adalah
asas keadilan. Di dalam pemerintahan yang paling berperan dalam menjalankan
pemerintahan yang paling dominan berbentuk keputusan. Yang berbentuk keputusan
lebih banyak menjalankan fungsi pemerintahan. Keputusan syarat pertama harus sah,
untuk sahnya suatu keputusan harus terpenuhi dua kelompok persyaratan yaitu :

5
1. Persyaratan yang bersifat material, yakni persyaratan yang berkaitan dengan
isi atau substansi materi yang terdiri dari Keputusan dibuat oleh pejabat yang
berwenang dan di dalam pembuatannya tidak mengalami kekurangan yuridis,
serta tujuan dari keputusan itu harus sama dengan tujuan yang dikehendaki
dari peraturan yang mendasari.
2. Persyaratan yang bersifat formil, yakni persyaratan yang berkaitan dengan
instansi dan bentuk yang terdiri dari keputusan bentuknya harus sama, dan
proses pembuatannya harus sama dengan proses yang dikehendaki aturan
dasarnya, serta semua persyaratan yang khusus yang dikehendaki oleh aturan
dasarnya.
Dalam membuat suatu produk hukum atau Keputusan Tata Usaha Negara, ada
beberapa metode yang perlu diperhatikan oleh pembuat keputusan, yaitu:
Materiele theorie oleh Leopold Pospisil5dalam bukunya yang
berjudul Anthropological of law. Teori ini memiliki 3 (tiga) kerangka berfikir, yaitu:
1. Produk hukum dalam suatu negara dapat dikembangkan menjadi 2 (dua)
kelompok besar, yaitu:
 Hukum yang dibuat oleh penguasa (made in authority) atau hukum tertulis
(authoritarian law).
 Hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat atau hukum yang tidak
tertulis, adat dan konvensi (common law).
2. Dua kelompok hukum diatas memiliki kelebihan dan kekurangan, tetapi
kelebihan dan kekurangan itu berbanding terbalik, seperti yang dibandingkan
dibawah ini:
 Kelebihan dari hukum yang dibuat oleh penguasa atau hukum tertulis
(authoritarian law) adalah memiliki kepastian hukum (legal security high) dan
daya paksa yang tinggi artinya setiap lahir peraturan pasti mengikat.
Sedangkan kekurangannya adalah bersifat statis dan obyektifitas keadilannya
sulit terwujud padahal salah satu tujuan hukum ialah keadilan sebab hukum
yang digunakan melalui kaca mata penguasa.
 Kelebihan dari hukum yang hidup dalam masyarakat atau hukum yang tidak
tertulis (common law) adalah bersifat dinamis dan obyektifitas keadilannya
mudah terwujud karen hukum berasala dari masyarakat dan melalui kaca mata
5
Leopold Pospisil, Anthropology of Law: A Comparative Theory (Michigan:HRAF Press, 1973), hlm.
176

6
masyarakat. Sedangkan kekurangannya adalah memiliki kepastian hukum
serta daya paksa yang rendah, sewaktu-waktu masyarakat bosan maka akan
ditinggalkan peraturan tersebut.
Dari teori ini dapat disimpulkan bahwa produk hukum yang baik adalah produk
hukum yang materinya sebanyak mungkin diambil dari common law (masyarakat)
tetapi wadahnya di beri bentuk authoritarian law.
Kemudian Filosofische theorie oleh Jeremy Bentham (Legal theory). Teori ini
menjelaskan bahwa suatu produk hukum yang baik harus memiliki 3 (tiga) sifat
berlaku secara komulatif, yaitu:
1. Berlaku secara filosofis :
Produk hukum harus mencerminkan falsafah hidup suatu bangsa misal bangsa
Indonesia yaitu Pancasila.
2. Berlaku secara sosiologis
Mencerminkan kesadaran hukum masyarakat serta menyesuaikan dengan keadaan
masyarakat dimana ukum itu berlaku.
3. Berlaku secara yuridis.
Hukum diibaratkan sebagai tombak yang memiliki dua ujung runcing, yaitu adil dan
benar. Adil adalah keseimbangan antara hak dan kewajiban. Benar adalah kecocokan
antara peraturan dan perbuatan. Adil belum tentu benar, benar belum tentu adil,
apabila adil dan benar bertemu, maka disebut dengan damai. Sehingga benar dan adil
harus dikombinasikan agar cocok.
Jika suatu keputusan atau produk hukum dibuat dengan mengacu pada salah 3 (tiga)
metode pembuatan produk hukum diatas, maka pastilah keputusan atau produk
hukum yang diciptakan dapat memenuhi seegala kebutuhan masyarakat, sehingga
tujuan untuk menciptakan masyarakat adil dan makmur dapat terwujud karena produk
hukum berjalan baik dan lancar.

BAB III
PENUTUP

7
Kesimpulan dan saran
1. Keadilan hanya dalam pengertian legalitas yang bisa menghubungkan
antara hukum dan keadilan. Dan karena kekhasan pada diri manusia yang mempunyai
kebutuhan mendalam untuk membenarkan perbuatannya, ungkapan emosinya,
harapan dan keinginannya, melalui fungsi intelek, pemikiran dan pengetahuannya.
Sehingga hasrat dan keinginannya itu berkaitan dengan sarana untuk mencapai tujuan
yang satu atau yang lain, karena hubungan antara sarana dan tujuan merupakan
hubungan sebab akibat dan hubungan ini dapat ditentukan atas dasar pengalaman,
yakni secara rasional. Maka persoalan tentang sarana yang tepat untuk mencapai
tujuan ini seringkali lebih banyak ditentukan oleh pertimbangan nilai subjektif
daripada oleh pemahaman objektif terhadap hubungan antara sarana dan tujuan,
sedangkan dengan menyampingkan pemahaman objektif, berarti menyampingkan
keadilan itu sendiri.
2. Jelas bahwa dalam pembuatan produk hukum, tidak semua produk hukum
itu dapat dikatakan adil, karena produk hukum yang adil itu juga mencakup produk
hukum yang tidak adil. Sehingga ketika struktur dasar masyarakat cukup adil,
sebagaimana diperkirakan menurut yang dimungkinkan keadaan kontemporer segala
sesuatu, kita harus mengakui bahwa hukum-hukum yang tidak adil itu mengikat
asalkan hukum-hukum tersebut tidak melampaui batas-batas ketidakadilan tertentu.
Dalam upaya membatasi itu, kesulitannya terletak pada fakta bahwa terdapat konflik
prinsip dalam kasus-kasus tersebut.6 Beberapa prinsip menganjurkan kepatuhan,
sementara beberapa yang lainnya mendorong ke arah sebaliknya. Sehingga klaim-
klaim tugas dan kewajiban politik harus diseimbangkan dengan sebuah konsepsi
tentang prioritas-prioritas yang sesuai.

DAFTAR PUSTAKA

Kelsen, Hans, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, Bandung:Nusa Media, 2008

6
John Rawls, op. cit., hlm. 454

8
Rawls, John, Teori Keadilan, Cambridge: Harvard University Press, 1971

Pospisil, Leopold, Anthropology of Law: A Comparative Theory, Michigan:HRAF


Press, 1973

Anda mungkin juga menyukai