Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

PROBLEMATIKA SKB TIGA MENTERI: BAGAIMANA


SEHARUSNYA PENDIDIKAN AGAMA DI SEKOLAH?
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Seminar Pendidikan Agama Islam
Dosen Pengampu: Prof. Dr. Syahidin, M.Pd.

Disusun oleh:
Kelompok 5

1. Ahmad Ghifary (1804629)


2. Ditha Noviariani (1802145)
3. Zaky Naufal Arsyad (1800826)

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI


FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat,
karunia, taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang
Pendidikan Agama di Sekolah untuk memenuhi tugas mata kuliah Seminar
Pendidikan Agama Islam. Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam
rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai pendidikan agama di
sekolah.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat
kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik,
saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan
datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang
membacanya. Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami
sendiri maupun orang yang membacanya. Kami haturkan terima kasih kepada dosen
pengampu yang telah membimbing kami dalam pembuatan makalah ini.

Bandung, Maret 2021

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Bukan hanya agama spritiual saja, Islam sebagai diin tentu memiliki
seperangkat aturan yang berasal dari Sang Pencipta untuk pedoman hidup
bagi manusia. Berbagai asepk kehidupan turut diatur dalam ajaran Islam yang
dibawa oleh Rasulullah Muhammad SAW. Tak terkecuali dalam hal
pendidikan, Islam sangat mementingkan pendidikan, dengan adanya
pendidikan yang baik dan benar sesuai dengan tuntunan Al – Qur’an dan
Sunnah tentu akan menghasilkan pendidikan yang berkualitas.
Pendidikan dalam Islam menjadi hal yang krusial untuk diperhatikan.
Melalui pendidikan, individu akan memiliki bekal ilmu pengetahuan yang
tidak hanya berguna di dunia saja, melainkan dapat menuntunnya pada surga-
Nya. Pendidikan hadir untuk memberantas segala bentuk kebodohoan yang
ada pada setiap individu. Sekalipun institusi-institusi pendidikan saat ini
memiliki kualitas dan fasilitas yang terbilang cukup baik, namun masih belum
dapat mencetak generasi akhlakulkarimah (akhlak yang baik).
Pendidikan agama di sekolah merupakan salah satu cara untuk merubah
perilaku individu. Sekolah bukan hanya sebagai transfer of knowledge dari
guru ke murid, melainkan juga sebagai pembentukan karakter yang mulia
sesuai tuntunan ajaran Islam. Islam hadir dengan segudang solusi atas segala
permasalahan umat saat ini, terlebih dalam bidang pendidikan. Seorang
individu dapat memaksimalkan potensi akal yang diberi oleh Allah SWT
dengan diatur oleh aturan Islam, sehingga dapat memutus mata rantai
kebodohan di tengah – tengah umat. Munculnya peraturan Surat Keputusan
Bersama (SKB) Tiga Menteri baru – baru ini terkait penggunaan seragam
sekolah, memunculkan beragam polemik. Sejumlah tokoh agama terutama
umat Muslim merasakan adanya gejolak sekulerisme yang terjadi di dunia
pendidikan. Hal ini sebab pada salah satu isi dari peraturan tersebut yang
membolehkan sekolah untuk tidak mewajibkan pakaian seragama keagamaan,
dinilai dapat membuat unsur – unsur liberalism muncul di kalangan pelajar.
Pada makalah ini akan dibahas lebih lanjut mengenai bagaimana seharusnya
pendidikan agama di sekolah yang tentunya sesuai dengan aturan Islam, dan
dapat mencetak generasi mulia yang dapat mencerahkan bangsa Indonesia.

2. Rumusan Masalah
a. Apa yang terjadi di dunia pendidikan saat ini terutama dalam pendidikan
agama di sekolah?
b. Mengapa SKB Tiga Menteri terkait penggunaan seragam sekolah
memunculkan berbagai polemik di tengah kaum Muslim?
c. Apakah ada solusi tuntas atas permasalahan dalam pendidikan agama di
sekolah?

3. Tujuan
Pada makalah ini bertujuan untuk:
a. Mengetahui permasalahan yang terjadi di dunia pendidikan terutama
dalam pendidikan agama di sekolah.
b. Mengetahui berbagai hal yang menjadi polemik dari SKB Tiga Menteri,
terutama di dunia pendidikan.
c. Mengetahui solusi tuntas atas permasalahan pendidikan agama di sekolah.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pendidikan dalam Perspektif Islam


Islam memandang pendidikan termasuk ilmu di dalamnya sebagai hal
yang penting, hal ini sejalan dengan tujuan dari agama Islam itu sendiri, yakni
menjadikan ilmu sebagai syarat untuk memahami ajaran agama Islam.
Zuhairini (1983) menyebut bahwa pendidikan dalam Islam sebagai suatu
usaha sistematis dan pragmatis dalam membantu peserta didik agar dapat
hidup sesuai dengan tuntunan Islam. Sejalan dengan hal tersebut, UU No. 20
tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional, terdapat tujuan pendidikan secara
umum yakni mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.
Pendidikan agama Islam dinilai sebagai bentuk usaha agar dapat
terbentuknya bimbingan rohani dan jasmani suatu individu berdasarkan ajaran
Islam (Uhbiyati dan Nur, 1991). Sementara itu, pada referensi lain disebutkan
bahwa pendidikan agama Islam merupakan usaha sadar untuk mempersiapkan
peserta didik dalam meyakini, memahami, menghayati, dan mengamalkan
agama Islam melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, atau latihan dengan
memerhatikan tuntutan untuk menghormati agama lain dalam hubungan
kerukunan antar umat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan
persatuan nasional (Muhaimin, 2008).
Dari beberapa pengertian mengenai pendidikan agama yang telah
diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan agama mengacu pada
pengajaran bagi siswa agar dapat memiliki akhlak yang baik sesuai ajaran
Islam, dan mengamalkannya di kehidupan sehari – hari. Pendidikan agama
tentu harus dimulai sejak dini, guna menjadikan bekal bagi siswa untuk tetap
berpegang teguh pada pendiriannya.
Keterhubungan antara agama dan ilmu sangat penting adanya,
sebagaimana ungkapan bahwa agama tanpa ilmu buta, sedangkan ilmu tanpa
agama itu sesat. Dikutip dari situs indonesiana.id menyebutkan bahwa
pendidikan agama sangat disarankan untuk dimulai sejak masa – masa golden
age pada sang anak. Melalui pemahaman agama yang baik dan benar dan
dimiliki sejak kecil, siswa dapat mengetahui standar baik-buruk atau benar-
salah dalam kehidupan bermasyarakat. Terlebih saat ini di era globalisasi yang
memunculkan beragam pluralisme di setiap aspek kehidupan.

B. Permasalahan yang Terjadi di Dunia Pendidikan


Dalam proses pendidikan agama di Sekolah, seringkali memunculkan
berbagai macam permasalahan, mulai dari kurikulum yang tidak sesuai hingga
permasalahan intoleran. Sabbikhis dan Muttaqin (2003) dalam penelitiannya
yang berjudul Pendidikan Agam Islam di Sekolah Negeri dan Swasta:
Tinjauan Kebijakan, menyebutkan bahwa kurang berhasilnya pendidikan
agama di sekolah disebabkan oleh substansi pendidikan agama yang terlalu
bersifat akademis, permasalahan akhlak hampir tidak diperhatikan, kecuali
yang bersifat kognitif dan hafalan. Selain itu, waktu yang digunakan untuk
pendidikan agama di sekolah dirasa kurang cukup, dengan 2 jam/minggu
belum tentu dapat mengatasi persoalan praktis berkenaan dengan kehidupan
beragama.
Perubahan kurikulum pendidikan yang terjadi merupakan salah satu
upaya yang dilakukan oleh pemerintah, guna sesuai dengan kondisi di
lingkungan masyarakat melalui pemanfaatan alokasi waktu yang tersedia
(Sabbikhis dan Muttaqin, 2003). Berdasarkan UU No. 20 tahun 2003 yang
mengatur tentang kurikulum pendidikan di Indonesia disusun dalam kerangka
peningkatan iman dan takwa, peningkatan akhlak mulia, peningkatan potensi,
kecerdasan, dan minat peserta didik, keragaman potensi, daerah dan
lingkungan, tuntutan pembangunan daerah dan nasional, tuntutan dunia kerja,
tuntutan iptek dan seni, agama, dinamika perkembangan global, persatuan
nasional dan nilai-nilai kebangsaan. Maka untuk mewujudkan tujuan tersebut,
kurikulum pendidikan di Indonesia mengalami beberapa kali perubahan.
Namun permasalahannya, apakah dengan kurikulum yang terus diperbaiki ini
mampu menyelesaikan beragam problematika yang ada? Terlebih saat ini
mulai bermunculan provokasi sesama umat Muslim di dunia pendidikan.
Sebut saja masalah intoleran. Sejak dulu, masyarakat Indonesia yang memiliki
budaya heterogen dapat hidup berdampingan dalam lingkup perbedaan.
Namun kini, umat Muslim yang merupakan mayoritas di Indonesia, terjadi
pergolakan internal terkait permasalahan toleransi.
Beberapa waktu yang lalu sempat ramai diperbincangkan terkait Siswi
Non-Muslim di SMKN 2 Padang yang diwajibkan memakai pakaian jilbab di
lingkungan sekolah. Dikutip dari portal berita daring kompas.com, Kepala
Dinas Pendidikan Sumatera Barat menyebut bahwa aturan tersebut merupakan
aturan lama sejak tahun 2005, dan kebijakan tersebut sudah terlaksana di
seluruh sekolah di Kota Padang. Hal seperti ini tentu memicu perdebatan
publik yang mana ditujukan kepada umat Islam disebut sebagai umat
intoleran. Padalah jika kita telisik kembali, kebijakan tersebut sudah berjalan
selama kurang lebih 16 tahun dan baru menuai kontrovesi pada Januari 2021.
Antar umat beragama yang hidup berdampingan dengan aman dan damai, kini
kembali terusik dengan isu intoleran.
Tidak hanya sampai disitu, para pejabat petinggi pun sampai
mengeluarkan kebijakan baru berupa Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga
Menteri, yang ditandatangani oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan,
Menteri Dalam dan Luar Negeri, serta Menteri Agama terkait ketentuan
penggunaan seragam dan atribut di lingkungan pendidikan dasar dan
menengah. Dikutip dari portal berita daring kompas.com, SKB Tiga Menteri
tersebut berisikan enam poin, pertama, keputuasan bersama ini mengatur
sekolah negeri yang diselenggarakan oleh pemerinta daerah (pemda). Kedua,
peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan berhak memilih antara: a)
Seragam dan atribut tanpa kekhususan agama, b) Seragam dan atribut dengan
kekhususan agama. Ketiga, pemda dan sekolah tidak boleh mewajibkan
ataupun melarang seragam dan atribut kekhususan agama.
Keempat, pemda dan kepala sekolah wajib mencabut aturan yang
mewajibkan atau melarang seragam dan atribut dengan kekhususan agama
paling lama 30 hari kerja sejak keputusan bersama ini ditetapkan. Kelima, jika
terjadi pelanggaran terhadap keputusan bersama ini, maka sanksi akan
diberikan kepada pihak yang melanggar. Keenam, peserta didik, pendidik, dan
tenaga kependidikan beragama Islam di Provinsi Aceh dikecualikan dari
ketentuan keputusan bersama ini sesuai kekhususan Aceh berdasakran
ketentuan peraturan perundang – undangan terkait pemerintah Aceh.
Pada poin kelima SKB Tiga Menteri tersebut juga dipaparkan sejumlah
sanksi bagi pihak yang melanggar, yakni; Pemda, memberikan sanksi disiplin
bagi sekolah, pendidik dan atau tenaga kependidikan yang bersangkutan
sesuai ketentuan peraturan perundang – undangan; Gubernur, sebagai wakil
pemerintah pusat memberikan sanksi kepada bupati atau wali kota berupa
teguran tertulis dan atau sanksi lain sesuai ketentuan peraturan perundang –
undangan; Kementerian Dalam Negeri, memberikan sanksi kepada bupati
atau wali kota berupa teguran tertulis dan atau sanksi lainnya dalam hal
gubernur sebagai wakil pemerintah pusat tidak melaksanakan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam huruf b. Memberikan sanksi kepada gubernur
berupa teguran tertulis dan atau sanksi lain sesuai ketentuan peraturan
perundang – undangan.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, memberikan sanksi kepada
sekolah yang bersangkutan terkait BOS dan bantuan pemerintah lain yang
bersumber dari Kemendikbud sesuai peraturan perundang – undangan;
Kementerian Agama, melakukan pendampingan dan penguatan pemahaman
keagamaan dan praktik beragama yang moderat ke pemda dan atau sekolah
yang bersangkutan. Dapat memberikan pertimbangan untuk pemberian dan
penghentian sanksi sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, hingg d.
Sungguh luar biasa isu intoleran di dunia pendidikan ini, sampai
melibatkan banyak pihak. Sejumlah pejabat publik lainnya menyatakan pro
dan kontra. Ketua MUI Pusat, Dr. Cholil Nafis menyebut bahwa SKB Tiga
Menteri ini tidak mencerminkan proses pendidikan, sebab usia sekolah
harusnya dijadikan pembiasaan pelajar untuk menjalankan perintah dan ajaran
agama yang baik. Sementara itu, salah satu anggota Persatuan Guru Republik
Indonesia (PGRI) Reza Indragiri Amriel mengungkap SKB Tiga Menteri ini
tidak realistis. Hal ini ditinjau dari makna “kemerdekaan” seperti halnya yang
tercantum pada Pasal 29 ayat 2 UUD. Dengan munculnya SKB Tiga Menteri
ini akan memicu kesan liberalisasi terhadap perilaku peserta didik.
Organisasi Masyarakat Islam terbesar di Indonesia yakni NU dan
Muhammadiyah mendukung SKB Tiga Menteri tersebut, mereka menilai
bahwa penerbitan SKB ini merupakan langkah tepat untuk menjaga
keberagaman toleransi. Sementara Prof. Amien Rais menyebut bahwa SBK
Tiga Menteri bersifat regimentation, yakni lebih dari otoritarianisme. Dengan
kata lain, penguasa saat ini ada yang merasa Islamofobia (ketakutan
berlebihan kepada Islam), memiliki ketakutan terhadap ajaran Islam tanpa
sebab yang jelas, dan tentunya hal ini akan mengakibatkan kehancuran
demokrasi dari dalam.
Pendidikan agama sangat diperlukan terlebih di tengah – tengah arus
globalisasi saat ini. Ainiyah (2013) mengungkapkan bahwa pendidikan
agama, khususnya pendidikan agama Islam memiliki peran penting dalam
sistem pendidikan nasional. Pendidikan agama menjadi landasan materi yang
wajib diajarkan pada setiap sekolah, hal ini sejalan dengan prinsip pendidikan
agama Islam yakni untuk memberikan pembelajaran yang menanamkan nilai
– nilai spiritualitas bagi peserta didik agar menjadi manusia berakhlak mulia,
beretika dan berbudaya (Ainiyah, 2013). Pendidikan agama Islam juga dapat
membekali para siswa dalam berperilaku sesuai ajaran agama, dan tidak
melakukan penyimpangan yang muncul dari arus globalisasi.

C. Peran Negara dalam Pemenuhan Pendidikan Agama di Sekolah


Jika kita telusuri lebih dalam berkenaan dengan permasalahan pendidikan
agama di sekolah, maka akan kita dapati sejumlah kritik yang muncul. Khozin
(2006) dalam bukunya Jejak – Jejak Pendidikan Islam di Indonesia, mengungkap
bahwa masih terdapat lulusan sekolah dasar hingga sekolah menengah yang telah
menempuh pendidikan agama Islam, belum dapat membaca Al-Qur’an bahkan
menulis hurufnya pun masih belum terampil. Selain itu, kritik lain tertuju pada
perilaku dan tingkah laku peserta didik. Pendidikan agama Islam dinilai belum
berpengaruh secara signifikan, sebab masih terdapatnya kenakalan remaja seperti
perkelahian yang berujung pada tawuran, pergaulan bebas (minum minuman
keras, mengonsumsi obat – obatan terlarang, hingga penyimpangan seksual).
Untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional yang termaktub pada UU
No. 20 tahun 2003, yang salah satu tujuannya untuk meningkatkan iman dan
takwa, serta berakhlak mulia, perlu adanya peran negara di dalamnya. Negara
harus mampu menjamin pendidikan agama di sekolah terlaksana dengan baik dan
benar. Terkhusus bagi umat Muslim harus sesuai dengan ajaran dan tuntunan
Islam. Maka dari itu, Pendidikan Agama Islam (PAI) harus dapat mewujudkan
tujuan pendidikan nasional, sebagaimana yang tertuang dalam Permen Diknas,
No. 22 tahun 2006 mengenai standar isi pada lampiran standar kompetensi dasar
mata pelajaran PAI. Pada peraturan tersebut, dipaparkan tujuan PAI baik pada
jenjang pendidikan dasar maupun menengah adalah mewujudkan manusia yang
taat beragama dan berakhlak mulia, yaitu manusia yang berpengetahuan, rajin
beribadah, cerdas, produktif, jujur, adil, etis, berdisiplin, bertoleransi, menjaga
keharmonisan secara personal dan sosial serta mengembangkan budaya agama
dalam komunitas sekolah.
Meskipun pada rumusan tujuan pendidikan nasional tidak memuat secara
tertulis kata – kata Islam, tetapi isi dari tujuan tersebut memuat ajaran Islam,
yakni mengandung nilai – nilai ajaran Islam yang sudah ditransformasi ke dalam
nilai – nilai kehidupan berbangsa dan bernegara (Munif, 2016). Hal ini semakin
diperkuat dengan pengaruh ajaran Islam yang sudah tertanam pada pola pikir
bangsa Indonesia. Sementara itu, Munif (2016) mengungkapkan bahwa perlu
adanya integrasi antara pelajaran PAI dengan budaya sekolah. Budaya sekolah
diartikan sebagai perpaduan antara nilai – nilai, keyakinan, asumsi, pemahaman
dan harapan – harapan yang diyakini oleh warga sekolah, serta dijadikan
pedoman dalam proses pemecahan masalah (Munif, 2016). Pada referensi lain,
Muhaimin (2008) mengamini pengembangan pelajaran PAI dengan budaya PAI.
Budaya agama Islam dalam lembaga pendidikan (madrasah/sekolah)
dikembangkan sebagai landasan nilai, semangat, sikap, dan perilaku bagi siswa,
guru, tenaga kependidikan, dan orang tua siswa (Muhaimin, 2008).
Perlu adanya pengawasan dan tanggung jawab negara terhadap
pengembangan pendidikan agama di sekolah. Polemik dari SKB Tiga Menteri
terkait ketentuan penggunaan seragam sekolah ini dinilai terlalu memberikan
kebebasan bagi sekolah, yakni sekolah tidak boleh melarang atau mewajibkan
pakaian khusus keagamaan. Padahal, dalam pandangan Islam sendiri sekolah
sebagai tempat pembelajaran harus menanamkan ajaran – ajaran Islam, salah
satunya dalam tata cara berpakaian. Apa jadinya jika sekolah membebaskan
dalam hal berpakaian bagi siswanya, terlebih bagi siswi Muslim yang diwajibkan
untuk berpakaian menutup aurat. Maka dari itu dengan SKB Tiga Menteri ini
memberikan kebebasan bagi siswi Muslimah untuk tidak berjilbab maupun
berjilbab. Sedangkan sekolah harusnya menjadi tempat pembiasaan bagi para
peserta didik untuk dapat berperilaku sesuai ajaran Islam. Sanjaya (2009)
menyebut bahwa pembiasaan ini merupakan upaya untuk membentuk perilaku
tertentu melalui praktik secara terus menerus. Maka dalam hal ini, negara harus
dapat memberikan peraturan yang sesuai dengan ajaran Islam berupa pembiasaan
dari pendidikan dasar hingga pendidikan menengah, guna mencapai tujuan yang
terdapat pada rumusan tujuan pendidikan nasional.

D. Islam Solusi Tuntas Atas Permasalahan di Dunia Pendidikan


Seperti yang telah kita ketahui, Islam bukan hanya agama spiritualitas
saja, melainkan terdapat seperangkat aturan bagi kehidupan umat manusia
yang benar, sebab berasal dari Pencipta manusia itu sendiri, yakni Allah SWT.
Aturan yang ada sudah tercantum sempurna dalam Al-Qur’an dan Hadist.
Setiap permasalahan tentu ada juga solusinya. Maka sebagai umat manusia
terkhususnya umat Muslim sudah seharusnya tunduk dan patuh terhadap
aturan Allah SWT. Aturan yang dibuat oleh manusia tentu bersifat lemah dan
terbatas, sehingga belum dapat menyelesaikan permasalahan secara tuntas.
Adapun dalam dunia pendidikan, Islam hadir sebagai pemutus rantai
kebodohan di tengah – tengah umat. Ilmu pendidikan seharusnya dapat
membuat generasi gemilang di masa yang akan datang, dan dapat
mewujudkan apa yang dicanangkan dalam rumusan tujuan pendidikan
nasional. Namun dalam kenyataannya, pendidikan agama terutama
Pendidikan Agama Islam di sekolah masih belum dapat memenuhi harapan.
Rouf (2015) memberikan contoh seperti halnya ketika seorang guru
memberikan pendidikan agama Islam kepada para siswa, tentu yang
diharapkan bukan hanya sekedar memahami materi, melainkan turut
mempraktikan ajaran Islam baik yang bersifat pokok untuk dirinya sendiri
maupun yang bersifat kemasyarakatan. Hal ini didasari pada proses
pembelajaran pendidikan agama Islam yang bukan hanya memerhatikan aspek
kognitif, melainkan pula keterampilan para siswa (Rouf, 2015).
Munculnya SKB Tiga Menteri terkait ketentuan penggunaan seragam
sekolah ini dirasa bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional yang sudah
tercantum dalam UU No 22 tahun 2003. Seperti yang sudah dibahas di atas
terkait tujuan pendidikan nasional yang salah satunya dapat mewujudkan
siswa berakhlak mulia. Dengan SKB Tiga Menteri ini jelas semakin terasa
hawa keberadaan sekulerisme atau pemisahan agama dari kehidupan. Sekolah
tidak boleh melarang atau mewajibkan pakaian keagamaan bagi peserta didik,
pendidik dan tenaga kependidikan. Singkatnya seperti memberikan kebebasan
bagi insan terdidik untuk menjalankan atau meninggalkan perintah Allah
SWT. Menurut Wakil Ketua MUI, Anwar Abbas, UU dan peraturan serta
kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dalam semua bidang kehidupan,
termasuk bidang pendidikan seharusnya didasari pada nilai – nilai yang
bersumber dari ajaran agama1. Hal ini seperti yang terdapat pada Pasal 29
Ayat 1 dan 2 UUD 1945, dimana mengandung kehendak bangsa Indonesia
menjadi bangsa yang religius, bukan bangsa yang sekuler.
Maka seharusnya segala persoalan yang ada di dunia pendidikan saat
ini dikembalikan lagi pada ajaran Al-Qur’an dan Sunnah, yakni dengan
menerapkan aturan Allah SWT pada setiap aspek kehidupan. Masalah
intoleran seharusnya dapat ditangani dengan mudah, sebab Islam merupakan
agama yang sempurna tentu dalam hal pengaturan masalah toleransi. Justru
saat ini semakin terasa permusuhan dunia akan ajaran Islam, satu per satu
aturan Allah SWT dikriminalisasi, salah satunya penggunaan jilbab di
lingkungan sekolah. Padahal sudah terbukti pada masa kejayaan Islam, dunia
pendidikan begitu maju dan gemilang, mengukir prestasi bersejarah hingga
saat ini. Hal ini tentu saja didapat dari menerapkan aturan Allah SWT secara
menyeluruh dan seimbang antara dunia serta akhirat. Hanya Islam yang
berasal dari Allah SWT yang dapat menyelesaikan secara tuntas segala
problematika dunia pendidikan saat ini.

1
https://www.muslimahnews.com/2021/02/06/terkait-skb-3-menteri-memang-indonesia-sudah-
sekuler/
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Terkait segala permasalahan yang saat ini menimpa dunia pendidikan,
sepatutnya dikembalikan lagi pada ajaran Islam. Apa yang akan terjadi jika
aturan Allah SWT salah satunya penggunaan jilbab dikriminalisasi, padahal
setiap aturan yang dibuat-Nya mengandung kebaikan bagi umat manusia.
SKB Tiga Menteri ini hanya akan menimbulkan perpecahan di kalangan umat
Islam, masif menyerukan islamofobia yang jelas – jelas berasal dari pemikiran
Barat yang membenci ajaran Islam. Sepatutnya kita sadari bahwa ajaran Islam
begitu baik dan sempurna, melindungi umat dari kesengsaraan dan membawa
kebahagiaan dunia – akhirat.
Agar dapat mewujudkan tujuan pendidikan nasional maka perlu
adanya pendidikan agama di sekolah. Salah satu metode belajarnya yakni
dengan metode pembiasaan (conditioning). Siswa dibiasakan untuk taat aturan
Allah SWT dan menanamkan nilai – nilai agama pada seluruh aspek
kehidupan, tak terkecuali pada aspek pendidikan. Pendidikan agama bukan
hanya sebatas formalitas mata pelajaran yang wajib diikuti, melainkan sebagai
ajang pembiasaan diri untuk dirinya sendiri dan pada kehidupan
bermasyarakat. Sehingga akan terwujudnya cita – cita bangsa yakni
mencerdaskan kehidupan bangsa dengan ruh – ruh religius di dalamnya.

2. Saran
Kita sebagai mahasiswa harus dapat lebih aktif lagi dalam
menyuarakan ajaran Islam yang rahmatanlil’alamin. Pendidikan yang
merupakan tonggak berdirinya sebuah bangsa, harus dilindungi dari
pemahaman – pemahaman sekulerisme yang dapat memecah belah bangsa.
Sejatinya, pendidikan agama harus dapat mencetak generasi gemilang dan
dapat mempraktikan ajaran Islam pada kehidupan sehari – hari. Pendidikan
agama di sekolah sebagai langkah awal dalam mempersiapkan generasi emas
bangsa, perlu ditingkatkan dari segi kurikulum dan aturan – aturan yang lebih
sesuai dengan ajaran Islam. Aturan yang dibuat harus murni untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa, tanpa adanya tunggangan kepentingan
politik atau bahkan gerakan memusuhi ajaran Islam. Karena sejatinya hanya
Islam solusi tuntas atas segala permasalahan ini, jika umat mau untuk
menerapkan aturan Allah SWT secara menyeluruh.
DAFTAR PUSTAKA

Ainiyah, Nur. 2013. Pembentukan Karakter Melalui Pendidikan Agama Islam. Jurnal
Al – Ulum. Vol. 13 (1) hal. 25 – 38.

Khozin. 2006. Jejak-jejak Pendidikan Islam di Indonesia, Malang: UMM Press.

Muhaimin. 2003. Wacana Pengembangan Pendidikan Islam. Surabaya: Pusat Studi


Agama, Politik, dan Masyarakat (PSAPM).

Muhaimin. 2008. Pemikiran Dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam.


Jakarta:Rajawali Press.

Munif, Muhammad. 2016. Pengembangan Pendidikan Agama Islam Sebagai Budaya


Sekolah. Pedagogik; Jurnal Pendidikan. Vol. 3 (2) hal. 46 – 57.

Permen Diknas No. 22 Tahun 2006.

Rouf, Abd. 2015. Potret Pendidikan Agama Islam di Sekolah Umum. Jurnal
Pendidikan Agama Islam. Vol. 3 (1) hal. 188 – 206.

Sabbikhis, H.M., & Muttaqin, Anis. 2003. Pendidikan Agama Islam di Sekolah
Negeri dan Swasta; Tinjauan Kebijakan. JPI FIAI Jurusan Tarbiyah. Vol. 9
hal. 11 – 18.

Uhbiyati, Abu Ahmadi & Nur. 1991. Ilmu Pendidikan Agama. Jakarta: PT. Rineka
Cipta.

UU No. 20 Tahun 2003.

Zuhairini. 1983. Metodik Khusus Pendidikan Agama. Surabaya: Usaha Nasional.

Anda mungkin juga menyukai