Pangeran Diponegoro
Pangeran Diponegoro
“PANGERAN DIPONEGORO”
Disusun Oleh :
RUKIYAH
Kelas : XI IPS1
Dalam artikel kali ini, Suara.com akan merangkum biografi Pangeran Diponegoro, mulai
dari latar belakang, perjuangannya dalam Perang Jawa, hingga akhir hayatnya. Berikut
ulasan tentang biografi Pangeran Diponegoro selengkapnya.
Pangeran Diponegoro lahir di Yogyakarta pada jumat 11 November 1785 dari ibu yang
merupakan seorang selir bernama R.A. Mangkarawati, dan ayahnya yang bernama Gusti
Raden Mas Surojo, yang di kemudian hari naik tahta bergelar Hamengkubuwono III.
Pada saat Pangeran Diponegoro lahir, Ia diberi nama Raden Mas Mustahar yang akhirnya
ia diberi gelar pangeran dengan nama Pangeran Diponegoro pada 1812 ketika ayahnya
naik tahta menjadi Hamengkubuwono III.
Pangeran Diponegoro memiliki 12 putra dan 5 orang putri dari 9 wanita yang dinikahinya.
Saat ini, seluruh keturunan Pangeran Diponegoro tersebut hidup tersebar di Indonesia
bahkan di luar negeri, termasuk Australia, Serbia, Jerman, Belanda, dan Arab Saudi.
Pangeran Diponegoro sadar bahwa dirinya terlahir dari seorang selir. Ia pun menolak
permintaan ayahnya, Sultan Hamengkubuwono III, untuk diangkat menjadi raja. Pasalnya,
di lingkungan kerajaan pada saat itu yang biasa dinobatkan menjadi raja hanyalah anak
dari permaisuri.
Perang Diponegoro
Perang Diponegoro atau Perang Jawa adalah pemberontakan yang dilancarkan oleh
masyarakat Jawa di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro. Perang ini merupakan
kekacauan terbesar yang terjadi pada kekuasaan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda.
Berlangsung selama lima tahun (1825-1830), perang ini membuat kas pemerintah menjadi
kosong ditambah kehilangan ribuan serdadu Eropa. Perang ini menewaskan kurang lebih
200.000 orang baik militer maupun sipil, menjadikannya pemberontakan paling berdarah
dalam sejarah Hindia Belanda.
Kesultanan Yogyakarta pada tahun 1822 setelah wafatnya Sri Sultan Hamengkubuwono
IV dikuasai oleh Residen Yogyakarta Hendrik Smissaert yang mencampuri urusan
kekuasaan keraton. Sementara itu Gubernur Jendral van der Capellen meminta seluruh
tanah sewa dikembalikan kepada pemilik dengan kompensasi tertentu. Hal ini tidak
disetujui Pangeran Diponegoro karena akan membawa keraton kepada kebangkrutan atas
banyaknya tanah yang dikembalikan. Namun Smissaert berhasil meyakinkan Ratu Ageng
dan Patih Danuredjo selaku wali raja untuk memuluskan kebijakan tersebut. Keraton
terpaksa meminjam uang dari Kapitan Tionghoa untuk membayar kompensasi tersebut.
Perang akhirnya pecah ketika Smissaert, pada Mei 1825 memperbaiki jalan Yogyakarta-
Magelang melalui Tegalrejo. Patok-patok jalan ini melewati makam leluhur Diponegoro,
sehingga menyebabkan kemarahannya. Ia memerintahkan mengganti patok tersebut
dengan tombak sebagai pernyataan perang terhadap Belanda dan Keraton Yogyakarta.
Kronologi Perang
Perang berlangsung secara stagnan sampai dengan tahun 1828, ketika Belanda di bawah
Jenderal de Kock menerapkan taktik Benteng Stelsel yang berfungsi untuk menjepit
pasukan Jawa. Kyai Mojo berhasil ditangkap pada tahun yang sama. Menyusul tahun
1829, Pangeran Mangkubumi dan Sentot Alibasah menyerah kepada Belanda. Pada Maret
1830, Pangeran Diponegoro yang terjepit di Magelang kemudian menyerah kepada
Belanda dengan catatan anggota-anggota laskarnya dilepaskan seluruhnya.
Pangeran Diponegoro yang menyerah pada Maret 1830, ditangkap dan kemudian
diasingkan ke Manado lalu dipindahkan ke Makassar. Pasukan-pasukannya yang tidak lagi
memiliki pemimpin kehilangan semangat untuk berjuang. Berakhirnya Perang Jawa ini
membawa pemimpin-pemimpin di tanah Jawa kehilangan harapan untuk melawan
Belanda. Sejak tahun 1832, seluruh raja dan bupati di Jawa menyatakan ketundukannya
kepada Belanda kecuali Bupati Ponorogo. Sehingga semakin kukuh kedudukan Belanda di
Jawa. Meski begitu perang ini mampu menewaskan 7.000 serdadu Eropa, yang membuat
Belanda semakin kesulitan untuk memenangkan Perang Padri kedua di Minangkabau.
Setelah perang berakhir, populasi Yogyakarta menyusut separuhnya. Sementara
keturunan Pangeran Diponegoro diusir dari keraton.