Anda di halaman 1dari 5

MAKALAH

“PANGERAN DIPONEGORO”

Disusun Oleh :
RUKIYAH
Kelas : XI IPS1

SMA NEGERI 1 KERINCI


KANAN
PANGERAN DIPONEGORO

Negara Kesatuan Republik Indonesia mempunyai deretan daftar nama pahlawan


Indonesia yang berjuang merebut kemerdekaan dan mengusir penjajah dari tanah air.
Salah satu pahlawan yang sangat berjasa adalah biografi Pangeran Diponegoro.

Gelar Pahlawan Nasional diberikan kepada Pangeran Diponegoro sesuai dengan SK


Presiden RI No. 087/TK/1973 pada 6 November 1973. Gelar ini diberikan untuk
menghormati dan mengapresiasi perjuangan Pangeran Diponegoro dalam peristiwa
Perang Jawa atau yang dikenal sebagai Perang Diponegoro.

Dalam artikel kali ini, Suara.com akan merangkum biografi Pangeran Diponegoro, mulai
dari latar belakang, perjuangannya dalam Perang Jawa, hingga akhir hayatnya. Berikut
ulasan tentang biografi Pangeran Diponegoro selengkapnya.

Latar Belakang Pangeran Diponegoro

Pangeran Diponegoro lahir di Yogyakarta pada jumat 11 November 1785 dari ibu yang
merupakan seorang selir bernama R.A. Mangkarawati, dan ayahnya yang bernama Gusti
Raden Mas Surojo, yang di kemudian hari naik tahta bergelar Hamengkubuwono III.

Pada saat Pangeran Diponegoro lahir, Ia diberi nama Raden Mas Mustahar yang akhirnya
ia diberi gelar pangeran dengan nama Pangeran Diponegoro pada 1812 ketika ayahnya
naik tahta menjadi Hamengkubuwono III.

Pangeran Diponegoro memiliki 12 putra dan 5 orang putri dari 9 wanita yang dinikahinya.
Saat ini, seluruh keturunan Pangeran Diponegoro tersebut hidup tersebar di Indonesia
bahkan di luar negeri, termasuk Australia, Serbia, Jerman, Belanda, dan Arab Saudi.

Pangeran Diponegoro Menolak Diangkat Menjadi Raja

Pangeran Diponegoro sadar bahwa dirinya terlahir dari seorang selir. Ia pun menolak
permintaan ayahnya, Sultan Hamengkubuwono III, untuk diangkat menjadi raja. Pasalnya,
di lingkungan kerajaan pada saat itu yang biasa dinobatkan menjadi raja hanyalah anak
dari permaisuri.

Perang Diponegoro

Perang Diponegoro atau Perang Jawa adalah pemberontakan yang dilancarkan oleh
masyarakat Jawa di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro. Perang ini merupakan
kekacauan terbesar yang terjadi pada kekuasaan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda.
Berlangsung selama lima tahun (1825-1830), perang ini membuat kas pemerintah menjadi
kosong ditambah kehilangan ribuan serdadu Eropa. Perang ini menewaskan kurang lebih
200.000 orang baik militer maupun sipil, menjadikannya pemberontakan paling berdarah
dalam sejarah Hindia Belanda.

Latar Belakang Perang Diponegoro

Kesultanan Yogyakarta pada tahun 1822 setelah wafatnya Sri Sultan Hamengkubuwono
IV dikuasai oleh Residen Yogyakarta Hendrik Smissaert yang mencampuri urusan
kekuasaan keraton. Sementara itu Gubernur Jendral van der Capellen meminta seluruh
tanah sewa dikembalikan kepada pemilik dengan kompensasi tertentu. Hal ini tidak
disetujui Pangeran Diponegoro karena akan membawa keraton kepada kebangkrutan atas
banyaknya tanah yang dikembalikan. Namun Smissaert berhasil meyakinkan Ratu Ageng
dan Patih Danuredjo selaku wali raja untuk memuluskan kebijakan tersebut. Keraton
terpaksa meminjam uang dari Kapitan Tionghoa untuk membayar kompensasi tersebut.

Penyebab Terjadinya Perang Diponegoro

Perang Diponegoro sendiri dapat dikatakan disebabkan oleh menguatnya pengaruh


Belanda di dalam keraton. Banyak diantara punggawa keraton yang memihak Belanda
karena mendapatkan keuntungan-keuntungan sendiri. Pangeran Diponegoro memutuskan
hubungan dengan keraton pada Oktober 1824 dan pulang ke Tegalrejo. Ia membahas
mengenai kemungkinan untuk melakukan pemberontakan pada Agustus tahun
selanjutnya. Pangeran Diponegoro menghapus pajak bagi petani untuk memberikan ruang
pembelian makanan dan senjata.

Perang akhirnya pecah ketika Smissaert, pada Mei 1825 memperbaiki jalan Yogyakarta-
Magelang melalui Tegalrejo. Patok-patok jalan ini melewati makam leluhur Diponegoro,
sehingga menyebabkan kemarahannya. Ia memerintahkan mengganti patok tersebut
dengan tombak sebagai pernyataan perang terhadap Belanda dan Keraton Yogyakarta.

Kronologi Perang

Keraton Yogyakarta berusaha untuk menangkap Diponegoro untuk mencegah terjadinya


perang. Pihak keraton merasa bahwa Diponegoro semakin fanatic terhadap
keagamaannya. Diponegoro dirasa terlalu tenggelam dan mengabaikan hubungannya
dengan keraton. Di mana ia bertugas sebagai wali raja. Kediamannya di Tegalrejo dibakar
namun pangeran dapat melarikan diri. Ia berpindah ke Kulonprogo, dan kemudian ke
Bantul. Mendirikan basisnya di Gua Selarong, dan berhasil mengajak berbagai elemen
masyarakat untuk bergabung dalam perang suci. 15 orang pangeran bergabung dengan
Diponegoro, ia juga merekrut bandit professional untuk bergabung melawan Belanda.
Perjuangan ini dibantu oleh Kyai Mojo selaku pemimpin spiritual perang, dan kemudian
Sentot Alibasah sebagai panglima perang.

Pertempuran terjadi secara terbuka bertempat di puluhan desa. Pangeran Diponegoro


menyerbu pusat-pusat kekuatan Belanda ketika musim penghujan tiba. Sementara
Belanda pada musim yang sama akan mengusahakan untuk melakukan gencatan senjata.
Masing-masing pihak menggunakan mata-mata, kurir, dan penjelajah untuk melihat
kelemahan dan peluang untuk menyerbu musuh. Jalur-jalur logistic dan pabrik mesiu
dibangun di hutan-hutan Yogyakarta. Sementara Belanda rutin melakukan penghasutan
dan provokasi di kalangan masyarakat maupun milisi Diponegoro.

Perang berlangsung secara stagnan sampai dengan tahun 1828, ketika Belanda di bawah
Jenderal de Kock menerapkan taktik Benteng Stelsel yang berfungsi untuk menjepit
pasukan Jawa. Kyai Mojo berhasil ditangkap pada tahun yang sama. Menyusul tahun
1829, Pangeran Mangkubumi dan Sentot Alibasah menyerah kepada Belanda. Pada Maret
1830, Pangeran Diponegoro yang terjepit di Magelang kemudian menyerah kepada
Belanda dengan catatan anggota-anggota laskarnya dilepaskan seluruhnya.

Akhir Perang Diponegoro

Pangeran Diponegoro yang menyerah pada Maret 1830, ditangkap dan kemudian
diasingkan ke Manado lalu dipindahkan ke Makassar. Pasukan-pasukannya yang tidak lagi
memiliki pemimpin kehilangan semangat untuk berjuang. Berakhirnya Perang Jawa ini
membawa pemimpin-pemimpin di tanah Jawa kehilangan harapan untuk melawan
Belanda. Sejak tahun 1832, seluruh raja dan bupati di Jawa menyatakan ketundukannya
kepada Belanda kecuali Bupati Ponorogo. Sehingga semakin kukuh kedudukan Belanda di
Jawa. Meski begitu perang ini mampu menewaskan 7.000 serdadu Eropa, yang membuat
Belanda semakin kesulitan untuk memenangkan Perang Padri kedua di Minangkabau.
Setelah perang berakhir, populasi Yogyakarta menyusut separuhnya. Sementara
keturunan Pangeran Diponegoro diusir dari keraton.

Demikian rangkuman mengenai Pangeran Diponegoro, pahlawan Nasional yang


memimpin Perang Jawa.

Anda mungkin juga menyukai