Anda di halaman 1dari 16

HAI, ARUNA!

“Kapan cowok lo balik?” Aruna menghembuskan napasnya mendengar pertanyaan yang


sama dari teman-temannya. Ia merasa jengah dan tidak mengerti harus menjawab
bagaimana pertanyaan mereka. Kampus tidak lagi terasa menyenangkan seperti
sebelumnya. Rasanya ia ingin kabur dari gladi bersih wisudanya ini.

“Ini udah dua minggu, na. Lo nggak capek nunggu kabar dari Bayu? Mending lo
samperin aja dari pada khawatir nggak jelas mulu. Makan hati yang ada lo tiap hari.”
Tatha gemas melihat sahabatnya hanya bisa tersenyum merespon orang-orang yang
menanyakan tentang Bayu.

Dua minggu pertama ke Bandung, Bayu masih bertukar kabar dengan Aruna. Tapi dua
minggu selanjutnya, Bayu benar-benar tidak ada kabar, bahkan media sosialnya pun
tidak pernah aktif lagi. Bayu seperti hilang ditelan Bumi. Dan itu membuat Aruna
semakin kacau.

“Gue pulang dulu. Bunda sama adek gue udah nungguin di kos.” Aruna bergegas pergi
dan mengabaikan teriakan Tatha yang terus memanggilnya. Ini akan lebih mudah jika
bundanya memberi izin Aruna untuk ke Bandung. Tapi sayang, Bandung menyimpan
kenangan buruk untuk kami, khususnya bunda.

***

Satu Bulan Lalu

“Aruna, aku dapat tawaran dari Mas Arya untuk mengelola kafenya yang ada di
Bandung, gimana menurut kamu?” Bayu mengusap lembut jilbab yang dikenakan
Aruna, tanda bahwa Bayu sedang berbicara serius kepada Aruna.

“Bandung?” Aruna masih tidak bisa bersikap biasa jika mendengar daerah itu.

“Iya, Bandung. Aku nggak mau mengambil keputusan tanpa kamu, na. Kamu udah jadi
bagian dari rencana masa depanku. Dan aku nggak mau kalau keputusan yang aku ambil
sendiri bakal bikin kamu kecewa.” Bayu menatap Aruna dalam, menunjukkan betapa
Bayu begitu menyayangi Aruna.
“Makasih ya Bayu, kamu selalu memberikan aku bagian dalam hidup kamu. Itu bikin
aku istimewa banget.” Aruna tersenyum kepada Bayu, menjeda ucapannya.

“Jujur aja ya Bay, aku nggak siap kalau harus LDR sama kamu. Tapi sikap kamu yang
selalu berusaha menghargai aku, itu bikin aku nggak mau egois juga. Kamu aja selalu
mentingin aku. Jadi, aku nggak mau kalau aku malah menghambat jalan kamu.”

“Jadi kamu setuju kalau aku ambil kerjaan itu?” Bayu mencari kepastian dari jawaban
Aruna.

“Iya Bay, lagian, kamu juga pinter ngeracik kopi. Aku yakin kafenya Mas Arya bakal
lebih rame kalau kamu gabung sama mereka. Aku justru bangga sama kamu. Itu artinya
kamu benar-benar bisa dipercaya, Bay. Dan mungkin aja ke depannya, kamu bisa buka
coffee shop sendiri, seperti impian kamu.” Aruna menatap mata Bayu, meyakinkan
kalau dia tidak keberatan dengan kepergian Bayu.

“Makasih ya, Aruna. Kamu selalu mendukung apa yang aku lakukan.” Bayu
menggenggam tangan Aruna “Aku janji bakal terus ngasih kabar ke kamu, nggak bakal
macem macem di sana dan sehari sebelum wisuda, aku bakal balik ke Jakarta.”

“Iya, Bay. Aku percaya sama kamu.” Aruna menggenggam balik tangan Bayu, berusaha
meyakinkan dirinya. “Awas aja kalau kamu berani macem-macem ya di sana. Gini-gini
aku bisa galak loh hahaha.”

“Bawel banget sih kamu. Pacarnya siapa coba hahaha” Bayu memegang hidung Aruna
gemas, selalu saja begitu ketika sudah membicaraka hal yang serius.

“Aku sayang sama kamu, Aruna. Aku bakal jaga hati di sana. Dan aku harap, kamu juga
bersedia menunggu aku untuk pulang.” Bayu tetap menggenggam tangan Aruna,
meyakinkannya kalau perasaannya akan tetap sama sampai kapanpun.

Aruna tau, Bayu juga merasakan kekhawatiran seperti dirinya. Jakarta-Bandung


sebenarnya tidak terlalu jauh. Hanya saja Aruna belum siap-tidak pernah siap-untuk
terpisah jarak dengan Bayu. Ini adalah pertama kalinya dan Aruna takut kehilangan
Bayu. Tapi Aruna tidak bisa menahan Bayu di sisinya. Hal seperti ini pasti akan terjadi.
Dan Aruna sadar ini juga untuk kebaikan semua, untuk masa depan mereka.
***

Pagi ini Aruna tampil anggun dengan kebaya brokat berwarna biru muda pemberian
bundanya. Ditambah dengan jilbab biru laut yang mampu memancarkan kelembutan
dari wajahnya.

Kebahagiaannya terasa lengkap dengan mama dan adeknya yang turut serta menghadiri
wisuda Aruna. Meskipun ayahnya tidak lagi peduli, Aruna sudah tidak
mempermasalahkan hal itu. Toh, hidup harus terus berjalan. Ayahnya sudah bahagia
dengan keluarga barunya dan Aruna tidak mau terlibat lagi dengan mereka.

“Kamu dimana Bayu?” Aruna bermonolog kepada dirinya, masih saja berusaha
menghubungi Bayu tapi hasilnya selalu sama, nomornya masih tidak aktif. Aruna hanya
berharap Bayu akan menepati ucapannya dan menghadiri wisuda bersamanya, salah
satu wishlist mereka berdua. “Lo gapapa kak? Dari tadi gue perhatiin lo ngeliatin hp
mulu.” Aruna menoleh dan tersenyum kepada Arsya, adeknya.

“Sok khawatir banget sih lo. Pasti ada maunya nih.” Aruna berusaha tertawa sambil
mencubit pipi adeknya gemas. Ia tidak mau membuat adeknya cemas.

Aruna tersadar jika waktu berlalu begitu cepat. Kini Arsya yang selalu berusaha
melindungi Aruna dan bundanya. Bukan lagi bocah ingusan yang cuma tau main dan
permen. “Lo itu bikin kadar ketampanan gue berkurang deh kak. Untung gue sayang
sama lo hahaha” Aruna memutar bola matanya menanggapi ucapan adeknya yang super
duper pede itu.

“Kalian berdua ini, berantem aja kalau ketemu. Itu taksinya udah nunggu dari tadi. Ayo
cepetan” Bundanya gerah melihat Aruna dan Arsya selalu ribut seperti itu.

Aruna segera mengambil tas di kamarnya. Itu adalah tas pemberian Bayu, sebagai kado
ulang tahun Aruna bulan lalu. “Tapi kamu bohong, Bayu.”

Aruna menangis mengingat perkataan Bayu. Bayu tidak menepati janjinya untuk pulang
sehari sebelum pelaksanaan widuda. Ini adalah pertama kalinya Bayu ingkar terhadap
janjinya. Dan Aruna tidak mengerti alasan di balik itu semua. Bahkan keluarga Bayu
hanya diam ketika Aruna selalu bertanya keberadaan Bayu.
Mamanya selalu menatap Aruna sendu dan terus menerus meminta maaf kepada Aruna
tanpa memberikan penjelasan apapun. Beberapa kali Aruna mendatangi rumah Bayu
dan tetap sama. Begitu pula dengan teman dekat Bayu yang terus mengatakan tidak tau.

***

“Nada Aruna!” Tatha menepuk keras pundak Aruna “Lo budek apa gimana sih
haaa??!!! Gue paggil dari tadi, bukannya berhenti malah jalan terus.” Tatha sadar ada
yang tidak beres dengan sahabatnya. Bayu masih belum kembali hingga sekarang.

“Gue mau nyusul Bayu ke Bandung.” Aruna tidak bisa menunggu tanpa kepastian
seperti ini. Ini sudah satu minggu setelah wisuda dan Aruna masih belum tau kabar
tentang Bayu. Aruna tidak mau dihantui pikiran buruk terus menerus. Benar kata orang,
berhubungan jarak jauh tidak pernah mudah untuk dijalani.

Bukan Aruna tidak percaya pada Bayu. Selama ini Bayu tidak pernah macam-macam
kepada Aruna atau dekat dengan perempuan manapun. Meskipun sikapnya begitu supel
dan aktif berkegiatan di kampus tetapi Bayu selalu bisa memberikan batasan-batasan
untuk dirinya. Hal itu yang membuat Aruna begitu nyaman dengan Bayu.

Bayu juga yang setahun terakhir selalu ada di sisinya. Membantunya mencari bahan
untuk skripsi. Menghibur dan menyemangati Aruna ketika ia sedang sedih atau ingin
menyerah. Mengantar jemput kuliah dan memberikan hadiah-hadiah kecil untuknya,
meski ia tidak pernah minta sama sekali. Hanya saja Aruna juga seperti perempuan pada
umumnya, dia sayang pada Bayu dan tidak mau kehilangan Bayu.

“Lo serius?” Tatha kaget mendengar ucapan sahabatnya, pasalnya Aruna selalu
menolak ketika diajak ke Bandung, yang baru-bari ini Tatha tau alasannya. Itupun
setelah Tatha memaksa Aruna untuk bercerita.

“Lo temenin gue ya, Tha. Bunda pasti bakal ngebolehin kalau gue perginya sama lo.”
Aruna sudah memikirkan matang-matang rencananya ke Bandung. Aruna harus
mengetahui keberadaan Bayu.

Tatha tau bagaimana Aruna begitu menyayangi Bayu. Aruna pernah merasakan patah
yang begitu dalam, oleh cinta pertamanya, ayahnya. Sosok yang seharusnya menjadi
roll model bagi Aruna dalam menemukan seseorang yang nantinya akan menemaninya.
Namun justru mengkhianati dia dan keluarganya.

Aruna sadar bahwa tidak semua pengharapan akan menjadi kenyataan. Keluarganya
tidak lagi utuh. Bundanya tidak seceria dulu dan Arsya beberapa kali diam-diam
menangis di kamarnya.

Bundanya sampai memohon di kaki ayahnya agar tidak meninggalkan mereka. Namun
ayahnya begitu acuh dan memilih kembali dengan masa lalunya, mantan pacarnya saat
SMA. Mereka tidak sengaja bertemu di Bandung saat ayahnya dipindah tugaskan
selama satu minggu di kantor cabang. Kemudian ayahnya kembali berhubungan dengan
mantannya dan menjadi lebih sering ke Bandung.

Bundanya tidak ingin percaya tetapi semua sudah tersaji jelas di hadapannya.
Bagaimana ayah Aruna lebih memilih makan malam bersama mantannya dari pada
merayakan hari kelulusan SMA Aruna.

Aruna juga melihat bagaimana bundanya berjalan begitu tenang dan menghampiri
mereka berdua dengan pandangan kecewa. Sedangkan ayahnya tidak berusaha
menyangkal apa yang sedang dilakukannya. Sejak saat itu, Bandung terasa begitu
menyakitkan untuk Aruna dan bundanya.

Aruna sangat marah kala itu. Ia baru saja lulus SMA ketika ayahnya memutuskan untuk
bercerai dengan bundanya. Aruna bahkan sempat tidak ingin melanjutkan kuliah, segala
rancangan yang dia buat adalah dengan ayahnya. Hal itu yang semakin membuat semua
terasa begitu menyedihkan. Ia tidak mau kuliah dalam bayang-bayang ayahnya. Itu
adalah sakit hati yang Aruna tidak tau bagaimana cara menyembuhkannya.

Tetapi bundanya menguatkannya, mengatakan bahwa ia layak untuk meraih masa depan
yang lebih baik. Ia harus menunjukkan bahwa ia bisa tanpa ayahnya. Ada bunda dan
adeknya yang selalu ada untuk Aruna, bagaimanapun keadaan Aruna. Itu juga yang
membuat Aruna sulit membuka diri ketika awal-awal kuliah. Hingga Tatha yang
pertama mendekatinya dan menawarkan susu pisang kesukaan Aruna.

Perlahan Aruna bisa membuka diri dengan lingkungannya. Ia juga aktif dalam
berorganisasi, semata-mata ia lakukan untuk menyibukkan dirinya dan tidak lagi
memikirkan tentang ayahnya. Ia juga memilih tinggal di kos karena jika tetap berada di
rumah, itu hanya akan membuatnya terus teringat dengan kesakitan yang ia rasakan.
Bundanya tidak menolak saat itu, justru meminta maaf kepada Aruna dan lagi-lagi
menyalahkan dirinya. Terasa lebih sakit melihat bundanya berusaha tegar di depannya.

“Lo tenang aja, gue bakal siap sedia buat lo. Dan gue jamin, Bandung nggak bakal
mengecewakan lo lagi.” Tatha memeluk Aruna, memberikan kekuatan untuknya.

Tatha juga mengetahui begitu besar harapan Aruna terhadap Bayu. Tidak mudah bagi
Aruna membuka hati untuk Bayu. Begitu pula Bayu yang tidak pernah menyerah dalam
mendekati Aruna. Bayu adalah laki-laki pertama yang berhasil menempati hati Aruna.

Mereka bertemu dalam acara Bazar Amal yang diselenggarakan oleh fakultas Aruna.
Kala itu, Aruna menjual baju buatan bundanya yang hasilnya akan didonasikan kepada
panti asuhan dan lembaga amal di sekitar kampusnya. Kemudian, salah satu teman Bayu
membeli baju yang dijualnya dan itu adalah pertemuan pertama Aruna dengan Bayu.

Bayu yang notabene adalah mahasiswa Fakultas Teknis justru menjadi lebih sering
berkunjung ke Fakultas Ekonomi untuk mencari Aruna. Tidak satu dua kali Bayu
berusaha menemui Aruna, hampir tiap hari malah. Bayu selalu beralasan ingin
membelikan baju untuk mama dan kakaknya di butik bundanya Aruna.

Bayu juga tidak pernah melontarkan rayuan apapun kepada Aruna. Ia justru berusaha
membuat Aruna nyaman dengan kehadirannya. Bayu adalah sosok yang benar-benar
gencar mendekatinya, tak peduli meskipun Aruna acuh kepadanya. Hal itu yang
membuat Aruna mulai bisa menerima kehadiran Bayu.

Bohong jika Aruna tidak tertarik kepada Bayu. Segala sikap dan perhatian Bayu
akhirnya mampu meluluhkan hatinya setelah hampir dua bulan Bayu mendekatinya. Ini
adalah pertama kalinya Aruna berpacaran dan ia selalu berharap bahwa Bayu adalah
sosok yang berbeda dengan ayahnya. Bayu pula yang perlahan membuatnya benar-
benar berdamai dengan masa lalu dan lebih percaya dengan adanya cinta.

“Thank you, Tha. Lo nggak ada duanya emang hahaha.” Aruna tau, masih banyak
orang-orang yang sayang kepadanya dan ia merasa beruntung memiliki sahabat seperti
Tatha. Semoga Bandung membawa kebahagiaan kali ini.
***

“Lo yakin ini tempatnya, na?” Aruna dan Tatha sedang berdiri di depan sebuah kafe,
yang menurut Aruna adalah milik sepupu Bayu.

“Bener kok. Liat tuh tulisannya, Aryasa Cafe.” Bayu sempat memberitau Aruna tempat
di mana ia akan bekerja. Aruna beryukur bisa menemukan tempat ini. Ia tidak akan
membiarkan usahanya menjadi sia-sia. Mendapat izin dari bundanya saja harus
memohon sehari semalam.

“Aku nggak sabar ketemu sama kamu, Bayu.” Aruna bergumam sambil tersenyum.

“Yaudah, tunggu apa lagi. Gue juga udah haus banget nih hehehe.” Aruna
menggandeng tangan Tatha dan kemudian masuk ke dalam kafe. Jujur saja, Aruna
menjadi berkeringat dingin berada di dalam kafe ini. Jantungnya terus saja berpacu,
membuatnya semakin tidak tenang. Bahkan dinginnya AC tidak berpengaruh sama
sekali untuknya.

Kafe ini belum terlalu ramai, hanya terlihat beberapa pengunjung yang sedang
mengobrol santai sambil menikmati minuman dan camilan, mungkin karena waktu
masih menunjukkan pukul 10.30. Mereka berdua masih terdiam di dekat pintu masuk,
bingung bagaimana cara bertemu dengan Bayu.

“Permisi, ada yang bisa saya bantu?” Salah satu pegawai kafe menghampiri Aruna dan
Tatha. Mungkin dia bisa melihat kebingungan di wajah keduanya.

“Apa saya bisa bertemu dengan Bayu, mas?” Aruna berusaha menanyakan keberadaan
Bayu. Seharusnya Bayu memang ada di sini.

“Mas Bayu sedang berada di lantai dua mbak dari tadi. Mbak bisa langsung naik ke atas
lewat tangga di sana. Tetapi sepertinya Mas Bayu sedang tidak ingin diganggu.” Aruna
bersyukur karena Bayu benar-benar ada di sini. Aruna tidak akan membiarkan Bayu
lolos kali ini, dia berhutang banyak penjelasan kepada Aruna.

“Terima kasih, mas.”

“Baik mbak, saya tinggal dulu.” Pegawai itu pun kembali ke tempatnya.
“Lo tunggu di sini aja ya, Tha. Biar gue ke atas sendiri.” Aruna ingin bertemu baik-baik
dengan Bayu. Jika Tatha ikut ke atas, ia takut kalau Tatha akan meluapkan emosinya
jika bertemu dengan Bayu.

“Yaudah deh. Gue mau pesen minum dulu ya. Gue duduk di deket jendala situ.” Aruna
hanya mengangguk menanggapi ucapan Tatha.

Aruna berulang kali meremas tas slempangnya. Ia berjalan perlahan menaiki tangga. Ia
merasa gugup. Sudah satu bulan lebih, ia tidak bertemu dengan Bayu. Ia berusaha
memasang senyum terbaiknya. Aruna hampir mencapai ujung tangga, ia pun
mendongakkan kepala dan senyumnya luntur seketika.

Aruna merasa dejavu melihat pemandangan di depannya. Ia seperti terhantam dinding


waktu. Memaksanya mengingat kembali kejadian paling pahit di hidupnya. Aruna tidak
menyangka bahwa kini, ia merasakan dengan jelas bagaimana posisi bundanya. Aruna
semakin meremas tas slempangnya, menyalurkan kesakitan yang ia rasakan.

Tidak. Tidak. Aruna tidak boleh berpikiran yang aneh-aneh. Bayu tidak mungkin
menyakitinya. Bayu sayang padanya, teramat sayang dan Aruna yakin akan hal itu. Ia
harus memastikan kebenarannya dari mulut Bayu sendiri. Aruna berusaha menenangkan
dirinya dan perlahan mendekati Bayu yang sedang makan dengan seorang perempuan
yang tidak Aruna ketahui siapa itu.

“Bayu.” Aruna tidak yakin, apakah suaranya benar-benar terdengar atau tidak.

Dua orang di hadapannya mendongak mendengar suara di depannya. Mereka terkejut


dengan kehadiran Aruna yang tiba-tiba, terutama Bayu. “Aruna?”

Aruna langsung menduduki kursi kosong di samping Bayu, ia mengarahkan dirinya


sepenuhnya untuk menghadap Bayu. “Kamu kenapa ngilang gitu aja sih, Bay? Kenapa
nggak ada kabar sama sekali? Aku khawatir banget sama kamu, Bay. Aku kangen.”
Aruna berusaha mengatur suaranya, ia yakin Bayunya tidak pernah berubah.

“Lo cuma buang-buang waktu di sini.” Aruna terkejut mendengar ucapan Bayu. Ini
adalah pertama kalinya Bayu memanggil Aruna seperti itu.
“Maksud kamu apa, Bay? Aku nggak ngerti.” Aruna masih berusaha meyakinkan
dirinya, semua masih baik-baik aja.

Bayu menatap Aruna sengit. “Lo polos atau gimana haa?! Harusnya lo paham, kenapa
gue nggak pernah ngehubungin lo lagi. Gue bosen sama lo. Ngerti?!”

Bayu menggengam tangan perempuan di depannya, menunjukkan di depan Aruna. “Ini


Indah, pacar gue. Lo lihat kan, ada hati yang harus gue jaga sekarang. Dan itu bukan lo.
Jadi, gue mau lo pergi dari sini sekarang!!”

Beberapa waktu lalu, Aruna masih mengharapkan bertemu dengan Bayu. Aruna
berusaha mengenyahkan segala pikiran buruk yang dirasakannya. Beberapa menit lalu,
Aruna masih tersenyum begitu hangat untuk bersiap bertemu dengan Bayu. Beberapa
detik lalu, Aruna berharap bahwa apa yang dilihat dan didengarnya bukanlah kenyataan.
Tetapi detik ini, semua terasa begitu jelas, amat jelas.

Aruna tidak lagi bisa menahan tangisnya, pertahanan dirinya hancur sudah. “Kenapa,
Bayu? Kenapa kamu tega ngelakuin ini sama aku? Apa salah aku? Bilang kalau aku
punya salah, nggak kayak gini caranya, Bay.” Bayu masih saja diam, bahkan
memalingkan muka, enggan menatap Aruna.

“Kamu tau Bayu, aku pernah ngerasain gimana sakitnya kehilangan sosok ayah karena
hadirnya perempuan lain. Aku menjadi susah buat percaya sama orang lain, terutama
laki-laki. Aku trauma, Bay. Tapi kemudian kamu datang di hidup aku, meyakinkan aku
kalau kamu berbeda dengan ayah. Kamu yang buat aku percaya kalau cinta itu beneran
ada. Kamu buat aku nyaman dan bergantung sama kamu. Sampai aku nggak pernah bisa
bayangin, gimana kalau aku harus kehilangan kamu.”

Aruna menangis terisak, rasanya begitu sesak, ia masih tidak percaya. “Tapi justru
kamu yang menghadirkan kembali trauma itu, Bay. Kamu membuat aku membuka luka
lamaku lagi. Bahkan terasa lebih menyakitkan kali ini.” Aruna tidak mengerti harus
bagaimana sekarang, air matanya tidak bisa ia kendalikan.

“Lihat aku, Bayu! Tatap mata aku! Bilang kalau yang kamu katakan barusan itu
bohong. Bilang, Bay!”
Sekali lagi, Bayu menatap Aruna, begitu nyalang. “Dengerin baik-baik omongan gue.
GUE MAU KITA PUTUS, ARUNA! Gue muak sama sifat lo yang munafik itu. Asal lo
tau, gue cuma penasaran sama lo. Gue nggak pernah bener-bener sayang sama lo.”

Aruna sadar, hidupnya kini tidak akan sama lagi. Segala kesakitan seolah menyatu
menjadi satu, menghantamnya begitu kuat. Terasa sangat sesak dan Aruna tidak tau
bagaimana menghadapi situasi di depannya ini.

“Cuma penasaran? Hahahahaha, lucu banget tau, Bay. Aku… aku..” Aruna tidak tau
harus berbicara apa lagi. Lidahnya terasa kelu, bahkan bibirnya terus saja bergetar.
Aruna sudah tidak sanggup lagi. Sudah cukup! Ia tidak mau berada lama-lama di sini.
Rasanya begitu pengap. Ia butuh bernapas.

Aruna segera membalikkan badan dan meninggalkan mereka berdua. Semua sudah
hancur. Hatinya benar-benar hancur sekarang. Aruna tidak mengerti apakah hatinya bisa
kembali utuh. Semua terasa abu-abu sekarang. Kepercayaannya hilang tak bersisa.

Ia segera turun ke bawah dan langsung keluar kafe menuju mobil milik Tatha. Ia tidak
peduli jika harus menjadi tontonan pengunjung kafe yang mulai ramai, bahkan
mengabaikan panggilan Tatha dari tempat duduknya.

“Bunda, maafin Aruna. Bandung tidak pernah terasa menyenangkan sampai kapanpun.”
Aruna terus saja menangis, ia ingin berhenti tapi semesta seolah tak mengizinkannya.

“Lo kenapa nangis kayak gini, na? Bilang sama gue. Pasti Bayu kan?!” Tatha hendak
keluar mobil untuk menghampiri Bayu. Tetapi Aruna segera menahannya.

“Pulang, Tha. Gue mau pulanng, sekarang. Please, Tha.” Aruna memohon kepada
Tatha, ia sudah tidak kuat. Dan Tatha hanya bisa menyetujui permintaan Aruna,
menunggu Aruna tenang dan bersedia menceritakan semuanya kepadanya.

***

Sudah satu minggu berlalu sejak kejadian Aruna dan Tatha ke Bandung. Tetapi Aruna
masih mengurung diri di kamarnya, enggan keluar. Makan hanya sehari sekali, itupun
setelah dipaksa oleh Arsya. Aruna masih sering menangis diam-diam, hingga ia lelah
dan kemudian tertidur. Membuat siapa saja yang melihatnya, turut merasakan.
“Kak?” Aruna masih terdiam ketika Arsya terus memanggilnya dari balik pintu
kamarnya.

Arsya pun masuk ke dalam kamar Aruna dan menghela napas panjang. “Sampai kapan
lo mau kayak gini kak?” Arsya berucap lemah. Ia tidak tau bagaimana cara agar dapat
membujuk kakaknya.

“Bayu brengsek!” Arsya geram dengan pacar, ralat-mantan pacar-kakanya itu. Selama
ini Arsya berusaha percaya kepadanya dengan melepaskan kakaknya kepada Bayu.
Rasanya Arsya ingin menghajar habis-habisan cowok brengsek itu. Bahkan itu tetap
tidak sebanding dengan kesakitan yang dirasakan kakaknya. Tetapi bundanya melarang
menemui Bayu, membuat Arsya semakin kesal.

“Ada kak Tatha di ruang tamu, lo mau keluar sendiri atau dia yang ke kamar lo?” Aruna
melihat Arsya, berusaha tersenyum. “Tatha suruh tunggu di ruang tamu aja. Dia udah
ngabarin kalau mau ngajak gue keluar. Gue mau siap-siap dulu.”

Arsya begitu senang mendengar ucapan kakaknya. Ini adalah awal yang bagus.
Setidaknya kakaknya tidak mengurung di kamar lagi. “Siap komandan. Lo harus tampil
cantik hari ini. Gue bosen ngeliat lo buluk mulu” Arsya mengurai tawanya dan dibalas
senyuman lebar oleh Aruna. Arsya tau, kakaknya sedang berusaha baik-baik saja.

***

“Lo harus cobain ayam bakar disini, na. Sumpah, ini tuh enak banget. Adek gue aja
selalu nambah kalau gue ajak kesini.” Tatha mengajak Aruna ke rumah makan di dekat
rumahnya. Tatha tau, Aruna suka sekali dengan ayam bakar.

“Bayu juga suka ayam bakar, Tha” Aruna menunduk melihat piring di hadapannya.

“Na, gue …” Tatha lupa satu hal, Aruna suka ayam bakar karena sering diajak Bayu
makan ayam bakar setiap kali mereka jalan bareng.

“Gue mau ke toilet dulu dan lo di sini aja. Gue bisa sendiri, Tha.” Aruna berusaha
mencegah Tatha yang hendak berdiri. Ia tersenyum meyakinkan Tatha.

***
Aruna baru saja keluar dari toilet dan hendak kembali ke mejanya. Tetapi pemandangan
di depannya menghentikan langkahnya. Jarak satu meja dengan posisi Aruna berdiri, ia
melihat perempuan yang waktu itu bersama dengan Bayu di Bandung. Ia sedang duduk
dengan Kak Nanda, yang membelakanginya.

Aruna tidak bisa acuh begitu saja, apalagi setelah mendengar ucapan perempuan itu.
“Aruna masih belum tau?”

“Belum, ndah. Bayu masih aja kepala batu. Dia nggak mau Aruna tau kalau sebenernya
dia abis kecelakaan. Sumpah ya, gue gedeg banget sama adek gue. Lo tau sendiri kan,
ini justru sama-sama nyakitin mereka berdua. Gimana terapinya mau berhasil, kalau dia
aja nggak punya semangat hidup kayak gitu. Masih cinta aja sok sok an minta putus.”
Ucap Nanda menyampaikan unek-uneknya kepada Indah, sahabatnya.

“Gue juga ngerasa bersalah sama Aruna. Ini tuh cuma salah paham. Ucapan Bayu di
kafe itu bener-bener keterlaluan banget. Bisa-bisanya dia bilang gue pacarnya. Dan lo
tau dia bilang apa setelah gue marah-marahi dia?” Indah menjeda ucapannya “Gue
nggak mau Aruna ngabisin waktunya sama orang lumpuh kayak gue. Nunggu kaki gue
bener-bener sembuh, itu cuma bikin dia susah. Gue nggak mau ngehambat masa depan
dia, cuma karena gue.” Indah menyudahi ucapannya.

“Gue bener-bener nggak ngerti sama jalan pikiran adek lo. Seandainya gue bisa ketemu
Aruna, gue bakal bilang yang sejujurnya.” Nanda juga sepemikiran dengan sahabatnya
tetapi Bayu selalu mewanti-wanti dia untuk tidak memberitau Aruna.

Aruna membalikkan badannya, ia tidak kuat mendengar percakapan dua orang itu.
“Jadi, selama ini..” Aruna berusaha menahan tangisnya dengan tangannya. Satu sisi
Aruna senang bahwa Bayu masih mencintainya. Tapi di sisi lain, Aruna merasa sangat
bersalah, Bayu kecelakaan dan Aruna justru tidak ada di sampingnya.

Ia kemudian menghampiri meja Nanda dan perempuan itu. “Tolong jelasin semuanya
sama aku, kak, please.” Ucap Aruna masih dengan tangis di wajahnya.

“Aruna?” Ucap Nanda dan Indah serempak, mereka saling pandang, terkejut dengan
kehadiran Aruna yang tiba-tiba.
***

“Lo dimana sih, na?! Gue cari-cari di resto nggak ada. Jangan aneh-aneh ya lo.” Ucap
Tatha geram di ujung sana.

“Tha, sorry banget, lo pulang duluan aja ya. Gue masih ada urusan. Lo nggak perlu
khawatir, gue baik-baik aja.” Aruna menelepon Tatha dan langsung mematikannya
begitu ia selesai bicara. Tatha akan menerornya dengan banyak pertanyaan jika Aruna
tidak mematikan teleponnya. Ada yang lebih penting sekarang.

“Itu Bayu.” Tunjuk Nanda pada seseorang di dalam ruangan kaca transparan. “Udah dua
minggu Bayu coba buat terapi jalan tapi masih belum ada kemajuan yang berarti.”

“Kenapa, kak? Kenapa kalian sembunyikan ini semua dari aku?” Nanda menuntun
Aruna untuk duduk di kursi dekat koridor rumah sakit.

“Sebelumnya kakak minta maaf sama kamu, na. Ini semua permintaan Bayu dan kami
nggak bisa menolaknya.” Nanda menggenggam tangan Aruna, menatapnya dalam.

“Waktu itu hari Kamis, tepat dua minggu Bayu berada di Bandung. Dia ngasih kabar ke
kakak kalau dia bakal pulang ke Jakarta karena kebetulan lagi libur dua hari. Dia
kangen banget sama kamu, na. Dan dia bilang kalau mau ngasih cincin ke kamu karena
dia berhasil dapat klien untuk kerja sama dengan kafenya Arya.” Nanda berusaha
menahan tangisnya. Jujur, ia sangat sedih jika harus mengingat hal ini.

“Aku nggak tau kalau posisi Bayu waktu telepon kakak itu lagi di trotoar, habis beli
bubur ayam katanya. Semua masih baik-baik aja, sampai tiba-tiba Bayu teriak cincin
cincin gitu. Awalnya kakak nggak sadar tapi setelah itu..” Nanda menjeda ucapannya,
berusaha mengingat kronologi kejadiannya.

“Aku denger suara tabrakan yang cukup keras, na. Teriakan Bayu. Dan orang-orang
yang terus bilang tolong tolong dan ambulance.” Nanda tidak tahan lagi, ia membiarkan
dirinya menangis lagi.

Aruna menguatkan genggamannya di tangan Nanda. Ia terkejut mendengarkan semua


fakta-fakta itu.
“Setelah itu, kami langsung pergi ke Bandung untuk mengetahui keadaan Bayu. Mama
pingsan setelah tau kalau kaki kanan Bayu patah karena mengalami cidera yang sangat
serius. Bayu harus tinggal di rumah sakit selama seminggu. Dia begitu terpuruk, apalagi
setelah tau kalau dia harus pake kursi roda selama beberapa waktu.”

Aruna tidak bisa menahan tangisnya. Ia semakin merasa bersalah dengan Bayu.

“Dia cinta banget sama kamu, na. Bayu selalu meminta kami untuk tidak memberi tau
kamu tentang keadaannya. Dia nggak mau bikin kamu sedih dan cemas dengan
kondisinya. Dia bilang kalau kamu bakal fokus untuk mengembangkan butik milik
bunda kamu. Dan dia nggak mau menghambat jalan kamu. Itu sebabnya dia bersikap
kasar di kafe waktu itu, biar kamu benci sama Bayu dan mudah ninggalin Bayu.”

Aruna menatap Bayu dari tempat duduknya. Bayu benar-benar keterlaluan, membiarkan
dirinya sendiri menghadapi saat-saat terpuruknya. Aruna meninggalkan Nanda dan
berlari menuju ruangan di mana Bayu terapi. Ia membuka pintu tersebut dengan tergesa-
gesa dan menghampiri Bayu. “Aruna?!” Pekik Bayu terkejut.

“Kamu jahat Bayu. Kenapa kamu ngebiarin diri kamu terluka sendiri tanpa aku?
Kenapa kamu bikin aku berpirikan buruk tentang kamu? Kenapa Bayu?” Aruna
berusaha meluapkan keluh kesahnya.

Bayu kembali duduk di kursi rodanya dan menghampiri Aruna. “Maksud lo apa sih?”

“Aku udah tau semuanya, Bayu. Kamu nggak perlu tutupin semua ini dari aku lagi.”
Aruna menyamakan tingginya dengan Bayu, menggengam tangan Bayu.

Bayu menunduk. “Kamu bisa dapetin laki-laki yang lebih baik dari aku, Aruna. Yang
masa depannya lebih cerah. Bukan yang nggak guna kayak aku gini.”

“Kamu salah, Bay. Aku bakal lebih hancur kalau nggak ada kamu. Kamu masih bisa
sembuh Bayu, kita punya masa depan yang cerah.” Aruna berusaha tersenyum,
meyakinkan Bayu. Aruna tau, Bayu sedang tidak percaya diri sekarang.

“Tapi ini bakal butuh waktu yang lama, Aruna. Dokter aja nggak bisa memastikan
terapi ini harus dilakukan sampai kapan.” Bayu menatap Aruna lama, ia sangat rindu
dengan wanitanya. Ini di luar rencananya. Seharusnya Aruna tidak boleh merasakan
kesakitan yang ia rasakan.

“Dengerin aku, Bay. Semua yang terjadi sama kita itu udah ada takdirnya masing-
masing. Kita sebagai manusia cuma perlu mengusahakan yang terbaik. Selebihnya kita
serahkan pada Tuhan. Kamu nggak boleh meragukan kuasa-Nya, Bayu.”

Aruna berharap Bayu mau mendengarkannya. “Aku pernah ngerasain sakitnya


kehilangan cinta dari ayah, Bay. Dan aku nggak mau kalau harus kehilangan kamu juga.
Kita udah janji bakal menghadapi apapun masalah yang ada. Dan aku nggak bakal
ninggalin kamu, gimanapun kondisi kamu. Aku sayang banget sama kamu, Bayu.”

Aruna tidak tahan lagi, air matanya tumpah. Melihat Bayu berulang kali terjatuh ketika
terapi tadi membuatnya lebih sakit.

Bayu menghapus air mata Aruna, ia memajukan dirinya dan memeluk Aruna. “Aku juga
sayang banget sama kamu, na. Berat banget buat aku untuk melepas kamu.”

Aruna menguraikan pelukan mereka berdua. “Makanya jangan bilang putus putus lagi.
Aku nggak bisa berhenti nangis tau mikirin kamu.” Aruna melaporkan unek-uneknya,
memanyunkan bibirnya, sebal terhadap sikap Bayu.

“Dasar cengeng.” Bayu menguraikan tawanya. Kemudian, ia tersenyum kepada Aruna.


“Aku minta maaf ya, Aruna. Aku janji nggak bakal bikin kamu nangis lagi.”

Aruna tersenyum malu-malu. “Kamu juga harus janji untuk rajin terapi dan nggak boleh
patah semangat. Ada banyak orang yang sayang sama kamu, Bay. Kamu harus percaya
kalau kamu bisa sembuh dan kembali kayak dulu lagi. Aku bakal selalu ada buat kamu.”

“Makasih Aruna. Aku sayang banget sama kamu. Aku beruntung banget bisa dapetin
perempuan sebaik kamu. Meskipun cengeng hahaha.” Aruna memukul pelan tangan
Bayu dan ikut tertawa.

Aruna bersyukur bisa kembali bersama dengan Bayu. Aruna harus berterima kasih
kepada Tatha karena sudah mengajaknya makan ayam bakar. Aruna tidak tau
seandainya ia tidak bertemu dengan Kak Nanda, maka selamanya ia akan salah paham
kepada Bayu tanpa mengetahui kebenaran yang sesungguhnya.
***

“Semangat, Bayu!” Aruna tidak pernah absen menenamani Bayu terapi. Itu menjadi
rutinitasnya selain butik bundanya. Semua sudah kembali seperti semula, bundanya dan
Arsya justru semakin mendukung hubungannya dengan Bayu. Bahkan Tatha tidak
berhenti menangis ketika Aruna menceritakan keadaan Bayu.

“Hai, sayang.” Bayu senang menggoda Aruna. Pipinya akan bersemu merah dan itu
semakin membuat Bayu gemas terhadapnya.

“Ihh, malu tau, Bay.” Kemudian mereka berdua tertawa bersama.

“Makasih ya, na. Kamu tetap mau bertahan sama aku sampai sekarang. Dokter bilang,
aku bisa melepas kruk setelah melihat hasil terapi bulan depan.” Bayu tersenyum
kepada Aruna, memamerkan lesung pipinya.

“Tuh kan, aku yakin kamu pasti bisa sembuh. Dokter juga bilang kalau perkembangan
kamu cukup pesat, bukan? Dan ini termasuk yang jarang terjadi.” Aruna tau, mukjizat
itu selalu ada.

“Ini juga karena kamu, yang nggak bosen buat ceramahi aku.” Bayu mencubit hidung
Aruna gemas. Ia menguraikan tawanya begitu lepas melihat wanitanya cemberut.

“Curang ihh, mentang-mentang aku pesek. Bodoh ahhh, aku ngambek pokoknya.” Bayu
menggenggam tangan Aruna, mendekatkan dirinya dan membisikkan sesuatu kepada
Aruna. Lantas, membuat pipi Aruna bersemu merah, sekali lagi.

Aruna paham, Tuhan tidak serta merta memberikan kesedihan tanpa obat penawarnya.
Mungkin ia ingin menunjukkan betapa kebaikan selalu ada untuk hamba-Nya yang
sabar dan tidak mudah putus asa.

Aruna juga sadar bahwa cinta benar-benar ada. Kehilangan cinta satu kali, tidak akan
membuatnya kehilangan cinta dari keluarga dan orang-orang di sekelilingnya. Cinta
tidak serta merta tumbuh dan hilang begitu saja. Tetapi cinta mampu menunjukkan
betapa kita memiliki seseorang yang harus dijaga dan akan menjaga kita.

*SELESAI*

Anda mungkin juga menyukai