Anda di halaman 1dari 14

1

TUGAS REVIEW JURNAL

 TEORI ILMU KOMUNIKASI


TEORI AKOMODASI
 
 
 
 

DISUSUN OLEH :

Oleh :

AMARUDDIN

C1D119133

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL ILMU POLITIK

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2021
2

Akomodasi Komunikasi

TEORI AKOMODASI KOMUNIKASI

Akomodasi didefinisikan sebagai kemampuan untuk menyesuaikan, memodifikasi, atau mengatur


perilaku seseorang dalam responnya terhadap orang lain.Akomodasi biasanya dilakukan secara tidak
sadar. Kita cenderung memiliki naskah kognitif internal yang kita gunakan ketika kita berbicara dengan
orang lain. (West Richard & Tunner Liynn H, 2007, 217).

Teori ini dikemukakan oleh Howard Giles dan koleganya, berkaitan dengan penyesuaian interpersonal
dalam interaksi komunikasi. Hal ini didasarkan pada observasi bahwa komunikator sering kelihatan
menirukan perilaku satu sama lain.Teori akomodasi komunikasi berawal pada tahun 1973, ketika Giles
pertama kali memperkenalkan pemikiran mengenai model ”mobilitas aksen” Yang didasarkan pada
berbagai aksen yang dapat didengar dalam situaisi wawancara. Salah satu contohnya adalah ketika
seseorang dengan latar berlakang budaya yang berbeda sedang melakukan wawancara.Seorang yang
sedang diwawancara pastilah merasa sangat menghormati orang dari institusi yang sedang
mewawancarainya. Ketika dalam situasi tersebut orang yang mewawancarai akan lebih mendominasi
situasi wawancara, sementara orang yang diwawancarai akan mencoba mengikutiya.Maka pada situasi
tersebut orang yang sedang wawancara tersebut, mencoba melakukan akomodasi komunikasi.Dengan
begitu, akomodasi komunikasi dapat dibahas dengan memperhatikan adanya keberagaman budaya.

Inti dari teori akomodasi ini adalah adaptasi. Bagaimana seseorang menyesuaikan komunikasi mereka
dengan orang lain. Teori ini berpijak pada premis bahwa ketika seseorang berinteraksi, mereka
menyesuaikan pembicaraan, pola vocal, dan atau tindak tanduk mereka untuk mengakomodasi orang
lain. West Richard & Tunner Liynn H, 2007, 217).

Teori akomodasi iniawalnya didapatkan dari sebuah penelitian yang dilakukan dalam bidang ilmu lain,
dalam hal ini psikologi sosial.Maka sangatlah penting bagaimana kaitan antara teori akomodasi
komunikasi dengan psikologi sosial.

Menurut Stephen Worchel (1998), Teori Psikologi sosial biasanya mencari akibat dari perilaku dan
sebab dari akibat tersebut. Salah satu konsep utama yang didiskusikan dalam psikologi sosial adalah
identitas.Sedangkan menurut Jessica Abrams, Joan O’Cronnor dan Howard Giles (2003), akomodasi
sangat fundamental terhadap konstruksi identitas. (West Richard, 2007: 218)

Dan Menurut Henri Tajfel (1982) dan John Turner, Teori Identitas Sosial berpendapat bahwa identitas
seseorang ditentukan oleh kelompok dimana ia tergabung. Hipotesis dasar teori ini menyebutkan,
tekanan untuk mengevaluasi kelompok seseorang secara positif melalui perbandingan kelompok
dalam/luar menuntun kelompok sosial untuk membedakan diri mereka satu sama lain. Dari Teori
Identitas Sosial ini, Giles terpengaruh. Bahwaakomodasi seseorang tidak hanya orang tertentu tetapi
pada seseoran yang dianggap merupakan bagian dari kelompok lain.

Teori Akomodasi Komunikasi banyak didasari dari prinsip Teori Identitas Sosial. Ketika anggota dari
kelompok yang berbeda sedang bersama, mereka akan membandingkan dari mereka. Jika
perbandingannya positif, maka akan muncul identitas sosial yang positif pula. Giles memperluas
pemikiran ini dengan mengatakan bahwa hal yang sama juga terjadi pada gaya bicara (aksen, nada,
kecepatan, pola interupsi) seseorang.

TAHAP/ CARA BERADAPTASI

Teori akomodasi komunikasi menyatakan bahwa dalam percakapan orang memiliki pilihan, yaitu
konvergensi, divergensi, dan akomodasi berlebihan. West Richard, 2007, 220)
3

1. Konvergensi
Proses pertama yang berubungan dengan teori akomodasi komunikasi ini adalah konvergensi. Giles,
Nikolas Coupland, dan Justin Coupland (1991) mendefinisikan konvergensi : “strategi dimana individu
beradaptasi terhadap perilaku komunikatif satu sama lain”. Konvergensi merupakan proses yang
selektif, tidak selalu memilih strategi konvergen dengan orang lain. Ketika orang melakukan
konvergensi, mereka bertumpu pada persepsi mereka mengenai pembicaraan atau perilaku orang lain.

Selain persepsi yang dihasilkan dari komunikasi terhadap oranng lain, konvergensi pun didasarkan pada
ketertarikan. Biasanya, para komunikator ini saling tertarik maka mereka akan melakukan konvergensi
dalam percakapan mereka. Ketertarikan dalam istilah yang luas dan juga mencakup beberapa
karakteristik seperti charisma, kredibilitas dsb. Giles dan Smith (1979) ada beberapa faktor yang
mempengaruhi ketertarikan kita pada orang lain; misal: kemungkinan adanya interaksi berikutnya
denga pendengar, kemampuan pembicara untuk berkomunikasi, perbedaan status yang dimiliki
masing-masing komunikator. Apabila mereka memiliki keyakinan, perilaku, kepribadian yang sama
maka akan menyebabkan ketertarikan dan sangat memungkinkan untuk terjadinya sebuah
konvergensi.

Pandangan awal kita terhadap konvergensi tampak seperti halnya memikirkan terhadap strategi
akomodasi yang positif. Tetapi perlu diperhatikan bahwa konvergensi dapat berdasarkan persepsi yang
bersifat stereotip. Orang akan melakukan konvergensi streotip daripada pembicaraan dan juga perilaku
yang sebenarnya. Ada juga stereotip yang bersifat tidak langsung misalnya menggunakan asumsi kuno
dan kaku mengenai kelompok-kelompok budaya tertentu. Diatas, kita telah membahas tentang apa
yang terjadi apabila ada orang yang melakukan konvergensi dalam percakapan mereka? Bagaimana
respons terhadap hal itu?. Sekarang kita akan membahas bagaimana kita mengetahui bahwa
konvergensi kita ditanggapi atau tidaknya? Untuk mengetahui hal itu, setidaknya kita harus
mempertimbangkan terhadap konvergensi yang kita lakukan. Apakah sudah sesuai/positif atau malah
sebaliknya. Karena apabila konvergensi yang dilakukan sudah baik, maka konvergensi dapat
memperbaiki dialog dan dapat menghasilkan respons yang positif. Begitupun sebaliknya, apabila
persepsi konvergensi yang dihasilkan itu tidak baik/buruk. Maka dapat berakibat buruk dalam
percakapan dan mengakibatkan respons yang negative.

2. Divergensi

Dalam akomodasi, terdapat proses dimana satu atau dua dari dua komunikator untuk mengakomodasi
komunikasi diantara mereka. Strategi yang digunakan untuk menonjolkan perbedaan masing-masing
komunikator baik dalam segi verbal maupun nonverbal ini disebut Divergensi. Divergensi berbeda
dengan kovergensi. Apabila konvergensi adalah strategi bagaimana dia dapat beradaptasi dengan
orang lain. Divergensi adalah ketika dimana tidak adanya usaha dari para pembicara untuk menunjukan
persamaan diantara mereka. Atau tidak ada kekhawatiran apabila mereka tidak mengakomodasi satu
sama lain.Tetapi, perlu adanya perhatian bahwa, divergensi bukanlah dalam pengertian bahwa tidak
adanya kepedulian ataupun respons terhadap komunikator lain. Melainkan, mereka memutuskan
untuk mendisosiasikan diri mereka terhadap komunikator lain dengan alasan-alasan tertentu.
Beberapa alasan pun bervariasi, apabila dari komunitas budaya maka mereka beralasan ingin
mempertahankan identitas sosial, kebanggaan budaya ataupun keunikannya. Adapun yang kedua,
mereka melakukan divergensi karena alasan kekuasaan dan juga perbedaan peranan dalam
percakapan. Kemudian yang terakhir ini adalah alasan yang jarang digunakan , ialah apabila lawan
bicara adalah orang yang tidak diinginkan oleh komunikator. Karena dianggap ada sikap-sikap yang
tidak menyenangkan ataupun berpenampilan buruk.Jadi, divergensi disini adalah strategi untuk
memberitahukan akan keberadaan mereka dan juga ingin mempertahankannya, karena alasan
4

tertentu. Tanpa mengkhawatirkan akan akomodasi komunikasi antara dua komunikator untuk
memperbaiki percakapan.

3. Akomodasi Berlebihan

Akomodasi berlebihan, yaitu label yang diberikan kepada pembicara yang dianggap pendengar terlalu
berlebihan. Istilah ini diberikan kepada orang yang, walaupun bertindak berdasarkan niat yang baik,
justru dianggap merendahkan. Akomodasi berlebihan biasanya menyebabkan pendengar untuk
mempersepsikan diri mereka tidak setara. Terdapat dampak yang serius dari akomodasi berlebihan,
termasuk kehilangan motivasi untuk mempelajari bahasa lebih jauh, menghindari percakapan, dan
membentuk sikap negative terhadap pembicara dan juga masyarakat. Jika salah satu tujuan komunikasi
adalah mencapai makna yang dimaksudkan,akomodasi berlebihan merupakan penghalang utama bagi
tujuan tersebut. Konvergensi adakalanya disukai dan mendapat apresiasi atau sebaliknya. Orang
cenderung memberikan respon positif kepada orang lain yang berusaha mengikuti atau menirunya,
tetapi orang tidak menyukai terlalu banyak konvergensi. Khususnya jika hal itu tidak sesuai atau tidak
pantas justru akan menimbulkan masalah. Misal, ketika seseorang berbicara lambat tetapi keras
kepada seorang buta atau seorang perawat tang berbicara dengan pasien berusia lanjut dengan
meniru suara bayi (semacam sindiran karena orangtua lanjut dianggap seperti bayi). Orang akan
cenderung menghargai konvergensi yang dilakukan secara tepat, bermaksud baik dan sesuai dengan
situasi yang ada, namun orang tidak suka atau bahkan tersinggung jika konvergensi itu tidak dilakukan
secara patut. (Morrisan, 2009, 135).

TUGAS REVIEW JURNAL

 TEORI ILMU KOMUNIKASI


TEORI PELANGGARAN HARAPAN
 
5

 
 
 

DISUSUN OLEH :

Oleh :

AMARUDDIN

C1D119133

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL ILMU POLITIK

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2021

TEORI PELANGGARAN HARAPAN

ASUMSI TEORI PELANGGARAN HARAPAN

Teori pelanggaran harapan berakar pada bagaimana pesan-pesan ditampilkan pada orang lain dan
jenis-jenis perilaku yang dipilih orang lain dalam sebuah percakapan. Selain itu, terdapat tiga asumsi
yang menuntun teori ini, Pertama : Harapan mendorong terjadinya interaksi antar manusia, Kedua :
Harapan terhadap perilaku manusia dipelajari, Ketiga : Orang membuat prediksi mengenai perilaku non
verbal. Asumsi pertama menyatakan bahwa orang memiliki harapan dalam interaksinya dengan orang
6

lain. Dengan kata lain, harapan mendorong terjadinya interaksi. Harapan (expectancy) dapat diartikan
sebagai pemikiran dan perilaku yang diantipasi dan disetujui dalam percakapan dengan orang lain.
Oleh karenanya termasuk didalam harapan ini adalah perilaku verbal dan nonverbal seseorang. Pada
tulisan awalnya mengenai EVT, Burgoon (1978) menyatakan bahwa orang tidak memandang perilaku
orang lain sebagai sesuatu yang acak, sebaliknya, mereka memiliki berbagai harapan mengenai
bagaiman seharusnya orang berfikir dan berperilaku. Dengan membahas penelitian mendalam yang
dilakukan oleh Burgoon dan rekan-rekannya, tim Levine dan koleganya (2000) menyatakan bahwa
harapan adalah hasil dari norma-norma sosial, stereotip, rumor, dan sifat idiosinkratik dari
komunikator. Banyak dari orang yang melaksanakan wawancara akan mengharapkan tingkat percaya
diri tertentu, yang ditunjukkan melalui jabat tangan yang hangat, percakapan timbal balik yang
mengalir dengan lancar, dan kemampuan mendengar yang baik. Orang yang diwawancarai juga
diharapkan menjaga jarak yang masuk akal dari pewawncara selama proses wawancara berlangsung.
Banyak orang di Amerika Serikat tidak menginginkan orang yang tidak mereka kenal untuk berdiri
terlalu dekat atau terlalu jauh dengan mereka. Baik di dalam suatu wawancara atau didalam suatu
diskusi antara dua orang yang telah saling kenal, Burgoon dan peneliti EVT lainnya berargumen bahwa
orang memasuki suatu percakapan dengan beberapa harapan mengenai bagaimana suatu pesan harus
disampaikan dan bagaimana si pembawa pesan menyampaikannya. Judee Burgoon dan Jerold hale
(1988) menyatakan bahwa ada dua jenis harapan : prainteraksional dan interaksional. Harapan
prainteraksional (pre-interactional expectation) mencakup jenis pengetahuan dan keahlian
interaksional yang yang dimiliki oleh komunikator sebelum ia memasuki sebuah percakapan. Orang
tidak selalu mengetahui apa yang dibutuhkan untuk memasuki dan mempertahankan sebuah
percakapan. Beberapa pembicara adalah orang yang sangat argumentatif, sementara yang lainnya
sangat pasif. Kebanyakan orang tidak mengharapkan untuk melihat perilaku yang seekstrim itu didalam
pembicaraan mereka dengan orang lain. Harapan interaksional (interactional expectation) merujuk
pada kemampuan seseorang untuk menjalankan interaksi itu sendiri. Kebanyakan orang
mengharapkan orang lain untuk menjaga jarak sewajarnya dalam sebuah percakapan. Terlebih lagi,
dalam berkomunikasi dengan orang lain, sikap-sikap mendengarkan seperti kontak mata yang lama
sering kali diharapkan. Beberapa perilaku ini dan masih banyak yang lainnya sangat penting untuk
dipertimbangkan ketika kita mempelajari peranan harapan sebelum dan selama interaksi berlangsung.
Hal ini menuntun kita pada asumsi EVT yang kedua, bahwa orang mempelajari harapannya melalui
budaya secara luas dan juga individu-individu dalam budaya tersebut. Misalnya, budaya Amerika
mengajarkan kita bahwa hubungan antara profesor dan mahasiswa didasari rasa hormat profesional.
Walaupun tidak disebutkan secara gamblang dalam hampir semua ruang kuliah, para profesor memiliki
status sosial yang lebih besar dibandingkan mahasiswa, dan karenanya harapan-harapan tertentu
muncul di dalam hubungan mereka dengan mahasiswa. Contohnya, kita mengharapkan dosen memiliki
banyak pengetahuan mengenai bahan perkuliahan , untuk menjelaskannya dengan baik kepada
mahasiswa , dan untuk selalu ada bagi mahasiswa untuk membantu mereka jika mereka masih bingung
akan suatu pokok bahasan. Kita juga mengarapkan profesor untuk menggunakan sentuhan dengan
berhati-hati , karena mahasiswa wanita dan pria memilik respons yang berbeda terhadap sentuhan dari
profesor mereka (lannutti, laliker & hale, 2001) dalam buku (West & Turner, 2008 : 158-159).

Hubungan dosen-mahasiswa hanya satu contoh dalam sebuah hubungan tertentu. Oleh karena itu
setiap diskusi antara dosen dan mahasiswa diwarnai harapan-harapan budaya akan bagaimana
keduanya harus berhubungan satu sama lain. Beberapa institusi masyarakat (keluarga, media, bisnis,
dan industri dst) memiliki peranan penting dalam menentukan pola budaya apa yang harus diikuti.
Ketentuan budaya yang berlaku umum ini dapat diikuti oleh individu-individu dalam percakapan
mereka satu sama lain.
7

Individu-individu dalam sebuah budaya juga berpengaruh dalam mengkomunikasikan harapan.


Burgoon & Hale (1988) menyatakan bahwa sangat penting bagi kita untuk memerhatikan perbedaan-
perbedaan berdasarkan pengetahuan awal kita mengenai orang lain, sejarah hubungan kita dengan
mereka, dan observasi kita. Misalnya pengalaman masa lalu dengan calon-calon karyawan
memengaruhi bagaimana sesorang memandang sebuah interaksi dan harapannya terhadap pelamar
pekerjaan dalam sebuah wawancara (sejarah hubungan). Selain itu, harapan juga merupakan hasil dari
pengamatan kita. Dalam sebuah keluarga, misalnya berdiri sangat dekat satu sama lain merupakan
norma yang berlaku, tetapi norma ini belum tentu ada di dalam keluarga lainnya. Skenario-skenario
yang menarik muncul dalam percakapan ketika individu-individu yang terlibat di dalamnya memiliki
norma yang berbeda; harapan akan jarak dalam percakapan bervariasi dan dapat memengaruhi
persepsi terhadap interaksi atau bahkan memiliki konsekuensi. Asumsi yang ketiga terkait dengan
prediksi yang dinjuat oleh orang mengenai komunikasi nonverbal. Kita akan melihat bahwa teoretikus
EVT telah menerapkan ide mengenai harapn ini pada perilaku verbal. Walaupun begitu, pernyataan
awal EVT berhubungan secara spesifik pada perilaku nonverbal. Pada titik ini sangatlah penting untuk
menunjukkan sebuah pandangan yang terkandung dalam teori ini : orang membuat prediksi mengenai
perilaku nonverbal orang lain. Judee Burgoon dan Joseph walter (1990) memperluas pemahaman awal
EVT melalui ruang personal ke area-area lain dalam komunikasi nonverbal , termasuk sentuhan dan
postur. Mereka menyatakan bahwa keatraktifan orang lain memengaruhi evaluasi akan harapan.
Dalam percakapan, orang tidak hanya sekedar memberikan perhatian pada apa yang dikatakan oleh
orang lain. Perilaku nonverbal memengaruhi percakapan, dan perilaku ini mendorong orang lain untuk
membuat prediksi (West & Turner, 2008 : 160).

Contoh untuk menjelaskan asumsi ini lebih jauh yaitu misalnya seseorang yang menurut anda menarik
mulai mengadakan kontak mata langsung dengan anda disebuah toko. Awalnya anda mungkin akan
merasa sedikit aneh dengan tatapan yang berkepanjangan ini. akan tetapi, karena anda merasa
tertarik dengan orang ini, kerikuhan yang muncul segera berganti menjadi rasa nyaman. Bahkan, anda
mungkiin akan mulai menduga bahwa orang itu juga tertarik kepada anda karna anda melihat
berkurangnya jarak fisik diantara anda berdua. Contoh ini menggambarkan fakta bahwa anda sedang
membuat prediksi (yaitu orang itu tertatik kepada anda) berdasarkan perilaku nonverbalnya (kontak
mata dan ruang personal). Sebelum anda mulai memercayai dugaan anda akan adanya ketertarikan ,
ingatlah bahwa reaksi anda dapat menjadi salah sama sekali. Tanpa memerhatikan tingkat percaya diri
anda, komunikasi nonverbal sering kali ambigu dan dapat menimbulkan banyak interpretasi.

VALENSI PENGHARGAAN KOMUNIKATOR

Valensi penghargaan komunikator adalah jumlah dari karakteristik-karakteristik positif dan negatif dari
seorang dan potensi bagi orang itu untuk memberikan penghargaan atau hukuman. Burgoon, Deborah
Coker dan Ray Coker melihat bahwa tidak semua pelanggaran atas perilku yang diharapkan
menimbulkan persepsi negative. Dalam kasus-kasus dimana perilaku bersifat ambigu atau
menimbulkan banyak interpretasi, tindakan yang dilakukan oleh komunikator dengan tingkat
penghargaan tinggi dapat menimbulkan makna positif sementara tindakan yang dilakukan dengan
tingkat penghargaan rendah dapat menimbulkan makna negative. Valensi penghargaan komunikator
adalah potensi yang dimiliki orang baik unutk memberikan penghargaan maupun memberikan
hukuman dalam percakapan dan dapat membawa karakteristik positif maupun negative dalam sebuah
interaksi. Menurut teori pelanggaran harapan, interpretasi terhadap pelanggaran seringkali bergantung
pada komunikator serta nilai-nilai yang mereka miliki (West & Turner, 2008 : 161).

Communicator Reward Valence adalah unsur yang ketiga yang mempengaruhi reaksi kita. Sifat alami
hubungan antara komunikator mempengaruhi bagaimana mereka (terutama penerima) merasakan
tentang pelanggaran harapan. Jika kita “menyukai” sumber dari pelanggaran ( atau jika pelanggar
8

adalah seseorang yang memiliki status yang tinggi, kredibilitas yang tinggi, atau secara fisik menarik),
kita boleh menghargai perlakuan yang unik tersebut. Bagaimanapun, jika kita ” tidak menyukai”
sumber, kita lebih sedikit berkeinginan memaklumi perilaku nonverbal yang tidak menepati norma-
norma sosial; kita memandang pelanggaran secara negative (Infante, 2003: 178).

Dengan kata lain jika kita menyukai orang yang melanggar tersebut, kita tidak akan terfokus pada
pelanggaran yang dibuatnya, justru kita cenderung berharap agar orang tersebut tidak mematuhi
norma-norma yang berlaku. Sebaliknya bila orang yang melanggar tersebut adalah orang yang tidak
kita sukai, maka kita akan terfokus pada pelanggaran atau kesalahannya dan berharap orang tersebut
mematuhi atau tidak melanggar norma-norma sosial yang berlaku.

VNEV Theory mengusulkan sebagai fakta bahwa hal tersebut tidak hanya sesuatu pelanggaran perilaku
nonverbal dan reaksi kepada nya. Sebagai ganti (nya), NEV Theory berargumen bahwa siapa yang
melakukan berbagai hal pelanggaran masi harus dikelompokkan dalam rangka menentukan apakah
suatu pelanggaran akan dilihat sebagai negatif atau positif. Tidak sama dengan model interaksi
nonverbal lainnya seperti teori penimbulan pertentangan/discrepancy arousal theory ( lihat Lepoire &
Burgoon, 1994), NEV Theory meramalkan bahkan suatu “pelanggaran yang ekstrim dari suatu harapan”
boleh jadi dipandang secara positif jika itu dilakukan oleh komunikator yang mendapat penghargaan
tinggi (Burgoon & Hale, 1988, hal.63) dalam buku (Infante, 2003: 179).

1. RANGSANGAN

Burgoon awalnya merasa bahwa penyimpangan harapan memiliki konsekuensi. Penyimpangan, atau
pelanggaran ini, memiliki apa yang disebut sebagai “nilai rangsangan” (Burgoon, 1978 : 133).
Maksudnya, ketika harapan seseorang dilanggar, minat atau perhatian orang tersebut akan dirangsang,
sehingga ia akan menggunakan mekanisme tertentu untuk menghadapi pelanggaran yang terjadi.
Ketika rangsangan (arousal) terjadi minat atau perhatian seseorang terhadap penyimpangan akan
meningkat dan perhatian terhadap pesan akan berkurang sementara perhatian pada sumber
rangsangan akan meningkat (LaPoire dan Burgoon, 1996). Burgoon dan Hale (1988) kemudian
menyebut hal ini “kesiagaan mental” atau “respons yang berorientasi” dimana perhatian dialihkan
pada sumber penyimpangan. Seseorang dapat terangsang secara kognitif maupun fisik. Rangsangan
kognitif (cognitive arousal) adalah kesiagaan atau orientasi terhadap pelanggaran. Ketika kita
terangsang secara kognitif, indera intuitif kita meningkat. Rangsangan fisik (physical arousal) mencakup
perilaku-perilaku yang digunakan komunikator dalam sebuah interaksi, seperti keluar dari jarak
pembicaraan yang membuat tidak nyaman, menyesuaikan pandangan selama interaksi berlangsung,
dan seterusnya. Kebanyakan penelitian Teori Pelanggaran harapan (Expectacy Violation Theory/EVT)
telah menginvestigasi rangsangan kognitif (melalui catatan mengenai laporan diri), tetapi sedikit
penelitian menelaah mengenai rangsangan psikologis. Satu penelitian yang provokatif yang meneliti
rangsangan fisik dalam sebuah percakapan dilaksanakan oleh Beth LaPoire dan Judee Burgoon (1996).
Mereka meminta mahasiswa-mahasiswa universitas untuk terlibat dalam wawancara medis palsu.
Selama interaksi berlangsung, para peneliti mempelajari detak jantung, suhu kulit, dan perubahan
volume denyut nadi setiap lima detik sembari mengevaluasi adanya pelanggaran harapan. Hanya detak
jantung dan volume denyut nadi yang menunjukkan signifikansi statistik. Hasil menunjukkan bahwa
setelah para relawan mengalami rangsangan kognitif terhadap sebuah pelanggaran, mereka pertama-
tama mengalami penurunan detak jantung dan volume denyut nadi meningkat. Hal ini kemudian
diikuti oleh turunnya volume denyut nadi. Singkatnya, orang menyadari ketika orang lain tidak bersikap
sesuai dengan harapan dalam interaksi. Rangsangan merupakan hal yang rumit, namun juga
merupakan bagian penting dalam EVT. Sebagaimana yang kita lihat, rangsangan lebih dari sekedar
sadar ketika orang lain melakukan pelanggaran ( West & Turner, 2008 : 162-163 ).
9

2. BATAS ANCAMAN

Begitu rangsangan timbul, ancaman akan muncul. Konsep penting yang ketiga dalam EVT adalah batas
ancaman ( threat threshold ) yang oleh Burgoon (1978) didefinisikan sebagai “jarak dimana orang yang
berinteraksi mengalami ketidaknyamanan fisik dan fisiologis dengan kehadiran orang lain”(hal 130).
Dengan kata lain, batas ancaman adalah toleransi bagi pelanggaran jarak. Burgoon melanjutkan bahwa
“ketika jarak disamakan dengan ancaman, jarak yang lebih dekat dilihat lebih mengancam dan jarak
yang lebih jauh lebih aman”(hal 134). Dalam hal ini, jarak diinterpretasikan sebagai pernyataan
mengancam dari seorang komunikator. Orang dapat saja memberikan penghargaan maupun hukuman
terhadap sebuah ancaman. Burgoon mencapai kesimpulan ini dengan mempelajari penelitian terhadap
kesukaan dan ketertarikan. Penelitian ini menyatakan bahwa jarak dekat digunakan untuk orang-orang
yang kita suka atau kepada siapa kita tertarik. Beberapa orang tidak masalah ketika orang berdiri dekat
dengan mereka; batas ancaman mereka, karenanya tinggi. Beberapa menjadi tidak nyaman ketika
orang berdiri terlalu dekat dengan mereka;bagi mereka, batas ancamannya rendah. Jadi, misalkan saja
Anda tertarik pada seseorang yang selalu Anda temui di Starbucks tiap pagi, batas ancaman
memungkinkan akan tinggi saat ia berbicara dengan Anda dan makin mendekat pada Anda ketika
pembicaraan berlanjut lebih jauh. Dalam interaksi yang sama, Anda mungkin akan menemukan bahwa
orang ini bukanlah orang yang ingin Anda ajak berteman lebih jauh, dan batas ancaman Anda akan
menjadi semakin kecil. Burgoon melihat bahwa ukuran batas didasarkan pada bagaimana kita
memandang pelaku ancaman, yang telah dibahas sebagai valensi penghargaan komunikator. Begitu
pelanggaran terjadi, yang telah dibahas sebagai valensi penghargaan komunikator. Begitu pelanggaran
terjadi, kita lagi-lagi akan menginterpretasikan pelanggaran tersebut. Walaupun Burgoon kemudian
memutuskan bahwa batas ancaman tidak selalu diasosiasikan dengan lawan bicara, konsep ini
merupakan konsep yang penting untuk dipikirkan ketika Anda sedang berusaha memahami EVT (West
& Turner, 2008 : 163).

VALENSI PELANGGARAN

Ketika mereka berbicara dengan orang lain mereka memiliki harapan, harapan yang didasarkan dari
norma sosial lawan bicaranya. Namun ketika harapan dilanggar orang mengevaluasi langgarang
tersebut berdasarkan sebuah valensi. Valensi Pelanggaran (Violation Valance) merujuk pada penilaian
positif atau negati dari sebuah perilaku yang tidak terduga. Valensi pelanggaran sangat berbeda
dengan Valensi penghargaan Komunikator. Ketika kita menggunakan valensi penghargaan
komunikator. Valensipelanggaran, sebaliknya, berfokus pada penyimpangan itu sendiri. Valensi
pelanggaran melibatkan pemahaman suatu pelanggaran melalui interpretasi dan evaluasi singkatnya
para komunikator berusaha untuk menginterpretasikan makna dari sebuah pelanggaran dan
memutuskan apakah mereka menyukainya atau tidak. Burgoon dan kolega-koleganya mengingatkan
kita untuk berhati-hati, karena tidak semua pelanggaran dapat terjadi dengan jelas, dan sebagai
akibatnya kita menggunakan valensi penghargaan komunikator. Jika sebuah pelanggaran bersifat
ambigu atau menimbulkan banyak interpretasi, EVT memprediksikan bahwa komunikator akan
mempengaruhi bagaimana pelanggaran dievaluasi dan diinterpretasi. Komunikator
menginterpretasikan pelanggaaran menggunakan valensi penghargaan komunikator, jika orang
tersebut adalah orang yang kita sukai maka kita akan mengevaluasi pelanggaran secara positif. Dan
sebaliknya jika dengan orang yang tidak kita sukai maka kita akan memandang pelanggaran tersebut
dengan negative (West & Turner, 2008 : 164).

KESIMPULAN

Teori Pelanggaran Harapan adalah satu dari sedikit teori yang secara khusus berfokus pada apa yang
diharapkan orang dan reaksi mereka kepada orang lain dalam sebuah percakapan. Asumsi dan konsep
10

intinya menunjukkan dengan jelas pentingnya pesan-pesan nonverbal dan pemrosesan informasi. EVT
juga meningkatkan pemahaman kita akan bagaimana harapan memengaruhi jarak dan percakapan.
Teori ini menemukan apa yang terjadi didalm benak para komunikator dan bagaimana komunikator
memonitor perilaku nonverbal dalam percakapan mereka.

Teori Pelanggaran Harapan tertarik dengan struktur dari pesan-pesan nonverbal. Teori ini menyatakan
bahwa ketika norma-norma Komunikasi dilanggar, pelanggaran ini dapat dipandang dengan positif dan
negative, tergantung dari persepsi penerima terhadap sipelanggar, melanggar harapan seseorang
biasanya merupakan strategi yang dapat digunakan disbanding dengan memenuhi harapan seseorang.

Teori Pelanggaran Harapan juga merupakan teori yang penting karena ia menawarkan suatu cara untuk
menghubungkan perilaku dan kognisi. Teori ini merupakan salah satu teori Komunikasi yang
memberikan pemahaman yang lebih baik kepada kita mengenai kebutuhan kita akan orang lain dan
juga ruang personal. Oleh karena itu, karya Burgoon akan terus dianggap penting dan menjadi pelopor
dalam bidang ilmu Komunikasi.

TUGAS REVIEW JURNAL

 TEORI ILMU KOMUNIKASI


TEORI ADAPTASI INTERAKSI
 
 
 
 

DISUSUN OLEH :

Oleh :

AMARUDDIN

C1D119133
11

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL ILMU POLITIK

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2021

Teori-Teori Adaptasi Antar Budaya

BySebagai salah satu topik kajian dalam komunikasi antar budaya, adaptasi merupakan suatu problema
yang perlu dipecahkan ketika seseorang ataupun sekelompok orang berkomunikasi dengan pihak lain
yang berbeda budaya. Adaptasi dalam kajian komunikasi antar budaya ini pada umumnya dihubungkan
dengan perubahan dari masyarakat atau bagian dari masyarakat. Seseorang yang memilih strategi
adaptif cenderung memiliki kesadaran yang tinggi terhadap harapan dan tuntutan dari lingkungannya,
sehingga siap untuk mengubah perilaku.

Gudykunts dan Kim (2003) menyatakan bahwa motivasi setiap orang untuk beradaptasi berbeda-beda.
Kemampuan individu untuk berkomunikasi sesuai dengan norma-norma dan nilai-nilai budaya yang
baru tergantung pada proses penyesuaian diri atau adaptasi mereka. Walaupun demikian, setiap orang
harus menghadapi tantangan beradaptasi agar dapat bermanfaat bagi lingkungan barunya. Lebih lanjut
Gudykunts dan Kim (2003) menegaskan bahwa setiap individu harus menjalani proses adaptasi di kala
bertemu ataupun berinteraksi dengan lingkungan dan budaya yang berbeda dengannya.

Berdasarkan penelitian, Kim menemukan ada dua tahap adaptasi, yaitu cultural adaptation dan cross-
cultural adaptation. Cultural adaptation merupakan proses dasar komunikasi yaitu di mana ada
penyampai pesan, medium dan penerima pesan, sehingga terjadi proses encoding dan decoding.
Proses ini didefinisikan sebagai tingkat perubahan yang terjadi ketika individu pindah ke lingkungan
yang baru. Terjadi proses pengiriman pesan oleh penduduk lokal di lingkungan baru tersebut yang
dapat dipahami oleh individu pendatang, hal ini dinamakan enculturation. Enculturation terjadi pada
saat sosialisasi.

Tahap yang kedua adalah cross-cultural adaptation. Cross-cultural adaptation meliputi tiga hal yang
utama. Pertama, acculturation. Proses ini terjadi ketika individu pendatang yang telah melalui proses
sosialisasi mulai berinteraksidengan budaya yang baru dan asing baginya. Seiring dengan berjalannya
waktu, pendatang tersebut mulai memahami budaya baru itu dan memilih norma dan nilai budaya
lokal yang dianutnya. Walaupun demikian, pola budaya terdahulu juga mempengaruhi proses adaptasi.
12

Pola budaya terdahulu yang turut mempengaruhi ini disebut deculturation yang merupakan hal kedua
dari proses adaptasi. Perubahan akulturasi tersebut mempengaruhi psikologis dan perilaku sosial para
pendatang dengan identitas baru, norma dan nilai budaya baru. Inilah yang kemudian memicu
terjadinya resistensi terhadap budaya baru, sehingga bukannya tidak mungkin pendatang akan
mengisolasi diri dari penduduk lokal.

Namun, harus kembali dipahami bahwa dalam proses adaptasi ada yang berubah dan ada yang tidak
berubah. Gudykunts dan Kim (2003) menyatakan bahwa kemungkinan individu untuk mengubah
lingkungan sangatlah kecil. Hal tersebut dikarenakan dominasi dari budaya penduduk lokal yang
mengontrol kelangsungan hidup sehari-hari yang dapat memaksa para pendatang untuk menyesuaikan
diri.

Hal yang ketiga adalah tahap paling sempurna dari adaptasi, yaitu assimilation (Gudykunts dan Kim,
2003). Assimilation adalah keadaan dimana pendatang meminimalisir penggunaan budaya lama
sehingga ia terlihat seperti layaknya penduduk lokal. Secara teori terlihat asimilasi terjadi setelah
adanya perubahan akulturasi, namun pada kenyataannya asimilasi tidak tercapai secara sempurna.

Menurut Kim, proses adaptasi antar budaya merupakan proses interaktif yang berkembang melalui
kegiatan komunikasi individu pendatang dengan lingkungan sosial budayanya yang baru. Adaptasi
antar budaya tercermin pada adanya kesesuaian antara pola komunikasi pendatang dengan pola
komunikasi yang diharapkan atau disepakati oleh masyarakat dan budaya lokal/setempat. Begitupun
sebaliknya, kesesuaian pola komunikasi inipun menunjang terjadinya adaptasi antar budaya.

Tulisan ini merupakan sebuah literature review mengenai teori-teori komunikasi antar budaya
terutama dalam konteks adaptasi antar budaya. Melalui sebuah contoh kasus, tulisan ini menghadirkan
bagaimana teori-teori adaptasi antar budaya tersebut diimplementasikan dalam pola komunikasi antar
budaya sehari-hari ketika seseorang melakukan adaptasi, terutama dari sebuah budaya yang berbeda
darinya

Tulisan literature review ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode analisis deskriptif.
Literature review berisi ulasan, rangkuman, dan pemikiran tentang beberapa sumber pustaka (artikel,
buku, slide, informasi dari internet, dan sebagainya) sesuai dengan topik yang dibahas. Landasan teori,
tinjauan teori, dan tinjauan pustaka merupakan beberapa cara untuk melakukan literature review.
Literature review merupakan suatu cara untuk menemukan, mencari artikel-artikel, buku-buku dan
sumber-sumber lain seperti tesis, disertasi, prosiding, yang relevan pada suatu isu tertentu atau teori
atau riset yang menjadi ketertarikan penulis. Dalam melakukan review terhadap literatur, yang perlu
dilihat adalah perlunya menganalisis, mensintesis, meringkas, atau membandingkan literatur yang satu
dengan yang lainnya. Literature review membantu penulis untuk menguraikan bagaimana landasan-
landasan yang digunakan dalam sebuah riset. Tujuan literature review adalah sebagai berikut:

1. Memaparkan hubungan dari setiap bahan tulisan satu dengan yang lainnya yang terkait dengan
topik tulisan

2. Mengidentifikasi cara baru dalam menerjemahkan dan mempersempit jarak yang ada dalam
penelitian sebelumnya
3. Menyelesaikan konflik antara studi sebelumnya yang saling kontradiksi
4. Memandu langkah lanjutan untuk penelitian selanjutnya
5. Menempatkan pekerjaan original dalam konteks literatur yang ada

Hasil Penemuan dan Diskusi


13

Dalam rangka mencapai adaptasi antar budaya, ataupun mencapai penyesuaian diri pada budaya dan
lingkungan baru, atau bahkan sampai akulturasi, dapat dianalisis dengan menggunakan teori-teori yang
membahas tentang adaptasi antar budaya. Terdapat beberapa teori yang juga telah dibahas
sebelumnya, sehubungan dengan adaptasi antar budaya. Selanjutnya, di dalam tulisan ini akan
dideskripsikan terlebih dahulu masing-masing teori tersebut. Integrative Communication Theory. Teori
ini dikemukakan oleh Kim Young Yun yang sekarang adalah pengajar di Oklahoma University. Kim
melakukan penelitian kepada para pendatang yang menetap di Chicago, Amerika Serikat, khususnya
yang berasal dari Korea untuk disertasi doktoralnya pada 1977.

Kim dalam bukunya Becoming Intercultural: An Integrative Theory and Cross Cultural Adaptation
(sebelumnya berjudul Cross Cultural Adaptation: An Integrative Theory) menyatakan bahwa sebagai
makhluk sosial sudah selayaknya terjadi interaksi di antara masyarakat. Namun, kemampuan individu
untuk berkomunikasi sesuai dengan norma-norma dan nilai-nilai budaya lokal tergantung pada proses
penyesuaian diri atau adaptasi para pendatang (Gudykunts dan Kim, 2003).

Dari penelitiannya tersebut kemudian Kim mengidentifikasi lima hal yang menjadi faktor dalam
adaptasi yaitu personal communication, host social communication, ethnic social communication,
environment, dan predisposition. Faktor-faktor ini mempunyai dampak pada apa yang disebut dengan
transformasi antar budaya (intercultural transformation), yang merupakan proses untuk mencapai
functional fitness, psychological health, dan intercultural identity. Secara jelas, kelima faktor penting
dalam proses adaptasi tersebut digambarkan dalam model berikut :

Personal Communication, atau komunikasi personal terjadi apabila seseorang merasakan adanya hal-
hal yang terdapat dalam lingkungannya, kemudian memberi makna serta mengadakan reaksi terhadap
obyek maupun orang lain yang terdapat dalam lingkungannya tersebut. Dalam tahap ini terjadi proses
penyesuaian dengan menggunakan kompetensi komunikasi pribadi yang diturunkan menjadi tiga
bagian yaitu kognitif, afektif, dan operasional. Hal ini terjadi di dalam diri pribadi individu.Aspek
kognitif dari kompetensi komunikasi dipisahkan ke dalam pengetahuan individu tentang sistem
komunikasi, pemahaman kultural, dan kompleksitas kognitif.

Aspek afektif dalam kompetensi komunikasi disini merupakan komposisi dari motivasi adaptasi
individu, fleksibilitas identitas, dan estetika orientasi bersama. Selanjutnya, aspek operasional atau
kemampuan untuk mengekspresikan kognitif dan pengalaman afektif individu secara terlihat melalui
aspek perilakunya atau secara spesifik menunjukkan kompetensi komunikasinya itu. Pencapaian
kompetensi komunikasi diperlukan untuk memenuhi kebutuhan umum manusia, yaitu mengatasi
lingkungannya terutama jika itu adalah lingkungan baru. Kompetensi komunikasi adalah kemampuan
untuk secara efektif berhubungan dengan orang-orang lain.

Selanjutnya, ada host social communication dan ethnic social communication. Keduanya sama-sama
terdiri dari dua macam komunikasi yaitu komunikasi interpersonal dan komunikasi massa. Komunikasi
interpersonal mengacu pada interaksi antara individu yang satu dengan yang lain pada level
interpersonal, bedanya jika host social communication terjadi antara individu pendatang dengan
individu dari budaya setempat sehingga ada perbedaan budaya antara keduanya, sedangkan ethnic
social communication terjadi antara individu-individu dengan latar belakang budaya yang sama,
misalnya individu pendatang berinteraksi dengan individu yang mempunyai asal dan budaya yang sama
dengannya.

Adapun komunikasi massa disini sehubungan dengan sarana-sarana yang digunakan dalam
mendistribusikan dan mengabadikan budaya. Hal tersebut meliputi baik media seperti radio, televisi,
surat kabar, dan internet; dan juga non media yang berbasis institusi seperti sekolah, agama, kantor,
bioskop ataupun tempat umum apapun dimana komunikasi terjadi dalam bentuk ritual budaya.
14

Komunikasi massa ini berfungsi sebagai tenaga dalam proses adaptasi dengan melakukan transmisi
topik peristiwa-peristiwa, nilai-nilai sosial, norma perilaku, perspektif interpretasi lingkungan
tradisional. Komunikasi massa ini berarti adanya interaksi antara individu dengan massa baik melalui
media maupun non media, bedanya jika host social communication interaksi terjadi antara individu
pendatang dengan budaya setempat yang baru baginya, sedangkan ethnic social communication
interaksi terjadi antara individu pendatang dengan budaya asalnya atau yang sudah dikenalnya.

Faktor berikutnya yaitu environment yang dibagi menjadi penerimaan tuan rumah, tekanan akan
adanya kesesuaian dari tuan rumah, dan kekuatan kelompok etnis. Penerimaan tuan rumah mengacu
pada kemauan dari budaya setempat untuk menerima dan mengakomodasi pendatang melalui
kesempatan ikut berperan serta dalam komunikasi sosial. Dari perspektif pendatang, hal ini dapat
dianggap akses untuk masuk, atau kesempatan untuk mendapatkan kontak. Tekanan akan adanya
kesesuaian dari tuan rumah merupakan kombinasi dari tekanan yang sadar maupun tidak sadar
terhadap pendatang untuk mengadopsi praktek-praktek budaya setempat, dan toleransi tuan rumah
dalam menghormati praktek-praktek budaya yang berbeda dari budaya mereka. Salah satu faktor yang
penting disini adalah adanya perbedaan antara ideologi asimilatif atau pluralis. Ideologi asimilatif
mendorong adanya kesesuaian, sedangkan ideologi pluralis mendorong adanya kekhasan etnis. Hal
tersebut membawa kepada kekuatan kelompok etnis yang merujuk pada kekuatan kelompok dari
budaya atau etnis yang sama dengan asal individu pendatang.

Terakhir, predisposition mengacu pada keadaan pribadi pendatang ketika mereka tiba dalam kelompok
budaya setempat, jenis latar belakang yang mereka miliki, dan apa jenis pengalaman yang mereka
punya sebelum bergabung dengan budaya setempat. Gabungan dari faktor-faktor tersebut memberi
keseluruhan potensi adaptasi individu pendatang.

Anda mungkin juga menyukai