Anda di halaman 1dari 38

BAGIAN ILMU OBSTETRI & GINEKOLOGI REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN JUNI 2019


UNIVERSITAS HALU OLEO

AMENOREA

OLEH:

Habri Tri Sakti, S.Ked.


K1A1 14 017

Pembimbing

Dr. dr. Hj. Juminten Saimin, Sp.OG. (K)

KEPANITERAAN KLINIKBAGIAN ILMU OBSTETRI & GINEKOLOGI


RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI BAHTERAMAS
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertandatangan dibawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Habri Tri Sakti

NIM : K1A1 14 017

Judul referat : Amenorea

Telah menyelesaikan referat dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian ilmu

obstetri dan ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo.

Kendari, Februari 2019

Mengetahui,

Pembimbing

Dr. dr. Hj. Juminten Saimin, Sp.OG. (K)


Amenorea
Habri Tri Sakti, Juminten Saimin

A. Pendahuluan
Menstruasi merupakan tanda penting maturitas organ seksual seorang
wanita. Dimana definisi menstruasi adalah keluarnya darah, mukus dan
debris-debris seluler yang berasal dari uterus secara periodik dengan siklus
teratur. Menstruasi dikatakan normal bila didapatkan siklus haid, tidak kurang
dari 24 hari, tetapi tidak melebihi 35 hari, lama haid 3 - 7 hari, dengan jumlah
darah selama menstruasi berlangsung tidak melebihi 80 ml. Menstruasi
merupakan suatu proses yang kompleks, karena melibatkan berbagai organ,
sistem endokrin, hormon-hormon reproduksi dan enzim sehingga bisa
dibayangkan penyebab gangguan menstruasi pasti sangat banyak dan
bervariasi. Proses menstruasi diregulasi oleh sistem endokrin dan perubahan
hormonal yang terjadi melalui mekanisme timbal balik (feed back mechanism)
antara hipotalamus, pituitari dan ovarium atau yang dikenal dengan axis
endokrin Hipotalamus – Pituitary – Ovarium (HPO).
Amenorea merupakan salah satu gangguan pada siklus menstruasi di
tandai dengan tidak terjadinya menstruasi atau adanya penghentian menstruasi
secara spontan pada seorang wanita usia reproduksi, amenore merupakan
suatu gejala, bukan penyakit dan memiliki berbagai penyebab. Amenorea juga
menjadi gejala normal pada wanita prapubertas, hamil, menyusui dan wanita
pascamenopause dan bukan merupakan suatu diagnosis. Apabila seorang
wanita telah memasuki masa setelah kehamilan maka akan menjadi suatu
tantangan untuk menentukan penyebab pasti amenorea.
Secara klasik amenorea dibagi 2 macam, yaitu amenorea primer dan
sekunder. Prevalensi amenore diketahui sekitar 3 hingga 4% pada populasi
usia reproduksi dan sekitar 10-15 pasien merupakan amenore primer.
Pervalensi amenorea sekunder sekitar 3-4% wanita usia reproduktif, sebagian
besar kasus disebabkan oleh sindroma ovarium polikistik (SOPK), amenorea
hipotalamik, hiperprolaktinemia, dan kegagalan ovarium dini.
2

B. Anatomi
1. Hipotalamus dan Hipofisis
Hipotalamus adalah suatu daerah otak yang mengendalikan fungsi
tubuh. Hipotalamus merupakan bagian dari diensefalon paling ventral
terletak di bawah talamus dan ventromedialis dari subtalamus,
hipotalamus memebentuk lantai bagian bawah dinding lateral ventrikel
ketiga di bawah sulkus hipotalamikus. Pada garis tengah bagian caudal
dari ciasma optikum terletak area yang sedikit meninggi yaitu tuber
sinereum, di mana dari bagian ujungnya terdapat tungkai halus yaitu
infundibulum atau tangkai kelenjar hipofisis, yang merupakan struktur
seukuran kacang polong yang terletak pada sela tursika dari os sfenoidalis.
Hipofisis memiliki dua lobus yang secara anatomis dan fungsional
berbeda, hipofisis anterior dan hipofisis posterior. Hipofisis posterior,
secara embriologis berasal dari pertumbuhan berlebihan otak, terdiri dari
jaringan saraf dan disebut juga neurohipofisis. Sedangkan hipofisis
anterior terdiri dari jaringan epitel kelenjar yang secara embriologis
berasal dari penonjolan dari atap mulut. Hipofisis anterior juga disebut
dengan adenohipofisis.

Gambar 1. Hpotalamus dan hipofise di kuti dari Buku Ilmu Kandungan Prawirohardjo
ed. III
3

2. Ovarium
Indung telur pada seorang dewasa kira-kira sebesar ibu jari tangan, terletak
di kiri dan di kanan, dekat pada dinding pelvis di fossa ovarika. Ovarium
dihubungkan dengan uterus melalui ligamentum ovarii proprium. Arteria
ovarika berjalan menuju ovarium melalui ligamentum suspensorium ovarii
(ligamentum infundibulopelvikum). Ovarium terletak pada lapisan
belakang ligamentum iatum. Sebagian besar ovarium berada
intraperitoneal dan tidak dilapisi oleh peritoneum. Sebagian kecil ovarium
berada di dalam ligamentum latum, disebut hilus ovarii. Pada bagian hilus
ini masuk pembuluh darah dan saraf ke ovarium. fipatanyang
menghubungkan lapisan belakang ligamentum latum dengan ovarium
dinamakan mesovarium.
4

Gambar 2. Ovarium, dikutip dari Gerrad J Tortora, Principles of Anatomy and


Physiology, 13th ed.

Bagian ovarium yang berada di dalam kavum peritonei dilapisi


oleh epitel selapis kubik-silindrik, disebut epitelium germinativum. Di
bawah epitel ini terdapat tunika albuginea dan di bawahnya lagi baru
ditemukan lapisan tempat folikel-folikel primordial. Tiap bulan satu
folikel, kadang-kadang dua folikel, berkembang menjadi folikel de Graaf.
Folikel-folikel ini merupakan bagian ovarium terpenting dan dapat
ditemukan di korteks ovarii dalam letak yang beraneka ragam, dan jtga
dalam tingkat-tingkat perkembangan dari satu sel telur yang dikelilingi
oleh satu lapisan sel saja sampai folikel de Graaf matang. Folikel yang
matang ini terisi dengan likuor follikuli yang mengandung estrogen, dan
siap untuk berovulasi.
3. Tuba Falopi dan Uterus
Tuba Fallopii ialah saluran telur yang berasal (seperti juga uterus)
dari duktus Mulleri. Rata-rata panjang tuba 11 - 14 cm. Bagian tuba yang
berada di dinding uterus dinamakan pars interstisialis, lateral dari itu ke
arah ujung tuba (3 - 6 cm) terdapat pars ismika yang masih sempit
(diameter 2 - 3 mrn), dan lebih ke arah distal lagi disebut pars ampularis
yang lebih lebar (diameter 1 - 10 mm); tuba mempunyai ujung terbuka
menyerupai anemon yang disebut infundibulum dan fimbria yang
merupakan tangantangannya.
5

Gambar 3. Tuba, dikutip dari Gerrad J Tortora, Principles of Anatomy and Physiology,
13th ed.

Uterus pada seorang dewasa berbentuk seperti buah avokad atau


buah piryang sedikit gepeng. Ukuran panjang uterus adalah 7 - 7,5 cm,
lebar di tempat yang paling lebar 5,25 cm, dan tebal 2,5 cm. Uterus terdiri
atas korpus uteri (2/3 bagian atas) dan serviks uteri (1/3 bagian bawah). Di
dalam korpus uteri terdapat rongga (kavum uteri), yang membuka ke luar
melalui saluran (kanalis servikalis) yang terletak di serviks. Bagian bawah
serviks yang terletak di vagina dinamakan porsio uteri (pars vaginalis
servisis uteri), sedangkan yang berada di atas vagina disebut pars

supravaginalis servisis uteh. Antara korpus dan serviks masih ada bagian
yang disebut ismus uteri. Bagian atas uterus disebut fundus uteri. Di situ
tuba Fallopii kanan dan kiri masuk ke uterus. Dinding uter-us terdiri
tenrtama atas miometrium, yang menrpakan otot polos berlapis tiga;
lapisan otot sebelah luar berjalan longitudinal dan lapisan sebelah dalam
berjalan sirkuler, di antara kedua lapisan ini otot polos berjalan saling
beranyaman. Miometrium dalam keseluruhannya dapat berkontraksi dan
berelaksasi.
6

Gambar 4. Uterus, dikutip dari Gerrad J, Principles of Anatomy and Physiology, 13th
ed.

C. Fisiologi Menstruasi
Sistem reproduksi wanita dapat dibagi dalam 4 kompartemen yaitu:
1. Kompartemen I : gangguan pada uterus dan patensi (owflow tact)
7

2. Kompartemen II : gangguan pada ovarium


3. Kompartemen III : gangguan pada hipofisis
4. Kompartemen IV : gangguan pada hipotalamus/susunan saraf pusat
Fisiologi menstruasi merupakan hasil kerjasama yang sangat kompleks
antara keempat kompartemen tersebut. Faktor yang memegang kendali dalam
kerjasama antara keempat kompartemen tersebut adalah sistem endokrin yaitu
hubungan antara hipotalamus, hipofise dan ovarium (hypothalamic-
pituitaryovarian axis). Siklus menstruasi dibagi dalam 3 fase yaitu: fase
folikular, ovulasi dan fase luteal.
Hipotalamus menghasilkan GnRH (Gonadotropin Releasing
Hormone). GnRH ini merangsang hipofise untuk mengeluarkan gonadotropin
yaitu FSH (Follicle Stimulating Hormone) dan LH (Luteinizing Hormone).
FSH menyebabkan perkembangan beberapa folikel di dalam ovarium. Hanya
satu folikel yang akan mengalami pematangan ( Folikel de Graaf) dan
berovulasi, sedangkan sisanya akan mengalami atresia. Pada waktu ini LH
juga akan meningkat untuk membantu pembuatan estrogen di dalam folikel.
Sejalan dengan pematangan folikel, kadar estrogen semakin meningkat.
Estrogen akan menyebabkan proliferasi dari endometrium. Oleh karena itu,
fase folikular juga disebut sebagai fase proliferasi. Pada fase akhir pematangan
folikel, kadar FSH mulai menurun sedangkan kadar estrogen makin meninggi.
Estrogen pada mulanya meninggi secara berangsur-angsur kemudian dengan
cepat mencapai puncaknya. Ini memberikan umpan balik positip terhadap
pusat siklik ( di bagian depan hipotalamus di daerah suprakiasmatik) sehingga
terjadi lonjakan LH (LH surge) pada pertengahan siklus dan mengakibatkan
terjadinya ovulasi. LH yang meninggi itu menetap kira-kira 24 jam dan
menurun pada fase luteal.
Pada fase luteal, setelah ovulasi, folikel berkembang menjadi corpus
luteum. Luteinized granulosa cells dalam corpus luteum membuat
progesterone banyak dan luteinized theca cells membuat pula estrogen yang
banyak, sehingga kedua hormon itu meningkat tinggi pada fase luteal.
Progesteron menyebabkan proliferasi endometrium (yang terjadi pada fase
8

proliferasi, distimulasi oleh estrogen) berubah menjadi fase sekresi. Bila tidak
terjadi fertilisasi maka mulai 10-12 hari setelah ovulasi korpus luteum
berangsurangsur mengalami regresi diikuti oleh menurunnya sekresi

progesterone dan estrogen. Penurunan kadar progesteron dan estrogen akan


menyebabkan pelepasan endometrium, sehingga terjadilah menstruasi yang
dikeluarkan melewati vagina.

Gambar 5. Siklus Menstruasi

Lamanya masing-masing fase bervariasi pada wanita yang satu dengan


wanita yang lain, juga bervariasi pada siklus yang satu ke siklus berikutnya.
Namun, ratarata siklus menstruasi yang normal adalah 28 hari. Siklus
menstruasi dimulai dari hari pertama keluarnya darah menstruasi. Bila
9

terdapat gangguan atau kelainan dari salah satu organ tersebut, maka akan
terjadi pula gangguan pada siklus menstruasi yang dapat memberikan gejala
klinik antara lain amenore.

D. Definisi Amenorea
Amenorea merupakan salah satu gangguan pada siklus haid ditandai
dengan tidak terjadinya haid pada seseorang perempuan dengan mencakup
salah satu tiga tanda sebagai berikut, tidak terjadi haid sampai usia 14 tahun,
disertai tidak adanya pertumbuhan atau perkembangan tanda kelamin
sekunder, tidak terjadi haid sampai usia 16 tahun, disertai adanya
pertumbuhan normal dan perkembangan tanda kelamin sekunder dan tidak
terjadi haid untuk sedikitnya selama 3 bulan berturut-turut pada perempuan
yang sebelumnya pernah haid.
Secara klasik amenorea dibagi 2 macam, yaitu amenorea primer dan
sekunder. Amenore primer adalah tertundanya menarke pada usia 14 tahun
tanpa disertai seks sekunder atau tidak adanya menstruasi pada usia 16 tahun
dengan adanya pertumbuhan normal seks sekunder. Dikatakan amenorea
sekunder bila seorang wanita usia reproduktif yang pernah mengalami haid,
tiba-tiba haidnya berhenti untuk sedikitnya 3 bulan berturut-turut.
E. Etiologi dan Patogenesis Amenorea
Amenore patologik sebenarnya bukan merupakan gambaran klinis dari
suatu kumpulan penyakit, melainkan harus dilihat sebagai suatu symptom
suatu penyakit, yang harus mendapat perhatian serius (Catherine, 2010).
Penyebab tidak munculnya menstruasi dapat disebabkan oleh organ yang
bertanggung jawab terhadap proses terjadinya siklus menstruasi, dan proses
pengeluaran darah menstruasi. Prinsip ini berguna untuk mendapatkan
evaluasi diagnostik yang memisahkan penyebab dari amenore ke dalam
kompartemen berikut ini:
1. Kompartemen I : gangguan pada uterus dan patensi (owflow tact)
2. Kompartemen II : gangguan pada ovarium
3. Kompartemen III : gangguan pada hipofisis
4. Kompartemen IV : gangguan pada hipotalamus/susunan saraf pusat
10

1. Kelainan hypothalamus ( kompartemen IV )


a. Amenorea Hipotalamus
Defisiensi sekresi pulsatil GnRH akan menyebabkan gangguan
pengeluaran gonadotropin sehingga berakibat gangguan pematangan
folikel dan ovulasi dan pada giIirannya akan terjadi amenorea
hipotalamus. Kelainan di hipotalamus ditegakkan dengan melakukan
eksklusi adanya lesi di hipofisis dan biasanya berhubungan dengan
gangguan psikis.
b. Penuranan Berat Badan Berlebib
1) Anoreksia Nervosa
Biasanya gejala anoreksia nervosa dimulai antara umur 10 -
30 tahun. Badan tampak kurus dengan berat badan berkurang 25%,
disertai pertumbuhan rambut lanugo, bradikardia, aktivitas
berlebih, bulimia (makan berlebih), muntah yang biasanya dibuat
sendiri, amenorea, dan lain sebagainya. Penyakit ini biasanya
dijumpai pada perempuan muda dengan gangguan emosional yang
berat. Keadaan dimulai dengan diet untuk mengontrol berat badan,
selanjutnya diikuti ketakutan tidak bisa disiplin menjaga berat
badan.
2) Bulimia
Bulimia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan
episode makan berlebihan dan dilanjutkan dengan menginduksi
muntah, puasa, atau penggunaan obat pencahar dan diuretika.
Anoreksia dan bulimia merupakan gambaran disfungsi mekanisme
tubuh untuk mengatur rasa lapar, haus, suhu, dan keseimbangan
otonomik yang diregulasi oleh hipotalamus. Kadar FSH dan LH
rendah, sedangkan kadar kortisol meningkat.
11

Penanganan anoreksia nervosa harus dilakukan oleh ahli


psikiatri untuk melakukan intewensi psikologis berupa cog'titioe-
behavioral tberapy. Pendekatan secara terpadu melibatkan dokter
psikiatri, ahli nutrisi, dan orang tua sangat bermanfaat.
c. Sindroma Kallmann
Suatu keadaan yang jarang ditemukan pada perempuan yaitu
kelainan kongenital hipogonadotropin hipogonadisme disebabkan oleh
defisit sekresi GnRH. Gambaran klinis berupa amenorea primer,
perkembangan seks sekunder infantil, kadar gonadotropin rendah,
kariotipe perempuan normal, dan kehilangan atan teriadi penurunan
persepsi bau (misalnya tidak bisa mencium bau kopi, parfum dan lain-
lain). Sindroma Kallmann berhubungan dengan defek anatomi spesifik
yaitu terdapat hipoplasia atau tidak adanya sulkus olfaktorius di
rinensefalon. Gonad tetap respons dengan stimulus gonadotropin,
induksi or,rrlasi dengan gonadotropin eksogen memberikan hasil baik
tetapi tidak dengan klomifen sitrat"
2. Kelainan hipofisis ( kompartemen III)
a. Iskemik/nekrotik hipofisis: Sindroma Sheehan
b. Adenoma laktotrop: Amenorea galaktorea atau hiperprolaktinemia.
c. Adenoma Basofilik  hipersekresi cortisol  Penyakit Cushing
d. Psikogenik
Gangguan pada kompartemen ini dapat berupa gangguan pada
hipofise anterior. Gangguan dapat berupa adanya tumor yang bersifat
mendesak ataupun menghasilkan hormon yang membuat haid menjadi
terganggu (Olga & Anastasios, 2010).
Hiperprolaktinemia adalah suatu gejala yang merupakan hasil dari
suatu spektrum yang luas dari kelebihan produksi laktotrof dari prolaktin
dengan keadaan mulai dari ukuran hipofisis yang normal sampai
perubahan adenomatosa dengan pembesaran hipofisis. Follow up jangka
panjang pada wanita hiperprolaktinemia yang tidak diobati menunjukkan
bahwa wanita dengan adenoma atau tanpa adenoma hipofisis biasanya
12

tidak menunjukkan perkembangan dari penyakit sebagai hasil yang nyata


dari adanya pengamatan secara radiologis (Ursula, 2012).
Peningkatan kadar prolaktin serum yang ringan mungkin
disebabkan oleh beberapa faktor, termasuk diantaranya pemberian
estrogen dan fenotiazin, respon dari stress, makanan (khususnya makanan
yang banyak mengandung asam amino), hipotiroid primer, tumor-tumor
hipotalamus-hipofisis. Adenoma hipofisis yang memproduksi prolaktin
umumnya muncul yang tandai dengan peningkatan kadar prolaktin (sering
> 100 ng/mL). Tumor-tumor hipotalamus dan makroadenoma dapat
menekan batang hipofisis, menghambat transport dari dopamin dan faktor-
faktor hipotalamus-hipofisis, dengan hasil hiperprolaktinemia dan
berbagai tingkat hipopituitarism. Penderita dengan hiperprolaktinemia
ringan harus dilakukan eksplorasi tentang riwayat dan dilakukan
pemeriksaan untuk menentukan keadaan hipofisis, hipersekresi hipofisis,
atau efek dari penekanan massa (Ursula, 2012).

Berikut adalah penyebab hiperprolaktin antara lain:


(American Society for Reproductive Medicine, 2006) & (Ursula, 2012).
A. Gangguan pada hypothalamus, misalnya hipotiroid primer, dan
insufisiensi adrenal. Mekanisme terjadinya hiperprolaktinemia dalam
hal ini adalah oleh karena terjadinya peningkatan  thyrotropin releasing
hormone  (TRH) di hipotalamus dan penurunan
metabolismenya.Tiroksin mempunyai efek hambatan terhadap sekresi
prolaktin. Kekurangan hormone tiroid (hipotiroid), khususnya
hipotiroid primer menyebabkan kadar TRH endogen dan TSH
meningkat. Hal ini disebabkan oleh bertambahnya kepekaan hipofisis
pada keadaan hipotiroid. TRH merangsang laktotrof untuk mensintesis
prolaktin yang berlebihan, sedangkan biosintesis Prolaktin Inhibiting
Factor (PIF) menurun, sehingga wanita dengan hipotiroid akan
mengalami hiperprolaktinemia. Meningkatnya kadar prolaktin plasma
menyebabkan wanita dengan hipotiroid akan mengalami gangguan
13

fertilitas yang  berat. Hal ini akan menyebabkan gangguan siklus haid,
dari oligomenore  sampai amenore dan anovulasi. Pada hipotiroidisme
pula, jaringan payudara akan menjadi lebih peka terhadap prolaktin,
meski pada kadar yang normal sekalipun. Sehingga hiperprolaktinemia
pada keadaan hipotiroidisme hampir selalu menampilkan galaktore.
Pada keadaan ini sering dijumpai hingga  sella tursika melebar. Selain
itu pada keadaan-keadaan seperti nyeri prahaid, galaktore atau kadar
PRL yang tinggi harus dipikirkan adanya tiroid.Hubungan tingginya
kadar prolaktin dengan hipotiroid dapat dijelaskan sebagai berikut.
Akibat tidak adanya reaksi umpan balik negative dari T3 dan T4
terhadap hipofisis anterior, maka hipofisis tersebut akan melepaskan
hormone pelepas tiroid  dalam jumlah yang banyak, dan ini akan
memicu T3 dan T4 dan juga sekresi prolaktin. Dengan demikian
hipotiroid  hampir selalu menimbulkan hiperprolaktinemia, yang
akhirnya akan mengganggu fungsi ovarium. Kadar prolaktin yang
tinggi akan menekan FSH dan LH sehingga menyebabkan gangguan
pematangan folikel. Di samping itu prolaktin yang tinggi juga
menyebabkan peningkatan sekresi androgen dari kelenjar adrenal
yaitu  dehidroepiandrosteron sulfat (DHEAs). Kadar androgen yang
tinggi ini selanjutnya akan menghambat pematangan folikel.
B. Gangguan pada hipofisis, misalnya tumor pada hipofisis baik berupa
mikro ataupun makroprolaktinoma, infiltrasi penyakit lain terhadap
hipofisis seperti tuberculosis, dan sarcoidosis,  hypothalamic stalk
Interruption.  Hal ini dapat terjadi karena adanya gangguan atau
hambatan dari transport dopamine di hypothalamus dan atau terjadinya
sekresi growth hormone dan prolaktin. Suplai  pendarahan abnormal
pada tumor hipofisis atau tangkainya, dapat mengganggu sirkulasi
hipotalamus ke tangkai hipofisis dan ke sel laktotrof.
C. Obat-obatan. Misalnya Dopamine-receptor antagonists
(phenothiazines, butyrophenones, thioxanthenes, risperidone,
metoclopramide, sulpiride, pimozide), Dopamine-depleting agents
14

(methyldopa, reserpine), Anti histamin (AH2) seperti cimetidine, anti


hypertensi (verapamil), dan anti depresan golongan trisiklik, estrogen
dan opiate. Estrogen dapat menyebabkan hiperprolaktinemia oleh
karena estrogen memiliki sifat positif terhadap laktotrof. Dan obat-obat
opiate menyebabkan hiperprolaktinemia karena dapat  menstimulasi
reseptor opiod pada hipotalamus.
D. Neurogenik, seperti adanya luka pada dinding dada misalnya luka
operasi, luka  bakar, dan herpes zoster. hal ini adalah akibat refleks
abnormal dari stimulasi cedera tersebut sehingga terjadi peningkatan
prolaktin. Refleks tersebut berawal pada saraf intercostalis yang
menjalar ke spinal cord lalu menuju mesensefalon hingga sampai pada
hipotalamus yang pada akhirnya mengurangi pelepaskan dopamine.
E. Penurunan eliminasi prolaktin dalam tubuh. Misalnya pada gagal
ginjal, dan insufisiensi hepar. Hal ini disebabkan oleh rendahnya
bersihan prolaktin dalam sirkulasi sistemik tubuh dan stimulasi
prolaktin langsung pada pusat.
F. Molekul abnormal, misalnya makroprolaktinemia. Molekul abnormal
ini merupakan bentuk polimerik prolaktin  yang berikatan dengan IgG
sehingga prolaktin tidak dapat berikatan dengan reseptornya dan tidak
dapat dieliminasi
15

G. Idiopatik

Gambar 2.5. Hiperprolaktenemia


Menurut (Tarannum & Diana, 2006) Sindrom Sheehan adalah
agalactorrhea (ketiadaan laktasi) dan / atau kesulitan-kesulitan dengan
laktasi. Hypertrophy and hyperplasia dari lactotrophs selama kehamilan

menghasilkan pembesaran pituitari anterior, tanpa peningkatan yang sesuai


16

dalam persediaan darah. Sehingga menyebabkan iskemik lalu menjadi


nekrosis. Sindrom Cushing disebabkan hormon kortisol yang dihasilkan
secara berlebihan. Hormon kortisol dihasilkan oleh kelenjar adrenal.
3. Kelainan ovarium (kompartemen II )
(Tarannum & Diana, 2006) & (David & Merrilly, 2013)
a. Sindroma ovarium resisten gonadotropin, yang dikenal pula dengan
istilah sindroma ovarium insensitive atau ovarium hiposensitif
gonadotropin. Penyebab yang pasti dari kelainan ini belum seluruhnya
terungkap. Kini yang banyak diperbincangkan adalah adanya gangguan
pembentukan reseptor-reseptor gonadotropin di ovarium akibat proses
autoimun
b. Sindrom ovarium polikistik (SOPK). Sindrom ovarium polikistik
merupakan salah satu kelainan endokrin pada sistem reproduksi wanita,
mengenai sekitar 5-10% wanita usia reproduktif, dan merupakan
penyebab paling sering terjadinya infertilitas pada wanita. SOPK
ditandai dengan hiperandrogenisme dan hiperinsulinemia.
c. Kegagalan prematur ovulasi berhubungan dengan
hypergonadotropinism dan hypoestrogenism pada perempuan di bawah
40 tahun. Penyebab tampak menjadi multifaktor dan banyak kasus
idiopatik. Ketika kelenjar-kelenjar hadir tetapi ovari tidak mampu untuk
menanggapi gonadotropins, sindrom ovarium resistensi gonadotropin
mungkin dihubungkan dengan penyakit autoimun. Sekitar 1% wanita
akan mengalami hal ini sebelum usia 40 tahun. Hal ini juga terjadi pada
wanita dengan amenorrhea. Kegagalan ovarium yang prematur dapat
disebabkan kelainan genetik dengan peningkatan kematian folikel.
Dapat juga merupakan proses autoimun dimana folikel dihancurkan.
d. Hipertikosis ovarium. Kejadian frekuensi: 40-50 mendokumentasikan
kasus-kasus di seluruh bumi dari penemuannya. Akibat alami (tanpa
menghitung kasus tersebut dalam keluarga-keluarga) dianggap dalam
kasus antara 1 miliar. Penyebabnya: Tidak Diketahui. Beberapa ahli
sains menyatakan bahwa ia disebabkan oleh mutasi dengan pewarisan
17

dominan autosom. Mayoritas disebabkan oleh warisan akrab dan,


sangat jarang, mutasi terjadi secara spontan.

Ga
mbar 2.6

Penyebab disfungsi Ovarium


18

4. Kelainan uterus ( kompartemen I )


a. Sindrom Asherman (Alessandro et all, 2013)
Pada sindrom ini terjadi amenorrhea sekunder. Keadaan ini
terjadi akibat kuretase postpartum berlebihan sehingga terjadi sikatrik
dan perlengketan. Endometrium mungkin memiliki tekanan yang
begitu besar. Pasien dengan asherman sindrom dapat mengalamai
keluhan lain seperti dismenorrhea dan hypomenorrhea (David &
Merrilly, 2013). Parut pada endometrium (lapisan rahim) atau
perlekatan intrauterine (dalam rahim) yang disebut sebagai sindrom
Asherman ini dapat terjadi karena tindakan kuret, operasi sesar,
miomektomi (operasi pengambilan mioma rahim), atau tuberkulosis.
Kelainan ini dapat dilihat dengan histerosalpingografi (melihat rahim
dengan menggunakan foto roentgen dengan kontras.
Pada masa lalu, asherman sindorm diobati dengan dilatasi dan
kuretase untuk menghancurkan sikatrik. Sekarang dapat digunakan
histeroskopi dengan melisiskan adhesi dengan memotong dan
membakar dengan hasil yang lebih baik dibanding kuretase yang tidak
terarah. Setelah dilakukan histeroskopi, perlu dicegah terjadinya
kembali perlengketan dengan memasang IUD. Dapat juga
menggunakan folley kateter pediatrik dengan memasukan 3 cc dan
baru dilepas setelah 7 hari. Antibiotik spektrum luas dimulai sebelum
operasi dan dipertahankan selama 10 hari. Penghambat sintesis
prostaglandin dapat digunakan bila kejang uterus menjadi masalah.
Pasien diterapi selama 2 bulan dengan rangsangan dosis tinggi dari
estrogen (misalnya estrogen terkonjugasi 2,5 mg perhari selama 3 dari
4 minggu dengan medroksiprogesteron asetat 10 mg perhari yang
ditambahkan selama minggu ketiga). Bila percobaan awal gagal untuk
memperoleh kembali aliran menstrual, percobaan ulang merupakan hal
yang berharga. Pengobatan persisten dengan prosedur yang berulang
mungkin diperlukan untuk memperoleh kembali kemampuan
reproduktif. Sekitar 70-80% dari pasien dengan keadaan ini telah
19

mencaai kehamilan yang sukses. Namun, kehamilan sering


berkomplikasi dengan kalahiran dini, perlekatan plasenta, plasenta
previa, dan/atau perdarahan pasca persalinan (AAGL Practice Report,
2009).

Gambar 2.7 sindroma asherman


b. Atresia Himenalis (Sindroma Rokitansky) (Alfonso et all, 2013)
Perkembangan gonad adalah terpisah dari perkembangan
saluran (saluran Muller dan Wolfian) sehingga dalam keadaan ovarium
yang normal termasuk fungsinya dapat terjadi tidak ada vagina dan
uterus, dan kelainan ini disebut Mayer Rokitansky Hauser Syndrome.
Sindrom ini terjadi pada wanita yang memiliki indung telur normal
namun tidak memiliki rahim dan vagina atau memiliki keduanya
namun kecil atau mengerut.
Pemeriksaan dengan MRI atau ultrasonografi (USG) dapat
membantu melihat kelainan ini
1) Tidak adanya uterus dan vagina (sisa uterus yang rudimenter
biasanya dengan tuba fallopii yang juga rudimenter)
2) Fungsi ovarium normal, termasuk terjadinya ovulasi
3) Jenis kelamin wanita
4) Seks fenotip wanita (pertumbuhan payudara, proporsi tubuh,
distribusi rambut dan genitalia eksterna normal)
5) Seks genetik wanita (46,XX)
20

6) Sering berhubungan dengan kelainan kongenital lain (terutama


kelainan ginjal).

Gambar 2. 8 sindroma Rokitansky

F. Gejala Klinis
1. Galaktorea (payudara menghasilkan susu pada wanita yang tidak hamil
atau menyusui),
2. Sakit kepala, atau dikurangi penglihatan tepi bisa menjadi tanda dari tumor
intrakranial.
3. Peningkatan pertumbuhan rambut dalam pola laki-laki (hirsutisme) dapat
disebabkan oleh kelebihan androgen (hormon yang mendorong
perkembangan karakteristik seks laki-laki).
4. Kekeringan vagina, hot flashes, berkeringat di malam hari, atau tidur tidak
teratur mungkin merupakan tanda insufisiensi ovarium atau kegagalan
ovarium prematur.
5. Berat badan atau penurunan berat badan yang nyata mungkin ada.
6. Kecemasan yang berlebihan dapat hadir pada wanita dengan kelainan
kejiwaan terkait.4
G. Diadnosis

H. d
21

I. Algoritma Terapi Amenorea


Secara umum, algoritma pasien dengan amenorea dilakukan dulu
evaluasi kelainan menstruasi yng dimulai dengan pertanyaan tentang
perkembangan pubertas, bagaimana siklus menstruasinya baik interval siklus,
durasi, dan jumlah aliran menstruasi (Klein & Poth, 2013)

Gambar 2.9 . Diagnosis Amenorea Sekunder bertahap (Klein & Poth, 2013)

Gambar 3.0. Management of secondary amenorrhea (Carlson & Golden, 2008)


22

1. Tinjauan Tentang Obat Pada Pasien Amenorea


a. Kontrasepsi Oral
Pemilihan kontrasepsi oral ditujukan pada wanita dengan
PCOS yang tidak menghendaki kehamilan . mekanisme keja untuk
mengatur siklus menstruasi agar normal kembali dengan menekan
regulasi periode mestruasi, yang mana obat ini juga mereduksi
hirsutisme, acne dan androgen (Ndefo & Robinson, 2013).
Pemberian kontrasepsi oral secara kombinasi (estrogen –
progestin) diberikan untuk pada pasien dengan kondisi PCOS untuk
kontasepsi oral dalamterapi PCOS adalah n merLH dan FSH serta
androgen sehingga androgen ovarium berkurang produksinya,
meningkatkan produksi SHBG di hepar sehingga mampu menurunkan
konsentrasi testosteron bebas. Pada PCOS, kontrasepsi oral ini
diberikan secara tablet oral selama 21 (pil aktif) kemudian 7 hari
dengan pil yang tidak aktif setiap harinya (Carrel & Peterson, 2010;
Koda-Kimble, 2009). Pada penggunaan kontrasepsi oral kombinasi
harus dimulai dengan formulasi yang mengandung estrogen dosis
rendah atau sangat rendah (≤ 35 μg etinil estradiol) dan progestin
androgenik rendah atau dengan sifat antiandrogen (Koda-Kimble,
2009).
Secara umum, untuk mengatasi amenorea diberikan kombinasi
kontrasepsi oral dengan dosis 30 – 40 μg dalam formulasi secara oral
untuk mengatur siklus menstruasi kembali. Pemberian kontrsepsi oral
ini digunakan untuk menginduki terjadinya penebalan endometrium
dan perdarahan endometrium ketika penggunaannya dihentikan
(Umland, 2011).
Macam-macam kontrasepsi oral yang digunakan adalah etinil
estradiol 30 μg yang bisa dikombinasi dengan desogestrel 150 μg,
gestoden 75 μg, dan norethisteron asetat 1 mg yang masing-masing
kombinasi tersebut dignakan selama 28 hari dengan 21 pil akif (BNF,
2011). Selain itu ada pula estradiol valerat 2 mg dikombinasi dengan
23

dienogest 2 mg yang digunakan setiap hari selama 28 hari dan berisi 5


pil aktif. Estradiol valerat 2 mg dengan dienogest 3 mg yang juga
digunakan selama 28 hari dengan 17 pil aktif (BNF, 2011).
Efek samping dari penggunaan kotrasepsi oral adalah adanya
tromboemboli pada vena, faktor resiko pada kardiovaskular, infrak
miokard, dan stroke (LeBlanc & Laws, 1999), namun beberapa
penelitian telah menunjukkan bahwa kombinasi pil kontrasepsi oral
dapat mengurangi resiko kanker ovarium 30 - 50% dan mengurangi
resiko kanker endometrium 50%. Hal ini merupakan keuntungan yang
penting bagi wanita yang mengalami endometriosis, yang mungkin
dapat meningkatkan resiko terjadinya kanker ovarium (Reid, 2010).
b. Hormon Replacement Therapy (HRT)
1) Estrogen
Terapi penggantian hormon estrogen ini ditujukan pada
pasien dengan keadaan hipogonadisme untuk menghindari
osteoporosis . Pemberian HRT berupa estrogen ini pada pasien
dengan keadaan kadar estrogen dalam serum sangat rendah,
kegagalan pembentukan ovarium, menopause prematur, dan
menopause (Katzung, 2011). Sediaan estrogen yang sering
digunakan adalah dalam bentuk kombinasi dengan progestin
(kontrasepsi oral), conjugated equine estrogen (CEE), dan atau
etinil estradiol yang juga bisa mengurangi resiko terjadinya
osteoporosis (Umland, 2011).
Cincin A fenolik adalah struktural utama yang bertanggung
jawab secara selektif, dengan afinitas tinggi mengikat kedua
reseptor estrogen. Substitusi alkil pada cincin A akan merusak
ikatan dengan reseptor, tetapi substitusi pada cincin C atau D dapat
ditoleransi. Ethinyl tersubstitusi pada posisi C17 sangat
meningkatkan potensi dengan menghambat first pass metabolisme
hati.
24

Bila dilepaskan dalam sirkulsi, estradiol terikat kuat pada


α2 globulin dan pada albumin dengan afinitas yang lebih rendah.
Estrogen dikonversi di hepar menjadi estron dan estriol serta
turunan 2-hidroksilasi-nya dan konjugatnya yang kemudian
diekskresi melalui empedu. Konjugat tersebut mampu dihidrolisis
di usus yang nantinya dapat diabsorbsi kembali (Katzung, 2011).
Terapi yang diberikan untuk merangsang perkembangan
seks sekunder diberikan mulai dosis rendah (estrogen terkonjugasi
0,3 mg atau etinil estradiol 5 – 10 μg) pada hari ke-1 smapai hari
ke-21 tiap bulan dan perlahan ditingkatkan hingga dosis dewasa
lalu dipertahankan sampai usia menopause (Katzung, 2011). Pada
usia dewasa, pemberian estrogen terkonjugasi sebesar 0,3 – 0,625
mg secara oral per hari diberikan secara siklis (pada hari ke-1
sampai hari ke-25 siklus menstruasi) pada pasien dengan keadaan
hipogonadisme dengan dosis yang juga disesuaikan pada keadaan
dan respon endometrium . Sementara pemberian etinil estradiol
diberikan 50 μg per hari (Umland, 2011) atau untuk defisiensi
estrogen diberikan 1 – 3 tablet / 24 jam dengan rumatan 0,5 tablet /
24 jam dengan dosis 1 tablet 0,05 mg (Formularium, 2008).
Pada pasien amenorea dengan keadaan hiposetrogen
(normal produksi estrogen dari folikel ovarium adalah 70 – 50 μg
per hari sebagai estradiol) karena hipogonadisme atau POF diberi
estradiol secara oral dengan dosis 1 – 2 mg per hari yang bisa
ditambahkan bila perlu untuk mengontrol gejala (Farthing, 2009).
Pemberian estrogen teresterifikasi pada wanita hipogonadisme
secara siklis dengan dosis 2,5 – 7,5 mg per hari dalam dosis terbagi
selama 20 hari diikuti periode istirahat selama 10 hari mampu
menghasilkan perdarahan dari endometrium sementara pada POF
diberikan dengan dosis 1,25 mg per hari secara siklis. Efek
samping yang diberikan dari penggunaan HRT estrogen ini bisa
berupa perdarahan uterus, kanker, adanya rasa mual dan nyeri pada
25

payudara. Dikontraindikasikan pada penderita neoplasma yang


bergantung pada estrogen seperti karsinoma endometrium
(Katzung, 2011).
2) Progesteron
Progesteron sintetis berupa progestin sering dipakai dalam
bentuk kontrasepsi oral. Progesteron cepat diabsorbsi setelah
diberikan dengan cara apapun. Waktu aruhnya dalam plasma
adalah sekitar 5 menit dan sejumlah kecil disimpan sementara
dalam depo lemak. Dimetabolisme hampir lengkap pada stu kali
perjalanan melalui hepar sehingga terkadang tidak efektif bila
diberikan secara oral Di hepar, progesteron dimetabolisme menjadi
pregnanediol dan terkonjugasi dengan asam glukuronat yang
nantinya akan diekskresi dalam urin dalam bentuk pregnanediol
glukuronida (Katzung, 2011).
Progestin yang digunakan pada amenorea sekunderi ini
ditujukan untuk menginduksi perdarahan (withdrawal bleeding)
pada pasien dengan keadaan abnormal uterus yang akan berperan
pada fase luteal pada siklus mesntruasi (Brunton, 2006). Selain
dalam bentuk kontrasepsi oral kombinasi, progestin terdapat dalam
bentuk depo medroxyprogesteron asetat (MPA) secara parenteral
dengan dosis 150 mg setiap 12 minggu dan atau pemberian secara
oral MPA dengan dosis 5 - 10 mg selama 10 - 14 hari setiap 1 – 2
bulan untuk mengatur siklus menstruasi kembali normal dengan
menyebabkannya perdarahan karena mengubah fase proliferatif
endometrium menjadi fase sekretorik endometrium (Koda-Kimble,
2009; Katzung, 2011; Umland, 2011). Pemberian norethisteron
pada pasien amenorea ditujukan untuk tes progesteron yang
menginduksi terjadinya withdrawal bleeding setelah menggunakan
tablet terakhir. Dosis penggunaan yang bisa memberikan efek
terapi adalah 10 – 15 mg/ hari selama 5 – 10 hari secara oral.
26

Penggunaan progestin saja dan dalam kombinasi


kontrasepsi oral dapat menimbulkan tekanan darah tinggi, selain
itu kombinasi HRT estrogen dan progesteron akan menginduksi
terjadinya kanker payudara dibandingkan dengan wanita yang
hanya mendapatkan terapi estrogen saja (Katzung, 2011).
3) Hormon Tiroid
Tiroksin (natrium levothyroxine) merupakan pilihan untuk
terapi penggantian hormon tiroid yang sering digunakan untuk
mengatasi keadaan hipotiroid karena meningkatnya kadar TSH
menjadi > 4,5 mIU/L (normal ≤ 2 mIU/L) (Dittrich, 2011) karena
potensi yang konsisten dengan 50 – 80% dosis diabsorbsi. Tiroksin
ini diabsorbsi di duodenum dan ileum (Brunton, 2006).
Levotiroksin ini memiliki waktu paruh yang panjang yakni
7 hari dan diberikan sehari sekali sehigga sering dipakai untuk
terapi pengganti hormon tiroid. Dosis harian yang diberikan rata-
rata pada dewasa dengan berat badan 68 kg adalah 112 mg sebagai
dosis tunggal (Katzung, 2011; Brunton, 2006). Pada keadaan
hipotiroid ini setelah pemberian pengganti tiroid harus dipantau
kadar TSH dengan mencapai terget terapi 0,5 – 2 mIU/L untuk
hampir masing-masing individual (Dittrich, 2011).
c. Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid pada amenorea ini adalah pada
pasien dengan defisiensi 17α-hidroksilase karena 17α-hidroksilase
diperlukan untuk mengubah kolesterol menjadi kortisol melalui jalur
glukokortikosteroid dan mengubah koesterol menjadi estradiol melalui
jalur androgen dan estrogen (Katzung, 2011).
Defisiensi 17α-hidroksilase ini terjadi pada keadaan hiperfungsi
dan hipofungsi adrenokortikal (hiperplasia adrenal kongenital),
sehingga pemberian kortikosteroid ini bisa secara intravena atau oral
yang dengan dosis 12 – 18 mg/m3 per hari dalam dua dosis terbagi
27

yang tidak setara. Terapi prednison selang sehari, juga bisa diberikan
fludrokortison 0,05 – 0,2 mg perhari secara oral (Katzung, 2011).
Deksametason juga bisa digunakan untuk mengobati pasein
adrenal hiperandrogenisa. Dosis yang diberikan serendah mungkin
pada awalnya yaitu 0,25 mg setiap malam pada waktu tidur dilanjutkan
yang dapat dikombinasi dengan klomifen sitrat (Koda-Kimble, 2009).
Dosis harian lebih besar dari 0,5 mg harus dihindari untuk mencegah
efek samping yang berat. Untuk menghindari oversupssi dari hipofisis
kadar kortisol serum pada pagi hari harus dikontrol (mempertahankan
pada > 2 μg/dL) (Carrel & Peterson, 2010).
d. Analog GnRH
GnRH disekresi oleh neuron yang ada di hipotalamus yang
melalui vena porta hipotalamus-hipofisis menuju hipofisis anterior dan
berikatan dengan reseptor protein G terkopel pada membran sel
gonadotropin. Sekresi gonadotropin secara berkala diperlukan untuk
merangsang sel gonadotrof untuk menghasilkan dan melepaskan LH
dan FSH sementara pemberian analog GnRH secara terus menerus dan
tidak berkala akan menghambat pelepasan LH dan FSH oleh hipofisis
(Brunton, 2006).
GnRH merupakan suatu dekapeptida yang ditemukan pada
semua mamalia, gonadorelin adalah garam asetat GnRH sintetik yang
berasal dari manusia. Analog sintetiknya termasuk goserelin, histrelin,
leuprolide, nafarelin, dan triptorelin. Analog ini memiliki asam amino
D pada posisi 6 dan semuanya memiliki etilamida yang diganti glisin
pada posisi 10 kecuali nafarelin. Kedua modifikasi tersebut membuat
obat-obat ini lebih poten dan tahan lebih lama daripada GnRH asli dan
gonadorelin (Katzung, 2011).
Analog GnRH dapat diberikan secara subkutan, intramuskular,
atau melalui semprot hidung (nafarelin), atau sebagai implan subkutan.
Waktu paruh analog GnRH subkutan dan intranasal adalah sekitar 3
jam. Durasi penggunaan klinis agonis GnRH bervariasi mulai dari
28

beberapa hari untuk induksi ovulasi hingga beberapa tahun untuk


pengobatan kanker prostat metastatik (Katzung, 2011).
Pada penggunaan agonis GnRH ini pemberian secara intravena
secara berkala setiap 1 – 4 jam merangsang sekresi FSH dan LH.
Sementara pemberian secara kontinyu yang bekerja lama akan
menghasilkan respon bifasik dimana selama 7 – 10 hari pertama terjadi
efek agonis yang menyebabkan peningkatan konsentrasi hormon
gonad selanjutnya terjadi aksi penghambatan yang bermanifestasi
sebagai penurunan konsentrasi gonadotroin dan steroin gonad
(Katzung, 2011).
Penggunaan agonis GnRH ini untuk mengobati pasien dengan
gangguan reproduksi sekunder dan untuk pasien dengan
ketidakteraturan sekresi GnRH sehingga mempercepat lonjakan LH
dan ovulasi pada wanita penderita infertilitas yang menjalani induksi
ovulasi. Pada wanita, pemberian baik secara intravena atau subkutan
dengan pompa pulsa, dosis awal yang diberikan adalah 2,5 mg per
pulsa setiap 120 menit. Jika perlu, dosis ditingkatkan menjadi 10
sampai 20 mg per pulsa sampai ovulasi diinduksi. Keuntungan dari
terapi agonis GnRH ini adalah memberikan risiko yang lebih rendah
dari kehamilan ganda dan penurunan kebutuhan kadar estrogen plasma
(Brunton, 2006). Efek saping dari pemberian agonis GnRH ini adalah
terjadinya dermatitis hiprsensitivitas yang menyeluruh setelah
pemberian secara subkutan jangka panjang. Terapi kontinyu agonis
GnRH ini menyebabkan gejala menopause, berkurangnya densitas
tulan, dan osteoporosis (Katzung, 2011).
e. Dopamin Agonis
Dopamin agonis menekan pelepasan prolaktin dengan sangat
efektif pada pasien dengan keadaan hiperprolaktinemia. Bromokriptin,
karbegolin, dan pergolid merupakan dopamin agonis yang memiliki
afinitas tinggi terhadap reseptor dopamin D2 dan merupakan turunan
ergot sementara quinagolid merupakan agen nonergot yang juga
29

memiliki afinitas tinggi terhadap reseptor D2 (Katzung, 2011). Seluruh


dopamin agonis memiliki bentuk aktif sebagai sediaan oral dan
seluruhnya dieliminasi melalui metabolism. Obat ini juga dapat
diabsorbsi secara sistemik setelah tabletnya dimasukkan melalui
vagina. Karbegolin memiliki waktu paruh kira-kira 65 jam, memiliki
durasi kerja paling lama. Pergolid memiliki waktu paruh 22 jam dan
quinagolid memliki waktu paruh sekitar 20 jam. Sedangkan waktu
paruh bromokriptin adalah 7 jam (Katzung, 2011).
Pada keadaan hiperprolaktinemia, dopamin agonis ini
memperkecil ukuran tumor hipofisis yang menghsilkan prolaktin,
menurunkan kadar prolaktin dalam darah, dan mengembalikan ovulasi
pada wanita (Katzung, 2011). Pemberian karbegolin dimulai dari dosis
0,25 mg dua kali seminggu atau 0,5 mg sekali seminggu, melalui oral
maupun vagina. Dosis ini dapat ditingkatkan secara bertahap jika kadar
prolaktin dalam serum tetap tinggi dengan dosis maksimal sebesar 1,5
- 2 mg dua atau tiga kali seminggu, namun dosis tidak haru
ditingkatkan lebih sering dari sekali setiap 4 minggu (Brunton, 2006).
Pergolid sendiri merupakan obat yang seharusnya digunakan untuk
mengatasi penyakit Parkinson, tetapi merupakan drug off-label untuk
mengatasi keadaan hiperprolaktinemia dengan pemberiannya sekali
sehari, mulai 0,025 mg saat sebelum tidur dan dapat ditingkatkan
secara bertahap dengan dosis harian maksimal 0,5 mg (Brunton, 2006).
Pada dosis 0,15 – 0,6 mg/hari secara oral, quinagolid mampu menekan
prolaktin dan memperkecil sebagian besar prolaktinoma, obat ini
kadang ditoleransi lebih baik daripada dopamin agoni turunan ergot
tetapi karena sekarag sudah tidak disetujui oleh FDA menyebabkan oat
ini tidak banyak dipakai di Amerika Serikat, tetapti di Eropa
penggunaannya masih ditoleransi (Katzung, 2011). Bromokriptin
umumnya dikonsumsi setiap hari setelah makan sesaat akan tidur
dengan dosis awal sebesar 1,25 mg dengan dosis sebesar ini mampu
menurunkan efek samping dari bromokriptin. Dosis bromokriptin
30

dapat ditingkatkan bila pasien mampu menoleransi. Setelah satu


minggu, dosis 1,25 mg dapat diberikan lagi pada pagi hari (dua kali
sehari). Bila gejala klinis menetap atau kadar prolaktin dalam darah
tetap tinggi, dosis dapat ditingkatkan secara bertahap, setiap 3 sampai
7 hari, dengan dosis bisa sampai 5 mg dua kali per hari atau 2,5 m tiga
kali melalui oral. Absorbsi secara oral dari bromokriptin hanya 7%
yang mampu mencapai sirkulasi sistemik karena adanya first pass
metabolism. Untuk menghindari kebutuhan dosis yang terlalu sering,
bentuk lepas lambat oral tersedia di luar Amerika Serikat.
Bromokriptin juga dapat diberikan intravaginally dengan dosis 2,5 mg
sekali sehari. Pada konsentrasi yang lebih tinggi, bromokriptin
digunakan dalam pengelolaan akromegali (Katzung, 2011).
Dopamin agonis ini menyebabkan mual, sakit kepala, hipotensi
orostatik, dan kadang terjadi manifestasi psikiatrik. Golongan ergot
bisa menyebabkan vasospasme pembuluh darah pada jaringan perifer.
Infiltrat pada paru bisa terjadi nila terapi diberikan pada jangka
panjang menggunakan dosis terapi (Katzung, 2011). Bila dibandingkan
dengan bromokriptin, karbegolin memiliki kecenderungan lebih
rendah untuk menginduksi mual meskipun dapat menyebabkan
hipotensi dan pusing. Dalam beberapa uji klinis, karbegolin memiliki
ektifitas yang lebih baik daripada bromokriptin dalam mengurangi
prolaktin pada pasien hiperprolaktinemia (Brunton, 2006). Efek
samping pergolid hampir sama dengan bromokriptin dan harnganya
paling mahal dari dopamin agonis lainnya. Meskipun bromokriptin
merupakan lini pertama pada dopamin agonis, tetapi penggunaan
karbegolin lebih sering karena minimnya efek samping yang
ditimbulkan dan lebih efektif serta lebih selektif terhadap reseptor D2
daripada bromokriptin (Brunton, 2006; Molitch, 2011).
f. Metformin
Metformin merupakan obat yang dihunakan untuk
meningkatkan sensitivitas insulin pada penderita diabetes melitus tipe
31

2, tetapi obat ini juga digunakan untuk mengatasi masalah anovulasi


dan infertilitas pada pasien PCOS setelah pemberian klomifen
(Creanga, 2008). Metformin akan meningkatkan sensitivitas insulin di
hepar, menghambat produksi glukosa hepatik, dan meningkatkan
ambilan glukosa. Selain itu mentformin juga mampu menurunkan
kadar insulin dalam plasma sehingga menyebabkan menurunnya
produksi androgen ovarian. Meskipun metformin tidak mempunyai
efek langsung pada sekresi insulin di pankreas, metformin ini
mempunyai efek langsung menurungkan produksi androgen pada sel
teka ovarium (Oride,, 2010).
Mekanisme kerja metformin dalam meningkatkan sensitivitas
insulin adalah dengan penurunan glukoneogenesis di hepar dan ginjal,
perlambatan absorbsi glukosa dari saluran cerna dengan meningkatkan
konversi glukosa menjadi laktat oleh enterosit, stimulasi langsung
glikolisis di jaringan dengan peningkatan klirens glukosa dari darah,
dan penurunan kadar glukosa plasma (Katzung, 2011).
Metformin ini tidak menstimulasi sekresi insulin tetapi
meningkatkan sensitifitas reseptor insulin di jaringan dan dalam
penggunaan glukosa. Efek yang mendasari dimungkinkan oleh
penghambatan umum transporter membran. Secara intraselular,
menghambat glukosa masuk mitokondria kemudian menginduksi
glikolisis anaerob di sitosol. Pada pencernaan, pengurangan transporter
berguna dalam memperlambat dan menurunkan absorpsi glukosa
(Ndefo & Robinson, 2013).
Metformin dipilih sebagai oral antidiabetik dalam mengatasi
sindroma polikistik ovarium karena selain mekanisme kerja metformin
dalam meningkatkan sensitivitas insulin, metformin merupakan lini
pertama dan satu-satunya golongan biguanid yang tersedia di seluruh
dunia. Efek hipoglikemia yang ditimbulkan dari metformin juga
sedikit daripada oral antidiabetik lain sehingga lebih aman digunakan.
Selain itu, metformin tidak menyebabkan perubahan berat badan
32

sehingga sering digunakan untuk mengatasi masalah resistensi insulin


(Ndefo & Robinson, 2013).
Selain itu, penelitian menunjukkan bahwa metformin mampu
meningkatkan regulasi siklus menstruasi, ovulasi, dan fertilitas.
Metformin telah digunakan dalam protokol induksi ovulasi baik secara
tunggal maupun kombinasi dengan klomifen sitrat untuk merangsang
ovulasi. Dosis yang paling efektif dari metformin pada PCOS adalah
500 mg tiga kali sehari, dosis hingga 2 g per hari atau 2,55 g per hari
mungkin diperlukan untuk keadaan individu (Koda-Kimble, 2009).
Metformin ini memiliki bioavailibilitas oral sebesar 50 – 60%
dan waktu paruh 1,5 – 3 jam, tidak berikatan dengan protein plasma,
tidak dimetabolisme, dan diekskresikan oleh ginjal sebagai senyawa
aktif. Akibat blokade glukoneogenesis oleh metformin, obat ini dapat
mengganggu metabolisme asam laktat di hepar (Katzung, 2011).
Efek samping metformin paling umum adalah pada saluran
cerna tetapi efek tersebut tergantung dari dosis yang diberikan pada
pasien, dengan menurunkan dosis penggunaan efek samping yang
ditimbulkan juga akan berkurang. Pada pasien dengan gangguna
kardiovaskuler dan ginjal pemberian metformin ini dapat
menimbulkan peningkatan asam laktat dalam darah sehingga hal ini
dapat mengganggu keseimbangan elektolit dalam cairan tubuh
sehingga pemberian metformin ini kontraindikasi dengan pasien
dengan gangguan renal atau wanita dengan serum kreatinin > 1,4
mg/dL (Koda-Kimble, 2009; Ndefo & Robinson, 2013).
g. Klomifen
Merupakan agonis parsial pada reseptor estrogen dan sangat
aktif bila diberikan secara oral. Metabolisme belum diketahui tetapi
separuh senyawa ini diekskresikan melalui feses setelah 5 hari
pemberian dan diduga klomifen diekskresi lambat dari depot
enterohepatik (Katzung, 2011).
33

Klomifen sitrat merupakan triphenylyhylene, memiliki dua


isomer, zuclumiphene (cis-klomifen) dan enclomiphene (trans-
klomifen) masing-masing merupakan agonis estrogen yang lemah dan
antagonis kuat (Brunton, 2006). Klomifen terbukti efektif menghambat
kerja estrogen yang lebih kuat dan meningkatkan sekresi gonadotropin
dan estrogen dengan menghambat efek umpan balik negatif estradiol
pada gonadotropin (Katzung, 2011).
Efek farmakologik yang penting pada klomifen ini adalah
kemampuannya merangsang ovulasi pada pasien amenorea dan
disfungsi ovulasi dan menginginkan kehamilan (Katzung, 2011).
Penggunaan untuk menginduksi ovulasi dengan dosis 50 mg secara
oral setiap hari selama 5 hari karena kenaikan kadar LH dan FSH
plasma terlihat setelah beberapa hari, dosis dapat ditingkatkan sampai
50 mg dan dosis maksimum penggunaan sebesar 250 mg tiap harinya
(Koda-Kimble, 2009; Umland, 2011).
Efek samping yang diberikan mirip dengan efek menopause
yaitu hot flushes. Selain itu juga fek terhadap penglihatan karena
intensifikasi dan pemanjangan waktu pencitraan. Penggunaan efektif
klomifen dikaitkan dengan rangsangan pada ovarium dan biasanya
dengan pembesaran ovarium dan derajat pembesaran ovarium
cenderung lebih besar sehingga akan terjadi pembesaran ovarium yang
menyebabkan nyeri pada abdomen atau sindrom pada gastrointestinal
(Koda-Kimble, 2009; Katzung, 2011).
h. Spironolakton
Spironolakton merupakan diuretik hemat kalium yang bekerja
secara langsung sebagai antagonis kompetitif terhadap aldosteron juga
berkompetisi dengan dihidrotestosteron untuk mengikat reseptor
androgen di jaringan target. Spironolakton memiliki beberapa afinitas
terhadap reseptor progesteron dan androgen dan dengan demikian
menginduksi efek samping seperti ginekomastia (Brunton, 2006).
Spironolakton juga mengurangi aktivitas 17α-hidroksilase,
34

menurunkan kadar testosteron ovarium, dan adrenostenedion dalam


plasma. Obat ini digunakan dalam dosis 50 – 200 mg sehari 2 kali
untuk terapi hirsutisme pada perempuan dan membutuhkan waktu 6 –
12 bulan (Koda-Kimble, 2009). Spironolakton sebagian besar
diinaktivasi di hepar (Katzung, 2011).
Spironolakton memiliki efek samping polimenorea (menstruasi
berulang) bila penggunaannya secara tunggal, serta bersifat teratogenik
sehingga disarankan untuk menunda / menghindari kehamilan setelah
4 bulan penghentian pemakaian. Disarankan pula pemakaian
spironolakton ini dikombinasi dengan kontrasepsi oral kombinasi
untuk menghindari teratogenisitas (Koda-Kimble, 2009).
Pada penggunaan spironlakton ini harus dipantau kalium dalam
darah dan fungsi ginjalnya karena spironolakton ini merupakan
antagonis aldosteron yang dapat menyebabkan hiperkalemia (Koda-
Kimble, 2009).
II.7 Prognosis
Prognosis untuk amenore baik. Hal ini secara klinis tidak selalu
mengancam jiwa, apabila dengan evaluasi yang tepat maka, tumor dapat dikenali
dan diobati. Banyak pasien dengan amenore hipotalamus dengan spontan siklus
haid kembali normal. Hampir semua wanita amenore yang tidak memiliki
kegagalan ovarium prematur dapat dibuat untuk berovulasi dengan agonis
dopamin, clomiphene citrate, agen sensitisasi insulin, dan gonadotropin.8
II.5 Komplikasi
Komplikasi amenore dapat banyak, termasuk infertilitas dan keterlambatan
perkembangan psikososial dengan kurangnya perkembangan seksual fisik normal.
Pasien hipoestrogenik dapat berkembang menjadi osteoporosis parah dan patah
tulang, yang paling berbahaya bagi kehidupan menjadi fraktur leher femur.
Komplikasi yang terkait dengan amenore pada pasien yang merespon progestin
adalah hiperplasia endometrium dan karsinoma yang dihasilkan dari stimulasi
estrogen terlindung.8
DAFTAR PUSTAKA

1. Prawirohardjo S. 2008. Ilmu Kebidanan. Ed. IV. Hal. 376. PT Bina Pustaka

Sarwono Prawirohardjo. Jakarta.

2. Cunningham FG, dkk. 2010. Williams Obstetric. Ed 23. The Mc Graw

Hill.United States.

3. Djuantono T. 2012. Peranan Progesteron dalam Kehamilan. Bagian Obstetri

dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran Rumah Sakit

Umum Pusat dr. Hasan Sadikin Bandung

4. Sprague BJ. dkk. 2010. The Effect Of Ovarian Cycle And Pregnancy On

Uterine Vascular Impedance And Uterine Artery Mechanism. HHS Public

Access.. 144(1): 170-178.

5. Motosko CC. dkk. 2017. Physiological Changes of Pregnancy: A Review of

The Literature. International Journal of Women’s Dermatology. 3(4): 219-

224.

6. Gordon W. 2017. Ed 6. Hal 42-62. Maternal Physiology. Dalam Gabbe SG,

Niebyl JR, Simpson JL, Landon MB, Galan HL, Jauniaux ERM, et al.

Obstetrics Normal and Problem Pregnancies. Elsevier Saunders. Philadelphia.

7. Heidemann BH. 2013. Changes in Maternal Physiological During

Pregnancy.http://update.anesthesiologists.org/wp-

content/uploads/2009/09/Changes-in-Maternal-Physiology-During-

Pregnancy-Update-20.pdf . 2 Januari (19.30).


18

8. Pillay PS. dkk.2016. Physiologycal Changes in Pregnancy. Cardiovascular

Journal of Africa. 27(2). 89-94.

9. Derfin. 2016. Penyakit Jantung Dalam Kehamilan. Seminar Nasional

Penanganan Kedaruratan Ibu Hamil Dengan Penyakit Jantung Dan Eksistensi

Bidan Indonesia Di Era Uji Kompetensi. Bagian Obstetri Dan Ginekologi

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Padang.

10. Anwar R. 2018. Endokrinologi Kehamilan dan Persalinan. Subbagian

Fertlitas dan Endokrinologi Reproduksi Bagian Obstetri dan Gynekologi

Fakultas Kedokteran UNPAD.

11. R Evi. Andayani GA. 2018. Karakteristik Ibu (Usia, Paritas, Pendidikan) Dan

Dukungan Keluarga Dengan Kecemasan Ibu Hamil Trimester III. Medisains:

Jurnal Ilmiah Ilmu Kesehatan. 16 (1).

Anda mungkin juga menyukai