Anda di halaman 1dari 30

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN Februari 2019


UNIVERSITAS HALU OLEO

ANGINA PEKTORIS STABIL (APS)

PENYUSUN :

Habri Tri Sakti, S.Ked

K1A1 14 017

PEMBIMBING :

dr. H. Jamaluddin, Sp. JP, M. Kes

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2019
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertandatangan di bawah ini, menyatakan bahwa :


Nama : Habri Tri Sakti
Stambuk : K1A1 14 017
Judul Referat : Angina Pektoris Stabil (APS)

Telah menyelesaikan tugas laporan kasus dalam rangka kepaniteraan


klinik pada Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran, Universitas
Halu Oleo.

Kendari, , Februari 2019


Mengetahui,
Pembimbing

dr. H. Jamaluddin, M.Kes Sp.JP


ANGINA PEKTORIS STABIL (APS)
Habri Tri Sakti, Jamaluddin

I. PENDAHULUAN
Angina pektoris (AP) adalah rasa nyeri yang timbul karena iskemia
miokardium. Angina pektoris ini mempunyai karakteristik tertentu yaitu
nyeri retrosternal yang lokasi terseringnya di dada, sub sternal atau sedikit
kekiri dengan penjalaran ke leher, rahang, bahu kiri sampai dengan lengan
dan jari-jari bagian ulnar, punggung atau pundak kiri. Angina pektoris
(AP) sering juga dirasakan sebagai rasa tidak nyaman di dada, biasanya
dalam waktu ± 10 menit yang di picu oleh aktivitas, stres emosional dan
menghilang dengan istirahat atau pemberian nitrogliserin. Angina pektoris
(AP) dapat juga bermanifestasi sebagai rasa tidak nyaman di daerah
epigastrium (Setiati, 2014).
Kararkteristik yang penting dari AP adalah adanya perburukan dari
nyeri dada yang berhubungan dengan aktivitas fisik dan stres emosi.
Gejala klasik dari angina bisa juga terlihat setelah makan dalam porsi
yang banyak atau muncul pertama kali di pagi hari. Kelainan-kelainan
tersebut dapat dihubungkan dengan kejadian iskemia miokardium. Nyeri
yang bukan tergolong angina biasanya di tandai dengan keterlibatan nyeri
di sebagian kecil hemotoraks kiri dan berlangsung dalam beberapa jam
atau hari, dan nyeri tidak berkurang dengan pemberian nitrogliserin
(Setiati, 2014).
Kualitas nyeri biasanya merupakan nyeri yang tumpul seperti rasa
tertindih/berat di dada, rasa desakan yang kuat dari dalam atau dari bawah
diaphragma, seperti di remas-remas atau dada mau pecah dan biasanya
pada keadaan yang berat disertai keringat dingin dan sesak napas serta
perasaan takut mati. Biasanya bukanlah nyeri yang tajam, seperti rasa di
tusuk-tusuk/diiris sembilu, dan bukan pula mules. Tidak jarang pasien
mengatakan bahwa ia hanya merasa tidak enak di dadanya (Setiati, 2014).
Berikut beberapa karakteristik dari AP yang dapat dijadikan
patokan dalam membedakan dengan nyeri non kardiak :
1. Nyeri berhubungan dengan aktivitas, hilang dengan istirahat akan
tetapi tidak berhubungan dengan gerakan dada ke kiri dan ke kanan.
Nyeri juga dapat dipicu oleh stres baik fisik maupun emosional.
2. Kuantitas : nyeri yang pertama muncul biasanya agak nyata, dari
beberapa menit sampai kurang dari 20 menit. Bila lebih dari 20 menit
dan berat maka harus dipertimbangkan sebagai angina pektoris tidak
stabil (unstable angina pectoris) sehingga dimasukkan kedalam
sindrom koroner akut (acute coronary syndrome) yang memerlukan
perawatan khusus. Nyeri dapat dihilangkan dengan nitrogliserin
sublingual dalam hitungan detik sampai beberapa menit. Nyeri tidak
terus menerus, tetapi hilang timbul dengan intensitas yang makin
bertambah atau makin berkurang sampai terkontrol. Nyeri yang
berlangsung terus menerus sepanjang hari, bahkan sampai berhari-hari
biasanya bukanlah nyeri angina pektoris.
Klasifikasi angina pektoris :
1) Angina tipikal (definite)
Memenuhi tiga dari tiga karakteristik nyeri dada :
a. Rasa tidak nyaman di retrosternal dan sesuai dengan karakteristik
nyeri dan lamanya nyeri
b. Dipicu ole aktivitas fisik atau stres emosional
c. Nyeri berkurang waktu istirahat dengan atau pemberian nitrat
2) Angina atipikal (probable)
Memenuhi dua dari tiga karakteristik di atas
3) Nyeri dada non-kardiak
Memenuhi satu atau tidak memenuhi karakteristik di atas.

Secara klinis beratnya AP menggambarkan beratnya iskemi otot


jantung yang dialami oleh pasien. Untuk itu diperlukan gradasi beratnya
AP yang berguna untuk penatalaksanaan dan juga sebagai prediktor dari
prognosis pasien yang mengalami AP. Gradasi bertnya nyeri dada telah
dibuat oleh Canadian Cardiovascular Society (CCS) sebagai berikut:

A. CCS kelas I
Aktivitas sehari-hari seperti jalan kaki, berkebun, naik tangga 1-2
lantai dan lain-lain tidak menimbulkan nyeri dada. Nyeri dada baru
timbul pada saat latihan yang berat, berjalan cepat, dan terburu-buru
waktu kerja atau bepergian.
B. CCS kelas II
Aktivitas sehari-hari agak terbatas, misalnya AP timbul bila melakukan
aktivitas lebih berat dari biasanya, seperti jalan kaki dua blok, naik
tangga lebih dari 1 laantai dengan kecepatan yang biasa.
C. CCS kelas III
Aktivitas sehari-hari terbatas. AP timbul bila berjalan 1-2 blok, naik
tangga 1 lantai dengan kecepatan yang biasa.
D. CCS kelas IV
AP biasa muncul waktu istirahat sekalipun, hampir semua aktivitas
dapat menimbulkan angina termasuk mandi, menyapu dan lain-lain.

Penyebab paling sering angina pektoris stabil (APS) adalah adanya


aterosklerotik yang mempersempit arteri koroner. Pada keadaan normal,
saat aktivitas tinggi, pembuluh darah memiliki aktivitas untuk
menurunkan resistensinya, sehingga pembuluh darah mampu untuk
menerima aliran darah sebesar 5-6 kali lipat ( sumbatan di lumen
pembuluh darah hanya sebesar ≤40%). Namun, apabila sumbatan
aterosklerotik sudah mencapai >50%, sumbatan tersebut dapat
mencetuskan iskemik, karena pembuluh darah koroner jantung sudah
tidak mampu untuk memenuhi metabolisme otot jantung selama latihan
atau ketika mengalami stre emosional. Secara angiografik penyempitan
pembuluh darah yang dianggap signifikan adalah melebihi 70%
penyempitan walau penilaian klinis tetap menjadi utama dalam
menentukan terapi (Setiati, 2014).
Iskemik miokardium dapat disebabkan karena ketidakseimbangan
antara suplai oksigen dan konsumsi oksigen. Suplai oksigen ditunjukkan
dengan saturasi oksigen dan kebutuhan oksigen di miokardium. Pada
iskemik miokardium dan hipoksia pada APS terjadi keadaan-keadaan
berikut :
1. Peningkatan konsentrasi dari H+ dan K+ pada darah vena yang berada di
daerah iskemik.
2. Gangguan dari ventrikel, dan disfungsi diastolik dan sistolik serta
abnormalitas gerakan didnding regional.
3. Perubahan dari segmen ST.
4. Nyeri dada iskemik (angina).
Untuk membantu menentukan nyeri tipikal atau bukan maka
anamnesis harus dilengkapi dengan mencoba menemukan adanya faktor
risiko baik pada pasien atau keluarganya sperti kebiasaan
makan/kolesterol, diabetes melitus (DM), hipertensi (HT), merokok,
penyakit vaskular lain seperti stroke dan penyakit vaskular perifer,
obesitas, kurangnya latihan dan lain-lain (Setiati, 2014).
Pada APS nyeri dada yang tadinya agak berat, sekalipun tidak
termasuk UAP, berangsur-angsur turun kuantitas dan intensitasnya
dengan atau tanpa pengobatan, kemudian menetap (misalnya beberapa
hari sekali atau baru timbul pada beban/stres yang tertentu atau lebih berat
dari sehari-harinya). Bahkan pada sebagian pasien nyeri dadanya
berkurang terus sampai akhirnya menghilang, yaitu menjadi
asimptomatik, walaupun sebenarnya adanya iskemia tetap dapat terlihat
misalnya pada pemeriksaan elektrokardiografi (EKG) istirahat, keadaan
ini disebut sebagai “silent ischemia” sedangkan pasien-pasien lainnya lagi
yang telah menjadi asimptomatik, EKG istirahatnya normal pula, dan
iskemia terlihat pada uji latih atau strest test (EKG latihan) (Setiati, 2014).
II. EPIDEMIOLOGI
Penyakit jantung iskemik menyebabkan lebih banyak kematian dan
biaya yang dikeluarkan di negara – negara berkembang. Penyakit jantung
iskemik adalah kondisi yang serius, seringkali kronis, dan mengancam
jiwa. Di Amerika Serikat, 13 juta orang memiliki penyakit jantung
iskemik, lebih dari 6 juta memiliki angina pektoris stabil, dan lebih dari 7
juta dengan infark miokard. Di Amerika dan Eropa, penyakit jantung
iskemik lebih sering terjadi pada kelompok masyarakat dengan
penghasilan rendah daripada kelompok masyarakat dengan tingkat
penghasilan menengah ke atas (yang melakukan gaya hidup sehat)
(European Society of Cardiology, 2006).
Obesitas, resistensi insulin, dan diabetes mellitus tipe 2
meningkatkan kejadian dan merupakan faktor risiko yang kuat untuk
penyakit jantung iskemik. Dengan banyaknya urbanisasi di negara
berkembang, prevalensi dari faktor risikopenyakit jantung iskemik
meningkat tajam di daerah dengan penghasilan menengah ke bawah. Hal
ini terjadi pada masyarakat di negara – negara Asia Selatan terutama
India. (European Society of Cardiology, 2006).
Penyakit Jantung Koroner merupakan jenis penyakit yang menjadi
masalah penting baik di negara maju ataupun berkembang. Di Indonesia,
angka kematian akibat PJK sangat tinggi. Berdasarkan hasil Survei
Kesehatan RumahTangga Nasional (SKRTN), dalam 10 tahun terakhir
angka tersebut cenderung mengalami peningkatan.
Prevalensi terjadinya angina pada studi populasi meningkat di
setiap tingkatan usia dan perbedaan jenis kelamin. Terdapat data 5-7%
pada wanita berusia 45-67 tahun dan 10-12% pada wanita berusia 65-84
tahun mengalami angina pektoris stabil, dan pada pria ditemukan 4-7%
usia 45-64 tahun dan 12-14% pada usia 65-84 tahun (Setiati, 2014).
III. Etiologi Dan Patofisiologi
A. Etiologi APS
1. Usia
Risiko terjadinya penyakit arteri koroner meningkat dengan
bertambahnya usia, diatas 45 tahun pada pria, dan diatas 55 tahun
pada wanita. Riwayat keluarga yang memiliki penyakit jantung
juga merupakan faktor risiko, termasuk penyakit jantung pada
ayah atau saudara pria yang didiagnosa sebelum umur 55 tahun,
dan pada ibu atau saudara perempuan sebelum umur 65 tahun.
Pada usia lanjut lebih sering mengalami perubahan abnormalitas
anatomi dan fisiologi kardiovaskular, termasuk respon simpatis
beta yang terbatas, peningkatan afterload jantung karena
penurunan compliance arteri dan hipertensi arterial, hipotensi
ortostatik, hipertropi jantung, dan disfungsi ventrikular terutama
disfungsi diastolik (Fox, 2006).
2. Jenis Kelamin
Laki-laki memiliki risiko penyakit jantung koroner lebih
tinggi daripada perempuan. Walaupun setelah menopause, tingkat
kematian perempuan akibat penyakit jantung akan meningkat,
tetapi tidak melebihi tingkat kematian pada lakilaki. Oleh karena
pada wanita, estrogen merupakan hormon sex predominan.
Penurunan pada produksi estrogen setelah menopause akan
merubah metabolisme lipid pada wanita menuju bentuk yang lebih
aterogenik dengan penurunan tingkat kolesterol HDL dan
peningkatan Low Density Lipoproteins (LDL) serta total
kolesterol. Sebagai tambahan, estrogen memiliki efek
kardioprotektif melalui metabolisme glukosa dan sistem
hemostatik, juga memiliki efek lagsung pada fungsi sel endotel
(Jousilahti dkk, 1999).
3. Hipertensi
Hipertensi menyebabkan peningkatan afterload yang secara
tidak langsung dapat meningkatkan beban kerja jantung. Kondisi
seperti ini akan memicu hipertropi ventrikel kiri sebagai
kompensasi dari meningkatnya afterload yang pada akhirnya
meningkatkan kebutuhan oksigen jantung (Drago dan Williams,
2016). Pada studi meta-analisis yang melibatkan 61 studi termasuk
hampir 1 juta penderita dewasa, tekanan darah memiliki
berhubungan erat untuk terjadinya penyakit jantung koroner pada
tekanan darah berkisar 115/75 sampai 185/115 mmHg untuk
seluruh usia. Lebih dari itu, setiap peningkatan tekanan darah
sistolik 20 mmHg (atau setiap peningkatan 10 mmHg tekanan
darah diastolik) akan meningkatkan dua kali lipat risiko untuk
penyakit jantung koroner (Lewigton dkk, 2002).
Laki-laki memiliki presentase hipertensi yang lebih tinggi
dibandingkan dengan perempuan sampai usia 45 tahun. Antara
usia 45-64 tahun, laki-laki dan perempuan memiliki persentase
yang sama untuk kejadian hipertensi, dan setelah usia 64 tahun,
perempuan memiliki persentase untuk kejadian hipertensi yang
lebih tinggi daripada laki-laki (Ridker dkk, 2016). Sebagai
tambahan, terdapat perubahan seiring dengan usia pada perubahan
tekanan darah diastolik dan sistolik. Sebelum usia 50 tahun,
tekanan darah diastolik menjadi prediktor utama untuk risiko
Universitas Sumatera Utara penyakit jantung iskemik, dimana
setelah usia 60 tahun ke atas maka tekanan darah sistolik menjadi
lebih penting (Franklin dkk, 2001).
4. Diabetes Melitus (DM)
Diabetes melitus sudah dikenal sebagai faktor risiko utama
penyakit kardiovaskular. Data dari penelitian klinis menunjukkan
sebagian besar penderita DM meninggal karena penyakit
kardiovaskular dan lebih dari tiga perempat penderita DM yang
meninggal penyebabnya dikaitkan dengan aterosklerosis dengan
sebagian besar kasus (75%) karena PJK. DM meningkatkan risiko
PJK 2 sampai 4 kali pada populasi secara keseluruhan. Penderita
DM tanpa riwayat PJK mempunyai risiko infark miokard yang
sama seperti pasien PJK yang bukan DM. Penderita DM wanita
mempunyai laju kematian 5-8 kali lebih tinggi daripada wanita
non-DM (Fox, 2006).
5. Merokok
Peran rokok dalam penyakit jantung koroner, antara lain
menimbulkan aterosklerosis, meningkatkan trombogenesis, dan
vasokonstriksi, peningkatan tekanan darah, pemicu aritmia
jantung, meningkatkan kebutuhan oksigen jantung, dan penurunan
kapasitas pengangkutan oksigen. Merokok 20 batang rokok atau
lebih dalam sehari bisa meningkatkan risiko 2-3 kali dibandingkan
individu yang tidak merokok (Lilly 2016). Merokok dapat
meningkatkan risiko terjadinya penyakit jantung koroner 2 kali
lipat lebih besar dibandingkan subjek yang tidak merokok
(Stallone, 2015).
6. Obesitas
Pada umumnya obesitas cenderung meningkatkan kadar
kolesterol total dan trigliserida, serta menurukan kadar HDL.
Meskipun kolesterol LDL tetap meningkat sedikit atau normal,
partikel small dense LDL yang aterogenik cenderung meningkat,
terutama pada penderita dengan resistensi insulin yang berkaitan
dengan adipositas viseral. Perubahan-perubahan ini meningkatkan
risiko terjadinya aterosklerosis (Fox, 2006).
B. Patofisiologi APS
1. Proses Atherosklerotik

Dinding arteri adalah struktur yang dinamis dan teratur,


tetapi rangsangan tertentu dapat mengganggu homeostasis normal
dan membuka jalan atau aterogenesis. Sebagai contoh, seperti
yang dijelaskan kemudian, sel-sel endotel vaskular, serta SMC
(Smooth Muscle Cells), bereaksi dengan mudah pada mediator
inflamasi, seperti IL-1 dan TNF, dan dapat menghasilkan mereka
juga. Dengan pengakuan bahwa sel-sel dinding vaskular
merespon, dan memproduksi, agen aminatori proin, investigasi
terhadap peran o endotelial dan SMC yang teraktivasi dalam
atherogenesis yang berkembang. Sebagai konsekuensinya,
endotelium vaskular dan SMC bergabung secara klasik dalam sel-
sel ammatory, seperti fagosit mononuklear dan limfosit T, sebagai
pemain kunci dalam pembentukan ateroma awal dan dalam
perkembangan plak lanjut. Penelitian tidak mendasar ini telah
mengidentifikasi beberapa komponen kunci yang berkontribusi
pada atherosclerotic dalam proses inflamasi, termasuk diseksi
endotelial, akumulasi o lipid dalam intima, rekrutmen leukosit dan
SMC ke dinding kapal, ormasi sel foam, dan deposisi o matriks
ekstraseluler, seperti dijelaskan dalam bagian ollowing (Lilly
2016).
Gambar diagram skematis dari evolusi plak aterosklerotik
(1)Akumulasi partikel lipoprotein dalam intima. Warna yang lebih
gelap menggambarkan modifikasi kation lipoprotein (mis., Dengan
oksidasi atau glikasi). (2) Stres oksidatif, termasuk konstituen yang
dimodifikasi LDL, menginduksi elaborasi sitokin lokal. (3) Sitokin
ini meningkatkan ekspresi molekul adhesi yang mengikat leukosit
dan molekul chemoattractant (mis., Protein chemoattractant
monosit-1 [MCP-1]) yang mengarahkan migrasi leukosit ke
intima. (4) Setelah memasuki dinding arteri sebagai respons
terhadap kemoattractan, monosit darah menghadapi rangsangan
seperti aktor penstimulasi koloni makrofag (M-CSF) yang
menambah ekspresi mereka pada reseptor pemulung. (5) Reseptor
pemulung memediasi pengambilan partikel lipoprotein yang
dimodifikasi dan mempromosikan pengembangan sel-sel oam.
Sel-sel makrofag adalah sumber o sitokin tambahan dan molekul e
ector seperti superoksida anion (O 2 -) dan matriks
metalloproteinase. (6) SMC bermigrasi ke intima media.
Perhatikan peningkatan ketebalan intimal. (7) SMC Intimal
membagi dan menguraikan matriks ekstraseluler, mempromosikan
akumulasi matriks dalam plak aterosklerotik yang berkembang.
Dengan cara ini, atty streak berevolusi menjadi lesi umum. (8)
Pada tahap selanjutnya, kalsifikasi dapat terjadi (tidak
digambarkan) dan f brosis berlanjut, kadang-kadang disertai
dengan kematian sel otot polos (termasuk kematian sel yang
diprogram atau apoptosis), menghasilkan kapsul f brous yang
relatif aseluler yang mengelilingi inti kaya lipid yang mungkin
juga mengandung sel mati atau mati. IL-1, interleukin 1; LDL,
lipoprotein densitas rendah.

Angina pektoris stabil terjadi akibat adanya iskemia di miokard


yang dapat disebabkan oleh perfusi koroner yang tidak adekuat atau
peningkatan kebutuhan oksigen di miokard atau kedua-duanya. Terdapat
beberapa pendapat lama dan pendapat modern yang menjelaskan
patofisiologi angina pektoris stabil. Pendapat lama menyebutkan bahwa
suatu kondisi yang menyebabkan peningkatan denyut jantung,
peningkatan tekanan akhir diastolik di ventrikel kiri, dan peningkatan
kontraktilitas, maka kebutuhan oksigen miokard akan meningkat pula.
Suatu kondisi ini dinamakan dengan demand angina, dimana terjadinya
kebutuhan oksigen yang meningkat sedangkan suplai oksigen menurun
atau normal (Lilly, 2016).
Peningkatan kebutuhan oksigen diakibatkan oleh pelepasan
norepinefrin oleh serabut saraf adrenergik di jantung dan pembuluh darah
sebagai respon fisiologis terhadap aktivitas fisik dan stres emosional.
Stres emosional mencetuskan angina dengan cara memproduksi
katekolamin sebagai respon terhadap stres, peningkatan aktivitas
adrenergik, dan penekanan aktivitas vagal. Faktor pencetus lainnya adalah
setelah makan makanan berat, aktivitas seksual, serta peningkatan
kebutuhan metabolik seperti saat cuaca dingin, demam, tiroktoksikosis,
takikardi, dan hipoglikemi (Lloyd Jones dkk, 2006).

Pendapat baru mengenai patofisiologi APS adalah adanya


penurunan atau reduksi dari suplai oksigen yang berlangsung sementara
sehingga sebagai konsekuensinya terjadi vasokonstriksi arteri koroner.
Kondisi ini dinamakan juga supply angina . Pada keadaan stenosis arteri
yang diakibatkan oleh plak aterosklerosis, aktivitas platelet, dan leukosit
akan merangsang pelepasan zat-zat vasokonstriktor seperti serotonin dan
tromboxan A2. Plak aterosklerosis juga merusak sel endotel sehingga
produksi dari zat vasodilator akan menurun dan respon vasokonstriksi
pada saat aktivitas juga akan terganggu (Llyod-Jones dkk, 2006; Perk dkk,
2012).
Teori terakhir yang menjelaskan bahwa penyebab dari penurunan
aliran darah ke miokard adalah kombinasi antara penyempitan lumen
pembuluh darah oleh plak aterosklerosis dan gangguan vasomotor oleh
karena adanya disfungsi endotel. Pada keadaan disfungsi endotel akan
terjadi dua hal yang juga mempengaruhi kejadian iskemik miokard. Yang
pertama adalah fungsi vasodilatasi pembuluh darah yang terganggu. Pada
saat beraktivitas atau stres, sistem saraf simpatis akan teraktivasi sehingga
meningkatkan aliran darah dan shear stress juga Universitas Sumatera
Utara meningkat di daerah yang terjadi aliran turbulensi oleh plak. Shear
stress merangsang pelepasan vasodilator seperti nitrit oxide (NO). Pada
orang yang normal, produksi NO akan mengalahkan efek katekolamin
pada sel otot polos pembuluh darah sehigga terjadi vasodilatasi.
Sedangkan pada penderita dengan disfungsi endotel, terjadi gangguan
pelepasan vasodilator sehingga efek katekolamin akan meningkat dan
terjadi respon vasokonstriksi abnormal (Shahawy dan Libby, 2016).
Faktor kedua dari disfungsi endotel yang berpengaruh terhadap
iskemik miokard adalah menurunnya produksi zat antitrombotik, sehingga
platelet akan teraktivasi, beragregasi dan mangaktifkan kaskade
koagulasi. Hal ini akan memperburuk iskemik miokard dan intensitas dari
angina pektoris (Shahawy dan Libby, 2016).

IV. Manifestasi Klinis


Angina pektoris stabil merupakan manifestasi yang paling sering
dijumpai pada penderita penyakit arteri koroner. Walaupun hal yang
mendasari manifestasi kinis tersebut adalah adalah ketidakseimbangan
antara antara suplai dan kebutuhan oksigen miokard pada penderita
penyakit arteri koroner yang bersifat reversibel, namun mayoritas
kejadian angina disebabkan oleh plak aterosklerosis yang menyumbat
arteri koroner (Wilder dkk, 2016).
Adanya rasa tidak nyaman di dada sering sekali dideskripsikan
sebagai rasa ditusuk atau disayat, tertimpa benda berat, rasa menyesak,
atau rasa seperti diremas. Namun tidak semua APS mendeskripsikan rasa
yang sama, beberapa penderita biasanya hanya mengeluhkan rasa tidak
nyaman yang tidak terlalu berat (contohnya rasa panas) dibandingkan
yang lainnya. Lokasi rasa tidak nyaman tersebut biasanya retrosternal,
namun dapat disertai dengan penjalaran disepanjang ulnaris lengan kiri,
rahang bawah, dan bahu. APS akan timbul bila penderita melakukan
aktivitas atau keadaan stres emosional yang akan hilang bila penderita
beristirahat ataupun dengan penggunaan nitrogliserin (Lloyd-Jones dkk,
2006).
Walaupun penyebab paling sering dari iskemik miokard adalah
proses aterosklerosis, sumbatan pada arteri koroner dapat juga disebabkan
oleh faktor lain ynag bukan aterosklerosis, contohnya kelainan bawaan
pada pembuluh darah, jembatan miokard (myocardial bridging), arteritis
koroner yang terkait faskulitis sistemik, dan penyakit koroner yang
diakibatkan oleh radiasi (Fox, 2006).

V. DIAGNOSIS
A. Anamnesis
Untuk membedakan nyeri dada akibat Angina Pektoris atau
penyakit lain yang paling awal adalah dengan melakukan anamnesis
terperinci mengenai keluhan utama yang dirasakan. Seperti lokasi nyeri
dada, karena lokasi nyeri dada pada Angina juga bisa dirasakan sama
pada orang dengan gastritis (letaknya di regio epigastrium pada
abdomen). Meskipun pada gastritis bukan lagi di regio thorax
melainkan di regio abdomen, namun kebanyakan pasien sulit
membedakan lokasi nyerinya, sehingga sering terjadi missed
diagnostik (Fihn dkk, 2012).
Untuk kualitas nyeri dada pada Angina Pektoris adalah nyeri
tumpul atau nyeri seperti tertindih beban berat, dimana kualitas nyeri
ini dapat dibedakan dengan nyeri akibat trauma thorax, carsinoma,
penyakit paru, maupun penyakit jantung lain. Untuk nyeri dada yang
dirasakan nyeri yang tajam biasanya dirasakan pada kasus pleuritis
pada pasien tersangka TB. Untuk pasien asma bronkhial biasanya
dirasakan nyeri dada seperti terikat dan sesak nafas.
Untuk membedakan Angina Pektoris stabil dan tak stabil dilihat dari
awitan nyeri dadanya, sedangkan untuk untuk penyebab nyeri
dipertimbangkan apakah berasal dari jantung (akibat iskemi miokard)
atau akibat kondisi di luar jantung (emoboli paru, refluks esofageal, di
seksi Arta, pleuritis, atau penyakit pernafasan lain) (Fihn dkk, 2012).
Selain tentang keluhan utama, perlu digali lebih lanjut
mengenai riwayat nyeri dada sebelumnya, riwayat penyakit lain
(diabetes, hipertensi, dislipidemia, merokok), riwayat keluarga
(riwayat gagal jantung iskemi atau IHD / iskemia heart failure,
kematian mendadak), dan juga riwayat obat-obatan pasien (Fihn dkk,
2012).
B. Pemeriksaan Fisis
Pemeriksaan fisik yang lazim dilakukan adalah pemeriksaan
tanda vital yang meliputi pemeriksaan tensi, nadi, suhu dan pernafasan,
dan pemeriksaan fisik jantung yang meliputi inspeksi, perkusi, palpasi,
dan auskultasi. Tidak ada hal-hal yang khusus/spesifik pada
pemeriksaan fisis. Sering di dapatkan hasil pemeriksaan fisik yang
normal pada kebanyakan pasien. Mungkin pemeriksaan fisis yang
dilakukan waktu nyeri dada dapat menemukan adanya aritmia, atau
galop, bahkan murmur, split S2 paradoksal, ronki basah di bagian basal
paru, yang menghilang lagi pada waktu nyeri sudah berhenti. Pnemuan
adanya tanda-tanda aterosklerosis umumnya sperti sklerosis A. Carotis,
aneurisma abdominal, nadi dorsalis pedis/tibialis posterior yang tidak
teraba, penyakit valvular karena sklerosis, adanya HT, left ventricel
hipertrophy (LVH), xantomia, kelainan fundus mata, dan lain-lain
tentu amat membantu (Setiati, 2014).
C. Pemeriksaan Penunjang
1. Angina Pectoris CCS1-2: Dilakukan pemeriksaan ischemic stress
test meliputi Treadmill test, atau Echocardiografi Stress test, atau
Stress test perfusion scanning atau MRI. MSCT dilakukan sebagai
alternatif pemeriksaan penunjang lain (PERKI, 2016).
a) EKG Waktu istirahat
Pemeriksaan ini dikerjakan bila belum dapat dipastikan
bila nyeri dada adalah non kardiak. Bila angina tidak tipikal,
maka periksaan ini hanya positif pada 50% pasien. Kelainan
EKG 12 lead yang khas adalah perubahan segmen ST-T yang
sesuai dengan iskemia miokardium. Akan tetapi perubahan-
perubahan lain ke arah faktor risiko seperti LVH dan adanya Q
abnormal sangat berarti untuk diagnostik.
b) Foto Thoraks
Pemeriksaan ini dapat melihat misalnya adanya
kalsifikasi koroner maupun katup jantung, tanda-tanda lain
misalnya pasien juga menderita gagal jantung, penyakit jantung
katup, perikarditis, aneurisma, dan diseksi serta pasien-pasien
yang cenderung nyeri dada karena kelainan paru.
c) EKG waktu aktivitas
Pemeriksaan ini sangat penting dilakukan pada pasien-
pasien yamg amat dicurigai, termasuk kelainan EKG seperti
Bundle Branch Block (BBB) dan ST depresi ringan. Begitu pula
pada pasien-pasien yang iskeminya rendah, LVH, minum
digoksin, dengan ST depresi kurang dari 1 mm boleh saja
dikerjakan, meskipun tidak terlalu diperlukan. Treadmill
exercise test memiliki sensitivitas dan spesifisitas masing
masing sebesar 68% ± 16% dan 77% ± 17%. Tes ini
sensitivitasnya lebih rendah dari uji latih lainnya.
Pasien yang direkomendasikan untuk melakukan
pemeriksaan EKG saat latihan adalah pasien dengan
abnormalitas EKG saat istirahat yang perlu dievaluasi lebih
lanjut, seperti pasien dengan penyakit jantung koroner stabil
yang mengalami perburukan pada gejala, dan pasien post-
revaskularisasi dengan perburukan gejala.
Dapat digunakan The Duke Treadmill Score (DTS)
digunakan sebagia perbandingan waktu latihan, ST deviasi dan
angina selama latihan dapat digunakan untuk memperhitungkan
risiko pasien.

DTS = exercise time in minutes (n) – (5 x mm ST depresi) - [ (4 x angina


indeks, non limiting) atau (8 x indeks, limiting) ]

Risiko Skor DTS Morbiditas dalam 1


tahun

Rendah ≥5 0,25%

Menengah 4-10 1,25%

Tinggi ≤ 11 5,25%

Indeks angina :
0 = tidak ada angina
1 = terdapat angina
2 = terjadi angina yang memberhentikan streest test
2/3 pasien yang berada dalam risiko rendah memiliki 4-years survivak rate
sebesar 99% dan 4% pasien yang berada pada risiko tinggi memiliki 4-years
survival rate sebesar 79%.
d) Ekokardiografi
Pemeriksaan ini sangat bermanfaat pada pasien dengan
murmur sistolik untuk memperlihatkan ada tidaknya stenosis
aorta yang signifikan atau kardiomiopati hipertrofik. Selain itu
dapat pula menentukan luasnya iskemia bila dilakukan waktu
berlangsungnya nyeri dada. Pemeriksaan ini bermanfaat untuk
menganalisis fungsi miokardium segmental bila hal ini telah
terjadi pada pasien APS kronik atau bila telah pernah infark
jantung sebelumnya, walaupun hal ini tidak dapat
memperlihatkan adanya iskemia yang baru terjadi.
e) EKG latihan dengan skingrafi 201Th dan 99mTc
Dapat dilakukan skingrafi dengan melakukan single
photon emission computed tomography (SPECT), dari teknik ini
dapat dilihat gambaran ambilan miokardial, terutama di bagian
yang mengalami hipoperfusi. Saat dilakukan skintigrafi,
dilakukan perbandingan ambilan yang berkurang saat latihan
saat istirahat. SPECT ini memberikan sensitivitas dan
spesifisitas yang lebih baik daripada EKG saat latihan, yakni
mencapai 70-98% dan spesifisitas 40-90%.
2. Angina Pectoris CCS3-4 (simptomatik) atau riwayat infark miokard
lama : Memerlukan pemeriksaan angiografi koroner perkutan.
Pemeriksaan Angiografi koroner dapat dikerjakan pada pasien usia
>40 tahun yang akan menjalani prosedur bedah jantung (PERKI,
2016).
a) Angiografi koroner
Pemeriksaan ini dilakukan pada pasien-pasien yang tetap
pada APS kelas III-IV meskipun telah mendapat terapi yang
cukup, atau pasien-pasien dengan risiko tinggitanpa
mempertimbangkan beratnya angina, serta pasien-pasien yang
pulih dari serangan aritmia ventrikel yang berat sampai cardiak
arest, yang telah berhasil diatasi.
Pemeriksaan ini diperlukan juga bagi pasien-pasien yang
diketahui mempunyai disfungsi ventrikel kiri dengan ejection
fraction (EF) kurang dari 45% walaupun dengan angina kelas I-
II dan pemeriksaan invasif tidak menunjukkan risiko tinggi,
serta pasien-pasien yang tidak dapat ditentukan status
koronernya dengan pemeriksaan noninvasif.
Keterbatasan angiografi koroner misalnya adalah tidak
dapat menentukan perubahan fungsi miokardium berdasarkan
stenosis koroner yang ada dan insensitif dalam menentukan
adanya trombus. Lagipula juga tidak dapat menunjukkan plak
sklerosis yang akan menyebabkan berkembangnya menjadi
UAP, yang tergantung pada isi dan kapsul plak tersebut. Tidak
jarang plak yang demikian biasanya hanyalah menunjukkan
stenosis 50%. Dengan tambahan beratnya disfungsi LV,
angiografi koroner sangat bermanfaat untuk startifikasi
prognosis, yang berkorelasi dengan jumlah pembuluh darah
yang mengalami stenosis. Yaitu 1, 2, 3 pembuluh. Survival 12
tahun untuk pasien dengan 0, 1, 2, dan 3 pembuluh adalah
masing-masing 91%, 74%, 59%, dan 40%.
Pemilihan kandidat pasien untuk dilakukan berbagai
pemeriksaan dalam rangka menegakkan diagnosis APS dapat
menggunakan “probabilitas pre test” (PTP), dengan dapat
menggunakan acuan PTP, pasien dapat dibedakan menjadi
pasien yang berisiko rendah dan tinggi untuk dilakukan
pemeriksaan. Pasien dengan skor PTP yang rendah yakni kurang
dari 15% diasumsikan sebagai pasien yang sehat dan
diperbolehkan untuk melakukan tes.
Dengan pemeriksaan-pemeriksaan non-invasif dan
infasif didapatkan klasifikasi pasien menjadi pasien yang
asimptomatik diberlakukan menyerupai APS juga, hanya dengan
skala yang lebih ringan misalnya bila EKG istirahatnya normal,
tidak memerlukan stres ekokardiografi lagi, apalagi adanya PJK
sudah dibuktikan sebelumnya.

VI.PENATALAKSANAAN
Tujuan terutama adalah mencegah kematian dan terjadinya
serangan jantung (infark). Sedangkan yang lainnya adalah mengontrol
serangan angina sehingga memperbaiki kualitas hidup. Pengobatan terdiri
dari farmakologis dan non farmakologis seperti penurunan berat badan
dan lain-lain, termasuk terapi perfusi dengan cara intervensi atau bedah
pintas. Bila ada dua cara terapi mempunyai efektivitas sama dalam
mengontrol angina, maka yang dipilih adalah terapi yang terbukti lebih
efektif mengurangi serangan dan mencegah kematian (Setiati, 2014).
A. Terapi Farmakologis
Kebanyakan terapi farmakologis adalah untuk segera
mengontrol angina dan memperbaiki kualitas hidup, tetapi belakangan
telah terbukti adanya terapi farmakologis yang mencegah serangan
jantung dan kematian juga, misalnya statin sebagai obat penurun
lemak darah. Tujuan dalam pengobatan APS adalah menurunkan
angka kejadian trombotik yang tiba-tiba dan disfungsi dari ventrikel.
Selain itu, harus dilakukan perubahan dari gaya hidup dan intervensi
farmakologis untuk menurunkan progresi plak, menstabilkan plak
dengan cara menurunkan inflamasi dan menjaga fungsi endotel dan
mencegah terjadinya trombosis jika terjadi disfungsi endotel dan
mencegah terjadinya trombosis jika terjadi disfungsi endotel atau
ruptur dari plak (Fox, 2006).
Penatalaksanaan APS sebagai berikut (Setiati, 2014) :
1. Pada pasien yang mengalami serangan angina pada APS, dapat
diberikan nitrogliserin sublingual (0,3-0,6 mg) setiap lima menit
hingga nyeri menghilang atau hingga dosis maksimal 1,2 mg
dalam 15 menit, pasien didudukkan (karena berdiri memicu
pingsan, sedangkan berbaring dapat meningkatkan aliran balik
dan kerja jantung). Selain itu dapat diberikan isosorbit dinitrat
(ISDN) 5 mg sublingual dapat digunakan untuk menghindarkan
serangan angina kembali dalam 1 jam.
2. Nitrat dalam jangka panjang dapat digunakan sebagai profilaksis
angina, antara lain ISDN, mononitrat dan transdermal
nitroglicerin patch, namun belum dapat dibuktikan secara
langsung pengaruhnya, pemberian nitrat dalam jangka panjang
perlu re-evaluasi dikarenakan bila intake nitrat jangka panjang
tanpa ada waktu “bebas nitrat” atau waktu kadar nitrat yang
rendah dala 8-10 jam dapat mengakibatkan perburukan pada
dinding endotel.
3. Isosorbit dinitrat sering digunakan sebagai profilaksis dari
angina, pada penelitian placebo-kontrol, waktu latihan meningkat
seiring pemberian 6-8 jam setelah dosis tunggal oral 12-120 mg
isosorbit dinitrat, tetapi hal ini hanya bertahan 2 jam ketika dosis
yang sama diberikan secara terus menerus sebanyak 4 kali per
hari, di mana dibutuhkan dosis yang lebih tinggi daripada terapi
saat serangan akut. Oleh karena itu, pemberian formulasi
extended release dari isosorbit dinitrat 2 x 40 mg tidak lebih
efektif bila dibandingkan dengan pemberian plasebo, sehingga
pemberian terapi jangka panjang dengan isosorbit dinitrat belum
berdasarkan evidence based medicine. Penggunaan mononitrat
slow released dinilai memberikan manfaat anti angina.
4. Hati-hati dalam penggunaan nitrat jangka panjang dapat memicu
terjadinya sakit kepala dan hipotensi. Hipotensi dapat terjadi
apabila nitrat digabungkan dengan penghambat kanal kalsium
(calcium chanel blocker). Penggunaan bersamaan dengan
phospate diesterase-5 inhibitor (PEDS)/sildenafil dapat
menyebabkan hipotensi berat.
5. Aspirin penggunaan aspirin merupakan pencegahan terjadinya
trombosis arteri berperan sebagai COX-1 inhibitor. Dosis yang
biasa digunakan ≥75 mg / hari (75-150 mg/ hari). Hati-hati efek
samping terhadap saluran cerna.
6. Beta bloker, obat ini bekerja langsung pada jantung untuk
menurunkan denyut jantung. Kontraktilitas, konduksi
atrioventrikular dan aktivitas ektopik. Pada pasien yang telah
mengalami infark miokardium, pemberian beta bloker dapat
menurunkan angka kematian sebesar 30% akibat kardiovasculer
dan infark miokardium. Namun belum ada bukti yang
mendukung bahwa pemberian beta bloker bermanfaat untuk
pencegahan terjadinya infark miokardium pada pasien APS.beta
bloker dikatakan bermanfaat untuk mengontrol terjadinya angina
yang dicetuskan oleh latihan fisik. Beta bloker dapat
dikombinasikan dengan dihidropiridin untuk mengatasi angina,
kombinasi beta bloker dengan verapamil dan diltiazem sebaiknya
dihindari karena risiko untuk terjadinya bradikardi atau AV blok.
Contoh beta bloker yang sering digunakan adalah : Metoprolol,
bisoprolol, atenolol, nevibolol karvedilol. Karvedilol dan
metoprolol sering digunakan dalam pasien dengan gangguan
ginjal.
7. Angiotensin converting enzyme, terutama bila disertai hipertensi
atau disfungsi LV.
8. Pemakaian obat-obatan untuk penurun low density lipoprotein
(LDL) pada pasien dengan LDL > 130 mg/dl (target <100
mg/dl).
9. Nitrogliserin semprot/sublingual untuk mengontrol angina
10. Antagonis kalsium atau nitrat jangka panjang dan kombinasinya
untuk tambahan beta bloker apabila ada kontraindikasi penyekat
beta, atau efek samping tidak dapat di tolelir atau gagal.
11. Tidak dapat studi yang mengungkapkan manfaat dari klopidogrel
terhadap APS. Penggunaan klopidogrel hanya pada kondisi
terdapat kontraindikasi terhadap pengguna aspirin.
12. Antagonis kalsium nondidhidropiridin long acting, sebagai
pengganti penyekat beta untuk terapi permulaan contohnya
adalah :
a. Verapamil, obat ini dapat digunakan untuk berbagai variasi
angina (angina saat latihan, vasospastik dan unstable angina),
dengan supraventricular takikardi dan hipertensi. Hasil
penelitian menunjukkan obat ini aman, namun masih tetap ada
risiko untuk terjadi blok, bradikardi dan gagal jantung.
b. Diltiazem, obat ini memiliki efek samping yang lebih kecil.
Efek dari pemberian diltiazem adalah vasodilatasi perifer,
menurunkan kontriksi koroner saat latihan, efek negatif
terhadap inotropik dan inhibisi terhadap nodus sinus. Sama
seperti verapamil penggunaan diltiazem bersamaan dengan
beta bloker tidak disarankan.
13. Antagonis kalsium dihidropiridin :
a. Long acting nifedipin, obat ini merupakan vasodilator kuat
terhadap arteri dan memberikan efek samping yang serius.
Nifedipin dengan kerja yang panjang ini biasanya digunakan
pada pasien angina yang memiliki hipertensi dan biasa
dikombinasikan dengan beta bloker. Kontra indikasi nifedipin
ini antara lain stenosis aorta, kardiomiopati, dan gagal
jantung.
b. Amlodipin, obat ini memiliki masa kerja yang panjang dapat
diminum satu kali per hari. Amlodipin lebih disukai karena
meminimalisir kadar obat yang fluktuatif di darah dan efek
kardiovaskular. Efek anti angina dari antagonis kalsium
berhubungan dengan menurunkan kerja jantung akibat
terjadinya vasodilatasi. Pencegahan terjadinya serangan
angina saat istirahat dilaporkan lebih efektif menggunakan
amlodipin daripada beta bloker atenolol, dan lebih baik lagi
bila keduanya di kombinasikan.
14. Ivabradin, obat ini merupakan obat yang menurunkan denyut
jantung (heart rate) dengan cara menginhibisi nodus sinus,
sehingga dapat menurunkan kebutuhan oksigen dari miokardium
tanpa memeberikan efek terhadap inotropik dan tekanan darah.
Obat ini telah disetujui oleh eropean medicines agency (EMA)
untuk pasien dengan APS yang kronis dan tidak berespon
terhadap pemberian beta bloker sebelumnya dan pada mereka
yang memiliki nadi 60 x/menit. Ivabradin memiliki keefektifan
yang sama dengan atenolol dan amlodipin. Penambahan
ivabradin 2 x 7,5 mg per hari dalam pengobatan dengan atenolol
akan memberikan hasil yang lebih memuaskan dalam
mengontrol denyut jantung dan gejala angina.
15. Nicorandil, merupakan obat turunan dari nitrat (nicotinamide)
yang dapat digunakan sebagai pencegahan dan pengobatan
jangka panjang dari angina, dapat ditambahkan setelah
pemberian beta bloker dan penyekat kalsiumobat ini telah
disetujui oleh EMA namun belum disetujui oleh food drug
association (FDA). Nicordil dikatakan dapat bekerja sebagai
vasodilator arteri koroner epikardium dan menstimulasi chanel
yang sensitif terhadap ATP (KATP) pada otot polos.
16. Trimetazidin, merupakan obat anti iskemik modulator metabolik,
kegunaanya menyerupai pemberian propanolol 20 mg.
Trimetazidin 2 x 35 mg di kombinasikan dengan beta bloker
(atenolol) telah disepakati untuk mencegah terjadinya iskemik
miokardium. Kontra indikasi pada pasien dengan penyakit
parkinson dan gangguan gerak (tremor, rigiditas, gangguan
dalam berjalan, restless rest syndrome) dan pada pasien DM
dapat meningkatkan HbA1c dan kadar gula darah.
17. Ranolazin, merupakan obat inhibitor selektif terhadap sodium.
Dosisnya sebesar 500-2000 mg per hari, efektif untuk mencegah
terjadinya angina dan meningkatkan kapasitas latihan fisik tanpa
memberikan perubahan pada denyut jantung dan tekanan darah.
eropean medicines agency (EMA) telah menyetujui ranolazin
pada tahun 2009 sebagai pengobatan tambahan pada pasien APS,
terutama bagi pasien yang tidak berespon terhadap beta bloker
dan penghambat kanal kalsium.
18. Alopurinol 600 mg, obat ini merupakan xantin oksidase inhibitor
yang mereduksi asam urat pda pasien gout. Ternyata obat ini
memiliki kegunaan lain sebagai anti angina pada pasien dengan
gagal ginjal, dosis alupurinol yang tinggi dapat mencapai dosis
toksis. Alupurinol dapat menurunkan stres oksidatif pada
pembuluh darah yang bermanfaat pada pasien gagal jantung.
19. Molsidomine merupakan donor NO langsung yang dapat
berfungsi sebagai anti iskemik, efek yang ditimbulkan
menyerupai pemberian isosorbid dinitrat. Dosis yang biasa
digunakan dosis tunggal 16 mg/ hari atau 2x8 mg/hari.
B. Terapi Terhadap Faktor Risiko
Penurunan kolesterol LDL pada pasien yang jelas menderita
PJK atau dicurigai menderita PJK dengan LDL antara 100-129 mg/dl,
dengan target LDL adalah dibawah 100 mg/dl ada beberapa pilihan
terapi untuk ini yaitu :
1. Gaya hidup atau dengan obat-obatan.
2. Penurunan berat badan dan peningkatan latihan pada sindrom
metabolik.
3. Pengobatan terhadap peninggian lipid lainnya atau faktor risiko
nonlipid lainnya pemakaian asam nikotinat atau asam fibrat untuk
peninggian trigliserid atau HDL yang rendah.
4. Penurunan berat badan pada obesitas meskipun pasien tidak
menderita hipertensi, dislipidemia ataupun DM.
C. Terapi Non Farmakologis
Disamping pemberian oksigen dan istirahat pada waktu
datangnya serangan angina misalnya, maka hal-hal yang sudah dsebut
diatas seperti perubahan life style (termasuk berhenti merokok dan
lain-lain), penurunan berat badan, penyesuaian diet, olahraga teratur
dan lain-lain, merupakan terapi non farmakologis yang dianjurkan.
1. Diet , pengaturan diet yang sehat akan menurunkan terjadinya
infark miokardium. Energi dan asupan makanan yang dikonsumsi
biasanya disesuaikan dan ditargetkan dengan body mass indeks
(BMI) yang ditargetkan yakni < 25 kg/m2 .
2. Aktivitas olahraga, pasien dengan APS disarankan berolahraga
sebanyak ≥ 3 kali per minggu dengan durasi 30 menit setiap
sesinya.
3. Aktivitas seksual, dapat memicu terjadinya angina, dapat
digunakan nitrogliserin pada saat melakukan hubungan seksual,
dan hindari pemberian sildenafil bersamaan dengan nitrat.
4. Pengelolaan berat badan, disarankan bagi pasien overweight dan
obesitas, hal ini juga dapat membantu untuk mencapai target
tekanan darah, dislipidemia dan metabolisme glukosa munculnya
apnea saat tidur perlu diperhatikan pada pasien obesitas karena
berhubungan dengan angka morbiditas penyakit bkardiovaskuler.

VII.PROGNOSIS
Umumnya pasien dengan angina pektoris dapat hidup bertahun-
tahun dengan hanya sedikit pembatasan dalam kegiatan sehari-hari.
Mortalitas bervariasi dari 2% - 8% setahun. Apalagi dengan angina
pectoris stabil dimana hanya dengan beristirahat sudah dapat sembuh dan
angka kematianpun akan sangat kecil kemungkinannya (Fox, 2006).
Faktor yang mempengaruhi prognosis adalah beratnya kelainan
pembuluh koroner. Pasien dengan penyempitan di pangkal pembuluh
koroner kiri mempunyai mortalitas 50% dalam lima tahun. Hal ini jauh
lebih tinggi dibandingkan pasien dengan penyempitan hanya pada salah
satu pembuluh darah lainnya. Juga faal ventrikel kiri yang buruk akan
memperburuk prognosis. Dengan pengobatan yang maksimal dan dengan
bertambah majunya tindakan intervensi dibidangkardiologi dan bedah
pintas koroner, harapan hidup pasien angina pektoris menjadi jauh
lebih baik (Fox, 2006).
DAFTAR PUSTAKA
Drago J and Williams GH. Hypertension. In: Lilly, Leonard S.
Pathophysiology of heart disease: a collaborative project of medical
students and faculty. 6th ed. Baltimore: Lippincott Williams &
Wilkins, 2016;330-333.

European Society of Cardiology (ESC). 2006. Guideline for the Diagnosis and
Treatment of Acute and and Chronic Heart Failure.

Fihn SD, Gardin JM, Abrams J, et al. 2012.


ACCF/AHA/ACP/AATS/PCNA/SCAI/STS Guideline for the
Diagnosis and Management of Patients With Stable Ischemic Heart
Disease: Executive SummaryJournal of The American College of
Cardiology.2012;60:2564603.

Fox K, Garcia MA, Ardissino D, dkk. 2006. Guidelines on the management


of stable angina pectoris: executive summary : The Task Force on the
Management of The Stable Angina Pectoris of the Eropean Society of
Cardiology. Eur Heart J.

Franklin SS, Larson MG, Khan SA, et al. Does the Relation of Blood Pressure
to Coronary Heart Disease Risk Change With Aging? The Framingham
Heart Study.Circulation.2001;103:1245-1249.

Jousilahti P, Vartiainen E, Tuomilehto J, et al. Sex, Age, Cardiovascular Risk


Factors, and Coronary Heart Disease A Prospective Follow-Up Study
of 14 786 Middle-Aged Men and Women in
FinlandCirculation.1999;99:1165- 1172.

Lewington S, Clarke R, Qizilbash N, et al. Age-specific relevance of usual


blood pressure to vascular mortality: a meta-analysis of individual data
for one million adults in 61 prospective studies.
Lancet.2002;360:1903-13.
Lloyd-Jones DM, Leip EP, Larson MG, et al. Prediction of Lifetime Risk for
Cardiovascular Disease by Risk Factor Burden at 50 Years of Age
Circulation.2006;113:791-798

Lilly, L.,S. 2016. Pathophysiology of heart disease : A Collaborative Project


of Medical Students and Faculty. Ed. 5. Amerika Serikat. Harvard
Medical School.

Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiologi Indonesia. Pedoman Uji Latih


Jantung: Prosedur dan Interpretasi. Jakarta: PERKI.2016.

Perk J, Backer GD, Golhke H, et al. ESC Guideline on Cardiovascular Disease


Prevention in Clinical Practice. European Heart Journal.2012;33:1635-
1701.

Setiati S., dkk. 2014.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, Edisi
Keenam.Jakarta Interna. Publishing.

Shahawy S and Libby P. Atherosclerotic. In: Lilly, Leonard S.


Pathophysiology of heart disease: a collaborative project of medical
students and faculty. 6th ed. Baltimore: Lippincott Williams &
Wilkins, 2016;112-133.

Stallones Reuel A. The association between tobacco smoking and coronary


heart disease. International Journal of Epidemiology. 2015:735-743.

Wilder J, Sabatine MS, and Lilly. Ischemic Heart Disease Chapter 6.In: Lilly,
Leonard S. Pathophysiology of heart disease: a collaborative project of
medical students and faculty. 6th ed. Baltimore: Lippincott Williams &
Wilkins, 2016;134-161.

Anda mungkin juga menyukai