Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH METODE IDENTIFIKASI PIJAL

OLEH

Nama : Urbanus Ignatio Renaldo Lering

Kelas : 1B

Nim : 5303330200861
KATA PENGANTAR

Puji Dan syukur saya panjatkan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan rahmat,
karunianya saya dapat menyelesaikMakalah ini saya buat untuk memenuhi tugas dari dosen. Saya ucapakan
terimaksih kepada pihak yang telah membantu saya dalam menyelesaikan makalah ini sehingga dapat
mengumpulkannya tepat waktu.

Saya sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan dan saya juga menyadari sepenuhnya bahwa dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh
dari kata sempurna. Oleh sebab itu, saya berharap adanya kritikan, saran dan usulan demi perbaikan makalah
yang telah saya buat di masa yang akan datang.

Ahkir kata saya ucapkan terimakasih. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kami selaku penyusun
maupun para pembaca.
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATARBELAKANG

Pes merupakan penyakit zoonosa terutama pada tikus dan rodent lain yang dapat ditularkan kepada
manusia. Penya.kit yang dikenal dengan nama pesteurellosis atau yersiniosis/plague/sampar ini bersifat akut
disebabkan oleh bakteri Yersinia pestis (Pasteurella pestis)Penya.kit yang terdaftar dalam Karantina
lntemasional, termasuk dalam undang-undang No.4 tahun 1984 tentang wabah penyakit menular dan
termaktub di dalam peraturan Menkes RI. No. 560/ Menkes/ Per/ Villi 1989 tentang penyakit yang
menimbulkan wabah, yang diatur dalam surat edaran Direktorat Jenderal PP&PL No.
4511/PD.03.04/IF/1999. Penya.kit ini sampai sekarang masih menjadi masalah kesehatan yang dapat
menimbulkan kejadian luar biasa (KLB) ataupun wabah.2> Pes masuk pertama kali di Indonesia pada tahun
1910 melalui pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, kemudian tahun 1916 melalui pelabuhan Tanjung Mas,
Boyolali, tahun 1923 melalui pelabuhan Cirebon dan tahun 1927 melalui pelabuhan Tegal. Korban yang
diakibatkan karena penyakit pes dari tahun 1910 sampai dengan tahun 1960 tercatat 245.375 orang dengan
angka kematian tertinggi yaitu 23.275 orang yang terjadi pada tahun 1934. Pada tahun 1987 terjadi wabah
pes di Kecamatan Nongkojajar, Kabupaten Pasuruan yang menewaskan 21 orang. Data Ditjen P2MPL
menunjukkan kasus pes di Indonesia dari tahun 2002-2006 mengalami penurunan, dan puncaknya terjadi
pada tahun 2004.

Hasil pencarian kasus pes di beberapa daerah endemis pes adalah 1 positif dari 507 yang diperiksa
(2002), 2 positif dari 216 yang diperiksa (2003 ), 7 positif dari 254 yang diperiksa (2004 ), l positif dari 74
yang diperiksa (2005) serta 1 positif dari 74 yang diperiksa pada tahun 2006. Pada tahun 2007 terjadi KLB
Pes di Desa Sulorowo Kabupaten Pasuruan Jatim dengan jumlah penderita 67 orang, I meninggal.
Sedangkan basil inokulasi pinjal positif Yersinia Pestis pada tikus percobaan. Daerah fokus pes di Indonesia
adalah sebagai berikut : Kecamatan Selo dan Cepogo, Kabupaten Boyolali, Provinsi Jawa Tengah,
Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Boyolali, DI Y ogyakarta, Kecamatan Nongkojajar, Tosar Puspo,
Pasrepan, Kabupaten Pasuruan, Provinsi Jawa Timur. Kabupaten Boyolali merupakan salah satu daerah
fokus pes yang ada di Provinsi Jawa Tengah, terutama di Kecamatan Selo dan Cepogo. Pada tahun 2006
rnasih ditemukan serologis positif 2 orang, kemungkinan karena mempunyai antibodi terhadap ' r J '· b • pes,
tetapi tidak menimbulkan manifes klinis bubo serta penyakit lain yang disebabkan oleh bakteri bipolair,
tetapi bukan Yersenia pestis.3> Hasil kegiatan surveillens rodent yang dilakukan oleh BBTKL Y ogyakarta
pada bulan Mei dan Juni 2007 di wilayah Kabupaten Boyolali ditemukan serologi positif pada 4 ekor tikus
(184 tikus) dengan variasi titer 1: 16 (dua ekor), 1:64 (satu ekor), l :128 (satu ekor) 2>. Tahun 2009 dari basil
sampling (187 sampel) pemeriksaan rodent tidak ditemukan lagi serologis positif Y.pestis. Upaya yang telah
dilakukan untuk pengendalian penyakit pes antara lain dilakukan surveilans pada human maupun rodent,
penyediaan reagen pemeriksaan pes dan assesment pes. Vektor utama wabah pes di Indonesia adalah pinjal
tikus oriental, Xenopyl/a cheopis.

Di berbagai lokasi geografis di seluruh dunia, spesies lain menularkan pinjal yang menyebabkan wabah
pes dan memainkan peran dalam sylvatic cycles of the disease dan pada human transmition. Misalnya, di
Indonesia, pinjal Stivalius cognatus telah dilaporkan sebagai vektor sekunder yang umumnya ditemukan
selama survei pencarian ektoparasit pada rodent commensal. Namun, pada transmisi pes hewan pengerat-
manusia di Indonesia dan di sebagian besar dunia, X cheopis adalah spesies pinjal yang paling penting.
Pengamatan penyakit pes harus dilakukan terutama di daerah-daerah fokus pes yaitu Kecamatan Seto dan
Cepogo di Kabupaten Boyolali Provinsi Jawa Tengah, Kecamatan Cangkringan Kabupaten Steman DIY,
serta Kecamatan Tutur Nongkojajar dan Tosari Kabupaten Pasuruan Provinsi Jawa Timur. Kegiatan
pengamatan tersebut perlu didukung oleh laboratorium pes yang memadai, sebingga perlu adanya
peningkatan ketrampilan bagi petugas lapangan dan petugas laboratorium. Pemeriksaan bakteri Yersinia
pestis pada tikus maupun pinjal sampai sekarang hanya dilakukan dengan uji serologis, sedangkan uj i
bakteriologis jarang dilakukan karena membutuhkan waktu yang lama. Untuk membuktikan bahwa bakteri
Yersinia pestis benar-benar sudah tidak ditemukan pada tikus dan pinjal di daerah endemis pes, perlu
kiranya dilakukan uji bakteriologis. Dari permasalahan tersebut diatas maka perlu dilakukan penelitian
tentang pengamatan rodent dan pinjalnya di daerah fokus pes yaitu Kabupaten Boyolali yang dilakukan
sepanjang tahun, sehingga diketahui sedini mungkin kemungkinan akan terjadinya kejadian pes di
Kabupaten Boyolali.

1.2 TUJUAN

Umum : Merekonfirmasi Rattus sp sebagai reservoir penyakit pes

Khusus: l. Mengetahui jumlah, jenis dan keberhasilan penangkapan

2. Mengidentifikasi adanya bakteri Yersinia pestis pada roden dan pinjal secara bakteriologis
dan serologis

3. Mengidentifikasi spesies pinjal tertangkap untuk menentukan indeks pinjal khusus (flea
indeks Xenopsylla cheopis) dan indeks pinjal umum

4. Mengetahui karakteristik lingkungan

1.3MANFAAT

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat sebagai tambahan informasi bagi pengelola program
dalam upaya pengendalian penyakit pes di Bagi para peneliti dapat sebagai informasi awal
untuk dilakukan penelitian lebih Ian jut
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Parasit

Parasit adalah organisme yang eksistensinya tergangung adanya organisme lain yang dikenal sebagai
induk semang atau hospes. Organisme yang hidup sebagai parasit sperti cacing telah dikenal beratus-ratus
tahun yang lalu oleh nenek moyang. Hewan-hewan parasit telah dikenal dan dibicarakan sejak zamannya
Aristoteles (384-322) dan Hipocrates (460-377 SM) di Yunani, tetapi ilmu parasitnya baru berkembang
setelah manusia menyadari pentingnya ilmu parasit.

B. Ektoparasit
Ektoparsit merupakan parasit yang berdasarkan tempat manifestasi parasitismenya terdapat di
permukaan luar tubuh inang, termasuk di liang-liang dalam kulit atau ruang telinga luar. Kelompok parasit
ini juga meliputi parasit yang sifatnya tidak menetap pada tubuh inang, tetapi datang dan pergi di tubuh
inang. Adanya sifat berpindah bukan berarti ektoparasit tidak mempunyai preferensi terhadap inang. Seperti
parasit yang lainnya, ektoparasit juga memiliki spesifikasi inang, inang pilihan, atau inang kesukaan
(Ristiyanto et al, 2004). Proses preferensi ektoparasit terhadap inang antara lain melaui fenomena adaptasi,
baik adaptasi morfologis maupun biologis yang kompleks. Proses ini dapat diawali dari nenek moyang jenis
ektoparasit tersebut, kemudian diturunkan kepada progeninya. Walaupun ektoparasit memilih inang tertentu
untuk kelangsungan hidupnya, namun bukan berarti pada tubuh inang tersebut hanya terdapat kelompok
ektoparasit yang sejenis (Ristiyanto et al, 2004).
Proses preferensi ektoparasit terhadap inang antara lain melaui fenomena adaptasi, baik adaptasi
morfologis maupun biologis yang kompleks. Proses ini dapat diawali dari nenek moyang jenis ektoparasit
tersebut, kemudian diturunkan kepada progeninya. Walaupun ektoparasit memilih inang tertentu untuk
kelangsungan hidupnya, namun bukan berarti pada tubuh inang tersebut hanya terdapat kelompok
ektoparasit yang sejenis (Ristiyanto et al, 2004).

1.Pinjal (flea) Pinjal merupakan serangga ektoparasit yang hidup diluar tubuh inangnya. Secara morfologi
tubuh pinjal dewasa berbentuk pipih bilateral sehingga dapat dilihat dari samping. Bentuk tubuh yang unik
ini sesuai dengan inangnya, hewanhewan berbulu lembut menjadi inang yang nyaman. Pinjal mempunyai
ukuran kecil, larvanya berbentuk cacing (vermiform) sedangkan pupanya berbentuk kepompong dan
membungkus diri dengan seresah. Perilaku pinjal secara umum merupakan parasit temporal, yaitu berada
dalam tubuh hospes saat membutuhkan makanan. Jangka hidup pinjal bervariasi, pada spesies pinjal
tergantung pada mereka mendapat makanan atau tidak. Terdapat beberapa genus pinjal yaitu Tunga,
Ctenocephalides dan Xenopsylla (Kesuma, 2007). Muriane (Endemic) typhus penyebabnya adalah
Rickettsia mooseri; penyebarannya karena feses pinjal yang masuk ke dalam luka. Vektornya Xenopsylla
cheopis, Nosopsylla fasciatus, Ctenocephalides felis, dan Ctenocephalides canis.Helminthiasis sebagai tuan
rumah perantara dari Dipylidium caninum oleh Ctenocephalides felis dan Ctenocephalides canis
(Natadisastra dan Agoes, 2009).

Genus Ctenocephalides

Ctenocephalides canis Pinjal ini sangat mengganggu anjing karena dapat menyebabkan Dipylidium
caninum. Meskipun mereka memakan darah anjing, kadang-kadang juga dapat menggigit manusia. Mereka
dapat bertahan hidup tanpa makanan 7 3 selama beberapa bulan, tetapi spesies betina harus memakan darah
sebelum menghasilkan telur.

Klasifikasi dan morfologi Filum : Arthropoda Kelas : Insekta Ordo : Siphonaptera Famili : Pulicidae
Genus : Ctenocephalides Spesies: Ctenocephalides canis
Siklus Hidup

Pinjal mengalami metamorfosis sempurna, yang didahului dengan telur, larva, pupa, kemudian
dewasa. Pinjal betina akan meninggalkan inangnya untuk meletakan telurnya pada tempat-tempat yang dekat
dengan inangnya, seperti sarang tikus atau anjing, celah-celah lantai atau karpet, di antara debu dan kotoran
organik, atau kadang-kadang di antara bulu-bulu inangnya. Telurnya menetas 8 4 dalam waktu 2-24 hari
tergantung kondisi lingkungannya. Larva pinjal sangat aktif, makan berbagai jenis bahan organik
disekitarnya termasuk feses inangnya. Larvanya terdiri atas 3-4 instar (mengalami 2-3 kali pergantian kulit
instar) dengan waktu berkisar antara 10-21 hari. Larva instar terakhir bisa mencapai panjang 4-10 mm,
setelah itu berubah menjadi pupa yang terbungkus kokon. Kondisi pupa yang berada dalam kokon seperti itu
merupakan upaya perlindungan terhadap sekelilingnya. Tahap dewasa akan keluar 7-14 hari setelah
terbentuknya pupa. Lamanya siklus pinjal dari telur sampai dengan dewasa berkisar antara 2-3 minggu pada
kondisi lingkungsn yang baik. Pinjal dewasa akan menghindari cahaya, dan akan tinggal diantara rambut-
rambut inang, pada pakaian atau tempat tidur manusia. Baik pinjal betina maupun jantan keduanya
menghisap darah beberapa kali pada siang atau malam hari. (Hadi, 2010).

Gejala klinis

Pinjal menginfeksi manusia melalui gigitannya dan juga melalui tinja yang mengandung Yersinia pestis
yang masuk melalui luka gigitannya (anterior inokulatif dan posterior kontaminatif). Bakteri yang masuk
mula-mula menyebabkan terjadinya peradangan dan pembesaran kelenjar limfe dan terbentuknya benjolan
atau bubo (Natadisastra dan Agoes, 2009). Gangguan utama yang ditimbulkan oleh pinjal adalah gigitannya
yang mengiritasi kulit dan cukup mengganggu. Ctenocephalides canis berperan sebagai inang antara cacing
pita Dipylidium caninum dan Hymenolepis diminuta. Ctenocephalides canis juga merupakan inang anntara
cacing filaria Dipetalonemia reconditum (Hadi, 2010).

Cara Penularan Gigitan pinjal yang sering terjadi pada orang dilakukan oleh pinjal muda yang baru
menetas di tempat persembunyiannya, yakni karpet, celah-celah dinding, perabot rumah tangga (furniture)
dsb. Pinjal muda yang lapar umumnya lebih agresif mencari induk semangnya sebagai sumber makanan
daripada pinjal dewasa. Hal ini merupakan upaya parasit untuk melanjutkan kehidupannya (Soedarsono,
2008). 2. Sengkenit (ticks) atau caplak Sengkenit atau caplak termasuk ke dalam Ordo Acarina dan Famili
Ixodidae. Ordo Acarina terdapat ratusan spesies sengkenit dan tungau yang menimbulkan gangguan
kesehatan pada manusia dan terutama pada hewan ternak sehingga menimbulkan kerugian besar pada
peternak. Peranan sengkenit keras secara langsung menyebabkan kelainan atau gangguan penyakit, seperti
dermatitis, exsanguinasi, otoacariasis, dan paralisis sengkenit (tick paralysis).Peranan sengkenit keras
sebagai vektor (transmitter). Mikroorganisme yang dapat ditularkan oleh sengkenit adalah protozoa,
rickettsia, virus serta bakteri (Natadisastra, 2009). Selain dapat menimbulkan penyakit secara langsung, ticks
juga dapat menularkan berbagai jenis mikroorganisme penyebab penyakit. Secara langsung gigitan ticks
dapat menyebabkan terjadinya dermatosis. Selain itu toksin yang dihasilkan oleh beberapa jenis caplak
(Ixodidae) dapat menyebabkan kelumpuhan saraf (ticks paralyse), berbagai gejala sistemik, bahkan kematian
penderita (Soedarto, 2008). 10 6 Famili Ixodidae Caplak ini berperan sebagai inang perantara. toksin yang
dihasilkan oleh beberapa jenis caplak (Ixodidae) dapat menyebabkan kelumpuhan saraf (ticks paralyse),
berbagai gejala sistemik, bahkan kematian penderita (Soedarto, 2008). 10 6 Famili Ixodidae Caplak ini
berperan sebagai inang perantara.

2. Sengkenit (ticks) atau caplak Sengkenit atau caplak termasuk ke dalam Ordo Acarina dan Famili Ixodidae.
Ordo Acarina terdapat ratusan spesies sengkenit dan tungau yang menimbulkan gangguan kesehatan pada
manusia dan terutama pada hewan ternak sehingga menimbulkan kerugian besar pada peternak. Peranan
sengkenit keras secara langsung menyebabkan kelainan atau gangguan penyakit, seperti dermatitis,
exsanguinasi, otoacariasis, dan paralisis sengkenit (tick paralysis).Peranan sengkenit keras sebagai vektor
(transmitter). Mikroorganisme yang dapat ditularkan oleh sengkenit adalah protozoa, rickettsia, virus serta
bakteri (Natadisastra, 2009). Selain dapat menimbulkan penyakit secara langsung, ticks juga dapat
menularkan berbagai jenis mikroorganisme penyebab penyakit. Secara langsung gigitan ticks dapat
menyebabkan terjadinya dermatosis. Selain itu toksin yang dihasilkan oleh beberapa jenis caplak (Ixodidae)
dapat menyebabkan kelumpuhan saraf (ticks paralyse), berbagai gejala sistemik, bahkan kematian penderita
(Soedarto, 2008). 10 6 Famili Ixodidae Caplak ini berperan sebagai inang perantara.
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Parasit adalah organisme yang eksistensinya tergangung adanya organisme lain yang dikenal sebagai induk
semang atau hospes. Organisme yang hidup sebagai parasit sperti cacing telah dikenal beratus-ratus tahun
yang lalu oleh nenek moyang.

B.Saran

Berdasarkan uraian kesimpulan diatas, penulis ingin menambah wawasan kita sebagai pembaca dan penulis.

Anda mungkin juga menyukai