Anda di halaman 1dari 12

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan di rawat jalan RSUP Persahabatan tahun 2016


yang bertujuan mendeteksi potensi ketidaktepatan peresepan pada pasien
geriatri dengan kriteria STOPP and START. Data bersumber dari rekam
medik pasien dan diperoleh 80 sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan
ekslusi.

A. Karakteristik Pasien
1. Berdasarkan Jenis Kelamin
Hasil dari penelitian yang dilakukan pada 80 pasien geriatri yang
menjalani rawat jalan di RSUP Persahabatan Jakarta periode Januari-Februari
2016, diperoleh distribusi pasien berdasarkan jenis kelamin seperti tertulis
pada tabel 2.
Tabel 2. Distribusi Pasien Geriatri di Rawat Jalan RSUP Persahabatan
Januari-Februari 2016 Berdasarkan Jenis Kelamin

No Jenis Kelamin N %
1 Laki-Laki 47 58,75
2 Perempuan 33 41,25
Total 80 100

Pada Tabel 2 menampilkan ringkasan karakteristik pasien geriatri dari


total sampel penelitian sebanyak 80 data rekam medik yang memenuhi
kriteria inklusi. Pada sampel berjenis kelamin laki-laki sebanyak 47 pasien
(58,75%) yang lebih besar jumlahnya dibandingkan pasien perempuan
sebanyak 33 pasien (41,25%). Menurut (Supadmi 2013) pada lansia, depresi
dan emosi dapat melemahkan sistem imun, dan akhirnya mempengaruhi
kesehatan sehingga mudah terserang penyakit. Pada lansia laki-laki depresi
dikaitkan dengan berkurangnya respon imun. Hal tersebut dapat diasumsikan
sebagai salah satu alasan mengapa lansia laki-laki lebih mudah terserang
penyakit dan terbukti dalam penelitian ini persentase tertinggi adalah pasien
geriatri laki-laki.
2. Berdasarkan Usia
Penggolongan usia pasien berdasarkan World Healrh Organitation
(WHO) diklasifikasikan menjadi empat kategori usia pada lansia yaitu usia
pertengahan (45-59 tahun), lanjut usia (60-74 tahun), lanjut usia tua (75-90
tahun), dan usia sangat tua (>90 tahun). Karakteristik pasien berdasarkan usia
dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3. Distribusi Pasien Geriatri di Rawat Jalan RSUP Persahabatan
Januari-Februari 2016 Berdasarkan Usia

Usia N %
1 45-59 tahun 0 0
2 60-74 tahun 69 86,25
3 75-90 tahun 11 13,75
4 >90 tahun 0 0
Total 80 100

Hasil penelitian berdasarkan usia menunjukan bahwa pasien geriatri


lebih banyak terjadi pada kategori lanjut usia 60-74 tahun yaitu sebanyak 69
pasien (86,25%). Tingginya prevalensi penyakit degenaratif (penuaan) pada
pasien tersebut, antara lain disebabkan karena fungsi fisiologis mengalami
penurunan akibat proses degeneratif sehingga penyakit tidak menular banyak
muncul pada usia lanjut. Selain itu masalah degeneratif menurunkan daya
tahan tubuh sehingga rentan terkena infeksi penyakit menular. Faktor yang
juga mempengaruhi kondisi fisik dan daya tahan tubuh lansia adalah pola
hidup yang dijalaninya sejak usia balita. Pola hidup yang kurang sehat
berdampak pada penurunan daya tahan tubuh, masalah umum yang dialami
adalah rentannya terhadap berbagai penyakit (KemenKes RI 2013).

B. Gambaran Pengobatan Pasien Geriatri


Pengumpulan data yang dilakukan dengan melihat daftar
penggolongan obat yang terdapat di rekam medik pasien geriatri di rawat
jalan RSUP Persahabatan Jakarta periode Januari-Februari 2016.
1. Daftar Golongan Obat Dalam Pengobatan
Identifikasi penggunaan obat pada pasien geriatri berdasarkan hasil
data yang diambil dari rekam medik rawat jalan RSUP Persahabatan periode
Januari-Februari 2016 diperoleh golongan obat yang digunakan oleh pasien.
Dari penggolongan obat didapat hasil seperti yang tertulis pada tabel 4.
Tabel 4. Penggunaan Golongan Obat Pada Pasien Geriatri di Rawat
Jalan RSUP Persahabatan Jnaurai-Februari 2016

No Golongan Obat N %
1 Aspirin 12 3,9
2 Antigout 4 1,3
3 Antiplatelet 3 0,9
4 Antihistamin 9 2,9
5 Antihipertensi 72 23,6
6 Antidiabetes 77 25,2
7 Antiasthma 2 0,6
8 Antianemia 4 1,3
9 Antimukolitik 1 0,3
10 Antiepilepsi 1 0,3
11 Antagonis Serotonin 1 0,3
12 Antiangina 2 0,6
13 Antivertigo 1 0,3
14 Antidiuretik 7 2,3
15 Antikolinergik 3 0,9
16 Antitiroid 1 0,3
17 Antibiotik 4 1,3
18 Beta- adrenergik 4 1,3
19 Beta-agonis 3 0,9
20 Fibrate 9 2,9
21 Kortikosteroid 8 2,6
22 Nitrate 3 0,9
23 NSAID 11 3,6
24 PPI 20 6,5
25 Statin 18 6
26 Saluran Kemih Kelamin 1 0,3
27 Vitamin&Mineral 24 7,8
Total 305 100

Pada tabel 4 menunjukan hasil jumlah golongan obat yang paling


banyak digunakan oleh pasien geriatri adalah penggunaan golongan obat
antidiabetik sebanyak 77 dengan presentase (25,2%). Diabetes mellitus
banyak terjadi pada usia 60-74 tahun dan dengan bertambahnya usia
(Subramaniam & Gold 2005). Akibat proses menua terjadi kemunduran
fungsi organ sehingga penyakit degeneratif khususnya Diabetes mellitus akan
mudah terjadi (Dellasega & Yonushonis 2007).
C. Potensi Peresepan Obat yang Tidak Tepat Berdasarkan Kriteria
STOPP dan START
Suatu potensi penggunaan obat yang tidak tepat dalam peresepan
pasien geriatri dapat dianalisis dengan menggunakan kriteria STOPP. Potensi
penggunaan obat tidak tepat adalah obat-obat yang harus dihindari atau masih
dapat digunakan namun dengan perhatian khusus pada pasien geriatri berusia
≥60 tahun (Pacheco 2015). START adalah daftar obat yang dianjurkan untuk
digunakan pada pasien usia lanjut sesuai kriteria dalam toolkit (Gallagher
2008)).
Dari total 80 sampel penelitian pada pasien rawat jalan RSUP
Persahabatan terdapat 305 jumlah obat yang digunakan. Menurut identifikasi
menggunakan kriteria STOPP didapatkan hasil sebanyak 296 (97%) obat
yang tepat digunakan pada pasien geriatri dan ditemukan 9 (3%) obat yang
berpotensi tidak tepat. Pada identifikasi menggunakan kriteria START tidak
ditemukan kejadian obat yang tidak tepat. Data dapat dilihat pada tabel 5.
Tabel 5. Identifikasi kejadian ketidaktepatan obat berdasarkan
kriteria STOPP dan START

No Kriteria N %
1 STOPP
Tepat 296 97
Tidak Tepat 9 3
Total 305 100
2 START
Tepat 305 100
Tidak Tepat 0 0
Total 305 100

Kriteria STOPP digunakan untuk mengidentifikasi potensi


penggunaan obat yang tidak tepat (PIM). Potensi penggunaan obat tidak tepat
adalah obat-obat yang harus dihindari atau masih dapat digunakan namun
dengan perhatian khusus pada pasien geriatri berusia ≥60 tahun (Pacheco
2015). Berikut adalah jenis kejadian ketidaktepatan yang ditemukan dari hasil
identifikasi menggunakan kriteria STOPP pada sampel penelitian terdapat
pada tabel 6.
Tabel 6. Identifikasi jenis kejadian ketidaktepatan obat berdasarkan
kriteria STOPP

N Obat Deskrispi N %
o
1 Statin Pada pasien menampilkan 3 33,4
kelemahan otot dan nyeri
2 Sulfonilurea Dengan diabetes tipe 2 2 22,2
3 NSAID Hipertensi berat moderat 1 11,1
(moderat: 160/100mmHg-
179/109mmHg, Parah:
>180/110mmHg)
4 NSAID Gagal Jantung 1 11,1
5 CCB Jika timbul bengkak pada 1 11,1
pergelangan kaki
6 Beta Blocker Pada pasien dengan diabetes 1 11,1
mellitus dan hipoglikemia
berkelanjutan.

Total 9 100
Keterangan :
NSAID (Non Steroid Anti Inflamatory Drug)
CCB (Calcium Channel Blocker)

Dari data sampel penelitian pada pasien rawat jalan RSUP


Persahabatan yang termasuk dalam kategori PIM (Potentially Inappropriate
Medication) berdasarkan pedoman, yang paling banyak digunakan adalah
pada pasien yang menampilkan gejala kelemahan otot dan nyeri yang
mendapatkan terapi pengobatan berupa golongan statin sebanyak 3 kejadian
dengan presentase 33,4% banyak terjadi pada penggunaan obat simvastatin
dan atorvastatin, pasien yang mendapatkan terapi ini terdapat pada lampiran 2
halaman (..)

Penggunaan golongan statin harus dipertimbangkan pada pasien


geritari yang menunjukan gejala kelamahan otot atau nyeri karena pada
pasien dengan gejala tersebut memiliki faktor resiko miopati sehingga terjadi
peningkatan kreatinin kinase yang sangat tajam atau terjadi gejala gangguan
otot yang parah maka penggunaan statin harus dihentikan (Anonim 2015).
Gangguan otot akibat penggunaan obat golongan statin ditandai dengan
adanya rasa nyeri pada otot. Gangguan otot juga dapat dideteksi dengan
pengukuran kadar keratin kinase pada darah. Semakin tinggi kadar keratin
kinase maka kemungkinan besar gangguan otot yang terjadi cukup parah.
Miopati atau myalgia, dan rabdomiolisis adalah gangguan otot yang paling
umum dirasakan oleh pasien yang menggunakan obat golongan statin
(Abdulrazzaq 2012).

Golongan selanjutnya yang termasuk dalam kategori PIM adalah


golongan sulfonilurea dengan diabetes tipe 2 sebanyak 2 kejadian dengan
presentase 22,2% pasien yang mendapatkan terapi ini terdapat pada lampiran
2 halaman (..), obat yang paling sering digunakan dalam golongan ini adalah
glibenklamid dan klorpropramid. Penggunaan sulfonilurea berdasarkan
kriteria STOPP merupakan potensi ketidaksesuaian pada pasien geriatri.
Seiring dengan pertambahan usia, lansia mengalami kemunduran fisik dan
mental yang menimbulkan banyak konsekuensi. Selain itu, kaum lansia juga
mengalami masalah khusus yang memerlukan perhatian antara lain lebih
rentan terhadap komplikasi makrovaskular maupun mikrovaskular dari
diabtes melitus dan adanya sindrom geriatri (Kurniawan 2010). Komplikasi
makrovaskular yang umum berkembang pada penderita diabetes melitus
adalah trombosit otak (pembekuan darah pada sebagian otak), penyakit
jantung koroner (PJK), gagal jantung kongesif dan stroke, sedangkan untuk
komplikasi mikrovaskular adalah hiperglikemia yang persisten dan
pembentukan protein terglikasi yang menyebabkan dinding pembuluh darah
semakin lemah dan terjadinya penyumbatan pada pembuluh darah kecil
seperti retinopati (kebutaan) dan neuropati (Smeltzer dan Bare 2010).

Pada pasien diabetes melitus tipe 2 dengan terapi penggunaan


glibenklamid menurut panduan STOPP akan berpotensi menimbulkan efek
samping hipoglikemik, penjelasan tersebut diperkuat oleh Putra (2017)
menerangkan penggunaan glibenklamid pada pasien diabetes melitus tipe 2
akan menimbulkan efek samping hipoglikemia. Hipoglikemia adalah
komplikasi akut diabetes melitus yang seringkali terjadi secara berulang
(Sutrawardana 2016), yang ditandai dengan gula darah kurang dari 70 mg/dl
(Kemenkes RI 2011). Penyandang diabetes melitus akan menghadapi situasi
dilematik dimana mereka diharuskan memperoleh terapi obat penurun gula
darah untuk mengontrol kadar gula darah tetap normal, namun juga
menghadapi kekhawatiran akan efek samping terapi yang dapat menyebabkan
komplikasi hipoglikemia (Sutrawardana 2016). Gejala hipoglikemia berupa
rasa lemas, pucat, muncul keringat, dan berdebar. Pada pasien diabetes
melitus tipe 2 dengan terapi penggunaan klorpropamid diketahui dapat
menimbulkan efek samping yang sama seperti penggunaan sulfonilurea
lainnya yaitu hipoglikemia, diketahui penggunaan klorpropamid juga dapat
meningkatkan sekresi hormon antidiuretik dan sangat jarang menyebabkan
hiponatremia dengan nilai normal 135-144 mEq/dL (IONI 2018). Menurut
ERBP (2014), hiponatremia didefinisikan sebagai gangguan keseimbangan
cairan tubuh dan elektrolit yang paling sering ditemukan dalam praktik klinis
dengan kadar natrium plasma <135 mmol/L.

Golongan obat selanjutnya yang termasuk kedalam kategori PIM


adalah golongan NSAID (Non Steroid Anti Inflammatory) yaitu dengan
penggunaan obat aptor. Aptor diberikan pada pasien hipertensi dengan
tekanan darah 160/100mmHg yang dapat menimbulkan resiko eksaserbasi
hipertensi, pada penelitian terdapat 1 kejadian dengan presentase 11,1%
terdapat pada lampiran 2 halaman (..). Eksaserbasi hipertensi adalah keadaan
terjadinya memperburuk gejala, dimana sering terjadinya eksaserbasi semakin
berat pula kerusakan yang akan memperburuk fungsi pembuluh darah (Marta
dkk 2014). Keterangan tersebut didukung oleh Hacker et al (2009) bahwa
pengunaan aptor dapat menyebabkan timbulnya eksaserbasi suatu penyakit.

Potensi penggunaan obat yang tidak sesuai selanjutnya adalah


golongan NSAID yang digunakan pada pasien dengan gagal jantung
sebanyak 1 kejadian dengan presentase 11,1%, pasien yang mendapatkan
terapi ini terdapat pada lampiran 2 halaman(..). Berdasarkan kriteria STOPP
penggunaan aspilet termasuk kedalam golongan NSAID (Non Steroid Anti
Inflammatory Drug), dimana pada penggunaan aspilet dengan gangguan
kardiovaskular akan mengeksaserbasi (memperburuk) kondisi jantung.
Penggunaan NSAID harus dihindari dan dihentikan pemakaiannya pada
pasien dengan gagal jantung, karena dapat memperparah dan
mengeksaserbasi gagal jantung, hal ini dibuktikan dengan adanya
peningkatan resiko frekuensi 10 kali lipat pada pasien gagal jantung yang
mendapatkan resep NSAID. Pasien yang memiliki penyakit kardiovaskular
akan rentan terhadap efek samping NSAID. Efek samping NSAID yang
paling umum diketahui adalah ulkus peptikum. Terdapat dua golongan
NSAID yaitu nonselektif dan selektif, golongan NSAID yang selektif mampu
menghambat enzim siklooksigenase dan diyakini lebih aman untuk lambung.
Enzim siklookigenase diketahui bekerja pada jalur konversi asam arakhidonat
menjadi prostaglandin dan tromboksan, sehingga ketika enzim ini dihambat
maka asam arakhidonat tidak dapat dikonversi menjadi prostaglandin dan
tromboksan.berkurangnya kadar prostaglandin pada penggunaan NSAID
dapat mengganggu homeostatis sistem kardiovaskular yang akan
menyebabkan terjadinya thrombosis, aterogenesi, eksaserbasi gagal janutng
dan hipertensi. Berbagai penelitian menunjukkan adanya peningkatan resiko
penyakit kardiovaskular pada penggunaan NSAID, sehingga penggunaan
NSAID saat ini menjadi perhatian terutama bagi pasien yang sejak awal
sudah memiliki penyakit kardiovaskular (Zahra dan Coatolia 2017).

Potensi penggunaan obat selanjutnya yang tidak sesuai menurut


kriteria STOPP adalah golongan CCB (Calcium Channel Blocker) jika timbul
pembengkakan pada pergelangan kaki dengan penggunaan obat amlodipin
didapat sebanyak 1 kejadian dengan presentase 11,1%, pasien yang mendapat
terapi ini terdapat pada lampiran 2 halaman (..). Menurut Gormer (2007) efek
samping dari penggunaan obat golongan CCB adalah kemerahan pada wajah,
pusing dan pembengkakan pada pergelangan kaki sering dijumpai, karena
efek vasodilatasi CCB dengan pemberian obat dihidropiridin (amlodipin).

Obat selanjutnya yang termasuk kedalam kriteria STOPP pada pasien


usia lanjut adalah golongan beta blocker dengan diabetes mellitus yang
mengakibatkan hipoglikemik berkelanjutan didapat sebanyak 1 kejadian
dengan presentase 11,1% dapat dilihat pada lampiran 2 halaman(..).
Penggunaan obat bisoprolol dengan gliquidone yang termasuk kedalam
golongan sulfonilurea dapat menimbulkan efek hipoglikemia berkelanjutan,
hal ini juga didukung oleh jurnal Nurlelah (2015) yang menyebutkan bahwa
penggunaan bisoprolol dengan obat golongan sulfonilurea (gliquidone,
glimepirid, glikazida) dapat meningkatkan resiko terjadinya hipoglikemia.
Beta-blocker yang kardioselektif mungkin lebih baik, tetapi semua beta-
blocker sebaiknya dihindarkan pada pasien dengan episode hipoglikemia
yang sering. Untuk pemberian beta-blocker sebaiknya dihindarkan pada
pasien dengan diabetes mellitus (IONI 2018).

Tabel 7. Identifikasi jenis kejadian ketepatan obat berdasarkan


kriteria START

N Obat Deskripsi N %
o
1 Antihipertensi Tekanan darah sistolik 14 77,8
konsisten 160mmHg
2 Beta Blocker (Oral) Dengan angina kronik 3 16,6
stabil
3 Statin Diabetes mellitus >1 1 5,6
obat faktor hadir resiko
cardiovaskular
Total 18 100
Pada tabel 7 kesesuaian obat berdasarkan kriteria START kejadian
paling banyak terdapat pada obat golongan hipertensi dengan tekanan darah
sistolik stabil 160mmHg sebanyak 14 kejadian dengan presentase (77,8%),
pasien yang mendapatkan terapi ini dapat dilihat pada lampiran 2 halaman
(..). Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik >140mmHg atau
tekanan diastolik >90mmHg (widyasari dkk 2010). Tujuan utama dari terapi
obat antihipertensi adalah menurunkan atau mencegah kejadian penyakit
kardiovaskular, seperti infark miokard, stroke yang berujung kematian
(Nurmainah dkk 2013). Macam-macam golongan obat antihipertensi
diantaranya adalah CCB (Calcium Channle Blocker), Diuretik, ACE-
Inhibitor, Beta-Blocker dan Angiotensin II (Priyanto 2009). Dimana obat
yang paling sering digunakan pada kasus diatas adalah golongan Angiotensin
II dan CCB. Golongan obat CCB adalah salah satu obat yang bisa mengontrol
tekanan darah tinggi (utami dkk 2013). Para pakar ESC (European Society of
Cardiology) merekomendasikan penggunaan CCB untuk mnegurangi denyut
janutng. CCB mempunyai efek relaksasi miokardium, dapat menurunkan
tekanan darah dan denyut jantung (Rampengan 2013).

Potensi kesesuaian obat yang ke-2 terdapat pada golongan beta


blocker dengan angina kronik stabil sebanyak 3 kejadian dengan presentase
(16,6%). Beta blocker merupakan salah satu obat yang digunakan untuk
mengobati hipertensi, nyeri dada (angina), dan detak jantung yang tidak
beraturan, dan membantu mencegah serangan jantung berikutnya. Beta
blocker bekerja dengan memblok efek adrenalin pada berbagai bagian tubuh.
Bekerja pada jantung untuk meringankan stress sehingga jantung memerlukan
lebih sedikit darah dan oksigen, meringankan kerja jantung sehingga
menurunkan tekanan darah (Depkes 2006). Menurut Gormer (2007) Beta
blocker tidak boleh dihentikan mendadak melainkan harus secara bertahap,
terutama pada pasien dengan angina.

Potensi kesesuaian obat selanjutnya berdasarkan kriteria START


didapat pada golongan statin sebanyak 1 kejadian dengan presentase (5,6%).
Penggunaan statin pada pasien diabetes mellitus dapat mengurangi serangan
penyakit kardiovaskular dan angka kematian pada orang dewasa berapapun
kadar kolesterol awal. Pada pasien diabetes mellitus resiko meningkatnya
penyakit kardiovaskular tergantung pada lamanya dan disertai komplikasi
diabetes, usia dan faktor resiko yang menyertai. Statin juga digunakan untuk
pencegahan serangan penyakit kardiovaskular pada individu dengan
peningkatan resiko tanpa gejala. Individu dengan resiko penyakit
kardiovaskular pada 10 tahun mendatang sebesar 20% atau lebih akan
mendapat manfaat dari pengobatan statin berapapun kadar kolesterolnya,
penggunaan statin harus dikombinasikan dengan perubahan gaya hidup untuk
mengurangi resiko kardiovaskular (IONI 2018).

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan
Deteksi ketidaktepatan penggunaan obat pada pasien usian lanjut
(geriatri) pada rawat jalan RSUP Persahabatan periode Januari – Februari
2016 berdasarkan literatur kritaeria STOPP START Tool to Support
Medication Review 2015. Dari 80 pasien pasien usia lanjut dengan 305 obat
yang digunakan didapatkan kejadian ketidaktepatan obat yang termasuk ke
dalam kategori STOPP sebanyak 9 obat dengan presentase (3%) dengan
kasus terbanyak terbanyak adalah pada pasien yang menampilkan gejala
kelemahan otot dan nyeri sebanyak 3 kejadian dengan persentase (33,4%).

A. Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menegtahui faktor pemicu
terjadinya ketidaktepatan obat untuk mengoptimalkan pengobatan pada
pasien geraitri, serta perlu dilakukan penelitian secara prospektif pada pasien
rawat inap di Rumah Sakit yang memiliki poli geriatri.

Anda mungkin juga menyukai