Sub CP MK:
1. Mengetahui pengertian kurikulum.
2. Mengetahui prinsip dan filosofis perkembangan kurikulum IPS.
3. Mengetahui landasan perkembangan kurikulum.
4. Mengetahui perkembangan kurikulum di Indonesia.
Uraian Materi
Istilah “Kurikulum” memiliki berbagai tafsiran yang dirumuskan oleh
pakar-pakar dalam bidang pengembangan kurikulum sejak dulu sampai dengan
dewasa ini. Tafsiran-tasiran tersebut berbeda-beda satu dengan yang lainnya,
sesuai dengan titik berat inti dan pandangan dari pakar bersangkutan. Salah satu
pakar bernama Johnson berpendapat kurikulum adalah a structured series of
intended learning outcomes (Johnson,1967,hlm.130), Dikutip dari buku
(Pengembangan Kurikulum, hlm.5). Istilah kurikulum berasal dari bahasa latin,
yakni “Curriculae”, artinya jarak yang harus ditempuh oleh seorang pelari
(Kurikulum dan Pembelajaran, hlm.16). Pada waktu itu, pengertian kurikulum
ialah jangka waktu pendidikan yang harus ditempuh oleh siswa yang bertujuan
untuk memperoleh ijazah. Dengan kata lain, suatu kurikulum dianggap sebagai
jembatan yang sangat penting untuk mencapai titik akhir dari suatu perjalanan dan
ditandai oleh perolehan suatu ijazah tertentu.
Dalam suatu kurikulum terdapat beberapa komponen-komponen yang
saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya yakni : (1) Tujuan, (2) Materi,
(3) Metode, (4) Organisasi, dan (5) Evaluasi. Komponen-komponen tersebut, baik
secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama menjadi dasar utama dalam
upaya mengembangkan sistem pembelajaran. Tujuan kurikulum tiap satuan
pendidikan harus mengacu ke arah pencapaian tujuan pendidikan nasional,
sebagaimana telah ditetapkan dalam Undang-Undang No.2 Tahun 1989 tentaang
Sistem Pendidikan Nasional. Kurikulum menyediakan kesempatan yang luas bagi
peserta didik untuk mengalami proses pendidikan dan pembelajaran untuk
mencapai target tujuan pendidikan nasional khususnya dan sumber daya manusia
yang berkualitas umumnya. Tujuan ini dikategorikan sebagai tujuan umum
kurikulum. IPS merupakan suatu program pendidikan dan bukan sub-disiplin ilmu
tersendiri, sehingga tidak akan ditemukan baik dalam nomenklatur filsafat ilmu,
disiplin ilmu-ilmu sosial (social science), maupun ilmu pendidikan (Sumantri.
2001:89). Social Science Education Council (SSEC) dan National Council for
Social Studies (NCSS), menyebut IPS sebagai “Social Science Education” dan
“Social Studies”. (Pengembangan Pendidikan IPS SD, hlm. 1-3).
B. Psikologis
Sukmadinata (2006: 46) mengemukakan bahwa minimal terdapat
dua bidang psikologi yang mendasari pengembangan kurikulum yaitu (1)
psikologi perkembangan dan (2) psikologi belajar. Psikologi perkembangan
merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu berkenaan
dengan perkembangannya. Dalam psikologi perkembangan dikaji tentang
hakekat perkembangan, pentahapan perkembangan, aspek-aspek
perkembangan, tugas-tugas perkembangan individu, serta hal-hal lainnya
yang berhubungan perkembangan individu, yang semuanya dapat dijadikan
sebagai bahan pertimbangan dan mendasari pengembangan kurikulum.
Psikologi belajar merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku
individu dalam konteks belajar. Psikologi belajar mengkaji tentang hakekat
belajar dan teori-teori belajar, serta berbagai aspek perilaku individu lainnya
dalam belajar, yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan.
Selanjutnya, dikemukakan pula tentang 5 tipe kompetensi, yaitu :
1. Motif; sesuatu yang dimiliki seseorang untuk berfikir secara konsisten
atau keinginan untuk melakukan suatu aksi.
2. Bawaan; yaitu karakteristik fisik yang merespons secara konsisten
berbagai situasi atau informasi.
3. Konsep diri; yaitu tingkah laku, nilai atau image seseorang.
4. Pengetahuan; yaitu informasi khusus yang dimiliki seseorang.
5. Keterampilan; yaitu kemampuan melakukan tugas secara fisik maupun
mental.
Kelima kompetensi tersebut mempunyai implikasi praktis terhadap
perencanaan sumber daya manusia atau pendidikan. Keterampilan dan
pengetahuan cenderung lebih tampak pada permukaan ciri-ciri seseorang,
sedangkan konsep diri, bawaan dan motif lebih tersembunyi dan lebih
mendalam serta merupakan pusat kepribadian seseorang. Kompetensi
permukaan (pengetahuan dan keterampilan) lebih mudah dikembangkan.
Pelatihan merupakan hal tepat untuk menjamin kemampuan ini. Sebaliknya,
kompetensi bawaan dan motif jauh lebih sulit untuk dikenali dan
dikembangkan.
Dalam konteks Kurikulum Berbasis Kompetensi, E. Mulyasa (dalam
Sudrajat: 2008) menyoroti tentang aspek perbedaan dan karakteristik peserta
didik, Dikemukakannya, bahwa sedikitnya terdapat lima perbedaan dan
karakteristik peserta didik yang perlu diperhatikan dalam Kurikulum
Berbasis Kompetensi, yaitu : (1) perbedaan tingkat kecerdasan; (2)
perbedaan kreativitas; (3) perbedaan cacat fisik; (4) kebutuhan peserta didik;
dan (5) pertumbuhan dan perkembangan kognitif.
C. Sosial-Budaya
Kurikulum dapat dipandang sebagai suatu rancangan pendidikan.
Sebagai suatu rancangan, kurikulum menentukan pelaksanaan dan hasil
pendidikan. Kita maklumi bahwa pendidikan merupakan usaha
mempersiapkan peserta didik untuk terjun ke lingkungan masyarakat.
Pendidikan bukan hanya untuk pendidikan semata, namun memberikan
bekal pengetahuan, keterampilan serta nilai-nilai untuk hidup, bekerja dan
mencapai perkembangan lebih lanjut di masyarakat. Peserta didik berasal
dari masyarakat, mendapatkan pendidikan baik formal maupun informal
dalam lingkungan masyarakat dan diarahkan bagi kehidupan masyarakat
pula. Kehidupan masyarakat, dengan segala karakteristik dan kekayaan
budayanya menjadi landasan dan sekaligus acuan bagi pendidikan.
Dengan pendidikan, kita tidak mengharapkan muncul manusia –
manusia yang menjadi terasing dari lingkungan masyarakatnya, tetapi justru
melalui pendidikan diharapkan dapat lebih mengerti dan mampu
membangun kehidupan masyakatnya. Oleh karena itu, tujuan, isi, maupun
proses pendidikan harus disesuaikan dengan kebutuhan, kondisi,
karakteristik, kekayaan dan perkembangan yang ada di masyakarakat. Setiap
lingkungan masyarakat masing-masing memiliki sistem-sosial budaya
tersendiri yang mengatur pola kehidupan dan pola hubungan antar anggota
masyarakat. Salah satu aspek penting dalam sistem sosial budaya adalah
tatanan nilai-nilai yang mengatur cara berkehidupan dan berperilaku para
warga masyarakat. Nilai-nilai tersebut dapat bersumber dari agama, budaya,
politik atau segi-segi kehidupan lainnya.
Sejalan dengan perkembangan masyarakat maka nilai-nilai yang ada
dalam masyarakat juga turut berkembang sehingga menuntut setiap warga
masyarakat untuk melakukan perubahan dan penyesuaian terhadap tuntutan
perkembangan yang terjadi di sekitar masyarakat. Israel Scheffer (dalam
Sukmadinata, 2006: 60) mengemukakan bahwa melalui pendidikan manusia
mengenal peradaban masa lalu, turut serta dalam peradaban sekarang dan
membuat peradaban masa yang akan datang. Dengan demikian, kurikulum
yang dikembangkan sudah seharusnya mempertimbangkan, merespons dan
berlandaskan pada perkembangan sosial – budaya dalam suatu masyarakat,
baik dalam konteks lokal, nasional maupun global.
D. Politik
Wiles Bondi (dalam Sudrajat, 2008) dalam bukunya `Curriculum
Development: A Guide to Practice’ turut menjelaskan pengaruh politik
dalam pembentukan dan pengembangan kurikulum. Hal ini jelas
menunjukkkan bahwa pengembangan kurikulum dipengaruhi oleh proses
politik, karena setiap kali tampuk pimpinan sesebuah negara itu bertukar,
maka setiap kali itulah kurikulum pendidikan berubah.