Anda di halaman 1dari 43

SKENARIO 2

Lemah Anggota Gerak Kanan

Seorang laki-laki usia 59 tahun datang ke UGD rumah sakit dengan keluhan
utama lemah anggota gerak kanan, sejak ± 12 jam sebelum masuk rumah sakit.
Pasien tidak mengalami muntah proyektil. Pada pemeriksaan fisik didapatkan
kesadaran : compos mentis, TD kanan dan kiri 140/90, N=HR : 92 x/menit, pulsasi
kuat, isi cukup, irama regular, RR : 20x/menit, S : 37oC. Riwayat Diabetes Melitus
sejak 10 tahun yang lalu, rutin meminum obat metformin 3x500mg. Pemeriksaan CT
scan kepala tampak lesi hipodens di kortikal bentuk baji (segitiga) pada hemisfer kiri,
midline shift ditengah.

STEP 1

1. Composmentis : Kesadaran penuh.


2. Lesi hipodens : Bagian gelap pada CT-scan.
3. Diabetes Melitus : Kondisi gula darah naik.
4. Muntah proyektil : TIK meningkat muntah menyemprot.
5. Midline shift : Garis horizontal dari garis yang terlihat dari foto axial.

STEP 2

1. Bagaimana faktor resiko dan etiologi pada kasus tersebut?


2. Bagaimana patofisiologi kasus tersebut?
3. Mengapa lesi terdapat pada otak sebelah kiri sedangkan kelemahan di kanan?
4. Bagaimana penegakan diagnosis pada kasus tersebut?
5. Bagaimana tatalaksana kasus tersebut?
6. Bagaiamana interpretasi hasil CT-scan dalam scenario tersebut?
7. Bagaimana hubungan DM dengan keluhan pasien?

STEP 3

1. Etiologi :
 Kurang suplai darah
 Trauma
 Infeksi

Faktor resiko :

 Dapat dimodifikasi
 Tidak dapat dimodifikasi
2. DM meningkatkan glukosa trombosis menurunkan suplai
darah ke otak
Iskemik
3. Gangguan kapsul interna menyebabkan sumbatan jaras sistem piramidalis
(korteks spinal dan kortikobulbar)

4. Pemeriksaan penunjang :
 CT-scan
 Angiografi cerebral
 MRI
 RT-PA

Anamnesis : gejala penyerta

Pemeriksaan Fisik : Tanda vital

5. Penatalaksanaan :
 Rawat inap
 Aspirin 300 mg/hari
 Penilaian 5B : Brain, blood, bleeding, bowel, breathing.
6. Stroke infark karotis kiri/stroke iskemik.
Karena, ada lesi hipodens pada serebri kiri : karena ada kematian sel.
7. Gula darah meningkat
STEP 4

1. Etiologi
 Suplai darah diotak menurun : hipoksia, jaringan otak, infark, iskemik
(trauma dan infeksi).
 TTIK : masa hematom diotak.

Faktor resiko :

 Dapat dimodifikasi : merokok, alkohol, DM.


 Tidak dapat dimodifikasi: jenis kelamin, keturunan.
 Peningkatan kolesterol didarat

UMN :

 Otak : Hemilesi di korteks motorik primer yang serebri.


 Medspin : hemilesi di kapsula interna berarti gangguan motorik.

Trombosis :

 Gumpalan akibat vasokontriksi(kolesterol menyumbat)


 Trombus pecah : emboli
 Disebabkan karena 1 atau lebih dari trias virchow.
-Abnormalitas PD
-Abnormalitas darah
-Gangguan aliran darah
2. Iskemik menurunkan O2 menyebabkan anaerob sehingga asam laktat lalu
mitokondria rusak menyebabkan apoptosis terjadi gagal pembentukan ATP,
depolarisasi sehingga membran sel rusak.
3. Pusat motorik primer : brodman 4
 T.kortikospinalis menyilang sepanjang medspin
 Sepanjang perjalanan berjalan dikiri lalu menyilang setelah di medspin
kanan ke ekstremitas kanan.
 Adanya ruptur A.intraserebri
 Nama penyilangannya decusatio pyramidalis.
4. Anamnesis : mendadak kesadaran menurun, nyeri kepala definsiasi gizi,
riwayat DM, konsumsi alkohol.
PF : emboli dan trombosit
DD :
 TIA
 RIND
 SIA
 Comlesed Stroke
5. –Antikoagulan :
 Antikoagulan 100 iv/jam
 Prasekam 12mg iv
 Aspirin 300mg/hari
 Dindamol : ditingkatkan bertahap
6. -Lesi hipodens: warna hitam : kematian jaringan : iskemik.
-Hemoragik : warna putih: hiperdens.
7. Sudah jelas
MIND MAP

intrakranial cerebral

vaskularisasi DD

Etiologi

patofisiologi
Lesi vaskuler pada otak

Letak lesi
Faktor resiko

Penegakan diagnosis

Tatalaksana
Anamnesis PF PP

Non farmako Farmako

STEP 5

1. Diagnosis banding dari lesi vaskuler (dari etiologi sampai penatalaksanaan).


2. Penegakan Diagnosis menurut Gajah Mada dan Shiriraj.

STEP 6
Belajar Mandiri
STEP 7
1. Transient ischaemic attack (TIA)
a. Definisi
Transient ischaemic attack (TIA) atau stroke ringan adalah serangan yang
terjadi saat pasokan darah ke otak mengalami gangguan sesaat. Serangan ini
umumnya berlangsung lebih singkat dari stroke, yaitu selama beberapa menit hingga
beberapa jam (< 24 jam), dan penderita akan pulih dalam waktu satu hari.1
b. Etiologi
Transient Ischemic Attack disebabkan oleh faktor penyebab yang sama
dengan stroke. Keadaan ini bisa disebabkan oleh stenosis dari arteri. 1
c. Faktor Resiko
Faktor resiko terjadinya TIA sama dengan faktor resiko penyebab stroke.
Beberapa faktor resiko TIA ada yang dapat dimodifikasi dan ada yang tidak.
1. Faktor yang dapat dimodifikasi yaitu:
- Hipertensi
- Merokok
Merokok dapat meningkatkan kejadian hipertensi, aterosklerosis, dan
peningkatan resiko terkena stroke hingga 2 sampai 4 kali dibandingkan
dengan individu yang tidak merokok.
- Penyakit Jantung dan Aritmia
Keadaan ini juga sering menjadi penyebab stroke, namun beberapa
keadaan tersebut bersifat kongenital. Tipe aritmia yang dinamakan atrial
fibrilasi.
- Konsumsi Alkohol
Mengkonsumsi alkohol dalam jumlah yang banyak dapat meningkatkan
kejadian stroke hingga 2-5 kali.
- Diabetes melitus
Kadar gula darah yang terkontrol dapat menurunkan resiko terjadinya
stroke.
2. Berikut merupakan faktor yang tidak dapat dimodifikasi7:
- Jenis Kelamin
Pria memiliki kecenderungan terkena stroke sebanyak 1,25 kali lebih
besar dibandingkan dengan wanita.
- Usia
Setiap individu di atas 55 tahun memiliki resiko 2 kali lipat untuk terkena
stroke, baik pada pria maupun wanita.
- Genetik
- Ras
Kejadian stroke dan angka mortalitas sangat bervariasi antara ras satu
dengan lainnya. Ras kulit hitam memiliki resiko sebesar 2 kali lipat untuk
terkena stroke dibandingkan dengan ras kulit putih.1
d. Patofisiologi
Keadaan yang disebabkan oleh stenosis dari arteri yang mengganggu aliran
darah, kemudian menyebabkan turbulensi yang dapat membentuk trombus. Klot
tersebut dapat terbentuk pada arteri yang memperdarahi otak, atau dapat terjadi pada
bagian tubuh lainnya yang kemudian terbawa sampai ke otak.
Partikel bebas yang terbawa arus dinamakan embolus, dan klot yang terbawa
bebas dinamakan tromboemboli. Klot lokal dan yang berasal dari bagian tubuh
lainnya merupakan penyebab utama dari stroke dan TIA. Emboli otak yang paling
sering menjadi penyebab stroke berasal dari arteri carotis pada leher7.
a. Pada sumbatan kecil, terjadi daerah iskemia yang dalam waktu singkat
dikompensasi dengan mekanisme kolateral dan vasodilatasi lokal. Secara
klinis gejala yang timbul adalah transient ischemic attack (TIA), yang dapat
berupa hemiparesis sepintas atau amnesia umum sepintas, yang berlangsung
selama ≤24 jam.
b. Bila sumbatan agak besar, daerah iskemia lebih luas. Penurunan CBF regional
lebih besar, tetapi dengan mekanisme kompensasi mampu memulihkan fungsi
neurologik dalam waktu beberapa hari sampai dengan 2 minggu. Mungkin
pada pemeriksaan klinik terdapat sedikit gangguan. Keadaan ini secara klinis
disebut RIND (Reversible Ischemic Neurology Deficit).
c. Sumbatan yang cukup besar menyebabkan daerah iskemia yang luas, sehingga
mekanisme kolateral dan kompensasi tidak dapat mengatasinya. Dalam
keadaan ini akan timbul defisit neurologis yang berlanjut.
e. Tanda dan Gejala Klinis
Gejala TIA sangat bervariasi antara pasien, namun gejala pada individu
tertentu cenderung sama. Beberapa gejala yang dapat ditemukan:
 onsetnya tiba-tiba dan tanpa peringatan, dan pemulihan biasanya terjadi
dengan cepat, sering dalam beberapa menit
 mati rasa mendadak atau kelemahan pada wajah, lengan atau kaki, terutama
pada satu sisi tubuh
 tiba-tiba kesulitan melihat pada satu atau kedua mata
 kebingungan mendadak, kesulitan berbicara atau memahami
 tiba-tiba kesulitan berjalan, pusing, kehilangan keseimbangan atau koordinasi
 tiba-tiba sakit kepala parah dengan tidak diketahui penyebabnya1

Gejala TIA juga dapat tergantung dari daerah otak yang mengalami
kekurangan darah. Secara klinis, TIA dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu:
a. TIA sistem karotis
Jika kelainan terjadi pada subendotelium arteria karotis interna dapat
timbul 2 kemungkinan:
- stenosis yang menimbulkan insufisiensi vaskuler dan
- sumber embolisasi yang menimbulkan oklusi di arteri serebral.
Bila terjadi embolisasi dari ‘plaque atheromatosa’ di dinding arteri
karotis interna, maka setiap arteri serebral dapat menjadi sasaran oklusi.
Tetapi karena pola percabangannya, maka yang paling sering menjadi sasaran
embolisasi tersebut ialah arteri serebri anterior dan yang kedua adalah arteri
serebri posterior.
Buta sesisi yang sementara dan seringkali timbul secara berulang-
ulang (buta ‘fugax’) merupakan manifestasi embolisasi yang bersumber pada
arteri karotis interna. Sindroma oklusi arteri karotis interna yang mudah
dimengerti ialah gambaran penyakit yang timbul akibat oklusi di dinding
arteri karotis interna tepat pada orifisium arteria oftalmika, sebagai cabang
pertama dari arteri karotis interna.
Gejala yang bangkit ialah buta mutlak pada sisi ipsilateral (sisi oklusi)
dengan hemiparesis sisi kontralateral. Tanda yang dapat dijumpai pada
sindroma tersebut ialah tekanan intra-arteriil pada arteri-arteri retinal yang
rendah.
b. TIA sistem vertebrobasiler
Oklusi vertebrobasilar atau cabang-cabangnya dapat menimbulkan
gejala-gejala saraf otak, gangguan serebelar, gerakan involunter dan gerakan
tangkas yang dikenal sebagai sindroma pontin, sindroma mesensefalon atau
sindroma medulla oblongata. Ciri pokoknya ialah adanya sifat alternans.
Gangguan saraf otak timbul pada sisi ipsilateral yang berkombinasi dengan
gangguan ketangkasan gerakan atau kelumpuhan pada anggota gerak sisi
kontralateral. Atau gangguan saraf otak ipsilateral yang berkombinasikan
dengan hemihipestesia sisi kontralateral. Gangguan serebelar yang bangkit
bersifat ipsilateral sedangkan gerakan involunter dijumpai pada sisi
kontralateral. 1
f. Diagnosis
- Anamnesis
- Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan tekanan
darah harus dilakukan.
- Pemeriksaan Penunjang
Beberapa pemeriksaan penunjang juga dibutuhkan untuk mendiagnosis TIA.
- Pemeriksaan Laboratorium : Hemoglobin (Hb), LED, eritrosit, trombosit,
leukosit, hitung jenis, hematokrit (Ht)
- Pemeriksaan Kimia darah : kolesterol, lipid, dan trigliserida
- Pemeriksaan foto kepala dan servikal
- Pemeriksaan neuroimaging dalam 24 jam pertama setelah onset
- MRI
- CT scan
- EKG
- Transesofageal ekokardiografi dapat digunakan untuk untuk melihat
sumber emboli jantung
- Pemeriksaan Non Invasif
Pemeriksaan klinis neovaskuler ditujukan untuk menilai keadaan vaskuler
sistem karotis yang pemeriksaannya bersifat non invasif sebagai berikut:
a. Pemeriksaan Bising Nadi dan Denyut Nadi Leher
Pemeriksaan ini harus dikerjakan pada setiap penderita TIA untuk menilai
keadaan perubahan besar dan perbedaan antara denyut nadi karotis kiri dan kanan,
perbedaan atau perbandingan antara denyut nadi arteri temporalis superfisialis kiri
dan kanan. Setelah itu dengan stetoskop didengar akan kemungkinan adanya bising
nadi (arterial bruits); sungkup stetoskop diletakkan di daerah orbita, di bagian lateral
bifuraksio karotis di leher dan retinoaurikuler.
Tempatkan pasien pada ruangan yang tenang. Kita gunakan diafragma dari
stetoskop karena bagian tersebut mampu mendeteksi frekuensi suara arterial bruits
yang lebih tinggi dibandingkan bell. Minta pasien menarik napas dalam kemudian
menahan napasnya. Auskultasi dimulai pada daerah proyeksi dari cartilage tiroid
kemudian ke arah sudut yang dibentuk oleh dagu. Dengan kata lain, auskultasi
dilakukan diatas garis proyeksi dari arteri karotis, yaitu pada bagian medial muskulus
sternomastoideus.
Terdapatnya bising nadi atau berkurangnya denyut nadi pada salah satu sisi
menunjukan kemungkinan kelainan morfologik pada pembuluh darah, sehingga lebih
lanjut harus ditentukan dengan pemeriksaan penunjang lain. Jadi adanya intracranial
bruits pada seseorang dengan TIA menunjukan adanya kemungkinan besar gangguan
pada pembuluh nadi utama yang ke otak. 1
b. Pemeriksaan Oftalmodinamometri
Pemeriksaan ini mengukur tekanan darah pada pangkal arteri oftalmika, baik
diastolik maupun sistolik dengan cara memberikan tekanan dari luar terhadap arteri
karotis retina / bola mata, yang kemudian tekanan ini dikurangi secara bertahap
kemudian denyutan arteri sentralis retina dideteksi dengan oftalmoskop. Tekanan dari
luar yang diaplikasikan pada bola mata diukur dengan oftalmodinamometer yang
telah diterapkan secara empirik. Secara prinsipil, pengukuran tekanan darah ini
berbeda dengan pengukuran tekanan darah pada arteri brakialis. Aplikasi tekanan
pada bola mata ditera dalam gram dan dikonversikan ke dalam mmHg.
Jika terjadi penurunan tekanan pada salah satu sisi terutama tekanan diastolik
lebih daripada 25% maka perbedaan ini dianggap bermakna atau penurunan tekanan
sistolilk dan diastolik >20%. Hal ini berarti bahwa pada sisi yang tekanannya
menurun telah terjadi penurunan pressure-gradient yang terjadi akibat gangguan
aliran darah atau sumbatan pada bagian proksimal arteri karotis interna atau arteri
oftalmika.
Pada umumnya kelainan tersebut paling sering disebabkan karena proses
aterosklerosis pada bifuraksio karotis, pada pangkal arteri karotis interna atau pada
arteri karotis komunis. Dalam frekuensi yang lebih kecil sumbatan terjadi pada
pembuluh nadi yang lebih proksimal atau pada pangkal areteri karotis komunis.
Pemeriksaan oftalmodinamometri sangat berguna pada penderita TIA yang mengenai
sitem karotis dengan derajat akurasi 70-75%. Pengukuran dilakukan dalam posisi
setengah duduk supaya faktor gravitasi dapat memperjelas ketajaman pengukuran.
Pada keadaan ini, hasil pengukuran oftalmodinamometri, hasil pengukuran
menjadi sulit diintepretasikan, yaitu pada:
- Aritmia Jantung
- Glaukoma berat
- Penderita yang gelisah atau nonkoperatif
- Penderita dengan kelainan dan asimetri pada arteri sentralis retina serta
cabang-cabangnya.
Pengukuran harus dilakukan beberapa kali dan selalu harus diukur tekanan
sistemik sebagai pembanding. 1

c. Pemeriksaan Funduskopi
Pemeriksaan oftalmoskopi merupakan pemeriksaan bedside yang sangat
bermanfaat pada penderita TIA, terutama TIA sistem karotis. Pada kasus-kasus TIA
akibat proses tromboembolik pada sistem karotis seringkali terjadi gangguan visus
homolateral yang menyertai gejala neurologik fokal kontralateral. Gejala
neurooftalmologik ini berupa transient monocular blindness, dimness of vision,
transient homonymus hemianopia, dan altitudinal hemianopic scotoma.
Beberapa pemeriksaan oftalmoskop yang penting adalah:
- Teradapat emboli pada pembuluh darah retina ipsilateral
o Adanya white plaque pada arteri retina sewaktu serangan TIA dengan
stenosis karotis yang jelas. Emboli ini terdiri atas materi fibrin
trombosit. Jenis kedua, emboli regional dengan adanya yellow plaques
yang tidak mengganggu retinal flow secara berarti. Penemuan adanya
plaques ini membantu diagnosis TIA kearah ateroma pembuluh
karotis.
- Retinopati hipertensif asimetrik.
o Pada penderita hipertensi sering ditemukan berbagai perubahan yang
khas berupa arteriosklerosis retina.
- Terdapat atrofi atopik primer yang tidak jelas sebabnya pada satu sisi.
o Keadaan ini dapat disebabkan karena flow yang sangat berkurang pada
sisi karotis yang tersumbat karena ateroma sehingga terjadi iskemia
retina sesisi dan berakibat atrofi optik primer.
- Oklusi arteria karotis retina sesisi atau neuropati optic iskemik (ischemic optic
neuropathy) yang akut.
o Pada keadaan ini perlu dipertimbangkan kemungkinan terjadinya
emboli pada sistem karotis. 1
d. Pemeriksaan Termografi Fasial
Prinsip pemeriksaan ini adalah sebagai berikut: penderita dengan oklusi
karotis atau insufisiensi karotis, maka peredaran darah yang ke wajah ipsilateral juga
akan berkurang termasuk sirkulasi ke kulit, terutama daerah orbita. Keadaan ini
mengakibatkan berkurangnya derajat penguapan panas (heat emission), yang dengan
cepat dapat dideteksi dengan infra red thermogram.
e. Pemeriksaan ultrasonografi karotis (ultrasonic imaging)-duplex songrafi
Dengan alat ini maka gambaran sistem karotis pada daerah leher atau
bifuraksio dapat diproyeksikan pada suatu layar. Demikian pula bila suatu stenosis
atau oklusi dapat dideteksi dengan alat ini.
- Pemeriksaan Invasif
Dari penderita TIA yang dianggap menderita gangguan hemodinamik, maka
87% menunjukan adanya lesi vaskuler yang sesuai dengan gejala klinisnya. Terhadap
penderita ini telah dilakukan tindakan bedah pada pembuluh darah ekstrakranial serta
anastomosis arteri serebri media temporalis. Pemeriksaan angiografi ini tidak dapat
diganti dengan pemeriksaan apapun.
Meskipun arteriografi merupakan pemeriksaan penunjang yang terpenting
dan memiliki banyak keunggulan, namun kelemahannya adalah bahwa sangat sedikit
informasi yang dapat diperoleh mengenai proses hemodinamiknya sendiri. Sebagai
contoh, tidak jarang ditemukan penderita dengan oklusi karotis bilateral yang hampir
total tetapi asimtomatik.
Belakangan ini telah ada pemeriksaan transkranial Doppler (TCD) yang
menilai secara tidak langsung keadaan hemodinamik pembuluh darah otak utama.
Dengan pemeriksaan ini dapat diketahui besarnya aliran darah (flow) masing-masing
pembuluh darah otak. Perubahan aliran darah otak pada aneurisma ini dapat juga
diperkirakan dengan pemeriksaan TCD ini. Pemeriksaan yang non invasif ini selain
dapat dipakai sebagai penilaian hemodinamik pada strok juga dapat digunakan untuk
menilai kelainan struktural pembuluh darah otak pada pre dan post tindakan
ballooning/stenting. 1

g. Tatalaksana
Begitu terdapat suspek terhadap TIA, penatalaksanaan segera yang dilakukan
adalah mengembalikan fungsi optimal perfusi otak dan mencegah terjadinya stroke.
Pertimbangkan beberapa strategi penatalaksanaan berikut: (1) Pertahankan posisi
kepala pada bidang lunak yang datar. Posisi ini telah terbukti dapat meningkatkan
perfusi otak hingga 20%, dibandingkan dengan posisi menekuk ke atas 30 o. (2)
Pertahankan euvolemi dan keseimbangan elektrolit. (3) Optimalisasi perfusi jaringan
dengan mencegah terjadinya hipoksia. Pemberian oksigen telah terbukti memiliki
hubungan dengan peningkatan perbaikan sel-sel saraf. 2

Antihipertensi
Rekomendasi AHA/ASA untuk penatalaksanaan Stroke Iskemik Akut
1. Pasien yang akan mendapatkan terapi trombolitik atau terapi reperfusi
lainnya dengan tekanan sistole 185 mmHg atau tekanan diastole 110
mmHg, harus diturunkan tekanan darahnya terlebih dahulu. Tekanan
sistole >180 mmHg atau diastole >110 mmHg adalah kontraindikasi
untuk terapi trombolitik intravena.
2. Pasien yang memiliki indikasi penatalaksanaan cepat terhadap tekanan
darah harus segera ditangani.
3. Pada pasien tanpa terapi trombolitik atau terapi reperfusi lainnya
tekanan darah harus diturunkan jika meningkat hingga 220 mmHg
untuk tekanan sistole dan 120 mmHg untuk tekanan diastole.
4. Pasien dengan hipotensi, penyebab hipotensi harus dicari. Hipovolemia
dan aritmia jantung harus ditangani dengan cepat, dapat diberikan
vasopresor untuk meningkatkan aliran darah otak.
5. Pengobatan antihipertensi diindikasikan untuk mencegah stroke
berulang dan kejadian vaskuler lainnya. Untuk stroke iskemik pengobat
dilakukan setelah periode akut stroke (dalam 24 jam).
6. Target pasti untuk tekanan darah tidak ada, disesuaikan secara
individual, manfaat penurunan tekanan darah yang tercapai rata-rata
10/5 mmHg
7. Modifikasi pola hidup harus dilakukan dengan pendekatan yang
komprehensif
8. Obat pilihan sebagai terapi antihipertensi masih belum jelas, pilihan
yang sering digunakan adalah diuretik atau diuretic ditambah dengan
ACE inhibitor, dianjurkan menggunakan laporan JNC 7 dalam memilih
antihipertensi untuk stroke iskemik.
Tabel 1: Tatalaksana Stroke Iskemik Akut2

AHA/ASA merekomendasikan terapi untuk menurunkan tekanan darah


dimulai dalam 24 jam setelah terjadinya onset stroke iskemik akut. Terdapat banyak
variabel yang berpengaruh pada tekanan darah dan respon seseorang terhadap
antihipertensi, terutama menyangkut masalah usia. 2
AHA/ASA merekomendasikan hanya pasien dengan tekanan darah > 220/120
mmHg yang diberikan terapi antihipertensi, kecuali ditemukan indikasi pemberian
antihipertensi lainnya (Gagal Jantung Kongestif, Infark miokard, dan Aorta Diseksi).
Alasannya adalah otak yang iskemik dapat kehilangan kemampuannya dalam
autoregulasi dan MAP yang lebih tinggi diperlukan untuk memaksimalkan perfusi ke
jaringan melalui pembuluh darah kolateral.2
Target tekanan darah yang dianjurkan pada fase akut adalah 180/105 mmHg
pada pasien dengan hipertensi dan 160-180/90-100 mmHg pada pasien dengan tensi
normal (harus dinaikan). Dalam 24-48 jam pertama, diperlukan tekanan darah yang
tinggi untuk mengkompensasi aliran darah otak hingga sistem autoregulasi otak
kembali. Fase selanjutnya, dianjurkan untuk menurunkan tekanan darah untuk
mencegah terjadinya edema cerebri, stroke berulang, dan komplikasi kardiovaskuler. .
Target yang direkomendasikan pada fase setelah 48 jam adalah sesuai dengan JNC 7,
yaitu <140/90 mmHg untuk pasien tanpa komplikasi dan <130/80 pada pasien yang
memiliki diabetes melitus atau Penyakit Ginjal Kronis. 2

Antiplatelet
Aspirin adalah regimen yang paling banyak telah dipelajari dan diterima
sebagai obat antiplatelet, dan memiliki alasan yang kuat digunakan sebagai terapi
awal. Obat ini dapat menurunkan resiko rekurensi stroke hingga 15%, pada dosis
yang berkisar antara 50mg hingga 1500mg. Dosis yang lebih rendah (61mg-325 mg
per hari) juga efektif dan memiliki insiden perdarahan gastrointestinal yang lebih
rendah. Dosis aspirin yang berkisar antara 25 mg 2 kali sehari hingga 325 mg 4 kali
sehari telah menunjukan manfaat dalam pencegahan stroke pasca TIA. 2

Antiplatelet lain dan kombinasinya


Ticlodipin adalah antagonis reseptor adenosin difosfat pada platelet yang
menunjukan hasil yang sama dibandingkan dengan aspirin dalam mencegah
terjadinya kejadian vaskuler pasca stroke. Obat ini memiliki resiko terjadinya
discariasis hematologi, sehingga penggunaannya sangat jarang.
Clopidogrel secara kimiawi memiliki struktur yang mirip dengan ticlodipin
dan bekerja dengan menghambat agregasi platelet. Clopidogrel memiliki efek
samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan penggunaan Ticlodipin. Batas
keamaanan penggunaanya dianggap setara dengan aspirin, meskipun kejadian
timbulnya diare dan ruam kulit lebih tinggi pada penggunaan clopidogrel.
Clopidogrel dapat digunakan pada pasien dengan intoleransi aspirin.
Kombinasi clopidogrel dan aspirin tidak memberikan manfaat tambahan dan
sering dihubungkan dengan peningkatan resiko perdarahan dibandingkan
penggunaannya secara tunggal. 2

Antikoagulan
Pasien dengan atrial fibrilasi atau sumber cardioemboli lainnya pada pasien
TIA atau stroke iskemik akut, direkomnedasikan penggunaan antikoagulasi dengan
antagonis vitamin K. Pada pasien dengan fibrilasi atrial, warfarin menunjukan
efektifitas yang maksimal dengan aspirin atau dengan aspirin ditambah clopidogrel
untuk mencegah terjadinya serangan stroke sekunder. Sebaliknya pada pasien yang
tidak memiliki cardioemboli, warfarin tidak menunjukan manfaat dan meningkatkan
resiko terjadinya perdarahan.
Generasi antikoagulan oral baru yang tidak memerlukan pengawasan pada
penggunaannya telah banyak digunakan untuk menggantikan warfarin pada pasien
ini. Dabigatran, penghambat trombin, memiliki efek yang sangat baik dalam
mencegah stroke dibandingkan dengan warfarin dengan dosis 150 mg dua kali sehari.
Obat ini memiliki resiko yang rendah terhadap kejadian perdarahan. Penghambat
faktor Xa termasuk diantaranya Rivaroxaban dan Apixaban juga menunjukan
manfaaat untuk menurunkan resiko terjadinya stroke pada pasien dengan fibrilasi
atrial. Apixaban menunjukan hasil yang lebih baik dan memiliki resiko perdarahan
yang lebih kecil. 2
Pada TIA juga terdapat langkah pengobatan awal dan pengobatan lanjutan,
yaitu :
a. Pengobatan awal pada pasien TIA
- Aspirin 300 mg, kemudian dilanjutkan 75 mg (berikan PPI jika pasien
mengalami dispepsia)
- Gunakan clopidogrel hanya apabila pasien memiliki intoleransi aspirin
dan dispepsia berat
- Nasehati pasien untuk tidak mengemudi selama 1 bulan
- Pertimbangkan pemeriksaan ulang apabila TIA terjadi lebih dari sekali
dalam 7 hari, fluktuasi gejala, dan sakit kepala yang signifikan.
b. Pengobatan lanjutan
- Simvastatin 20mg – 40mg jika kadar kolesterol total > 3,5
- Penurunan tekanan darah dengan diuretik thiazid dan penghambat ACE
jika tekanan darah meningkat terutama pada pasien usia muda, dengan
diabetes, atau gagal ginjal.
- Dipyridamole MR 200mg 2 kali sehari (stop setelah 2 tahun).
Tabel 2: Tatalaksana Transient ischaemic attack (TIA)2

Terapi Pembedahan
a. Endarterektomi Carotis
Aterosklerosis pada arteri karotis interna pada bifuraksio karotis adalah
penyebab yang umum pada TIA dan stroke. Penelitian telah membuktikan,
endarterektomi carotis menunjukan manfaat pada pasien TIA dengan stenosis carotis
derajat berat. Endarterektomi tidak memiliki manfaat pada pasien dengan stenosis
derajat sedang. Manfaat pembedahan didapatkan terutama pada pasien dengan stroke
dibandingkan dengan TIA, dan pada pasien dengan hemiparese secara klinis . 2
b. Angioplasti dan Pemasangan Stent
Transluminal angioplasty dengan pemasangan stent sebagai terapi pada
stenosis carotis sedang dievaluasi sebagai alternatif dari penggunaan endaterektomi
karotis. Beberapa penelitian menyatakan tindakan ini memiliki komplikasi yang
rendah dan digunakan untuk pasien dengan resiko tinggi pembedahan karena
penyakit jantung atau faktor komorbid lainnya. 2
c. Ekstrakranial-Intrakranial Bypass
Ekstrakranial-Intrakranial Bypass adalah suatu prosedur yang didesain untuk
meningkatkan aliran darah otak melalui pipa penyalur dari sirkulasi karotis eksterna
ke sirkulasi karotis interna. 2
d. Pembedahan pada Kelainan Vertebrobasiler
TIA yang mengacu pada sirkulasi posterior biasanya disebabkan oleh kelainan
pada sistem vertebrobasiler. Bagian dari arteri vertebrae yang paling sering
mengalami kejadian ateroma adalah pangkal dari arteri vertebrae dan sebelah bawah
dari perbatasan cabang ekstrakranial ke intrakranial. Pada pasien dengan lesi di
bagian tengah dari vertebra dengan gejala iskemik akibat stenosis dan obstruktif,
terapi rekonstruksi bedah dan dekompresi dapat bermanfaat dalam mengurangi gejala

Modifikasi Faktor Resiko


Modifikasi faktor resiko merupakan salah satu terapi bagi TIA. Namun
pelaksanaannya masih belum diuji menggunakan uji klinis randomisasi.
1. Setelah mendapatkan penyebab TIA, hipertensi sebaiknya diobati, dan
pertahankan tekanan darah < 140/90 mmHg. Pada pasien dengan diabetes,
tekanan darah yang dianjurkan adalah < 130/85 mmHg.
2. Berhenti merokok. Konseling, terapi pengganti nikotin, bupropion, dan
program penghentian merokok dapat dipertimbangkan.
3. Penyakit jantung koroner, aritmia jantung, gagal jantung, dan penyakit
katup jantung harus diobati.
4. Konsumsi alkohol berlebih harus dihentikan.
5. Pengobatan terhadap hiperlipidemia sangat disarankan. Diet yang
disarankan adalah diet AHA dengan ≤ 30% kalori diperoleh dari lemak, <
7% dari lemak jenuh, dan konsumsi kolesterol < 200 mg/hari.
6. Kadar gula darah puasa yang disarankan adalah <126 mg/dl. Jika memiliki
diabetes, diet dan obat oral serta insulin sangat diperlukan.
7. Aktivitas fisik (30-60 menit dalam > 3 atau 4 kali seminggu
8. Penghentian obat pengganti estrogen pascamenopause tidak disarankan.2

Stroke Non Hemoragik/Iskemik

a. Definisi

Stroke iskemik ialah stroke yang disebabkan oleh sumbatan pada pembuluh darah
servikokranial atau hipoperfusi jaringan otak oleh berbagai faktor seperti
aterotrombosis, emboli, atau ketidakstabilan hemodinamik yang menimbulkan gejala
serebral fokal, terjadi mendadak, dan tidak menghilang dalam waktu 24 jam atau
lebih.5

b. Etiologi

Pada level makroskopik, stroke iskemik paling sering disebabkan oleh emboli
dari ekstrakranial atau trombosis di intrakranial, tetapi dapat juga 12 disebabkan oleh
berkurangnya aliran darah otak. Pada level seluler, setiap proses yang mengganggu
aliran darah ke otak dapat mencetuskan suatu kaskade iskemik, yang akan
mengakibatkan kematian sel-sel otak dan infark otak. 5

- Emboli

Sumber emboli dapat terletak di arteri karotis maupun vertebralis akan tetapi
dapat juga di jantung dan sistem vaskular sistemik. 1) Embolus yang dilepaskan oleh
arteri karotis atau vertebralis, dapat berasal dari “plaque atherosclerotique” yang
berulserasi atau thrombus yang melekat pada intima arteri akibat trauma tumpul pada
daerah leher. 2) Embolisasi kardiogenik dapat terjadi pada: Penyakit jantung dengan
“shunt” yang menghubungkan bagian kanan dengan bagian kiri atrium atau ventrikel.
3) Embolisasi akibat gangguan sistemik dapat terjadi sebagai emboli septik, misalnya
dari abses paru atau bronkiektasis, dapat juga akibat metaplasia neoplasma yang
sudah ada di paru. 5

- Trombosis

Stroke trombotik dapat dibagi menjadi stroke pada pembuluh darah besar
(termasuk sistem arteri karotis dan percabanganya) dan pembuluh darah kecil.
Tempat terjadinya trombosis yang paling sering adalah titik percabangan arteri
serebral utamanya pada daerah distribusi dari arteri karotis interna. Adanya stenosis
arteri dapat menyebabkan terjadinya turbulensi aliran darah. Energi yang diperlukan
untuk menjalankan kegiatan neuronal berasal dari metabolisme glukosa. Bila tidak
ada aliran darah lebih dari 30 detik gambaran EEG akan mendatar, bila lebih dari 2
menit aktifitas jaringan otak berhenti, bila lebih dari 5 menit maka kerusakan jaringan
otak dimulai, dan bila lebih dari 9 menit manusia dapat meninggal. 5

c. Patofisiologi

Stroke iskemik terjadi apabila terjadi oklusi atau penyempitan aliran darah ke
otak dimana otak membutuhkan oksigen dan glukosa sebagai suber energi agar
fungsinya tetap baik. Aliran drah otak atau Cerebral Blood Flow (CBF) dijaga pada
kecepatan konstan antara 50-150 mmHg. Aliran darah ke otak dipengaruhi oleh :

- Keadaan pembuluh darah Bila menyempit akibat stenosis atau ateroma atau
tersumbat oleh trombus atau embolus maka aliran darah ke otak terganggu.
- Keadaan darah 14 Viskositas darah meningkat, polisitemia menyebabkan
aliran darah ke otak lebih lambat, anemia yang berat dapat menyebabkan
oksigenasi otak menurun.
- Tekanan darah sistemik Autoregulasi serebral merupakan kemampuan
intrinsik otak untuk mempertahankan aliran darah ke otak tetap konstan
walaupun ada perubahan tekanan perfusi otak.
- Kelainan jantung Kelainan jantung berupa atrial fibrilasi, blok jantung
menyebabkan menurunnya curah jantung. Selain itu lepasnya embolus juga
menimbulkan iskemia di otak akibat okulsi lumen pembuluh darah. Jika CBF
tersumbat secara parsial, maka daerah yang bersangkutan langsung menderita
karena kekurangan oksigen. Daerah tersebut dinamakan daerah iskemik.
Infark otak, kematian neuron, glia, dan vaskular disebabkan oleh tidak adanya
oksigen dan nutrien atau terganggunya metabolisme. 5
Gambar 1.1 Patofisiologi Stroke non hemorragik5

d. Gambaran klinis

Stroke iskemik merupakan penyakit yang progresif dengan berbagai macam


tampilan klinis, dari yang ringan hingga berat. Gambaran klinis stroke iskemik dapat
berupa kelemahan anggota tubuh (jarang pada kedua sisi). Hiperrefleksia anggota
tubuh, kelemahan otot-otot wajah, dysarthria, 15 dysfagia, peningkatan reflex
muntah, diplopia, nystagmus, kelemahan otot mata, dan penurunan kesadaran. Tanda
dan gejala yang timbul dapat berbagai macam tergantung dari berat ringanya lesi dan
juga topisnya. Namun ada beberapa tanda dan gejala yang umum dijumpai pada
penderita stroke non hemoragik yaitu :

1. Gangguan Motorik :

- Tonus abnormal atau hipotonus maupun hipertonus


- Penurunan kekuatan otot
- Gangguan gerak volunter
- Gangguan keseimbangan
- Gangguan koordinasi
- Gangguan ketahanan

2. Gangguan Sensorik :

- Gangguan propioseptik

- Gangguan kinestetik
- Gangguan diskriminatif

3. Gangguan Kognitif, Memori dan Atensi

Pada gangguan kognitif akan muncul berbagai gangguan yaitu atensi, memori,
inisiatif, daya perencanaan dan cara menyelesaikan suatu masalah.

4. Gangguan Kemampuan Fungsional

Gangguan yang timbul yaitu berupa gangguan dalam beraktifitas sehari-hari


seperti mandi, makan, ketoilet dan berpakaian.5

e. Tatalaksana
Penatalaksanaan:

- Stadium Hiperakut

Tindakan pada stadium ini dilakukan di Instalasi Rawat Darurat dan


merupakan tindakan resusitasi serebro-kardio-pulmonal bertujuan agar kerusakan
jaringan otak tidak meluas. Pada stadium ini, pasien diberi oksigen 2 L/menit dan
cairan kristaloid/koloid; hindari pemberian cairan dekstrosa atau salin dalam
H2O. Dilakukan pemeriksaan CT scan otak, elektrokardiografi, foto toraks, darah
perifer lengkap dan jumlah trombosit, protrombin time/INR, APTT, glukosa
darah, kimia darah (termasuk elektrolit); jika hipoksia, dilakukan analisis gas
darah. Tindakan lain di Instalasi Rawat Darurat adalah memberikan dukungan
mental kepada pasien serta memberikan penjelasan pada keluarganya agar tetap
tenang. 5

- Stadium akut
Pada stadium ini, dilakukan penanganan faktorfaktor etiologik maupun
penyulit. Juga dilakukan tindakan terapi fisik, okupasi, wicara dan psikologis
serta telaah sosial untuk membantu pemulihan pasien. Penjelasan dan edukasi
kepada keluarga pasien perlu, menyangkut dampak stroke terhadap pasien dan
keluarga serta tata cara perawatan pasien yang dapat dilakukan keluarga. 5
Stroke Iskemik Terapi umum :

Letakkan kepala pasien pada posisi 300, kepala dan dada pada satu
bidang; ubah posisi tidur setiap 2 jam; mobilisasi dimulai bertahap bila
hemodinamik sudah stabil. Selanjutnya, bebaskan jalan napas, beri oksigen 1-
2 liter/menit sampai didapatkan hasil analisis gas darah. Jika perlu, dilakukan
intubasi. Demam diatasi dengan kompres dan antipiretik, kemudian dicari
penyebabnya; jika kandung kemih penuh, dikosongkan (sebaiknya dengan
kateter intermiten). Pemberian nutrisi dengan cairan isotonik, kristaloid atau
koloid 1500-2000 mL dan elektrolit sesuai kebutuhan, hindari cairan
mengandung glukosa atau salin isotonik. Pemberian nutrisi per oral hanya jika
fungsi menelannya baik; jika didapatkan gangguan menelan atau kesadaran
menurun, dianjurkan melalui slang nasogastrik. Kadar gula darah >150 mg%
harus dikoreksi sampai batas gula darah sewaktu 150 mg% dengan insulin
drip intravena kontinu selama 2-3 hari pertama. Hipoglikemia (kadar gula
darah < 60 mg% atau < 80 mg% dengan gejala) diatasi segera dengan
dekstrosa 40% iv sampai kembali normal dan harus dicari penyebabnya.5
Nyeri kepala atau mual dan muntah diatasi dengan pemberian obat-
obatan sesuai gejala. Tekanan darah tidak perlu segera diturunkan, kecuali
bila tekanan sistolik ≥220 mmHg, diastolik ≥120 mmHg, Mean Arterial Blood
Pressure (MAP) ≥ 130 mmHg (pada 2 kali pengukuran dengan selang waktu
30 menit), atau didapatkan infark miokard akut, gagal jantung kongestif serta
gagal ginjal. Penurunan tekanan darah maksimal adalah 20%, dan obat yang
direkomendasikan: natrium nitroprusid, penyekat reseptor alfa-beta, penyekat
ACE, atau antagonis kalsium. Jika terjadi hipotensi, yaitu tekanan sistolik ≤
90 mm Hg, diastolik ≤70 mmHg, diberi NaCl 0,9% 250 mL selama 1 jam,
dilanjutkan 500 mL selama 4 jam dan 500 mL selama 8 jam atau sampai
hipotensi dapat diatasi.5
Jika belum terkoreksi, yaitu tekanan darah sistolik masih < 90 mmHg,
dapat diberi dopamin 2-20 μg/kg/menit sampai tekanan darah sistolik ≥ 110
mmHg. Jika kejang, diberi diazepam 5-20 mg iv pelanpelan selama 3 menit,
maksimal 100 mg per hari ; dilanjutkan pemberian antikonvulsan per oral
(fenitoin, karbamazepin). Jika kejang muncul setelah 2 minggu, diberikan
antikonvulsan peroral jangka panjang. Jika didapatkan tekanan intrakranial
meningkat, diberi manitol bolus intravena 0,25 sampai 1 g/ kgBB per 30
menit, dan jika dicurigai fenomena rebound atau keadaan umum memburuk,
dilanjutkan 0,25g/kgBB per 30 menit setiap 6 jam selama 3-5 hari. Harus
dilakukan pemantauan osmolalitas sebagai alternative. Dapat diberikan
larutan hipertonik NaCl 3 % atau furosemide.5

Stroke Hemorragik

Stroke hemoragik, yang merupakan sekitar 15% sampai 20% dari semua
stroke, dapat terjadi apabila lesi vaskular intraserebrum mengalami ruptur sehingga
terjadi perdarahan ke dalam ruang subarakhnoid atau langsung ke dalam jaringan
otak. Beberapa penyebab perdarahan intraserebrum: perdarahan intraserebrum
hipertensif; perdarahan subarakhnoid (PSA) pada ruptura aneurisma sakular (Berry),
ruptura malformasi arteriovena (MAV), trauma; penyalahgunaan kokain, amfetamin;
perdarahan akibat tumor otak; infark hemoragik; penyakit perdarahan sistemik
termasuk terapi antikoagulan. 3

a. Definisi

Definisi yang paling banyak diterima secara luas adalah bahwa stroke adalah
suatu sindrom yang ditandai dengan gejala dan atau tanda klinis yang berkembang
dengan cepat yang berupa gangguan fungsional otak fokal maupun global yang
berlangsung lebih dari 24 jam (kecuali ada intervensi bedah atau membawa
kematian), yang tidak disebabkan oleh sebab lain selain penyebab vaskuler. Menurut
Geyer stroke adalah sindrom klinis yang ditandai dengan berkembangnya tiba-tiba
defisit neurologis persisten fokus sekunder terhadap peristiwa pembuluh darah.3

b. Etiologi
Stroke pada anak-anak dan orang dewasa muda sering ditemukan jauh lebih
sedikit daripada hasil di usia tua, tetapi sebagian stroke pada kelompok usia yang
lebih muda bisa lebih buruk. Kondisi turun temurun predisposisi untuk stroke
termasuk penyakit sel sabit, sifat sel sabit, penyakit hemoglobin SC (sickle cell),
homosistinuria, hiperlipidemia dan trombositosis. Namun belum ada perawatan yang
memadai untuk hemoglobinopati, tetapi homosistinuria dapat diobati dengan diet dan
hiperlipidemia akan merespon untuk diet atau mengurangi lemak obat jika perlu.
Identifikasi dan pengobatan hiperlipidemia pada usia dini dapat memperlambat proses
aterosklerosis dan mengurangi risiko stroke atau infark miokard pada usia dewasa. 3
c. Faktor Risiko

Tidak dapat dimodifikasi, meliputi: usia, jenis kelamin, herediter, ras/etnik.


Dapat dimodifikasi, meliputi: riwayat stroke, hipertensi, penyakit jantung, diabetes
mellitus, Transient Ischemic Attack (TIA), hiperkolesterol, obesitas, merokok,
alkoholik, hiperurisemia, peninggian hematokrit. 3

d. Patofisiologi

Gangguan pasokan aliran darah otak dapat terjadi di mana saja di dalam
arteri-arteri yang membentuk Sirkulus Willisi. arteria karotis interna dan sistem
vertebrobasilar atau semua cabang-cabangnya. Secara umum, apabila aliran darah ke
jaringan otak terputus selama 15 sampai 20 menit, akan terjadi infark atau kematian
jaringan. Perlu diingat bahwa oklusi di suatu arteri tidak selalu menyebabkan infark
di daerah otak yang diperdarahi oleh arteri tersebut. Alasannya adalah bahwa
mungkin terdapat sirkulasi kolateral yang memadai ke daerah tersebut. 3

Proses patologik yang mendasari mungkin salah satu dari berbagai proses
yang terjadi di dalam pembuluh darah yang memperdarahi otak. Patologinya dapat
berupa (1) keadaan penyakit pada pembuluh itu sendiri, seperti pada aterosklerosis
dan trombosis, robeknya dinding pembuluh, atau peradangan; (2) berkurangnya
perfusi akibat gangguan status aliran. darah, misalnya syok atau hiperviskositas
darah; (3) gangguan aliran darah akibat bekuan atau embolus infeksi yang berasal
dari jantung atau pembuluh ekstrakranium; atau (4) ruptur vaskular di dalam jaringan
otak atau ruang subaraknoid. 3

Gambar 1.2 Sirkulus Willisi3

Suatu stroke mungkin didahului oleh Transient Ischemic Attack (TIA) yang
serupa dengan angina pada serangan jantung. TIA adalah serangan-serangan defisit
neurologik yang mendadak dan singkat akibat iskemia otak fokal yang cenderung
membaik dengan kecepatan dan tingkat penyembuhan bervariasi tetapi biasanya
dalam 24 jam. TIA mendahului stroke trombotik pada sekitar 50% sampai 75%
pasien. 3

e. Gejala Klinis

Akibat iritasi meningen oleh darah, maka pasien menunjukkan gejala nyeri
kepala mendadak (dalam hitungan detik) yang sangat berat disertai fotofobia, mual,
muntah, dan tanda-tanda meningismus (kaku kuduk dan tanda Kernig). Pada
perdarahan yang lebih berat, dapat terjadi peningkatan tekanan intrakranial dan
gangguan kesadaran. Pada funduskopi dapat dilihat edema papil dan perdarahan
retina. Tanda neurologis fokal dapat terjadi sebagai akibat dari:

- Efek lokalisasi palsu dari peningkatan tekanan intrakranial,

- Perdarahan intraserebral yang terjadi bersamaan,

- Spasme pembuluh darah, akibat efek iritasi darah, bersamaan dengan iskemia3

f. Diagnosis

Untuk mendapatkan diagnosis dan penentuan jenis patologi stroke, segera


ditegakkan dengan algoritma Siriraj dan Gadjah Mada stroke skor. Untuk
membedakan jenis stroke iskemik dengan stroke perdarahan dilakukan pemeriksaan
radiologi CT-Scan kepala. Pada stroke hemoragik akan terlihat adanya gambaran
hiperdens, sedangkan pada stroke iskemik akan terlihat adanya gambaran hipodens. 3

g. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan yang cepat, tepat, dan cermat memegang peranan besar


dalam menentukan hasil akhir pengobatan. Betapa pentingnya pengobatan stroke
sedini mungkin, karena ‘jendela terapi’ dari stroke hanya 3-6 jam. Hal yang harus
dilakukan adalah:

- Stabilitas pasien dengan tindakan ABC (Airway, breathing, Circulation)

- Pertimbangkan intubasi bila kesadaran stupor atau koma atau gagal napas

- Pasang jalur infus intravena dengan larutan salin normal 0,9 % dengan kecepatan 20
ml/jam, jangan memakai cairan hipotonis seperti dekstrosa 5 % dalam air dan salin 0,
45 %, karena dapat memperhebat edema otak

- Berikan oksigen 2-4 liter/menit melalui kanul hidung


- Jangan memberikan makanan atau minuman lewat mulut

- Buat rekaman elektrokardiogram (EKG) dan lakukan foto rontgen toraks

- Ambil sampel untuk pemeriksaan darah: pemeriksaan darah perifer lengkap dan
trombosit, kimia darah (glukosa, elektrolit, ureum, dan kreatinin), masa protrombin,
dan masa tromboplastin parsial

- Jika ada indikasi, lakukan tes-tes berikut: kadar alkohol, fungsi hati, gas darah arteri,
dan skrining toksikologi

- Tegakkan diagnosis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik3

Perdarahan Intraserebral

a. Definisi

Perdarahan intraserebral adalah perdarahan yang terjadi secara langsung pada bagian
atau substansi otak.1

b. Etiologi

Perdarahan di dalam jaringan otak dapat disebabkan oleh :

- Hipertensi, dengan pembentukan mikroaneurisma (aneurisma Charcot


Bouchard)
- Perdarahan tumor
- Trauma
- Kelainan darah
- Gangguan pembuluh darah - malformasi arteriovenosa, vaskulitis,
amiloidosis.
Sepuluh persen dari kasus stroke merupakan perdarahan intraserebral.1

c. Gejala dan Tanda


Pasien datang dengan tanda-tanda neurologis fokal yang tergantung dari
lokasi perdarahan, kejang, dan gambaran peningkatan tekanan intrakranial.
Gejala lainnya meliputi :
- Awitan akut, nyeri kepala, penurunan kesadaran, sifatnya fatal.
- Sering saat aktivitas atau peningkatan emosi.
- Umur 50-75 tahun.
- Tanpa didahului TIA
- Tekanan darah umumnya tinggi. 1

d. Diagnosis
Diagnosis biasanya jelas dari CT scan.
Komplikasi yang terjadi meliputi hidrosefalus dan coning (herniasi). Oleh karena itu,
adanya hematoma besar menunjukkan prognosis yang buruk (mortalitas lebih dari
50%), begitu pula perdarahan batang otak biasanya lebih buruk. 1

e. Tatalaksana

Tata laksana awal medikamentosa meliputi obat antihipertensi, antikonvulsan


bila kejang, koreksi koagulopati, dan manitol untuk peningkatan tekanan intrakranial.
Intervensi bedah meliputi :
- Evakuasi hematoma - untuk perdarahan serebelar atau serebral dengan
perburukan yang progresif
- Drainase ventrikel - untuk hidrosefalus akut. 1

Pendarahan subarachnoid

Perdarahan subaraknoid dapat diartikan sebagai proses pecahnya


pembuluh darah di ruang yang berada dibawah arakhnoid (subaraknoid).
Prevalensi terjadinya perdarahan subaraknoid dapat mencapai hingga 33.000
orang per tahun di Amerika Serikat. Perdarahan subarakhnoid memiliki puncak
insidens pada usia ekitar 55 tahun untuk laki-laki dan 60 tahun untuk
perempuan. Lebih sering dijumpai pada perempuan dengan rasio 3:2. 3
a. Definisi

Pendarahan subarakhnoid ialah suatu kejadian saat adanya darah pada


rongga subarakhnoid yang disebabkan oleh proses patologis. Perdarahan
subarakhnoid ditandai dengan adanya ekstravasasi darah ke rongga subarakhnoid
yaitu rongga antara lapisan dalam (piamater) dan lapisan tengah (arakhnoid
matter) yang merupakan bagian selaput yang membungkus otak (meninges). 3

b. Etiologi

Etiologi yang paling sering menyebabkan perdarahan subarakhnoid adalah


ruptur aneurisma salah satu arteri di dasar otak dan adanya malformasi
arteriovenosa (MAV). Terdapat beberapa jenis aneurisma yang dapat terbentuk
di arteri otak seperti3 :

1. Aneurisma sakuler (berry)

Gambar 1.3 Anemia sakuler (Berry) 3

Aneurisma ini terjadi pada titik bifurkasio arteri intrakranial. Lokasi tersering
aneurisma sakular adalah arteri komunikans anterior (40%), bifurkasio arteri
serebri media di fisura sylvii (20%), dinding lateral arteri karotis interna (pada
tempat berasalnya arteri oftalmika atau arteri komunikans posterior 30%), dan
basilar tip (10%). Aneurisma dapat menimbulkan deficit neurologis dengan
menekan struktur disekitarnya bahkan sebelum rupture. Misalnya, aneurisma
pada arteri komunikans posterior dapat menekan nervus okulomotorius,
menyebabkan paresis saraf kranial ketiga (pasien mengalami dipopia) 3
2. Aneurisma Fusiformis

Gambar 1.4 Aneurisma Fusiformis

Pembesaran pada pembuluh darah yang berbentuk memanjang disebut


aneurisma fusiformis. Aneurisma tersebut umumnya terjadi pada segmen
intracranial arteri karotis interna, trunkus utama arteri serebri media, dan arteri
basilaris. Aneurisma fusiformis dapat disebabkan oleh aterosklerosis dan/atau
hipertensi. Aneurisma fusiformis yang besar pada arteri basilaris dapat menekan
batang otak. Aliran yang lambat di dalam aneurisma fusiformis dapat
mempercepat pembentukan bekuan intraaneurismal terutama pada sisi-sisinya.
Aneurisma ini biasanya tidak dapat ditangani secara pebedahan saraf, karena
merupakan pembesaran pembuluh darah normal yang memanjang, dibandingkan
struktur patologis (seperti aneurisma sakular) yang tidak memberikan kontribusi
pada suplai darah serebral. 3

3. Aneurisma mikotik
Aneurisma mikotik umumnya ditemukan pada arteri kecil di otak.
Terapinya terdiri dari terapi infeksi yang mendasarinya dikarenakan hal ini
biasa disebabkan oleh infeksi. Aneurisma mikotik kadang-kadang mengalami
regresi spontan; struktur ini jarang menyebabkan perdarahan subarachnoid.3
Malformasi arterivenosa (MAV) adalah anomaly vasuler yang terdiri dari
jaringan pleksiform abnormal tempat arteri dan vena terhubungkan oleh satu
atau lebih fistula. Pada MAV arteri berhubungan langsung dengan vena tanpa
melalui kapiler yang menjadi perantaranya. Pada kejadian ini vena tidak dapat
menampung tekanan darah yang datang langsung dari arteri, akibatnya vena
akan merenggang dan melebar karena langsung menerima aliran darah
tambahan yangberasal dari arteri. pPembuluh darah yang lemah nantinya akan
mengalami ruptur dan berdarah sama halnya seperti yang terjadi paada
aneurisma. 9 MAV dikelompokkan menjadi dua, yaitu kongenital dan didapat.
MAV yang didapat terjadi akibat thrombosis sinus, trauma, atau kraniotomi. 3

c. Epidemiologi

Perdarahan Subarachnoid menduduki 7-15% dari seluruh kasus GPDO


(Gangguan Peredaran Darah Otak). Prevalensi kejadiannya sekitar 62% timbul
pertama kali pada usia 40-60 tahun. Dan jika penyebabnya adalah MAV
(malformasi arteriovenosa) maka insidensnya lebih sering pada laki-laki daripada
wanita. 3

d. patofisiologi

Aneurisma intrakranial khas terjadi pada titik-titik cabang arteri serebral


utama. Hampir 85% dari aneurisma ditemukan dalam sirkulasi anterior dan 15%
dalam sirkulasi posterior. Secara keseluruhan, tempat yang paling umum adalah
arteri communicans anterior diikuti oleh arteri communicans posterior dan arteri
bifucartio cerebri. Dalam sirkulasi posterior, situs yang paling lebih besar
adalah di bagian atas bifurkasi arteri basilar ke arterie otak posterior. 3

Pada umumnya aneurisma terjadi pada sekitar 5% dari populasi orang


dewasa, terutama pada wanita. Penyebab pembentukan aneurisma intrakranial
dan rupture tidak dipahami; Namun, diperkirakan bahwa aneurisma intrakranial
terbentuk selama waktu yang relatif singkat dan baik pecah atau mengalami
perubahan sehingga aneurisma yang utuh tetap stabil. Pemeriksaan patologis
dari aneurisma ruptur diperoleh pada otopsi menunjukkan disorganisasi bentuk
vaskular normal dengan hilangnya lamina elastis internal dan kandungan
kolagen berkurang. Sebaliknya, aneurisma yang utuh memiliki hampir dua kali
kandungan kolagen dari dinding arteri normal, sehingga peningkatan ketebalan
aneurisma bertanggung jawab atas stabilitas relatif yang diamati dan untuk
resiko rupture menjadi rendah.3

Meskipun masih terdapat kontroversi mengenai asosiasi ukuran dan


kejadian pecah, 7 mm tampaknya menjadi ukuran minimal pada saat ruptur.
Secara keseluruhan, aneurisma yang ruptur cenderung lebih besar daripada
aneurisma yang tidak rupture. 3
Puncak kejadian aneurisma pada PSA terjadi pada dekade keenam
kehidupan. Hanya 20% dari aneurisma yang rupture terjadi pada pasien berusia
antara 15 dan 45 tahun. Tidak ada faktor predisposisi yang dapat dikaitaan
dengan kejadian ini, mulai dari tidur, kegiatan rutin sehari-hari, dan aktivitas
berat.3

Hampir 50% dari pasien yang memiliki PSA, ketika dianamnesis pasti memiliki
riwayat sakit kepala yang sangat berat atau sekitar 2-3 minggu sebelum
perdarahan besar. Hampir setengah dari orang-orang ini meninggal sebelum tiba
di rumah sakit. Puncak kejadian perdarahan berikutnya terjadi pada 24 jam
pertama, tetapi tetap ada risiko hari-hari berikutnya dapat mengalami
perdarahan. Sekitar 20-25% kembali rupture dan mengalami perdarahan dalam 2
minggu pertama setelah kejadian pertama. Kematian terjadi terkait perdarahan
kedua hampir 70%.3

e. Gejala dan Tanda


Tanda klasik PSA, sehubungan dengan pecahnya aneurisma yang besar,
meliputi :
1. Nyeri kepala yang hebat dan mendadak,
2. Hilangnya kesadaran,
3. Fotofobia
4. Meningismus,
5. Mual dan muntah.
Sebenarnya, sebelum muncul tanda dan gejala klinis yang hebat dan
mendadak tadi, sudah ada berbagai tanda peringatan yang pada umumnya tidak
memperoleh perhatian sepenuhnya oleh penderita maupun dokter yang
merawatnya. Tanda-tanda peringatan tadi dapat muncul beberapa jam, hari,
minggu, atau lebih lama lagi sebelum terjadinya perdarahan yang hebat. Tanda-
tanda perigatan dapat berupa nyeri kepala yang mendadak dan kemudian hilang
dengan sendirinya (30-60%), nyeri kepala disertai mual, nyeri tengkuk dan
fotofobia (40-50%), dan beberapa penderita mengalami serangan seperti
“disambar petir”. Sementara itu, aneurisma yang membesar (sebelum pecah)
dapat menimbulkan tanda dan gejala sebagai berikut : defek medan penglihatan,
gangguan gerak bola mata, nyeri wajah, nyeri orbital, atau nyeri kepala yang
terlokalisasi.5 Aneurisma berasal dari arteri komunikan anterior dapat
menimbulkan defek medan penglihatan, disfungsi endokrin, atau nyeri kepala di
daerah frontal. Aneurisma pada arteri karotis internus dapat menimbulkan
paresis okulomotorius, defek medan penglihatan, penurunan visus, dan nyeri
wajah disuatu tempat. Aneurisma pada arteri karotis internus didalam sinus
kavernosus, bila tidak menimbulkan fistula karotiko-kavernosus, dapat
menimbbulkan sindrom sinus kavernosus. 5 Aneurisma pada arteri serebri media
dapat menimbulkan disfasia, kelemahan lengan fokal, atau rasa baal. Aneurisma
pada bifukarsio basiaris dapat menimbulkan paresis okulomotorius. 5 Hasil
pemeriksaan fisik penderita PSA bergantung pada bagian dan lokasi perdarahan.
Pecahnya aneurisma dapat menimbulkan PSA saja atau kombinasi dengan
hematom subdural, intraserebral, atau intraventrikular. 3
Dengan demikian tanda kklinis dapat bervariasi mulai dari meningismus
ringan, nyeri kepala, sampai defiist neurologis berat dan koma. Semnetara
itu, reflek Babinski positif bilateral. 5 Gangguan fungsi luhur, yang
bervariasi dari letargi sampai koma, biasa terjadi pada PSA. Gangguan
memori biasanya terjadi pada beberapa hari kemudian. Disfasia tidak
muncul pada PSA tanpa komplikasi, bila ada disfasia maka perlu dicurigai
adanya hematom intraserebral. Yang cukup terkenal adalah munculnya
demensia dan labilitas emosional, khususnya bila lobus frontalis bilateral
terkena sebagai akibat dari pecahnya aneurisma pada arteri komunikans
anterior. Disfungsi nervi kraniales dapat terjadi sebagai akibat dari a)
kompresi langsung oleh aneurisma; b) kompresi langsung oleh darah yang
keluar dari pembuluh darah, atau c) meningkatnya TIK. Nervus optikus
seringkali terkena akibat PSA. Pada penderita dengan nyeri kepala
mendadak dan terlihat adanya perdarahan subarachnoid maka hal itu bersifat
patognomik untuk PSA. 3
Gangguan fungsi motorik dapat berkaitan dengan PSA yang cukup luas
atau besar, atau berhubungan dengan infark otak sebagai akibat dari
munculnya vasospasme. Perdarahan dapat meluas kearah parenkim otak.
Sementara itu, hematom dapat menekan secara ekstra-aksial. Iskemik otak
yang terjadi kemudian erupakan ancaman serta pada penderita PSA. Sekitar
5 hari pasca-awitan, sebagian atau seluruh cabang-cabang besar sirkulus
Willisi yang terpapar darah akan mengalami vasospasme yang berlangsung
antara 1-2 minggu tau lebih lama lagi. 3

f. Diagnosis

Kejadian misdiagnosis pada perdarahan subarakhnoid berkisar antara 23%


hingga 53%. Karena itu, setiap keluhan nyeri kepala akut harus selalu
dievaluasi lebih cermat. Anamnesis yang cermat mengarahkan untuk
mendiagnosis PSA. Maka dari itu faktor resiko terjadinya PSA perlu
diperhatikan seperti pada tabel berikut. 3

Tabel 3: Faktor resiko terjadinya perdarahan subarachnoid3


Pada pemeriksaan fisik dijumpai semua gejala dan tanda seperti yang
dijelaskan sebelumnya. Untuk menunjang diagnosis, dapat dilakukan
pemeriksan CT Scan Pemeriksaan CT scan tanpa kontras adalah pilihan
utama karena sensitivitasnya tinggi dan mampu menentukan lokasi
perdarahan lebih akurat; sensitivitasnya mendekati 100% jika dilakukan
dalam 12 jam pertama setelah serangan tetapi akan turun pada 1 minggu
setelah serangan.

Gambar 1.5 CT scan Perdarahan subarachnoid3


Pungsi Lumbal Jika hasil pemeriksaan CT scan kepala negatif, langkah
diagnostic selanjutnya adalah pungsi lumbal. Pemeriksaan pungsi lumbal
sangat penting untuk menyingkirkan diagnosis banding. Beberapa temuan
pungsi lumbal yang mendukung diagnosis perdarahan subarachnoid adalah
adanya eritrosit, peningkatan tekanan saat pembukaan, dan atau
xantokromia. Jumlah eritrosir meningkat, bahkan perdarahan kecil kurang
dari 0,3 mL akan menyebabkan nilai sekitar 10.000 sel/mL. xantokromia
adalah warna kuning yang memperlihatkan adanya degradasi produk
eritrosit, terutama oksihemoglobin dan bilirubin di cairan serebrospinal.
Angiografi Digital-substraction cerebral angiography merupakan baku emas
untuk deteksi aneurisma serebral, tetapi CT angiografi lebih sering
digunakan karena non-invasif serta sensitivitas dan spesifitasnya lebih tinggi.
Evaluasi teliti terhadap seluruh pembuluh darah harus dilakukan karena
sekitar 15% pasien memiliki aneurisma multiple. Foto radiologic yang
negative harus diulang 7-14 hari setelah onset pertama. Jika evaluasi kedua
tidak memperlihatkan aneurisma, MRI harus dilakukan untuk melihat
kemungkinan adanya malformasi vascular di otak maupun batang otak.
Adapun parameter klinis yang dapat dijadikan acuan untuk intervensi dan
prognosis pada PSA seperti skala Hunt dan Hess yang bisa digunakan. 3
Tabel 4: Skala Hunt dan Hess3
Selain skala Hunt dan Hess, skor Fisher juga bisa digunakan untuk
mengklasifikasikan perdarahan subarachnoid berdasarkan munculnya darah di
kepala pada pemeriksaan CT scan.3

Tabel 5: Skor Fisher3

g. Diagnosis banding
Terdapat beberapa penyakit yang dapat didiagnosis banding dengan stroke
hemoragik akibat perdarahan subarakhnoid, yaitu :
1. Migraine
2. Cluster headache
3. Paroxysmal hemicranial
4. Non-hemorrhagic stroke

h. Tatalaksana
Tujuan penatalakasanaan pertama dari perdarahan subarakhnoid adalah
identifikasi sumber perdarahan dengan kemungkinan bisa diintervensi dengan
pembedahan atau tindakan intravascular lain. Jalan napas harus dijamin
aman dan pemantauan invasive terhadap central venous pressure dan atau
pulmonary artery pressure, seperti juga terhadap tekanan darah arteri, harus
terus dilakukan. Untuk mencegah penigkatan tekanan intracranial, manipulasi
pasien harus dilakukan secara hati-hati dan pelan-pelan, dapat diberikan
analgesic dan pasien harus istirahat total.1 PSA yang disertai dengan
peningkatan tekanan intracranial harus diintubasi dan hiperventilasi.
Pemberian ventilasi harus diatur untuk mencapai PCO2 sekitar 30-35
mmHg. Beberapa obat yang dapat diberikan untuk menurunkan tekanan
intracranial seperti6 :  Osmotic agents (mannitol) dapat menurunkan
tekanan intracranial secara signifikan (50% dalam 30 menit pemberian). Loop
diuretics (furosemide) dapat juga menurnukan tekanan intracranial
Intravenous steroid (dexamethasone) untuk menurunkan tekanan intracranial
masih kontroversial tapi direkomendasikan oleh beberapa penulis lain. Setelah
itu tujuan selanjutnya adalah pencegahan perdarahan ulang, pencegahan dan
pengendalian vasospasme, serta manajemen komplikasi medis dan neurologis
lainnya. Tekanan darah harus dijaga dalam batas normal dan jika perlu
diberi obat-obat antihipertensi intravena, seperti labetalol dan nikardipin.
Akan tetapi, rekomendasi saat ini menganjurkan penggunaan obat-obat anti
hipertensi pada PSA jikalau MABP diatas 130 mmHg. Setelah aneurisma
dapat diamankan, sebetulnya hipertensi tidak masalah lagi, tetapi sampai
saat ini belum ada kesepakatan berapa nilai amannya. Analgesic seringkali
diperlukan, obat-obat narkotika dapat diberikan berdasarkan indikasi. Dua
factor penting yang dihubungkan dengan luaran buruk adalah hiperglikemia
dan hipertermia, karena itu keduanya harus segera dikoreksi. Profilaksis
terhadap thrombosis vena dalam (deep vein thrombosis) harus dilakukan
segera dengan peralatan kompresif sekunsial, heparin subkutan dapat
diberikan setlah dilakukan penatalaksanaan terhadap aneurisma. Calcium
channel blocker dapat mengurangi risiko komplikasi iskemik,
direkomendasikan nimodipin oral. 1,6 Hasil penelitian terakhir yang
dilakukan mengemukakan bahwa penambahan obat cilostazol oral pada
microsurgical clipping dapat mencegah kejadian vasospasme serebral dengan
menurunkan resikoresiko yang memperparah kejadian vasospasme serebral. 3

2. Penegakan diagnosis sriraj stroke score dan Gadjah Mada

- Sriraj Stroke Score

Tabel 6: Penilaian Sriraj stroke score4

Siriraj Stroke Score = (2,5 x Derajat Kesadaran) + (2 x muntah) + (2 x sakit kepala) +


(0,1 x tekanan darah diastol) – (3 x ateroma) – 12 .

Apabila skor yang didapatkan < 1 maka diagnosisnya stroke non perdarahan dan
apabila didapatkan skor ≥ 1 maka diagnosisnya stroke perdarahan. 4
- Algoritma Gadjah Mada

Apabila terdapat pasien stroke akut dengan atau tanpa penurunan kesadaran, nyeri
kepala dan terdapat reflek babainski atau dua dari ketiganya maka merupakan stroke
hemoragik. Jika ditemukan penurunan kesadaran atau nyeri kepala ini juga
merupakan stroke non hemoragik. Sedangkan bila hanya didapatkan reflek babinski
positif atau tidak didapatkan penurunan kesadaran, nyeri kepala dan reflek babinski
maka merupakan stroke non hemoragik.6

- Algoritma Gadjah Mada

Tabel 7: Algoritma Gadjah Mada6


DAFTAR PUSTAKA

1. Gisenberg L. Lecture Notes Neurologi, Edisi Ke-8. Jakarta: Erlangga; 2012


2. Mardjono M, Sidharta P. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: PT. Dian Rakyat;
2011
3. Price, SA dan Wilson, LM. Patofisiologi. Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Volume 2. Edisi 6. Jakarta: EGC; 2016
4. Widiastuti P. Sistem Skoring Diagnostik untuk Stroke: Skor Siriraj.
Kalbemed. 2015; 42(10)
5. Setyopranoto I. Stroke: Gejala dan Penatalaksanaan. Yogyakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Gadjah Mada
6. Lamsudin R. Algoritma Stroke Gadjah Mada. Yogyakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Gadjah Mada

Anda mungkin juga menyukai