Anda di halaman 1dari 11

PEMIKIRAN FIQIH DAKWAH M.

NATSIR

MAKALAH

Disusun Oleh:

Muhammad Naufal W.
2070131009

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
RADEN INTAN LAMPUNG
1442 H / 2021 M
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al-Qur’an surat Ali Imron ayat 110 menyatakan bahwa kedudukan dan
peranan umat Islam adalah sebagai “Kuntum Khaira Ummnah”, sebagai umat
yang paling baik, umat yang harus menjadi contoh bagi umat yang lainnya. Posisi
yang mulia tersebut diperoleh karena sikap hidup seseorang muslim didasarkan
pada keimanan kepada Allah SWT. Serta diiringi oleh sikap aktif melaksanakan
ihsan (berbuat baik), amar ma’ruf nahi munkar, sebuah usaha menyebarluaskan
kebenaran, mengajak seseorang pada kebajikan dan mencegah dariperbuatan
kemunkaran.

Dakwah merupakan satu bagian yang pasti ada dalam kehidupan umat
beragama. Dalam ajaran agama Islam ia merupakan suatu kewajiban yang
dibebankan oleh agama kepada pemeluknya. Oleh karena itu fungsi dari misi
umat Islam di tengah-tengah kehidupan masyarakat sangat besar dan berat, sebab
mereka harus berdiri di baris terdepan sebagai pejuang-pejuang penegak
kebenaran, kewajiban yang berat ini dibebankan kepada generasi pengikut Nabi
Muhammad SAW yang beriman secara terus-menerus. Tidak satupun yang
terlepas dari kewajiban berat ini. Itulah kewajiban Iqamatu Hujjatillahi
(menegakkan hukum Allah) kepada manusia, dan kewajiban untuk
menyelamatkan manusia dari azab akhirat dan kebinasaan di dunia. Kewajiban ini
ditunaikan dengan menyampaikan risalah dan melaksanakan sesuai manhaj yang
dibawa oleh Rasulullah SAW.1

Untuk melaksanakan dan menyampaikan dakwah pada obyek sasarannya,


maka banyak cara atau metode yang dilakukan oleh para ulama, Da’i maupun
praktisi-praktisi dakwah, yang kesemuanya bertumpu pada upaya menyampaikan

1
Jum’ah Amin Abdul Aziz, Fiqh Dakwah, Intermedia, (Jakarta: Cet. 1, 2000) h. 29
pesan-pesan agama atau nilai-nilai ajaran Islam. Sehubungan itu semua, ketika
pesan dakwah akan disampaikan pada obyeknya, maka hal yang harus
diperhatikan adalah terciptanya proses penerimaan dan pemahaman pesan dakwah
dalam suasana yang baikdan damai, tidak menimbulkan sikap kontra, memecah
belah atau bahkan membingungkan dan mengaburkan pemahaman yang justru
berakibat pada tidak tercapai tujuan dakwah yang diharapkan.

Di satu pihak bahwa esensi dakwah dalam sistem sosio-kultural adalah


mengadakan dan memberikan arah perubahan. Mengubah struktur masyarakat dan
budaya dari kezhaliman kearah keadilan, kebodohan kearah kemajuan/kecerdasan,
kemiskinan kearah kemakmuran, keterbelakangan kearah kemajuan yang
semuanya dalam rangka meningkatkan derajat manusia dan masyarakat kearah
puncak kemanusiaan (takwa).2

Berbicara mengenai pemikiran dan gerakan dakwah, Indonesia merupakan


salah satu negara yang menjadi pusaran kegiatan tersebut. Hal ini dapat dilihat
dari bermunculannya tokoh dengan beragam pemikiran dan gerakan dakwahnya.
Salah satu tokoh yang konsen pada kegiatan pemikiran dan gerakan dakwah
tersebut adalah M. Natsir. Ia adalah tokoh yang pemikir dan gerakannya cukup
berpengaruh, bukan saja di Indonesia, tetapi juga di dunia Islam. Gagasan
pemikiran M. Natsir yang paling terkenal adalah mengenai Islam dan negara,
Islam dan Pancasila, serta tentang dakwah. Tulisan ini bermaksud mengkaji ketiga
gagasan M. Natsir tersebut. Dalam tulisan ini akan dikaji pula situasi sosial dan
budaya yang melingkupinya. Hal ini dilakukan untuk melihat gambaran yang jelas
tentang latar belakang munculnya gagasan-gagasan tersebut. Menurut hemat
penulis, sebuah gagasan pemikiran dan gerakan tidak dapat dilepaskan dari setting
sosial dan budaya yang melingkupinya.

B. Rumusan Masalah

1. Siapa M. Natsir itu?

2. Pemikiran dakwah yang bagaimana dari beliau?

2
Amrullah Ahmad, Dakwah dan Perubahan Sosial, Editor, (Jakarta: PLP2M, 1998)
BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi M. Natsir

M. Natsir adalah salah satu tokoh yang begitu penting dalam wacana
pemikiran dan garakan dakwah di Indonesia. Ia adalah seorang negarawan dan
pelaku sejarah negara Indonesia modern. Selain pemikir, ia juga seorang politikus.
Ia sebagai tokoh yang low profile, pernah memimpin Partai Politik Islam (PII) dan
Masyumi. Sebagai negarawan, ia pernah menjadi perdana menteri di zaman
Soekarno. Kegiatan terakhirnya adalah bergelut di bidang dakwah. Ia adalah
seorang pelopor berdirinya organisasi Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia
(DDII). Ia juga menjadi jembatan yang luas dengan dunia Islam internasional.3

M. Natsir dilahirkan di Alahan Panjang, Solok, Sumatera Barat, pada 17 Juli


1908. Kedua orang tuanya berasal dari Maninjau. Ayahnya bernama Idris Sutan
Saripado, seorang pegawai pemerintah dan pernah menjadi asisten demang di
Bonjol. M. Natsir adalah anak ketiga dari empat bersaudara. Pada waktu kecil, M.
Natsir sekolah di SD pemerintah di Maninjau, kemudian melanjutkan ke HIS
milik pemerintah di Solok, HIS Adabiyah di Padang HIS Solok, dan kembali ke
HIS pemerintah di Padang. M. Natsir kemudian melanjutkan studinya di Mulo
Padang dan melanjutkan ke AMS A 2 (SMA Jurusan sastra Barat) di Bandung.
Walaupun mendapatkan tawaran beasiswa dari Mulo dan AMS untuk belajar di
Fakultas Hukum di Jakarta atau Fakultas Ekonomi di Rotterdam, ia tidak
melanjutkan studinya, dan lebih tertarik pada perjuangan Islam.

Pendidikan agamanya diperoleh dari pendidikan orang tuanya, kemudian ia


masuk sekolah diniyah di Solok pada sore hari, dan belajar mengaji al-Qur’an
pada malam harinya di surau. Pengetahuan agama M. Natsir semakin mendalam
ketika ia berguru kepada Ustadz Abbas Hasan, seorang tokoh Persatuan Islam

3
Natsir, Mohammad. 2000. Fiqhud Da’wah. Jakarta: Media Dakwah
(PERSIS) di Bandung. Kepribadian A. Hasan yang hidup sederhana dan rapi
dalam bekerja, alim, tajam argumentasinya, dan berani mengemukakan pendapat
tampaknya cukup berpengaruh terhadap kepribadian M. Natsir.

M. Natsir banyak belajar mengenai teologi (tauhid), ilmu fiqih (syari’ah),


tafsir hadits, filsafat, sejarah, kebudayaan, dan politik Islam. Di samping itu, ia
juga banyak belajar dari tokoh-tokoh Islam terkemuka pada waktu itu, seperti H.
Agus Salim, Syekh Ahmad Soorkati, HOS Cokroaminoto dan A.M. Sangaji.
Pengalaman ini semua memperkokoh keyakinan M. Natsir untuk berjuang dalam
menegakkan agama Islam.4

Kepribadian yang sederhana dari guru-gurunya, kemudian ia ikuti dalam


kehidupan kesehariannya. Ini dapat dilihat saat menjabat sebagai menteri
Penerangan dan ketua Partai Masyumi. Demi perjuangannya, ia tidak sempat
memikirkan untuk memiliki rumah sendiri, bahkan ketika mobilnya rusak ia
service sendiri.5

M. Natsir juga dikenal sebagai seorang mujahid dakwah, pemimpin sejati,


pendidik, dan juga pejuang kemanusiaan. Keprihatinan dakwahnya bukan saja di
dirasakan dan dihargai oleh bangsa Indonesia dan umat Islam yang tersebar di
seluruh Nusantara, tetapi dicintai dan dihormati umat Islam di seluruh dunia.6

B. Dai Dalam Pandangan M. Natsir

Bila seorang pembawa dakwah sudah mengayunkan langkah, maka bermacam


corak sikap dan tabiat manusia yang akan dijumpai. Seorang da’i mungkin saja
akan dihadapkan kepada orang yang berilmu tapi sulit untuk menerima kebenaran,
atau orang bodoh akan sulit untuk memahami nilai-nilai kebenaran dan lain
sebagainya. Oleh karena itu, obyek dakwah yang beraneka ragam ditemukan
harus dihadapi dengan sebuah analisa Homogenitas tingkat kemampuan
kecerdasan, sikap, dan tabiat masing-masing.

4
Mulkhan, Abdul Munir. 1996. Ideologisasi Gerakan Dakwah Episod Kehidupan M. Natsir dan
Azhar Basyir. Yogyakarta: Sippress.
5
Ibid
6
Ibid
Sebuah rujukan yang harus diperhatikan oleh seorang petugas dakwah/da’i
adalah firman Allah dalam surat Al-Qur’an sebagai berikut: Artinya: “Serulah
(manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang
lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang
lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. AnNahl: 125).

Syech Muhammad Abduh, menyimpulkan dari ayat A1-Qur’an di atas, bahwa


dalam garis besarnya umat yang dihadapi seseorang pembawa dakwah dapat
dibagi atas tiga golongan:

1. Ada golongan cendikiawan yang cinta kebenaran, dan dapat berfikir secara
kritis, cepat dapat menangkap arti persoalan. Mereka ini harus dipanggil
dengan hikmah yakni dengan alasan-alasan, dengan dalil-dalil dan hujjah
yang dapat diterima oleh kekuatan akal mereka.

2. Ada golongan awam, orang kebanyakan yang belum dapat menangkap


pengertian-pengertian yang tinggi-tinggi, mereka ini dipanggil dengan
“Mau’idzatil Hasanah” dengan anjuran dan didikan yang baik-baik,
dengan ajaran yang mudah dipahami.

3. Ada golongan yang tingkat kecerdasan diantara kedua golongan tersebut,


belum dapat dicapai dengan hikmah, akan tetapi tidak sesuai pula bila
dilayani seperti golongan awam, mereka suka membahas sesuatu, tetapi
hanya dalam batas tertentu, tidak sanggup sampai mendalam benar.
Mereka ini dipanggil dengan “Mujadalah Billati Hiya Ahsan“, yakni
dengan bertukar pikiran, guna untuk menyampaikan dakwah pada sasaran
yang telah disebutkan di atas, maka harus diperhatikan beberapa hal
sebagai berikut:

a. Seorang pembawa dakwah/da’i harus mampu menentukan cara yang


tepat dan efektif, seorang da’i harus menguasai isi dakwah yang
hendak disampaikan, harus dapat menilai apa corak orang atau
golongan yang dihadapi, memahami situasi dan kondisi di mana ia
menyampaikan dakwah dan inilah yang disebut hikmah. Dengan
memahamkan rahasia dan faedah sesuatu (segala sesuatu, dalam arti
segala unsur-unsur yang berhimpun dalam melakukan dakwah, unsur
isi dakwah, unsur manusia yang dihadapi, unsur keadaan, ruang dan
waktu, unsur bentuk dan cara berdakwah yang sesuai), dalam paduan
yang seimbang antara pengetahuan itu dengan rasa periksa, sehingga
merupakan daya penggerak untuk sesuatu langkah yang tepat, dengan
itulah seorang muballigh dapat menentukan dan menjalankan kaifiat
dakwah yang efektif.7

b. Seorang da’i harus mampu mengadakan kontak pemikiran dan mencari


titik pertemuan sebagai tempat bertolak untuk maju secara sistematis
Akan sulit bagi seorang mubaligh/da’i memulai tugasnya apabila ia
tidak mendapat kontak sama sekali. Bertambah sulit lagi apabila
lantaran tidak mengenal lapangan operasinya, dia masuk tanpa
perhitungan sama sekali, lalu belum apa-apa sudah menimbulkan
pertentangan (antipasti), yang sebenarnya bisa dihindarkan dan sama
sekali tidak perlu. Ajaran-ajaran Islam sendiri cukup mempunyai daya
tarik. Bagi seorang Mubaligh soalnya ialah: memilih cara yang tepat
untuk menyampaikan dengan daya panggilan yang menarik pula.8

c. Seorang da’i harus mampu mengendalikan diri, memelihara


keseimbangan dan ketenangan jiwa, dan menghindarkan pemborosan
tenaga dengan sia-sia. Kadang-kadang seorang muballigh/da’i
dihadapkan pada sasaran dakwah yang memang sulit, sehingga usaha
dakwah yang dilakukan macet, bila ini yang ditemukan, Allah SWT
memberikan tuntunan dalam al-Qur’an sebagai berikut: Artinya:
“Mereka itu adalah : orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di
dalam hati mereka. karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan
berilah mereka pelajaran, dan Katakanlah kepada mereka perkataan
yang berbekas pada jiwa mereka”. (QS. An-Nisa: 63)

7
Amrullah Ahmad, Dakwah dan Perubahan Sosial, Editor, (Jakarta: PLP2M, 1998), hal 15.
8
Ibid.
C. Gerakan Dakwah

Dakwah adalah pekerjaan atau ucapan untuk mempengaruhi manusia


mengikuti Islam. Dakwah juga dapat diartikan sebagai aktivitas mengajak dan
menggerakkan manusia agar menaati ajaran Islam dengan melaksanakan amar
ma’ruf nahi mungkar, untuk dapat memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan di
akhirat. Dari pengertian di atas, secara substansial, dakwah dapat diartikan sebagai
sebuah proses penyampaian ajaran Islam kepada umat manusia dalam bentuk
amar ma’ruf nahi mungkar, dan keteladanan yang baik dalam kehidupan sehari-
hari dengan menggunakan metode yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat agar
dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.9

Dakwah ini merupakan kegiatan tertua sekaligus menjadi sebab terbentuknya


komunitas dan masyarakat, serta peradaban manusia yang mengantarkan kepada
cita-cita ideal dakwah, yaitu terwujudnya khairu ummah. Sebab itulah, menurut
M. Natsir, dakwah harus berpijak pada rasa cinta dan persaudaraan. Lebih lanjut,
M. Natsir menegaskan bahwa dakwah memiliki tujuan yang sangat mulia yaitu:

1. Memanggil kita kepada syariat untuk memecahkan persoalan-persoalan


hidup, baik perseorangan, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara.

2. Memanggil kita pada fungsi hidup kita sebagai hamba Allah di atas dunia
yang terbentang luas ini, berisikan manusia berbagai jenis, bermacam pola
pendirian, dan kepercayaannya, yakni fungsi sebagai syuhada alannas,
menjadi pelopor dan pengawas bagi umat manusia.

3. Memanggil kita kepada tujuan hidup kita yang hakiki, yaitu menyembah
Allah.10

Dengan demikian dakwah mengandung konsekuensi-konsekuensi dalam


penerapannya yaitu:

1. Dakwah hendaklah bersih dari rasa benci dan permusuhan.

2. Tutur kata para pelaku dakwah harus bersendikan pada akhlaqul karimah.

9
Suparta, Munzier dan Hefni, Harjani. 2003. Metode Dakwah.Jakarta: Kencana.
10
Ibid.
3. Menjauhi sifat suka menuding dan saling mengkafirkan, apalagi terkesan
membuka aib sesama manusia.

4. Menciptakan kondisi yang bersahabat dan akrab dengan para objek


dakwah agar mereka memiliki rasa melu handarbeni, ikut merasa
bertanggung jawab untuk meneruskan pesan-pesan tersebut kepada teman-
temannya yang lain sebagai kelanjutan dari informasi dakwah yang
diterimanya.11

Untuk merealisasikan terwujudnya cita-cita ideal tersebut, dakwah harus


dilakukan dengan strategi yang benar, disalurkan melalui media yang tepat, dan
menggunakan metode yang sesuai. Ini artinya bahwa dakwah harus tampil secara
aktual, faktual, dan kontekstual. Aktual artinya dakwah harus mampu
memecahkan persoalan kekinian yang sedang menjadi pembicaraan hangat di
masyarakat. Faktual artinya kongkrit dan nyata sesuai dengan keadaan yang
sebenarnya. Kontekstual artinya relevan dan menyangkut persoalan-persoalan
yang dihadapi masyarakat.12 Oleh karena itulah, memilih metode yang tepat
menjadi bagian dari strategi dakwah.

11
Ibid.
12
Helmy, Masdar. 1972. Dakwah Islam dalam Alam Pembangunan.Semarang: Toha Putra.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

M. Natsir adalah sosok negarawan, pemikir modernis, dan sekaligus mujahid


dakwah. Gagasannya yang terkenal adalah mengenai Islam dan negara
(demokrasi), Islam dan pancasila, serta gagasannya tentang dakwah. Gagasan M.
Natsir mengenai Islam dan Negara dan Islam dan Politik ini dapat dikategorikan
sebagai pandangan yang moderat. Dalam hal ini, ia tidak mengharuskan segala
sesuatu kepada tradisi sejarah Islam yang pernah ada. Misalnya, berkaitan dengan
kepala negara, ia amat luwes, tidak mengharuskan khalifah, presiden atau amirul
mu’minin. Baginya, yang terpenting adalah berjalannya ajaran Islam di tengah-
tengah masyarakat.

Dakwah merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh pribadi muslim baik
secara pribadi maupun secara berkelompok (para da’i/muballigh, lembaga agama,
dll). Dalam melaksanakan tugas seorang da’i harus mampu mengetahui tingkat
kemampuan sasaran dakwah, kondisi, materi dakwah (hikmah).

Seorang da’i mampu mengadakan kontak pemikiran, mampu menganalisa,


menghitung dan memprediksi sasaran dakwah. Syarat mutlak bagi seorang da’i
adalah harus mengetahui nilai-nilai ajaran Islam dan harus menjadi contoh yang
baik/uswatun hasanah, baik perkataan maupun perbuatannya, Seorang Da’i harus.
mempunyai akhlakul karimah, sebagaimana akhlak Rasulullah. Bahwa
keberhasilan dakwah sangat bergantung pada kesungguhan dan kemampuan para
da’i untuk melaksanakannya secara sistematis dan professional.
DAFTAR PUSTAKA

Jum’ah Amin Abdul Aziz, Fiqh Dakwah, Intermedia, (Jakarta: Cet. 1, 2000) h. 29

Amrullah Ahmad, Dakwah dan Perubahan Sosial, Editor, (Jakarta: PLP2M, 1998)

Natsir, Mohammad. 2000. Fiqhud Da’wah. Jakarta: Media Dakwah

Mulkhan, Abdul Munir. 1996. Ideologisasi Gerakan Dakwah Episod Kehidupan


M. Natsir dan Azhar Basyir. Yogyakarta: Sippress.

Suparta, Munzier dan Hefni, Harjani. 2003. Metode Dakwah.Jakarta: Kencana.

Helmy, Masdar. 1972. Dakwah Islam dalam Alam Pembangunan.Semarang: Toha


Putra.

Anda mungkin juga menyukai