Anda di halaman 1dari 7

Pemikiran Teologis Al-Maturidi: MENDAYUNG DIANTARA DUA KARANG

Dr. HM. Zainuddin, MA


Senin, 11 November 2013 . in Wakil Rektor I . 23475 views

Tidak seperti halnya Al-Asy’ari, tokoh yang dianggap sebagai salah satu pendiri
Ahlussunnah Wal Jama’ah ini sulit dilacak biografinya. "Tidak (banyak) yang tahu tentang
kehidupan Al-Maturidi", demikian tulis Gibb dan Kramers dalam Shorter Encylopaedia of
Islam (lihat Gibb dan Kramers, 1961:362). Nama lengkapnya adalah Abu Manshur
Muhammad bin Muhammad bin Mahmud Al-Maturidi As-Samanqandi. Lahir di Maturid (d)
atau Maturit (t) kira-kira tahun 238 H/852 M dan wafat tahun 333 H/944 M di Samarkand
(Khalif, 1979:1-3m dan Bandingkan dengan Ceric, 1995:19). Maturid adalah salah satu
desa di Samarkand, wilayah Biladu ma wa an-nahar (Transoxania), yang terletak di sebelah
utara sungai Amudaria (Turkistan, Rusia) (Ma’luf, 1986:631). Al-Maturidi dibesarkan dalam
lingkungan yang, dimana ilmu pengetahuan tumbuh pesat pada saat itu. Pengaruh
lingkungan inilah setidaknya yang menjadikan ia populer. Pada masanya, negeri tempat
lingkungannya juga menjadi ajang perdebatan semacam forum kajian mengenai masalah
Fiqh dan Ushul fiqh mazhab Hanafi dan Syafi’i demikian pula mengenai Ilmu Kalam. Oleh
sebab itu wajar jika ia banyak memperoleh informasi mengenai masalah-masalah ilmu
Fiqh, Ushul Fiqh maupun Kalam dari berbagai aliran. Hanya saja yang paling dominan
mewarnai pikirannya adalah Pemikiran Abu Hanifah seperti tertulis dalam Al-Fiqh Al-Akbar
(Abu Zahrah, 1946:195-196). Al-Maturidi berguru kepada Abu Nashir Ibn Yahya Al-Balkhy
(wafat 268 H) dalam ilmu Fiqh mazhab Hanafi dan Ilmu Kalam. Abu Nashr inilah yang
mengantarkan ia menjadi tokoh penting di kalangan umat Islam, ia pun memiliki karya-
karya besar baik di bidang ilmu Kalam maupun Tafsir dan Ushul Fiqh. Hanya sayang karya-
karya tersebut belum sempat tercetak dan masih dalam bentuk manuskrip (MSS,
makhtuthat). Kitab-kitabnya antara lain : Kitab at-Tauhid, Kitab al-Maqalat, Kitab Radd
Awail al-Adillah lil Kalbi, Kitab Bayan wahm al-Mu’t.azilah, Kitab Ta’wilat al-Qur’an
(Harun Nasution, 1986:76 lihat juga Hanafi, 1989:133). Fatchullah khalif (1979:6m)
mencatat karya-karya Maturid itu antara lain: Radd al-Ushul al-Khamsah Li Abi Muhamad
al-Bahily, Radd al-Jadal Lil Kalbi, Radd Waid al-Fasiq Lil Kalbi, Radd 'Ala Ushul al-Qarani,
Radd kitab al-Imamah Li Baldhi ar-Rhawafidh, Maakhiz As-Syarail Fil-Fiqh, Kitab al-Jadal Fi
Ushul al-Fiqh, Talwilat Ahlussunnah, At-Ta’wilat al-Maturidiyyah fi Bayan Ushul
Ahlissunnah wa Ushul at-Tauhid. Ia juga di kenal sebagai Imam al-Mutakallimin dan pendiri
madzhab Ahlussunnah Waljama'ah bersama Al-Asy'ari. Di bidang Fiqh ia lebih dekat
dengan Hanafi. Murid-muridnya yang terkenal antara lain: Abu Qasim Ishaq bin Muhammad
bin Ismail yang di kenal dengan al-Hakim as-Samarqandi (wafat tahun 340 H/951 M), Abu
Yusr Muhammad bin Abdul Karim al-Bazdawi (wafat tahun 493 H/1099M), Imam Abu Laits
Al-Bukhari, Al-Bayadhi, At-Taftazani, An-Nasafi dan lain-lain. Pemikiran Teologis Al-
Maturidi 1. Tentang Sifat Allah Mengenai pendapat Maturidi tentang sifat-sifat Allah ini
terdapat dua penjelasan yang berbeda. Harun Nasution menjelaskan, Maturidi sependapat
dengan Asy’ari bahwa Allah mempunyai sifat-sifat, yang lain dari zatnya. Kata Maturidi
Allah mengetahui bukan dengan Zat-Nya tapi dengan pengetahuannya (dengan sifat
pengetahuan) dan berkuasa bukan dengan zatnya. Penjelasan yang berbeda tentang ini
diberikan oleh Syekh Abu Zahrah. Kata Abu Zahrah (1946:207-208), Maturidi menetapkan
adanya sifat-sifat Allah, tapi sifat-sifat itu bukan sesuatu yang lain dari zat; sifat-sifat itu
bukanlah sifat-sifat yang berdiri dengan zat, tidak pula terpisah dari zat. Sifat-sifat itu
tidak memiliki wujud yang lepas dari zat, sehingga tidak daqat berbilangnya sifat
membawa kepada berbilangnya wujud yang qadim. Pendapat Maturidi itu menurut Abu
Zahrah sebenarnya mendekati paham Multazilah atau hampir sama dengan Mu'tazilah.
Ibrahim Madkur mengemukakan bahwa kaum Maturidiyyah menetapkan adanya sifat-sifat
Allah yang berbeda dari sifat-sifat wujud yang baru. Selanjutnya dikemukakan sebagai
berikut: ‫( فاهلل عالم بعلم ال كالعلوم وقادر بقدرة ال كالقدر‬Maka Allah mengetahui dengan ilmu yang tidak
seperti ilmu-ilmu yang lain, dan berkuasa dengan kekuasaan yang tidak seperti kekuasaan-
kekuasaan lain). Sementara kaum Asy'ariyyah memandang Al-Baqa’ sebagai sifat tambahan
atas zat ( (‫زائدة على الذات‬maka kaum Maturidiyyah mengingkarinya. Dalam keterangan Ibrahim
Madzkur disebutkan juga bahwa kaum Maturidiyyah seperti halnya kaum Asy’ariyah,
menetapkan sifat-sifat Zatiyah seperti: ‘ilm, qudrah, iradah dan lain-lain serta
memandang sifat-.sifat tersebut sebagai makna qadim yang beridiri pada zat Allah, tapi
sifat-sifat itu bukanlah zatnya dan bukan pula lain dari zat-Nya (A. Aziz Dahlan, 1987:113).
Demikianlah kita jumpai dua penilaian. Di satu sisi menyatakan, bahwa Maturidi sepaham
dengan Asy’ariyyah dan di sisi lain menyatakan, bahwa Maturidi hampir sepakat dengan
Mu’tazillah. 2.Tentang Anthropomorphisme Anthropomorphisme atau at-tasybih, yaitu
paham yang mengatakan bahwa Allah mempunyai anggota badan atau Allah mempunyai
sifat-sifat Jasmaniyah yang sama dengan sifat-sifat jasmani manusia. Al-Maturidi menolak
faham di atas. Kata Al-Maturidi bahwa Allah harus disucikan dari sifat-sifat jasmani,
tempat dan waktu, maka apabila terdapat ayat-ayat yang menunjukkan sifat-sifat
tersebut, seperti Allah memiliki muka, tangan, mata, kaki dan lain sebagainya harus
dita’wilkan. Maka ayat yang berbunyi: )16 :‫" ونحن اقرب اليه من حبل الوريد (ق‬Dan Kami lebih Hekat
kepadanya dari urat nadi” dita’wil oleh al- Maturidisebagai isyarat kepada kerajaan Allah
dan kesempurnaan kekuasaannya. Dengan paham ini al-Maturidi lebih dekat dengan
Mu’tazailah. Begitu pulka dalam menafsirkan tangan, muka, mata dan kaki adalah
kekuasaan dan kekuatan Allah (Abu Zahrah, 1946: 207 208). 3.Tentang Al-Our’an Tentang
Al-Qur'an makhluk atau bukan, maka Maturidi menetapkan bahwa kalamullah adalah
makna yang berdiri pada zat-Nya dan dengan demikian merupakan satu sifat dari sifat-
sifat yang berhubungan dengan zat-Nya, qadim –dengan qadimnya zat Yang Maha Tinggi—
tidak tersusun dari kiata dan huruf. Adapun Al-Qur 'an al-Karim yang terdi dari huruf dan
kata, yang menunjuk kepada makna yang qadim adalah baru dan dengan demikian Maturidi
sependapat dengan Multazilah. Maturidi kata Abu Zahrah menyatakan bahwa al-Qur'an itu
baru (hadits) kendati tidak menyebutnya makhluk atau tidak makhluk. Pada tulisan Harun
Nasution dijumpai keterangan yang agak berbeda. Dikatakan bahwa kaum Maturidiyyah
dengan kedua golongannya (Maturidi Samarkand dan Bukhara) sependapat dengan kaum
Asy'ariyyah bahwa sabda Tuhan atau Qur'an adalah kekal. Qur’an kata Maturidi adalah
sifat kekal dari Tuhan, satu, tidak terbagi, tidak bahasa Arab atau bahasa Syria, tetapi
diucapkan manusia dalam ekspresi berlainan. Bazdawi sendiri sebagai tokoh Bukhara hanya
mengatakan bahwa apa yang tersusun dan disebut Qur’an bukanlah sabda Tuhan, tetapi
merupakan tanda dari sabda Tuhan. Qur’an disebut kalamullah dalam arti kiasan (Harun
Nasution, 1998:139). Pendapat Al-Maturidi ini dijelaskan pula oleh Al-Bayadhi dalam
Isyarat Al-Maram, bahwa Allah berfirman tetapi tidak sebagaimana perkataan manusia.
Pernyataan ini sebagai petunjuk adanya penolakan: pertama, terhadap Mu’tazilah yang
meniadakan adanya al-Kalam an-Nafsi, kedua, terhadap pendapat Al-Hasywiyyah yang
menyatakan bahwa kalam Allah adalah berupa ucapan, qadim, tersusun dari beberapa
huruf dan kalimat, berdiri pada dzat-Nya, ketiga, terhadap pendapat Al-Karamiyah yang
menyatakan bahwa kalam Allah adalah berupa ucapan, tetapi ia adalah baru (hadits) yang
berdiri pada zat-Nya (Ahmad Taqwim, 1990:.3). Dengan demikian jelas pendapat Al-
Maturidi senada dengan pendapat Al-Asylari, yang sama-sama menolak Mu’tazilah.
Sebagaimana kata Mu'tazilah, bahwa firman Allah bukanlah sifat, tetapi perbuatan Allah
yang sekaligus menyatakan bahwa Al-Qur’an tidak bersifat kekal tetapi baru (hadits) dan
ciptaannya (makhluk) (Harun Nasution, 1989:143-144). 4.Tentang Melihat Tuhan Al-
Maturidi sependapat dengan Al-Asy’ari, yang menyatakan bahwa Allah dapat dilihat kelak
di hari kiamat, yang ditolak oleh Mu’tazilah. Penolakan Mu’tazilah atas dasar logika,
bahwa melihat itu menghendaki adanya tempat baik bagi yang melihat maupun yang
dilihat. Dengan ini maka Allah harus mengambil tempat. Padahal Allah Maha Suci dari
pengambilan tempat dan peredaran waktu. Sedangkan argumentasi Al-Maturidi dalam
mempertahankan pendapatnya adalah bahwa melihat Allah di hari kiamat termasuk
peristiwa (ahwal) dari kiamat itu sendiri. Sedangkan ahwal hari kiamat tentang apa dan
bagaimana caranya itu yang mengetahui hanya Allah saja dan kita hanya mengetahui
ungkapan yang menetapkan hal itu tanpa mengetahui bagaimana caranya( Abu Zahrah,
1946:278). 5.Tentang Perbuatan Manusia Kalau menurut paham Mu’tazilah, yang
mengambil dari faham Qadariyah, bahwa manusialah yang menciptakan perbuatannya
sendiri. Sedangkan faham Asy'ariyah yang dekat dengan faham Jabariyah menyatakan,
bahwa perbuatan manusia adalah diciptakan oleh Allah dan al-Kasb (perolehan) dari
manusia, yang dengan adanya al-Kasb ini mengakibatkan adanya taklif, pahala serta siksa.
Maka faham Al-Maturidi menyatakan, bahwa segala sesuatu termasuk perbuatan manusia
adalah diciptakan Allah sesuai dengan firmannya: ( 96:‫ وهللا خلقكم وما تعملون (الصفا ت‬Lantas
timbul permasalahan, bagaimana cara memadukan konsep adanya usaha manusia dan
konsep perbuatan manusia itu sebagai ciptaan Allah ciptaan Allah? Untuk menjawab
permasalahan ini Al-Maturidi seperti Al-Asy’ari, menggunakan term al-Kasb. Akan tetapi
teori al-kasb Maturidi berbeda dengan teori al-Kasb Al-asy'ari. Kalau teori al-Kasb Al-
Asy'ari menyatakan bahwa kebersamaan antara perbuatan manusia ciptaan Allah dan usaha
manusia yang statusnya pasip, sehingga al-Kasb itu sendiri adalah ciptaan Allah, maka
teori al-Kasb Al-Maturidi menyatakan, bahwa al-Kasb adalah suatu daya yang dititipkan
Allah kepada manusia dan manusia bebas memilih antara berbuat dan tidak berbuat.
Dengan kebebasan memilih inilah maka ada pahala dan siksa. Dengan demikian tidak ada
pertentangan antara, perbuatan manusia sebagai ciptaan Allah dan ikhtiar manusia. Dalam
hal perbuatan manusia ini dapat dikatakan bahwa Al-Maturidi berada diantara pendapat
Mu’tazilah dan Al-Asy’ari. Jelasnya kalau Mu’tazilah berpendapat, bahwa perbuatan
manusia itu diciptakan oleh dirinya sendiri, lalu Al-Asy'ari berpendapat bahwa manusia
tidak mempunyai kemampuan sedikitpun untuk menciptakan perbuatannya melainkan
hanya memilik al-Kasb yang bersifat pasif, maka Al-Maturidi berpendapat bahwa al-kasb
adalah bersifat aktif dan manusialah yang menentukan. Adapun perbedaannya dengan
Mu'tazilah mengenai keberadaan daya sebelum adanya perbuatan, maka Al-Maturidi
berpendapat bahwa keberadaan daya (istithalah) muncul bersama-sama dengan perbuatan
(Abu Zahrah, 1946:208 dan lihat As-Syahrastani, tt:97). Dari pendapat Al-Maturidi ini
nampak jelas adanya usaha untuk menseimbangkan antara kemutlkan kekuasaan dan
kemahaadilan-Nya, dimana ia tetap mengakui bahwa perbuatan manusia diciptakan Allah
tetapi manusia memiliki kebebasan untuk memilih antara berbuat dan tidak berbuat.
Dengan demikian manakala manusia memilih berbuat maksiat akan mendapatkan siksa. Ini
sesuai dengan keadilan Allah, janji dan ancamannya. Hanya saja perlu ditegaskan pula
bahwa dalam hal ikhtiar atau kebebasan memilih, pendapat Al-Maturidi tidak seluas
pendapat Mu’tazilah, karena menurut Al-Maturidi perbuatan manusia mempunyai wujud
atas kehendak Allah bukan atas kehendak manusia. Oleh karena masalah ini dengan
masalah ikhtiar dirasa bertentangan maka Al-Maturidi membawa ke teori masyiah atau
kemauan dan ridla atau kerelaan. Manusia berbuat baik dan berbuat buruk atas kehendak
Allah, tetapi Allah tidak rela manusia berbuat buruk. Untuk itu apabila manusia berbuat
baik, atas kehendak dan kerelaan Allah, tetapi apabila berbuat buruk atau jahat atas
kehendak Allah namun tidak diridlai-Nya. Maturidi menurut hasil penelitian Harun Nasution
(1989:113) mempunyai paham Qadariyyah dan bukan paham Jabbariyah atau Kasab Asy'ari.
Maturidi sepaham dengan Mu'tazilah dalam menegaskan bahwa manusialah yang
mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Sebagai pengikut Imam Abu Hanifah, Maturidi
membagi perbuatan itu kepada dua, yaitu perbuatan Tuhan yang mengambil bentuk
penciptaan daya dalam diri manusia, dan perbuatan manusia yang mengambil bentuk
pemakaian daya itu berdasarkan pilihan dan kebebasan manusia. Daya diciptakan Tuhan
bersama-sama dengan perbuatan manusia dan atas dasar itulah dikatakan bahwa
perbuatan manusia itu diciptakan oleh Tuhan. Perbuatan yang diciptakan itu diperoleh
manusia dengan peranan efektif dari pihak manusia, yakni dengan menggunakan daya yang
diciptakan itu manusia bisa juga tidak menggunakannya, sehingga tidak memperoleh
perbuatan. Memang Maturidi juga mempunyai paham kasab, tetapi esensi paham kasab
Maturidi berbeda jauh dari paham kasab Asy’ari . Kasab asy'ari seperti kata Ibnu Hazm dan
Ibnu Taimiyah, adalah jabariyyah penuh karena selain perbuatan diciptakan Tuhan juga
kasab dalam paham Asylari diciptakan Tuhan, tidak ada peranan efektif dari manusia
dalam memperoleh suatu perbuatan dan tidak ada peranan efektif dari pihak manusia
dalam kasab Asy’ari (Harun Nasution, 1989:106-107, lihat pula Abu Zahrah, 1946:205).
Kasab Maturidi tidak seperti kasab Asylari, esensi kasab Maturidi tidak lain dari qadariyyah
kendati Maturidi tidak mau menyebut bahwa perbuatan manusia dalam arti yang
sebenarnya itu adalah perbuatan yang diciptakan manusia. Dalam ungkapan Maturidi
perbuatan manusia tetap ciptaan Tuhan tetapi manusia sanggup mendapatkan perbuatan
itu dengan daya yang diciptakan dalam dirinya dan juga sanggup tidak memperolehnya
dengan daya yang diciptakan Tuhan itu. Manusia bebas memilih untuk mendapatkan atau
untuk tidak mendapat suatu perbuatan. Pada kebebasan memilih itulah tergantung
adanya pahala dan siksaan. Demikianlah Maturidi berusaha menuniukkan peranan efektif
manusia dalam memperoleh suatu perbuatan tanpa menafikah bahwa perbuatan itu adalah
ciptaan Tuhan. Bila kasab Asylari mengandung arti "memperoleh/menerima perbuatan
secara pasif", maka kasab Maturidi mengandung arti "mengusahakan secara aktif/efektif
sehingga memperoleh suatu perbuatan" (A. Aziz Dahlan, 1987 :110.19). Kebebasan manusia
dalam paham Maturidi adalah kebebasan dalam mentaati atau melanggar apa yang
diperintahkan/dilarang Tuhan. Apa yang diperintahkan Tuhan adalah perbuatan yang baik
yang diridlainya dan apa yang dilarangnya adalah perbuatan buruk yang tidak diridlainya.
Bila dalam paham Maturidi dikatakan bahwa manusia tidak bisa melanggar kehendak
Tuhan., maka hal itu tidak berarti bahwa manusia tidak mempunyai pilihan dan
kebebasan. Tuhan dalam paham Maturidi menghendaki yang baik dan yang buruk dengan
demikian manusia tidak dapat melanggar kehendak Tuhan. Bila dibandingkan dengan
paham Multazilah, maka ungkapan kaum Mu’tazilah lain. Menurut Mu’tazilah manusia
dapat melanggar kehendak Tuhan. Terdapat perbedaan ungkapan antara paham Maturidi
yang menyatakan bahwa manusia tidak dapat melanggar kehendak Tuhan dengan paham
Mu'tazilah yang menytakan bahwa manusia dapat melanggar kehendak Tuhan. Dalam
paham Maturidi yang dapat dilanggar bukan kehendak Tuhan, tapi perintah atau
larangannya. Bagaimanapun berbedanya ungkapan tersebut namun kebebasan manusia
dalam paham Maturidi tidaklah lebih sempit dari kebebasannya dalam paham Mu’tazilah.
Dalam paham Mu’tazilah manusia bebas untuk mentaati atau mendurhakai kehendaknya
dan yang dikehendaki Tuhan adalah apa yang diperintahkannya yakni perbuatan baik yang
tentu diridlainya, sedang perbuatan buruk yang dilarangnya adalah perbuatan yang tidak
dikehendakinya. Dalam paham Maturidi manusiapun bebas untuk mentaati atau
mendurhakai apa yang diridlainya dan yang diridlainya itu tidak lain dari apa yang
diperintahkannya yakni perbuatan yang baik. Jelas bahwa Maturidi dan Mu'tazilah
sepaham bahwa manusia sanggup mentaati perintah Tuhan dan juga sanggup mendurhakai
perintahnya. Disinilah letak sama luasnya kebebasan kehendak manusia dalam paham
Maturidi dan Mu’tazilah. Tidak bebasnya manusia --dalam paham Maturidi-- untuk
melanggar kehendak Tuhan sejalan dengan paham Mu’tazilah yang juga menyatakan
bahwa manusia tidak bisa melanggar sunnatullah, yang tidak lain dari manifestasi
kehendaknya. Tuhan dalam paham Mu’tazilah menghendaki manusia bisa mentaati
perintahnya dan bisa melanggarnya. Dapat dikatakan bahwa apa yang diperintahkan Tuhan
menurut paham Multazilah adalah kehendaknya yang khusus dalam kehendaknya yang
umum berupa sunnatullah. Manusia dalam paham Mu'tazilah dapat melangar kehendak
khusus dari Tuhan (yakni perintahnya) tapi tidak dapat melanggar kehendaknya yang
umum (yakni sunnatullah), sebagaimana manusia dalam paham Maturidi tidak dapat
melanggar kehendak Tuhan tapi dapat melanggar perintah-perintah-Nya (A. Aziz Dahlan,
1987:111). 6.Tentang Pelaku Dosa Besar Menurut Khawarij pelaku dosa besar dihukum
kafir dan tolah hilang imannya. Aliran Murji’ah sebaliknya dosa tidak membahayakan iman
sebagaimana taat tidak akan bermanfaat bersama kekufuran. Sementara aliran Qadariyyah
dan Mu'tazilah berpendapat bahwa dosa besar dapat mengeluarkan pelakunya dari iman
tetapi tidak menjadi kafir. Jadi pelaku dosa besar berposisi antara mu'min dan kafir.
Apabila ia bertaubat dan tidak mengulangi perbuatannya lagi, maka sebelum ia meninggal
dunia dihukumi mu'min, tetapi kalau ia meninggal sebelum bertaubat, dihukumi kafir dan
kekal di neraka kelak. Sedangkan Al-Maturidi berpendapat iman tidak akan hilang karena
sebab melakukan dosa besar, karena iman tempatnya di hati (al-qalb), sedangkan
perbuatan maksiat tempatnya di anggota badan. Iman dan maksiat mempunyai tempat
yang berbeda dan tidak saling mempengaruhi (Ahmad Taqwim, 1990:5). Di samping itu Al-
Matiridi mendasarkan pendapatnya bahwa amal perbuatan bukan sebagian (juz) dari iman.
Karena itu orang yang melakukan maksiat tidak akan mempenqaruhi imannya, walaupun ia
nanti akan dihisab dan disiksa di akhirat kelak. Dan pelaku dosa besar walaupun mati
sebelum bertaubat, tidak akan kekal di neraka. Hal ini berdasarkan firman Allah, bahwa
Allah tidak akan menyiksa seseorang yang berbuat dosa kecuali dengan siksaan yang
setimpal (lihat QS. Al-An’am:16). Untuk itu orang yang tidak kafir dan tidak pula musyrik,
maka dosanya di bawah dosa orang kafir dan musyrik. Sedangkan Allah menyediakan
siksaan selamanya sebagai balasan perbuatan kufur dan syirik. Oleh karenanya apabila
Allah menyiksa pelaku dosa besar yang masih memiliki iman sama dengan siksaan orang
kafir, berarti siksaannya meleihi kadar atau ukuran dosanya. Ini tidak sesuai dengan janji
Allah yang tidak akan berbuat zalim kepada hambanya, dan tidak akan ingkr janjinya pula.
Begitu pula menyamakan siksaan antara orang kafir dengan pelaku dosa besar termasuk
bertentangan dengan sifat keadilan Allah, karena orang mukmin yang melakukan dosa
besar telah berbuat yang lebih baik dari pada orang kafir (iman) dan tidak berbuat yang
lebih jelek dari padanya (kufur). Maka apabila Allah mengekalkan pelaku dosa besar di
neraka, berarti Allah memberatkan pembalasannya yang lebih jelek sebagai ganti pahala
kebaikan yang paling utama. Padahal tuntutan keadilan dan kebijaksanaan Allah adalah
memberi balasan yang setimpal tidak melebihi kecuali dalam hal memberikan pahala (lihat
Abu Zahrah, 1946:209-210). Pada akhirnya Al-Maturidi berkata bahwa pendapat yang benar
adalah nasib pelaku dosa besar kita serahkan kepada keputusan Allah. Apabila Allah
menghendaki memberi maaf, sebagai anugerah dan rahmatnya tidak ada salahnya jika
memang itu yang dikehendakinya. Tetapi apabila Allah menghendaki menyiksa mereka,
maka tidak ada salahnya Allah menyiksanya sesuai denqan kadar dosanya. Tetapi yang
jelas mereka tidak akan disiksa selamanya di neraka kelak. Begiti pula dengan
kemahakuasaan Allah, Allah berhak menyiksa pelaku dosa kecil dan mengampuni pelaku
dosa besar sebagaimana firmannya: ‫ان هللا اليغفر ان يشرك به ويغفر ما دون دالك ومن يشرك باهلل فقد ضل ضالال‬
7 @)116 :‫بعيدا (النسا ء‬.Tentang Kemampuan Akal dan Fungsi Wahyu Menurut Al-Maturidi akal
manusia mampu mengetahui (ma’rifat) Allah. Karena hal ini sesuai dengan perintah Allah
kepada kita agar selalu memikirkan kekuasaannya baik di langit maupun di bumu. Sebab
hal ini akan menyampaikan manusia untuk menqetahui dan mengimaninya. Begitu pula
akal manusia semata dapat mengetahui baik dan buruk. Akan tetapi akal manusia tidak
dapat mengetahui kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat atau buruk
(Al-Ahkam at-taklifiyyah) Sedang menurut Al-Bazdawi, bahwa al-Maturidi sependapat
dengan Multazilah, bahwa percaya kepada Allah dan berterima kasih kepadanya sebelum
datangnya wahyu adalah wajib (Abu Zahrah, 1946:201-202). Dengan demikian jelas sekali
kedudukan akal kuat sekali menurut Al-Maturidi karena akal semata dapat mengetahui
Allah, berterima kasih kepadanya, mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk.
Sedangkan wahyu di sini berfungsi menunjukkan sesuatu yang tidak dapat diketahui akal,
yaitu mengetahui kewajiban mengerjakan yang baik dan menjahui yang buruk. Menurut
Abu Uzbah, Maturidi berpendapat bahwa anak yang telah berakal berkewajiban
mengetahui Tuhan. Maturidi sepaham dengan Mu'tazilah menyatakan, bahwa kematangan
akal lah yang menentukan kewajiban-kewajiban mengetahui Tuhan bagi anak., bukan
tercapainya usia dewasa oleh anak itu. Selanjutnya Maturidi berpendapat bahwa akal
manusia dapat mengetahui kewajiban berterima ksih kepada Tuhan, karena Ia adalah
pemberi nikmat yang terbesar dalam hidup sehari-hari akal dapat mengetahui keharusan
berterima kasih kepada pemberi nikmat (Harun Nasution, 1989:89-90). Akal dalam paham
Maturidi selain mampu mengetahui adanya Tuhan, kewajiban mengetahuinya dan
bertterima kasi h kepadanya juga mampu mengetahui bai k dan buruk. Menurut tulisan
Muhammad Abduh Maturidiyyah dan Mu’tazilah sependapat bahwa perintah dan larangan
Tuhan erat hubungannya dengan nature (sifat dasar) suatu perbuatan. Dengan kata lain,
upah dan hukuman digantungkan pada sifat yang terdapat dalam perbuatan itu sendiri.
Kata Maturidi akal mengetahui sifat baik yang terdapat dalam perbuatan baik dan sifat
buruk pada perbuatan yang buruk pengetahuan inilah yang menyebabkan akal berpendapat
bahwa mesti ada perintah dan larangan Tuhan. Adanya perintah dan larangan Tuhan
adalah wajib menurut akal, kata Maturidi. Mengenai kewajiban manusia sebelum
datangnya wahyu untuk mengerjakan perbuatan baik dan menjauhi perbuatan buruk tidak
dijumpai pendapat Maturidi (Harun Nasution, 1989:89-90). 8.Tentang Kewajiban Allah
Terhadap Manusia Selanjutnya kita akan melihat paham Maturidi tentang kewaj iban
Tuhan. Menurut abu Zahrah, Maturidi berusaha menghindari ungkapan "wajib bagi Tuhan
untuk berbuat al-Shalah wal ashlah" (yang baik dan yang terbaik) sebagaimana yang bisa
diungkapkan oleh kaum Mu'tazilah. Kendatipun demikian abu Zahra berpendapat bahwa
esensi paham Maturidi dengan Multazilah adalah sama yakni : perbuatan-perbuatan Tuhan
berlangsung karena hikmah yang ditentukannya dan tidak mungkin sia-sia. Maturidi
berpendapat bahwa Allah suci dari berbuat sia-sia. Dia Maha Bijaksana dan Maha
Mengetahui. Oleh karena itu perbuatan-perbuatannya didasarkan pada hikmah tertentu
(Abu Zahrah, 1946:204). Maturidi menurut Syarh Al-Fiqh al-Akbar, tidak setuju dengan
pendapat kaum Asy'ariyyah tentang tidak mustahilnya Tuhan memberi beban yang tidak
dapat dipikul, Maturidi tidak setuju itu, karena Tuhan menyatakan :‫اليكلف هللا نفسا االوسعها (البقزه‬
33 (Allah tidak membebani seseorang kecuali menurut kemampuannya). Pemberian beban
yang tidak dapat dipikul itu tidaklah sesuai dengan pahamnya tentang "manusialah
sebenarnya yang mewujudkan perbuatannya, bukan Tuhan." Selanjutnya diketahui bahwa
kaum Maturidiyyah Samarkand sependapat dengan Mu'tazilah bahwa janji Tuhan (walad
dan walid) tidak boleh tidak mesti terjadi kelak. Banyak pula kaum Maturidiyyah
Samarkand yang sepaham dengan Mu’tazilah mengenai kewajiban pengiriman rasul oleh
Tuhan (Harun Nasution 1986:131). 9.Janji dan Ancaman Dalam hal janji dan ancaman ini
pula nampak sekali pendapat Al-Maturidi konsisten dengan pendapat-pendapat di atas
yang menonjolkan juga sifat keadilan Allah. Karenanya Al-Maturidi berpendapat, Allah
wajib menepati janjinya dan melaksanakan ancaman-ancamannya. Demikian secara garis
besar pemikiran teologis Al-Maturidi, disamping masih banyak pendapa-pendapatnya yang
belum penulis uraikan dalam makalah ini, seperti masalah syafa'at, definisi iman, apakah
Nabi Muhammad lebih utama dari pada Nabi Adam juqa masalah kemakhlukan sorga dan
neraka yang telah dipaparkannya dalam Syarh Fiqh al-Akbar. Kesimpulan Dari beberapa
keterangan di atas dapat disimpulkan secara garis besar dua hal tersebut di bawah ini: 1.
Dal am banyak hal, pemikiran teologis Al-Maturidi lebih rasional dari pada pemikiran Al-
Asy’ari. Pendapatnya Iebih dekat dengan Mu'tazilah, seperti dalam menjelaskan tentang
Anthropomorphisme, kewajiban Allah terhadap manusia, beban di luar kemampuan
manusia, pelaku dosa besar, kemampuan akal dan fungsi wahyu, pengiriman rasul serta
janji dan ancaman. Tetapi juga kadang-kadang berposisi di tengah-tengah antara faham
Mu’tazilah dan Al-Asy'ari, seperti dalam menjelaskan tentang sifat Allah, kalam Allah, dan
perbuatan manusia. 2. Walaupun Al-Maturidi sama-sama tokoh Ahlus Sunah Wal- Jama’ah
dengan Al-Asy'ari, namun secara garis besar pendapat-pendapatnya lebih dekat dengan
Mu'tazilah. Ini menunjukkan bahwa pemikiran-pemikiran teologis Ahlus Sunnah wal
Jama’ah tidak sedikit yang berdekatan dengan faham Mu’tazilah.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Taqwim.1990. Pemikiran Teologis Abu Mansur Al-Maturidi, Makalah, Pasca Sarjana
As-Syah rastani, Al-Milal Wa An-Nihal, I, Mesir Mustafa al-bab al-Halabi Abdul aziz Dahlan.
1987. Sejarah Perkembangan pemikiran dalam Islam, jakarta, Bennabi Cipta, Fatchullah
Khalif. 1979. Kitab at-Tauhid Lil Imam Abu Manshur, AlMahtabah Al-Islamiyyah, Istanbul,
H.A.R.Gibb.& J.H.Kramers, Shorter Encyclopaedia of Islam, Zuzac & co. Hanafi. 1989.
Pengantar Theology Islam, Jakarta, Pustaka Al-Husna Harun Nasution. 1989. Teologi
Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta, Louis Ma'luf, 1986, Al-Munjid
Fil-Lughah wal-Allam, Dari Almasyril, Beirut, 1986, UI Press, Mustafa Ceric .1995. Roots
of Synthetic Theology In Islam. a study of The theology of Abu Manshur al-Maturidi Kuala
Lumpur, ISTAC. Muhammad Abu Zahrah. 1946. Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah, Juz I, Dar
al-Fikr al-Arabi,.
https://www.uin-malang.ac.id/r/131101/pemikiran-teologis-al-maturidi-mendayung-
diantara-dua-karang.html

Anda mungkin juga menyukai