Anda di halaman 1dari 22

Referat

FAKTOR RISIKO ERITEMA NODOSUM LEPROSUM

Disusun Oleh :
Siti Syarifah Jasmin Vivienka, S.Ked
NIM : 71 2019 073

Pembimbing :
dr. Rilliani Hastuti, Sp. KK

SMF ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


RS. KUSTA DR. RIVAI ABDULLAH
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2020

i
HALAMAN PENGESAHAN

Presentasi Referat

Faktor Risiko Eritema Nodosum Leprosum

Disajikan Oleh :

Siti Syarifah Jasmin Vivienka, S.Ked


NIM : 71 2019 073

Pembimbing :
dr.Rilliani Hastuti, Sp. KK

Telah dipresentasikan dan diterima sebagai salah satu syarat untuk mengikuti
ujian Kepaniteraan Klinik Senior di Departemen Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin RS. Kusta Dr. Rivai Abdullah

Palembang, September 2020


Pembimbing,

dr. Rilliani Hastuti, Sp. KK

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis memanjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Faktor
Risiko Eritema Nodosum Leprosum”, untuk memenuhi tugas Kepaniteraan
Klinik Ilmu Kulit dan Kelamin RS. Kusta Dr. Rivai Abdullah. Shalawat dan
salam selalu tercurah kepada Rasulullah Muhammad SAW beserta para keluarga,
sahabat, dan pengikutnya hingga akhir zaman.
Terima kasih juga penulis ucapkan kepada dr.Rilliani Hastuti, Sp. KK yang
telah membantu dalam penulisan laporan kasus ini sehingga dapat diselesaikan
tepat pada waktunya.
Laporan kasus ini menguraikan tentang Faktor Risiko Eritema Nodosum
Leprosum. Dengan laporan kasus ini diharapkan dapat menambah pengetahuan
bagi penulis dan orang banyak yang membacanya terutama mengenai penyakit
ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan laporan kasus ini
masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun sebagai bahan
pertimbangan perbaikan dimasa mendatang.

Palembang, September 2020

Penyusun

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN........................................................................ii
KATA PENGANTAR....................................................................................iii
DAFTAR ISI...................................................................................................iv

BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang...........................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Definisi......................................................................................................2
2.2 Epidemiologi...............................................................................................3
2.3 Etiologi .....................................................................................................3
2.4 Patofisiologi ..............................................................................................5
2.5 Faktor Risiko………………………………………………………….6
2.6 Klasifikasi ..................................................................................................8
2.7 Manifestasu Klinis......................................................................................8
2.8 Diagnosis ...................................................................................................9
2.9 Diagnosis Banding.....................................................................................11
2.10 Penatalaksanaan .......................................................................................12
2.11 Komplikasi ...............................................................................................14
2.12 Prognosis ..................................................................................................15

BAB III KESIMPULAN................................................................................16


DAFTAR PUSTAKA

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit Morbus Hansen atau Lepra/Kusta adalah penyakit menular
yang sifatnya kronik dan disebabkan oleh Mycobacterium leprae, terutama
mengenai sistem saraf perifer, kulit, namun dapat juga terjadi pada mukosa
traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali
susunan saraf pusat.
Kusta merupakan penyakit tertua yang sampai sekarang masih ada.
Kusta merupakan penyakit yang sangat ditakuti oleh masyarakat karena
dapat menyebabkan ulserasi, mutilasi dan deformitas. Kata kusta berasal dari
bahasa India kustha,dikenal sejak 400 tahun SM. Kata lepra disebut dalam
kitab Injil,terjemahan dari bahasa Hebrew zaraath.
Kusta (lepra atau penyakit Hansen) adalah infeksi menahun yang
disebabkan oleh Mycobacterium leprae, bakteri ini menyerang saraf perifer,
kulit, mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian organ lainnya.
Kuman dapat ditemukan di kulit, folikel rambut, kelenjar keringat, dan ASI,
namun jarang di urin. Mycobacterium leprae masih belum dapat dibiakkan
dalam medium buatan sehingga diagnosis yang tepat dalam waktu pendek
masih belum memungkinkan. Pada sebagian besar orang yang terinfeksi,
penyakit bersifat asimptomatik. Sebagian kecil terlambat didiagnosis dan
terlambat diobati, memperlihatkan gejala klinis dan mempunyai
kecenderungan untuk menjadi cacat. Tetapi diagnosis dapat dibuat
berdasarkan gejala-gejala klinis yang spesifik pada pasien.1 Penyakit ini
disebarkan melalui droplet infeksi dan mempunyai masa tunas yang panjang
(antara 2 bulan sampai 40 tahun)1
Distribusi angka penemuan kasus baru kusta di dunia yang terlapor di
WHO pada awal tahun 2012 Jumlah kasus baru kusta di dunia pada tahun
2011 adalah sekitar 219.075. Dari jumlah tersebut paling banyak terdapat di
regional Asia Tenggara (160.132) diikuti regional Amerika {36.832),
regional Afrika (12.673), dan sisanya berada di regional lain di dunia.

1
Kusta menimbulkan berbagai masalah jika tidak segera ditangani yaitu
bukan hanya dari segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial, ekonomi,
budaya, keamanan dan ketahanan nasional. Penyakit kusta sampai saat ini
masih ditakuti masyarakat, keluarga dan sebagian petugas kesehatan. Hal ini
disebabkan masih kurangnya pengetahuan, kepercayaan yang keliru terhadap
kusta dan cacat yang ditimbulkannya.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Eritema nodosum leprosum (ENL) merupakan masalah yang serius, dan
sulit untuk menangani komplikasi akibat inflamasi kusta tipe lepromatosa
(LL) atau borderline lepromatous (BL), dengan manifestasi klinis sebagai lesi
yang nyeri, nodul erythematous disertai dengan demam, malaise dan
peradangan di tempat lain dapat berupa iritis, arthritis, neuritis dan
limfadenitis. ENL dapat terjadi sebelum, selama atau setelah pengobatan
dengan terapi multidrug tetapi pada kebanyakan pasien ENL terjadi selama
tahun pertama pengobatan.2
ENL (atau tipe 2 reaksi ) adalah suatu imun-yang diperantarai oleh
fenomena yang terjadi pada pasien dengan LL atau BL. Reaksi ini
menyebabkan peradangan akut pada organ atau jaringan yang diserang oleh
basil M.Lepra. Lesi kulit tampak sebagai nodul erythematous, papula lembut
atau nodul yang mungkin dangkal atau dalam. Lesi eritema nodosum berbeda
secara klinis dari perjalanan penyakit secara alamiah, dari banyaknya lesi dan
luasnya distribusi penyebaran sampai pada tungkai bawah. Pada reaksi berat,
lesi kulit dapat menjadi vesikular, bulosa atau nekrotik. Reaksi ini ENL
umumnya disertai dengan gejala umum yaitu dengan demam tinggi, gejala
sistemik, edema wajah, tangan dan kaki, dan proteinuria. Manifestasi lain
termasuk iritis, episkleritis, arthritis, arthralgia, dactylitis, limfadenopati,
organomegali dan orkitis. Neuritis dapat menjadi bagian dari ENL tetapi
seringkali lebih ringan dibandingkan yang terlihat pada reaksi tipe 1.2.3

3
Gambar 1. Nodul eritema nodosum Leprosum1

2.2. Epidemiologi
Reaksi tipe 2 (ENL) lebih jarang terjadi dibandingkan reaksi tipe 1 (reaksi
reversal), meski angka kejadinannya bervariasi antar negara: di Afrika, hanya
sekitar 5% dari total penderita MB mengalami ENL, sedangkan di Amerika
Selatan dapat sampai 50% terkena.
50% dari pasien tipe LL dan 15% pasien tipe BL bisa mengalami reaksi tipe
ENL.3

2.3. Etiologi

Kuman penyebab adalah Myocobacterium leprae yang ditemukan oleh G.A


HANSEN pada tahun 1874 di Norwegia, yang sampai sekarang belum juga
dibiakkan dalam media artifisial . M. Leprae berbentuk basil dengan ukuran
3-8Um x 0.5 Um, merupakan baketri Gram-positif tahan asam dan alkohol.4,5

Gambar 2. Mycobacterium Leprae pada pewarnaan Ziehl-Neelsen

4
M. leprae menginfeksi terutama makrofag dan sel Schwann. Reproduksi
terjadi dengan pembelahan biner dan tumbuh perlahan (sekitar 12-14 hari) di
bantalan kaki tikus. Suhu yang dibutuhkan untuk bertahan hidup dan
proliferasi antara 27 ºC dan 30 ºC. Ini menjelaskan tingginya kejadian di
daerah permukaan, seperti kulit, saraf perifer, testis, dan saluran udara bagian
atas, dan keterlibatan viseral yang lebih rendah. M. leprae tetap bertahan
selama 9 hari di lingkungan.6

2.4. Patogenesis
Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit
yang sebenarnya sangat kronik adapun patofisiologinya belum jelas betul,
terminologi dan klasifikasinya bernacam-macam. Mengenai patofisiologinya
yang belum jelas itu diterangkan secara imunologik.7
Mekanisme imunopatogenesis ENL masih kurang jelas. ENL diduga

merupakan manifestasi pengendapan kompleks antigen antibodi yang ada

pada pembuluh darah. Karena suatu rangsangan, baik yang non spesifik

seperti infeksi virus,stress, kehamilan atau rangsangan yang lebih spesifik

misalnya superinfeksi dengan penyakit tuberkulosis, terjadi infiltrasi sel T

helper (Th2). Sel Th2 ini menghasilkan berbagai sitokin, antara lain

interleukin 4 (IL 4) yang menginduksi sel B menjadi sel plasma untuk

kemudian memproduksi antibodi. Terbentuklah ikatan antigen M. Leprae

dengan antibodi tersebut di jaringan, disusul dengan aktivasi komplemen. Hal

ini terlihat dengan penurunan C3 darah.4

Secara imunopatologis, ENL termasuk respon imun humoral, berupa


fenomena kompleks imun akibat reaksi antara antigen M. leprae, antibodi
(IgM, IgG) dan komplemen menghasilkan reaksi kompleks imun. Tampaknya
reaksi ini analog dengan reaksi fenomena unik, tidak dapat disamakan begitu
saja dengan penyakit lain. Dengan terbentuknya kompleks imun ini, maka
ENL termasuk di dalam golongan penyakit kompleks imun, oleh karena salah
satu protein M. leprae bersifat antigenik, maka antibodi dapat terbentuk.

5
Ternyata kadar imunoglobulin penderita kusta lepromatosa lebih tinggi dari
tipe tuberkuloid. Hal ini terjadi oleh karena pada tipe lepromatosa jumlah
basil jauh lebih banyak daripada tipe tuberkuloid. ENL lebih banyak terjadi
pada pengobatan tahun kedua.4,8
Peningkatan CMI juga mungkin memainkan peran pada saat serangan

ENL. Kompleks antigen antibodi dijumpai pada darah sirkulasi. Pada

pengobatan, banyak basil kusta yang mati dan hancur, berarti banyak pula

antigen yang dilepaskan dan bereaksi dengan antibodi membentuk suatu

kompleks imun yang terus beredar dalam sirkulasi darah yang akhirnya dapat

diendapkan dalam berbagai organ yang kemudian mengaktifkan sistem

komplemen.4,9

Pada kulit akan muncul nodus eritema, dan nyeri dengan tempat predileksi
di lengan dan tungkai. Bila mengenai organ lain dapat menimbulkan gejala
seperti iridosiklitis, neuritis akut, limfadenitis, artritis, orkitis, dan nefritis
yang akut dengan adanya proteinuria. ENL dapat disertai dengan gejala
konstitusi dari ringan sampai berat yang dapat diterangkan secara imunologis
pula.8

2.5. Faktor Risiko

Faktor resiko yang diduga berperan terhadap terjadinya reaksi kusta atau
lepra adalah sebagai berikut : 4, 5, 6,7

a. Karakteristik individu, diantaranya adalah umur pasien saat didiagnosis kusta


lebih dari 15 tahun, Jenis kelamin wanita, Pekerja kasar.
b. Karakteristik status klinis, yaitu tipe lepra MB, dimana tipe lepra
dipengaruhi oleh variasi dalam kesempurnaan sistem respon imun seluler.
Pada lepra tipe PB dengan respon imun seluler cukup tinggi lebih sering
mendapat reaksi lepra tipe I yang kadang gambaran klinisnya lebih hebat.
Hal ini terjadi karena kuman yang mati akan dihabiskan sistem fagosit tubuh,
tetapi pada sebagian penderita akan terjadi reaksi imun sebagai bentuk
perlawanan (hipersensitivitas akut). Sedangkan pada tipe MB dengan
respon imun rendah, reaksi lepra ini tidak seberat pada tipe PB. Beberapa

6
penelitian sebelumnya menyimpulkan bahwa tipe lepra MB memiliki
resiko mengalami reaksi 2,45 sampai 4 kali lebih besar daripada tipe
PB.4,5
Yang kedua adalah lama sakit lebih dari 1 tahun, dimana lama
penderita menderita sakit kusta mulai dari sebelum didiagnosa, sesudah
didiagnosa dan diobati sampai RFT, diduga berhubungan dengan
terjadinya reaksi lepra. Semakin lama menderita sakit memungkinkan
banyak Mycobacterium leprae yang mati atau pecah dan menjadi antigen
sehingga memicu terjadinya reaksi lepra. Reaksi ENL juga dapat terjadi
pada pada lepra yang tidak diobati dalam waktu yang lama.6,7
Yang selanjutnya adalah jumlah lesi lebih dari 10, lalu menstruasi
serta kontrasepsi hormonal, karena penderita lepra usia subur akan
mengalami mentruasi yang akan berpengaruh pada keseimbangan atau
perubahan hormonal yang akan menjadi faktor pencetus terjadinya reaksi
lepra. Faktor lainnya adalah stres, kelelahan fisik, kehamilan, laktasi
dimana keempat faktor ini secara fisiologis menyebabkan terjadinya
penurunan respon imun sistemik tubuh, sehingga memudahkan penderita
untuk mengalami reaksi lepra.7
c. Karakteristik status pengobatan, meliputi lama pengobatan lebih dari 6
bulan. Lama pengobatan MDT akan berpengaruh terhadap reaksi lepra.
Penderita biasanya akan mendapat reaksi lepra setelah 6 bulan atau lebih
mendapat pengobatan MDT. Pagolori (2002), menyimpulkan bahwa
pengobatan yang sudah berjalan lama mempunyai risiko mengalami reaksi
lepra 2,9 kali dibandingkan penderita yang mendapat pengobatan awal.
Penelitian W.H Van Brakel (1994), menyimpulakan bahwa reaksi lepra tipe I
lebih banyak terjadi pada 6 bulan pertama pengobatan dan reaksi lepra tipe II
terjadi setelah pengobatan berjalan 1 tahun. 4,5,6
Riwayat pengobatan reaksi lepra sebelumnya terutama jika tidak diobati
dengan adekuat diduga dapat memicu terjadinya reaksi lepra berulang.
Pengobatan dengan obat reaksi lepra bersifat imunosupresan dan bila
diberikan tidak adekuat menyebabkan berbagai reaksi respons imun yang
akan memicu terjadinya reaksi lepra.6

7
2.6. Klasifikasi

Penyakit lepra mempunyai beberapa jenis klasifikasi yang telah umum


digunakan yaitu:
1) Klasifikasi Madrid.
• Intermediate (I)
• Tuberkuloid (T)
• Borderline – Dimorphous (B)
• Lepromatosa (L)
2) Klasifikasi Ridley-Jopling.
• Tuberkuloid (TT)
• Boderline tuberculoid (BT)
• Mid-borderline (BB)
• Borderline lepromatous (BL)
• Lepromatosa (LL)
3) Klasifikasi WHO (1981) dan modifikasi WHO (1988).
• Pausibasilar (PB)
Hanya lepra tipe I, TT dan sebagian besar BT dengan basil tahan asam
(BTA) negatif menurut kriteria Ridley dan Jopling atau tipe I dan T
menurut klasifikasi Madrid.
• Multibasilar (MB)
Termasuk lepra tipe LL, BL, BB dan sebagian BT menurut kriteria
Ridley dan Jopling atau B dan L menurut Madrid dan semua tipe lepra
dengan BTA positif.8

2.7. Manifestasi Klinis


Manifestasi ENL berupa nodul kemerahan, nyeri dan dapat berkembang

dalam beberapa jam atau beberapa hari. Kadang-kadang lesi membaik dan

membentuk plak. Ukuran lesi bervariasi tetapi biasanya kecil dan jika

multipel distribusi lesi cenderung bilateral dan simetris. Lesi ENL kadang-

kadang lebih mudah dipalpasi, lesi berbentuk kubah dengan batas yang jelas,

8
lunak pada perabaan, mengkilat terletak superficial dan dapat meluas ke

dermis yang lebih dalam atau sampai lemak subkutan. Lesi ENL terasa panas

dan pada penekanan terlihat pucat. Lokalisasi lesi seringkali pada sepanjang

permukaan ekstensor lengan dan tungkai, punggung, wajah tetapi dapat terjadi

dimana saja.4

Gambar 3. Eritema Nodosum Leprosum6

Beberapa penderita dapat mengalami perluasan lesi dan rekurensi yang

terus menerus nampak selama beberapa bulan sampai beberapa tahun. ENL

dinyatakan berat bila disertai demam tinggi, kelemahan umum, lesi kulit

menjadi pustule dan atau ulserasi, nyeri saraf, nyeri periosteal, miositis,

kehilangan fungsi saraf atau terdapat tanda-tanda iridosiklitis, orkitis,

pembengkakan sendi atau albuminuria yang menetap.4,10

Kerusakan pada saraf biasanya perlahan namun progresif. Hipostesi atau

anastesi biasanya terjadi pada lengan, kaki, dan telapak tangan. Kelemahan

biasanya terjadi pada bagian distal dimulai dengan otot-otot intrinsic tangan

dan kaki. Gejala konstitusional yang ditimbulkan oleh ENL berupa

9
demam,menggigil, mual, nyeri sendi, saraf dan otot. Nodus mudah pecah dan

apabila pecah dapat menimbulkan ulkus.11,12

2.8 Diagnosis ENL


Diagnosis reaksi tipe 2 ( ENL ) ditegakkan berdasarkan atas gambaran klinik,

dan dibantu pemeriksaan fisis yang ditunjang oleh pemeriksaan laboratorium,

histologi dan pemeriksaan hematologic khusus. Pada pemeriksaan fisis dapat

ditemukan pembengkakan lunak saraf yang nyeri pada palpasi. Nyeri tulang

biasanya jelas pada tulang tibia, dan sangat nyeri bila dipalpasi.

Untuk mediagnosis ENL diperlukan pengamatan gejala klinis berserta


pemeriksaan penunjang lainnya seperti pemeriksaan penanda peradangan
sistemik (Amiloid Serum dan CRP), dan yang merupakan Standar Baku dari
diagnosis reaksi ENL adalah pemeriksaan histologi.
Pemeriksaan protein dan sel darah merah dalam urine dapat menunjukkan

glomerulonefritis akut. Pada pemeriksaan dengan menggunakan mikroskop

elektron dapat terlihat kompleks imun pada glomeruli ginjal selama reaksi tipe

2. Juga dengan pemeriksaan mikroskop fluoresensi didapatkan kompleks imun

pada lesi ENL.4

Pada pemeriksaan histologi didapatkan lesi ENL mengandung

sejumlah besar polimorf dan kebanyakan berbentuk fragmen dan granuler.

ENL dapat menunjukkan gambaran vaskulitis pada pemeriksaan hematologic

khusus,didapatkan leukosit PMN,trombositosis, peninggian LED, anemia

normositik normokrom, serta peninggian kadar gammaglobulin (IgG,IgM).4

10
( Dikutip dari kepustakaan no.2 )

Vaskulitis atau nekrosis vaskuler dengan perdarahan terlihat pada


beberapa lesi ng kasus ENL. ENL berat sering dihubungkan dengan deposit
basil yang besar. Infiltrasi polimorf hebat dan bisa meluas melalui area dermis
yang luas dan bisa terdapat edema. Nekrosis dan ulserasi mengikutinya.
Infiltrasi polimorf yang sama ditemukan pada saraf, otot dan nodus limfatikus
jika ditemukan deposit kompleks imun pada daerah tersebut. Pada pewarnaan
apusn kulit dapat terlihat sejumlah basil tahan asam yang sudah mati dan
berdegenerasi.9

Pemeriksaan Bakterioskopik

Pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu


menegakkan diagnosis dan pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat dari
apusan kulit atau kerokan mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan
basil tahan asam, antara lain dengan Ziehl-Neelsen. Bakterioskopik negatif
pada seorang penderita, bukan berarti orang tersebut tidak mengandung basil
M. Leprae.8

Pemeriksaan Serologik

Pemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi


pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M.Leprae. Antibodi yang terbentuk
dapat bersifat spesifik terhadap M.Leprae, yaitu antibodi anti phenolic
glycolipid-1 (PGL-1) dan antibodi antiprotein 16 kD serta 35 kD.8

Macam-macam pemeriksaan serologik kusta ialah:

 Uji ELISA (Enzyme Linked Immuno-Sorbent Assay)


 Uji MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination)
 ML dipstick (Mycobacterium Leprae dipstick)

11
2.9 Diferensial Diagnosis ENL3
 Erythema Nodosum
 Panniculitis
 Sepsis
 Sweet’s syndrome

2.10 Penatalaksanaan
Menurut WHO Guidelines for the management of severe erythema
nodosum leprosum (ENL) reactions penatalaksanaan ENL sebagai berikut :
2

2.7

2.8

2.9

Manajemen dengan kortikosteroid:

1. Jika masih dalam pengobatan anti-lepra, lanjutkan pengobatan


standar tentunya dengan MDT.
2. Gunakan dosis analgetic yang adekuat untuk mengontrol demam
dan nyeri.
3. Gunakan saja standar prednisolon dalam dosis per hari tidak
melebihi 1 mg per Kg berat badan. Total durasi 12 minggu.
Manajemen dengan klofazimin dan kortikosteroid:

12
Hal ini diindikasikan pada kasus ENL yang berat dimana responnya
tidak memuaskan terhadap pengobatan dengan kortikosteroid atau
dimana risiko toksisitas kortikosteroid yang tinggi.
1. Jika masih dalam pengobatan anti-lepra, lanjutkan pengobatan
standar tentunya dengan MDT.
2. Gunakan dosis analgetik yang adekuat untuk mengontrol demam
dan nyeri
3. Gunakan saja standar prednisolon dalam dosis per hari tidak
melebihi 1 mg per berat badan Kg
4. Mulai klofazimin 100 mg tiga kali sehari selama maksimum 12
minggu
5. Selesaikan pengobatan standar prednisolon. Lanjutkan clofazimin
seperti di bawah ini.
6. taper dosis clofazimin sampai 100 mg dua kali sehari selama 12
minggu dan kemudian 100 mg sekali sehari selama 12-24 minggu.
Manajemen dengan hanya clofazimin:
hal Ini diindikasikan pada kasus ENL berat di mana penggunaan
kortikosteroid merupakan kontraindikasi.
1. Jika masih dalam pengobatan anti-lepra, lanjutkan standar
tentunya dengan MDT.
2. Gunakan dosis analgetik yang adekuat untuk mengontrol
demam dan nyeri.
3. Mulai klofazimin 100 mg tiga kali sehari selama maksimum 12
minggu
4. Taper dosis clofazimin sampai 100 mg dua kali sehari selama
12 minggu dan kemudian 100 mg sekali sehari selama 12-24
minggu.
Terapi Lini kedua adalah Thalidomide7 :
Thalidomide adalah obat yang sangat efektif untuk ENL namun
penggunaannya dibatasi karena potensi teratogenesitas. Uji klinis
prospektif telah menunjukkan bahwa Thlaidomide memiliki onset
lebih kerja lebih cepat dan mengurangi gejala lebih cepat

13
dibandingkan dengan pentoxifylline dan non steroid anti inflamasi
drugs.

Indikasi untuk thalidomide pada ENL :

 ENL berat yang tidak merespon terhadap prednisolon dan


klofazimin
 ENL Sedang sampai berat pada pasien dengan efek samping yang
serius akibat prednisolon
 ENL Sedang sampai berat pada pasien yang tergantung pada
prednisolon

Dosis thalidomide pada ENL :


 Dalam ENL berat, 300mg thalidomide dapat diberikan pada
malam hari atau dosis dibagi 3. Mengurangi dosis 100mg secara
perlahan, untuk menghindari memburuknya ENL.
 Pasien harus distabilkan pada dosis serendah mungkin pada
thalidomide untuk mengontrol gejala (50-100mg setiap hari) dan
dipertahankan pada dosis ini untuk 2-3 bulan.

2.11 Komplikasi ENL10


Serangan ENL bisa menjadi serangan akut, kronik, ataupun serangan
berulang dalam beberapa tahun dan akhirnya tenang, namun membahayakan,
terutama pada mata. ENL adalah suatu penyakit sistemik yang sering disertai
dengan uveitis, dactylitis (Gbr. 5) , arthritis, neuritis, limfadenitis, myositis,
dan orchitis. Neuritis saraf perifer dan uveitis dengan komplikasinya sinekia,
katarak, dan glaucoma adalah komplikasi ENL yang sangat serius.

14
Gambar 5. Tangan yang menunjukkan gejala
dactylitis dan nodules

2.12 Prognosis ENL


Kerusakan saraf dan komplikasinya dapat sangat mematikan, terutama
ketika keempat anggota badan dan kedua mata yang terpengaruh. Perempuan
beresiko reaksi selama masa nifas.7

15
BAB III
KESIMPULAN

1. ENL (atau tipe 2 reaksi ) adalah suatu imun-yang diperantarai oleh


fenomena yang terjadi pada pasien dengan LL atau BL. Reaksi ini
menyebabkan peradangan akut pada organ atau jaringan yang diserang
oleh basil M.Lepra.
2. Kuman penyebab adalah Myocobacterium leprae yang ditemukan oleh
G.A HANSEN pada tahun 1874 di Norwegia, yang sampai sekarang
belum juga dibiakkan dalam media artifisial
3. Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan
penyakit yang sebenarnya sangat kronik adapun patofisiologinya belum
jelas betul, terminologi dan klasifikasinya bernacam-macam. Mengenai
patofisiologinya yang belum jelas itu diterangkan secara imunologik
4. Faktor resiko yang diduga berperan terhadap terjadinya reaksi kusta atau
lepra salah satunya adalah Karakteristik individu, diantaranya adalah umur
pasien saat didiagnosis kusta lebih dari 15 tahun , Jenis kelamin wanita,
Pekerja kasar.

16
DAFTAR PUSTAKA
1. Kementrian Kesehatan RI. 2012. Pedoman nasional program
pengendalian kusta. Jakarta: Bakti Husada.
2. Kahawita,I.P. Towards UnderstandingThe Pathology Of Erythema
Nodosum Leprosum. Dept. Of Infectious and Tropical Diseases, London
School Of Hygiene and Tropical Medicine. London, UK. Elsevier Ltd.
2008.
3. Burns, Tony et al. Rook’s Textbook Of Dermatology. Eighth Edition.
Wiley-Backwell Publication. 2007
4. A. Kosasih, I Made Wisnu, Emmy Sjamsoe-Daili, Sri Linuwih Menaldi. Kusta.
Dalam: Djuanda, Adhi dkk. (ed.). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 5
Cetakan Kedua. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2007; 73-88
5. Prakash Chaitra dan Bhat R.M. Leprosy: An overview of pathophysiology.
http://www.hindawi.com/journals/ipid/2012/181089/. 23 september 2020
6. Rees RJW, Young DB. The microbiology of leprosy. In: Hastings RC,
editor. Leprosy. 2nd ed. New York: Churchill Livingstone; 1994:pp. 49–83.
7. Misch Ea, et al. Leprosy and the Human Genome. Microbiol.Mol. Biol. Rev;
2010;74: p. 589–620.
8. R, Hussein et al. Clinical and Histological Discrepancies in Diagnosis
of ENL Reactions Classified by Assessment of Acute Phase Proteins SAA

17
and CRP. Dept. Of Microbiology Aga Khan University, Karachi.
Pakistan. 1993
9. Lockwood, Diana N.J. et al. Comparing The Clinical and Histological
Diagnosis of Leprosy and leprosy Reactions in The INFIR Cohort of
Indian Patients With Multibacillary Leprocy. PLOS Neglected Tropical
Disease. 2012
10. WHO Guidlines for The Reaction Management of Severe Erythema
Nodosum Leprosum (ENL) Reaction.
11. Directorate general of health service. Training Manual for Medical Officers.
National Leprosy Eradication Programme. Ministry of health and family
welfare, Nirman Bawan, New Delhi. 2009.
12. Djuanda dkk. 2016. Ilmu penyakit kulit dan kelamin Ed 8. FKUI : Jakarta Hal :
73-77, 87-95

18

Anda mungkin juga menyukai