Disusun Oleh :
Siti Syarifah Jasmin Vivienka, S.Ked
NIM : 71 2019 073
Pembimbing :
dr. Rilliani Hastuti, Sp. KK
i
HALAMAN PENGESAHAN
Presentasi Referat
Disajikan Oleh :
Pembimbing :
dr.Rilliani Hastuti, Sp. KK
Telah dipresentasikan dan diterima sebagai salah satu syarat untuk mengikuti
ujian Kepaniteraan Klinik Senior di Departemen Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin RS. Kusta Dr. Rivai Abdullah
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis memanjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Faktor
Risiko Eritema Nodosum Leprosum”, untuk memenuhi tugas Kepaniteraan
Klinik Ilmu Kulit dan Kelamin RS. Kusta Dr. Rivai Abdullah. Shalawat dan
salam selalu tercurah kepada Rasulullah Muhammad SAW beserta para keluarga,
sahabat, dan pengikutnya hingga akhir zaman.
Terima kasih juga penulis ucapkan kepada dr.Rilliani Hastuti, Sp. KK yang
telah membantu dalam penulisan laporan kasus ini sehingga dapat diselesaikan
tepat pada waktunya.
Laporan kasus ini menguraikan tentang Faktor Risiko Eritema Nodosum
Leprosum. Dengan laporan kasus ini diharapkan dapat menambah pengetahuan
bagi penulis dan orang banyak yang membacanya terutama mengenai penyakit
ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan laporan kasus ini
masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun sebagai bahan
pertimbangan perbaikan dimasa mendatang.
Penyusun
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN........................................................................ii
KATA PENGANTAR....................................................................................iii
DAFTAR ISI...................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang...........................................................................................1
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
Kusta menimbulkan berbagai masalah jika tidak segera ditangani yaitu
bukan hanya dari segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial, ekonomi,
budaya, keamanan dan ketahanan nasional. Penyakit kusta sampai saat ini
masih ditakuti masyarakat, keluarga dan sebagian petugas kesehatan. Hal ini
disebabkan masih kurangnya pengetahuan, kepercayaan yang keliru terhadap
kusta dan cacat yang ditimbulkannya.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Eritema nodosum leprosum (ENL) merupakan masalah yang serius, dan
sulit untuk menangani komplikasi akibat inflamasi kusta tipe lepromatosa
(LL) atau borderline lepromatous (BL), dengan manifestasi klinis sebagai lesi
yang nyeri, nodul erythematous disertai dengan demam, malaise dan
peradangan di tempat lain dapat berupa iritis, arthritis, neuritis dan
limfadenitis. ENL dapat terjadi sebelum, selama atau setelah pengobatan
dengan terapi multidrug tetapi pada kebanyakan pasien ENL terjadi selama
tahun pertama pengobatan.2
ENL (atau tipe 2 reaksi ) adalah suatu imun-yang diperantarai oleh
fenomena yang terjadi pada pasien dengan LL atau BL. Reaksi ini
menyebabkan peradangan akut pada organ atau jaringan yang diserang oleh
basil M.Lepra. Lesi kulit tampak sebagai nodul erythematous, papula lembut
atau nodul yang mungkin dangkal atau dalam. Lesi eritema nodosum berbeda
secara klinis dari perjalanan penyakit secara alamiah, dari banyaknya lesi dan
luasnya distribusi penyebaran sampai pada tungkai bawah. Pada reaksi berat,
lesi kulit dapat menjadi vesikular, bulosa atau nekrotik. Reaksi ini ENL
umumnya disertai dengan gejala umum yaitu dengan demam tinggi, gejala
sistemik, edema wajah, tangan dan kaki, dan proteinuria. Manifestasi lain
termasuk iritis, episkleritis, arthritis, arthralgia, dactylitis, limfadenopati,
organomegali dan orkitis. Neuritis dapat menjadi bagian dari ENL tetapi
seringkali lebih ringan dibandingkan yang terlihat pada reaksi tipe 1.2.3
3
Gambar 1. Nodul eritema nodosum Leprosum1
2.2. Epidemiologi
Reaksi tipe 2 (ENL) lebih jarang terjadi dibandingkan reaksi tipe 1 (reaksi
reversal), meski angka kejadinannya bervariasi antar negara: di Afrika, hanya
sekitar 5% dari total penderita MB mengalami ENL, sedangkan di Amerika
Selatan dapat sampai 50% terkena.
50% dari pasien tipe LL dan 15% pasien tipe BL bisa mengalami reaksi tipe
ENL.3
2.3. Etiologi
4
M. leprae menginfeksi terutama makrofag dan sel Schwann. Reproduksi
terjadi dengan pembelahan biner dan tumbuh perlahan (sekitar 12-14 hari) di
bantalan kaki tikus. Suhu yang dibutuhkan untuk bertahan hidup dan
proliferasi antara 27 ºC dan 30 ºC. Ini menjelaskan tingginya kejadian di
daerah permukaan, seperti kulit, saraf perifer, testis, dan saluran udara bagian
atas, dan keterlibatan viseral yang lebih rendah. M. leprae tetap bertahan
selama 9 hari di lingkungan.6
2.4. Patogenesis
Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit
yang sebenarnya sangat kronik adapun patofisiologinya belum jelas betul,
terminologi dan klasifikasinya bernacam-macam. Mengenai patofisiologinya
yang belum jelas itu diterangkan secara imunologik.7
Mekanisme imunopatogenesis ENL masih kurang jelas. ENL diduga
pada pembuluh darah. Karena suatu rangsangan, baik yang non spesifik
helper (Th2). Sel Th2 ini menghasilkan berbagai sitokin, antara lain
5
Ternyata kadar imunoglobulin penderita kusta lepromatosa lebih tinggi dari
tipe tuberkuloid. Hal ini terjadi oleh karena pada tipe lepromatosa jumlah
basil jauh lebih banyak daripada tipe tuberkuloid. ENL lebih banyak terjadi
pada pengobatan tahun kedua.4,8
Peningkatan CMI juga mungkin memainkan peran pada saat serangan
pengobatan, banyak basil kusta yang mati dan hancur, berarti banyak pula
kompleks imun yang terus beredar dalam sirkulasi darah yang akhirnya dapat
komplemen.4,9
Pada kulit akan muncul nodus eritema, dan nyeri dengan tempat predileksi
di lengan dan tungkai. Bila mengenai organ lain dapat menimbulkan gejala
seperti iridosiklitis, neuritis akut, limfadenitis, artritis, orkitis, dan nefritis
yang akut dengan adanya proteinuria. ENL dapat disertai dengan gejala
konstitusi dari ringan sampai berat yang dapat diterangkan secara imunologis
pula.8
Faktor resiko yang diduga berperan terhadap terjadinya reaksi kusta atau
lepra adalah sebagai berikut : 4, 5, 6,7
6
penelitian sebelumnya menyimpulkan bahwa tipe lepra MB memiliki
resiko mengalami reaksi 2,45 sampai 4 kali lebih besar daripada tipe
PB.4,5
Yang kedua adalah lama sakit lebih dari 1 tahun, dimana lama
penderita menderita sakit kusta mulai dari sebelum didiagnosa, sesudah
didiagnosa dan diobati sampai RFT, diduga berhubungan dengan
terjadinya reaksi lepra. Semakin lama menderita sakit memungkinkan
banyak Mycobacterium leprae yang mati atau pecah dan menjadi antigen
sehingga memicu terjadinya reaksi lepra. Reaksi ENL juga dapat terjadi
pada pada lepra yang tidak diobati dalam waktu yang lama.6,7
Yang selanjutnya adalah jumlah lesi lebih dari 10, lalu menstruasi
serta kontrasepsi hormonal, karena penderita lepra usia subur akan
mengalami mentruasi yang akan berpengaruh pada keseimbangan atau
perubahan hormonal yang akan menjadi faktor pencetus terjadinya reaksi
lepra. Faktor lainnya adalah stres, kelelahan fisik, kehamilan, laktasi
dimana keempat faktor ini secara fisiologis menyebabkan terjadinya
penurunan respon imun sistemik tubuh, sehingga memudahkan penderita
untuk mengalami reaksi lepra.7
c. Karakteristik status pengobatan, meliputi lama pengobatan lebih dari 6
bulan. Lama pengobatan MDT akan berpengaruh terhadap reaksi lepra.
Penderita biasanya akan mendapat reaksi lepra setelah 6 bulan atau lebih
mendapat pengobatan MDT. Pagolori (2002), menyimpulkan bahwa
pengobatan yang sudah berjalan lama mempunyai risiko mengalami reaksi
lepra 2,9 kali dibandingkan penderita yang mendapat pengobatan awal.
Penelitian W.H Van Brakel (1994), menyimpulakan bahwa reaksi lepra tipe I
lebih banyak terjadi pada 6 bulan pertama pengobatan dan reaksi lepra tipe II
terjadi setelah pengobatan berjalan 1 tahun. 4,5,6
Riwayat pengobatan reaksi lepra sebelumnya terutama jika tidak diobati
dengan adekuat diduga dapat memicu terjadinya reaksi lepra berulang.
Pengobatan dengan obat reaksi lepra bersifat imunosupresan dan bila
diberikan tidak adekuat menyebabkan berbagai reaksi respons imun yang
akan memicu terjadinya reaksi lepra.6
7
2.6. Klasifikasi
dalam beberapa jam atau beberapa hari. Kadang-kadang lesi membaik dan
membentuk plak. Ukuran lesi bervariasi tetapi biasanya kecil dan jika
multipel distribusi lesi cenderung bilateral dan simetris. Lesi ENL kadang-
kadang lebih mudah dipalpasi, lesi berbentuk kubah dengan batas yang jelas,
8
lunak pada perabaan, mengkilat terletak superficial dan dapat meluas ke
dermis yang lebih dalam atau sampai lemak subkutan. Lesi ENL terasa panas
dan pada penekanan terlihat pucat. Lokalisasi lesi seringkali pada sepanjang
permukaan ekstensor lengan dan tungkai, punggung, wajah tetapi dapat terjadi
dimana saja.4
terus menerus nampak selama beberapa bulan sampai beberapa tahun. ENL
dinyatakan berat bila disertai demam tinggi, kelemahan umum, lesi kulit
menjadi pustule dan atau ulserasi, nyeri saraf, nyeri periosteal, miositis,
anastesi biasanya terjadi pada lengan, kaki, dan telapak tangan. Kelemahan
biasanya terjadi pada bagian distal dimulai dengan otot-otot intrinsic tangan
9
demam,menggigil, mual, nyeri sendi, saraf dan otot. Nodus mudah pecah dan
ditemukan pembengkakan lunak saraf yang nyeri pada palpasi. Nyeri tulang
biasanya jelas pada tulang tibia, dan sangat nyeri bila dipalpasi.
elektron dapat terlihat kompleks imun pada glomeruli ginjal selama reaksi tipe
10
( Dikutip dari kepustakaan no.2 )
Pemeriksaan Bakterioskopik
Pemeriksaan Serologik
11
2.9 Diferensial Diagnosis ENL3
Erythema Nodosum
Panniculitis
Sepsis
Sweet’s syndrome
2.10 Penatalaksanaan
Menurut WHO Guidelines for the management of severe erythema
nodosum leprosum (ENL) reactions penatalaksanaan ENL sebagai berikut :
2
2.7
2.8
2.9
12
Hal ini diindikasikan pada kasus ENL yang berat dimana responnya
tidak memuaskan terhadap pengobatan dengan kortikosteroid atau
dimana risiko toksisitas kortikosteroid yang tinggi.
1. Jika masih dalam pengobatan anti-lepra, lanjutkan pengobatan
standar tentunya dengan MDT.
2. Gunakan dosis analgetik yang adekuat untuk mengontrol demam
dan nyeri
3. Gunakan saja standar prednisolon dalam dosis per hari tidak
melebihi 1 mg per berat badan Kg
4. Mulai klofazimin 100 mg tiga kali sehari selama maksimum 12
minggu
5. Selesaikan pengobatan standar prednisolon. Lanjutkan clofazimin
seperti di bawah ini.
6. taper dosis clofazimin sampai 100 mg dua kali sehari selama 12
minggu dan kemudian 100 mg sekali sehari selama 12-24 minggu.
Manajemen dengan hanya clofazimin:
hal Ini diindikasikan pada kasus ENL berat di mana penggunaan
kortikosteroid merupakan kontraindikasi.
1. Jika masih dalam pengobatan anti-lepra, lanjutkan standar
tentunya dengan MDT.
2. Gunakan dosis analgetik yang adekuat untuk mengontrol
demam dan nyeri.
3. Mulai klofazimin 100 mg tiga kali sehari selama maksimum 12
minggu
4. Taper dosis clofazimin sampai 100 mg dua kali sehari selama
12 minggu dan kemudian 100 mg sekali sehari selama 12-24
minggu.
Terapi Lini kedua adalah Thalidomide7 :
Thalidomide adalah obat yang sangat efektif untuk ENL namun
penggunaannya dibatasi karena potensi teratogenesitas. Uji klinis
prospektif telah menunjukkan bahwa Thlaidomide memiliki onset
lebih kerja lebih cepat dan mengurangi gejala lebih cepat
13
dibandingkan dengan pentoxifylline dan non steroid anti inflamasi
drugs.
14
Gambar 5. Tangan yang menunjukkan gejala
dactylitis dan nodules
15
BAB III
KESIMPULAN
16
DAFTAR PUSTAKA
1. Kementrian Kesehatan RI. 2012. Pedoman nasional program
pengendalian kusta. Jakarta: Bakti Husada.
2. Kahawita,I.P. Towards UnderstandingThe Pathology Of Erythema
Nodosum Leprosum. Dept. Of Infectious and Tropical Diseases, London
School Of Hygiene and Tropical Medicine. London, UK. Elsevier Ltd.
2008.
3. Burns, Tony et al. Rook’s Textbook Of Dermatology. Eighth Edition.
Wiley-Backwell Publication. 2007
4. A. Kosasih, I Made Wisnu, Emmy Sjamsoe-Daili, Sri Linuwih Menaldi. Kusta.
Dalam: Djuanda, Adhi dkk. (ed.). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 5
Cetakan Kedua. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2007; 73-88
5. Prakash Chaitra dan Bhat R.M. Leprosy: An overview of pathophysiology.
http://www.hindawi.com/journals/ipid/2012/181089/. 23 september 2020
6. Rees RJW, Young DB. The microbiology of leprosy. In: Hastings RC,
editor. Leprosy. 2nd ed. New York: Churchill Livingstone; 1994:pp. 49–83.
7. Misch Ea, et al. Leprosy and the Human Genome. Microbiol.Mol. Biol. Rev;
2010;74: p. 589–620.
8. R, Hussein et al. Clinical and Histological Discrepancies in Diagnosis
of ENL Reactions Classified by Assessment of Acute Phase Proteins SAA
17
and CRP. Dept. Of Microbiology Aga Khan University, Karachi.
Pakistan. 1993
9. Lockwood, Diana N.J. et al. Comparing The Clinical and Histological
Diagnosis of Leprosy and leprosy Reactions in The INFIR Cohort of
Indian Patients With Multibacillary Leprocy. PLOS Neglected Tropical
Disease. 2012
10. WHO Guidlines for The Reaction Management of Severe Erythema
Nodosum Leprosum (ENL) Reaction.
11. Directorate general of health service. Training Manual for Medical Officers.
National Leprosy Eradication Programme. Ministry of health and family
welfare, Nirman Bawan, New Delhi. 2009.
12. Djuanda dkk. 2016. Ilmu penyakit kulit dan kelamin Ed 8. FKUI : Jakarta Hal :
73-77, 87-95
18