Anda di halaman 1dari 2

Dokumen Di Meja

By Widya Granawati
Kadang kita tak pernah tahu, kapan seseorang menjadi teman atau pelajaran hidup. Di
hidupku, aku pernah mencintai seorang gadisGadis syiah itu mengubahku.
“kenapa kamu ambil S2 jurusan magister hukum?”, tanyamu.
“aku pengen jadi dosen, kalo kamu”, jawabku
“aku pengen lebih jago di bidang hukum, aku pengen jadi pengacara sukses ka”
Aku ingat betul aku waktu itu mengerutkan dahi, bukannya aku ingin meremehkan mimpi-
mimpimu, aku hanya tidak sampai hati memeluk keyakinan bahwa gadis manis sepertimu
bercita-cita ingin jadi pengacara, padahal label gila harta yang terlekat pada pengacara tak
pernah cocok denganmu, menjadi mereka yang picik yang aku tahu berseberangan dengan
idealismemu, membeli kebebasan demi uang, dan menukarkan kecerdasanmu hanya untuk
merugikan orang lain? Nabila, untuk apa?
Sogok menyogok, suap menyuap membela yang salah, apa hatimu memang sampai kesitu,
demi uang mengorbankan hidup orang lain, apa kamu sanggup melihat lawan-lawanmu
menangis dalam kekalahan?
Aku sangat memahami, kamu begitu mencintai islam dan semua kebaikannya. Lalu kamu
ingin menjadi pengacara hukum peninggalan kolonialisme, VOC, Belanda, tukang mengadu
domba pribumi.
“aku pengen ke Jakarta semester depan, tinggal nyelesein thesis aja nih nanti laju
Purwokerto-Jakarta”, tambahmu.
Aku tak habis piker teganya kamu meninggalkanku demi cita-cita yang berlawanan dengan
hati nuranimu, otakku ingin memaki tapi senyum manismu mengontrolku dan mendorongku
untuk menyimpan semua tuduhan ini sendiri, tapi Nabilaku sayang kita ini sedang berada di
tempat terteduh yang pernah aku tahu, di kota kita tumbuh Purwokerto, segalanya ada disini,
café, orang ramah, makanan murah, makanan enak, wisata alam, keluarga, sahabat, apa yang
kamu cari? Uang? Kamu ingin sekaya hotman paris? Punya Ferari? Untuk apa? Hidupmu
bukan untuk makan, tapi makanmu untuk hidup, kadang aku tidak habis piker pada orang-
orang yang sibuk bekerja hingga pagi lalu mengorbankan kesehatan, cinta, dan keluarganya
demi karir?
Bukankah, tidak apa-apa menjadi biasa saja?
“Nab, kita bisa tiap hari main di air terjun Cuma dengan 10 menit naik motor dari kampus
kita, tapi kamu malah mau ke Jakarta, tempat suntuk macet, penipu, pencopet ada disana
semua, kamu sanggup hidup disana?”, kataku berusaha memprovokasinya
“Terus aku gimana? Kamu ninggalin aku di Purwokerto? Aku gak mau ngelewatin
Ramadhan tanpa kamu, yang paling aku suka saat kita bareng adalah saat puasa, kita beli
cemilan banyak banget”, tambahku.
“Gak bisa Raka, di Jakarta itu pusat bisnis, macem-macem kasus ada disana, sengketa
ketenagakerjaan, kasus pidana korupsi, kasus perikanan, pasar modal, kepailitan, merk ada
disana semua, seru tau, disini mah mentok kasus pencurian”, jawabmu berusaha
merasionalisasiku.
Aku benci kita berdebat, aku tak ingin menjadi sangkarmu. Aku ingin kamu Bahagia dengan
cintaku. Aku tidak ingin, menjadi bahan pergunjinganmu dengan Allah kala kamu shalat.
Aku ingin kamu mensyukuri kehadiranku. Aku tak ingin mengekangmu, kuakhiri perdebatan
kita.
Tepat satu semester setelah kamu bercerita tentang rencanamu hijrah ke Jakarta, kamu
diterima di salah satu top tier Law Firm di Jakarta. Aku ingat betul, kamu senang bukan
main. Ini pekerjaan pertamamu di kantor pengacara. Merasa tertantang, dan ingin tahu. Aku
berusaha mengucapkan selamat dan pura-pura senang. Aku pikir ketika nanti dia berubah
pikiran, aku bisa membukakan pintu dan menyambutnya pulang lagi ke Purwokerto.

Anda mungkin juga menyukai