PENDAHULUAN
Pada dasarnya kehidupan manusia tidak pernah lepas dari hukum. Manusia
dan hukum adalah dua entitas yang tidak bisa dipisahkan. Bahkan dalam ilmu
hukum, terdapat adagium yang berbunyi: “Ubi societas ibi ius” (di mana ada
masyarakat di situ ada hukumnya), artinya bahwa dalam setiap pembentukan
suatu bangunan struktur sosial yang bernama masyarakat, maka selalu akan
dibutuhkan bahan yang bersifat sebagai “perekat” atas berbagai komponen
pembentuk dari masyarakat tersebut adalah hukum.2 Hukum adalah keseluruhan
asas dan kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat serta
meliputi lembaga dan proses guna mewujudkan berlakunya hukum dalam
masyarakat.3
1
R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), hlm. 215.
2
Ratna Artha Windari, Pengantar Hukum Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers, 2017), hlm.1.
3
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan (Bandung: Alumni,
2006), hlm.vi.
4
Ibid., hlm. 2.
1
selalu berbuat adil. Adil dalam arti memperoleh hak yang seimbang dengan
melaksanakan seluruh kewajibannya.
dihasilkan dapat dijamin kerahasiaan sengketa para pihak karena tidak ada
kewajiban untuk proses persidangan yang terbuka untuk umum dan
dipublikasikan. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan dapat dibedakan pada 3
(tiga) tingkatan jika ditinjau dari segi pihak yang terlibat penyelesaian sengketa
(dispute resolution), yaitu: pertama, yang bersifat satu pihak dalam bentuk
memaafkan dan mendiamkan, kedua, yang melibatkan kedua belah pihak yang
bersengketa biasanya dilakukan dengan cara musyawarah (negotation), ketiga,
yang melibatkan tidak saja kedua belah pihak tapi juga pihak ketiga. Pihak ketiga
ini dapat bertindak sebagai perantara (mediation), sekaligus juga memiliki
wewenang untuk mendamaikan (arbitration).6
6
Ibid., hlm. 2.
7
Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata Di Pengadilan
(Jakarta: Rajagrafindo, 2012), hlm. 35.
8
Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia (Jakarta: Rajagrafindo, 1998), hlm. 15.
sendiri ini sangat tidak dibenarkan oleh hukum dalam hal seseorang hendak
memperjuangkan haknya dari pihak lain.9
9
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia: Edisi Ke Enam (Yogyakarta:
Liberty, 2006), hlm.2.
10
Pasal 88 jo. Pasal 188 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam (selanjutnya disebut KHI).
11
Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (selanjutnya disebut UU No. 3 Tahun 2006).
itu juga mengatur tentang bagaimana cara mengajukan tuntutan hak, pemeriksaan,
memutusnya dan pelaksanaan dalam putusan tersebut.12
15
Pasal 57 ayat (2) UU No. 7 Tahun 1989.
16
M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2009), hlm. 5.
D. Kegunaan Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian yang telah diuraikan, maka dalam penulisan
skripsi ini, penulis memiliki kegunaan penelitian yang hendak dicapai yang
diuraikan sebagai berikut:
1. Kegunaan Teoretis
Penelitian ini diharapkan dapat berguna dan memberikan sumbangan
pemikiran dalam perkembangan ilmu hukum pada umumnya serta hukum
acara Peradilan Agama pada khususnya.
2. Kegunaan Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi
Hakim dan advokat yang berwenang menjalankan tugas pokok dan fungsinya
yang berkaitan dengan proses penyelesaian sengketa di lingkungan Peradilan
Agama. Serta diharapkan dapat memberikan pengetahuan kepada masyarakat
muslim Indonesia pada umumnya, khususnya para pihak yang berperkara
atau para pencari keadilan di lingkungan Peradilan Agama.
E. Kerangka Pemikiran
Negara Indonesia adalah negara hukum, hal ini sebagaimana tercantum dalam
ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945). Berdasarkan ketentuan tersebut,
maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh
kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dan keadilan.17 Institusi penyelenggara kekuasaan kehakiman tersebut disebutkan
dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa:
Peradilan agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam hal
ini sesuai dengan ketentuan Asas Personalitas keIslaman yaitu para pihak yang
dapat berperkara pada pengadilan di lingkungan Peradilan Agama adalah orang-
orang tertentu yaitu orang yang beragama Islam, selain orang Islam tidak dapat
dipaksakan tunduk kepada kekuasaan Peradilan Agama.19 Dilihat dari segi asas-
asas hukum acara, terdapat prinsip-prinsip kesamaannya secara umum di samping
secara khusus hukum acara perdata di Peradilan Umum dan hukum acara perdata
di Peradilan Agama.20
18
Zulkarnaen dan Dewi Mayaningsih, Hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia, Lengkap
dengan Sejarah dan Kontribusi Sistem Hukum Terhadap Perkembangan Lembaga Peradilan
Agama di Indonesia (Bandung: Pustaka Setia, 2017), hlm. 43.
19
Pasal 1 jo. Pasal 2 jo. Pasal 49 Undang-Undang tentang Peradilan Agama.
20
Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama (Jakarta: Rajagrafindo, 2010), hlm.6.
21
Wirjono Prodjodikoro, Hukum acara perdata Indonesia (Bandung: Sumur Bandung, 1975),
hlm. 13.
22
Cik Hasan Bisri, op.cit., hlm. 241.
23
Zulkarnaen dan Dewi Mayaningsih, op.cit., hlm. 117.
penjelasan UU No. 7 Tahun 1989 telah dinyatakan dihapus, sehingga tidak ada
lagi pilihan hukum dan telah jelas bagi yang beragama Islam diselesaikan di
Pengadilan Agama 24
Pada dasarnya dalam mengajukan tuntutan dalam perkara perdata dalm hal ini
waris berlaku asas point d’interet, point d’action, tidak ada kepentingan, tidak ada
tuntutan, yang berarti bahwa asas ada kepentingan (hukum) maka seseorang dapat
mengajukan tuntutan hak, baik yang merupakan tuntutan yang mengandung
sengketa maupun tuntutan yang tidak mengandung sengketa yang merupakan
permohonan (request).25 Berkenaan dengan proses beracara terhadap perkara
waris di Pengadilan Agama, Hakim hanya menunggu inisiatif dari masyarakat
untuk mengajukan surat gugatan terlebih dahulu, karena dalam menerima dan
membantu menyelesaikan perkara perdata diantaranya menganut asas Hakim
bersikap menunggu (iudex ne procedat ex officio) dan asas Hakim bersikap
pasif.26
Hakim bersikap menunggu artinya, inisiatif dalam mengajukan perkara di
persidangan diserahkan sepenuhnya kepada pihak yang bersangkutan.27 Hakim
hanya menunggu, jika ada tuntutan hak diajukan ke Pengadilan baru bisa
diperiksa dan diputus. Hakim tidak dapat melakukan tindakan permulaan
(berinisiatif) atau memaksakan supaya orang perseorangan yang merasa haknya
dilanggar, bertindak untuk menarik orang yang dirasa melanggar haknya itu ke
muka Pengadilan, sedangkan Hakim bersikap pasif artinya, dalam hukum perkara
perdata, ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan kepada Hakim
untuk diperiksa, ditentukan oleh pihak-pihak yang berperkara itu sendiri.
Hakim harus membantu secara aktif kepada para pencari keadilan dan
berusaha secara sungguh-sungguh dan sekeras-kerasnya mengatasi segala
24
Saat masih diberlakukan hak opsi, para pihak yang berperkara dapat memilih Pengadilan
Agama atau Pengadilan Negeri untuk mengajukan surat gugatan. Sehingga hal ini menyebabkan
kompetensi Pengadilan Agama terhadap penanganan perkara waris menjadi kabur/tidak jelas.
Bambang Waluyo, Implementasi Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia (Jakarta: Sinar
Grafika, 1992), hlm. 46.
25
Sudikno Mertokusumo, op.cit., hlm. 82.
26
Musthofa, Kepaniteraan Pengadilan Agama (Jakarta: Prenada Media, 2005), hlm. 9.
27
Retnowulan Susantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori
Dan Praktik (Bandung: Mandar Maju, 2009), hlm. 3.
hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya Peradilan yang sederhana, cepat,
dan biaya ringan.28 Pada umunya, dalam teori dan praktek Hukum acara perdata,
perkara-perkara yang masuk dan ditanganin oleh Pengadilan, terbagi kepada dua
macam, yakni: perkara yang bersifat contensius dan perkara yang bersifat
voluntaire. Perkara contensius adalah suatu perkara yang mengandung sengketa
antara dua belah pihak, sedangkan perkara voluntaire adalah perkara yang tidak
mengandung sengketa sehingga dalam perkara ini tidak ada lawan.29
Menurut hukum acara perdata, perkara yang mengandung sengketa disebut
perkara gugatan. Sebutan untuk kedua belah pihak yang bersengketa disebut
penggugat dan tergugat.30 HIR dan RBg tidak mengatur persyaratan yang
diharuskan mengenai isi dari suatu gugatan (introductief rekest). Mengenai hal
tersebut, dapat ditemukan dalam Pasal 8 Nomor 3 Reglement op de
Rechtsvordering (Rv) yang mengharuskan dalam gugatan atau tuntutan (petitum)
tersebut memuat:
1. Identitas dari pihak-pihak yang berperkara;
2. Dalil-dalil konkrit tentang adanya hubungan hukum yang merupakan
dasar serta alasan-alasan gugatan (middelen van den eis) atau dikenal
dengan istilah fundamentum petendi atau posita;
3. Gugatan atau tuntutan (petitum), yang dimaksud dengan identitas
meliputi ciri-ciri dari pihak penggugat maupun tergugat, seperti halnya
nama, alamat, pekerjaan, dan sebagainya.
Untuk mengajukan surat gugatan, terdapat beberapa ketentuan yang perlu
diperhatikan dan dimuat dalam surat gugatan, yaitu sebagaimana berikut:31
1. Keterangan lengkap mengenai pihak-pihak yang berperkara, yaitu nama,
umur, alamat, dan pekerjaan (identity of the parties);
2. Dasar gugatan (fundamentum petendi), yang memuat uraian kejadian atau
peristiwa (factual grounds) dan uraian tentang hukum, yaitu adanya hak
28
Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia (Jakarta:
Kencana, 2008), hlm. 354.
29
Taufiq Hamami, op.cit., hlm. 129.
30
Ibid., hlm 130.
31
Burhanuddin Hasan dan Harinanto Sugiono, Hukum Acara Dan Praktik Peradilan Perdata
(Bogor: Ghalia Indonesia, 2015), hlm. 37.
32
Achmad Ali, “Sekelumit Tinjauan Tentang Hubungan Antara Azas Audi Et Alteram Partem
Dengan Azas-Azas Lainnya Dalam Hukum Acara Perdata,” Jurnal Hukum Dan Pembangunan
Vol. 13 No. 6 (1983), hlm 2, diakses 1 Maret 2019,
http://jhp.ui.ac.id/index.php/home/article/viewFile/998/921.
33
Burhanuddin Hasan dan Harinanto Sugiono, op.cit., hlm. 172.
34
Cik Hasan Bisri, op.cit., hlm. 202.
35
Sudikno Mertokusumo, op.cit., hlm.15.
36
Wikipedia, diakses 13 Desember 2018, http://id.wikipedia.org/wiki/Aristoteles/keadilan.
37
Sudikno Mertukusumo, Penemuan Hukum (Yogyakarta: Liberty , 2009), hlm. 21.
38
Taufiq Hamami, op.cit., hlm. 170.
Secara umum putusan pengadilan telah ditentukan dalam Pasal 185 HIR,
Pasal 196 RBG, dan Pasal 46-68 (Reglement op de Rechtsvordering). Tanpa
mengurangi ketentuan lain, seperti Pasal 180 HIR, Pasal 191 RBG yang mengatur
putusan provisi maka berdasarkan pasal-pasal yang disebut di atas, dapat
dikemukakan berbagai segi putusan pengadilan yang dapat dijatuhkan Hakim,
yaitu:39
1. Putusan Declaratoir (pernyataan) adalah putusan yang hanya
menegaskan atau menyatakan suatu kedaan hukum semata-mata.
2. Putusan Constitutif (pengaturan/menyatakan) adalah putusan yang dapat
meniadakan suatau keadaan hukum atau menimbulkan suatu keadaan
hukum yang baru.
3. Putusan Condemnatoir (menghukum) adalah putusan yang bersifat
menghukum, atau dengan kata lain, putusan menjatuhkan hukuman.
4. Putusan Preparatoir adalah putusan sebagai akhir yang tanpa ada
pengaruh terhadap pokok perkara atau putusan akhir.
5. Putusan Interlucutioir adalah putusan sela yang dapat mempengaruhi
akan bunyi putusan akhir.
6. Putusan Insidentil adalah putusan yang berhubungan dengan insiden,
yaitu suatu peristiwa atau kejadian yang menghentikan prosedur
peradilan biasa.
7. Putusan Provisionil adalah putusan yang menjawab tuntutan provisional,
yaitu permintaan pihak yang bersangkutan agar sementara diadakan
pendahuluan guna kepentingan salah satu pihak sebelum putusan akhir
dijatukan.
8. Putusan Kontradiktoir adalah putusan yang diambil dari tergugat yang
pernah datang menghadap di persidangan, tetapi pada hari-hari sidang
berikutnya tidak datang maka perkaranya diperiksa secara kontradiktor,
kemudian diputuskannya.
39
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian
dan Putusan Pengadilan: cetakan X (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 872.
9. Putusan Verstek adalah putusan yang diambil dari tergugat yang tidak
pernah hadir di persidangan meskipun telah dipanggil secara esmi dan
patut, tetapi gugatan dikabulkan dengan putusan di luar hadir atau
“verstek”, kecuali gugatan itu melawan hak atau tidak beralasan.
10. Putusan Akhir adalah suatu pernyataan yang oleh Hakim, sebagai pejabat
negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan dalam persidangan
dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan perkara atau
sengketa antara para pihak yang beperkara dan diajukan kepada
pengadilan.
memutus perkara yang pernah diputus sebelumnya antara para pihak yang sama
serta mengenai pokok perkara yang sama (ne bis in idem). Kekuatan mengikat
dalam arti negatif, di dasarkan pada asas “litis finiri oportet”, yang menjadi dasar
ketentuan tentang tenggang waktu untuk mengajukan upaya hukum.42
F. Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan suatu sarana (ilmiah) bagi pengemban ilmu
pengetahuan dan teknologi, maka metodologi penelitian yang diterapkan harus
senantiasa disesuaikan dengan ilmu pengetahuan yang menjadi induknya.43
Dengan metode penelitian ini penulis bertujuan untuk mempermudah dalam
menjawab suatu pembahasan dari perumusan masalah. Metode penelitian yang
digunakan dalam penyusunan skripsi ini terbagi dalam beberapa tahap, yaitu
sebagai berikut:
1. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian dalam skripsi ini termasuk penelitian yang bersifat
deskriptif analitis, yaitu menggambarkan suatu metode yang menggambarkan
atau melukiskan suatu fakta-fakta dan menganalisisnya dihubungkan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku secara menyeluruh dan
sistematis dalam penelitian ini.44
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, yaitu penelitian
hukum yang dilakukan melalui penelitian kepustakaan (library research).
Dalam mencari dan mengumpulkan data yang diperlukan dalam penelitian
ini, penulis menggunakan data sekunder. Data Sekunder (secundary data),
yaitu bahan pustaka yang mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku
perpustakaan, peraturan perundang-undangan, karya ilmiah, artikel-artikel,
serta dokumen yang berkaitan dengan materi penelitian. Dari data sekunder
tersebut mencakup tiga bagian, yaitu:45
42
Pasal 1917 jo. Pasal 1920 KUHPerdata/Pasal 134 Rv.
43
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2014), hlm 182.
44
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI-Press, 1986), hlm. 10.
45
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudj, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat
(Jakarta: Rajagrafindo, 2010), hlm. 13.
46
Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Cet. Ketiga, (Malang:
Bayumedia Publishing, 2007), hlm. 302.