Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Manusia sebagai makhluk sosial dan sesuai dengan kodratnya diciptakan oleh
Tuhan Yang Maha Esa, untuk hidup bersama dengan manusia lainnya. “Manusia
adalah makhluk sosial atau zoon politicon” kata Aristoteles. Sebagai makhluk
sosial manusia selalu ingin hidup berkelompok, hidup bermasyarakat. Dalam
kehidupan bermasyarakat tersebut manusia mempunyai tujuan untuk memenuhi
kebutuhan. Untuk itu diperlukan hubungan atau kontak antara anggota masyarakat
dalam rangka mencapai tujuannya dan melindungi kepentingannya.1

Pada dasarnya kehidupan manusia tidak pernah lepas dari hukum. Manusia
dan hukum adalah dua entitas yang tidak bisa dipisahkan. Bahkan dalam ilmu
hukum, terdapat adagium yang berbunyi: “Ubi societas ibi ius” (di mana ada
masyarakat di situ ada hukumnya), artinya bahwa dalam setiap pembentukan
suatu bangunan struktur sosial yang bernama masyarakat, maka selalu akan
dibutuhkan bahan yang bersifat sebagai “perekat” atas berbagai komponen
pembentuk dari masyarakat tersebut adalah hukum.2 Hukum adalah keseluruhan
asas dan kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat serta
meliputi lembaga dan proses guna mewujudkan berlakunya hukum dalam
masyarakat.3

Hukum berfungsi untuk memperoleh ketertiban dalam hubungan antar


manusia selain itu suatu sifat khas pada hukum yang tidak terdapat pada ketentuan
lainnya yang bertujuan untuk mencapai tata tertib yaitu keadilan.4 Segala tingkah
laku yang diperbuat oleh manusia pastilah harus berasaskan hukum dan ketentuan
yang berlaku saat ini. Pemerintah dalam memperlakukan seluruh warganya akan

                                                            
1
R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), hlm. 215.
2
Ratna Artha Windari, Pengantar Hukum Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers, 2017), hlm.1.
3
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan (Bandung: Alumni,
2006), hlm.vi.
4
Ibid., hlm. 2.


 
 

selalu berbuat adil. Adil dalam arti memperoleh hak yang seimbang dengan
melaksanakan seluruh kewajibannya.

Setiap manusia menyandang kewajiban yang sudah diatur dan harus


dipatuhinya. Sebaliknya juga manusia pasti mempunyai hak-hak yang dimilki
sejak ia dilahirkan. Dari berbagai macam hak yang melekat pada diri manusia itu
telah diatur dan ditentukan pula peraturan yang bersangkutan dengan hak-hak
tersebut. Dengan demikian manusia selain dihadapkan dengan kewajiban yang
harus dipenuhinya mereka juga harus memperjuangkan hak-hak mereka. Akan
tetapi manusia sering kali tidak dapat menghindar dari yang namanya konflik atau
sengketa antar manusia lainnya, terhadap hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang
dapat terjadi apabila ada seseorang ingin menguasai, mengurangi, atau melanggar
hak orang lain yang berkaitan dengan mempertahankan hak yang bersangkutan,
tentu hal tersebut akan menimbulkan perselisihan atau sengketa.

Sengketa (dispute) merupakan bagian tidak terpisahkan dari kehidupan


manusia. Salah satu sengketa yang sering terjadi dalam lingkungan keluarga
adalah sengketa waris yang menyangkut harta benda seseorang yang telah
meninggal dunia, karena harta oleh manusia dianggap sebagai barang yang
berharga, sehingga sering menimbulkan sengketa ataupun perselisihan demi
berebut untuk menguasai harta waris tersebut. Dalam rangka menghadapi
persoalan tersebut, manusia baik secara Individu maupun kelompok (masyarakat)
mengembangkan berbagai sikap dan perilaku tentang cara atau metode untuk
menyelesaikan perselisihan atau sengketa dengan melalui beberapa metode.

Metode penyelesaian sengketa jika ditinjau dari segi cara penyelesaian


sengketa, digunakan dua cara dalam menyelesaikan perkara perdata, yaitu di luar
pengadilan (non litigation) dan melalui pengadilan (litigation).5 Penyelesaian
sengketa di luar pengadilan, menghasilkan kesepakatan yang win-win solution
karena penyelesaian sengketa di luar pengadilan melalui kesepakatan dan
musyawarah di antara para pihak sehingga dapat menghasilkan suatu keputusan
bersama yang dapat diterima baik oleh kedua belah pihak, dan keputusan yang
                                                            
5
Qurratul Aini Wara Hastuti “Kewenangan Pengadilan Agama Kudus Dalam Penyelesaian
Sengketa Wakaf,” Jurnal ZISWAF Vol. 1 No. 1 (Juni 2014), hlm. 1.
 

dihasilkan dapat dijamin kerahasiaan sengketa para pihak karena tidak ada
kewajiban untuk proses persidangan yang terbuka untuk umum dan
dipublikasikan. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan dapat dibedakan pada 3
(tiga) tingkatan jika ditinjau dari segi pihak yang terlibat penyelesaian sengketa
(dispute resolution), yaitu: pertama, yang bersifat satu pihak dalam bentuk
memaafkan dan mendiamkan, kedua, yang melibatkan kedua belah pihak yang
bersengketa biasanya dilakukan dengan cara musyawarah (negotation), ketiga,
yang melibatkan tidak saja kedua belah pihak tapi juga pihak ketiga. Pihak ketiga
ini dapat bertindak sebagai perantara (mediation), sekaligus juga memiliki
wewenang untuk mendamaikan (arbitration).6

Penyelesaian sengketa melalui pengadilan atau litigasi yaitu suatu


penyelesaian sengketa yang dilaksanakan dengan proses beracara di pengadilan
yang mana semua pihak yang bersengketa saling berhadapan satu sama lain untuk
mempertahankan hak-haknya di muka pengadilan, kewenangan untuk mengatur
dan memutuskannya dilaksanakan oleh Hakim. Hasil akhir dari suatu
penyelesaian sengketa melalui litigasi adalah putusan yang menyatakan win-lose
solution.7

Peradilan memiliki peranan yang menentukan dalam penegakkan hukum dan


keadilan bagi masyarakat. Tuntutan terhadap peranan yang dapat dimainkan oleh
badan peradilan semakin meningkat, karena diferensiasi keahlian dan profesi
semakin beraneka ragam, yang memberi peluang terjadinya kesenjangan sosial
diberbagai bidang. Hal itu merupakan potensi yang mampu mendorong
pertentangan kepentingan di dalam masyarakat, yang membutuhkan penyelesaian
badan peradilan secara cepat dan tepat.8 Tujuan dari adanya tuntutan hak di
Pengadilan adalah untuk memperoleh perlindungan hukum, untuk mencegah
timbulnya tindakan menghakimi kehendaknya sendiri yang bersifat sewenang-
wenang tanpa persetujuan dari pihak lain yang berkepentingan, sehingga akan
menimbulkan kerugian dipihak lain. Oleh karena itu, tindakan menghakimi

                                                            
6
Ibid., hlm. 2.
7
Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata Di Pengadilan
(Jakarta: Rajagrafindo, 2012), hlm. 35.
8
Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia (Jakarta: Rajagrafindo, 1998), hlm. 15.
 

sendiri ini sangat tidak dibenarkan oleh hukum dalam hal seseorang hendak
memperjuangkan haknya dari pihak lain.9

Terhadap perkara-perkara dalam bidang waris bagi orang yang beragama


Islam, yang menimbulkan sengketa atau perselisihan bagi ahli waris dan sudah
tidak bisa diselesaikan secara musyawarah anatara keluarga, maka pihak-pihak
yang merasa dirugikan kepentingannya dapat mengajukan tuntutan hak ke
Pengadilan Agama, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 88 Instruksi Presiden
Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disebut KHI),
bahwa:

“Apabila terjadi perselisihan tentang harta bersama, maka penyelesaian


perselisihan itu diajukan di Pengadilan Agama.”10

Pengadilan Agama merupakan pengadilan tingkat pertama dari lingkungan


Peradilan Agama sebagai salah satu pelaksanaan kekuasaan kehakiman.
Kekuasaan dan wewenang mengadili bagi Pengadilan di lingkungan Peradilan
Agama adalah bidang Perdata tertentu, bahwa:

“Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan


menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama
Islam di bidang: Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah, Wakaf, Zakat, Infaq,
Shadaqah dan Ekonomi syari’ah.”11

Berdasarkan ketentuan tersebut maka terhadap perkara dalam bidang waris


bagi orang yang beragama Islam menjadi kekuasaan dan wewenang Pengadilan
Agama. Untuk itu diperlukan adanya aturan-aturan hukum tersendiri selain hukum
materiilnya. Peraturan hukum ini yang disebut hukum formil atau hukum acara.
Hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya
menjamin agar ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantara Hakim, selain

                                                            
9
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia: Edisi Ke Enam (Yogyakarta:
Liberty, 2006), hlm.2.
10
Pasal 88 jo. Pasal 188 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam (selanjutnya disebut KHI).
11
Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (selanjutnya disebut UU No. 3 Tahun 2006).
 

itu juga mengatur tentang bagaimana cara mengajukan tuntutan hak, pemeriksaan,
memutusnya dan pelaksanaan dalam putusan tersebut.12

Undang-Undang tentang Peradilan Agama tidak mengatur secara tegas


tentang hukum acara, tetapi hanya menegaskan bahwa Pengadilan Agama
memberlakukan hukum acara yang berlaku pada hukum acara perdata di
lingkungan Peradilan Umum.13 Dengan demikian, apabila berbicara mengenai
aturan beracara, maka harus merujuk ke dalam peraturan perundang-undangan
yang ditentukan dalam Herziene Inlandsch Reglemen (HIR) atau Rechtsreglemen
voor de Buitengewesten (RBg). Dengan kata lain, bahwa hukum acara perdata
pada Pengadilan di lingkungan Peradilan Agama adalah bagaimana cara Hakim
memeriksa dan memutus perkara yang ditanganinya, dan cara melaksanakan
putusan yang dijatuhkan oleh Pengadilan di lingkungan Peradilan Agama.14
 
Pengadilan Agama dalam melaksanakan penyelesaian sengketa waris,
menjalankan tugas mulai dari penerimaan perkara, kemudian perkara diperiksa
dan diputus di persidangan, serta pelaksanaan putusan Pengadilan selalu dalam
monitoring dan pengawasan hukum acara perdata. Adapun kasus perkara nomor:
5113/Pdt.G/2016/PA Cmi, tentang perkara Gugatan Warisan. Bahwa Para
Penggugat sebagai saudara kandung dari (Almarhumah) Paryanti Mala. Para
penggugat merupakan ahli waris atas harta yang ditinggalkan (Almarhumah) yang
saat ini menjadi objek sengketa harta waris, karena dikuasai oleh Tergugat secara
sepihak dalam waktu yang lama (tergugat merupakan suami dari (Almarhumah),
selama pernikahan atau perkawinan (Almarhumah) dengan Tergugat tidak
dikaruniai anak atau tidak mempunyai keturunan.
 
Dalam hal Para Penggugat selaku Ahli waris merasa keberatan akan
penguasaan terhadap harta warisan secara sepihak oleh Tergugat, karena ada hak-
hak Para Penggugat yang harus diperoleh serta kewajiban yang harus diberikan
oleh Tergugat kepada Para Penggugat. Berdasarkan kasus tersebut, dalam proses
                                                            
12
Sudikno Mertokusumo, op.cit., hlm.2.
13
Pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (selanjutnya
disebut UU No. 7 Tahun 1989).
14
Taufiq Hamami, Kedudukan dan Eksistensi Peradilan Agama Dalam Sistem Tata Hukum di
Indonesia (Bandung: Alumni, 2003), hlm. 124.
 

persidangan mengenai sengketa harta waris, para pihak mempunyai keinginan


besar mengenai makna keadilan. Hakim yang memeriksa, mengadili serta
memberikan putusan berdasarkan dalil-dalil hukum yang benar dan bukti-bukti
yang benar adanya. Pertimbangan hakim merupakan salah satu aspek terpenting
dalam menentukan terwujudnya nilai dari suatu putusan hakim yang mengandung
keadilan (ex aequo et bono) dan mengandung kepastian hukum, serta
mengandung manfaat bagi para pihak yang bersangkutan sehingga pertimbangan
hakim ini harus disikapi dengan teliti, baik, dan cermat.
 
Putusan Pengadilan yaitu hasil akhir proses peradilan. Putusan hakim
pengaruhnya terhadap kehidupan sosial masyarakat, dilihat dari sisi tujuan
hukum, hukum dibuat untuk mengatur tata tertib masyarakat secara damai dan
adil dengan kata lain bahwa hukum dibuat dengan tujuan untuk menjaga
kepentingan tiap-tiap manusia supaya kepentingannya tidak dapat diganggu.
Putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in
kracht van gewijsde) mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan putusan
Perdata pada umumnya yaitu mempunyai kekuatan eksekusi. Suatu putusan
pengadilan tidak ada artinya apabila tidak dilaksanakan, oleh karena itu putusan
hakim mempunyai kekuatan hukum eksekutorial yaitu kekuatan untuk
dilaksanakan apa yang menjadi ketetapan dalam putusan itu secara paksa dengan
bantuan alat-alat negara.
 
Adapun yang memberi kekuatan eksekutorial pada putusan hakim di dalam
Pengadilan Agama adalah kepala putusan yang dimulai dengan kalimat
Bismillahirrahmanirrahim diikuti dengan kalimat Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.15 Selain itu dalam putusan hakim harus mengandung
arti suatu wujud hubungan hukum yang tetap dan pasti antara pihak yang
berperkara sebab hubungan hukum tersebut harus ditaati dan harus dipenuhi oleh
pihak tergugat dan putusan hakim tersebut dapat di jalankan.16

                                                            
15
Pasal 57 ayat (2) UU No. 7 Tahun 1989.
16
M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2009), hlm. 5.
 

Meskipun dalam realitasnya belum tentu setiap putusan yang dihasilkan


mencerminkan rasa keadilan, karena dalam hal ini putusan yang dianggap adil
bagi salah satu pihak belum tentu dianggap adil oleh pihak lain yang berperkara.
Namun terlepas dari alasan tersebut, tujuan utama seseorang mengajukan gugatan
di muka peradilan adalah untuk mendapatkan keadilan dan kepastian hukumnya,
yang mana sengketa yang berperkara antar para pihak mampu diselesaikan dengan
melihat hak-hak dan kewajiban-kewajiban para pihak yang harus di penuhi sesuai
dengan ketentuan hukum acara.
 
Dalam kaitan dengan penulisan ini, maka akan dibahas mengenai Putusan
Pengadilan Agama Cimahi Nomor 5113/Pdt.G/2016/PA.Cmi tentang perkara
gugatan harta waris terhadap harta bawaan dan harta gono-gini dan dituangkan
dalam bentuk skripsi dengan judul: ANALISIS HUKUM TERHADAP
PUTUSAN PENGADILAN AGAMA CIMAHI NOMOR:
5113/PDT.G/2016/PA.CMI MENGENAI HARTA WARIS GONO-GINI
TANPA KETURUNAN DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG
TENTANG PERADILAN AGAMA.
 
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas maka identifikasi
masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah Rumusan Kepala Putusan Pengadilan Agama Cimahi
Nomor: 5113/Pdt.G/2016/PA.Cmi ?
2. Bagaimanakah Pertimbangan Majelis Hakim dan Amar Putusan
Pengadilan Agama Cimahi Nomor: 5113/Pdt.G/2016/PA.Cmi
dihubungkan dengan Undang-Undang tentang Peradilan Agama ?
 
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan identifikasi masalah yang telah diuraikan, maka dalam penulisan
skripsi ini, maka penulis memiliki beberapa tujuan yang hendak dicapai yang
diuraikan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui Rumusan Kepala Putusan Pengadilan Agama Cimahi
Nomor: 5113/Pdt.G/2016/PA.Cmi.
 

2. Untuk mengetahui Pertimbangan Majelis Hakim dan Amar Putusan


Pengadilan Agama Cimahi Nomor: 5113/Pdt.G/2016/PA.Cmi
dihubungkan dengan Undang-Undang tentang Peradilan Agama.

D. Kegunaan Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian yang telah diuraikan, maka dalam penulisan
skripsi ini, penulis memiliki kegunaan penelitian yang hendak dicapai yang
diuraikan sebagai berikut:
1. Kegunaan Teoretis
Penelitian ini diharapkan dapat berguna dan memberikan sumbangan
pemikiran dalam perkembangan ilmu hukum pada umumnya serta hukum
acara Peradilan Agama pada khususnya.
2. Kegunaan Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi
Hakim dan advokat yang berwenang menjalankan tugas pokok dan fungsinya
yang berkaitan dengan proses penyelesaian sengketa di lingkungan Peradilan
Agama. Serta diharapkan dapat memberikan pengetahuan kepada masyarakat
muslim Indonesia pada umumnya, khususnya para pihak yang berperkara
atau para pencari keadilan di lingkungan Peradilan Agama.

E. Kerangka Pemikiran
Negara Indonesia adalah negara hukum, hal ini sebagaimana tercantum dalam
ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945). Berdasarkan ketentuan tersebut,
maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh
kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dan keadilan.17 Institusi penyelenggara kekuasaan kehakiman tersebut disebutkan
dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa:

“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan


peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
                                                            
17
Penjelasan Atas Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
(Selanjutnya disebut UU Kekuasaan Kehakiman)
 

lingkungan Peradilan Agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan


peradilan tata usaha negara, dan sebuah Mahkamah Konstitusi.”

Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagai


Peradilan Negara Indonesia yang sah, yang bersifat Peradilan khusus. Peradilan
Agama merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dengan Hukum
Islam. Keberadaan hukum Islam di Indonesia merupakan tatanan nilai dan hukum
yang dijadikan sebagai pedoman dan ditaati oleh mayoritas penduduk dan
masyarakat Indonesia yang beragama Islam.18 Hal tersebut merupakan
implementasi dari ketentuan Pasal 29 UUD 1945 tentang kebebasan beragama
bahwa:

(1) Negara berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa.


(2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
Agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut Agamanya dan
kepercayaannya itu.

Peradilan agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam hal
ini sesuai dengan ketentuan Asas Personalitas keIslaman yaitu para pihak yang
dapat berperkara pada pengadilan di lingkungan Peradilan Agama adalah orang-
orang tertentu yaitu orang yang beragama Islam, selain orang Islam tidak dapat
dipaksakan tunduk kepada kekuasaan Peradilan Agama.19 Dilihat dari segi asas-
asas hukum acara, terdapat prinsip-prinsip kesamaannya secara umum di samping
secara khusus hukum acara perdata di Peradilan Umum dan hukum acara perdata
di Peradilan Agama.20

Hukum acara perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat


cara bagaimana orang harus bertindak di pengadilan dan bagaimana cara
pengadilan itu harus bertindak satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya
peraturan-peraturan hukum perdata.21 Hukum acara yang berlaku di Pengadilan
Agama ditentukan dalam Pasal 54 UU No. 7 Tahun 1989, bahwa:

                                                            
18
Zulkarnaen dan Dewi Mayaningsih, Hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia, Lengkap
dengan Sejarah dan Kontribusi Sistem Hukum Terhadap Perkembangan Lembaga Peradilan
Agama di Indonesia (Bandung: Pustaka Setia, 2017), hlm. 43.
19
Pasal 1 jo. Pasal 2 jo. Pasal 49 Undang-Undang tentang Peradilan Agama.
20
Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama (Jakarta: Rajagrafindo, 2010), hlm.6.
21
Wirjono Prodjodikoro, Hukum acara perdata Indonesia (Bandung: Sumur Bandung, 1975),
hlm. 13.
 

“Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan


Agama adalah Hukum acara perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam
undang-undang ini.”

Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa terdapat Hukum acara perdata yang


secara umum berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum dan
Peradilan Agama, dan ada Hukum Acara yang hanya berlaku pada Pengadilan
dalam lingkungan Peradilan Agama. Hal ini merupakan suatu kekecualian
(istisna’) dan kekhususan (takhsis).22 Adapun kompetensi atau kewenangan
lembaga pengadilan di lingkungan Peradilan Agama dibagi menjadi dua, yatiu:23
1. Kompetensi absolut (absolute competentie), yaitu kewenangan yang
menyangkut kekuasaan mutlak untuk mengadili suatu perkara, artinya
perkara tersebut hanya bisa diperiksa dan diadili oleh pengadilan agama.
Dalam istilah lain disebut atribut van rechsmacht.
2. Kompetensi relatif (relative competentie), yaitu kewenangan mengadili
suatu perkara yang menyangkut wilayah/daerah hukum (yurisdiksi).
Dalam istilah lain disebut distribute van rechsmacht.
 
Kompetensi Absolut (memaksa) dalam lingkungan Peradilan Agama
ditentukan dalam Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 yaitu Pengadilan Agama
bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di
tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang: Perkawinan,
waris, wasiat, hibah, waqaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi syari’ah.
 
Salah satu perkara yaitu perkara waris merupakan perkara perdata antara
orang-orang yang beragama Islam telah menjadi kompetensi absolut Pengadilan
Agama sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama (selanjutnya disebut UU No. 50 Tahun 2009), artinya bahwa perkara waris
bagi umat Islam di seluruh Indonesia, penyelesaiannya menjadi wewenang
Peradilan Agama. Hal tersebut karena hak opsi waris yang terdapat dalam

                                                            
22
Cik Hasan Bisri, op.cit., hlm. 241.
23
Zulkarnaen dan Dewi Mayaningsih, op.cit., hlm. 117.
 

penjelasan UU No. 7 Tahun 1989 telah dinyatakan dihapus, sehingga tidak ada
lagi pilihan hukum dan telah jelas bagi yang beragama Islam diselesaikan di
Pengadilan Agama 24
 
Pada dasarnya dalam mengajukan tuntutan dalam perkara perdata dalm hal ini
waris berlaku asas point d’interet, point d’action, tidak ada kepentingan, tidak ada
tuntutan, yang berarti bahwa asas ada kepentingan (hukum) maka seseorang dapat
mengajukan tuntutan hak, baik yang merupakan tuntutan yang mengandung
sengketa maupun tuntutan yang tidak mengandung sengketa yang merupakan
permohonan (request).25 Berkenaan dengan proses beracara terhadap perkara
waris di Pengadilan Agama, Hakim hanya menunggu inisiatif dari masyarakat
untuk mengajukan surat gugatan terlebih dahulu, karena dalam menerima dan
membantu menyelesaikan perkara perdata diantaranya menganut asas Hakim
bersikap menunggu (iudex ne procedat ex officio) dan asas Hakim bersikap
pasif.26
 
Hakim bersikap menunggu artinya, inisiatif dalam mengajukan perkara di
persidangan diserahkan sepenuhnya kepada pihak yang bersangkutan.27 Hakim
hanya menunggu, jika ada tuntutan hak diajukan ke Pengadilan baru bisa
diperiksa dan diputus. Hakim tidak dapat melakukan tindakan permulaan
(berinisiatif) atau memaksakan supaya orang perseorangan yang merasa haknya
dilanggar, bertindak untuk menarik orang yang dirasa melanggar haknya itu ke
muka Pengadilan, sedangkan Hakim bersikap pasif artinya, dalam hukum perkara
perdata, ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan kepada Hakim
untuk diperiksa, ditentukan oleh pihak-pihak yang berperkara itu sendiri.

Hakim harus membantu secara aktif kepada para pencari keadilan dan
berusaha secara sungguh-sungguh dan sekeras-kerasnya mengatasi segala
                                                            
24
Saat masih diberlakukan hak opsi, para pihak yang berperkara dapat memilih Pengadilan
Agama atau Pengadilan Negeri untuk mengajukan surat gugatan. Sehingga hal ini menyebabkan
kompetensi Pengadilan Agama terhadap penanganan perkara waris menjadi kabur/tidak jelas.
Bambang Waluyo, Implementasi Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia (Jakarta: Sinar
Grafika, 1992), hlm. 46.
25
Sudikno Mertokusumo, op.cit., hlm. 82.
26
Musthofa, Kepaniteraan Pengadilan Agama (Jakarta: Prenada Media, 2005), hlm. 9.
27
Retnowulan Susantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori
Dan Praktik (Bandung: Mandar Maju, 2009), hlm. 3.
 

hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya Peradilan yang sederhana, cepat,
dan biaya ringan.28 Pada umunya, dalam teori dan praktek Hukum acara perdata,
perkara-perkara yang masuk dan ditanganin oleh Pengadilan, terbagi kepada dua
macam, yakni: perkara yang bersifat contensius dan perkara yang bersifat
voluntaire. Perkara contensius adalah suatu perkara yang mengandung sengketa
antara dua belah pihak, sedangkan perkara voluntaire adalah perkara yang tidak
mengandung sengketa sehingga dalam perkara ini tidak ada lawan.29
 
Menurut hukum acara perdata, perkara yang mengandung sengketa disebut
perkara gugatan. Sebutan untuk kedua belah pihak yang bersengketa disebut
penggugat dan tergugat.30 HIR dan RBg tidak mengatur persyaratan yang
diharuskan mengenai isi dari suatu gugatan (introductief rekest). Mengenai hal
tersebut, dapat ditemukan dalam Pasal 8 Nomor 3 Reglement op de
Rechtsvordering (Rv) yang mengharuskan dalam gugatan atau tuntutan (petitum)
tersebut memuat:
1. Identitas dari pihak-pihak yang berperkara;
2. Dalil-dalil konkrit tentang adanya hubungan hukum yang merupakan
dasar serta alasan-alasan gugatan (middelen van den eis) atau dikenal
dengan istilah fundamentum petendi atau posita;
3. Gugatan atau tuntutan (petitum), yang dimaksud dengan identitas
meliputi ciri-ciri dari pihak penggugat maupun tergugat, seperti halnya
nama, alamat, pekerjaan, dan sebagainya.
 
Untuk mengajukan surat gugatan, terdapat beberapa ketentuan yang perlu
diperhatikan dan dimuat dalam surat gugatan, yaitu sebagaimana berikut:31
1. Keterangan lengkap mengenai pihak-pihak yang berperkara, yaitu nama,
umur, alamat, dan pekerjaan (identity of the parties);
2. Dasar gugatan (fundamentum petendi), yang memuat uraian kejadian atau
peristiwa (factual grounds) dan uraian tentang hukum, yaitu adanya hak
                                                            
28
Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia (Jakarta:
Kencana, 2008), hlm. 354.
29
Taufiq Hamami, op.cit., hlm. 129.
30
Ibid., hlm 130.
31
Burhanuddin Hasan dan Harinanto Sugiono, Hukum Acara Dan Praktik Peradilan Perdata
(Bogor: Ghalia Indonesia, 2015), hlm. 37.
 

dalam hubungan hukum yang menjadi dasar yuridis gugatan tersebut


(legal grounds);
3. Tuntutan (petitum) yang dimohonkan penggugat agar diputuskan oleh
pengadilan. Petitum dibagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu petitum primair
yang merupakan tuntutan pokok dan petitum subsidair merupakan
tuntutan pengganti, apabila tuntutan pokok ditolak oleh pengadilan.
 
Dalam suatu proses beracara para pihak yang berperkara perdata di muka
pengadilan, harus diperlakukan sama oleh hakim. Bahwa para pihak haruslah
memperoleh kesempatan yang sama untuk menang dan kesempatan yang sarna
untuk kalah. Dengan kata lain, secara prosesual maka kedudukan para pihak yang
berperkara sama di muka hakim (audi et alteram partem).32 Produk hukum dalam
Peradilan Agama yaitu berupa produk hukum yang berupa putusan merupakan
pengakhiran dari suatu persengketaan dan produk hukum yang berupa penetapan
merupakan yang tidak menyelesaikan suatu konflik atau persengketaan,
melainkan isi dari penetapan hanya bersifat menerangkan saja, yang dalam istilah
hukumnya dikenal dengan declaratoir.33
 
Putusan pengadilan adalah suatu pernyataan yang oleh Hakim, sebagai
pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan
bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa
antara para pihak.34 Putusan pengadilan merupakan intisari dari pada seluruh
kegiatan persidangan. Segala penetapan ataupun putusan pengadilan harus
memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan yang jelas dan rinci, serta
mencantumkan pasal-pasal peraturan perundang-undangan tertentu yang
berhubungan dengan perkara yang diputus atau berdasarkan hukum tidak tertulis,
yurisprudensi atau doktrin hukum.35

                                                            
32
Achmad Ali, “Sekelumit Tinjauan Tentang Hubungan Antara Azas Audi Et Alteram Partem
Dengan Azas-Azas Lainnya Dalam Hukum Acara Perdata,” Jurnal Hukum Dan Pembangunan
Vol. 13 No. 6 (1983), hlm 2, diakses 1 Maret 2019,
http://jhp.ui.ac.id/index.php/home/article/viewFile/998/921.
33
Burhanuddin Hasan dan Harinanto Sugiono, op.cit., hlm. 172.
34
Cik Hasan Bisri, op.cit., hlm. 202.
35
Sudikno Mertokusumo, op.cit., hlm.15.
 

Alasan atau argumentasi di dalam putusannya dimaksudkan sebagai


pertanggungjawaban hakim terhadap masyarakat, sehingga karena itu mempunyai
nilai obyektif. Ketentuan tersebut ditentukan dalam Pasal 62 UU No. 7 Tahun
1989. Selain itu putusan Pengadilan harus mengandung keadilan, kepastian
hukum, dan kemanfaatan. Menurut Aristoteles, terdapat beberapa pengertian
keadilan antara lain, yaitu:36
1. Keadilan berbasis persamaan, di dasarkan atas prinsip bahwa hukum
mengikat semua orang, sehingga keadilan yang hendak dicapai oleh
hukum dipahami dalam konteks kesamaan. Kesamaan terdiri atas
kesamaan numerik dan kesamaan proporsional. Kesamaan numerik
berprinsip kesamaan derajat atas setiap orang di hadapan hukum,
sedangkan kesamaan proporsional adalah memberi kepada setiap orang
apa yang sudah menjadi haknya.
2. Keadilan distributif berpangkal pada pemberian hak sesuai dengan besar
kecilnya jasa, sehingga dalam hal ini keadilan di dasarkan pada
persamaan, melainkan sesuai dengan porsinya masing-masing
(proporsional).
3. Keadilan korektif merupakan keadilan yang bertumpu pada pembetulan
atas suatu kesalahan, misalnya apabila ada kesalahan orang yang
menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka orang yang mengakibatkan
munculnya kerugian, harus memberikan ganti rugi (kompensasi) kepada
pihak yang menerima kerugian untuk memulihkan keadaannya sebagai
akibat dari kesalahan yang dilakukan.
 
Selanjutnya putusan Pengadilan harus mempunyai kepastian hukum. Menurut
Sudikno Mertukusumo, kepastian hukum merupakan jaminan bahwa hukum
tersebut dapat di jalankan dengan baik. Sudah tentu kepastian hukum sudah
menjadi bagian yang tidak terpisahkan hal ini lebih diutamakan untuk norma
hukum tertulis, karena kepastian sendiri hakikatnya merupakan tujuan utama dari
hukum. Kepastian hukum ini menjadi keteraturan masyarakat berkaitan erat
dengan kepastian itu sendiri karena esensi dari keteraturan akan menyebabkan

                                                            
36
Wikipedia, diakses 13 Desember 2018, http://id.wikipedia.org/wiki/Aristoteles/keadilan.
 

seseorag hidup secara berkepastian dalam melakukan kegiatan yang diperlukan


dalam melakukan aktivitas kehidupan masyarakat itu sendiri.37
 
Kepastian hukum yang dituangkan dalam putusan hakim merupakan hasil
yang di dasarkan pada fakta-fakta persidangan yang relevan secara yuridis serta
dipertimbangkan dengan hati nurani. Hakim dituntut untuk selalu dapat
menafsirkan makna undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang dijadikan
dasar untuk diterapkan, sehingga berkaitan dengan kepastian hukum maka
putusan hakim harus jelas, tegas, dan pasti agar putusan dapat dilaksanakan.
Dengan dapat dilaksanakannya suatu putusan tersebut, berarti putusan tersebut
bermanfaat bagi para pihak yang terutama pihak yang telah dirugikan hak atau
hak-haknya, berarti pula bermanfaat bagi masyarakat.38
 
Dengan dapat ditegakkannya atau dikembalikannya hak kepada yang berhak,
berarti putusan Majelis Hakim telah memenuhi suatu asas kemanfaatan. Majelis
Hakim dalam menjatuhkan suatu putusan Pengadilan harus berusaha semaksimal
mungkin agar setiap putusan yang dijatuhkan itu mengandung asas tersebut di
atas. Suatu putusan pengadilan memiliki kekuatan hukum yang tetap harus
terdapat tiga kekuatan, yaitu: kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian, dan
kekuatan eksekusi.
1. Kekuatan mengikat yaitu kedua pihak telah bersepakat untuk
menyerahkan kepada pengadilan untuk menyelesaikan sengketa yang
terjadi antara mereka, maka dengan demikian kedua pihak harus tunduk
terhadap putusan yang dibuat oleh pengadilan atau Hakim.
2. Kekuatan pembuktian yaitu putusan pengadilan yang dituangkan dalam
bentuk tertulis merupakan akta otentik yang dapat dipergunakan sebagai
alat bukti oleh kedua pihak apabila diperlukan sewaktu – waktu oleh para
pihak untuk mengajukan upaya hukum.
3. Kekuatan eksekutorial yaitu putusan hakim atau putusan pengadilan
adalah kekuatan untuk dilaksanakan secara paksa oleh para pihak dengan

                                                            
37
Sudikno Mertukusumo, Penemuan Hukum (Yogyakarta: Liberty , 2009), hlm. 21.
38
Taufiq Hamami, op.cit., hlm. 170.
 

bantuan alat–alat negara terhadap pihak yang tidak melaksanakan


putusan tersebut secara sukarela.

Secara umum putusan pengadilan telah ditentukan dalam Pasal 185 HIR,
Pasal 196 RBG, dan Pasal 46-68 (Reglement op de Rechtsvordering). Tanpa
mengurangi ketentuan lain, seperti Pasal 180 HIR, Pasal 191 RBG yang mengatur
putusan provisi maka berdasarkan pasal-pasal yang disebut di atas, dapat
dikemukakan berbagai segi putusan pengadilan yang dapat dijatuhkan Hakim,
yaitu:39
1. Putusan Declaratoir (pernyataan) adalah putusan yang hanya
menegaskan atau menyatakan suatu kedaan hukum semata-mata.
2. Putusan Constitutif (pengaturan/menyatakan) adalah putusan yang dapat
meniadakan suatau keadaan hukum atau menimbulkan suatu keadaan
hukum yang baru.
3. Putusan Condemnatoir (menghukum) adalah putusan yang bersifat
menghukum, atau dengan kata lain, putusan menjatuhkan hukuman.
4. Putusan Preparatoir adalah putusan sebagai akhir yang tanpa ada
pengaruh terhadap pokok perkara atau putusan akhir.
5. Putusan Interlucutioir adalah putusan sela yang dapat mempengaruhi
akan bunyi putusan akhir.
6. Putusan Insidentil adalah putusan yang berhubungan dengan insiden,
yaitu suatu peristiwa atau kejadian yang menghentikan prosedur
peradilan biasa.
7. Putusan Provisionil adalah putusan yang menjawab tuntutan provisional,
yaitu permintaan pihak yang bersangkutan agar sementara diadakan
pendahuluan guna kepentingan salah satu pihak sebelum putusan akhir
dijatukan.
8. Putusan Kontradiktoir adalah putusan yang diambil dari tergugat yang
pernah datang menghadap di persidangan, tetapi pada hari-hari sidang
berikutnya tidak datang maka perkaranya diperiksa secara kontradiktor,
kemudian diputuskannya.
                                                            
39
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian
dan Putusan Pengadilan: cetakan X (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 872.
 

9. Putusan Verstek adalah putusan yang diambil dari tergugat yang tidak
pernah hadir di persidangan meskipun telah dipanggil secara esmi dan
patut, tetapi gugatan dikabulkan dengan putusan di luar hadir atau
“verstek”, kecuali gugatan itu melawan hak atau tidak beralasan.
10. Putusan Akhir adalah suatu pernyataan yang oleh Hakim, sebagai pejabat
negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan dalam persidangan
dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan perkara atau
sengketa antara para pihak yang beperkara dan diajukan kepada
pengadilan.

Perkara waris di dalam lingkungan peradilan Agama adalah perkara yang di


dalamnya terkandung sengketa, diproses secara contensius, dan produk akhirnya
berupa putusan, yang diawali dengan titel eksekutorial dan diikuti pada akhir amar
condemnatoir sehingga dapat dimohonkan eksekusi.40 Menurut teori hukum acara
putusan bukanlah sumber hukum materiil, melainkan sumber dari pada wewenang
prosesuil. Siapa yang dalam suatu putusan diakui sebagai pemilik, maka ia dengan
sarana prosesuil terhadap lawannya dapat bertindak sebagai pemilik. Baru apabila
undang-undang mensyaratkan adanya putusan untuk timbulnya keadaan hukum
baru, maka putusan itu mempunyai arti hukum materiil.
 
Akibat putusan itu bersifat hukum acara, yaitu diciptakan atau dihapuskannya
wewenang dan kewajiban prosesuil. Ajaran ini sangat sempit, sebab suatu putusan
bukanlah semata-mata hanyalah sumber wewenang prosesuil, karena menuu
kepada putusan yang pasti merupakan pokok sengketa. Terikatnya para pihak
kepada putusan dapat mempunyai arti positif dan dapat pula mempunyai arti
negatif.41 Arti positif dari pada kekuatan mengikat suatu putusan ialah bahwa apa
yang telah diputus di antara para pihak berlaku sebagai positif yang benar.
 
Apa yang telah diputus oleh hakim harus dianggap benar (res judicata pro
veritate habetur). Terikatnya para pihak ini di dasarkan pada undang-undang. Arti
negatif dari pada kekuatan mengikat suatu putusan ialah bahwa hakim tidak boleh
                                                            
40
Mukti Arto, Peradilan Agama Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2012), hlm. 334.
41
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata....,op.cit., hlm. 207. 
 

memutus perkara yang pernah diputus sebelumnya antara para pihak yang sama
serta mengenai pokok perkara yang sama (ne bis in idem). Kekuatan mengikat
dalam arti negatif, di dasarkan pada asas “litis finiri oportet”, yang menjadi dasar
ketentuan tentang tenggang waktu untuk mengajukan upaya hukum.42

F. Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan suatu sarana (ilmiah) bagi pengemban ilmu
pengetahuan dan teknologi, maka metodologi penelitian yang diterapkan harus
senantiasa disesuaikan dengan ilmu pengetahuan yang menjadi induknya.43
Dengan metode penelitian ini penulis bertujuan untuk mempermudah dalam
menjawab suatu pembahasan dari perumusan masalah. Metode penelitian yang
digunakan dalam penyusunan skripsi ini terbagi dalam beberapa tahap, yaitu
sebagai berikut:
 
1. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian dalam skripsi ini termasuk penelitian yang bersifat
deskriptif analitis, yaitu menggambarkan suatu metode yang menggambarkan
atau melukiskan suatu fakta-fakta dan menganalisisnya dihubungkan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku secara menyeluruh dan
sistematis dalam penelitian ini.44
 
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, yaitu penelitian
hukum yang dilakukan melalui penelitian kepustakaan (library research).
Dalam mencari dan mengumpulkan data yang diperlukan dalam penelitian
ini, penulis menggunakan data sekunder. Data Sekunder (secundary data),
yaitu bahan pustaka yang mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku
perpustakaan, peraturan perundang-undangan, karya ilmiah, artikel-artikel,
serta dokumen yang berkaitan dengan materi penelitian. Dari data sekunder
tersebut mencakup tiga bagian, yaitu:45
                                                            
42
Pasal 1917 jo. Pasal 1920 KUHPerdata/Pasal 134 Rv.
43
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2014), hlm 182.
44
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI-Press, 1986), hlm. 10.
45
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudj, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat
(Jakarta: Rajagrafindo, 2010), hlm. 13.
 

a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat. Bahan


hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari peraturan
perundang-undangan yaitu UUD 1945, HIR / Rbg / Rv, Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Jo. Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006 tetang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama Jo. Undang-Undang Nomor 50 Tahun
2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 Peradilan Agama, Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam dan Putusan Pengadilan Agama Cimahi Nomor:
5113/PDT.G/2016/PA.Cmi yang sudah inkracht.
b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang erat
hubungannya dengan bahan hukum primer, yang digunakan untuk
mempermudah dalam menganalisis bahan hukum primer, meliputi:
Buku-buku ilmiah terkait dengan penelitian skripsi, karya ilmiah para
ahli.
c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan-bahan hukum yang sifatnya
penunjang untuk dapat memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap
bahan hukum primer dan sekunder, yaitu: Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI), Kamus Hukum, Jurnal Hukum, Artikel Online yang
dianggap relevan dengan penelitian skripsi ini.
 
3. Metode Pendekatan
Pendekatan penelitian adalah metode atau cara mengadakan penelitian.
Dari ungkapan tersebut adalah suatu informasi dalam bentuk deskripsi dan
menghendaki makna yang berada dibalik bahan hukum. Penelitian dalam
skripsi ini penulis menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute
approach) dan pendekatan kasus (case approach).46
a. Pendekatan Undang-Undang (Statute Approach)

                                                            
46
Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Cet. Ketiga, (Malang:
Bayumedia Publishing, 2007), hlm. 302.
 

Pendekatan Undang-Undang digunakan untuk mengetahui


keseluruhan peraturan hukum, dilakukan dengan menelaah semua
peraturan perundang-undangan terkait yang menyangkut dengan
Hukum Acara Peradilan Agama dalam perkara sengketa waris Islam.
b. Pendekatan Kasus (Case Approach)
Pendekatan Kasus adalah pendekatan yang dilakukan dengan ara
melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu
yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang
mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Pendekatan kasus di dalam
penelitian skripsi ini, dilakukan dengan menganalisis Putusan
Pengadilan Agama Cimahi Nomor: 5113/PDT.G/2016/PA.Cmi.

4. Teknik Pengumpulan Data


Teknik Pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu :
a. Studi Dokumen (Study of Document)
Menurut Soejono Soekanto studi kepustakaan adalah studi dokumen
yang merupakan suatu alat pengumpulan data yang dilakukan atas
data tertulis dengan mempergunakan “content analysis” atau yang
biasa disebut dengan analisis muatan, dalam hal ini peneliti mencari,
membaca, dan mempelajari dari bahan-bahan kepustakaan yang
berupa buku-buku, dokumen, dan bahan tulisan lainnya yang ada
hubungannya dengan penelitian yang akan dilaksanakan.47
b. Studi Literatur (Study of Literature)
Studi literatur adalah cara yang dipakai untuk menghimpun data-data
atau sumber-sumber yang berhubungan dengan topik yang diangkat
dalam suatu penelitian, dalam penelitian skripsi ini digunakan literatur
yang berkaitan dengan hukum acara peradilan agama dalam perkara
waris.

5. Metode Analisis Data


Bentuk analisis ini, penulis menggunakan metode analisis “normatif
kualitatif.” Metode normatif karena peneliti ini dikaji melalui peraturan
                                                            
47
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudj, op.cit., hlm. 21.
 

perundang-undangan sebagai hukum positif, sedangkan kualitatif karena


analisis data dilakukan tanpa menggunakan rumus-rumus matematis dan
angka-angka statistik, tetapi berupa uraian pembahasan, yang kemudian
dianalisis untuk kejelasan masalah yang akan dibahas. Berdasarkan hasil
analisis ditarik kesimpulan secara dedukatif, yaitu cara berpikir yang di
dasarkan pada fakta-fakta yang bersifat umum untuk kemudian ditarik suatu
kesimpulan bersifat khusus.

Anda mungkin juga menyukai