Anda di halaman 1dari 24

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/342625741

Review Perkembangan Teknik dan Pengujian Diagnosis Covid-19

Article · July 2020

CITATIONS READS

0 614

1 author:

Neni Isnaeni
The National Agency of drug and food control, Indonesia
7 PUBLICATIONS   0 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Environmental Chemistry View project

Analytical Methods View project

All content following this page was uploaded by Neni Isnaeni on 02 July 2020.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


UNIVERSITAS INDONESIA

REVIEW PERKEMBANGAN TEKNIK DAN


PENGUJIAN DIAGNOSIS COVID-19

Disusun oleh :
Neni Isnaeni 1906320853

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM


PROGRAM STUDI MAGISTER KIMIA
2020
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pada akhir Desember 2019, awal mula kasus pneumonia tak dikenal dilaporkan di
Wuhan, Cina. Hasil sekuensing DNA kasus ini mirip dengan kasus pneumonia sebelumnya
yaitu SARS-CoV (severe acute respiratory syndrome coronavirus) pada tahun 2003 dan
MERS-CoV (2012) dan dikonfirmasi merupakan pneumonia jenis baru dinamakan SARS-
CoV-2 (COVID-19).
Coronavirus adalah virus RNA untai tunggal dengan diameter 80-120 nm. Ada empat
jenis coronavirus yaitu α-coronavirus, β-coronavirus, δ-coronavirus dan γ-coronavirus.
SARS-CoV-2 termasuk ke dalam keluarga β-coronavirus, kelas besar virus yang lazim di alam.
Reseptor dari SARS-CoV-2 adalah angiotension converting enzyme 2 (ACE-2). Virus corona
menginfeksi dengan cara masuk ke dalam sel, dengan mengenali reseptor sel target melalui
protein S (spike protein) pada permukaan virus. Afinitas SARS CoV-2 berikatan dengan ACE-
2, 10 kali lipat dibandingkan SARS-CoV, di atas ambang batas infeksi virus. Mirip dengan
virus lain, SARS-CoV-2 memiliki banyak inang alami potensial, perantara dan inang terakhir
sehingga menimbulkan tantangan besar untuk pencegahan dan pengobatan infeksi virus.

Gambar 1 Struktur virus SARS-CoV-2

Siklus hidup virus ini dimulai dengan penempelan dan masuknya virus ke sel inang yang
diperantai oleh protein S yang ada di permukaan virus. Protein S berikatan dengan reseptor sel
inang yaitu enzim ACE-2 (angiotensin converting enzyme 2), menyebabkan terjadi fusi antara
virus dengan membran sel yang diikuti dengan pelepasan nukleokapsid di dalam sel. Setelah
masuk ke dalam sel, ujung 5′ dari genom RNA, ORFs 1a dan 1b, diterjemahkan menjadi pp1a
dan pp1ab. Kemudian replikasi dan transkripsi, selanjutnya sintesis virus RNA melalui

1|Page
translasi dan perakitan dari kompleks replikasi virus. Tahap selanjutnya adalah perakitan dan
pelepasan virus.

Gambar 2 Siklus hidup virus

Gejala klinis penderita COVID-19 mirip dengan virus influenza dan penyakit pneumonia
lainnya seperti batuk, demam dan mual. Menurut data klinis, masa inkubasi umum dari virus
ini 1-14 hari. Target utama dari virus ini adalah paru-paru, disertai dengan beberapa cedera
organ seperti :
a. Paru-paru : pembuluh darah alveolar padat, edematous, mononukelar, infiltrasi limfositik,
thrombosis intravascular transparan dan fibrosis interstisial. Partikel coronavirus ditemukan
pada jaringan mukosa bronkial dan sitoplasma tipe II sel epitel alveolar.
b. Limfa, kelenjar getah bening hilar dan sumsum tulang belakang, limfa secara signifikan
berkurang, makrofag berkembang biak dan terjadi fagositosis pada limfa. Jumlah limfosit,
jumlah sel CD4 + T dan CD8 + T dalam limpa menurun.
c. Jantung dan pembuluh darah, terjadi degenerasi dan nekrosis sel miokardial. Inflamasi dan
thrombosis terjadi pada endotel pembuluh darah.
d. Hati dan kantung empedu : volume meningkat, menjadi merah gelap, degenerasi hepatosit,
nekrosis fokal dengan infiltrasi neutrofil.
e. Ginjal : teramati eksudat protein pada rongga balon glomerulus, degenerasi dan eksfoliasi
epitel tubular ginjal mengalami degenerasi dan eksfoliasi, hiperemia interstitial,
mikrotrombosis, dan fibrosis fokal.

2|Page
f. Organ lain : kongesti dan edema jaringan orak, degenerasi beberapa syaraf, dll.

Gambar 3 Multiple organ injuries pada pasien yang terinfeksi SARS-CoV-2

Virus ini menyebar dengan sangat cepat. Transmisi utama dari virus ini melalui kontak
dekat dan droplet dari orang yang sudah terinfeksi. Wabah SARS-CoV-2 (COVID-19)
berkembang menjadi pandemi dan tersebar ke 216 negara termasuk Indonesia. Penyakit ini
telah menyebabkan kematian di dunia sekitar 461.715 orang dan pasien yang terkonfirmasi
positif sebanyak 8.708.008 orang (update 21 Juni 2020). Berikut data sebaran COVID-19 baik
di dunia maupun di Indonesia pada tanggal 21 Juni 2020.

Gambar 4 Data sebaran Covid-19 (Sumber : covid19.go.id)

Penyakit ini kemungkinan lebih banyak disebarkan oleh orang tanpa gejala (OTG)
dibandingkan dengan pasien yang sakit, sehingga merupakan tantangan terbesar untuk dapat
mendiagnosis penyakit ini dengan cepat dan tepat sehingga penularan dapat ditekan dan pasien
yang terinfeksi mendapatkan penanganan yang tepat. Oleh karena itu, perlu dikembangkan

3|Page
berbagai tes laboratorium untuk mendiagnosis SARS CoV-2 (COVID-19). Pengujian SARS-
CoV-2 yang telah dikembangkan dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori besar yaitu
pengujian molekuler dan pengujian serologi. Tes molekuler termasuk tes amplifikasi asam
nukleat tes (NAAT) seperti real-time reverse-transcription polymerase chain reaction (rRT-
PCR), sedangkan tes serologi mendeteksi antibodi yang terbentuk karena adanya infeksi virus
atau antigen protein pada orang yang terinfeksi.

1.2 Rumusan Masalah


1). Apa yang dimaksud COVID-19 dan bagaimana karakteristiknya?
2). Apa saja dan bagaimana perkembangan teknik pengujian untuk diagnosis COVID-19?
3). Bagaimana mekanisme dan prosedur pengujian COVID-19?

1.3 Tujuan
Untuk mengetahui dan mempelajari apa COVID-19, bagaimana karakteristik, teknik dan
perkembangan pengujian untuk mendiagnosis COVID-19 baik uji molekuler maupun uji
serologi dan imunologi.

4|Page
BAB II
PERKEMBANGAN TEKNIK DAN
PENGUJIAN DIAGNOSIS COVID-19

2.1 Uji Serologi dan Imunologi


Uji serologi merupakan uji dengan menggunakan antibodi yang terbentuk ketika
terinfeksi virus seperti imunoglobulin G (IgG) dan imunoglobulin M (IgM), sehingga uji ini
disebut juga uji antibodi. Antibodi atau imunoglobulin adalah protein pelindung yang
diproduksi oleh sistem kekebalan tubuh sebagai respon terhadap keberadaan zat asing
(antigen), seperti patogen. Antibodi mengenali dan mengunci antigen untuk dihilangkan dari
tubuh. Antibodi adalah protein yang diproduksi dan disekresikan oleh sel B (limfosit). Setiap
antigen mengenali antigen spesifik. Antibodi berfungsi untuk mengikat dan menonaktifkan zat
asing mencegah replikasi bakteri, menghancurkan zat asing patogen.
IgM adalah antibodi yang langsung terbentuk saat pertama kali terinfeksi virus. IgM
biasanya bersirkulasi dalam darah, menyumbang sekitar 10% dari imunoglobulin manusia,
dapat dideteksi dalam darah setelah 3-6 hari. Sedangkan IgG yaitu isotipe antibodi paling
melimpah dalam darah (plasma), terhitung 70% hingga 75% dari imunoglobulin manusia
(antibodi) dapat terdeteksi setelah 8 hari. IgM mengikat antigen dan mendorong pengenalan
kompleks antigen-antibodi oleh leukosit dan makrofag. IgG sebagian bertanggungjawab untuk
kekebalan jangka panjang setelah infeksi atau vaksinasi di dalam tubuh.
Pengujian serologi sangat penting untuk mengidentifikasi pasien aktif, orang tanpa
gejala (OTG) atau pasien sembuh dan surveilan populasi. Hasil pengujian dapat digunakan
untuk menganalisis dan memperkirakan epidemiologi dan virologi SARS-CoV-2 serta
membantu mengatasi wabah pandemi. Pedoman sementara WHO tentang pengujian COVID-
19 menyarankan pengumpulan darah, feses, atau bahan otopsi seperti paru-paru (pasien yang
meninggal) sebagai tes serologi spesimen.
Beberapa pengujian serologi dan imunologi yang dilakukan untuk mendiagnosis
COVID-19 akan direview pada poin-poin berikut ini.
2.1.1 Lateral Flow Immunoassay (LFIA)
Metode uji diagnostik cepat (RDT) atau lebih dikenal dengan rapid test merupakan
metode pengujian yang cepat, mudah digunakan, sensitif dan akurat untuk mendeteksi pasien
yang terinfeksi SARS-CoV-2 dengan menggunakan antibodi SARS-CoV-2 dalam sampel

5|Page
darah sehingga diharapkan dapat menekan penyebaran virus dan mempercepat penanganan
pasien.
Lateral flow immunoassay (LFIA) merupakan metode rapid test yang dikembangkan
untuk diagnosis COVID-19. Uji lateral flow immunoassay (LFIA) cara kerjanya seperti uji
kromatografi kualitatif (dengan hasil positif atau negatif), berukuran kecil, portabel dan dapat
digunakan di tempat perawatan. LFIA merupakan perangkat diagnostik untuk mengkonfirmasi
ada atau tidaknya analit target seperti patogen atau biomarker pada manusia atau hewan, atau
kontaminan dalam persediaan air, bahan makanan, atau pakan ternak. Pada RDT ini digunakan
antibodi anti-CoV sebagai pengganti antigen virus. Uji antibodi COVID -19 mendeteksi
adanya IgG dan IgM dalam antibodi tubuh pasien ketika terserang oleh COVID-19.
LFIA dapat mendeteksi IgG dan IgM secara bersamaan dalam waktu lebih kurang 15
menit, dapat digunakan di rumah sakit, klinik, laboratorium dan di tempat umum seperti
sekolah, bandara, stasiun dll. LFIA memiliki sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi. Hasil
penelitian Li, et al di enam provinsi di China pada sampel darah dari 397 pasien COVID-19
yang dikonfirmasi PCR dan pada 128 pasien negatif, didapatkan sensitivitas LFIA adalah
88,7%, dan spesifisitas adalah 90,6%.
Alat uji ini berbentuk strip terdiri atas lima bagian yaitu plastic backing, sample pad,
conjugate pad, adsorbent pad dan NC membran. Preparasi RDT IgG dan IgM untuk COVID-
19 yaitu: membran NC disisipkan pada lapisan plastic backing untuk pemotongan dan
penanganan, antihuman IgM, antihuman IgG dan antirabbit IgG diimobilisasi pada uji garis M,
G dan C, konjugat disemprot dengan campuran konjugat antigen rekombinan AuNP-COVID
19 dan AuNP-IgG rabbit. Selanjutnya, sampel pad ditreat dengan BSA (3% w/v) dan Tween-
20 (0.5% w/v) sebelum digunakan.
Pada kartrid uji LFIA terdapat tiga garis yaitu C sebagai garis kontrol. Garis kontrol C
muncul ketika sampel mengalir melalui kartrid. Garis G menyatakan antihuman monoklonal
antibodi imunoglobulin G (anti-IgG) sedangkan garis M (anti-IgM) menyatakan antihuman
monoklonal antibodi imunoglobulin M. Antigen permukaan dari SARS-CoV-2 yang
terkonjugasi pada nanopartikel emas koloid dan pada bantalan konjugasi, secara khusus
mengikat antibodi SARS-CoV-2 (termasuk IgM dan IgG). Konjugat AuNP-rabbit IgG juga
disemprot pada bantalan konjugasi untuk mengikat anti-rabbit antibodi IgG yang diimobilisasi
pada jalur kontrol. Mekanisme pengujian didasarkan pada hidrasi dan transportasi reagen saat
berinteraksi dengan spesimen pada strip melalui aliran lateral kromatografi. Adanya anti
SARS-CoV-2 IgM dan anti-SARS CoV-2 IgG ditunjukkan garis merah/merah muda di area M
dan G karena antibodi anti SARS-CoV-2 akan berikatan dengan antigen yang dilabel kemudian
6|Page
akan ditangkap oleh antibodi antihuman terimobilisasi. Kompleks yang terbentuk antara
antigen-antibodi penangkap tervisualisasi dalam pita uji yang berwarna.
Jika hanya garis kontrol C menunjukkan warna merah, hal ini berarti sampel negatif.
Baik garis M atau G atau kedua garis yang berubah menjadi merah menunjukkan adanya anti-
SARS CoV-2 IgM atau anti SARS CoV-2 IgG atau kedua antibodi muncul dalam kedua
spesimen. Hal ini berarti sampel dinyatakan positif.

Gambar 5 Skema ilustrasi uji antibodi SARS-CoV-2 IgM-IgG


A. Skema diagram alat pendeteksi, B. Ilustrasi hasil pengujian

Berikut keunggulan dan kelemahan metode LFIA (tes antibodi IgG-IgM)


dibandingkan dengan pengujian RT-PCR seperti pada Tabel 1.

Tabel 1 Keunggulan dan Kelemahan Tes Antibodi IgG-IgM


Kunggulan Kelemahan
Waktu yang lebih singkat Tidak mengkonfirmasi adanya virus, hanya
membuktikan adanya infeksi
Sederhana dan tidak memerlukan Kemungkinan cross-reactivity dengan corona virus
peralatan tambahan dan virus flu lainnya belum dipelajari
Hanya perlu pelatihan pengoperasian Perubahan level antibodi tidak dibandingkan pada
yang singkat tingkat infeksi SARS-CoV-2 yang berbeda
Dapat digunakan dimana saja Kurang sensitif dibandingkan dengan RT-PCR
Sampel darah dari ujung jari tangan/kaki Kombinasi RT-PCR asam nukleat dan tes antibodi
untuk kenyamanan IgM-IgG lebih akurat untuk diagnosis infeksi SARS-
CoV-2

7|Page
Potensial untuk rapid test dan deteksi
cepat

2.1.2 Metode ELISA (Enzyme-linked immunosorbent assay)


ELISA merupakan uji imunologi yang biasa digunakan untuk mengukur antibodi,
antigen, protein, dan glikoprotein dalam sampel biologis. Beberapa contohnya yaitu diagnosis
infeksi HIV, tes kehamilan, dan pengukuran sitokin atau reseptor larut dalam supernatan sel
atau serum. Bergantung pada jenis ELISA, pengujian membutuhkan antibodi pendeteksi
primer dan/atau sekunder, analit/antigen, pelapis/antigen, buffer, pencucian, dan
substrat/kromogen. Antibodi pendeteksi primer merupakan antibodi spesifik yang hanya
mengikat protein yang diinginkan, sedangkan antibodi pendeteksi sekunder adalah antibodi
terkonjugasi enzim kedua mengikat antibodi primer, yang tidak terkonjugasi oleh enzim.
Pengujian ELISA umumnya dilakukan dalam 96 pelat sumur, yang memungkinkan
beberapa sampel diukur dalam satu percobaan. Pelat membutuhkan pelat absorben khusus
(misalnya NUNC immuno plates) untuk menjamin antibodi atau antigen terikat pada
permukaan. Setiap ELISA mengukur antigen spesifik, dan kit untuk berbagai antigen tersedia
secara luas.
Pada pengujian COVID-19, metode ELISA berdasarkan pada prinsip sandwich dan
tidak langsung. Pada sandwich ELISA, antigen ganda mendeteksi antibodi total yang berikatan
dengan reseptor protein S dari SARS-CoV-2 di dalam serum atau plasma manusia. Disebut
sebagai "sandwich" karena antigen terjepit di antara dua lapisan antibodi (antibodi penangkap
dan deteksi).

Gambar 6 Ilustrasi metode sandwich ELISA

Tahapan prosedur metode ELISA adalah melapisi pelat ELISA dengan antibodi
penangkap. Antibodi penangkap merupakan antibodi yang dapat berikatan dengan antigen

8|Page
target. Antibodi yang tidak berikatan dicuci dari pelat. Kemudian sampel ditambahkan, antigen
dalam sampel akan berikatan pada antibodi penangkap, lempeng dicuci kembali. Selanjutnya
menambahkan antibodi pendeteksi. Antibodi tersebut telah terkonjugasi atau dilabel dengan
enzim. Antibodi pendeteksi akan berikatan dengan antigen target yang telah terikat pada pelat.
Selanjutnya ditambahkan substrat, akan terjadi reaksi kromogenik sehingga akan menghasilkan
perubahan warna pada substrat yang dapat diukur dengan plate reader.
Pada uji ELISA tidak langsung, pelat dilapisi dengan antigen SARS-CoV-2. Jika
terinfeksi virus, antibodi pasien akan berikatan secara spesifik membentuk kompleks.
Kompleks ikatan antibodi-antigen akan terdeteksi oleh antibodi sekunder yang dilabel enzim,
terjadi reaksi enzimatik menghasilkan perubahan warna yang dapat diukur.

Gambar 7 Pengujian ELISA mendeteksi antibodi (A) atau antigen (B)

Zhao et.al mengukur antibodi total, antibodi IgM dan antibodi IgG SARS-CoV-2 pada
sampel darah yang dikoleksi dari 173 pasien dengan PCR terkonfirmasi COVID-19 di
Shenzhen, China. Sampel plasma diuji menggunakan ELISA kit yang disuplai oleh Beijing
Wantai Biological Pharmacy Enterprise Co., Ltd., Beijing, China. Pada sampel dikoleksi
selama 7 hari pertama setelah terpapar, tingkat positif dengan PCR 66,7% sedangkan uji
antibodi 38,3%. Setelah 2 minggu terpapar, tingkat positif dengan PCR 54,0% sedangkan uji
antibodi 89,6%. Kombinasi PCR dan uji antibodi dapat meningkatkan identifikasi positif
melalui berbagai fase sakit. Meningkatnya level antibodi tidak berhubungan dengan RNA
clearance termasuk pada 3 pasien yang kritis. Korelasi yang kuat ditemukan antara gejala klinis
dan titer antibodi setelah 2 minggu terinfeksi. Antibodi total lebih sensitif dibandingkan
antibodi IgM atau IgG saja.

9|Page
2.1.3 Netralisasi Assay
Metode ini menentukan kemampuan antibodi untuk menghambat infeksi virus sel
kultur dan menyebabkan efek sitopatik pada replikasi virus. Sampel darah,serum atau plasma
pasien dilarutkan dan ditambahkan dengan konsentrasi menurun pada kultur sel. Jika netralisasi
antibodi terjadi, level dapat diukur dengan menentukan ambang batas dimana replikasi virus
dapat dicegah di dalam kultur sel. Pengujian membutuhkan fasilitas kultur sel dan laboratorium
Biosafety level 3 (BSL3). Dengan keterbatasannya tersebut maka penentuan netralisasi
antibodi penting untuk jangka pendek untuk aplikasi pengobatan plasma pasien sembuh dan
jangka panjang untuk pengembangan vaksin.

2.1.4 Luminesen Imunoassay


Metode luminesens imunoassay merupakan metode yang melibatkan kemiluminesens
dan fluoresens. Reagen berbasis antibodi dengan batas deteksi lebih rendah. Cai et.al
mengembangkan imunoassay enzim kemiluminesens magnetik berbasis peptida untuk
diagnosis COVID-19.

2.1.5 Uji Biosensor


Uji biosensor mengandalkan perubahan interaksi spesifik biomolekul ke dalam
pembacaan yang terukur secara optik, elektrik, enzimatik dan metode lain. Resonansi plasmon
permukaan (SPR) merupakan teknik yang mengukur interferens dengan cahaya insiden pada
batas yang tetap karena gangguan lokal seperti adsorpsi antibodi atau antigen. Biosensor
berbasis SPR dikembangkan untuk diagnosis SARS menggunakan antigen permukaan
coronavirus (SCVme) yang digabung dengan substrat emas. Chip SPR memiliki batas deteksi
yang lebih rendah 200 ng/mL untuk antibodi anti-SCVme dalam waktu 10 menit. Baru-baru
ini, PathSensors Inc. mengumumkan biosensor CANARY untuk mendeteksi novel SARS-
CoV. Platform ini menggunakan imunosensor berbasis sel yang memasangkan virus
penangkap dengan amplifikasi sinyal. Proses pengujian membutuhkan waktu 3- 5 menit.

2.1.6 Uji Cepat Antigen (Rapid Antigent Test)


Uji cepat antigen merupakan uji genetik molekuler pelengkap yang memungkinkan
mendeteksi antigen virus. Uji ini mengandalkan antibodi monoklonal spesifik untuk
menyediakan mekanisme penangkapan antigen virus dari sampel analisis. Beberapa contoh
pengujian ini yaitu colorimetric enzyme immunoassay untuk SARS-CoV pada tahun 2004,

10 | P a g e
chemiluminescent immunoassay untuk SARS-CoV pada tahun 2005 dan yang terbaru
fluorescence lateral flow assay untuk mendeteksi protein nukleokapsid SARS-CoV-2.

11 | P a g e
Tabel 2 Beberapa contoh uji serologi dan imunologi yang digunakan untuk deteksi protein virus atau antibodi SARS-CoV-2

Sumber : ACS Cent. Sci. 2020, 6, 5, 599.

12 | P a g e
2.2 Uji Molekuler
Uji molekuler merupakan uji yang dilakukan untuk mendeteksi keberadaan material genetik
(DNA atau RNA) dari sel, bakteri atau virus di dalam sampel. Pada pengujian molekuler untuk
diagnosis COVID-19 sampel diambil dari saluran pernapasan bagian atas dengan cara swab.
Beberapa pengujian molekuler diagnosis COVID-19 seperti yang dijelaskan berikut ini.
2.2.1 Reverse Transcription-Polymerase Chain Reaction (RT-PCR)
RT-PCR merupakan pemeriksaan laboratorium untuk mendeteksi keberadaan material
genetik dari sel, bakteri atau virus dengan mengandalkan kemampuan untuk memperbanyak
materi genetik virus di dalam sampel. RT-PCR merupakan metode standar yang telah
ditetapkan oleh WHO dalam diagnosis COVID-19. Sampel yang digunakan pada pengujian ini
diambil dengan cara swab pada sistem pernapasan atas. Namun, baru-baru ini telah
dikembangkan oleh Rutgers Clinical Genomics Laboratory yaitu RT-PCR (TaqPath COVID-
19 combo kit), sampel menggunakan air liur sehingga lebih cepat dan tidak menyakitkan serta
menurunkan resiko terhadap petugas kesehatan dan volume pengujian dapat ditingkatkan.
Pada pengujian RT-PCR dimulai dengan mengubah gen RNA virus menjadi DNA oleh
RNA-dependent DNA polymerase (reverse transcriptase). Reaksi tersebut bergantung pada
rantai primer DNA kecil yang dirancang khusus untuk mengenali rantai komplementer gen
RNA virus dan reverse transcriptase menghasilkan DNA salinan (cDNA) komplementer yang
pendek dari RNA virus. Mekanisme RT-PCR dijelaskan pada Gambar 8.
Dengan real time RT-PCR, perbanyakan dapat dimonitor secara real time dengan
menggunakan pewarna berfluoresen atau rantai probe DNA spesifik yang dilabeli dengan
molekul berfluoresen dan molekul quencher. Sistem otomatis mengulang amplifikasi sebanyak
40 siklus sampai cDNA virus terdeteksi oleh sinyal neon atau listrik.

Gambar 8 Ilustrasi reverse transcription-polymerase chain reaction (RT-PCR)

13 | P a g e
Prosedur RT-PCR secara tradisional dapat dilakukan satu atau dua tahap. Prosedur satu
tahap menggunakan satu tabung berisi primer yang diperlukan untuk menjalankan serangkaian
reaksi RT-PCR sedangkan pada prosedur dua tahap, proses transkripsi dan amplifikasi
dilakukan secara terpisah. Metode ini lebih fleksibel dan sensitivitas lebih tinggi dibandingkan
prosedur satu tahap. Selain itu membutuhkan bahan awal sedikit dan memungkinkan untuk
menyimpan cDNA untuk kuantifikasi banyak target. Namun, pendekatan satu tahap lebih
disukai untuk deteksi SARS-CoV-2 karena proses cepat dan penanganan sampel terbatas,
mengurangi bench time, menurunkan kesalahan pemipetan dan menghindari kontaminasi
silang.
Sebagian besar tes diagnostik molekuler RT-PCR menargetkan berbagai gen SARS-
CoV-2 termasuk bagian ORF1b atau ORF8, nukleokapsid (N), protein spike (S), RNA-
dependent RNA polymerase (RdRP) dan gen amplop (E).
Meskipun RT-PCR merupakan metode yang paling banyak digunakan untuk
mendeteksi infeksi SARS-CoV-2, tetapi memiliki beberapa kelemahan yaitu membutuhkan
instrumentasi laboratorium yang mahal, personel laboratorium yang terlatih dan waktu
pengujian yang lama.

2.2.2 Amplifikasi Asam Nukleat Isotermal


Metode ini merupakan metode alternatif yang memungkinkan amplifikasi pada suhu
tetap dan tidak membutuhkan thermal cycler. Beberapa pengujian yang telah dikembangkan
yaitu :
1). Reverse transcription loop-mediated isothermal amplification (RT-LAMP)
RT-LAMP merupakan metode pengujian SARS-CoV-2 alternatif yang efektif dan cepat.
Metode ini membutuhkan sekuensing 4 primer spesifik gen target untuk meningkatkan
sensitivitas dan menggabungkan LAMP dengan tahap trasnkripsi balik untuk deteksi RNA.
Hasil amplifikasi dideteksi secara fotometri dengan mengukur kekeruhan larutan yang
disebabkan oleh endapan magnesium pirofosfat, produk amplifikasi. Pengukuran kekeruhan
atau dengan fluoresen menggunakan pewarna interkalasi. Uji diagnostik real time RT-LAMP
hanya membutuhkan pemanasan dan pengamatan visual sehingga menjanjikan untuk deteksi
virus. Mekanisme kerja RT-LAMP seperti pada Gambar 9.

14 | P a g e
Gambar 9 Mekanisme reverse transcription loop-mediated isothermal amplification (RT-LAMP)

Beberapa uji RT-LAMP yang dikembangkan misalnya oleh Zhang et.al menggunakan
reverse transcriptase (WarmStart RTx, BioLabs) mengubah RNA virus menjadi cDNA yang
selanjutnya diamplifikasi oleh DNA-dependent DNA polymerase untuk deteksi kolorimetri
cepat dengan pewarna pengikat DNA. Enzim unik didesain secara siliko untuk pasangan RNA-
directed DNA polymerase yang mengikat aptamer secara reversible, menghambat aktivitas
RTx di bawah suhu 40C. LAMP kolorimetri efektif untuk mendeteksi RNA virus dalam sel
lisat pada tingkat 480 salinan RNA tanpa gangguan sehingga dapat menjadi metode alternatif
yang cepat dan sederhana untuk deteksi RNA SARS-CoV-2 selain RT-PCR.
2). Transcription-mediated amplification (TMA)
TMA merupakan teknologi amplifikasi isothermal yang dimodelkan setelah replikasi
retroviral dan dapat digunakan untuk memperbanyak area spesifik baik RNA maupun DNA.
Metode ini lebih efisien dibandingkan RT-PCR. Metode ini menggunakan reverse
transcriptase retroviral dan T7 RNA polymerase dan telah digunakan untuk mendeteksi asam
nukleat dari berbagai patogen.
Tahap awal yaitu hibridisasi target RNA virus ke dalam probe penangkap spesifik dan
oligonukleotida tambahan yang mengandung primer promotor T7, yang ditangkap ke dalam
mikropartikel magnetik dengan penerapan bidang magnet. Kemudian, target RNA yang
ditangkap dihibridisasi dengan promotor T7 primer yang ditranskripsi balik menjadi cDNA
pelengkap. Aktivitas RNase H dari reverse transcriptase selanjutnya mendegradasi untai RNA
target dari hibrida RNA−cDNA dupleks, meninggalkan untai tunggal cDNA. Primer tambahan
digunakan untuk menghasilkan DNA untai ganda, yang ditranskripsi menjadi amplikon RNA

15 | P a g e
oleh T7 RNA polimerase. Amplikon RNA baru memasuki kembali proses TMA
memungkinkan proses amplifikasi eksponensial untuk menghasilkan miliaran amplikon RNA
dalam waktu kurang dari 1 jam. Proses deteksi melibatkan penggunaan torch asam nukleat
beruntai tunggal yang menghibridisasi amplikon RNA secara real time. Setiap torch
terkonjugasi fluorofore dan quencher. Ketika torch menghibridisasi amplikon RNA mampu
memancarkan sinyal saat eksitasi.
3). Tes berbasis CRISPR
Clustered Regularly Interspaced Short Palindromic Repeats (CRISPR) merepresentasikan
kelompok sekuensing asam nukleat yang ditemukan dalam organisme prokariotik, seperti
bakteri. Urutan ini dapat dikenali dan dipotong oleh enzim bakteri, yang disebut enzim terkait
CRISPR, misalnya Cas9, Cas12, dan Cas13. Enzim tertentu dalam keluarga Cas12 dan Cas13
dapat diprogram untuk menargetkan dan memotong urutan RNA virus.
Dua perusahaan, Mammoth Biosciences dan Sherlock Biosains, didirikan oleh para
ilmuwan perintis CRISPR, secara independen menjajaki kemungkinan menggunakan
metodologi CRISPR gen editing untuk mendeteksi SARS-CoV-2. Metode SHERLOCK
dikembangkan oleh Sherlock Biosciences menggunakan Cas13 yang mampu menghilangkan
urutan RNA reporter sebagi respon aktivasi RNA khusus SARS-CoV-2. Pengujian DETECTR
oleh Mammoth Biosciences bergantung pada pembelahan reporter RNA oleh Cas12a untuk
mendeteksi rangkaian RNA virus dari gen E dan N, diikuti amplifikasi isotermal terget,
menghasilkan pembacaan visual dengan fluorofor. Mekanisme kedua metode tersebut
diilustrasikan pada Gambar 10.

Gambar 10 Metode CRISPR untuk mendeteksi RNA virus. Metode A (SHERLOCK assay) : RT-RPA
(recombinase polymerase amplification) mengubah RNA virus menjadi dsDNA. Transkripsi T7 menghasilkan RNA
pelengkap dari templet dsDNA. Kompleks Cas13-tracrRNA berikatan dengan rantai target, mengaktivasi aktivitas
enzim nuklease umum dari Cas13 untuk memecah rangkaian target dan RNA reporter berfluoresensi. Metode B
(DETECT assay) : RT-RPA menubah RNA menjadi dsDNA. Kompleks Cas12a-tracrRNA mengikat rangkaian
targer mengaktivasi aktivitas enzim nuclease Cas12a untuk memecah rantai target dan RNA reporter
berfluoresensi.

16 | P a g e
Metode berbasis CRISPR ini,tidak memerlukan instrumentasi yang kompleks dan dapat dibaca
menggunakan strip kertas untuk mendeteksi keberadaan SARS-CoV-2 tanpa kehilangan
sensitivitas atau spesifisitas.

2.2.3 Hibridisasi Asam Nukleat menggunakan Microarray


Metode uji microarray telah digunakan untuk deteksi asam nukleat SARS-CoV karena
throughput tinggi dan cepat. Mekanisme kerja metode ini yaitu terjadi transkripsi balik RNA
menjadi cDNA dan selanjutnya pelabelan cDNA dengan probe yang spesifik. cDNA berlabel
dimuat ke dalam sumur tray microarray yang mengandung oligonukleotida fase padat. Jika
terjadi hibridisasi, cDNA berlabel tetap terikat setelah dicuci untuk menghilangkan DNA yang
tidak terikat. Hal ini menandakan adanya asam nukelat spesifik virus.

Gambar 11 Hibridisasi asam nukleat dengan microarray. cDNA virus dan cDNA referens dengan label fluoresens
yang berbeda dicampur dan diterapkan pada sumur microarray yang dilapisi dengan probe DNA spesifik

Microarray telah terbukti dalam identifikasi mutasi yang terkait dengan SARS-CoV
dan telah digunakan untuk mendeteksi hingga 24 polimorfisme nukleotida tunggal yang
berhubungan dengan mutase pada gen S (spike) dari SARS-CoV dengan akurasi 100%.
Kemampuan mendeteksi berbagai strain SARS-CoV-2 yang muncul diperlukan pada saat
pandemi COVID-19 dan microarray merupakan deteksi cepat strain virus karena mutasi.
Meskipun kelemahan pengujian microarray biaya tinggi, nonfluoresens dan uji nukleotida

17 | P a g e
dengan densitas rendah, uji ini telah dikembangkan untuk mendeteksi berbagai strain
coronavirus dengan sensitivitas sama dengan real-time RT-PCR individu.

2.2.4 Sekuensing Metagenomik berbasis Amplikon


Teknik diagnostik identifikasi SARS-CoV-2 dengan pendekatan ganda yang
melibatkan penggunaan sekuensing berbasis amplikon karena rangkaian metagenomik.
Rangkaian metagenomik digunakan terutama untuk mengatasi latar belakang microbiom dari
individu yang terinfeksi, mampu dengan cepat mengidentifikasi virus SARS-CoV-2 dan
patogen lainnya yang berkontribusi terhadap infeksi sekunder yang mempengaruhi keparahan
gejala COVID-19. Sekuensing berbasis-amplikon memungkinkan pelacakan kontak potensial,
epidemiologi molekuler dan mempelajari evolusi virus. Pendekatan metagenomik misal
sequence-independent single primer amplification (SISPA) memberikan pemeriksaan
tambahan pada sekuensing divergen. Teknik ganda ini sangat relevan untuk SARS-CoV-2
dalam menilai tingkat mutasi dan mendeteksi rekombinasi yang mungkin dengan coronavirus
manusia lainnya, yang keduanya berimplikasi pada pengembangan vaksin dan efikasi antivirus.
Rangkaian berbasis amplikon dan metagenomik MinION digunakan Moore et al.
(2020) untuk menggandakan genom SARS-CoV-2 dengan cepat dan microbiom lainnya pada
swab nasofaring yang diperoleh dari pasien COVID-19 dengan konsorsium ISARIC 4C. Untuk
sistem berbasis amplikon, kelompok memilih 16 situs pengikatan primer area pengamatan
dalam gsenom SARS-CoV-2 untuk menguatkan kira-kira 1000 bp fragmen dengan sekitar 200
bp area yang tumpang tindih. Seri primer digunakan untuk menghasilkan 30 amplikon cDNA,
yang selanjutnya diurutkan dengan MinION.

18 | P a g e
Tabel 3 Beberapa contoh uji molekuler untuk deteksi material genetik di dalam SARS-CoV-2

Sumber : ACS Cent. Sci. 2020, 6, 5, 593.

19 | P a g e
BAB III
KESIMPULAN

Berbagai teknik laboratorium telah dikembangkan untuk diagnosis COVID 19 untuk


mendapatkan teknik yang lebih efisien, efektif, tidak mahal dan dapat digunakan secara massal
baik pengujian molekuler maupun serologi. RT-PCR merupakan metode standar yang telah
ditetapkan oleh WHO untuk diagnosis COVID-19 namun efisiensi pengujian masih harus terus
ditingkatkan. Rapid test dan point of care test merupakan fokus pengembangan untuk
mendapatkan hasil pengujian yang lebih cepat, menghilangkan kebutuhan peralatan
laboratorium yang rumit dan dapat menghilangkan waktu tunggu yang lama. Kebutuhan
mendesak untuk diagnosis SARS CoV- 2 yang akurat dan cepat merupakan hal penting dalam
upaya menekan penyebaran virus tersebut dan mempercepat tindakan yang dapat dilakukan
untuk orang yang terinfeksi.
Permintaan pengujian serologi dan imunologi orang tanpa gejala, orang dengan gejala
dan kontak terdekat sangat tinggi. Pengujian serologi berperan untuk melengkapi pengujian
molekuler untuk mengkonfirmasi kasus yang diduga. Selain itu, dapat digunakan sebagai
informasi tingkat respon imun dan daya tahan individu terinfeksi dan peserta dalam uji klinis
pengembangan vaksin. Hasil pengujian juga dapat membantu penilaian epidemiologis dan
dapat digunakan sebagai acuan menyatakan pasien sembuh sehingga dapat kembali ke aktivitas
normalnya. Namun, pengujian ini memiliki beberapa kelemahan terkait sensitivitas dan
spesifisitasnya sehingga masih harus dikonfirmasi karena keberadaan antibodi SARS-CoV-2
berkorelasi pada sistem kekebalan tubuh seseorang terhadap virus.
Berikut perbandingan pengujian dengan RT-PCR dan uji antibodi IgG-IgM
RT-PCR Uji antibodi IgG – IgM
Membutuhkan preparasi sampel sehingga Menghemat waktu karena dilakukan dalam
waktu pengujian lebih kurang 2-3 jam waktu yang singkat (2- 10 menit)
Dalam pengerjaan membutuhkan orang Tidak memerlukan peralatan, sederhana dan
yang ahli karena bersifat rumit dan hanya membutuhkan pelatihan minimal untuk
membutuhkan peralatan orang yang melakukan pengujian antibodi IgG
– IgM
Pengujian hanya dapat dilakukan di Uji dapat dilakukan di mana saja, di klinik,
laboratorium laboratorium, bandara atau stasiun
Sensitivitas diagnostik sekitar 95% Sensitivitas yang dihasilkan sekitar 88,66%
sehingga memungkinkan masih ada hasil positif
palsu dan negatif palsu

20 | P a g e
Berbagai upaya terus dilakukan untuk memfasilitasi pengembangan diagnostik baru
dan melakukan pengiriman test kit ke seluruh dunia. Untuk mendapatkan diagnostik yang lebih
akurat dan lebih cepat sejumlah organisasi mendukung pengembang/peneliti untuk
mengirimkan produk uji untuk evaluasi secara independen dan menyediakan investasi besar
dengan berkolaborasi dalam mengembangkan diagnostik, sehingga diharapkan pandemi
COVID-19 dapat segera berakhir.

21 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA

Adams, E. R., et.al, Whitehouse, J. (2020). Antibody testing for COVID-19: A report from the
National COVID Scientific Advisory Panel. MedRxiv, 2020.04.15.20066407.
https://doi.org/10.1101/2020.04.15.20066407

Carter, L. J., Garner, L. V., Smoot, J. W., Li, Y., Zhou, Q., Saveson, C. J., Sasso, J. M., Gregg,
A. C., Soares, D. J., Beskid, T. R., Jervey, S. R., & Liu, C. (2020). Assay Techniques and
Test Development for COVID-19 Diagnosis. ACS Central Science, 6(5), 591–605.
https://doi.org/10.1021/acscentsci.0c00501

Evangelin, M. P., Krishna, B. G., Raga, S. Y., Vamsi, G. K., Zakeer, S., Raju, K. N., & Daniel,
V. (2020). A Review : Outbreak of Corona A Review : Outbreak of Corona. Journal of
Medical Biomedical and Applied Sciences, 8(4), 354–357.
https://doi.org/10.15520/jmbas.v8i4.217

Kang, Y., & Xu, S. (2020). Comprehensive overview of COVID-19 based on current evidence.
Dermatologic Therapy, May, 1–8. https://doi.org/10.1111/dth.13525

Li, Z., et.al. (2020). Development and clinical application of a rapid IgM-IgG combined
antibody test for SARS-CoV-2 infection diagnosis. Journal of Medical Virology,
February. https://doi.org/10.1002/jmv.25727

Paulie, S., Perlmann, P., & Perlmann, H. (2006). Enzyme-Linked Immunosorbent Assay. Cell
Biology, Four-Volume Set, 1, 533–538. https://doi.org/10.1016/B978-012164730-
8/50065-4

Wang, L., Wang, Y., Ye, D., & Liu, Q. (2020). Review of the 2019 novel coronavirus (SARS-
CoV-2) based on current evidence. International Journal of Antimicrobial Agents, xxxx,
105948. https://doi.org/10.1016/j.ijantimicag.2020.105948

Yong, S. K., Su, P. C., & Yang, Y. S. (2020). Molecular Targets for the Testing of COVID-19.
Biotechnology Journal, 15(6), 1–3. https://doi.org/10.1002/biot.202000152

Zhao, J., et.al. (2020). Antibody responses to SARS-CoV-2 in patients of novel coronavirus
disease 2019. Clinical Infectious Diseases : An Official Publication of the Infectious
Diseases Society of America, 1–22. https://doi.org/10.1093/cid/ciaa344

22 | P a g e

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai