1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
2017
2018
2019
100,0
4,0 90,0 88,4
3,6 80,0
3,0
70,0
60,0
2,0
1,7 50,0 52,7
1,5 40,0
1,0 35,2 30,2
0,6 30,0
0,0
(0,08) 20,0 29,8
10,0
22,9
-0,1
-1,0 0,0
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
2017
2018
2019
(1,24)
-2,0 (0,44)
Perkembangan makro fiskal sejak tahun 1998 hingga 2019, menunjukan bahwa
penerimaan perpajakan mengalami fluktuasi selaras dengan dinamika makroekonomi.
Penerimaan perpajakan mengalami penurunan yang signifikan pada tahun 2000,
sebelum meningkat secara konsisten sampai dengan tahun 2008. Namun, sejak
berakhirnya era commodity boom, rasio penerimaan pajak terhadap PDB cenderung
menurun. Hal ini utamanya dipengaruhi porsi penerimaan perpajakan yang berbasis
SDA cukup besar. Tren pelemahan ini sejalan dengan dengan pelemahan harga
komoditas dunia, terutama migas dan batubara. Khusus untuk tahun 2009, penurunan
yang cukup tajam pada rasio penerimaan perpajakan. Selain itu penurunan penerimaan
perpajakan juga dipengaruhi adanya stimulus fiskal dalam merespon resesi ekonomi
184
KEM PPKF 2021
tahun 2008. Stimulus fiskal tersebut berupa pengurangan pajak (tax cut) yang berbentuk
pemberlakuan tarif tunggal dan penurunan tarif PPh Badan, perubahan struktur tarif
(tax bracket) PPh Orang Pribadi dan penyesuaian Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
Namun demikian, untuk menjaga defisit APBN dan rasio utang dalam batas aman
ditengah capaian penerimaan perpajakan yang fluktuatif selama periode 1998-2019,
maka besaran rasio belanja terhadap PDB semakin menurun. Hal ini berpotensi
mengurangi kemampuan fiskal dalam melakukan countercyclical. Dalam rangka
merespon kondisi tersebut Pemerintah terus berupaya secara konsisten untuk
memperkuat penguatan pengelolaan fiskal antara lain dengan melakukan optimalisasi
pendapatan negara melalui penguatan sistem perpajakan, penggalian potensi,
peningkatan kepatuhan serta optimalisasi PNBP melalui inovasi layanan dan
pengelolaan asset. Pada sisi belanja, Pemerintah juga melakukan upaya penguatan
kualitas belanja dengan mendorong spending better yang esensinya mendorong agar
belanja menjadi lebih efisien namun produktif, fokus pada program prioritas dan
mengedepankan value for money, sehingga efektif untuk menstimulasi perekonomian
dan peningkatan derajat kesejahteraan.
185
KEM PPKF 2021
Selain perkembangan beberapa indikator APBN tersebut, risiko pelaksanaan APBN 2020
juga perlu menjadi perhatian karena APBN 2020 akan menjadi baseline kebijakan fiskal
pada tahun 2021. Global pandemi COVID-19 bukan hanya mengancam keselamatan jiwa
manusia, tetapi juga mengancam perekonomian dan stabilitas sistem keuangan. Dampak
terhadap perekonomian antara lain berupa ketidakpastian yang berakibat pada
penurunan ekspektasi pasar, penurunan permintaan global penurunan mobilitas barang
dan orang sehingga berpengaruh pada perlambatan kinerja perdagangan dan pelemahan
kinerja ekspor impor. Kombinasi tersebut pada akhirnya akan mempengaruhi
produktivitas dan penurunan aktivitas ekonomi yang akan mengganggu kinerja sektor
riil dan sektor keuangan.
Sejalan dengan upaya mitigasi dampak dan percepatan penanganan COVID-19 maka
fleksibilitas pengelolaan fiskal perlu dilakukan antara lain: 1) pelebaran defisit dapat melebihi
3 persen PDB, agar ditengah ketidakpastian, masih tetap mampu menstimulasi
perekonomian dan penanganan COVID-19 secara efektif; 2) pergeseran anggaran antar unit
organisasi, fungsi dan program; 3) pemotongan/penundaan dan refocusing untuk percepatan
penanganan COVID-19; 4) dapat memanfaatkan SAL, dana abadi dan akumulasi dana abadi
pendidikan, dana yang dikelola BLU, dana yang dikuasai negara, serta dapat juga
memanfaatkan pengurangan pembiayaan investasi kepada BUMN. Sebagai konsekuensi dari
dampak pandemi COVID-19 yang luar biasa tersebut serta memperhatikan berbagai
langkah-langkah mitigasi dan upaya percepatan penanganan COVID-19, maka postur APBN
2020 mengalami perubahan yang sangat besar.
186
KEM PPKF 2021
Rp.2.540,4
Triliun
Fokus kebijakan fiskal tahun 2021 adalah untuk pemulihan sosial ekonomi dan
mempersiapkan fondasi untuk keluar dari Middle Income Trap (MIT), oleh karena itu
langkah strategis yang akan dilakukan Pemerintah adalah:
(i) Optimalisasi pendapatan yang inovatif dan mendukung dunia usaha untuk
pemulihan ekonomi
187
KEM PPKF 2021
§ Penguatan efektivitas peran quasi fiscal sebagai agent development (BUMN dan
BLU).
Keterangan:
APBN 2020
(Perpres No.54/2020)
188
KEM PPKF 2021
countercyclical yang ditempuh dapat berjalan efektif maka dalam jangka menengah,
kinerja perekonomian akan kembali pulih menuju normal secara bertahap hingga
mencapai rata-rata 6 persen dalam periode 2020-2024, laju inflasi walaupun menghadapi
tekanan yang cukup kuat di tahun 2020 namun masih relatif terjaga pada level yang
rendah berkisar 2,0-4,0 persen, sedangkan nilai tukar rupiah bergerak dinamis pada
kisaran Rp14.900 hingga Rp15.300 per USD.
Apabila upaya perbaikan kinerja perekonomian Indonesia dapat berjalan efektif maka
diharapkan perekonomian akan segera pulih, dan sektor riil kembali bergerak,
mendorong investasi serta menciptakan kesepatan kerja. Sementara itu harga minyak
mentah Indonesia (Indonesia Crude Oil Price/ICP) masih relatif rendah seiring dengan
masih lemahnya permintaan global.
189
KEM PPKF 2021
Pendapatan Negara
10,46 9,90 – 11,00 10,32 – 11,30 10,53 – 11,69 10,84 – 12,15
dan Hibah
Penerimaan
8,69 8,25 – 8,63 8,27 – 8,70 8,38 – 9,09 8,59 – 9,55
Perpajakan
Tax Ratio*) 9,14 9,30 - 9,68 9,32 – 9,75 9,43 - 10,14 9,64 - 10,60
Belanja Negara 15,53 13,11 – 15,17 13,11 – 14,85 12,88 – 14,41 13,03 – 14,66
Keseimbangan Primer (3,08) (1,24) – (2,07) (0,94) – (1,70) (0,49) – (0,87) (0,34) – (0,66)
Surplus/(Defisit) (5,07) (3,21) – (4,17) (2,79) – (3,55) (2,35) – (2,72) (2,19) – (2,51)
Rasio Utang**) 36,38 36,67 – 37,97 36,65 – 37,39 36,45 – 37,36 36,08 – 37,18
Keterangan:
*)
Tax ratio : Penerimaan perpajakan + PNBP SDA Migas dan PNBP SDA Pertambangan Minerba
**)
Besaran rasio utang terutama dipengaruhi volatilitas nilai tukar dan kebutuhan pembiayaan untuk penanganan
COVID-19 dan recovery ekonomi
Sumber: Kementerian Keuangan
Kedua, untuk mengendalikan risiko utang ditempuh dengan meningkatkan inovasi dan
fleksibilitas pembiayaan dengan tetap menjaga menjaga rasio utang terhadap PDB dalam
batas aman dalam jangka menengah. Ketiga, mendorong inovasi kebijakan dengan
memanfaatkan momentum bonus demografi, dimana porsi penduduk didominasi oleh
penduduk usia produktif dengan komposisi masyarakat berpenghasilan menengah yang
tumbuh secara pesat. Optimalisasi penerimaan perpajakan ditempuh dengan tetap
pemberian insentif fiskal untuk daya saing dan investasi. Keempat, mendorong
keseimbangan primer mulai menuju positif dalam jangka menengah. Melalui berbagai
langkah tersebut, dalam jangka menengah diharapkan pendapatan negara akan kembali
meningkat secara bertahap sesuai kapasitas perekonomian dan defisit akan kembali di
bawah 3,0 persen PDB pada tahun 2023.
190
KEM PPKF 2021
Sementara itu, dalam jangka menengah belanja negara tahun 2021 diperkirakan berada
pada kisaran 13,11–15,17 persen PDB dan pada tahun 2024 diperkirakan berkisar 13,03-
14,66 persen PDB. Untuk menopang kebutuhan belanja negara, pendapatan negara dan
hibah pada tahun 2021 ditargetkan mencapai 9,90-11,00 persen terhadap PDB. Besaran
pendapatan negara dan hibah tahun 2021 tersebut antara lain bersumber dari
penerimaan perpajakan dengan asumsi tax ratio dapat mencapai sebesar 9,30-9,68 persen
PDB. Perhitungan tersebut mencakup penerimaan perpajakan, PNBP SDA Migas, dan
PNBP SDA Pertambangan Minerba.
Dengan porsi alokasi belanja negara yang lebih besar daripada pendapatan negara dan
hibah, maka APBN masih akan mengalami defisit namun dengan besaran yang semakin
menurun. Pada tahun 2024, defisit diperkirakan semakin mengecil berkisar 2,19–2,51
persen terhadap PDB, jauh lebih rendah dari perkiraan defisit 2020 sebesar 5,07 persen
PDB. Menurunnya defisit dalam jangka menengah akan berpengaruh pada negatif
keseimbangan primer yang juga semakin menurun. Outlook keseimbangan primer tahun
2020 diperkirakan negatif 3,08 persen PDB, sedangkan keseimbangan primer pada tahun
2024 diharapkan bergerak lebih baik dengan negatif yang menurun hingga mencapai
negatif 0,34–0,66 persen terhadap PDB.
191