Anda di halaman 1dari 8

KEM PPKF 2021

Kebijakan Makro Fiskal 2021 dan Jangka Menengah


2020-2024
Dalam perumusan kebijakan makro fiskal, perlu merujuk pada Visi Indonesia Maju 2045
dan history pengelolaan fiskal pada tahun-tahun sebelumnya. Esensinya Visi Indonesia
Maju 2045 merupakan tujuan yang akan dicapai sehingga menjadi dasar dalam
menentukan arah kebijakan. Sementara itu, dinamika pengelolaan fiskal dalam tahun-
tahun sebelumnya akan menjadi referensi yang menjadi dasar dalam penyusunan
strategi kebijakan sehingga pengelolaan fiskal ke depan diharapkan mampu merespon
dinamika perekonomian, serta mendukung pembangunan nasional secara efektif.

Grafik 66 Perkembangan Indikator Makro Fiskal tahun 1998-2019


Penerimaan Perpajakan (% PDB) Defisit (% PDB)
25,00
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
2017
2018
2019
19,11 19,84 -
20,00 (0,13)
15,46 (0,50)
15,00 13,20 (0,57)
(1,00)
9,21 12,00
10,00 (1,50) (1,82)
9,76
5,00 (2,00) (1,61)
(2,50)
-
(2,22) (2,18)
1998

1999

2000

2001

2002

2003

2004

2005

2006

2007

2008

2009

2010

2011

2012

2013

2014

2015

2016

2017

2018

2019

(3,00) (2,59) (2,49)

Keseimbangan Primer (% PDB) Rasio Utang (% PDB)


1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
2017
2018
2019

100,0
4,0 90,0 88,4
3,6 80,0
3,0
70,0
60,0
2,0
1,7 50,0 52,7
1,5 40,0
1,0 35,2 30,2
0,6 30,0
0,0
(0,08) 20,0 29,8
10,0
22,9
-0,1
-1,0 0,0
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
2017
2018
2019

(1,24)
-2,0 (0,44)

Sumber: Kementerian Keuangan, Tahun1998 – 2018 (LKPP), 2019 (unaudited)

Perkembangan makro fiskal sejak tahun 1998 hingga 2019, menunjukan bahwa
penerimaan perpajakan mengalami fluktuasi selaras dengan dinamika makroekonomi.
Penerimaan perpajakan mengalami penurunan yang signifikan pada tahun 2000,
sebelum meningkat secara konsisten sampai dengan tahun 2008. Namun, sejak
berakhirnya era commodity boom, rasio penerimaan pajak terhadap PDB cenderung
menurun. Hal ini utamanya dipengaruhi porsi penerimaan perpajakan yang berbasis
SDA cukup besar. Tren pelemahan ini sejalan dengan dengan pelemahan harga
komoditas dunia, terutama migas dan batubara. Khusus untuk tahun 2009, penurunan
yang cukup tajam pada rasio penerimaan perpajakan. Selain itu penurunan penerimaan
perpajakan juga dipengaruhi adanya stimulus fiskal dalam merespon resesi ekonomi

184
KEM PPKF 2021

tahun 2008. Stimulus fiskal tersebut berupa pengurangan pajak (tax cut) yang berbentuk
pemberlakuan tarif tunggal dan penurunan tarif PPh Badan, perubahan struktur tarif
(tax bracket) PPh Orang Pribadi dan penyesuaian Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).

Selain dikarenakan fluktuasi harga komoditas dan perubahan kebijakan, perubahan


struktur perekonomian juga mempengaruhi pencapaian penerimaaan perpajakan.
Perubahan struktur ekonomi tersebut yang ditandai dengan tren melambatnya sektor
manufaktur dan meningkatnya sektor jasa dalam dua dekade terakhir. Pelemahan sektor
manufaktur berdampak negatif terhadap pencapaian penerimaan perpajakan, sementara
itu penguatan sektor jasa ternyata kurang memberi kontribusi pada peningkatan
penerimaan perpajakan, hal ini utamanya karena pelaku usaha pada sektor jasa
didominasi sektor informal yang cenderung non-taxable. Pada sisi lain, dalam rangka
mendorong daya saing, Pemerintah senantiasa memberikan insentif fiskal untuk
kegiatan ekonomi strategis melalui belanja perpajakan (tax expenditures), yang juga
berkontribusi pada pelemahan kinerja perpajakan selama beberapa tahun terakhir.
Sebagai gambaran, estimasi belanja perpajakan tahun 2018 adalah sebesar Rp221,1 triliun
(1,49 persen dari PDB tahun 2018), meningkat jika dibandingkan tahun 2017 yang sebesar
Rp196,8 triliun (1,45 persen dari PDB tahun 2017).

Namun demikian, untuk menjaga defisit APBN dan rasio utang dalam batas aman
ditengah capaian penerimaan perpajakan yang fluktuatif selama periode 1998-2019,
maka besaran rasio belanja terhadap PDB semakin menurun. Hal ini berpotensi
mengurangi kemampuan fiskal dalam melakukan countercyclical. Dalam rangka
merespon kondisi tersebut Pemerintah terus berupaya secara konsisten untuk
memperkuat penguatan pengelolaan fiskal antara lain dengan melakukan optimalisasi
pendapatan negara melalui penguatan sistem perpajakan, penggalian potensi,
peningkatan kepatuhan serta optimalisasi PNBP melalui inovasi layanan dan
pengelolaan asset. Pada sisi belanja, Pemerintah juga melakukan upaya penguatan
kualitas belanja dengan mendorong spending better yang esensinya mendorong agar
belanja menjadi lebih efisien namun produktif, fokus pada program prioritas dan
mengedepankan value for money, sehingga efektif untuk menstimulasi perekonomian
dan peningkatan derajat kesejahteraan.

Sebagai gambaran, perkembangan defisit berpengaruh pada perkembangan


keseimbangan primer yang pada periode 1998-2018 menunjukkan tren yang menurun.
Keseimbangan primer mulai negatif sejak tahun 2012, namun dalam beberapa tahun
terakhir diarahkan menuju positif. Pada tahun 2019, akibat tekanan ekonomi global
membuat negatif keseimbangan primer sedikit melebar. Rasio utang pada periode 1998-
2018 menunjukan tren yang menurun walaupun dalam beberapa tahun terakhir sedikit
meningkat. Kenaikan rasio utang tersebut sejalan dengan defisit fiskal yang cenderung

185
KEM PPKF 2021

melebar, utamanya untuk mendukung akselerasi pembangunan infrastruktur.


Meskipun demikian, rasio utang masih dijaga pada kisaran 30 persen PDB, yang
menunjukkan komitmen Pemerintah dalam mengelola utang dengan prinsip kehati-
hatian (prudent).

Selain perkembangan beberapa indikator APBN tersebut, risiko pelaksanaan APBN 2020
juga perlu menjadi perhatian karena APBN 2020 akan menjadi baseline kebijakan fiskal
pada tahun 2021. Global pandemi COVID-19 bukan hanya mengancam keselamatan jiwa
manusia, tetapi juga mengancam perekonomian dan stabilitas sistem keuangan. Dampak
terhadap perekonomian antara lain berupa ketidakpastian yang berakibat pada
penurunan ekspektasi pasar, penurunan permintaan global penurunan mobilitas barang
dan orang sehingga berpengaruh pada perlambatan kinerja perdagangan dan pelemahan
kinerja ekspor impor. Kombinasi tersebut pada akhirnya akan mempengaruhi
produktivitas dan penurunan aktivitas ekonomi yang akan mengganggu kinerja sektor
riil dan sektor keuangan.

Gambar 15 Dampak Pandemi COVID-19

Sumber: Kementerian Keuangan, 2020

Sejalan dengan upaya mitigasi dampak dan percepatan penanganan COVID-19 maka
fleksibilitas pengelolaan fiskal perlu dilakukan antara lain: 1) pelebaran defisit dapat melebihi
3 persen PDB, agar ditengah ketidakpastian, masih tetap mampu menstimulasi
perekonomian dan penanganan COVID-19 secara efektif; 2) pergeseran anggaran antar unit
organisasi, fungsi dan program; 3) pemotongan/penundaan dan refocusing untuk percepatan
penanganan COVID-19; 4) dapat memanfaatkan SAL, dana abadi dan akumulasi dana abadi
pendidikan, dana yang dikelola BLU, dana yang dikuasai negara, serta dapat juga
memanfaatkan pengurangan pembiayaan investasi kepada BUMN. Sebagai konsekuensi dari
dampak pandemi COVID-19 yang luar biasa tersebut serta memperhatikan berbagai
langkah-langkah mitigasi dan upaya percepatan penanganan COVID-19, maka postur APBN
2020 mengalami perubahan yang sangat besar.

186
KEM PPKF 2021

Gambar 16 Perubahan Postur APBN 2020

Rp.2.540,4
Triliun

Sumber: Kementerian Keuangan, 2020

Postur Makro Fiskal Tahun 2021


Sejalan dengan berbagai reformasi yang akan dilaksanakan baik di sisi sektoral maupun
di sisi fiskal, maka arah kebijakan fiskal tahun 2021 adalah ekspansif yang konsolidatif
secara bertahap dalam jangka menengah. Arah kebijakan fiskal tersebut diharapkan
dapat mengakselerasi proses pemulihan sosial ekonomi dan sekaligus memperkuat
fondasi untuk mendukung transformasi ekonomi menuju Indonesia Maju 2045.

Fokus kebijakan fiskal tahun 2021 adalah untuk pemulihan sosial ekonomi dan
mempersiapkan fondasi untuk keluar dari Middle Income Trap (MIT), oleh karena itu
langkah strategis yang akan dilakukan Pemerintah adalah:

(i) Optimalisasi pendapatan yang inovatif dan mendukung dunia usaha untuk
pemulihan ekonomi

§ Insentif fiskal mendukung pemulihan dunia usaha;

§ Reformasi perpajakan untuk merespon ekonomi digital;

§ Insentif fiskal mendukung pemulihan daya saing investasi dan ekspor;

§ Reformasi PNBP antara lain dengan peningkatan pengelolaan SDA;

§ Inovasi dalam pengelolaan aset dan kualitas pelayanan publik.

(ii) Belanja negara yang fokus dan efektif (spending better)

§ Fokus belanja negara terhadap program prioritas (kesehatan program


perlindungan sosial, pendidikan, dukungan dunia usaha dan UMKM);

187
KEM PPKF 2021

§ Mendorong efisiensi dengan penajaman belanja barang, mengefektifkan


bansos dan trasnformasi subsidi ke bansos;

§ Mendorong K/L proaktif mengembangkan skema KPBU secara lebih masif;

§ Mendorong pelaksanaan anggaran berbasis hasil (result based);

§ Penguatan quality control pelaksanaan TKDD.

(iii) Pembiayaan yang inovatif, fleksibel dan sustainable

§ Pembiayaan kreatif dan inovatif dan fleksibilitas dalam mendukung


countercyclical, menjaga momentum pertumbuhan ekonomi dan pencapaian
target pembangunan;

§ Rektrukturisasi BUMN, BLU dan SMV untuk mendukung pemulihan ekonomi;

§ Meningkatkan akses pembiayaan bagi KUMKM, UMI dan MBR;

§ Penguatan efektivitas peran quasi fiscal sebagai agent development (BUMN dan
BLU).

Postur makro fiskal 2021 adalah sebagai berikut:

Gambar 17 Postur Makro Fiskal Tahun 2021 (% PDB)

Keterangan:

APBN 2020
(Perpres No.54/2020)

Arah dan Strategi Kebijakan Makro Fiskal Jangka Menengah


2020-2024
Mencermati kinerja perekonomian dalam lima tahun terakhir dan perubahan mendasar
di tahun 2020 sebagai dampak pandemi COVID-19 serta prospek perekonomian ke depan
diperkirakan stabilitas perekonomian domestik masih akan menghadapi tantangan yang
cukup berat yang ditandai dengan pertumbuhan ekonomi diproyeksikan pada tahun
2020 akan mengalami tekanan yang luar biasa. Namun apabila berbagai upaya

188
KEM PPKF 2021

countercyclical yang ditempuh dapat berjalan efektif maka dalam jangka menengah,
kinerja perekonomian akan kembali pulih menuju normal secara bertahap hingga
mencapai rata-rata 6 persen dalam periode 2020-2024, laju inflasi walaupun menghadapi
tekanan yang cukup kuat di tahun 2020 namun masih relatif terjaga pada level yang
rendah berkisar 2,0-4,0 persen, sedangkan nilai tukar rupiah bergerak dinamis pada
kisaran Rp14.900 hingga Rp15.300 per USD.

Apabila upaya perbaikan kinerja perekonomian Indonesia dapat berjalan efektif maka
diharapkan perekonomian akan segera pulih, dan sektor riil kembali bergerak,
mendorong investasi serta menciptakan kesepatan kerja. Sementara itu harga minyak
mentah Indonesia (Indonesia Crude Oil Price/ICP) masih relatif rendah seiring dengan
masih lemahnya permintaan global.

Tabel 11 Proyeksi Indikator Makro Ekonomi Jangka Menengah 2020-2024

Sumber: Kementerian Keuangan

Secara umum, pengelolaan fiskal jangka menengah diarahkan untuk mendorong


pengelolaan fiskal yang fleksibel untuk melakukan countercyclical dengan tetap
memelihara berkelanjutan dalam jangka menengah serta lebih fokus untuk mendukung
pemulihan sekaligus secara simultan melakukan reformasi untuk penguatan fondasi
agar mampu keluar dari middle income trap menuju Indonesia Maju di tahun 2045. Searah
dengan kebijakan fiskal tahun 2021 tersebut, maka postur makro fiskal 2021 adalah
sebagai berikut:

189
KEM PPKF 2021

Tabel 12 Kerangka Fiskal Jangka Menengah Tahun 2020-2024 (% PDB)

APBN 2020 Proyeksi


Uraian (Perpres
54/2020) 2021 2022 2023 2024

Pendapatan Negara
10,46 9,90 – 11,00 10,32 – 11,30 10,53 – 11,69 10,84 – 12,15
dan Hibah

Penerimaan
8,69 8,25 – 8,63 8,27 – 8,70 8,38 – 9,09 8,59 – 9,55
Perpajakan

Tax Ratio*) 9,14 9,30 - 9,68 9,32 – 9,75 9,43 - 10,14 9,64 - 10,60

Belanja Negara 15,53 13,11 – 15,17 13,11 – 14,85 12,88 – 14,41 13,03 – 14,66

Keseimbangan Primer (3,08) (1,24) – (2,07) (0,94) – (1,70) (0,49) – (0,87) (0,34) – (0,66)

Surplus/(Defisit) (5,07) (3,21) – (4,17) (2,79) – (3,55) (2,35) – (2,72) (2,19) – (2,51)

Rasio Utang**) 36,38 36,67 – 37,97 36,65 – 37,39 36,45 – 37,36 36,08 – 37,18

Keterangan:
*)
Tax ratio : Penerimaan perpajakan + PNBP SDA Migas dan PNBP SDA Pertambangan Minerba
**)
Besaran rasio utang terutama dipengaruhi volatilitas nilai tukar dan kebutuhan pembiayaan untuk penanganan
COVID-19 dan recovery ekonomi
Sumber: Kementerian Keuangan

Kedua, untuk mengendalikan risiko utang ditempuh dengan meningkatkan inovasi dan
fleksibilitas pembiayaan dengan tetap menjaga menjaga rasio utang terhadap PDB dalam
batas aman dalam jangka menengah. Ketiga, mendorong inovasi kebijakan dengan
memanfaatkan momentum bonus demografi, dimana porsi penduduk didominasi oleh
penduduk usia produktif dengan komposisi masyarakat berpenghasilan menengah yang
tumbuh secara pesat. Optimalisasi penerimaan perpajakan ditempuh dengan tetap
pemberian insentif fiskal untuk daya saing dan investasi. Keempat, mendorong
keseimbangan primer mulai menuju positif dalam jangka menengah. Melalui berbagai
langkah tersebut, dalam jangka menengah diharapkan pendapatan negara akan kembali
meningkat secara bertahap sesuai kapasitas perekonomian dan defisit akan kembali di
bawah 3,0 persen PDB pada tahun 2023.

Dampak pandemi COVID-19 berpengaruh besar terhadap kinerja perekonomian


domestik, sehingga berimplikasi pada postur APBN 2020. Hal ini selanjutnya menjadi
baseline baru 2020, yang akan mempengaruhi perumusan kerangka fiskal jangka
menengah 2020-2024. Seiring dengan pelemahan kinerja perekonomian maka outlook
pendapatan negara dan hibah tahun 2020 adalah sebesar 10,46 persen PDB. Pada tahun
2021, pendapatan negara dan hibah diperkirakan berada pada kisaran 9,90-11,00 persen
PDB dan pada tahun 2024 diperkirakan berkisar 10,84-12,15 persen PDB. Hal ini
dipengaruhi kinerja perpajakan yang masih belum optimal, seiring dengan
perekonomian yang masih dalam proses pemulihan. Sementara ini pada sisi belanja,

190
KEM PPKF 2021

pemerintah tetap berupaya mengakselerasi pemulihan sosial-ekonomi sekaligus


melakukan reformasi untuk penguatan fondasi untuk mendukung transformasi
ekonomi agar mampu keluar dari Middle Income Trap. Dalam jangka menengah arah
kebijakan difokuskan untuk meningkatkan kapasitas produksi dan daya saing serta
memanfaatkan bonus demografi untuk mendukung transformasi ekonomi.

Sementara itu, dalam jangka menengah belanja negara tahun 2021 diperkirakan berada
pada kisaran 13,11–15,17 persen PDB dan pada tahun 2024 diperkirakan berkisar 13,03-
14,66 persen PDB. Untuk menopang kebutuhan belanja negara, pendapatan negara dan
hibah pada tahun 2021 ditargetkan mencapai 9,90-11,00 persen terhadap PDB. Besaran
pendapatan negara dan hibah tahun 2021 tersebut antara lain bersumber dari
penerimaan perpajakan dengan asumsi tax ratio dapat mencapai sebesar 9,30-9,68 persen
PDB. Perhitungan tersebut mencakup penerimaan perpajakan, PNBP SDA Migas, dan
PNBP SDA Pertambangan Minerba.

Dengan porsi alokasi belanja negara yang lebih besar daripada pendapatan negara dan
hibah, maka APBN masih akan mengalami defisit namun dengan besaran yang semakin
menurun. Pada tahun 2024, defisit diperkirakan semakin mengecil berkisar 2,19–2,51
persen terhadap PDB, jauh lebih rendah dari perkiraan defisit 2020 sebesar 5,07 persen
PDB. Menurunnya defisit dalam jangka menengah akan berpengaruh pada negatif
keseimbangan primer yang juga semakin menurun. Outlook keseimbangan primer tahun
2020 diperkirakan negatif 3,08 persen PDB, sedangkan keseimbangan primer pada tahun
2024 diharapkan bergerak lebih baik dengan negatif yang menurun hingga mencapai
negatif 0,34–0,66 persen terhadap PDB.

Di tengah keterbatasan kinerja pendapatan negara, diperlukan sumber pembiayaan lain


untuk menopang kebijakan fiskal yang ekspansif konsolidatif baik yang berasal dari
utang maupun nonutang. Sebagai komitmen untuk mewujudkan pengelolaan fiskal yang
fleksibel dan sustainable, maka rasio utang senantiasa dijaga dalam batas aman dan pada
tahun 2024 diperkirakan sebesar 36,08–37,18 persen terhadap PDB.

191

Anda mungkin juga menyukai