Anda di halaman 1dari 11

2.7.

ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO


Miopia disebabkan oleh hal-hal yang mempengaruhi kelainan refraksi
secara umum, dimana klasifikasi etiologi miopia dapat dibagi sebagai berikut :6
a. Axial Myopia, disebabkan karena panjang diameter antero-posterior
bola mata melebihi normal, sehingga cahaya cenderung jatuh pada titik
fokus di depan retina,
b. Curvatural Myopia, disebabkan karena perningkatan kelengkungan
kornea, lensa ataupun keduanya, sehingga kekuatan refraksi
bertambah,
c. Positional Myopia, disebabkan karena adanya perubahan posisi dari
lensa kristalina pada mata,
d. Index Myopia, disebabkan karena pertambahan indeks refraksi pada
lensa yang disebabkan salah satunya oleh proses sclerosis dari nucleus,
e. Myopia due to excessive accommodation, terjadi pada pasien dengan
spasme akomodasi.
Adapun beberapa faktor resiko yang berperan terhadap kejadian dan
progresi dari miopia adalah sebagai berikut :15,16
f. Faktor genetik (keturunan) dimana orang tua secara genetik dapat
menurunkan sifat kelainan refraksi baik secara autosomal dominan
maupun autosomal resesif yang berpengaruh pada variasi pertumbuhan
bola mata.
g. Faktor lingkungan dimana prevalensi tertinggi ditemukan pada orang
dengan white collar occupation, yang sering menghabiskan waktu
pada aktivitas jarak dekat (nearwork activity) seperti belajar,
membaca, menggunakan computer. Bahkan pada anak misalnya seperti
bermain game, komputer ataupun menonton televisi.

2.8. KLASIFIKASI MIOPIA


Berdasarkan beratnya miopia (tingginya dioptri), miopia dibagi dalam
kelompok sebagai berikut :10

1
1. Berdasarkan beratnya miopia terbagi menjadi :10
a. Miopia ringan/ Miop Levior : < 3.00 dioptri
b. Miopia sedang/ Miop Moderate : 3.00 – 6.00 dioptri
c. Miopia berat / Miop Gravior : > 6.00 dioptri
2. Berdasarkan penyebabnya terbagi menjadi :10
a. Miopia aksial, dimana diameter antero-posterior bola mata melebihi
normal, sehingga bertambah jarak antara kornea dan fokus bayangan di
retina. Biasanya terdapat pada pasien dengan makroftalmi, stafiloma polus
posterior.
b. Miopia Kurvatura, dimana kelengkungan kornea/lensa berubah. Terdapat
pada keratoglobus, keratoconus.
c. Miopia indeks, dimana indeks bias lebih tinggi dari normal, terdapat pada
sklerosis nucleus dari lensa, Diabetes Melitus yang tidak terkontrol.
3. Berdasarkan perjalanan penyakitnya, terbagi menjadi :10
a. Miopia stasioner/miopia simpleks, cenderung menetap/ bertambah sedikit
setelah dewasa dan jarang melebihi 6 dioptri.
b. Miopia progresif yaitu miopia yang bertambah terus dengan cepat pada
usia dewasa akibat bertambahnya panjang bola mata.
c. Miopia maligna yaitu keadaan yang lebih berat dan dapat menimbulkan
ablasi retina dan kebutaan.

2.9. DIAGNOSIS MIOPIA


Diagnosis miopia ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
oftalmologis baik secara subjektif maupun objektif.
a. Anamnesis
Adapun riwayat penyakit mata yang lain harus ditanyakan seperti riwayat
penggunaan kacamata sebelumnya, riwayat keluarga (genetik), riwayat
penggunaan obat-obatan sistemik dan topikal, riwayat penyakit sistemik
seperti diabetes mellitus, hipertensi, riwayat alergi misalnya asma dan

2
termasuk hobi dan pekerjaan dari pasien untuk mencari beberapa faktor
lingkungan yang terlibat. 17
b. Pemeriksaan Oftalmologis secara subjektif
Pada pemeriksaan oftalmologis secara subjektif dilakukan dengan adanya
kerja sama antara pemeriksa dan pasien. Dalam hal ini pemeriksaan
ketajaman penglihatan satu mata dilakukan dengan menggunakan
optoptipe Straub atau Snellendengan trial frame dan trial lens set.17

Pemeriksaan ini dilakukan dalam jarak 5 atau 6 meter, karena pada jarak
ini mata akan melihat benda dalam keadaan tanpa akomodasi (istirahat).10

c. Pemeriksaan Oftalmologis secara objektif


Selain pemeriksaan secara subjektif, pemeriksaan dapat juga dilakukan
secara objektif dimana dapat menentukan keadaan refraksi tanpa adanya
input dari pasien. Adapun pemeriksaan refraksi secara objektif yang
tersering dilakukan adalah pemeriksaan retinoskopi dan autorefraksi.18
- Pemeriksaan retinoskopi, merupakan suatu metode objektif untuk dapat
mengetahui kelainan refraksi dengan metode netralisasi.
- salah satu pemeriksaan objektis yang sering dilakukan adalah
autorefractometer. Dimana autorefrakotometer terdiri atas 2 kata yaitu
refracto dan keratometer. Pengukuran dilakukan oleh alat untuk
menentukan kelainan refraksi, kekuatan lensa koreksi , serta kelengkungan
kornea penderita.19

Adapun hasil koreksi kacamata dapat kita pastikan dengan menggunakan


tes duokrom.
Tes duokrom digunakan untuk meninjau kembali hasil koreksi klinisi,
dimana koreksi lensa sferis yang optimal akan menunjukkan huruf pada bagian
merah dan hijau akan tampak sama hitam. Pada miopia jika tidak terkoreksi
dengan benar, maka tulisan pada warna merah akan tampak lebih jelas sehingga

3
membutuhkan tambahan sferis, begitupun sebaliknya ketika terkoreksi berlebihan
tulisan pada sisi hijau akan tampak lebih hitam, jelas dan lebih tajam.20

2.10. PENATALAKSANAAN MIOPIA


Penatalaksanaan terhadap miopia terbagi menjadi 2 yaitu penatalaksanaan
non-operatif dan penatalaksanaan operatif.
Penatalaksanaan secara non operatif meliputi :
- Kacamata
dimana pada miopia diberikan penggunaan lensa cekung/konkaf untuk
mengurangi kekuatan refraksi sehingga objek tepat di fokuskan pada
retina, dengan aturan dasar dalam mengoreksi miopia adalah mengoreksi
sehingga visus 6/6 atau 20/20 dengan menggunakan kacamata dengan
dioptri terendah. Sebagai contoh bila pasien dikoreksi dengan -3.00 dan
-3,25 dioptri sama-sama memberikan tajam penglihatan 6/6, maka
sebaiknya dikoreksi dengan -3,00 dioptri agar memberikan istirahat mata
lebih baik setelah dikoreksi. Penggunaan kacamata relatif nyaman dan
mudah, bersifat protektif, dan dapat mengoreksi perbedaan refraksi yang
berbeda pada kedua mata. Namun jika keadaan refraksi semakin berat,
kekuatan lensa juga akan bertambah berat sehingga menyebabkan pula
kacamata semakin berat dan tebal yang nantinya akan mengganggu
kosmetik.6,10
- Lensa Kontak
Penggunaan lensa kontak merupakan pilihan terapi kedua pada terapi non
operatif pada miopia. Diindikasikan pada pasien dengan miop yang tinggi,
atau pada miopia yang unilateral. Adapun keuntungan yang lebih baik
dimana pada penggunakan kontak lensa bergerak mengikuti gerakan pada
bola mata sehingga koreksi optikal tetap terfokus pada semua sisi
pandangan. Selain itu dapat pula karena alasan kosmetik. Namun
penggunaan lensa kontak harus berhati-hati sebab memudahkan masuknya
kuman pada bola mata dan menyebabkan infeksi pada mata, ataupun jika
telah terdapat infeksi pada mata maka pemakaian lensa kontak menjadi
kontraindikasi absolut.6

4
Adapun penatalaksanaan secara operatif terbagi menjadi dua yaitu cornea
based proceduredan lens based procedure.
Tatalaksana operatif cornea based procedure antara lain :
1. Keratotomi radial
Pada keratotomi radial pada prinsipnya membuat insisi kurang lebih 90%
dari ketebalan kornea di bagian perifer dan meninggalkan zona sentral
kurang lebih 4 mm.

2. Laser Ablation Corneal Procedure


Keratotektomi Fororekraktif. Pada teknik ini, dilakukan koreksi miopia
dengan melakukan fotoablasi menggunakan laser/ sinar excimer (193-nm
UV Flash) , dimana sinar ini akan memecah molekul sel kornea dan
menyebabkan permukaan sel kornea menjadi lebih rata dan mengurangi
kekuatan refraksi.
Laser In-Situ Keratomileusis (LASIK).Teknik lasik merupakan metode
terbaru di dalam operasi mata. LASIK direkomendasikan untuk miopia
derajat sedang sampai berat biasanya direkomendasikan pada miopia
dengan derajat diatas -8 dioptri.
3. Refractive Lenticule Extraction (ReLEx)
Teknik ini disebut juga sebagai SMILE (Small Insicion Lenticule
Extraction) dimana dengan menggunakan laser femtosecond akan
menembus lapisan kornea tanpa membuat sayatan dan fokus pada
lenticule.

4. Implantasi Cincin Intrakornea


Prosedur ini dilakukan dengan memasang implan pada kornea bagian
perifer kurang lebih 2/3 kedalaman dari stroma kornea sehingga
menyebabkan pendataran dari kornea bagian sentral sehingga
menyebabkan kekuatan refraksi menurun, dan dapat memperbaiki miopia.6

5
Adapun teknik operasi dengan menggunakan lens based procedure terdiri
atas Refractive lens Exhange (Fucala’s Operation) dimana dilakukan
ekstraksi dari lensa di dilakukan implantasi lensa yang baru, dan prosedur
ini disarankan pada kelainan miopia lebih dari 12 dioptri. Selain itu,
prosedur kedua yang dapat dilakukan adalah Phakic Refractive Lens
(PRL), dimana dilakukan pemasangan lensa khusus pada bilik mata depan
atau belakang dari lensa kristalina, disarankan pada miopia lebih dari 8
dioptri.6

2.11. KOMPLIKASI MIOPIA


Adapunbeberapa komplikasi dari miopia yang dapat ditemukan adalah :
a. Ablasio retina. Menurut penelitian, komplikasi ablasio retina merupakan
komplikasi tersering dan terjadi 5-6 kali pada pasien dengan miopia tinggi
jika dibandingkan dengan miopia rendah. Ablasio retina terjadi karena
adanya perpanjangan aksial diameter anterior posterior bola mata sehingga
menyebabkan perengangan dari struktur retina yang sewaktu-waktu akan
menyebabkan robekan. Selain itu seiring dengan proses degenerasi dari
vitrous yang cenderung kolaps karena mengalami proses pencairan akan
terpisah dari retina yang juga meningkatkan resiko terjadinya robekan
retina yang dikenal sebagai ablasio retina.21
b. Katarak. Biasanya pada miopia patologis yang terjadi karena adanya
proses degeneratif, yang dihubungkan karena adanya sklerosis nucleus
ataupun subkapsuler.22
c. Perdarahan Vitreous dan Choroid. Saat kutub posterior memanjang,
selain penipisan pada daerah retina, koroid sebagai salah satu struktur
penyusun bola mata juga ikut meregang dan menipis menyebabkan
hilangnya stroma koroid dan menurunnya sirkulasi pembuluh darah
koroid, termasuk koriokapiler. Saat proses pemanjangan tersebut berlanjut,
terjadi rupture pada epitel pigmen retina, membrana Bruch dan
koriokapiler, yang bermanifestasi sebagai perdarahan. Selain itu
perdarahan ini akan merangsang terbentuknya neovaskularisasi.22

6
d. Strabismus konvergen. Dimana komplikasi ini disebabkan karena pada
pasien miopia memiliki punctum remotum yang dekat dengan mata
sehingga mata selalu berada dalam atau kedudukan kovergen, dan bila
keluhan ini menetap maka penderita akan terlihat julit kedalam/strabismus
konvergen/esotropia.6
e. Glaukoma. Sebenarnya bukan merupakan suatu komplikasi namun,
dilaporkan adanya beberapa hubungan.6

2.12. PENCEGAHAN
Pencegahan terhadap kejadian miopia yaitu mendeteksi secara dini
kelainan refraksi yang terjadi misalnya dengan melakukan skrining awal pada
bayi baru lahir terutama prematur dan pada usia anak sekolah, dengan demikian
dapat dilakukan koreksi yang lebih cepat dan menurunkan morbiditas. Adapun
jika pasien sudah menderita miopia , maka yang dapat dilakukan pencegahan agar
tidak memberat. Pencegahan lain yang dapat dilakukan adalah dengan visual
hygiene yaitu mencegah terjadinya kebiasaan buruk (misalnya jarak membaca,
jam membaca, dan sebagainya), melatih pandangan jauh atau dekat secara
bergantian yang dapat mencegah miopia, dan pentingnya edukasi memeriksakan
mata anak sedini mungkin jika ada keluarga yang memakai kacamata.23

2.13. PROGNOSIS DAN FOLLOWUP


Prognosis untuk koreksi miopia sederhana sangat baik. Pasien memiliki
lapangan pandang yang lebih jauh dengan dilakukannya koreksi. Anak-anak
dengan miopia sederhana harus diperiksa secara berkala. Anak-anak dengan
derajat perkembangan miopia yang tinggi harus diperiksa 6 bulan sekali. Orang
dewasa yang memiliki miopia harus diperiksa setidaknya setiap 2 tahun sekali.
Kontrol harus dilakukan lebih sering apabila pasien memiliki faktor risiko yang
lebih besar.24

7
8
BAB III
KESIMPULAN
Ganggun refraksi yang tersering menyebabkan gangguan penglihatan
adalah miopia, yaitu suatu kelainan refraksi dimana sinar-sinar sejajar aksis visual
tanpa akomodasi difokuskan pada satu titik di depan retina. Miopia dapat terjadi
karena panjangnya diameter aksial antero-posterior bola mata, kurvatura lensa dan
kornea yang lebih melengkung, perubahan posisi dari media refrakta, ataupun
indeks refraksi yang meningkat, dimana hal tersebut dipengaruhi oleh adanya
faktor genetik dan faktor lingkungan. Adapun diagnosis miopia ditentukan
berdasarkan anamnesis, dimana pasien mengeluhkan penglihatan kabur yang
dirasakan secara progresif terutama pada saat melihat jauh. Selain anamnesis,
pemeriksaan ketajaman penglihatan juga dilakukan baik subjektif (optotype
Snellen) dan objektif (retinoskopi dan autorefraksi). Penatalaksanaan miopia
terdiri atas tatalaksana non operatif yaitu penggunaan kacamata atau lensa kontak,
dan secara operatif. Adapun komplikasi yang dapat ditimbulkan meliputi ablasio
retina, perdarahan koroid dan vitreous, katarak, strabismus konvergen, glaukoma,
dimana dapat menyebabkan kehilangan penglihatan secara permanen. Prognosis
pasien dengan miopia umumnya memiliki prognosis yang baik dengan deteksi
dini sebagai suatu upaya pencegahan dan tatalaksana yang baik.

9
DAFTAR PUSTAKA

1. Nintyastuti IK, Geriputri NN, Prihatina LM, Syari MK, Wilmayani NK. Prevalensi
Gangguan Refraksi pada Mahasiswa Baru Universitas Mataram Angkatan 2014.
Jurnal Kedokteran; 2016. 5(4) : 1-3.
2. Fauzi L, Anggorowati L, Heriana C. Skrining Kelainan Refraksi Mata pada Siswa
Sekolah Dasar Menurut Tanda dan Gejala. Journal of Health Education; 2016.
1(1) ; 78-84.
3. Basri S. Etiopatogenesis dan Penatalaksanaan Miopia pada Anak Usia Sekolah.
Jurnal Kedokteran Syiah Kuala; 2014. 14(3) : 181-86.
4. Matsumura S, Ching-Yu C, Saw SM. Global Epidemiology of Myopia : Updates on
Myopia. Springer : Singapore; 2020. Pp. 27-51.
5. Foster PJ, Jiang Y. Epidemiology of Myopia. NIHL Biomedical Research Centre;
2014. 28 : 202-208.
6. Khurana AK. Comprehensive Opthalmology. 6th Ed. New Delhi : Jaypee Brothers
Medial Publishers; 2015. Pp. 38-42, 50-54.
7. Sherwood L. Fisiologi Manusia. Edisi 8. Jakarta : ECG; 2014. Pp. 214-215.
8. Marieb E, and Hoehn K. Human Anatomy & Physiology. 7th ed. Pearson Benjamin
Cumings. 2007.
9. Bhardwaj V, Rajeshbhai GP. Axial Length, Anterior Chamber Depth-A Study in
Different Age Groups and Refractive Errors. J Clin Diagn Res; 2013. 7(10) : 2211-
2212.
10. Ilyas S, Ilmu Penyakit Mata Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2017.
11. American Academy of Ophtalmology. Section 11 : Lens and Cataract. Dalam:
Basic and Clinical Science Course. USA: American Academy of Ophthalmology ;
2014.
12. Kalangi W, Rares L, Sumual V. Kelainan Refraski di Poliklinik Mata RSUP Prof.
DR. R.D. KAndou Manado Periode Juli 214 – Juli 2016. Jurnal Kedokteran Klinik;
2016. 1(1) : 83-91.
13. Cooper J, Tkatchenko AV. A Review of Current Concepts of the Etiology and
Treatment of Myopia. Eye Contact Lens; 2018. 44(4) : 231-247.
14. Nurwinda S, Sri A, Mulyaningrum U. Hubungan Antara Ketaatan Berkacamata
dengan Progresivitas Derajat Miopia pada Mahasiswa FK Universitas Islam
Indonesia. JKKI; 2013. 5(2) : 80-86.

10
15. Musiana, Nurhayati, Sunarsih. Faktor Resiko yang berhubungan dengan kejadian
Myopia pada Anak Usia Sekolah. Jurnal Ilmiah Keperawatan Sai Betik; 2019.
15(1) : 71-77.
16. Saw S, Katz J, Schein OD, Chew SJ, Chan TK. Epidemiology of Myopia. USA :
The John Hopkins University School of Hygiene and Public Health; 1996.
17. Michelle L Hennelly.How to detect myopia in the eye clinic.Community Eye
HealthJournal. 2019. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6688402/
18. Ismael C.Understanding and looking after a retinoscope and trial lens
set.Community Eye Health. 2017.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5646585/
19. Corina F, Elfia M. Perbandingan Hasil Pemeriksaan Mata Menggunakan
Autorefrakto dan Trial Lens Set di Optik Citra Kota Padang. Menara Ilmu; 2018.
12(9) : 58-65.
20. Gantz L, Schrader S, Ruber R, Zivotofsky AZ. Can the Red-Green Duochrome
Test Be Used Prior to Correcting the Refractive Cylinder Component?. PLos
ONE ; 2015. 10(3) : 1-10.
21. Williams K, Hammod C. High Myopia and Its Risks. Community Eye Health;
2019. 32(105) : 5-6.
22. Widodo A. Prilia T. Miopia Patologi. Jurnal Oftalmologi Indonesia ; 2007. 5(1) :
19 - 26.
23. Willoughby, C. E., Ponzin, D., Ferrari, S., Lobo, A., Landau, K., & Omidi,
Y. Anatomy and physiology of the human eye: effects of mucopolysaccharidoses
disease on structure and function - a review. Clinical & Experimental
Ophthalmology. 2010.
24. American Optometric Association (AOA). Myopia (Nearshgtedness). 2012.

11

Anda mungkin juga menyukai