Pancasila

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 12

TUGAS MANDIRI

IMPLEMENTASI PANCASILA DI ERA SETELAH REFORMASI

Nama : Rikasari Ambarita

NPM : 190910145

Kelas : Y-210

PROGRAM STUDI MANAJEMEN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS PUTERA BATAM

2019/2020
1 Implementasi Pancasila

Setelah bangsa Indonesia berhasil merebut kedaulatan dan berhasil mendirikan


negara merdeka, perjuangan belum selesai. Perjuangan malah bisa dikatakan baru
mulai, yaitu upaya menciptakan masyarakat yang sejahtera lahir batin,
sebagaimana diamanatkan oleh Pembukaan UUD 1945. Para pendiri Negara (the
founding father) telah sepakat bahwa kemerdekaan bangsa akan diisi nilai-nilai
yang telah ada dalam budaya bangsa, kemudian disebut nilai-nilai Pancasila.
Pancasila mulai dibicarakan sebagai dasar negara mulai tanggal 1 Juni 1945 dalam
sidang BPPK oleh Ir. Soekarno dan pada tanggal 18 Agustus 1945 Pancasila
resmi dan sah menurut hukum menjadi dasar negara Republik Indonesia.
Kemudian mulai Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan Ketetapan MPRS No.
XX/MPRS/1966 berhubungan dengan Ketetapan No. I/MPR/1988 No.
I/MPR/1993, Pancasila tetap menjadi dasar falsafah Negara Indonesia hingga
sekarang.
Akibat hukum dari disahkannya Pancasila sebagai dasar negara, maka seluruh
kehidupan bernegara dan bermasyarakat haruslah didasari oleh Pancasila.
Landasan hukum Pancasila sebagai dasar negara memberi akibat hukum dan
filosofis; yaitu kehidupan negara dari bangsa ini haruslah berpedoman kepada
Pancasila. Bagaimana sebetulnya implementasi Pancasila dalam sejarah Indonesia
selama ini dan pentingnya upaya untuk mengimplementasikan nilai-nilai
Pancasila yang setelah reformasi mulai ditinggalkan demi tegaknya persatuan dan
kesatuan NKRI.
Penetapan Pancasila sebagai dasar negara dapat dikatakan mulai pada masa orde
lama, tanggal 18 Agustus 1945 sehari setelah Indonesia baru memproklamirkan
diri kemerdekaannya. Apalagi Soekarno akhirnya menjadi presiden yang pertama
Republik Indonesia.
Pancasila yang merupakan dasar dan ideologi negara dan bangsa wajib
diimplementasikan dalam seluruh aspek kehidupan bernegara. Dalam
mewujudkan Pancasila melalui kebijakan ternyata tidaklah mulus, karena sangat
dipengaruhi oleh pimpinan yang menguasai negara, sehingga pengisian
kemerdekaan dengan nilai-nilai Pancasila menampilkan bentuk dan diri tertentu

A. Masa Orde Lama.

Pada masa Orde lama, Pancasila dipahami berdasarkan paradigma yang


berkembang pada situasi dunia yang diliputi oleh tajamnya konflik ideologi. Pada
saat itu kondisi politik dan keamanan dalam negeri diliputi oleh kekacauan dan
kondisi sosial-budaya berada dalam suasana transisional dari masyarakat terjajah
(inlander) menjadi masyarakat merdeka. Masa orde lama adalah masa pencarian
bentuk implementasi Pancasila terutama dalam sistem kenegaraan. Pancasila
diimplementasikan dalam bentuk yang berbeda-beda pada masa orde lama.
Terdapat 3 periode implementasi Pancasila yang berbeda, yaitu periode 1945-
1950, periode 1950-1959, dan periode 1959-1966.
Pada periode 1945-1950, implementasi Pancasila bukan saja menjadi masalah,
tetapi lebih dari itu ada upaya-upaya untuk mengganti Pancasila sebagai dasar
negara dengan faham komunis oleh PKI melalui pemberontakan di Madiun tahun
1948 dan oleh DI/TII yang akan mendirikan negara dengan dasar islam. Pada
periode ini, nilai persatuan dan kesatuan masih tinggi ketika menghadapi Belanda
yang masih ingin mempertahankan penjajahannya di bumi Indonesia. Namun
setelah penjajah dapat diusir, persatuan mulai mendapat tantangan. Dalam
kehidupan politik, sila keempat yang mengutamakan musyawarah dan mufakat
tidak dapat dilaksanakan,
sebab demokrasi yang diterapkan adalah demokrasi parlementer, dimana presiden
hanya berfungsi sebagai kepala negara, sedang kepala pemerintahan dipegang
oleh Perdana Menteri. Sistem ini menyebabkan tidak adanya stabilitas
pemerintahan. Kesimpulannya walaupun konstitusi yang digunakan adalah
Pancasila dan UUD 1945 yang presidensiil, namun dalam praktek kenegaraan
system presidensiil tak dapat diwujudkan.
Pada periode 1950-1959, walaupun dasar negara tetap Pancasila, tetapi rumusan
sila keempat bukan berjiwakan musyawarah mufakat, melainkan suara terbanyak
(voting). Sistem pemerintahannya yang liberal sehingga lebih menekankan hak-
hak individual. Pada periode ini persatuan dan kesatuan mendapat tantangan yang
berat dengan munculnya pemberontakan RMS, PRRI, dan Permesta yang ingin
melepaskan diri dari NKRI. Dalam bidang politik, demokrasi berjalan lebih baik
dengan terlaksananya pemilu 1955 yang dianggap paling demokratis.
Pada periode 1956-1965, dikenal sebagai periode demokrasi terpimpin.
Demokrasi bukan berada pada kekuasaan rakyat sehingga yang memimpin adalah
nilai-nilai Pancasila tetapi berada pada kekuasaan pribadi presiden Soekarno.
Terjadilah berbagai penyimpangan penafsiran terhadap Pancasila dalam
konstitusi. Akibatnya Soekarno menjadi otoriter, diangkat menjadi presiden
seumur hidup, politik konfrontasi, menggabungkan Nasionalis, Agama, dan
Komunis, yang ternyata tidak cocok bagi NKRI. Terbukti adanya kemerosotan
moral di sebagian masyarakat yang tidak lagi hidup bersendikan nilai-nilai
Pancasila, dan berusaha untuk menggantikan Pancasila dengan ideologi lain.
Dalam mengimplentasikan Pancasila, Bung Karno melakukan pemahaman
Pancasila dengan paradigma yang disebut USDEK. Untuk memberi arah
perjalanan bangsa, beliau menekankan pentingnya memegang teguh UUD 45,
sosialisme ala Indonesia,demokrasi terpimpin, ekonomi terpimpin dan
kepribadian nasional. Hasilnya terjadi kudeta PKI dan kondisi ekonomi yang
memprihatinkan. Walaupun posisi Indonesia tetap dihormati di dunia
internasional dan integritas wilayah serta semangat kebangsaan dapat ditegakkan.
Kesimpulan yang ditarik adalah Pancasila telah diarahkan sebagai ideology
otoriter, konfrotatif dan tidak member ruang pada demokrasi bagi rakyat.

B. Masa Orde Baru.   


        
Orde baru berkehendak ingin melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara
murni dan konsekuen sebagai kritik terhadap orde lama yang telah menyimpang
dari Pancasila. Situasi internasional kala itu masih diliputi konflik perang dingin.
Situasi politik dan keamanan dalam negeri kacau dan ekonomi hampir bangkrut.
Indonesia dihadapkan pada pilihan yang sulit, memberikan sandang dan pangan
kepada rakyat atau mengedepankan kepentingan strategi dan politik di arena
internasional seperti yang dilakukan oleh Soekarno.
Dilihat dari konteks zaman, upaya Soeharto tentang Pancasila, diliputi oleh
paradigma yang esensinya adalah bagaimana menegakkan stabilitas guna
mendukung rehabilitasi dan pembangunan ekonomi. Istilah terkenal pada saat itu
adalah stabilitas politik yang dinamis diikuti dengan trilogi pembangunan.
Perincian pemahaman Pancasila itu sebagaimana yang kita lihat dalam konsep P4
dengan esensi selaras, serasi dan seimbang. Soeharto melakukan ijtihad politik
dengan melakukan pemahaman Pancasila melalui apa yang disebut dengan P4
(Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) atau Ekaprasetia Pancakarsa.
Itu tentu saja didasarkan pada pengalaman era sebelumnya dan situasi baru yang
dihadapi bangsa.
Pada awalnya memang memberi angin segar dalam pengamalan Pancasila, namun
beberapa tahun kemudian kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan ternyata tidak
sesuai dengan jiwa Pancasila. Walaupun terjadi peningkatan kesejahteraan rakyat
dan penghormatan dari dunia internasional, Tapi kondisi politik dan keamanan
dalam negeri tetap rentan, karena pemerintahan sentralistik dan otoritarian.
Pancasila ditafsirkan sesuai kepentingan kekuasaan pemerintah dan tertutup bagi
tafsiran lain. Demokratisasi akhirnya tidak berjalan, dan pelanggaran HAM terjadi
dimana-mana yang dilakukan oleh aparat pemerintah atau negara. Pancasila
seringkali digunakan sebagai legimitator tindakan yang menyimpang. Ia
dikeramatkan sebagai alasan untuk stabilitas nasional daripada sebagai ideologi
yang memberikan ruang kebebasan untuk berkreasi. Kesimpulan, Pancasila
selama Orde Baru diarahkan menjadi ideology yang hanya menguntungkan satu
golongan, yaitu loyalitas tunggal pada pemerintah dan demi persatuan dan
kesatuan hak-hak demokrasi dikekang.

C. Masa Orde Reformasi


Seperti juga Orde Baru yang muncul dari koreksi terhadap Orde Lama, kini Orde
Reformasi, jika boleh dikatakan demikian, merupakan orde yang juga berupaya
mengoreksi penyelewengan yang dilakukan oleh Orde Baru. Hak-hak rakyat
mulai dikembangkan dalam tataran elit maupun dalam tataran rakyat bawah.
Rakyat bebas untuk berserikat dan berkumpul dengan mendirikan partai politik,
LSM, dan lain-lain. Penegakan hukum sudah mulai lebih baik daripada masa
Orba. Namun, sangat disayangkan para elit politik yang mengendalikan
pemerintahan dan kebijakan kurang konsisten dalam penegakan hukum. Dalam
bidang sosial budaya, disatu sisi kebebasan berbicara, bersikap, dan bertindak
amat memacu kreativitas masyarakat. Namun, di sisi lain justru menimbulkan
semangat primordialisme. Benturan antar suku, antar umat beragama, antar
kelompok, dan antar daerah terjadi dimana-mana. Kriminalitas meningkat dan
pengerahan masa menjadi cara untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang
berpotensi tindakan kekerasan.
Kondisi nyata saat ini yang dihadapi adalah munculnya ego kedaerahan dan
primordialisme sempit, munculnya indikasi tersebut sebagai salah satu gambaran
menurunnya pemahaman tentang Pancasila sebagai suatu ideologi, dasar filsafati
negara, azas, paham negara. Padahal seperti diketahui Pancasila sebagai sistem
yang terdiri dari lima sila (sikap/ prinsip/pandangan hidup) dan merupakan suatu
keutuhan yang saling menjiwai dan dijiwai itu digali dari kepribadian bangsa
Indonesia yang majemuk bermacam etnis/suku bangsa, agama dan budaya yang
bersumpah menjadi satu bangsa, satu tanah air dan satu bahasa persatuan, sesuai
dengan sesanti Bhineka Tunggal Ika.
Orde Reformasi yang baru berjalan beberapa tahun telah memiliki empat
Presiden. Pergantian presiden sebelum waktunya karena berbagai masalah. Pada
era Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati Soekarno Putri, Pancasila secara
formal tetap dianggap sebagai dasar dan ideologi negara, tapi hanya sebatas pada
retorika pernyataan politik. Ditambah lagi arus globalisasi dan arus demokratisasi
sedemikian kerasnya, sehingga aktivis-aktivis prodemokrasi tidak tertarik
merespons ajakan dari siapapun yang berusaha mengutamakan pentingnya
Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara.
Ideologi negara yang seharusnya menjadi acuan dan landasan seluruh elemen
bangsa Indonesia khususnya para negarawan dan para politisi serta pelaku
ekonomi dalam berpartisipasi membangun negara, justru menjadi kabur dan
terpinggirkan. Hasilnya NKRI mendapat tantangan yang berat. Timor-Timur yang
telah lama bergabung dalam NKRI melalui perjuangan dan pengorbanan lepas
dengan sekejap pada masa reformasi tersebut. Daerah-daerah lain juga
mengancam akan berdiri sendiri bila tuntutannya tidak dipenuhi oleh pemerintah
pusat. Tidak segan-segan, sebagian masyarakat menerima aliran dana asing dan
rela mengorbankan kepentingan bangsanya sebagai imbalan dolar.

2 Pancasila Pasca Reformasi

Pancasila mengandung makna yang amat penting bagi sejarah perjalanan Bangsa
Indonesia. Karena itulah Pancasila dijadikan sebagai dasar negara ini. Artinya
segala tindak tanduk dari orang-orang yang termaktub sebagai warga negara dari
republik yang bernama Indonesia, haruslah didasarkan pada nilai-nilai dan
semangat Pancasila. Apakah dia sebagai seorang politisi, birokrat, aktivis, buruh,
mahasiswa dan lain sebagainya. Pancasila dan UUD 1945 sudah final dan tidak
boleh lagi diganggu gugat sebagai landasan dan falsafah yang mengatur dan
mengikat kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila pun terbukti sangat
ampuh sebagai pedoman kehidupan bersama, termasuk kehidupan dalam
berpolitik. Tidak ada yang lain. Ideologi Pancasila dan UUD 1945 tidak perlu lagi
diperdebatkan lagi. Itu sudah menjadi kesepakatan masyarakat Indonesia ketika
negara ini didirikan. Bahkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila tersebut
adalah hasil dari penggalian karakter dan budaya masyarakat Indonesia.
Sejarah kesaktian Pancasila adalah sejarah yang sangat berharga. Peringatan Hari
Kesaktian Pancasila setiap tanggal 1 Oktober, harus dijadikan sebagai kesempatan
untuk merefleksikan tentang pemaknaan nilai-nilai dan kesaktian Pancasila itu
sendiri. Pancasila adalah dasar negara. Pancasila adalah asal tunggal dan menjadi
sumber dari segala sumber hukum yang mengatur masyarakat Indonesia, termasuk
kehidupan berpolitik. Karena itu, partai politik sebagai salah satu infrastruktur
politik dan segala sesuatu yang hadir dan lahir di negara ini, harus tunduk dan taat
pada Pancasila.Indoktrinasi Pancasila yang dilakukan pemerintahan Orde Baru
selama 32 tahun ternyata tidak banyak menyentuh pemahaman publik atas dasar
negara Indonesia itu. Pancasila lebih banyak dimaknai sebagai konsepsi dan alat
politik penguasa. Memang rezim Orde Baru berhasil mempertahankan Pancasila
sebagai dasar dan ideologi negara sekaligus berhasil mengatasi paham komunis di
Indonesia.Akan tetapi, implementasi dan aplikasinya sangat mengecewakan kita
semua. Sadar atau tidak sadar, rezim Orde Baru kian lama kian menggeser
hakekat perjuangan mempertahankan Pancasila menjadi perjuangan untuk
mempertahankan kekuasaan. Acapkali kiat yang digunakan rezim Orde Baru
dalam menghadapi sikap yang berseberangan dengan pemerintah ialah dengan
membenturkannya dengan persoalan ideologi. Ideologi yang sebenarnya bersifat
sistemik tidak boleh bertentangan dengan ideologi yang resmi yaitu Pancasila
yang sudah direduksi oleh ideologi negara/Orde Baru.

Produk hukum Orde Lama, yaitu UU No. 11/PNPS/ 1963 tentang Anti Subversi
merupakan salah satu alat yang dipakai penguasa Orde Baru untuk menjerat pi
hak-pihak yang dianggap berseberangan dengan pemerintah dengan dalih GPK,
PKI, OTB, dan sebagainya. Penguasa Orde Baru bukan lagi memberantas
kejahatan terhadap negara tetapi justru mereka telah melakukan berbagai bentuk
kejahatan politik dan melanggar HAM. Dengan subjektivitasnya, penguasa ORBA
bertindak sebagai "wasit" yang menilai warganya, apakah perbuatan seseorang itu
tergolong subversif atau bukan. Dalam hal ini hanya masyarakat pembangkang
saja yang diposisikan sebagai obyek UU Subversi itu. Sedangkan pihak-pihak
yang melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) menjadi bahagian dari
sistem pemerintahan Orde Baru. Ditinjau dari segi demokrasi sebagai wujud
pelaksanaan Sila IV, rezim Orde Baru justru menghambat proses demokratisasi
itu sendiri. Antara lain; dengan proses departaisasi atau pembatasan jumlah partai,
pengekangan kebebasan pers, penahanan dan penculikan para aktivis demokrasi,
rekayasa politik, kecurangan dalam pemilu, dan sebagainya. Di bidang hukum,
penyelesaian kasus yang berkaitan dengan penguasa tidak mencerminkan rasa
keadilan, misalnya; kasus Marsinah, kasus Kedung Ombo, kasus Ohee (Irian
Jaya), kasus Udin, kasus Jamsostek yang melibatkan pejabat negara, dan lain-lain.

Akumulasi ketidakadilan dan kebobrokan rezim Orde Baru seakan-akan


memuncak ketika gong reformasi mulai dibunyikan. Akibatnya, menjelang dan
sesudah Soeharto "lengser" dari jabatan Presiden RI, 21 Mei 1998 lalu, berbagai
peristiwa dan kondisi buruk kembali mewarnai kehidupan bangsa kita sekaligus
menjadi cobaan berat bagi Pancasila sebagai dasar dan ideology negara.
Pemaknaan baru selama Orde Reformasi, di satu sisi, juga memperlemah memori
publik soal dasar negara ini. Orde Baru sepanjang kekuasaannya bisa
menanamkan Pancasila sebagai doktrin absolut. Upaya doktrinasi dilakukan
secara komprehensif lewat pendidikan. Ideologisasi Pancasila tak hanya
ditekankan dalam sistem kepartaian dan praktik politik, tetapi juga dalam ranah
pendidikan, mulai dari tingkat pendidikan dasar sampai perguruan tinggi.
Ideologisasi yang dilakukan secara represif di tatar pendidikan mengarah pada
pengultusan Pancasila sebagai simbol keramat. Ini dilakukan melalui langkah
seperti pembacaan teks Pancasila di setiap upacara di setiap sekolah dari sekolah
dasar hingga sekolah tingkat atas, indoktrinasi melalui Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (P4), hingga pendidikan kewiraan di tingkat perguruan
tinggi. Pascaruntuhnya Orde Baru, gelombang keterbukaan membuka
kemungkinan masyarakat untuk memaknai ulang Pancasila sebagai dasar negara.
Wacana soal apakah Pancasila merupakan ideologi atau bukan berkembang
selama rezim reformasi. Sejumlah kelompok menerjemahkan Pancasila bukan
sebagai ideologi, melainkan kontrak sosial yang dirumuskan para founding fathers
saat mendirikan negara ini.
Onghokham adalah salah satu tokoh yang menyatakan Pancasila bukanlah
falsafah atau ideologi. Pancasila adalah dokumen politik dalam proses
pembentukan negara baru, yakni kontrak sosial yang merupakan persetujuan atau
kompromi di antara sesama warga negara tentang asas negara baru. Ia
menyamakan Pancasila dengan dokumen penting beberapa negara lain, seperti
Magna Carta di Inggris, Bill of Right di Amerika Serikat, atau Droit de l’homme
di Perancis. Pancasila sebagai sebuah kontrak sosial dari pendiri bangsa ini
faktanya memang mampu bertahan hingga kini. Sejarah mencatat sejumlah upaya
penggeseran landasan negara kepada bentuk asas lainpada masa awal berdirinya
bangsa ini menemui kegagalan.
Namun, setelah melampaui sekian banyak tantangan, eksistensi Pancasila sejauh
ini masih banyak dimaknai sebagai konsepsi politik yang substansinya belum
mampu diwujudkan secara riil. Semenjak Orba ditumbangkan oleh gerakan
reformasi, Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia telah kehilangan
tempatnya yang mapan. Semacam ada phobia dan ke-alergi-an masyarakat
negara-bangsa ini untuk mengakui Pancasila apalagi mencoba untuk
menelaahnya. Meskipun negara ini masih menjaga suatu konsensus dengan
menyatakan Pancasila sebagai ideologi bangsa. Namun secara faktual, agaknya
kita harus mempertanyakannya kembali. Karena saat ini debat tentang masih
relevan atau tidaknya Pancasila dijadikan ideologi masih kerap terjadi. Apalagi
ditengah kegalauan dan kegagalan negara-bangsa menapak dengan tegak jalur
sejarahnya sehingga selalu jatuh bangun dan labil.Pancasila sebagai satu-satunya
ideologi yang diakui di negeri ini, sempat menjadi sema.sudah hitungan tahun
Indonesia memasuki era reformasi. Berbagai perubahan dilakukan untuk
memperbaiki sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara di bawah payung
ideologi Pancasila.  
Namun, faktanya masih banyak masalah sosial-ekonomi yang belum terjawab.
Eksistensi dan peranan Pancasila dalam reformasi pun dipertanyakan. Mampukah
Pancasila memberikan pengharapan lebih baik untuk negeri ini? Dilihat dari
faktanya sungguh memprihatinkan. Reformasi belum berlansung dengan baik
karena Pancasila belum difungsikan secara maksimal sebagaimana mestinya.
Banyak masyarakat yang hafal butir-butir Pancasila, tetapi belum memahami
makna sesungguhnya.
Bangsa Indonesia merasakan delapan tahun berselang ini, terutama pada awal-
awal reformasi, di sana-sini dalam penggal-penggal waktu tertentu muncul
semacam disorientasi, penolakan, konflik, kegamangan, pesimisme, apatisme,
demoralisasi, kekosongan, kemarahan dan bahkan kebencian. “Kita alami
bersama-sama dan sebagian sudah dapat kita lewati, sebagian masih kita rasakan
sisanya, sebagian masih terasa mencekam dalam kehidupan kita bersama dewasa
ini. Orang lantas sering berbicara lantang, kita mesti membangun Indonesia baru
karena itu dalam konteks itu muncul sejumlah kecenderungan. Secara sosiologis
kita mengetahui kerawanan dalam masa transisi, nilai dan tatanan lama telah
ditinggalkan, sementara nilai dan tatanan baru belum terwujudngat perjuangan
dan pemikiran setiap warga negara Indonesia.
Eksistensi Pancasila di era reformasi ini mestinya menjadi dasar, acuan atau
paradigma baru. Pancasila adalah dasar negara yang sesuai dengan pokok-pokok
pikiran yang terkandung dalam UUD 1945. Tetapi sekarang bangsa ini sering
mengenyampingkan Pancasila. Padahal reformasi yang benar justru melaksanakan
atau mengamalkan Pancasila untuk kehidupan berbangsa, bernegara, dan
bermasyarakat. Dengan jiwa Pancasila seharusnya gerakan reformasi harus
mampu menggalang persatuan demi pembenahan krisis multidimensional dewasa
ini. Tidak satu golonganpun bisa memenangkan reformasi tanpa persatuan dengan
golongan-golongan lainnya. Pengalaman kegagalan dan kemacetan gerakan
reformasi selama ini telah membuktikan hal itu. Dengan persatuan setapak demi
setapak gerakan reformasi akan diharapkan membawa Indonesia menjadi negara
yang demokratik, kuat sentosa, aman tenteram dan adil makmur. Harap dicamkan:
”Persatuanlah yang membawa kita ke arah kebesaran dan kemerdekaan..” Dan
agar persatuan bisa tercapai: “Kita harus bisa menerima; tetapi kita juga harus bisa
memberi. Inilah rahasianya Persatuan” Demikianlah “2 kalimat kunci persatuan”
Bung Karno yang diamanatkan kepada kita bangsa Indonesia 76 tahun yang
lalu.Agar Pancasila yang telah dikaitkan langsung dengan doktrin Bhinneka
Tunggal Ika itu dapat berjalan dengan stabil, seluruh kaidahnya harus dituangkan
dalam format hukum, yang selalu harus dijaga agar sesuai dengan perkembangan
rasa keadilan masyarakat. Kita patut bersyukur, bahwa empat kali amandemen
UUD 1945 dalam era reformasi nasional telah mampu menampung dinamika
bangsa ini, khususnya dengan mengakui kesetaraan antara berbagai unsur dalam
batang tubuh bangsa Indonesia serta mewadahinya dalam sistem dan struktur
pemerintahan yang baru.

Anda mungkin juga menyukai