Anda di halaman 1dari 19

PAPER NAMA : NAMIRA LARASSATI

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA PULUNGAN


FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS UNIVERSITAS NIM : 190131117
SUMATERA UTARA

PAPER

AMBLIOPIA

Disusun oleh :
NAMIRA LARASSATI PULUNGAN
190131117

Supervisor :
Prof. Dr. dr. Rodiah R. Lubis, M.Ked(Oph), SpM(K)

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2021
PAPER NAMA : NAMIRA LARASSATI

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA PULUNGAN


FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS UNIVERSITAS NIM : 190131117
SUMATERA UTARA

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas kasih,
berkat, dan penyertaanNya penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul
“AMBLIOPIA”. Penulisan makalah ini adalah salah satu syarat untuk
menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di
Departemen Mata, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Prof.
Dr. dr. Rodiah R. Lubis, M.Ked(Oph), SpM(K) selaku pembimbing yang telah
memberikan arahan dalam penyelesaian makalah ini. Dengan demikian
diharapkan makalah ini dapat memberikan kontribusi positif dalam sistem
pelayanan kesehatan secara optimal.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca
untuk perbaikan dalam penulisan makalah selanjutnya.

Medan, 4 Juni 2021

i
PAPER NAMA : NAMIRA LARASSATI

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA PULUNGAN


FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS UNIVERSITAS NIM : 190131117
SUMATERA UTARA

DAFTAR ISI

BAB 1 ..........................................................................................................4

1.1 Latar Belakang ..........................................................................................4


BAB 2 ..........................................................................................................5

2.1 Anatomi dan Histologi Kornea ................... Error! Bookmark not defined.

2.2 Ulkus Kornea .............................................................................................5

2.2.1 Definisi .........................................................................................................6

2.2.2 Etiologi .........................................................................................................7

2.2.3 Faktor risiko ............................................... Error! Bookmark not defined.

2.2.4 Patofisiologi .................................................................................................7

2.2.5 Diagnosis ......................................................................................................8

2.2.6 Komplikasi ................................................. Error! Bookmark not defined.

2.2.7 Tatalaksana .................................................................................................12


BAB III .....................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................16

ii
PAPER NAMA : NAMIRA LARASSATI
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA PULUNGAN
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA NIM : 190131117

DAFTAR GAMBAR

3
PAPER NAMA : NAMIRA LARASSATI
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA PULUNGAN
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA NIM : 190131117

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ambliopia adalah suatu keadaan berkurangnya tajam penglihatan namun tidak
disertai kelainan pada mata dan tidak dapat diperbaiki dengan kacamata. Ambliopia
semata-mata merupakan kelainan fungsi penglihatan. Pada anak, penanganan ambliopia
memerlukan perhatian khusus karena dapat berakibat gangguan fungsi yang menetap.4
Ambliopia adalah penyebab paling umum dari gangguan penglihatan monokular
pada anak-anak, dan dewasa muda hingga paruh baya, mempengaruhi 2% -5% dari
populasi umum. Kondisi ini ditandai dengan menyebabkan perubahan fungsi visual.
Penelitian di Amerika Serikat menunjukkan bahwa amblyopia terdeteksi pada 1,81%
anak kulit putih Asia dan non-Hispanik; prevalensi ambliopia lebih tinggi untuk setiap
kategori usia yang lebih tua berikutnya di antara anak-anak kulit putih non-Hispanik
tetapi tidak menunjukkan tren yang signifikan di antara anak-anak Asia.1,6

4
PAPER NAMA : NAMIRA LARASSATI
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA PULUNGAN
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA NIM : 190131117

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Jaras Optik


Jaras optik dimulai di retina, yang merupakan struktur kompleks yang terdiri dari
sepuluh lapisan berbeda. Setiap lapisan memiliki fungsi yang berbeda.
Lapisan fotoreseptor terdiri dari batang dan kerucut, yang menghasilkan potensial
aksi dengan bantuan rhodopsin melalui siklus fotosensitif.
Lapisan sel ganglion dan lapisan serat saraf berfungsi sebagai dasar saraf optik;
yang pertama berisi badan sel, dan yang terakhir berisi akson saat mereka mengalir
melintasi retina. Ini terdiri dari dua jenis serat, yaitu serat temporal dan hidung, yang
masing-masing mengontrol bagian hidung dan temporal bidang visual. Serabut ini
bergabung bersama pada diskus optikus dan diarahkan ke posterior keluar mata untuk
membentuk bagian orbita nervus optikus. Saraf ini dikelilingi oleh dura, yang merupakan
kelanjutan dari otak, memungkinkan pergerakan bebas CSF antara mata dan ruang
intrakranial.
Akson keluar dari orbit melalui foramen orbita, bersamaan dengan arteri oftalmika
dan serabut simpatis.
Kemudian serabut saraf masuk ke kanal optik, terowongan terbungkus tulang yang
dimaksudkan untuk melindungi saraf. Ini keluar ke fossa kranial tengah untuk
membentuk bagian intrakranial dari saraf optik. Ini berlanjut sampai dua saraf optik
bergabung bersama untuk membentuk kiasma optik tepat di belakang dan di atas tangkai
hipofisis. Di sini lebih dari setengah serabut nasal dari mata kiri berpotongan untuk
bergabung dengan serabut temporal mata kanan dan membentuk traktus optikus kanan
dan sebaliknya. Anomali ini membantu profesional kesehatan mata dalam penilaian
lokasi lesi di sepanjang jalur visual, yang menghasilkan defek bidang visual yang
dijelaskan dengan baik, juga dikenal sebagai hemianopia, posterior, atau pada kiasma.
Di luar kiasma, jalur berlanjut sebagai dua traktus yang berbeda, masing-masing
membawa serabut temporal dari mata yang lain.
Traktus optikus kemudian berjalan ke posterior di mana sebagian besar akson
bersinaps di lapisan korpus genikulatum lateral (LGB) otak tengah, yang merupakan
perpanjangan posterolateral talamus; sisanya masuk ke dalam colliculus superior dan
nuclei Edinger-Westphal; serat ini memungkinkan persarafan parasimpatis pupil, yaitu,
konstriksi pupil.
5
PAPER NAMA : NAMIRA LARASSATI
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA PULUNGAN
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA NIM : 190131117

Sebagian besar serabut berjalan ke posterior menjadi traktus genico-calcarine, yang


memiliki lengkung parietal dan temporal dalam bentuk radiasi optik dorsal dan lengkung
Meyer dan berakhir masing-masing ke cuneus gyrus dan lingual gyrus dari korteks visual
primer. Area Broadmann nomor 17).2,3,5,18

Gambar 1 Jaras Optik

2.2 Amblyopia

2.2.1 Definisi
Amblyopia secara klinis didefinisikan sebagai penurunan ketajaman visual pada
satu atau kedua mata, yang disebabkan oleh interaksi binokular abnormal selama periode
kritis perkembangan visual, yang tidak dapat dikaitkan dengan kelainan okular atau
sistem visual atau kesalahan refraksi. American Academy of Ophthalmology
menganggap ambliopia ketajaman visual yang lebih buruk dari atau sama dengan 20/30
dengan koreksi optik terbaik.4

6
PAPER NAMA : NAMIRA LARASSATI
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA PULUNGAN
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA NIM : 190131117

2.2.2 Etiologi
Ada 3 penyebab:
1. Strabismus
2. Kesalahan bias
3. Obstruksi visual
Strabismus dapat menyebabkan ambliopia karena ketidaksejajaran mata
menghasilkan gambar retina yang berbeda yang dikirim ke korteks visual. Ketika
ketidaksejajaran ini terjadi, otak anak hanya dapat memperhatikan satu mata pada satu
waktu, dan input dari mata lainnya ditekan. Karena jalur visual sudah sepenuhnya
berkembang pada orang dewasa, penyajian 2 gambar yang berbeda menghasilkan
diplopia daripada penekanan satu gambar.
Kelainan refraksi (astigmatisme, miopia, atau hiperopia) dapat menyebabkan
ambliopia karena kaburnya bayangan atau bayangan yang mencapai otak. Ambliopia
anisometropik terjadi pada kasus ketidaksetaraan refraksi antara kedua mata,
menghasilkan fokus yang berbeda dari gambar retina, dengan gambar dari mata dengan
kesalahan bias yang lebih besar menjadi kurang terfokus dengan baik. Ambliopia
bilateral dapat terjadi pada kasus kesalahan refraksi yang sama tinggi pada kedua mata,
karena otak menerima dua gambar buram.
Obstruksi sumbu visual di beberapa titik antara permukaan mata dan retina
(misalnya, oleh katarak kongenital) mengganggu atau sepenuhnya mencegah
pembentukan gambar retina di mata yang terkena. Obstruksi ini dapat menyebabkan
ambliopia.14

2.2.3 Faktor Risiko


Strabismus dan kelainan refraksi yang signifikan merupakan faktor risiko untuk
ambliopia unilateral. Astigmatisme bilateral dan hiperopia bilateral merupakan
faktor risiko ambliopia bilateral. Pada anisometropia, kejadian ambilopia yang
lebih parah lebih sering pada penderita hipermetropia dibandingkan pada
penderita myopia. Hali ini karena pada myopia mata masih bisa melihat dekat,
sehingga menekan progresi dari ambilopia.4,7

2.2.4 Patofisiologi
Ambliopia adalah gangguan perkembangan seluruh sistem visual, termasuk
korteks ekstrastriata, meskipun bermanifestasi sebagai gangguan ketajaman visual pada
mata ambliopia, kelainan lain dari fungsi visual seperti penurunan sensitivitas kontras dan
7
PAPER NAMA : NAMIRA LARASSATI
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA PULUNGAN
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA NIM : 190131117

penglihatan stereoskopik, dan beberapa kelainan dapat ditemukan di mata yang “baik”.
Karena ambliopia terjadi selama periode kritis perkembangan otak, hal ini mungkin
karena patologi organik dari jalur visual, deprivasi visual, atau kelainan fungsional,
terutama anisometropia atau strabismus.20

2.2.5 Diagnosis
1. Anamnesis
Anamnesis sulit didapatkan karena balita dan anak-anak usia pre-sekolah tidak
bisa menjelaskan keluhannya secara jelas, namun anak akan terlihat sering
menutup salah satu matanya dan pada anak yang lebih tua akan mengeluhkan
salah satu matanya kabur dan sulit membedakan jarak.13,14
2. Pemeriksaan visus
Diagnosis ambliopia sangat bergantung dengan ukuran ketajaman visual yang
berkurang. Biasanya ambliopia dicurigai ketika ketajaman visual ditemukan dua
garis Snellen lebih buruk dari usia normal atau jika ada perbedaan dua garis atau
lebih dalam ukuran ketajaman antara mata. Tetapi pemeriksaan ini tidak dapat
dilakukan pada bayi dan balita. Pengukuran visus dengan Snellen chart bisa
dilakukan pada anak umur 5 tahun keatas9
3. Teller Acuity Card
Serangkaian kartu persegi panjang besar diperlihatkan kepada anak satu demi
satu. Kartu berwarna abu-abu dengan kotak garis-garis hitam dan putih di satu
sisi. Pemeriksa mengamati mata anak untuk melihat apakah matanya bergerak ke
arah garis-garis. Jika anak dapat melihat garis-garis itu, maka kartu lain dengan
garis-garis yang lebih kecil akan ditampilkan. Tindakan ini diulang sampai
pemeriksa menentukan bahwa anak tidak dapat lagi melihat garis-garis tersebut.
Penglihatan anak ditentukan oleh garis-garis terkecil yang terlihat. Lalu mata akan
diuji secara terpisah dengan menutup satu mata dengan tambalan. Setiap mata
dapat dipengaruhi secara berbeda oleh masalah penglihatan. Beberapa anak
memiliki masalah penglihatan yang mempengaruhi satu mata lebih dari yang lain.
Tes ini dapat digunakan untuk skrining ambliopia pada balita.19

8
PAPER NAMA : NAMIRA LARASSATI
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA PULUNGAN
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA NIM : 190131117

Gambar 2 Teller Acuity Card

4. Hirschberg Test
Tes Hirschberg adalah salah satu tes paling sederhana untuk menentukan posisi
bola mata yang tidak sejajar. Strabismus atau ketidaksejajaran mata dapat
mengakibatkan hilangnya binokularitas dan persepsi kedalaman jika tidak
diberikan terapi yang sesuai. Pemeriksaan ini dilakukan dengan menyinari mata
seseorang dan mengamati di mana cahaya memantul dari kornea. Pada orang
dengan kesejajaran okular normal, refleks cahaya terletak sedikit nasal dari pusat
kornea (sekitar 11 dioptri prisma—atau 0,5 mm dari sumbu pupil), sebagai akibat
dari kornea yang bertindak sebagai cermin cembung yang dibelokkan ke
temporal. pengamat. Saat melakukan tes, refleks cahaya kedua mata
dibandingkan, dan akan simetris pada individu dengan fiksasi normal. Untuk hasil
yang tidak normal, berdasarkan tempat cahaya sampai pada kornea, pemeriksa
dapat mendeteksi adanya eksotropia (mata yang keluar tidak normal), esotropia
(mata yang tidak normal masuk), hipertropia (mata yang abnormal lebih tinggi
dari yang normal), atau hipotropia (mata abnormal lebih rendah dari mata
normal).17

9
PAPER NAMA : NAMIRA LARASSATI
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA PULUNGAN
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA NIM : 190131117

Gambar 3 Hirschberg Test

5. Fixation Preference Test


Preferensi fiksasi dapat dinilai dengan mengamati kekuatan yang digunakan anak
untuk menolak oklusi satu mata relatif terhadap mata lainnya. Anak-anak menolak
untuk menutup mata ketika mata yang lain memiliki penglihatan yang terbatas.
Skema penilaian dapat digunakan untuk menggambarkan preferensi fiksasi. Untuk
pasien strabismik, pola fiksasi dinilai secara binokular dengan menentukan
lamanya waktu mata yang tidak disukai menahan fiksasi. Pola fiksasi dapat dinilai
dengan apakah mata yang tidak disukai tidak akan menahan fiksasi, menahan
sesaat, atau menahan selama beberapa detik (atau sampai atau melalui kedipan),
atau dengan mengamati pergantian fiksasi spontan.8

10
PAPER NAMA : NAMIRA LARASSATI
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA PULUNGAN
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA NIM : 190131117

Gambar 4 Fixation Preference Test

6. Bruckner Test
Tes Brückner adalah metode murah, sederhana dan cepat untuk mendeteksi
anisometropia dan strabismus pada anak-anak. Menjadi tes objektif dapat
digunakan di antara anak-anak preverbal dan pasien yang tidak kooperatif untuk
pengujian penutup alternatif. Tes ini dilakukan dengan menggunakan sumber
cahaya seperti oftalmoskop langsung.16
Ketika ada strabismus, mata yang normal memiliki refleks yang lebih gelap
daripada mata yang menyimpang. Pada anisometropia, mata yang lebih rabun
akan lebih terang dibanding mata yang lebih tajam.

11
PAPER NAMA : NAMIRA LARASSATI
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA PULUNGAN
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA NIM : 190131117

Gambar 5 Bruckner Test

2.2.6 Tatalaksana
1. Patching/Occlution Therapy
Patching adalah pilihan yang tepat untuk pengobatan untuk anak-anak yang tidak
membaik dengan kacamata saja atau yang mengalami perbaikan yang tidak
lengkap. Peningkatan ketajaman visual dengan tambalan kemungkinan terkait
dengan penurunan terkait sinyal saraf dari mata sesama atau nonamblyopic,
seperti yang ditunjukkan oleh rekaman dari korteks visual pada hewan percobaan.
Penambalan paling baik dilakukan dengan mengoleskan tambalan perekat buram
12
PAPER NAMA : NAMIRA LARASSATI
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA PULUNGAN
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA NIM : 190131117

langsung ke kulit di sekitar mata. Kacamata yang diresepkan dikenakan di atas


tambalan. Patch yang dipasang pada bingkai kacamata adalah alternatif yang
kurang disukai karena anak-anak dapat dengan mudah melihat melalui celah pada
patch. Atropin juga dapat dipakai sebagai alternatif patch. Cara kerjanya adalaha
dengan menginduksi cycloplegia pada mata yang sehat sehingga kedua mata
memiliki ketajaman yang hampir sama.11

Gambar 6 Patch untuk anak dengan ambliopia

2. Koreksi strabismus/anisometropia
Koreksi optik saja berhasil memperbaiki ambliopia pada sebagian pasien
(anisometropik, strabismik, atau campuran). Pada strabismus ringan akan diberi
lensa prisma, namun pada kasus yang lebih berat mungkin diperlukan tindakan
bedah. Pada anisometropia akan diberikan lensa korektif sesuai dengan jenis
kelainan refraksi.9,15
3. Binocular (dichoptic) training
Penyeimbangan kontras dichoptic pertama kali diperkenalkan oleh Hess et al13
pada tahun 2010. Tujuannya adalah untuk memperkuat mata amblyopic terutama
dengan meningkatkan fusi dan stereopsis menggunakan rangsangan dichoptic
komplementer (stimulus yang menyeimbangkan kontras kedua mata) yang
memerlukan integrasi binokular untuk menyelesaikan tugas visual. Pasien diminta
untuk memainkan video game sambil memakai alat dichoptic (kacamata khusus
atau alat Virtual Reality). Namun, kepatuhan pasien dalam mengikuti terapi ini
bervariasi karena selera tiap anak yang berbeda dengan video game tersebut.12

13
PAPER NAMA : NAMIRA LARASSATI
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA PULUNGAN
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA NIM : 190131117

Gambar 7 Visualisasi Dichoptic Training

14
PAPER NAMA : NAMIRA LARASSATI
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA PULUNGAN
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA NIM : 190131117

BAB III
KESIMPULAN

Ambliopia adalah suatu keadaan berkurangnya tajam penglihatan namun tidak


disertai kelainan pada mata dan tidak dapat diperbaiki dengan kacamata.
Ambliopia adalah penyebab paling umum dari gangguan penglihatan monokular
pada anak-anak, dan dewasa muda hingga paruh baya, mempengaruhi 2% -5% dari
populasi umum. Kondisi ini ditandai dengan menyebabkan perubahan fungsi visual.
Ambliopia dapat disebabkan oleh gangguan refraksi, strabismus, atau gangguan
media refraksi seperti katarak. Tatalaksana yang sesuai akan mencegah perburukan
ambliopia dan diharapkan dapat memperbaiki penglihatan pasien.

15
PAPER NAMA : NAMIRA LARASSATI
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA PULUNGAN
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA NIM : 190131117

DAFTAR PUSTAKA

1. Deshmukh S, Magdalene D, Bhattacharjee H, Choudhury M, Multani P,


Singh A et al. Community outreach: An indicator for assessment of
prevalence of amblyopia. Indian Journal of Ophthalmology. 2018;66(7):940.

2. Riordan-Eva P, Augsburger J. Vaughan & Asbury's General Ophthalmology.


19th ed. New York, N.Y.: McGraw-Hill Education LLC.; 2018.

3. Jogi R. Basic ophthalmology. 4th ed. New Delhi, India: Jaypee Brothers
Medical Publishers; 2009.

4. Zagui R. Amblyopia: Types, Diagnosis, Treatment, and New Perspectives


[Internet]. American Academy of Ophthalmology. 2019. Available from:
https://www.aao.org/disease-review/amblyopia-types-diagnosis-treatment-
new-perspectiv

5. De Moraes C. Anatomy of the Visual Pathways. Journal of Glaucoma.


2013;22:S2-S7.

6. McKean-Cowdin R, Cotter S, Tarczy-Hornoch K, Wen G, Kim J, Borchert M


et al. Prevalence of Amblyopia or Strabismus in Asian and Non-Hispanic
White Preschool Children. Ophthalmology. 2013;120(10):2117-2124.

7. Pascual M, Huang J, Maguire M, Kulp M, Quinn G, Ciner E et al. Risk


Factors for Amblyopia in the Vision in Preschoolers Study. Ophthalmology.
2014;121(3):622-629.e1.

8. Erkan Turan K, Taylan Sekeroglu H, Karahan S, Sanac A. Fixation


preference test: reliability for the detection of amblyopia in patients with
strabismus and interexaminer agreement. International Ophthalmology.
2016;37(6):1305-1310.

9. Blanca Ruiz de Zárate J. Current concepts in the management of amblyopia


[Internet]. PubMed Central (PMC). 2021. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2704537/#idm14037490450
6112title

16
PAPER NAMA : NAMIRA LARASSATI
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA PULUNGAN
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA NIM : 190131117

10. Wallace D, Repka M, Lee K, Melia M, Christiansen S, Morse C et al.


Amblyopia Preferred Practice Pattern®. 2017.

11. Repka M, Kraker R, Holmes J, Summers A, Glaser S, Barnhardt C et al. Atropine


vs Patching for Treatment of Moderate Amblyopia. JAMA Ophthalmology.
2014;132(7):799.

12. Pineles S, Aakalu V, Hutchinson A, Galvin J, Heidary G, Binenbaum G et al.


Binocular Treatment of Amblyopia. Ophthalmology. 2020;127(2):261-272.

13. Blair K, Cibis G, Gulani A. Amblyopia [Internet]. Ncbi.nlm.nih.gov. 2020.


Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK430890/

14. Khazaeni L. Amblyopia - Pediatrics - MSD Manual Professional Edition


[Internet]. MSD Manual Professional Edition. 2020. Available from:
https://www.msdmanuals.com/professional/pediatrics/eye-defects-and-conditions-
in-children/amblyopia

15. Sawers N, Jewsbury H, Ali N. Diagnosis and management of childhood squints:


investigation and examination with reference to red flags and referral letters.
British Journal of General Practice. 2016;67(654):42-43.

16. Kothari M. Can the Bruckner test be used as a rapid screening test to detect
significant refractive errors in children? Indian Journal of Ophthalmology.
2007;55(3):213.

17. Anandita N, Aulia N, Sulistiyowati A, Wulandari L. Refractive error and its


correlation with eye deviation as examined with the Hirschberg test in elementary
and junior school students in Lesanpuro, Malang. EurAsian Journal of
BioSciences. 2019;13(2):811-815.

18. Gupta M, Bordoni B. Neuroanatomy, Visual Pathway [Internet].


Ncbi.nlm.nih.gov. 2021. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK553189/

19. Drover J, Wyatt L, Stager D, Birch E. The Teller Acuity Cards Are Effective
in Detecting Amblyopia. Optometry and Vision Science. 2009;86(6):755-
759.

17
PAPER NAMA : NAMIRA LARASSATI
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA PULUNGAN
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA NIM : 190131117

20. Kelkar J, Gopal S, Kelkar A, Pandit A. Simplified updates on the


pathophysiology and recent developments in the treatment of amblyopia: A
review. 2021.

18

Anda mungkin juga menyukai