Anda di halaman 1dari 5

JUDUL ??

 Menelisik timbunan problematika pendidikan tanah air


 Mengupas aneka kekusutan wajah pendidikan tanah air
 Menelisik kepelikan progresivitas pendidikan tanah air
 (Gatau judul apa wkwk)

Lambannya pembaharuan system pendidikan nasional yang berujung pada minimnya


progresifitas dunia pendidikan di tanah air menjadi topic utama diskusi daring bertajuk “ Sekolah
: Inovasi atau Involusi” yang diselenggarakan oleh Perkumpulan Homescholler Indonesia (PHI)
pada Minggu (28/03). Diskusi ini dilaksanakan melalui zoom dengan menghadirkan dua
narasumber utama yakni Karina Adistiana selaku Psikolog pendidikan sekaligus Presidium
jaringan pendidikan alternative dan Charlie Abajili selaku pengacara public LBH Jakarta.

Karina Adistiana atau yang kerap disapa Anyi, membuka diskusi dengan mengungkapkan
pengamatannya bahwa ternyata, permasalahan pendidikan yang terjadi pada setiap daerah
cenderung sama. Permasalahannya tak lain mengacu pada system pendidikan yang tidak
kontekstual dan tidak membantu anak didik menyiapkan kehidupannya ditengah masyarakat. .
“Betapa pendidikan ini seperti tidak memberi bekal pada anak anak untuk hidup di lingkungan
masyarakat” pungkasnya.

Penilaian tersebut tak lain didapat berdasarkan pengalaman Anyi yang telah beberapa kali
mengunjungi sejumlah daerah untuk menelisik problematika pendidikan diantaranya saat
mengunjungi daerah Aceh dan Maluku. “Masing masing daerah punya karakter yg berbeda.
Menariknya anak anak aceh gak belajar banyak tentang kopi yang mana itu adalah kekuatan
daerahnya, sementara anak anak Maluku gak banyak belajar tentang perikanan padahal Maluku
merupakan salah satu lumbung perikanan terbesar” tegasnya.

Terkait itu, Anyi mengamati bahwa terdapat satu paradigma biner masyarakat dalam
memandang sekolah yakni bahwa sekolah itu pasti benar, dan system pendidikan yang dibuat
oleh Pemerintah itu benar. Ia menilai paradigma ini tentunya berimbas pada semakin kuatnya
tekanan pada peserta didik yang tengah mengecap bangku sekolah . “ Bagaimana pun sistemnya,
anak dipaksa harus beradaptasi. Beban adapatasi nya cukup berat. Padahal jika dilihat sistemnya
juga salah “ ungkapnya.

Lebih lanjut, Ia juga menilai bahwa pendidikan tidak kontekstual ini tak lain disebabkan
oleh minimnya pemberian ruang ruang bagi masyarakat untuk berbicara terhadap bagaimana
pendidikan yang mereka harapkan dan yang bisa menjawab persoalan persoalan yang ada di
masyarakat . Terkait hal itu, Anyi memandang pemerintah semestinya menjalankan perannya
untuk dengar dengar-an dengan masyarakat lalu mewujudkan inovasi yang menjawab suara
masyarakat. “Peran pemerintah harusnya adalah memberi ruang dengar pada suara suara dari
masyarakat lalu menggangungkan suara suara dari masyarakat., ya demi pendidikan yg
kontekstual tadi “ ungkapnya

Sebagai wujud, Anyi menelisik salah satu produk pendidikan yakni peta jalan
pendidikan, yang dirumuskan tanpa memberi ruang dengar dengar-an dengan masyarakat. “Di
peta jalan pendidikan itu, kita bisa melihat paradigma pemerintah yang tersentralisasi alias
hanya berdasarkan pada satu paradigma saja. Sebenarnya hal ini bisa membuat Indonesia
terancam” ungkapnya

Dari berbagai observasinya, Ia menilai masyarakat masih relatif kurang didengarkan


dalam perumusan berbagai kebijakan pendidikan di Negara ini. “ Walaupun banyak suara suara
keluhan terhadap pendidikan di Indonesia, tapi ya itu, gak banyak yang didengarkan, kita relaitf
kurang didengar lah ya “ ujarnya.

Dalam mengatasi hal tersebut, Anyi berpandangan solusinya adalah mengaktifkan ruang
dengar dengar-an dengan masyarakat dan meminta masyarakat untuk benar benar menyadari hak
hak-nya akan pendidikan yang berkualitas. “Dan untuk itu, masyarakat juga harus paham hak
hak nya. Pemerintah bertanggung jawab buat pendidikan yang berkualitas, bukan cuman
pendidikan. Jadi misalnya sekolah itu ga berkualitas, kita bisa berinovasi atau menuntut
pemerintah akan hal itu” ungkapnya.

Selain menyadari hak hak nya, Anyi juga menyatakan bahwa masyarakat harusnya lebih
kritis terhadap berbagai produk kebijakan pendidikan yang dilegitimasi. “ Kita juga harus
banyak membaca produk produk hukum yang berkaitan dengan pendidikan. Kadang kadang kita
anti dengan itu, sehingga membuat kita menyerahkan segalanya pada sistem yg diberikan oleh
Negara yaitu sekolah, padahal belum tentu sekolah itu sepenuhnya benar “ ungkapnya.

Sejalan dengan itu, Ellen Nugroho selaku moderator dalam diskusi tersebut menegaskan
“tidak sekedar menunggu pemerintah ya, namun juga menyuarakan aspirasi kebijakan macam
apa yang kita butuhkan. syarat yang dibutuhkan adalah kita mesti mengalahkan kemalasan kita
untuk baca UU dan okumen kebijakan dan untuk gak terbiasa menerima jadi” ungkapnya.

Adapun Charlie Abajili atau yang kerap dipanggil David menyatakan beberapa
problematika pendidikan berdasarkan pada keterkaitan kebijakan dan birokrasi yang
melingkarinya. David menyoroti kebijakan semakin tidak relevan dalam menjawab persoalan
pendidikan khususnya dalam lingkup persekolahan. “Kebijakan masih kalau balau, menguras
energi dan waktu para pendidik. Guru guru waktunya habis untuk urusan birokrasi dan
administrasi sehingga lupa esensi utamanya utk mendidik dan mengajar” tegasnya.

Lebih lanjut, David berpendapat “Untuk membuat pendidikan yg lebih progresif


diperlukan kurikulum pendidikan yg lebih terdesentralisasi sesuai kebutuhan masyarakat
didaerah masing masing. Agaknya sulit kalau perspektif pemerintah masih berkutat pada
pembangunan fisik, kurikulum yang tidak menyesuaikan dengan kebutuhan daerahnya, dan
adanya gap antara pemerintah dan masyarakat. “ pungkasnya.

Menanggapi hal itu, terkait kebijakan pendidikan yang dirasa kurang menjawab
persoalan masyarakat, Anyi menyoroti kebijakan merdeka belajar yang sebenarnya tidak link
and match dengan kebutuhan masyarakat akan pendidikan saat ini. “ Katanya link and match
padahal kalau kita lihat, link and match yg dimaksud adalah link and match dengan industry yg
gak gelas Indonesianya itu dimana. lagi lagi, liat aja peta jalan pendidikannya . orientasinya
sangat kotak, semua orang disuruh untuk bikin start-up, yaa begitulah bila menterinya juga
pengusaha besar (tajam tpi ngakak wkwk) “ ungkapnya.

Senada dengan Anyi, Sahala Harahap, salah satu peserta diskusi berpendapat “
Tampaknya, para pembuat peta pendidikan berpikir dari perspektif urban dan kapitalis. Sekolah
sebagai penyedia tenaga kerja untuk industri bukan sekolah sebagai penghasil individu yang
berpikiran merdeka dan mampu berupaya sendiri demi membangun kemadirian tanpa perlu
bekerja dengan pihak asing” ungkapnya dalam kolom chat.
Menanggapi kebijakan itu, Ellen Nugroho juga menyatakan keresahannya terhadap diksi
“merdeka” yang dipakai. “Ternyata kan satu kata yang sama yakni merdeka. Bisa dipakai
dengan arti kebebasan dan kesadaran, namun kata ini juga bisa dipakai untuk sesuatu yang
memenuhi kebutuhan industri. Ini kata yg sama namun bisa ditafsirkan secara berbeda”
ungkapnya.

Ellen pun mempertanyakan bagaimana sebenarnya proses dibalik layar perumusan suatu
kebijakan. “ Ini kan menunjukkan bahwa didalam mengeluarkan sebuah kebijakan , ada banyak
pihak yang punya kepentingan. Ada banyak pihak yang mengusulkan, masing masing dengan
kekuatan politik yang berbeda beda, lalu suara siapa yang kemudian diterima dalam
kebijakan ?, serta bagaimana kelompok kelompok yang kekuatannya kecil atau termarginal ? ”
ujarnya.

Sejalan dengan Ellen, Anyi juga mempertanyakan kembali kata merdeka seperti apa yang
dimaksud dalam kebijakan itu. “Kata merdeka saja masih menimbulkan multitafsir, disini
merdeka a, b c. Merdeka dalam kebijakan itu bukan disesuaikan pada kebutuhan masyarakat tapi
disesuaikan dengan kepentingan siapa. Ya gak tau siapa” ungkapnya.

Lebih lanjut Anyi menambahkan “Bayangin jika semua orang dimasukin ke industri.
Yaa, mungkin ada manfaat buat teman teman di perkotaan, apalagi kota kota besar, tapi ketika
kita mencoba buat menerapkan ini didaerah daerah . itu sulit. Padahal Indonesia ini ga kota
besar smua isinya” ungkapnya

Selain itu, Anyi mencoba mengritisi kerelevanan kebijakan merdeka belajar terhadap
pancasila sebagai ideologj Negara ini. “ Segala hal diindonesia katanya berdasarkan pancasila
bagaimana misalnya sila kedua, pendidikan kita memanusiakan ga ? lalu sila ketiga,
pendidikan kita demokratis ga ? atau sila kelima, pendidikan kita mendorong keadilan sosial ga ?
Kita coba kritisi dari lima panca itu, apakah kebijakan ini relevan? “ ujarnya

Anyi berpandangan bahwa semakin kesini, pendidikan kita semakin involusi. “ Kita
kesannya bergerak tapi sebenarnya gak kemana mana. Pemerintah kita sepertinya sibuk banget
untuk bahas merdeka belajar , cuman jargon jargon yang keren. Sekolah penggerak, organisasi
penggerak. Kata kata yang keren semuanya. Namun coba kita kritisi dan cermati. Apakah kita
benar benar berjalan?” ungkapnya.
Demi mencapai progresivitas pendidikan dalam arti sebenarnya, Anyi menegaskan
pentingnya kesadaran seluruh pihak baik pemerintah juga masyarakat dalam mewujudkan
pembaharuan wajah pendidikan. Sebagaimana Anyi menyatakan bahwa “ Masyarakat haruslah
paham hak hak nya dan hak hak anak. Kita itu memang harus beriorientasi pada anak, karena
sebetulnya masa depan Negara ini ada di anak dan masa depan Negara ini memang harusnya
digarap di pendidikan. Maka kesadaran bahwa pendidikan adalah tanggungjawab bersama yang
harus dibagi antara masyarakat harus diupayakan.” tegasnya.

Anda mungkin juga menyukai