PENDAHULUAN
1
1.2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah merupakan ruang lingkup penelitian yang diwujudkan
melalui beberapa permasalahan yang diharapkan dapat memfokuskan dari penelitian
ini untuk mencari jawaban dari pertanyaan yang muncul. Dengan kata lain, rumusan
masalah ini juga sebagai batasan dari penelitian yang dilakukan supaya kegiatan di
lapangan lebih terkoordinasi dan efisien. Adapun batasan rumusan masalah yang
akan diteliti adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pembagian bentuk lahan berdasarkan aspek geomorfologi di
daerah telitian ?
2. Bagaimanakah urut-urutan statigrafi di daerah telitian?
3. Bagaimana struktur geologi yang berkembang di daerah telitian ?
4. Bagaimana sejarah geologi daerah telitian ?
5. Apa potensi geologi di daerah telitian?
6. Bagaimana potensi breksi di daerah telitian?
7. Berapa jumlah cadangan di daerah telitian?
2
I.4 Lokasi dan Kesampaian Daerah Penelitian
Daerah penelitian secara administratif meliputi Daerah Pakisrejo dan
sekitarnya, Kecamatan Tanggunggunung, Kabupaten Tulungagung, Provinsi Jawa
Timur. Sedangkan secara geografis terletak pada koordinat UTM Zona 49 M datum
WGS 1984, 593030 mE – 601880 mE dan 9092470 mN – 9101580 mN (Tabel 1.1).
Luas daerah penelitian adalah 80 km2 dengan panjang dari utara ke selatan 9,1 km
dan lebar dari arah barat ke timur 8,8 km. Lokasi daerah penelitian berada pada
Provinsi Jawa Timur, berjarak sekitar ± 40 km dari Alun – alun Kota Tulungagung
dapat dicapai dengan kendaraan roda dua maupun roda empat melalui jalan beraspal
dan jalan bersemen. Untuk mencapai lokasi pengamatan dan melakukan
pengambilan contoh batuan, pada beberapa lokasi harus berjalan kaki melalui jalan
setapak atau menelusuri sungai. Peta lokasi daerah penelitian dapat dilihat pada
Gambar 1.1.
Daerah penelitian dapat dicapai dengan sepeda motor dari Yogyakarta
menuju Trenggalek kurang lebih selama 6 jam melewati JLS Jawa (Jalur Lintas
Selatan Jawa) dan dilanjutkan perjalanan menuju basecamp dengan menggunakan
sepeda motor yang terletak di Desa Pakisrejo, Kecamatan Tanggunggunung,
Kabupaten Tulungagung selama 1 jam. Lokasi basecamp berada didalam daerah
telitian. Daerah penelitian berada di sekitar perbukitan, perkebunan, persawahan
milik warga dan hutan milik PT. Perhutani,. Letaknya yang sangat strategis dan
ketersedian akses jalan memudahkan penulis dalam melakukan penelitian selama di
lapangan, akan tetapi masih banyak jalan yang rusak, sehingga sedikit menghambat
dalam penelitian.
No Koordinat
. x y
1 593030 9101580
2 601880 9101580
3 601880 9092470
3
4 593030 9092470
4
Tabel 1.2. Waktu Penelitian
1. Peta Lokasi Pengamatan
a. Mengetahui lokasi singkapan litologi yang ada di permukaan.
b. Mengetahui lokasi struktur geologi yang ada di permukaan.
2. Peta Geomorfologi
5
a. Mengetahui bentuk asal dan bentuklahan daerah telitian.
b. Mengetahui hubungan bentuklahan dan satuan batuan di daeearh telitian.
c. Mengetahui hubungan bentuklahan dan struktur geologi di daerah telitian.
3. Penampang Stratigrafi Terukur dan Profil
a. Mengetahui batas satuan batuan, tebal satuan batuan dan hubungan
stratigrafi pada daerah telitian.
b. Mengetahui lingkungan pengendapan yang berkembang di daerah telitian.
4. Peta Geologi
a. Mengetahui litologi dan penyebaran dari setiap satuan batuan.
b. Mengetahui hubungan stratigrafi dari setiap satuan batuan.
5. Peta Cadangan Breksi
a. Mengetahui zonasi Struktur pada daerah telitian.
b. Mengetahui pola Struktur yang berkembang pada daerah telitian.
6. Laporan hasil penelitian
6
- Memberikan kesempatan bagi calon Sarjana Teknik Geologi Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta untuk terjun secara langsung
dalam penelitian dilapangan sehingga kedepannya dapat menambah
pengalaman dan penerapan disiplin ilmu bagi mahasiswa didalam dunia
kerja.
- Menjalin kerja sama yang mendukung satu sama lain antara pihak institusi
universitas dengan pihak instansi terkait.
- Hasil penelitian yang didapatkan nantinya bisa dijadikan sebagai data
pendukung bagi kepentingan institusi dalam pelaksanaan serta pengembangan
dan memberikan data dan informasi mengenai kondisi geologi daerah
penelitian.
3. Bagi Masyarakat
- Memberikan edukasi terkait kondisi geologi daerah penelitian serta
pemanfaatan sebagai potensi–potensi positif mapun negatif akibat struktur
geologi pada daerah penelitian.
BAB II
METODE PENELITIAN DAN DASAR TEORI
7
4. Tahap Penyusunan laporan dan Penyajian Data
8
- Surat izin penelitian tugas akhir dari Jurusan Teknik Geologi, Fakultas
Teknologi Mineral, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”
Yogyakarta
- Surat izin penelitian tugas akhir yang diserahkan kepada pihak kabupaten
dan desa setempat.
- Lup
- Clipboard dan HVS 10 lembar
- GPS
- Tabulasi penampang stratigrafi terukur
- Kompas
- Plastik sampel
- Palu Geologi
- Hcl + botol Hcl
- Peta topografi
- Sepatu lapangan
- Meteran 50m
- Kamera
- Alat tulis lengkap
- Topi lapangan
9
- Mikroskop
- Pelat kaca
- Lembar analisa
- Sample batuan
- Kalkir + stereonet
- Jangka
- Busur
- Kalkulator
2.1.2 Tahap Penelitian Lapangan
Tahapan pengambilan data lapagan (data primer) ini merupakan tahap yang
harus dilaksanakan dalam penelitian tugas akhir yang berupa pemetaan geologi
dengan studi khusus studi struktur geologi.
10
Yang dilakukan yaitu mengukur struktur bidang, mengukur struktur garis dari
struktur gelogi berupa bidang sesar, bidang kekar, dan lipatan. Hasil dari pengukuran
untuk menganalisa struktur geologi yang berkembang dari daerah penelitian.
11
interpretasi awal yang dikaitkan dengan aspek geologi lainnya seperti litologi,
struktur geologi, dan sebagainya.
5. Analisa Petrografis
Mengidentifikasi karakteristik batuan untuk mengetahui nama batuan, baik
dari aspek mineralogi, tekstur, serta perkembangan proses-proses diagenesa yang
telah berlangsung. Analisis petrografi ditujukan untuk mengetahui nama batuan
melalui sayatan tipis batuan guna meyakinkan penamaan batuan di lapangan yang
terbatas akan alat-alat yang digunakan di lapangan.
Adapun beberapa klasifikasi yang penulis gunakan dalam menentukan
penamaan batuan yaitu pada batuan beku menggunakan klasifikasi William (1954),
pada batuan sedimen klastik menggunakan klasifikasi Gilbert (1954 & 1975), pada
batuan karbonat menggunakan klasifikasi Dunham (1962).
6. Analisa Mikropaleontologi
Analisis fosil dilakukan menggunakan mikrofosil foram plankton untuk
mengetahui penamaan fosil dan sebagai analisis penentu umur relatif dan lingkungan
batimetri dareah penelitian terkait.
12
Adapun klasifikasi yang digunakan dalam menentukan yaitu berdasarkan
penamaan foraminifera plankton dengan menggunakan zonasi Blow (1969) dalam
pengumurannya. Sedangkan pada penentuan lingkungan batimetri yang pertama
yaitu menggunakan penamaan foraminifera bentos dengan menggunakan Barker
(1960). Selain itu penentuan lingkungan batimetri mengguanakan ratio plankton
terhadap bentos denga menggunakan tabel kedalaman terhadap ratio berdasarkan
Grimsdale dan Mark Hoven (1955).
13
adalah metode penampang yaitu perhitungan sumberdaya dengan
mengkuantifikasikan sumberdaya pada suatu areal dengan membuat penampang-
penampang yang representatif dan dapat mewakili model endapan pada daerah
tersebut.
14
Volume yang dihitung merupakan volume pada areal pengaruh penampang
tersebut. Jika penampang tunggal tersebut merupakan penampang korelasi lubang
bor, maka akan merefleksikan suatu bentuk poligon dengan jarak pengaruh
penampang sesuai dengan daerah pengaruh titik bor (poligon) tersebut.
15
Gambar. 2.3. Penampang untuk rumus mean area & kerucut terpancung
16
II.2.4. Dengan menggunakan 3 (tiga) penampang
BAB III
GEOLOGI REGIONAL
17
3.1 Fisiografi
Menurut van Bemmelen (1949) fisiografi Jawa Timur dibagi menjadi lima
zona dari utara ke selatan (Gambar 3.1):
1. Zona Rembang, zona ini meliputi pantai utara Jawa yang membentang dari
Tuban ke arah timur melalui Lamongan, Gresik, dan hampir keseluruhan Pulau
Madura. Zona Rembang merupakan sikuen Eosen-Pliosen termasuk endapan tepi-
paparan seperti sedimen klastik laut dangkal dan karbonat yang luas. Zona ini
mempunyai satu sesar utama ENE-WSW yang membatasi tinggian (Tinggian
Rembang) dan banyak terorientasi Timur - Barat.
2. Zona Depresi Randublatung, berupa zona yang datar yang diapit oleh dua
zona perbukitan (Zona Rembang dan Zona Kendeng) yang membentang dari Cepu,
Dander, Ngimbang, Wonokromo, dan Surabaya.
4. Zona Solo, Zona depresi Jawa merupakan sebuah depresi lipatan sinklin yang
berbatasan di utara dengan Zona Kendeng. Morfologinya datar dengan sedikit
undulasi.
5. Zona Pegunungan Selatan, berada di bagian selatan Pulau Jawa. Terdiri dari
batuan volkanik berumur Oligo-Miosen dan endapan karbonat. Memanjang dari
selatan Jawa Timur hingga Jawa Barat bagian selatan.
18
Gambar 3.1. Sketsa peta fisiografi Pulau Jawa dan Madura
18
Zona Pegunungan Selatan di Jawa Timur pada umumnya merupakan blok yang terangkat dan miring ke arah selatan. Batas
utaranya ditandai escarpment yang cukup komplek. Lebar maksimum Pegunungan Selatan ini 55 km di sebelah selatan Surakarta,
sedangkan sebelah selatan Blitar hanya 25 km. Diantara Parangtritis dan Pacitan merupakan tipe karts (kapur) yang disebut Pegunungan
Seribu atau Gunung Sewu, dengan luas kurang lebih 1400 km2 (Lehmann, 1939). Antara Pacitan dan Popoh selain tersusun oleh
batugamping (limestone) juga tersusun oleh batuan hasil aktifitas vulkanis berkomposisi asam-basa antara lain granit, andesit dan dasit
(Bemmelen,1949).
19
1400 km2 (Lehmann. 1939). Sedangkan antara Pacitan dan Popoh selain tersusun oleh batugamping (limestone) juga tersusun oleh
batuan hasil aktifitas vulkanis berkomposisi asam-basa antara lain granit, andesit dan dasit (Van Bemmelen,1949).
20
21
Gambar 3.2 . Kolom Stratigrafi Pegunungan Selatan Jawa Timur ( Samodra, dkk.,1992)
Stratigrafi regional Zona Pegunungan Selatan Jawa Timur menurut Hanang Samodra, dkk. ( 1992) , dari tua ke muda terdiri
dari :
3.2.1. Formasi Arjosari
3.2.1.1. Penamaan
Formasi Arjosari adalah suatu nama formasi baru (Hanang Samudro, dkk., 1992). Batuan yang dinamakan Formasi Arjosari
dahulu dinamakan sebagai bagian dari Formasi Besole oleh Sartono (1973). Di sekitar Arjosari, kurang lebih 10 km relatif ke utara
pacitan, singkapan satuan ini cukup baik dan urutan stratigrafinya dapat diruntut dengan jelas. Oleh karena itu nama daerah tersebut
diusulkan menjadi nama satuan Formasi Arjosari.
3.2.1.2. Penyebaran
Formasi Arjosari tersebar di bagian utara dari Pacitan hingga Ponorogo, sementara di bagian selatan tersingkap di tenggara
Pacitan sekitar Lorong dan Panggul ke selatan hingga Samudra Indonesia. Pelamparan ke arah barat diduga sampai daerah Wonogiri
dan sekitarnya, kemudian ke arah timur pelamparan diduga sampai daerah Trenggalek dan sekitarnya. Formasi ini menempati
morfologi perbukitan tinggi yang berjulang rata – rata lebih dari 400 m diatas permukaan laut.
3.2.1.3. Lokasitipe
Sebagai lokasitipe dari Formasi Arjosari dipilih di daerah Arjosari dan sekitarnya. Hal ini dilakukan karena urutan stratigrafi
batuannya dapat diruntut dengan baik dan jelas.
3.2.1.4. Ciri Litologi
Formasi ini disusun oleh endapan turbidit atau sedimen yang dipengaruhi oleh gejala pelengseran bawah laut yang berselingan
dengan batuan gunungapi. Litologi pada formasi ini terdiri dari breksi aneka bahan, batupasir, batupasir tufan, batulempung, napal
22
pasiran, dan batulempung gampingan bersisipan breksi batuapung dan batugamping. Bagian atasnya berselingan dengan breksi
gunungapi, lava, dan tuf. Formasi ini memiliki ketebalan tidak kurang dari 500 m
23
Batuan yang berumur lebih tua dari pada Oligosen tidak tersingkap di daerah Ponorogo – Pacitan yang merupakan wilayah
penelitian dari Hanang Samudro, dkk. ( 1992 ), hal ini lah yang menjadi dasar bahwa Formasi Arjosari merupakan satuan tertua pada
Zona Pegunungan Selatan Jawa Timur. Secara lateral endapan turbidit ini menjemari dengan batuan gunungapi Formasi Mandalika.
24
anekabahan. Sedimen klastiknya berkurang semakin ke atas, sehingga bagian tengah formasi disusun oleh perulangan breksi gunungapi
dan lava, bersisipan batulempung. Bagian atas formasi disusun oleh lava bantal bersisipan breksi basal dan batulempung tufan. Satuan
ini diterobos oleh dasit, andesit dan basal, yang sebagian berupa retas bersusunan andesit-basal. Formasi ini mempunyai tebal 300 m.
25
3.2.4 Formasi Jaten
3.2.4.1. Penamaan
Formasi Jaten pertama kali dikenalkan oleh Sartono (1964) dengan wilayah tipe batuan di Jaten, utara Punung. Oleh Hanang
Samudro, dkk. (1992) masih memakai Formasi Jaten, akan tetapi ditempatkan pada kedudukan stratigrafi yang lebih muda dari yang
diduga Sartono (1964).
3.2.4.2. Penyebaran
Formasi Jaten tersebar luas di utara Punung, yaitu diwilayah tipenya sekitaran Jaten. Formasi ini menempati perbukitan rendah
bergelombang, yang memanjang arah barat – timur dan membelok ke tenggara. Di timur Pacitan singkapan memanjang ke timur,
menempati struktur sinklin.
3.2.4.3. Lokasitipe
Sebagai lokasitipe dari Formasi Jaten dipilih di daerah Jaten dan sekitarnya. Hal ini dilakukan karena sebaran singkapan paling
luas terdapat disekitaran daearah Jaten.
3.2.4.4. Ciri Litologi
Satuan ini merupakan sedimen klastik darat hingga laut dangkal (tertutup) yang mengandung bahan rombakan asal daratan dan
bersisipan lignit. Bagian bawah satuan ini disusun oleh batupasir konglomeratan, batupasir kuarasa, batupasir tufaan, konglomerat,
batulumpur bersisipan batulempung dan serpih berbitumen. Bagian atasnya merupakan sedimen klastik halus berupa batulanau,
batulempung dan napal pasiran dengan sisipan tufa.
26
3.2.4.5. Umur dan Linkungan Pengendapan
Di dalam Formasi Jaten, batugamping dijumpai koral, ganggang, duri echinoid, Lepidocyclina sp., Globigerinoides trilobus
(REUSS), Sphaeroidinellopsis sp., dan Planorbulina sp., yang menunjukkan umur sekitar Miosen. Berdasarkan letak stratigrafinya yang
lebih muda dari batuan karbonat Miosen Awal, dan kesebandingannya dengan satuan sejenis di Lembar Pacitan (Samodra & Gafoer,
1990) satuan ini diduga berumur akhir Miosen Awal. Lingkungan pengendapannya adalah peralihan atau darat yang dipengaruhi oleh
kondisi reduksi hingga laut dangkal atau lagun (Sartono, 1964).
3.2.4.6. Hubungan Stratigrafi
Formasi Jaten menindih selaras Formasi Campurdarat, meskipun ke samping ada kecenderungan berhubungan secara
menjemari. Nama Formasi Jaten pertama kali diusulkan oleh Sartono (1964), dengan lokasi tipe di Desa Jaten, Lembar Pacitan, Jawa
Timur.
3.2.5. Formasi Wuni
3.2.5.1. Penamaan
Formasi Wuni pertama kali dikenalkan oleh Sartono (1964) dengan wilayah tipe di Sungai Wuni, utara Punung sebagai
kumpulan batuan gunungapi yang berumur Miosen Tengah. Sartono (1964) membandingkan formasi ini dengan Formasi Jonggrangan
di Perbukitan Kulon Progo yang berumur Miosen Awal. Sedangkan oleh Nahrowi, dkk. (1978) mengkorelasikannya dengan Formasi
Ngelanggran dan Formasi Sambipitu di Gunungkidul. Oleh Hanang Samudro, dkk. (1992) masih memakai Formasi Wuni.
3.2.5.2. Penyebaran
Penelitian di bagian daerah Ponorogo – Pacitan oleh Hanang Samudro, dkk. (1992), Formasi Wuni di Kenceng, Nglarangan,
sepanjang Sungai Wuni, Sungai Kembang, dan Biting. Di Utara Wonodoyo, timur Pacitan singkapan tersebar ke arah barat – timur .
Penyebaran Formasi Wuni diduga hingga wilayah Blitar dan Malang.
27
3.2.5.3. Lokasitipe
Sebagai lokasitipe dari Formasi Wuni dipilih di Sungai Wuni. Hal ini dilakukan karena sebaran singkapan paling luas terdapat
di Sungai Wuni.
3.2.5.4. Ciri Litologi
Formasi Wuni adalah batuan gunungapi hasil kegiatan gunungapi Miosen Tengah yang bersisipan sedimen klastik asal
gunungapi, terendapkan dilingkungan laut dangkal disekitar daerah tinggian Miosen Awal. Litologi satuan ini tersusun oleh breksi
gunungapi dan tufa : bersisipan batupasir tufaan, batulanau tufaan, batulempung, batugamping dan lignit.
28
3.2.6 Formasi Nampol
3.2.6.1. Penamaan
Formasi Nampol pertama kali dikenalkan oleh Sartono (1964) dengan wilayah tipe di Nampol, utara Punung. Sartono (1964)
membandingkan formasi ini dengan bagian atas Formasi Jonggrangan di Perbukitan Kulon Progo yang berumur Te5-Tf1. Sedangkan
oleh Nahrowi, dkk. (1978) mengkorelasikannya dengan Formasi Oyo di Gunungkidul. Oleh Hanang Samudro, dkk. (1992) masih
memakai Formasi Nampol. Akan tetapi, berdasarkan runtunan dan sifat fisik batuannya, bisa jadi sebanding dengan bagian atas
Formasi Sambipitu yang juga tersingkap di Pegunungan Selatan Jawa Tengah.
3.2.6.2. Penyebaran
Penelitian di bagian daerah Ponorogo – Pacitan oleh Hanang Samudro, dkk. (1992), Formasi Nampol umumnya menempati
wilayah perbukitan rendah bergelombang, seperti yang tersingkap di sekitar Nampol, Pagerejo dan sekitar Wonodoyo. Sebaran Formasi
Wuni diduga juga tersingkap di wilayah Malang yang masuk dalam lembar Turen oleh Sujanto, dkk. (1992).
3.2.6.3. Lokasitipe
Sebagai lokasitipe dari Formasi Nampol dipilih di Nampol, utara Punung. Hal ini dilakukan karena singkapan dapat diamati
dengan baik pada daerah Nampol.
3.2.6.4. Ciri Litologi
Formasi Nampol adalah satuan yang terdiri dari kumpulan batuan klastik kasar hingga halus, bersisipan batuan gunungapi dan
lignit. Litologi bagian bawah satuan ini disusun oleh perulangan batupasir tufaan, batulanau dan batulempung, bersisipan breksi
gunungapi, batupasir konglomeratan dan lignit. Bagian atasnya lebih bersifat gampingan, terdiri dari perulangan batupasir, batulanau,
batulempung : bersisipan tufa dan lignit.
29
3.2.6.5. Umur dan Lingkungan Pengendapan
Berdasarkan kedudukan stratigrafi dan kesebandingannya dengan satuan sejenis di Lembar Pacitan (Samodra & Gafoer, 1990),
satuan ini diduga berumur akhir jenjang Tf bawah hingga permulaan Miosen Tengah.
Satuan ini terbentuk di Iingkungan laut dangkal yang berdekatan dengan daerah peralihan. Sebarannya terdapat setempat-
setempat pada Lembar Tulungagung, Blitar, dan Turen. Tebal seluruh satuan kurang dari 100 m.
30
Gunungkidul hingga Lumajang.
3.2.8.3. Lokasitipe
Sebagai lokasitipe dari Formasi Wonosari dipilih di Wonosari, Gunungkidul. Hal ini dilakukan karena singkapan dapat diamati
dengan baik pada daerah Wonosari.
3.2.8.4. Ciri Litologi
Ciri litologi berupa batugamping terumbu, batugamping berIapis, batugamping pasiran kasar, batugamping tufan, dan napal.
31
3.2.8.6. Hubungan Stratigrafi
Formasi Wonosari dari langsung menindih satuan yang lebih tua dan sentuhannya sebagian besar dibatasi oleh struktur. Di
beberapa tempat, misalnya di Tenggara Pacitan, Timur Lorok dan di Barat Panggul, sentuhannya dengan batuan Oligo-Miosen diselangi
oleh batugamping berfasies tufaan dari Formasi Oyo. Batugamping di sekitar Wonodoyo dan Tulakan dialasi oleh Formasi Nampol.
Bukit batugamping di sekitar Klepu, Utara Punung, termasuk dalam satuan ini dialasi Formasi Nampol. Bagian bawah satuan lebih
bersifat klastik tufaan; terdiri dari batugamping pasiran (kalkarenit) bersisipan batupasir gampingan. Bagian atasnya disusun oleh
batugamping terumbu, bersisipan kalkarenit, napal, dan batugamping konglomeratan. Perubahan berangsur dari batugamping
konglomeratan. Perubahan berangsur dari batugamping klastik tufaan ke batugamping terumbu mencirikan hubungan menjemarinya
dengan satuan di bawahnya.
32
Gambar 3.3. Kolom Stratigrafi lembar Tulungagung, Samodra, dkk., (1992), Blitar, Sjarifudin, dkk., (1992 ), Turen, Sujanto, dkk.,
( 1992 ), dan Lumajang, Suwarti, dkk., (1992)
33
3.3. Struktur Geologi Regional
Secara regional di pulau Jawa terdapat tiga arah pola struktur yang dominan
(Pulunggono dan Soejono, 1994). Pertama, pola struktur berarah Timur laut-Barat
daya (arah Meratus), terbentuk pada umur Kapur Akhir-Eosen Awal. Kedua, pola
struktur berarah Utara-Selatan (arah Sunda), terbentuk pada umur Eosen Awal-
Oligosen Awal. Ketiga, pola struktur berarah Barat-Timur (arah Jawa), terbentuk
pada umur Oligosen Akhir oleh gaya kompresi dari tunjaman di bagian selatan pulau
Jawa. Hasil analisis citra satelit dan anomali gaya berat di zona Pegunungan Selatan
memperlihatkan adanya pola sesar berarah Barat laut-Tenggara dan Timur laut-Barat
daya yang saling berpotongan dan membentuk huruf “V” serta diduga merupakan
sesar-sesar dalam yang sampai ke permukaan (Sudrajat dan Untung, 1975, dalam
Nahrowi dkk, 1978) (Gambar3.3). Di daerah Pacitan dan sekitarnya merupakan
tempat pertemuan kedua sesar tersebut dan sekaligus membatasi daerah tinggian
yang umumnya ditempati oleh Formasi Arjosari dan Formasi Mandalika dengan
daerah rendahan yang umumnya ditempati oleh Formasi Jaten, Formasi Wuni,
Formasi Nampol dan Formasi Punung (Nahrowi dkk, 1978) .
32
berkembang di sepanjang Sungai Grindulu dan kemungkinan besar struktur inilah
yang menimbulkan banyak dijumpai mineralisasi di daerah ini.
33
sepanjang jejak sesar yang ada menghasilkan endapan terrestrial dan transisi.
Selama periode ini, inversi cekungan terjadi karena konvergensi Lempeng Hindia
menghasilkan rezim tektonik kompresi di daerah “ depan busur” Sumatra dan Jawa.
Sebaliknya, busur belakang merupakan subjek pergerakan strike-slip utara-
selatan yang dominan sepanjang sesar utara-selatan yang telah ada (Gambar
3.4)..
Selama periode ini, Laut Cina Selatan telah mengalami proses pemekaran
lantai samudra. Konvergensi dari lempeng Hindia ke arah Utara dapat terlihar pada
rezim tektonik kompresi pada wilayah depan busur Sumatra dan Jawa
menyebabkan inversi cekungan. Pergerakan Lempeng Hindia dengan
Mikrokontinen Sunda telah menjadi stabil pada 5 – 6 cm / tahun (Hall,2002).
34
Kompresi kedua mulai selama Akhir-Awal Miosen, terbentuk hingga
puncak pada Awal-Tengah Miosen. Tegangan menjadi lebih kuat selama peristiwa
ini, menghasilkan inversi graben-graben Paleogen (Gambar 3.4). Pengangkatan
dari tinggian yang mengapit meningkatkan pasokan sedimen klastik berasal dari inti
basement, dengan pasokannya yang menutup sembulan carbonate reef. Efek
penurunan muka air laut eustasi selama Miosen Tengah hingga Akhir meningkatkan
erosi dan pasokan rombakan klastika asal darat menjadi tersebar luas di seluruh
Laut Jawa bagian timur.
Pada Miosen Akhir rift yang awalnya berarah barat-timur mengalami
rotasi menjadi orientasi timurlaut – baratdaya sebagai sesar mendatar, oleh
adanya pengaruh kompresi berarah utara-timurlaut yang disebabkan oleh subduksi
Lempeng Wharton ke bawah Lempeng Sunda di bawah Jawa. Fase pergerakan
tektonik ini menghasilkan struktur-struktur di Cekungan Jawa Timur Utara yang
ada saat ini (Gambar 3.5).
35
Gambar 3.4 Kerangka tektonik Asia Tenggara sebelum 70 M.A hingga 5 M.A.
36
Gambar 3.5 Arah pola struktur Jawa bagian timur (modifikasi dari Sribudiyani et al., 2003).
37