Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Indonesia merupakan negara yang dikenal dengan kekayaan alamnya yang
melimpah. Banyak diantara kita yang menyadari akan hal itu, namun pada
kenyataanya kita masih belum bisa memanfaatkan kekayaan alam itu dengan baik.
Banyak daerah-daerah yang berpotensi, namun belum terekploitasi secara maksimal
dan benar.

Tulungagung merupakan kota yang berada di pesisir selatan Jawa Timur.


Tulungagung sudah sangat terkenal dengan sumberdaya alamnya yaitu marmer. Dari
pertambangan rakyat hingga industri sudah banyak memanfaatkan sumber daya
marmer di Tulungagung. Selain marmer Tulungagung mempunyai sumber daya alam
yang tidak kalah melimpah jumlahnya namun belum banyak dimanfaatkan oleh
masyarakat yaitu breksi. Breksi adalah batuan sedimen klastik yang tersusun
atas fragmen bersudut (angular). Ukuran fragmen breksi berkisar >2mm, dimana
ruang antara fragmen diisi dengan partikel yang lebih kecil (biasa disebut matriks)
dan semen berupa mineral yang mengikat batuan secara bersama-sama. Breksi dapat
dimanfaatkan sebagai bahan bangunan maupun kerajinan yang bernilai ekonomis.

Potensi breksi di wilayah kabupaten Tulungagung salah satunya menyebar di


Kecamatan Boyolangu dan Kalidawir. Selain dapat dimanfaatkan sebagai bahan
Industri, dapat juga untuk meningkat perekonomian pada daerah tersebut. Namun
pada daerah tersebut belum teradata secara rinci sebaran, luasan, ketebalan dan zona
prospek yang dapat dimanfaatkan atau diambil, sehingga perlu penelitian lebih
lanjut.

Hal tersebut yang mendasari penulis melakukan penelitian di daerah tersebut


dengan judul “Geologi dan Potensi Breksi daerah Pakisrejo dan Sekitarnya,
Kecamatan Tanggunggunung, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur”.

1
1.2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah merupakan ruang lingkup penelitian yang diwujudkan
melalui beberapa permasalahan yang diharapkan dapat memfokuskan dari penelitian
ini untuk mencari jawaban dari pertanyaan yang muncul. Dengan kata lain, rumusan
masalah ini juga sebagai batasan dari penelitian yang dilakukan supaya kegiatan di
lapangan lebih terkoordinasi dan efisien. Adapun batasan rumusan masalah yang
akan diteliti adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pembagian bentuk lahan berdasarkan aspek geomorfologi di
daerah telitian ?
2. Bagaimanakah urut-urutan statigrafi di daerah telitian?
3. Bagaimana struktur geologi yang berkembang di daerah telitian ?
4. Bagaimana sejarah geologi daerah telitian ?
5. Apa potensi geologi di daerah telitian?
6. Bagaimana potensi breksi di daerah telitian?
7. Berapa jumlah cadangan di daerah telitian?

1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian


Maksud dari kegiatan pemetaan geologi ini adalah untuk dapat memberikan
informasikeadaan geologi khususnya mengenai geomorfologi, stratigrafi,struktur
geologi, dan potensi geologi di daerah telitian dan sekitarnya.
Tujuan dari pemetaan geologi ini adalah untuk memberikan informasi geologi
daerah telitian, antara lain :
1. Mengetahui apa saja satuan geomorfologi daerha penelitian
2. Mengetahui urut- urutan statigrafi daerah telitian.
3. Mengetahui struktur Geologi yang berkembang di daerah telitian.
4. Mengetahui sejarah geologi di daerah telitian.
5. Mengetahui potensi geologi daerah telitian.
6. Mengetahui jumlah cadangan potensi breksi daerah penelitian.

2
I.4 Lokasi dan Kesampaian Daerah Penelitian
Daerah penelitian secara administratif meliputi Daerah Pakisrejo dan
sekitarnya, Kecamatan Tanggunggunung, Kabupaten Tulungagung, Provinsi Jawa
Timur. Sedangkan secara geografis terletak pada koordinat UTM Zona 49 M datum
WGS 1984, 593030 mE – 601880 mE dan 9092470 mN – 9101580 mN (Tabel 1.1).
Luas daerah penelitian adalah 80 km2 dengan panjang dari utara ke selatan 9,1 km
dan lebar dari arah barat ke timur 8,8 km. Lokasi daerah penelitian berada pada
Provinsi Jawa Timur, berjarak sekitar ± 40 km dari Alun – alun Kota Tulungagung
dapat dicapai dengan kendaraan roda dua maupun roda empat melalui jalan beraspal
dan jalan bersemen. Untuk mencapai lokasi pengamatan dan melakukan
pengambilan contoh batuan, pada beberapa lokasi harus berjalan kaki melalui jalan
setapak atau menelusuri sungai. Peta lokasi daerah penelitian dapat dilihat pada
Gambar 1.1.
Daerah penelitian dapat dicapai dengan sepeda motor dari Yogyakarta
menuju Trenggalek kurang lebih selama 6 jam melewati JLS Jawa (Jalur Lintas
Selatan Jawa) dan dilanjutkan perjalanan menuju basecamp dengan menggunakan
sepeda motor yang terletak di Desa Pakisrejo, Kecamatan Tanggunggunung,
Kabupaten Tulungagung selama 1 jam. Lokasi basecamp berada didalam daerah
telitian. Daerah penelitian berada di sekitar perbukitan, perkebunan, persawahan
milik warga dan hutan milik PT. Perhutani,. Letaknya yang sangat strategis dan
ketersedian akses jalan memudahkan penulis dalam melakukan penelitian selama di
lapangan, akan tetapi masih banyak jalan yang rusak, sehingga sedikit menghambat
dalam penelitian.

Tabel 1.1. Koordinat daerah penelitian

No Koordinat
. x y

1 593030 9101580

2 601880 9101580

3 601880 9092470

3
4 593030 9092470

Gambar 1.1 Peta lokasi daerah penelitian

1.5 Waktu Penelitian


Adapun waktu penelitian (pengambilan data di lokasi penelitian) yaitu selama
1 bulan yang dilakukan mulai pada 11 Mei 2015 hingga 16 Juni 2015. Selanjutnya
melakukan tahap analisa laboratorium dan melengkapi data selama 1 bulan (Agustus
2015). Sedangakan tahap pengerjaan peta, penampang stratigrafi, draft dan
konsultasi memakan waktu ± 6 bulan.

4
Tabel 1.2. Waktu Penelitian

1.6 Hasil Penelitian


Hasil yang diharapkan penulis adalah dapat mengetahui fasies karbonat yang
berkembang serta persebarannya di daerah penelitian, sehingga dapat
diinterpretasikan bagaimana lingkungan pengendapan dari Formasi Campurdarat di
daerah telitian. Selain itu agar dapat dijadikan acuan untuk peneliti selanjutnya. Hasil
yang disajikan dari penelitian antara lain :

1.   Peta Lokasi Pengamatan
a.   Mengetahui lokasi singkapan litologi yang ada di permukaan.
b.   Mengetahui lokasi struktur geologi yang ada di permukaan.
2.   Peta Geomorfologi

5
a.   Mengetahui bentuk asal dan bentuklahan daerah telitian.
b.   Mengetahui hubungan bentuklahan dan satuan batuan di daeearh telitian.
c.   Mengetahui hubungan bentuklahan dan struktur geologi di daerah telitian.
3.   Penampang Stratigrafi Terukur dan Profil
a.   Mengetahui  batas  satuan  batuan,  tebal  satuan  batuan  dan  hubungan
stratigrafi pada daerah telitian.
b.   Mengetahui lingkungan pengendapan yang berkembang di daerah telitian.
4.   Peta Geologi
a.   Mengetahui litologi dan penyebaran dari setiap satuan batuan.
b.   Mengetahui hubungan stratigrafi dari setiap satuan batuan.
5.   Peta Cadangan Breksi
a.   Mengetahui zonasi Struktur pada daerah telitian.
b.   Mengetahui pola Struktur yang berkembang pada daerah telitian.
6.   Laporan hasil penelitian

1.7 Manfaat Penelitian


Manfaat yang diharapkan dari pelaksanaan penelitian ini antara lain:
1. Bagi Keilmuan
- Sebagai suatu kesempatan bagi mahasiswa geologi untuk mengaplikasikan
dan mengimplentasi ilmu yang nantinya di dapat terkait dengan struktur
geologi daerah penelitian.
- Sebagai sarana untuk mengaplikasikan ilmu geologi dalam mengkaji dan
menyelesaikan permasalahan geologi secara langsung di lapangan terutama
dalam kaitannya dengan struktur geologi baik itu kekar, kedudukan lapisan
batuan, maupun sesar pada daerah penelitian
- Sebagai kesempatan yang baik untuk melakukan tahapan-tahapan penelitian
yang baik, cermat, dengan susunan yang tertata, sehingga dapat
mengaplikasikan metode dari penelitian untuk dapat menghasilkan suatu peta
lintasan, peta geomorfologi, peta geologi, peta struktur geologi, dari data
yang lengkap, jelas dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga nantinya bisa
dijadikan rujukan untuk penelitian oleh peneliti lain.
2. Bagi Institusi Pendidikan

6
- Memberikan kesempatan bagi calon Sarjana Teknik Geologi Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta untuk terjun secara langsung
dalam penelitian dilapangan sehingga kedepannya dapat menambah
pengalaman dan penerapan disiplin ilmu bagi mahasiswa didalam dunia
kerja.
- Menjalin kerja sama yang mendukung satu sama lain antara pihak institusi
universitas dengan pihak instansi terkait.
- Hasil penelitian yang didapatkan nantinya bisa dijadikan sebagai data
pendukung bagi kepentingan institusi dalam pelaksanaan serta pengembangan
dan memberikan data dan informasi mengenai kondisi geologi daerah
penelitian.
3. Bagi Masyarakat
- Memberikan edukasi terkait kondisi geologi daerah penelitian serta
pemanfaatan sebagai potensi–potensi positif mapun negatif akibat struktur
geologi pada daerah penelitian.

BAB II
METODE PENELITIAN DAN DASAR TEORI

2.1. Metode Penelitian


Metode penelitian yang penulis gunakan dalam kegiatan pemetaan geologi ini
yaitu pemetaan geologi permukaan dengan beberapa tahapan kegiatan antara lain:
1. Tahap Pendahuluan
2. Tahap Penelitian Lapangan
3. Tahap Analisis dan Pengolahan Data

7
4. Tahap Penyusunan laporan dan Penyajian Data

2.1.1. Tahap Pendahuluan


Adapun tahapan persiapan meliputi studi literatur, penyusunan proposal
penelitian, Perizinan tempat tugas akhir, dan persiapan perlengkapan lapangan.

2.1.1.1 Studi Literatur


Sebagai langkah awal dalam penyusunan tugas akhir ini mahasiswa
menggunakan data literatur peneliti terdahulu (data sekunder) sebagai acuan data
yang terkait dalam tahapan selanjutnya, yang meliputi:
1. Studi literatur yang telah dipublikasikan:
a. Geomorfologi Regional (Van Bemmelen, 1949)
b. Geologi Regional (H. Samodra, Suharsono, S. Gafoer dan T. Suwarti
(1992))
2. Peta Topografi Rupa Bumi Indonesia (RBI) daerah telitian, skala 1:25.000
(dipublikasikan oleh Bakosurtanal)
3. Peta lembar Geologi daerah telitian, skala 1:100.000 (dipublikasikan oleh
direktorat geologi departemen pertambangan republik Indonesia).

2.1.1.2 Penyusunan Poposal Penelitian


Merupakan tahap awal yang dilakukan sebelum melakukan penelitian.
Dimana proposal ini bertujuan untuk memberikan informasi tentang kegiatan dan
studi yang akan dilakukan, waktu pencapaian, interpretasi awal yang dilakukan
sebelum melaksanakan penelitian dilapangan.

2.1.1.3 Perizinan Tempat Tugas Akhir


Sebelum melaksanaan penelitian tugas akhir ini mahasiswa harus memproses
perizinan terlebih dahulu, untuk itu mahasiswa melakukan beberapa proses perizinan
yang sebagai berikut:

8
- Surat izin penelitian tugas akhir dari Jurusan Teknik Geologi, Fakultas
Teknologi Mineral, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”
Yogyakarta
- Surat izin penelitian tugas akhir yang diserahkan kepada pihak kabupaten
dan desa setempat.

2.1.1.4 Persiapan Perlengkapan Lapangan


Peralatan yang digunakan penulis mengelompokkan menjadi 2 yaitu
peralatan untuk dilapangan dan peralatan untuk laboratorium.

1. Peralatan bahan untuk di lapangan


Peralatan yang dibutuhkan selama kegiatan pemetaan di lapangan yaitu
sebagai berikut dibawah ini:

- Lup
- Clipboard dan HVS 10 lembar
- GPS
- Tabulasi penampang stratigrafi terukur
- Kompas
- Plastik sampel
- Palu Geologi
- Hcl + botol Hcl
- Peta topografi
- Sepatu lapangan
- Meteran 50m
- Kamera
- Alat tulis lengkap
- Topi lapangan

2. Peralatan bahan untuk di laboratorium:

Peralatan yang digunakan di laboratorium maupun yang digunakan di studio


antara lain sebagai berikut:

9
- Mikroskop
- Pelat kaca
- Lembar analisa
- Sample batuan
- Kalkir + stereonet
- Jangka
- Busur
- Kalkulator
2.1.2 Tahap Penelitian Lapangan
Tahapan pengambilan data lapagan (data primer) ini merupakan tahap yang
harus dilaksanakan dalam penelitian tugas akhir yang berupa pemetaan geologi
dengan studi khusus studi struktur geologi.

1. Pemetaan geologi dengan lintasan geologi


Pada tahapan ini dapat kita ketahui litologi yang berkembang dari daerah
penelitian sehingga nantinya kita akan menadapatkan satuan batuan daerah telitian
tersebut. Pemataan dilakukan dengan lintasan memotong jurus lapisan batuan agar
didapatkan litologi yang berbeda–beda, dengan melintasi sungai ataupun lereng
perbukitan.

2. Pengambilan foto singkapan dan contoh batuan


Pengambilan foto digunakan untuk mendapatkan aspek aspek geologi dari
objek objek geologi secara visual dilapangan berserta pengambilan contoh batuan
sebagai bukti atas deskripsi batuan yang dilakukan sehingga menunjang data
penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan.

3. Pengukuran struktur-struktur geologi

10
Yang dilakukan yaitu mengukur struktur bidang, mengukur struktur garis dari
struktur gelogi berupa bidang sesar, bidang kekar, dan lipatan. Hasil dari pengukuran
untuk menganalisa struktur geologi yang berkembang dari daerah penelitian.

4. Profil maupun Penampang Stratigrafi Terukur


Pengambilan profil bertujuan untuk menentukan lingkungan pengendapan
suatu batuan. Dengan mengambil data struktur, tekstur, dan komposisi mineral dari
urut-urutan lapisan batuan tersebut. Sedangkan data penampang stratigrafi terukur
digunakan sebagai batas satuan batuan, analisis umur, dan lingkungan pengendapan
berdasarkan analisis mikropaleontologi.

5. Pengambilan Foto Bentang alam maupun Stadia Sungai


Pengambilan foto digunakan untuk mendapatkan aspek aspek geomorfologi
dari objek objek geomorfologi secara visual dilapangan berserta pengambilan foto
stadia sungai sehingga menunjang data penelitian yang dapat
dipertanggungjawabkan.

2.1.3 Tahap Pengumpulan dan Analisis Data


Pada tahapan ini penyusun melakukan beberapa analisa laboratorium dan
studio pada sampel dan data yang didapat, analisa yang dilakukan antara lain:

1. Pembuatan Peta Lintasan Dan Lokasi Pengamatan


Merupakan hasil pengolahan dari peta lintasan dan lokasi pengamatan
lapangan yang kemudian dianalisis sehingga pengeplotan sudah berdasarkan warna
satuan berdasarkan data yang didapat dilapangan yang dilengkapi data kedudukan,
sampel batuan, foto singakapan batuan dan hasil analisis lainnya seperti analisis
petrografi, dan lainnya. Sehingga dapat mempermudah ketika mau menarik menjadi
peta geologi daerah telitian.

2. Pembuatan Peta Geomofologi dan Penampang Geomorfologi


Merupakan kesimpulan akhir dari hasil analisis geomorfologi yang dilakukan
sebelum penelitian lapangan, sehingga dilapangan hanya memastikan hasil

11
interpretasi awal yang dikaitkan dengan aspek geologi lainnya seperti litologi,
struktur geologi, dan sebagainya.

3. Pembuatan Peta Geologi dan Penampang Geologi


Merupakan hasil penarikan berdasarkan data peta lintasan dan lokasi
pengamatan yang dilakukan dan didukung dengan berbagai analisis baik itu analisis
petrografi, analisis struktur geologi, analisis log sedimentology dan hal lainnya yang
berkaitan dengan peta geologi

4. Analisis Pola Pengaliran


Merupakan kesimpulan akhir dari analisis awal sebelum tahap penelitian
lapangan yang mengaitkan dengan unsur-unsur geologi lain, dan didapat berdasarkan
perhitungan kuantitatif agar menguatkan data yang awalnya hanya interpretasi
berdasarkan analisis kualitatif

5. Analisa Petrografis
Mengidentifikasi karakteristik batuan untuk mengetahui nama batuan, baik
dari aspek mineralogi, tekstur, serta perkembangan proses-proses diagenesa yang
telah berlangsung. Analisis petrografi ditujukan untuk mengetahui nama batuan
melalui sayatan tipis batuan guna meyakinkan penamaan batuan di lapangan yang
terbatas akan alat-alat yang digunakan di lapangan.
Adapun beberapa klasifikasi yang penulis gunakan dalam menentukan
penamaan batuan yaitu pada batuan beku menggunakan klasifikasi William (1954),
pada batuan sedimen klastik menggunakan klasifikasi Gilbert (1954 & 1975), pada
batuan karbonat menggunakan klasifikasi Dunham (1962).

6. Analisa Mikropaleontologi
Analisis fosil dilakukan menggunakan mikrofosil foram plankton untuk
mengetahui penamaan fosil dan sebagai analisis penentu umur relatif dan lingkungan
batimetri dareah penelitian terkait.

12
Adapun klasifikasi yang digunakan dalam menentukan yaitu berdasarkan
penamaan foraminifera plankton dengan menggunakan zonasi Blow (1969) dalam
pengumurannya. Sedangkan pada penentuan lingkungan batimetri yang pertama
yaitu menggunakan penamaan foraminifera bentos dengan menggunakan Barker
(1960). Selain itu penentuan lingkungan batimetri mengguanakan ratio plankton
terhadap bentos denga menggunakan tabel kedalaman terhadap ratio berdasarkan
Grimsdale dan Mark Hoven (1955).

7. Analisis Data Struktur Geologi

Mengidentifikasi struktur yang bekerja, perkembangan arah umum dari


kekar-kekar, serta mengetahui tegasan utama dan menentukan jenis sesar dan proses
struktur yang berkembang. Analisis struktur geologi meliputi analisis kekar, sesar
dan lipatan menggunakan metode stereografis. Berdasarkan kumpulan data kekar
pada seluruh lokasi, data tersebut diolah menjadi data arah umum yang nantinya
dianalisis menggunakan prinsip diagram blok kekar bertujuan untuk mendapatkan
tegasan terbesar. Pada analisis sesar bertujuan untuk menentukan arah pergerakan
sesar dan penamaan sesar berdasarkan klasifikasi Rickard (1972). Pada analisis
lipatan digunakan klasifikasi penamaan berdasarkan klasifikasi Rickard (1971).

8. Analisis Perhitungan Cadangan Breksi


Analisis perhitungan cadangan breksi ini bertujuan untuk menghitung jumlah
cadangan breksi pada daerah penelitian yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan
galian C, baik tereka, terindentifikasi maupun terukur pada daerah penelitian.

2.1.4. Tahap Penyusunan Laporan dan Penyajian data


Tahap terakhir yaitu tahap penyelesaian yaitu berupa hasil dari seluruh
pengolahan data yang nantinya disimpulkan melalui satu interpretasi sejarah geologi
daerah terkait yang disajikan melalui laporan resmi dan peta-peta.

II.2. Dasar Teori


II.2.1. Metode Perhitungan Sumberdaya
Dalam perhitungan Sumberdaya terdapat beberapa metode salah satunya

13
adalah metode penampang yaitu perhitungan sumberdaya dengan
mengkuantifikasikan sumberdaya pada suatu areal dengan membuat penampang-
penampang yang representatif dan dapat mewakili model endapan pada daerah
tersebut.

Pada masing-masing penampang akan diperoleh (diketahui) luas breksi dan


luas overburden. Volume breksi & overburden dapat diketahui dengan
mengalikan luas terhadap jarak pengaruh penampang tersebut. Perhitungan volume
tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan 1 (satu) penampang, atau 2 (dua)
penampang, atau 3 (tiga) penampang, atau juga dengan rangkaian banyak
penampang.

Perhitungan cadangan ini dimaksud dapat mnghitung perhitungan cadangan


baik tereka, terukur, maupun terindentifikasi.

1. Cadangan tereka yaitu Cadangan yang perkiraan perhitungan kuantitatifnya


berdasarkan pada pengetahuan karakteristik geologi dari bahan galian yang
diteliti, tinjauan lapangan dengan sedikit pengukuran dan percontohan,
dengan tingkat keyakinan 20-40%.
2. Cadangan teridentifikasi yang perhitungannya didasarkan pada pengukuran
yang sederhana (misal dengan tali dan kompas), geofisika, serta data
laboratorium, dengan tingkat keyakinan sekitar 50-60%.
3. Cadangan terukur Besarnya cadangan sudah ditentukan berdasarkan metode
yang baik, seperti telah dilakukan pemetaan theodolit, sumur uji, pemboran,
data laboratorium. Tingkat keyakinan cadangan sekitar 80-85%

II.2.2. Dengan Menggunakan 1 (satu) Penampang


Cara ini digunakan jika diasumsikan bahwa 1 penampang mempunyai
daerah pengaruh hanya terhadap penampang yang dihitung saja.
Volume = (A x d1) + (A x d2)
dimana :
A = luas overburden
d1 = jarak pengaruh penampang ke arah 1
d2 = jarak pengaruh penampang ke arah 2

14
Volume yang dihitung merupakan volume pada areal pengaruh penampang
tersebut. Jika penampang tunggal tersebut merupakan penampang korelasi lubang
bor, maka akan merefleksikan suatu bentuk poligon dengan jarak pengaruh
penampang sesuai dengan daerah pengaruh titik bor (poligon) tersebut.

Gambar. 2.2. Jarak Pengaruh Sebuah Penampang

II.2.3. Dengan Menggunakan 2 (dua) Penampang


Cara ini digunakan jika diasumsikan bahwa volume dihitung pada areal di
antara 2 penampang tersebut. Yang perlu diperhatikan adalah variasi (perbedaan)
dimensi antara kedua penampang tersebut. Jika tidak terlalu berbeda, maka dapat
digunakan rumus mean area & rumus kerucut terpancung, tetapi jika perbedaannya
terlalu besar maka digunakan rumus obelisk (Gambar 2.3 dan 2.4)

15
Gambar. 2.3. Penampang untuk rumus mean area & kerucut terpancung

Gambar. 2.4. Penampang untuk rumus obelisk

16
II.2.4. Dengan menggunakan 3 (tiga) penampang

Metoda 3 (tiga) penampang ini digunakan jika diketahui adanya variasi


(kontras) pada areal di antara 2 (dua) penampang, maka perlu ditambahkan
penampang antara untuk mereduksi kesalahan. Untuk menghitungnya digunakan
rumus prismoida(Gambar 2.5).

Gambar. 2.5. kondisi penggunaan metoda 3 penampang

BAB III
GEOLOGI REGIONAL

17
3.1 Fisiografi

Menurut van Bemmelen (1949) fisiografi Jawa Timur dibagi menjadi lima
zona dari utara ke selatan (Gambar 3.1):

1. Zona Rembang, zona ini meliputi pantai utara Jawa yang membentang dari
Tuban ke arah timur melalui Lamongan, Gresik, dan hampir keseluruhan Pulau
Madura. Zona Rembang merupakan sikuen Eosen-Pliosen termasuk endapan tepi-
paparan seperti sedimen klastik laut dangkal dan karbonat yang luas. Zona ini
mempunyai satu sesar utama ENE-WSW yang membatasi tinggian (Tinggian
Rembang) dan banyak terorientasi Timur - Barat.

2. Zona Depresi Randublatung, berupa zona yang datar yang diapit oleh dua
zona perbukitan (Zona Rembang dan Zona Kendeng) yang membentang dari Cepu,
Dander, Ngimbang, Wonokromo, dan Surabaya.

3. Zona Kendeng, merupakan deposenter utama pada Eosen-Miosen di Jawa Timur


mengandung sedimen pelagic dan sikuen vulkanogenik yang tebal. Sekarang
merupakan jalur sesar naik berarah Timur-Barat

4. Zona Solo, Zona depresi Jawa merupakan sebuah depresi lipatan sinklin yang
berbatasan di utara dengan Zona Kendeng. Morfologinya datar dengan sedikit
undulasi.

5. Zona Pegunungan Selatan, berada di bagian selatan Pulau Jawa. Terdiri dari
batuan volkanik berumur Oligo-Miosen dan endapan karbonat. Memanjang dari
selatan Jawa Timur hingga Jawa Barat bagian selatan.

18
Gambar 3.1. Sketsa peta fisiografi Pulau Jawa dan Madura

18
Zona Pegunungan Selatan di Jawa Timur pada umumnya merupakan blok yang terangkat dan miring ke arah selatan. Batas
utaranya ditandai escarpment yang cukup komplek. Lebar maksimum Pegunungan Selatan ini 55 km di sebelah selatan Surakarta,
sedangkan sebelah selatan Blitar hanya 25 km. Diantara Parangtritis dan Pacitan merupakan tipe karts (kapur) yang disebut Pegunungan
Seribu atau Gunung Sewu, dengan luas kurang lebih 1400 km2 (Lehmann, 1939). Antara Pacitan dan Popoh selain tersusun oleh
batugamping (limestone) juga tersusun oleh batuan hasil aktifitas vulkanis berkomposisi asam-basa antara lain granit, andesit dan dasit
(Bemmelen,1949).

3.2 Stratigrafi Pegunungan Selatan Jawa Timur


Sebagian besar batuan yang tersingkap di Zona Pegunungan Selatan Jawa Timur berumur Neogen sampai dengan Kuarter.
Batuan gunung api dengn komposisi material vulkanik dan Batugamping Wonosari mendominasi pada zona tersebut diatas. Urutan
batuan disusun berdarsarkan penampang stratigrafi rinci melalui beberapa lintasan terpilih dan disajikikan dalam sebuah kolom
stratigrafi ( Gambar 3.2. ) .
Nama Formasi Andesit Tua pertama kali dipakai oleh (Varbeek dan Fennema, 1986), yaitu untuk batuan gunungapi bersusunan
andesit-basalt yang berumur Oligosen-Miosen atau Miosen Awal. Penamaan satuan yang tidak tepat ini dipakai secara luas di Sumatara
dan Jawa, yaitu untuk satuan yang memisahkan endapan Paleogen dengan Neogen. Zona Pegunungan Selatan di Jawa Timur pada
umumnya merupakan blok yang terangkat dan miring ke arah selatan. Batas utaranya ditandai escarpment yang cukup kompleks. Lebar
maksimum Pegunungan Selatan ini 55 km di sebelah selatan Surakarta, sedangkan sebelah selatan Blitar hanya 25 km. Diantara
Parangtritis dan Pacitan merupakan tipe karts (kapur) yang disebut Pegunungan Seribu atau Gunung Sewu, dengan luas kurang lebih

19
1400 km2 (Lehmann. 1939). Sedangkan antara Pacitan dan Popoh selain tersusun oleh batugamping (limestone) juga tersusun oleh
batuan hasil aktifitas vulkanis berkomposisi asam-basa antara lain granit, andesit dan dasit (Van Bemmelen,1949).

20
21
Gambar 3.2 . Kolom Stratigrafi Pegunungan Selatan Jawa Timur ( Samodra, dkk.,1992)
Stratigrafi regional Zona Pegunungan Selatan Jawa Timur menurut Hanang Samodra, dkk. ( 1992) , dari tua ke muda terdiri
dari :
3.2.1. Formasi Arjosari
3.2.1.1. Penamaan
Formasi Arjosari adalah suatu nama formasi baru (Hanang Samudro, dkk., 1992). Batuan yang dinamakan Formasi Arjosari
dahulu dinamakan sebagai bagian dari Formasi Besole oleh Sartono (1973). Di sekitar Arjosari, kurang lebih 10 km relatif ke utara
pacitan, singkapan satuan ini cukup baik dan urutan stratigrafinya dapat diruntut dengan jelas. Oleh karena itu nama daerah tersebut
diusulkan menjadi nama satuan Formasi Arjosari.
3.2.1.2. Penyebaran
Formasi Arjosari tersebar di bagian utara dari Pacitan hingga Ponorogo, sementara di bagian selatan tersingkap di tenggara
Pacitan sekitar Lorong dan Panggul ke selatan hingga Samudra Indonesia. Pelamparan ke arah barat diduga sampai daerah Wonogiri
dan sekitarnya, kemudian ke arah timur pelamparan diduga sampai daerah Trenggalek dan sekitarnya. Formasi ini menempati
morfologi perbukitan tinggi yang berjulang rata – rata lebih dari 400 m diatas permukaan laut.
3.2.1.3. Lokasitipe
Sebagai lokasitipe dari Formasi Arjosari dipilih di daerah Arjosari dan sekitarnya. Hal ini dilakukan karena urutan stratigrafi
batuannya dapat diruntut dengan baik dan jelas.
3.2.1.4. Ciri Litologi
Formasi ini disusun oleh endapan turbidit atau sedimen yang dipengaruhi oleh gejala pelengseran bawah laut yang berselingan
dengan batuan gunungapi. Litologi pada formasi ini terdiri dari breksi aneka bahan, batupasir, batupasir tufan, batulempung, napal

22
pasiran, dan batulempung gampingan bersisipan breksi batuapung dan batugamping. Bagian atasnya berselingan dengan breksi
gunungapi, lava, dan tuf. Formasi ini memiliki ketebalan tidak kurang dari 500 m

3.2.1.5. Umur dan Lingkungan Pengendapan


Umur pada formasi ini ditentukan dari conto batugamping yang merupakan komponen dalam breksi yang mengandung
foraminifera besar dan kecil, koral ganggang, duri enchinoid, ostracoda, dan noluska. Kandungan forminifera besarnya berupa
Lepidocyclina (Eulepidina) sp., Spiroclypeus sp., Cycloclypeus sp., Miogypsinoides ubaghsi Tan, Lepidocyclina sumatrensis Brady, dan
Marginophora vertebralis Blainville menunjukkan umur Te atas sampai Tf bawah atau Oligosen Akhir-akhir Miosen Awal. Dengan
demikian umur breksinya adalah sedikit lebih muda. Kumpulan foraminifera kecil Globigerina praebulloides Blow, Globigerina
Ciperoensis Bolli, Globigerinoides immaturus Le Roy, Globigerinoides trilobus Reuss, Globigerinoides dehiscens Chapman dan
Globoquadrina venezuelana Hedberg dari conto batulempung gampingan di Lembar Ponorogo (Sampurno & Samodra, 1988 dalam
Samodra, 1992) juga menunjukkan umur Miosen Awal, meskipun beberapa genus menunjukkan kisaran umur hingga permulaan Miosen
Tengah. Berdasarkan kandungan fosil dan hubungannya dengan batuan terobosan yang sudah diketahui umur mutlaknya, Formasi
Arjosari diduga berumur Oligosen Akhir hingga akhir Miosen Awal (Samodra, 1990). Ciri fisik kumpula batuan dilapangan dan struktur
sedimen seperti struktur keruk-isi, perlapisan sejajar, dan konvolut memberikan pendugaan bahwa satuan Formasi Arjosari
pembentukannya dipengaruhi oleh pelengseran bawah laut.

3.2.1.6. Hubungan Stratigrafi

23
Batuan yang berumur lebih tua dari pada Oligosen tidak tersingkap di daerah Ponorogo – Pacitan yang merupakan wilayah
penelitian dari Hanang Samudro, dkk. ( 1992 ), hal ini lah yang menjadi dasar bahwa Formasi Arjosari merupakan satuan tertua pada
Zona Pegunungan Selatan Jawa Timur. Secara lateral endapan turbidit ini menjemari dengan batuan gunungapi Formasi Mandalika.

3.2.2 Formasi Mandalika


3.2.2.1. Penamaan
Formasi Mandalika adalah satuan formasi baru, pengganti satuan batuan yang dahulu dimasukan kedalam bagian dari Formasi
Besole (Sartono 1964). Di sekitar Mandalika, kurang lebih 3 km relatif ke timur Tegalombo, singkapan dari satuan ini teramati baik di
hulu Sungai Grendulu. Urutan batuannya yang lengkap dapat diikuti mulai dari Mandalika ke utara hingga Watupatuk. Oleh karena itu
nama daerah tersebut diusulkan menjadi nama satuan Formasi Mandalika.
3.2.2.2. Penyebaran
Formasi Mandalika tersebar di bagian tengah dari Pacitan hingga Ponorogo. Pelamparan ke arah barat diduga sampai daerah
Wonogiri dan sekitarnya, kemudian ke arah timur pelamparan diduga sampai daerah Lumajang dan sekitarnya. Formasi ini menempati
morfologi perbukitan bergelombang.
3.2.2.3. Lokasitipe
Sebagai lokasitipe dari Formasi Mandalika dipilih di daerah Mandalika dan sekitarnya. Hal ini dilakukan karena urutan
stratigrafi batuannya yang lengkap dan dapat diamati dengan baik.
3.2.2.4. Ciri Litologi
Formasi ini disusun oleh batuan gunung api bersisipan batuan klastik (gunung api) yang diendapkan di lingkungan laut dangkal.
Bagian bawah satuan ini disusun oleh perulangan breksi gunungapi, lava dan tuf; bersisipan batupasir tufan, batulempung dan breksi

24
anekabahan. Sedimen klastiknya berkurang semakin ke atas, sehingga bagian tengah formasi disusun oleh perulangan breksi gunungapi
dan lava, bersisipan batulempung. Bagian atas formasi disusun oleh lava bantal bersisipan breksi basal dan batulempung tufan. Satuan
ini diterobos oleh dasit, andesit dan basal, yang sebagian berupa retas bersusunan andesit-basal. Formasi ini mempunyai tebal 300 m.

3.2.2.5. Umur dan Lingkungan Pengendapan


Umur pada formasi ini ditentukan melalui conto batulempung pada Lembar Ponorogo (Sampurno dan Samodra, 1988 dalam
Samodra, 1992) yang mengandung Globorotalia mayeri Cushman dan Ellisor, Globoquadrina altispira Cushman dan Jarvis, Orbulina
bilobata d’Orbigny, dan Orbulina universa d’Orbirny. Kumpulan foraminifera kecil tersebut menunjukkan kisaran umur Miosen
Tengah, sedangkan batulempung tufan yang ditemukan hanya mengandung foraminifera kecil bentos Operculina sp., Clavulina sp.,
Amphistegina sp., dan Nonio sp., yang menunjukkan umur tidak lebih tua dari Miosen Awal. Berdasarkan kedudukannya yang
menjemari dengan Formasi Arjosari, satuan ini pun diperkirakan berumur Oligosen Akhir sampai akhir Miosen Awal (Samodra, 1990).

3.2.2.6. Hubungan Stratigrafi


Secara lateral Formasi Mandalika menjemari dengan Formasi Arjosari, hal ini dibuktikan oleh sisipan dan perselingan sedimen
turbidit pada formasi ini. Bagian atasnya ditindih takselaras oleh Formasi Jaten, sebagaimana terlihat di sekitar Ngendut.

3.2.3 Batuan Terobosan


Batuan terobosan berupa dasit, andesit, basal dan diorit berbentuk stok, retas, dan setempat seperti memperlihatkan seperti
volcanic neck yang mempengaruhi sedimen turbidit dan batuan gunungapi yang berumur oligosen akhir – miosen awal dari formasi
Arjosari dan Mandalika.

25
3.2.4 Formasi Jaten
3.2.4.1. Penamaan
Formasi Jaten pertama kali dikenalkan oleh Sartono (1964) dengan wilayah tipe batuan di Jaten, utara Punung. Oleh Hanang
Samudro, dkk. (1992) masih memakai Formasi Jaten, akan tetapi ditempatkan pada kedudukan stratigrafi yang lebih muda dari yang
diduga Sartono (1964).

3.2.4.2. Penyebaran
Formasi Jaten tersebar luas di utara Punung, yaitu diwilayah tipenya sekitaran Jaten. Formasi ini menempati perbukitan rendah
bergelombang, yang memanjang arah barat – timur dan membelok ke tenggara. Di timur Pacitan singkapan memanjang ke timur,
menempati struktur sinklin.
3.2.4.3. Lokasitipe
Sebagai lokasitipe dari Formasi Jaten dipilih di daerah Jaten dan sekitarnya. Hal ini dilakukan karena sebaran singkapan paling
luas terdapat disekitaran daearah Jaten.
3.2.4.4. Ciri Litologi

Satuan ini merupakan sedimen klastik darat hingga laut dangkal (tertutup) yang mengandung bahan rombakan asal daratan dan
bersisipan lignit. Bagian bawah satuan ini disusun oleh batupasir konglomeratan, batupasir kuarasa, batupasir tufaan, konglomerat,
batulumpur bersisipan batulempung dan serpih berbitumen. Bagian atasnya merupakan sedimen klastik halus berupa batulanau,
batulempung dan napal pasiran dengan sisipan tufa.

26
3.2.4.5. Umur dan Linkungan Pengendapan
Di dalam Formasi Jaten, batugamping dijumpai koral, ganggang, duri echinoid, Lepidocyclina sp., Globigerinoides trilobus
(REUSS), Sphaeroidinellopsis sp., dan Planorbulina sp., yang menunjukkan umur sekitar Miosen. Berdasarkan letak stratigrafinya yang
lebih muda dari batuan karbonat Miosen Awal, dan kesebandingannya dengan satuan sejenis di Lembar Pacitan (Samodra & Gafoer,
1990) satuan ini diduga berumur akhir Miosen Awal. Lingkungan pengendapannya adalah peralihan atau darat yang dipengaruhi oleh
kondisi reduksi hingga laut dangkal atau lagun (Sartono, 1964).
3.2.4.6. Hubungan Stratigrafi
Formasi Jaten menindih selaras Formasi Campurdarat, meskipun ke samping ada kecenderungan berhubungan secara
menjemari. Nama Formasi Jaten pertama kali diusulkan oleh Sartono (1964), dengan lokasi tipe di Desa Jaten, Lembar Pacitan, Jawa
Timur.
3.2.5. Formasi Wuni
3.2.5.1. Penamaan
Formasi Wuni pertama kali dikenalkan oleh Sartono (1964) dengan wilayah tipe di Sungai Wuni, utara Punung sebagai
kumpulan batuan gunungapi yang berumur Miosen Tengah. Sartono (1964) membandingkan formasi ini dengan Formasi Jonggrangan
di Perbukitan Kulon Progo yang berumur Miosen Awal. Sedangkan oleh Nahrowi, dkk. (1978) mengkorelasikannya dengan Formasi
Ngelanggran dan Formasi Sambipitu di Gunungkidul. Oleh Hanang Samudro, dkk. (1992) masih memakai Formasi Wuni.
3.2.5.2. Penyebaran
Penelitian di bagian daerah Ponorogo – Pacitan oleh Hanang Samudro, dkk. (1992), Formasi Wuni di Kenceng, Nglarangan,
sepanjang Sungai Wuni, Sungai Kembang, dan Biting. Di Utara Wonodoyo, timur Pacitan singkapan tersebar ke arah barat – timur .
Penyebaran Formasi Wuni diduga hingga wilayah Blitar dan Malang.

27
3.2.5.3. Lokasitipe
Sebagai lokasitipe dari Formasi Wuni dipilih di Sungai Wuni. Hal ini dilakukan karena sebaran singkapan paling luas terdapat
di Sungai Wuni.
3.2.5.4. Ciri Litologi

Formasi Wuni adalah batuan gunungapi hasil kegiatan gunungapi Miosen Tengah yang bersisipan sedimen klastik asal
gunungapi, terendapkan dilingkungan laut dangkal disekitar daerah tinggian Miosen Awal. Litologi satuan ini tersusun oleh breksi
gunungapi dan tufa : bersisipan batupasir tufaan, batulanau tufaan, batulempung, batugamping dan lignit.

3.2.5.5. Umur dan Lingkungan Pengendapan


Fosil pada formasi ini sangat jarang. Batugamping yang dipakai sebagai batuan conto, kandungan foraminifera besar yang
terdapat dalam Batugamping umumnya sudah diganti kalsit sehingga sulit untuk dikenali. Fosil yang dapat dikenal hanya Globigerina
sp., Gypsina sp., dan koral ; yang menunjukan umur tidak lebih tua dari Miosn. Berdasarkan kedudukan stratigrafinya yang lebih muda
dari pada Formasi Jaten, formasi ini diduga berumur Miosen Tengah bagian tengah. Berdasarkan adanya sisipan lignit, komponen kayu
yang terkesikkan dalam batupasir, dan kandungan fosil dalam batugamping maka Formasi Wuni diduga diendapkan di lingkungan gisik
hingga laut dangkal.

3.2.5.6. Hubungan Stratigrafi


Bagian bawah Formasi Wuni menindih selaras batuan yang lebih tua yakni Formasi Jaten ; meskipun sentuhannya tidak tegas
melainkan berangsur. Bagian atas formasi ini ditindih secara selaras oleh Formasi Nampol.

28
3.2.6 Formasi Nampol
3.2.6.1. Penamaan
Formasi Nampol pertama kali dikenalkan oleh Sartono (1964) dengan wilayah tipe di Nampol, utara Punung. Sartono (1964)
membandingkan formasi ini dengan bagian atas Formasi Jonggrangan di Perbukitan Kulon Progo yang berumur Te5-Tf1. Sedangkan
oleh Nahrowi, dkk. (1978) mengkorelasikannya dengan Formasi Oyo di Gunungkidul. Oleh Hanang Samudro, dkk. (1992) masih
memakai Formasi Nampol. Akan tetapi, berdasarkan runtunan dan sifat fisik batuannya, bisa jadi sebanding dengan bagian atas
Formasi Sambipitu yang juga tersingkap di Pegunungan Selatan Jawa Tengah.
3.2.6.2. Penyebaran
Penelitian di bagian daerah Ponorogo – Pacitan oleh Hanang Samudro, dkk. (1992), Formasi Nampol umumnya menempati
wilayah perbukitan rendah bergelombang, seperti yang tersingkap di sekitar Nampol, Pagerejo dan sekitar Wonodoyo. Sebaran Formasi
Wuni diduga juga tersingkap di wilayah Malang yang masuk dalam lembar Turen oleh Sujanto, dkk. (1992).
3.2.6.3. Lokasitipe
Sebagai lokasitipe dari Formasi Nampol dipilih di Nampol, utara Punung. Hal ini dilakukan karena singkapan dapat diamati
dengan baik pada daerah Nampol.
3.2.6.4. Ciri Litologi

Formasi Nampol adalah satuan yang terdiri dari kumpulan batuan klastik kasar hingga halus, bersisipan batuan gunungapi dan
lignit. Litologi bagian bawah satuan ini disusun oleh perulangan batupasir tufaan, batulanau dan batulempung, bersisipan breksi
gunungapi, batupasir konglomeratan dan lignit. Bagian atasnya lebih bersifat gampingan, terdiri dari perulangan batupasir, batulanau,
batulempung : bersisipan tufa dan lignit.

29
3.2.6.5. Umur dan Lingkungan Pengendapan
Berdasarkan kedudukan stratigrafi dan kesebandingannya dengan satuan sejenis di Lembar Pacitan (Samodra & Gafoer, 1990),
satuan ini diduga berumur akhir jenjang Tf bawah hingga permulaan Miosen Tengah.
Satuan ini terbentuk di Iingkungan laut dangkal yang berdekatan dengan daerah peralihan. Sebarannya terdapat setempat-
setempat pada Lembar Tulungagung, Blitar, dan Turen. Tebal seluruh satuan kurang dari 100 m.

3.2.6.6. Hubungan Stratigrafi


Formasi Nampol di Lembar Tulungagung bersentuhan langsung dengan Formasi Campurdarat yang berumur Miosen Awal.
Bagian bawah satuan ini mempunyai kecenderungan menjemari dengan bagian. atas batugamping Miosen Awal, sedangkan
batulempung pada satuan ini dapat disebandingkan dengan batulempung berkarbon Formasi Campurdarat.

3.2.8 Formasi Wonosari


3.2.8.1. Penamaan
Formasi Wonosari pertama kali dikenalkan oleh Bothe (1929) dengan wilayah tipe di daerah Wonosari, Gunungkidul.
Berdasarkan runtutan batuannya formasi ini dapat disebandingkan dengan anggota – anggota Formasi Punung yang berfasies tufan
sebagaimana diusulkan oleh Sartono (1964).
3.2.8.2. Penyebaran
Formasi Wonosari umumnya tersebar di bagian tengah daerah penelitian yaitu Pacitan – Ponorogo ( Hanang Samudro, dkk.,
1992 ). Menempati wilayah sekitar Pantai Selatan Jawa. Di bagian Barat, satuan ini melampar ke Selatan mulai Punung. Di tempat lain,
singkapannya hanya setempat saja, seperti yang tersingkap di sekitar Lorok dan Panggul. Ke barat dan ke timur formasi ini tersebar dari

30
Gunungkidul hingga Lumajang.
3.2.8.3. Lokasitipe
Sebagai lokasitipe dari Formasi Wonosari dipilih di Wonosari, Gunungkidul. Hal ini dilakukan karena singkapan dapat diamati
dengan baik pada daerah Wonosari.
3.2.8.4. Ciri Litologi
Ciri litologi berupa batugamping terumbu, batugamping berIapis, batugamping pasiran kasar, batugamping tufan, dan napal.

3.2.8.5. Umur dan Linkungan Pengendapan


Berdasarkan kumpulan foraminifera kecil bentos yang terdapat dalam beberapa perconto batugamping dan napal, lingkungan
pengendapannya adalah laut berkedalaman 50-100 m atau neritik pinggir hingga neritik tengah (Tipsword dkk., 1966). Kedalaman
tersebut ditunjukkan oleh kumpulan fosil Cibicides sp., Textularia. sp., Virgulina sp., Quinqueloculina sp., Bolivina., dan Amphistegina
sp. Beberapa foraminifera besar menunjukkan lingkungannya yang berasosiasi dengan terumbu. Besar kemungkinannya satuan ini
terbentuk pada saat terjadinya genang laut pada Miosen Tengah. Pemerconto batugamping pasiran dari Barat Pacitan ditemukannya
foraminifera kecil plankton. Diantaranya yang dapat dikenali adalah Globigerina prebulloides Blow, Globigerinoides immaturus Le
Roy, Gs. Sacculifer (Brady), Globorotalia Menardii (Id’ Orbigny), Gt. Siakensis (Le Roy), Gt. Mayeri Cushman dan Bllisor,
Sphaerodinella subdehiscens Blow, Sphaerodinellopsis peminulina (Parker dan Jones), Orbulina universa d’Orbigny, dimana kumpulan
tersebut menunjukkan kisaran umur N13-N14 atau Miosen Tengah. Beberapa pemerconto napal dan batugamping berlapis berdasarkan
kumpulan foraminifera kecil plankton yang kandungannya mempunyai umur N13-N16. Dengan demikian satuan ini berumur antara
N13-N16 atau Miosen Tengah hingga permulaan Miosen Akhir. Berdasarkan kandungan fosil foram menunjukan umur Miosen Tengah
(N15), diendapkan pada lingkungan nertitik tepi.

31
3.2.8.6. Hubungan Stratigrafi
Formasi Wonosari dari langsung menindih satuan yang lebih tua dan sentuhannya sebagian besar dibatasi oleh struktur. Di
beberapa tempat, misalnya di Tenggara Pacitan, Timur Lorok dan di Barat Panggul, sentuhannya dengan batuan Oligo-Miosen diselangi
oleh batugamping berfasies tufaan dari Formasi Oyo. Batugamping di sekitar Wonodoyo dan Tulakan dialasi oleh Formasi Nampol.
Bukit batugamping di sekitar Klepu, Utara Punung, termasuk dalam satuan ini dialasi Formasi Nampol. Bagian bawah satuan lebih
bersifat klastik tufaan; terdiri dari batugamping pasiran (kalkarenit) bersisipan batupasir gampingan. Bagian atasnya disusun oleh
batugamping terumbu, bersisipan kalkarenit, napal, dan batugamping konglomeratan. Perubahan berangsur dari batugamping
konglomeratan. Perubahan berangsur dari batugamping klastik tufaan ke batugamping terumbu mencirikan hubungan menjemarinya
dengan satuan di bawahnya.

32
Gambar 3.3. Kolom Stratigrafi lembar Tulungagung, Samodra, dkk., (1992), Blitar, Sjarifudin, dkk., (1992 ), Turen, Sujanto, dkk.,
( 1992 ), dan Lumajang, Suwarti, dkk., (1992)

33
3.3. Struktur Geologi Regional
Secara regional di pulau Jawa terdapat tiga arah pola struktur yang dominan
(Pulunggono dan Soejono, 1994). Pertama, pola struktur berarah Timur laut-Barat
daya (arah Meratus), terbentuk pada umur Kapur Akhir-Eosen Awal. Kedua, pola
struktur berarah Utara-Selatan (arah Sunda), terbentuk pada umur Eosen Awal-
Oligosen Awal. Ketiga, pola struktur berarah Barat-Timur (arah Jawa), terbentuk
pada umur Oligosen Akhir oleh gaya kompresi dari tunjaman di bagian selatan pulau
Jawa. Hasil analisis citra satelit dan anomali gaya berat di zona Pegunungan Selatan
memperlihatkan adanya pola sesar berarah Barat laut-Tenggara dan Timur laut-Barat
daya yang saling berpotongan dan membentuk huruf “V” serta diduga merupakan
sesar-sesar dalam yang sampai ke permukaan (Sudrajat dan Untung, 1975, dalam
Nahrowi dkk, 1978) (Gambar3.3). Di daerah Pacitan dan sekitarnya merupakan
tempat pertemuan kedua sesar tersebut dan sekaligus membatasi daerah tinggian
yang umumnya ditempati oleh Formasi Arjosari dan Formasi Mandalika dengan
daerah rendahan yang umumnya ditempati oleh Formasi Jaten, Formasi Wuni,
Formasi Nampol dan Formasi Punung (Nahrowi dkk, 1978) .

3.4. Tektonik Regional


Bukti thrusting di Jawa Timur Selatan tidak terlalu jelas dibandingkan
dengan Jawa Barat. Batuan berumur Eosen – Miosen relatif tersingkap dengan
dengan baik dibagian selatan, namun batuan yang seumuran di bagian utara tidak
tersingkap. (Hall dkk, 2007).
Jawa bagian timur berdasarkan pola struktur utamanya merupakan daerah
yang unik karena wilayah ini merupakan tempat perpotongan dua struktur utama,
yakni antara struktur arah Meratus yang berarah timurlaut-baratdaya dan struktur
arah Sakala yang berarah timur-barat (Pertamina-BPPKA, 1996; Sribudiyani dkk.,
2003 dalam Prasetyadi, 2007) (Gambar 3.5). Arah Meratus lebih berkembang di
daerah lepas pantai Cekungan Jawa Timur, sedangkan arah Sakala berkembang
sampai ke daratan Jawa bagian timur (Prasetyadi, 2007).
Struktur geologi di daerah Pegunungan Selatan bagian timur berupa
perlapisan homoklin, sesar, kekar dan lipatan. Struktur utama yang berkembang di
Daerah Pegunungan Selatan Bagian Timur ini terutama adalah sesar yang

32
berkembang di sepanjang Sungai Grindulu dan kemungkinan besar struktur inilah
yang menimbulkan banyak dijumpai mineralisasi di daerah ini.

3.4.1 Periode Akhir Kapur – Awal Tersier (70 – 35 Ma)


Fase tektonik awal terjadi pada Mesozoikum ketika pergerakan lempeng
Australia ke arah timur laut yang menghasilkan subduksi di bawah Sunda
Microplate sepanjang suture Jawa - Meratus, dan diikuti oleh fase pemekaran
selama Paleogen ketika serangkaian horst dan graben kemudian terbentuk. Proses
magmatisme yang terjadi pada akhir Kapur dapat dikenali dari timur laut Sumatra
melalui Jawa hingga bagian tenggara Kalimantan (Gambar 3.4).
Kapur Atas – Eosen Awal, fragmen benua yang dilepaskan dari super benua
Gondwana di selatan, mengapung ke arah timur laut mendekati daerah subduksi.
Kehadiran allochthonous microcontinents di wilayah Asia Tenggara telah
diamati dan dilaporkan oleh banyak penulis. Dimulainya rifting serta
pelamparannya berasosiasi dengan pergerakan sepanjang sesar regional yang telah
ada sebelumnya dalam fragmen kontinental. Bagian basement kontinen
mempengaruhi arah cekungan di Sumatra dan Jawa.
Aktivitas tektonik tersebut menghasilkan rangkaian gunung api aktif pada
selatan-tenggara sundaland yang menjadi magmatic-arc pada saat itu, lalu
pada bagian belakang dari magmatic arc berkembang menjadi back-arc basin yang
berupa cekungan laut dalam yang diisi oleh material vulkanik klastik dari busur
magmatic tersebut. Tetapi di bagian barat laut-utara dari magmatic-arc yang
merupakan bagian tepi dari sundaland yang stabil berkembang menjadi cekungan
blakang busur yang lebih angkal yang mendapat suplai sedimen hasil erosi
sundaland.

3.4.2 Periode Oligosen – Miosen Awal (35 – 20 Ma)


Pada Awal Oligosen sudut kemiringan subduksi bertambah
menyebabkan pengurangan kecepatan lempeng Australia ke utara, diperlambat
dari 18 cm / tahun hingga hanya 3 cm (Hall, 2002), dan secara umum pengangkatan
terjadi diseluruh Daratan Sunda bagian Tenggara. Erosi dan amblasan lokal

33
sepanjang jejak sesar yang ada menghasilkan endapan terrestrial dan transisi.
Selama periode ini, inversi cekungan terjadi karena konvergensi Lempeng Hindia
menghasilkan rezim tektonik kompresi di daerah “ depan busur” Sumatra dan Jawa.
Sebaliknya, busur belakang merupakan subjek pergerakan strike-slip utara-
selatan yang dominan sepanjang sesar utara-selatan yang telah ada (Gambar
3.4)..
Selama periode ini, Laut Cina Selatan telah mengalami proses pemekaran
lantai samudra. Konvergensi dari lempeng Hindia ke arah Utara dapat terlihar pada
rezim tektonik kompresi pada wilayah depan busur Sumatra dan Jawa
menyebabkan inversi cekungan. Pergerakan Lempeng Hindia dengan
Mikrokontinen Sunda telah menjadi stabil pada 5 – 6 cm / tahun (Hall,2002).

3.4.3 Periode Miosen Tengah – Miosen Akhir (20 – 5 Ma)


Pergerakan ke arah selatan dari lempeng Hindia–Australia mengambil alih,
seiring dengan berkembangnya aktivitas magmatisme yang melingkupi hampir di
seluruh dataran Pulau Jawa. Pada bagian utara, berkembang cekungan
belakang busur, yang dibagi lagi menjadi beberapa sub-cekungan, dan
dipisahkan oleh tinggian basement yang dikontrol oleh blok – blok sesar pada
basement (Gambar 3.4).
Pengaktifan kembali sepanjang sesar tersebut menghasilkan mekanisme
transtension dan transpression yang berasosiasi dengan sedimentasi turbidit
dibagian yang mengalami penurunan. Namun demikian, di bagian paling timur
Jawa Timur, basement dominan berarah Timur-Barat, sebagaimana dapat
diamati dengan baik yang mengontrol Palung Kendeng dan juga Palung
Madura. Bagian basement berarah Timur – Barat merupakan bagian dari
fragmen benua yang menjadi dasar dan sebelumnya tertransport dari selatan dan
bertubrukan dengan Sundaland sepanjang Suture Meratus. Tektonik kompresi
yang diakibatkan subduksi ke arah utara telah mengubah sesar basement barat
– timur menjadi pergerakan sesar mendatar, dalam periode yang tidak terlalu
lama (Manur dan Barraclough, 1994). Kenaikan muka air laut selama periode ini,
menghasilkan pengendapan sedimen klastik didaerah rendahan, dan carbonate
build up pada tinggian yang membatasi.

34
Kompresi kedua mulai selama Akhir-Awal Miosen, terbentuk hingga
puncak pada Awal-Tengah Miosen. Tegangan menjadi lebih kuat selama peristiwa
ini, menghasilkan inversi graben-graben Paleogen (Gambar 3.4). Pengangkatan
dari tinggian yang mengapit meningkatkan pasokan sedimen klastik berasal dari inti
basement, dengan pasokannya yang menutup sembulan carbonate reef. Efek
penurunan muka air laut eustasi selama Miosen Tengah hingga Akhir meningkatkan
erosi dan pasokan rombakan klastika asal darat menjadi tersebar luas di seluruh
Laut Jawa bagian timur.
Pada Miosen Akhir rift yang awalnya berarah barat-timur mengalami
rotasi menjadi orientasi timurlaut – baratdaya sebagai sesar mendatar, oleh
adanya pengaruh kompresi berarah utara-timurlaut yang disebabkan oleh subduksi
Lempeng Wharton ke bawah Lempeng Sunda di bawah Jawa. Fase pergerakan
tektonik ini menghasilkan struktur-struktur di Cekungan Jawa Timur Utara yang
ada saat ini (Gambar 3.5).

35
Gambar 3.4 Kerangka tektonik Asia Tenggara sebelum 70 M.A hingga 5 M.A.

36
Gambar 3.5 Arah pola struktur Jawa bagian timur (modifikasi dari Sribudiyani et al., 2003).

37

Anda mungkin juga menyukai