Anda di halaman 1dari 6

Indonesia English

BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN


KEMENTERIAN KEUANGAN

Serambi Profil Unit Publikasi Informasi Publik Layanan Hubungi Kami E-Calendar 2018

Serambi Publikasi Artikel Artikel Pajak PENAGIHAN SEKETIKA DAN SEKALIGUS

BEBERAPA TAHUN, KETENTUAN DALUWARSA DALAM


PALING BANYAK DIBACA
UNDANG-UNDANG KUP
Penyiapan Tenaga Pendamping
Dibuat: Kamis, 10 Oktober 2013 08:36 Penyusunan LK K/L
Ditulis oleh Agus Suharsono [Bogor, 4 Januari 2018] Pagi ini Pusdiklat
Anggaran dan Perbendaharaan
menyelenggarakan Lokakarya pertamanya di
Oleh: Agus Suharsono (Widyaiswara Madya Pusdiklat Pajak) tahun 2018. Pembukaan lokakarya yang
bernama…

Baca Selengkapnya

Latsar CPNS Golongan II Tahun 2018


sangat Istimewa

Diklat Pembuka di Awal Tahun 2018

Pendahuluan

Pada awalnya saya menganggap masalah daluwarsa tidak begitu penting untuk dibahas. Sampai
suatu ketika dalam sebuah diklat saya menemukan beberapa peserta diklat yang menggangap bahwa
daluwarsa penetapan, pemeriksaan, pembetulan atau penerbitan Surat Tagihan Pajak adalah lima
tahun. Padahal tidak semuadaluwarsa dalam Undang-Undang KUP itu lima tahun.

Tulisan ini akan membahas jangka waktu daluwarsa dalam Undang-Undang KUP. Pembahasan dalam
tulisan ini akan diruntutkan berdasarkan waktu daluwarsa kurang lima tahun, daluwarsa lima tahun,
daluwarsa lebih dari lima tahun, daluwarsa sepuluh tahun, dantidak diatur daluwarsanya.

Daluwarsa kurang dari lima tahun

Daluwarsa kurang dari lima tahun adalah tentang hak wajib pajak melakukan pembetulan Surat
Pemberitahuan (SPT) yang menyatakan rugi atau lebih bayar. Jangka waktu yang diberikan kepada
Wajib Pajak untuk membetulkan adalah tiga tahun sejak batas penyampaian SPT berakhir
sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Ayat (1a) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang
Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata
Cara Perpajakan. Ketentuan ini berlaku pada tanggal 1 Januari 2008.

Redaksinya tidak secara langsung menyebutkan tiga tahun tetapi harus disampaikan paling lama dua
tahun sebelum daluwarsa penetapan. Yang dimaksud dengan daluwarsa penetapan adalah jangka
waktu lima tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak,
atau Tahun Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang KUP.

Redaksi ini berbeda dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan bahwa
Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan Surat Pemberitahuan yang telah
disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis dalam jangka waktu dua tahun sesudah
berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, dengan syarat Direktur Jenderal
Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan.

Dalam beberapa kesempatan berdiskusi dengan peserta diklat, masih ditemukan beberapa peserta
yang menganggap daluwarsa pembetulan SPT adalah dua tahun. Hal ini terjadi karena Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1994 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 6
Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan juga mengatur batas waktu
pembetulan SPT dalam jangka waktu dua tahun sesudah saat terutangnya pajak atau berakhirnya
Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak. Jadi sejak berlakunya Undang-Undang ini pada
tanggal 1 Januari 1995 sampai dengan sebelum 1 Januari 2008 daluwarsa pembetulan SPT adalah
dua tahun. Tiga belas tahun berlakunya ketentuan daluwarsa pembetulan SPT adalah dua tahun,
rupanya ketentuan ini sudah menempel di ingatan bawah sadar banyak orang.

Redaksi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan yang masih mengunakan
angka paling lama dua tahun sering dianggap bahwa daluwarsa sejak tanggal 1 Januari 2008 masih
tetap dua tahun. Banyak yang tidak cermat membaca bahwa dibelakangnya masih ada keterangan
sebelum daluwarsa penetapan. Daluwarsa penetapan adalah lima tahun, jadi daluwarsa pembetulan
SPT rugi atau lebih bayar adalah tiga tahun, lima dikurangi dua sama dengan tiga.

Penulis berpendapat bahwa redaksi sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007
kurang sesuai, berdasar pengalaman empiris banyak yang memahai daluwarsanya dua tahun, karena
angka yang tertulis masih dua tahun. Lebih jelas kalau ketentuan tersebut ditulis langsung tiga tahun
sehingga pembaca mudah mengingat karena kontras dengan aturan sebelumnya, dua menjadi tiga.

Jika ditelisik sejarah Undang-Undang KUP ternyata dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan tidak mengatur
daluwarsa pembetulan SPT, tetapi mensyaratkan sepanjang Direktur Jenderal Pajak belum mulai
melakukan tindakan pemeriksaan. Tentunya akan timbul pertanyaan apakah ada ketentuan daluwarsa
tindakan pemeriksaan? Juga akan timbul pertanyaan apakah pembetulan SPT yang menyatakan tidak
rugi atau tidak lebih bayar tidak diatur daluwarsanya?Dan jika tidak diatur daluwarsanya jika Wajib
Pajak melakukan pembetulan SPT setelah dalam jangka waktu lima tahun akan diterbitkan STP atau
dengan kata lain adakah daluwarsa penerbitan STP? Pertanyaan tersebut akan dijawab dalam
pembahasan berikutnya.

Daluwarsa lima tahun

Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang KUP mengatur bahwa dalam jangka waktu lima tahun setelah saat
terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, Direktur
Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB).Ketentuan ini sudah
jelas mengatur bahwa penerbitan SKPKB daluwarsa setelah lima tahun setelah saat terutangnya
pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak. Adapun penerbitan
SKPKB tersebut harus berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain. Sudah ada kepastian
hukum bahwa setelah lewat lima tahun tidak bisa lagi diterbitkan SKPKB maka besarnya pajak
terutang yang diberitahukan oleh Wajib Pajak dalam SPT menjadi pasti. Hal ini diatur dalam Pasal 13
ayat (4) Undang-Undang KUP. Hanya saja rumusan ketentuan tersebut bisa menimbulkan pertanyaan
karena jelas tertulis bahwa yang menjadi pasti setelah lima tahun adalah yang diberitahukan dalam
SPT. Pertanyaannya adalah bagaimana jika Wajib Pajaktidak menyampaikan SPT kemudian diketahui
ada data kongkret, apakah juga menjadi pasti setelah lima tahun?

Secara tertulis hal itu tidak diatur akan daluwarsa dan menjadi pasti adalah yang diberitahukan dalam
SPT. Hanya saja jika penafsiran ini yang dipakai akan menimbulkan ketidak adilan karena bagi yang
tidak menyampaikan SPT bisa diperiksa tanpa batasan daluwarsa sehingga tidak ada kepastian
hukum baginya. Kecuali jika pembuat undang-undang memang menghendaki bahwa sesuai sistem
self assessment maka yang menyampaikan SPT diberi kepatian hukum dengan daluwarsa penerbitan
SKPKB selama lima tahun, sedangkan bagi mereka yang tidak menyampaikan SPT diberi
konsekuensi tidak diberi batasan daluwarsa penerbitan SKPKB. Penulis dalam hal ini berpendapat
bahwa daluwarsa penerbitan SKPKB dengan mempertimbangkan adanya asas kepastian hukum
berlaku bagi Wajib Pajak yang telah menyampaikan SPT maupun yang tidak menyampaikan.
Sehingga redaksi Pasal 13 ayat (4) Undang-Undang KUP tidak perlu mencantumkan sudah
menyampaikan SPT atau belum.

Daluwarsa penerbitan SKPKBT juga lima tahun yaitu jika ditemukan data baru yang mengakibatkan
penambahan jumlah pajak yang terutang setelah dilakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka
penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT). SKPKBT merupakan koreksi
atas surat ketetapan pajak sebelumnya, artinya untuk dapat diterbitkan SKPKBT harus pernah
diterbitkan ketetapan sebelumnya dan diterbitkan berdasarkan pemeriksaan dalam rangka penerbitan
SKPKB.Ketentuanini berbeda dengan penerbitan SKPKB yang bisa berdasarkan pemeriksaan atau
keterangan lain.

Hak menagih pajak daluwarsanya juga lima tahun, sebagaimana diatur dalam Pasal 22 Undang-
Undang KUP. Hak yang ditagih termasuk bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak,
daluwarsa setelah melampaui waktu lima tahun terhitung sejak penerbitan Surat Tagihan Pajak, Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat
Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan
Kembali.Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan pembetulan, keberatan, banding atau
Peninjauan Kembali, daluwarsa penagihan pajak lima tahun dihitung sejak tanggal penerbitan Surat
Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan
Kembali.

Daluwarsa penagihan pajak dalam jangka waktu lima tahun tersebut tertangguh apabiladiterbitkan
Surat Paksa, ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak baik langsung maupun tidak langsung,
diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud dalamPasal 13 ayat (5)
Undang-Undang KUP, atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 15 ayat (4)Undang-Undang KUP, ataudilakukan penyidikan tindak pidana di bidang
perpajakan. Jika tidak ada alasan penangguhan, setelah lewat dari lima tahun maka hak melakukan
penagihan akan hapus. Direktorat Jenderal Pajak tidak bisa melakukan penagihan dengan surat
paksa.

Daluwarsa lebih dari lima tahun


Daluwarsa penerbitan SKPKB lima tahun tidak berlaku jika Wajib Pajak melakukan tindak pidana di
bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan
negara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Ada dua
alasan mengapa dalam hal ini daluwarsanya lebih dari lima tahun. Pertama, proses peradilan pidana
sampai adanya putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap bisa lebih dari lima tahun jika
masing-masing pihak yang berperkara menempuh upaya hukum banding maupun kasasi. Jika
ketentuan daluwarsanya mengikuti lima tahun akan banyak kasus pidana perpajakan atau pidana
lainnya yang merugikan keuangan Negara tidak bisa diterbitkan ketetapannya karena alasan
daluwarsa.

Kedua, daluwarsa tuntutan tindak pidana di bidang perpajakan adalah sepuluh tahun sebagaimana
diatur dalam Pasal 40 Undang-Undang KUP. Pasal 43A ayat (1) Undang-Undang KUP mengatur
bahwa awal proses tuntutan tindak pidana di bidang perpajakan adalah berdasarkan informasi, data,
laporan, dan pengaduan maka dilakukan pemeriksaan bukti permulaan sebelum dilakukan penyidikan
tindak pidana di bidang perpajakan. Sebagai ilustrasi dapat digambarkan tahun ini DJP mendapat
data Wajib Pajak untuk delapan tahun yang lalu. Berdasarkan data tidak bisa dilakukan pemeriksaan
untuk menerbitkan SKPKB. Berdasarkan Pasal 40 juncto Pasal 43A Undang-Undang KUP, namun
masih bisa dilakukan tuntutan tindak pidana di bidang perpajakan. Misalnya diperlukan waktu dua
tahun sampai dengan adanya putusan hukum yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, maka
walaupun sudah sepuluh tahun masih bisa diterbitkan SKPKB berdasarkan keterangan lain.

Penerbitan SKPKBT dalam hal Wajib Pajak dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang
perpajakan atau tindak pidana lainnya yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara
berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap sesuai ketentuan
Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang KUP harus dilakukan dengan pemeriksaan dalam rangka
menerbitkan SKPKBT. Berbeda dengan penerbitan SKPKB yang bisa dengan pemeriksaan atau
berdasar keterangan lain yang dalam hal ini adalah putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum
yang tetap.

Daluwarsa lebih dari lima tahun juga berlaku untuk penetapan pajak untuk Masa Pajak, Bagian Tahun
Pajak, atau Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya, selain penetapan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (5) atau Pasal 15 ayat (4) Undang-Undang KUP, berakhir paling lama pada akhir Tahun
Pajak 2013. Ketentuan ini diatur dalam Pasal II Undang-Undang KUP, ketentuan ini untuk memberi
kepastian hukum karena adanya batas daluwarsa penetapan yang tahun 2007 dan sebelumnya
sepuluh tahun sedangkan tahun 2008 dan seterusnya lima tahun. Jika tidak ada aturan peralihan ini
juga akan menimbulkan ketidakadilan karena tahun pajak 2008 daluwarsa penetapannya akhir tahun
2013, sedangkan tahun 2007 daluwarsa penetapannya akhir tahun 2017.

Daluwarsa Sepuluh Tahun

Pasal 40 Undang-Undang KUP mengatur bahwa tindak pidana di bidang perpajakan tidak dapat
dituntut setelah lampau waktu sepuluh tahun sejak saat terhutangnya pajak, berakhirnya Masa Pajak,
berakhirnya Bagian Tahun Pajak, atau berakhirnya Tahun Pajak yang bersangkutan. Jangka waktu
sepuluh tahun tersebut adalah untuk menyesuaikan dengan daluwarsa penyimpanan dokumen-
dokumen perpajakan yang dijadikan dasar penghitungan jumlah pajak yang terhutang, selama
sepuluh tahun.

Jika hasil penuntutan tindak pidana Wajib Pajak terbukti melakukan tindak pidana maka ada dua hal
yang berkaitan dengan daluwarsa. Pertama, jika dalam proses pemeriksaan bukti permulaan terbukti
Wajib Pajak melakukan tindak pidana perpajakan karena kealpaan yang pertama kali maka
pemeriksaan bukti permulaan dapat dihentikan dan diterbitkan SKPKB Pasal 13A Undang-Undang
KUP. Artinya, berbeda dengan daluwarsa penerbitan SKPKB Pasal 13 Undang-Undang KUP yang
daluwarsa dalam jangka waktu lima tahun, maka penerbitan SKPKB Pasal 13A Undang-Undang KUP
bisa lebih dari lima tahun karena mengikuti daluwarsa penuntutan tidak pidana perpajakan.

Kedua, pemeriksaan bukti permulaan dalam rangka penuntutan tindak pidana perpajakan diteruskan
ke persidangan, hasil sidang ada dua kemungkinan, Wajib Pajak tidak terbukti melakukan tindak
pidana perpajakan atau Wajib Pajak terbukti melakukan tindak pidana perpajakan berupa kealpaan
yang bukan pertama kali atau karena kesengajaan. Wajib Pajak yang terbukti melakukan tindak
pidana perpajakan akan dikenakan sanksi pidana perpajakan, selain itu juga akan diterbitkan SKPKB
atau SKPKBT dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48%.

Tidak Diatur Daluwarsanya

Jika pembetulan SPT yang rugi atau lebih bayar daluwarsanya tiga tahun, bagaimana dengan
pembetulan SPT yang tidak menyebabkan rugi atau tidak lebih bayar, misalnya untung atau kurang
bayar. Hal ini dalam Undang-Undang KUP tidak diatur. Penulis berpendapat bahwa hal ini juga tidak
perlu diatur daluwarsanya, artinya boleh saja tahun ini Wajib Pajak membetulkan SPT sepuluh atau
lima belas tahun yang lalu dengan status kurang bayar. Sebagai ketentuan SPT dianggap lengkap
atas kurang bayar tersebut harus dibayar sebelum SPT pembetulan disampaikan.

Pertanyaan berikutnya adalah apakah atas pembayaran kurang bayar dalam SPT pembetulan setelah
melewati daluwarsa juga diterbitkan STP dengan sanksi bunga 2% per bulan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (2) atau ayat (2a) Undang-Undang KUP? Penulis dalam hal ini berpendapat
bahwa STP tersebut harus diterbitkan dengan sanksi bunga 2% per bulan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 ayat (1) huruf c Undang-Undang KUP. Pengenaan sanksi bunga 2% per bulan
tersebut dikalikan dengan jumlah bulan pembetulan, misalnya jangka waktu pembetulan SPT adalah
sepuluh tahun kemudian maka sanksi bunganya dikalikan dengan seratus dua puluh bulan, tidak
dibatasi maksimal dua puluh empat bulan. Berdasarkan Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 74
Tahun 2011, Wajib Pajak yang di STP dengan sanksi bunga 2% per bulan yang dikenakan melebihi
dua puluh empat bulan dapat mengajukan permohonan untuk memperoleh pengurangan atau
penghapusan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf a Undang-
Undang KUP dan ataspermohonan tersebut dapat diberikan pengurangan atau penghapusan sanksi
administrasi sehinggabesarnya sanksi administrasi sebesar 2% (dua persen) per bulan dikenakan
untuk jangka waktu palinglama 24 (dua puluh empat) bulan.

Pembahasan ini, sekaligus menjawab pertanyaan apakah ada daluwarsa penerbitan STP? Penulis
berpendapat bahwa Undang-Undang KUP tidak mengatur daluwarsa penerbitan STP. STP dapat
diterbitkan kapan saja, sejak diketahui adanya pelanggaran ketentuan pelaporan atau pembayaran.
Hanya saja hal ini bisa menimbulkan ketidapastian hukum, jadi sebaiknya Undang-Undang KUP
mengatur secara khusus daluwarsa penerbitan STP, yaitu dalam jangka waktu lima tahun.

Selain itu, penulis juga berpendapat bahwa pemeriksaan pajak juga tidak diatur daluwarsanya. Hal ini
bisa dipahami karena pemeriksaan dapat dilakukan untuk menguji kepatuhan yang akan digunakan
sebagai dasar penerbitan ketetapan pajak, juga bisa dilakukan untuk tujuan lain yang bersifat
administratif dan pelayanan. Untuk pemeriksaan dalam rangka menguji kepatuhan bisa dibatasi oleh
daluwarsa penerbitan SKPKP atau SKPKB. Sulit untuk menentukan daluwarsa pemeriksaan tujuan
lain, misalnya penghapusan NPWP.

Penerbitan SKPKB atau SKPKBT diatur jelas daluwarsanya, tetapi tidak demikian dengan penerbitan
SKPN dan SKPLB. Undang-Undang KUP hanya mengatur bahwa penerbitan SKPN atau SKPLB
setelah dilakukan pemeriksaan. Padahal pemeriksaan juga tidak diatur daluwarsanya. Hal ini bisa
ditafsirkan bahwa pemeriksaan untuk penerbitan SKPN atau SKPLB tidak diatur daluwarsanya, tentu
saja hal ini akan menimbulkan ketidak adilan dan tidak adanya kepastian hukum. Untuk memberi
keadilan dan kepastian hukum sebaiknya Undang-Undang KUP mengatur daluwarsa penerbitan
SKPN atau SKPLB.

Simpulan

Ada lima jangka waktu daluwarsa dalam Undang-Undang KUP yaitu tiga tahun untuk daluwarsa
pembetulan SPT menjadi rugi dan lebih bayar, lima tahun untuk penetapan SKPKB atau SKPKBT dan
penagihan pajak, lebih lima tahun untuk penerbitan SKPKB atau SKPKBT karena Wajib Pajak terbukti
melakukan tindak pidana perpajakan, sepuluh tahun untuk penuntutan pidana perpajakan, dan tidak
diatur daluwarsanya untuk pembetulan SPT menjadi lebih bayar atau ruginya menjadi lebih kecil,
penerbitan STP, serta pemeriksaan.Untuk keadilan dan kepastian hukum sebaiknya Undang-Undang
KUP mengatur daluwarsa pemeriksaan, penerbitan STP, SKPN, atau SKPLB.

Jakarta, 7 Oktober 2013

ESELON I KEMENTERIAN KEUANGAN

Hakcipta © BPPK | Peta Situs| Tentang Kami| Email BPPK| FAQ| Prasyarat| Hubungi Kami| Ikuti Kami
Ke Atas
Jalan Purnawarman No 99 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan . Telp: 021-29054300 . Fax: 021-7244912

Anda mungkin juga menyukai