Anda di halaman 1dari 47

SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RUMAH JASA KARTINI TASIKMALAYA

NOMOR : ……………………………………………….

tentang

PANDUAN PRAKTIK KLINIS REHABILITASI MEDIK

DI RUMAH SAKIT JASA KARTINI TASIKMALAYA

MENIMBANG :

a. Bahwa dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan kesehatan di Rumah


Sakit Jasa Kartini Tasikmalaya perlu disusun Panduan Praktik Klinis bagi
dokter di Rumah Sakit Jasa Kartini Tasikmalaya
b. Bahwa dalam Panduan Praktik Klinis bagi dokter di Rumah Sakit Jasa Kartini
Tasikmalaya bertujuan untuk memberikan acuan bagi dokter dalam
memberikan pelayanan dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan
sekaligus menurunkan angka rujukan
c. bahwa buku panduan praktik klinis tersebut digunakan sebagai bahan acuan
kegiatan pelayanan medis
d. bahwa untuk kepentingan tersebut diatas perlu ditetapkan dalam surat
keputusan

MENGINGAT :

a. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah


Sakit;
b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 tahun 2009 tentang Praktik
Kedokteran;
c. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2013
tentang Jabatan Fungsional Umum Di Lingkungan Kementerian Kesehatan;
d. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 755 /Menkes/PER/IV/2011 tentang
Penyelenggaraan Komite Medik di Rumah Sakit;
e. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1438/Menkes/Per/IX/2010 tentang
Standar Pelayanan Kedokteran;
f. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 129/Menker/SK II/200 tentang
Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit;
g. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1045/MENKES/PER/XI/2006 tentang
Pedoman Organisasi Rumah Sakit di Lingkungan Departemen Kesehatan;
h. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor
631/MENKES/SK/IV/2005 tentang pedoman peraturan internal staf medis
(Medical Staff Bylaws) di Rumah Sakit;

MEMUTUSKAN :

MENETAPKAN :

KESATU : Penetapkan Panduan Praktik Klinik Rehabilitasi Medik di Rumah Sakit Jasa Kartini
Tasikmalaya

KEDUA: Memberlakukan Panduan Praktik Klinik Rehabilitasi Medik di Rumah Sakit Jasa
Kartini Tasikmalaya sebagaimana tercantum dalam dalam lampirana Keputusan ini

KETIGA: Surat keputusan ini diberlaku sejak tanggal ditetapkan sampai dengan adanya
ketetapan lebih lanjut

KEEMPAT: Apabila hasil evaluasi mensyaratkan adanya perbaikan maka akan diadakan
perbaikan sebagaimana mestinya

Ditetapkan di: Tasikmalaya

Tanggal:…………………………..

Rumah Sakit Jasa Kartini Tasikmalaya

dr.Rudy Suradi,Sps
PANDUAN PRAKTIK KLINIK

BELLS PALSY

I . Pengertian

Bells Palsy adalah facial paralisis karena disfungsi dari fasialis perifer yang menyebabkan

kelumpuhan otot-otot wajah.

II. Etiologi dan Patogenesa

Penyebabnya tidak diketahui, tetapi diduga terjadi pembengkakan pada saraf wajah sebagai

reaksi terhadap infeksi virus, penekanan atau berkurangnya aliran darah. Apapun etiologi
bells palsy, proses yang dianggap bertanggung jawab atas gejala klinik Bells palsy adalah
proses edema yang selanjutnya menyebabkan kompresi n fasialis. Gangguan atau
kerusakan pertama adalah endothelium dari kapiler dan permeabilitas kapiler meningkat,
sehingga dapat terjadi kebocoran kapiler kemudian terjadi edema pada jaringan
disekitarnya dan akan terjadi gangguan aliran darah sehingga terjadi hipoksia yang
mengakibatkan kematian sel. Kerusakan sel ini mengakibatkan hadirnya enzim proteolitik,
terbentuknya peptida peptide toksik dan pengaktifan enzim kinin dan kalikrein sebagai
hancurnya nukleus dan lisosom. Jika dibiarkan dapat terjadi kerusakan jaringan yang
permanen.

III. Manifestasi Klinis

a. Terjadi secara tiba tiba

b. Terjadi kelemahan pada otot wajah (kelemahan otot yang terjadi bisa ringan sampai

berat)

c. Merasakan nyeri pada dibelakang telinga

d. Merasakan beban lebih berat didaerah wajah yang mengalami kelumpuhan

e. Sensasi dalam batas normal

f. Kesulitan dalam menutup mata, gangguan sekresi air liur, air mata dan rasa
pengecapan lidah pada sisi yang mengalami kelumpuhan

IV. Anamnesis

a. Rasa nyeri daerah belakang telinga

b. Gangguan atau kehilangan pengecapan

c. Riwayat pekerjaan dan aktifitas yang dilakukan pada malam hari di ruangan terbuka

atau diluar ruangan

d. Riwayat penyakit yang pernah dialami misalnya infeksi saluran nafas, otitis dan herpes

V. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan neurologis pada paresis N VII tipe perifer

Gerakan volunter dari;

a. Mengerutkan dahi

b. Memejamkan mata

c. Tersenyum

d. Bersiul

e. Mengencangkan kedua bibir

VI. Diferensial diagnosis

a. Tumor pada serebelopontin angle yang menekan saraf fasialis8

b. Kerusakan saraf fasialis karena infeksi virus (sidr ramsay hunt)

c. Infeksi telinga tengah atau sinus mastoideus

d. Patah tulang dasar tengkorak


VII. Pemeriksaan Penunjang

Untuk mengeksklusi bells palsy dari differensial diagnosis dapat ditentukan dari riwayat

perjalanan penyakit, dan elektrofisiologi (dirujuk ke RS rujukan) bila tidak ada perbaikan

kontraksi otot dalam waktu 3 bulan.

VIII. Tatalaksana Rehabilitasi Medik

1. Untuk megurangi nyeri, diberikan modalitas panas pada sisi wajah yang mengalami

kelumpuhan. Pemanasan superfisial dengan infra red atau menggunakan diathermy

sesuai indikasi

2. Latihan re edukasi otot otot wajah, latihan gerak volunter otot wajah dan masase otot

wajah diberikan setelah fase akut. Latihan berupa mengangkat alis, mengerutkan dahi,

menutup mata dan mengangkat sudut mulut, tersenyum, bersiul, meniup dengan

bantuan maupun tidak dengan bantuan di depan kaca sebagai feedback

3. Pemberian modalitas listrik untuk mencegah atrofi dan memperkuat otot.

Tujuan pemberian stimulasi listrik yaitu menstimulasi otot untuk

mencegah/memperlambat terjadinya atrofi sambil menunggu proses regenerasi dan

memperkuat otot yang masih lemah.

Faradisasi diberikan untuk menstimulasi otot, redukasi, melaatih fungsi otot,

meningkatkan sirkulasi, meregangkan serta mencegah perlengketan. Diberikan 2

minggu setelah onset.

IX. Edukasi

a. Beri obat tetes mata / artifisial tears drop 3x sehari untuk melindungi kornea

b. Biasakan menutup kelopak mata secara pasif sebelum tidur supaya otot orbicularis

oculi terlatih secara pasif, dan melindungi kornea saat tidur


c. Kompres hangat daerah sisi wajah yang sakit selama 20 menit bila telah melewati

stadium akut, 3hari

d. Masase wajah yang lumpuh kearah atas dengan menggunakan tangan dari sisi wajah

yang sehat dengan maksud peberian latihan otot dengan melawan gravitasi

e. Latihan tiup lilin, berkumur, makan dengan mengunyah disisi yang lumpuh, minum

dengan sedotan, mengunyah permen karet

X. Daftar Pustaka

1. Sidharta P. Bells palsy. Dalam Tata Pemeriksaan Klinis dalam Neurologi. Edisi ke-2.

Sastroasmoro S, Trihono PP, Pujiadi A, Tridjaja B, Mulya GD. Dian Rakyat, Jakarta;2007

2. Dillingham TR. Electrodiagnostic Medicine II; Clinical Evaluation and Findings. In:

Braddom RL et al. Physical Medicine and Rehabilitation 4th ed. Elsevier Sauders.

Philadelphia; 2011.p.209.

3. Committee of Physical Therapy Protocols Office of Physical Therapy Affair Ministry of

Health – Physical Therapy Management Facial Nerve Paralysis. Kuwait; 2007

4. Teixeria LJ. Physical therapy for Bells palsy (idiopathic facial paralysis). The Cochrane

Collaboration Published by John Wiley, Ltd.20089


PANDUAN PRAKTIK KLINIS

CERVIKAL SINDROME

I . Pengertian

Sekumpulan gejala berupa nyeri tengkuk, nyeri yang menjalar, rasa kesemutan yang
menjalar, spasme otot yang disebabkan karena perubahan struktural kolumna vertebra
servikal akibat perubahan degenerative pada diskus intervertebralis, atau pada ligamentum
flavum.

II. Etiologi dan Patogenesa

Nyeri servikal dapat disebabkan oleh beberapa hal sepeti: proses infeksi, perubahan
degenerative, trauma, tumor dan kelainan sistemik. Salah satu penyebab nyeri servikal
adalah radikulopati. Berbagai keadaan yang menyebabkan perubahan struktur anatomi
tulang leher dapat menimbulkan keluhan radikulopati. Sebanyak 34% dari populasi
mengalai nyeri cervial, 14% diantaranya mengalami lebih dari 6 bulan, lebih sering pada
populasi usia diatas 50 tahun.

III. Manifestasi klinis

a. Nyeri ditengkuk kadang terasa otot otot tengkuk terasa kenacang

b. Nyeri menjalar sampai ke lengan, terasa kesemutan

c. Kesemutan pada sebelah distal sesuai dermatom

d. Keterbatasan gerak bisa terjadi pada leher maupun bahu

IV. Pemeriksaan Fisik

a. Inspeksi : posisi kepala tertekuk menjauh sisi yang sakit (Postur)

b. Palpasi : nyeri tekan, kekakuan, spasme

c. Cervikal Movement : nyeri gerak

d. Test sensorik & motorik


e. Spesial test : spurling , distraksi

V. Pemeriksaan Penunjang

a. Foto polos cervikal , penting untuk mendeteksi adanya subluksasi, fraktur maupun proses
degeratif

b. EMG dilakukan bila terjadi gangguan motorik yang cukup berat sehingga pasien
mengalami kelemahan motorik, dengan EMG dapat membantu mengetahui apakah
gangguan neurogenik atau tidak, menentukan level dari iritasi radiks, membedakan lesi
radiks dan lesi saraf perifer, membedakan adanya iritasi atau kompresi radiks

VI. Diagnosis Banding

a. Myelopati servikal

b. Tumor spinal, tumor pancoast

c. Motor neuron disease

d. Herpes zooster

e. Brachial plexopathy

f. Periferal nerve entrapment10

VII. Tatalaksana Rehabilitasi Medik dan edukasi

Tujuan tatalaksana:

a. Mengurangi nyeri dengan modalitas

b. Mengoptimalkan ROM

c. Meningkatkan fungsi

d. Memperbaiki postur

e. Menjaga stabilitas sendi

Terapi konservatif/ Rehabilitasi

1. Modalitas terapi panas seperti diathermy (shortwave, microwave, ultrasound) atau


dingin untuk mengurangi spasme, TENS untuk mengatasi nyeri, Traksi servikal apabila

tidak terdapat kontraindikasi

2. Terapi latihan terdiri dari latihan peregangan (stretching) dan latihan penguatan otot

(strengthening exc)

3. Orthosis servikal berupa Soft Cervikal Collar untuk immobilisasi leher dan mengurangi

kompresi radiks saraf (24 jam/hari selama seminggu, selanjutnya pemakaian jika

beraktifitas saja mulai pada minggu kedua)

VIII. Edukasi

Edukasi pasien meliputi, penjelasan tentang penyakitnya, risiko penyakit, proper body,

memodifikasi aktifitas/ pembatasan aktifitas, home exercising

IX. Daftar Pustaka

1. DePadma MJ, Slipman CW. Common Neck Problem. In: Braddom RL (ed). Physical

Medicine and Rehabilitation, 4th ed, Elsevier Saunders Publishing, Philadelphia;

2011:787-816

2. Lipetz JS, Lipetz DI. Disorder of the cervikal spine. In: Frontera WR, DeLisa JA (eds).

Delisa’s Physical Medicine and Rehabilitation, 5th ed, Lippincott William & Wilkins,

Philadelphia: 2010.p 811-36

3. Mc Kenzie R, The cervikal and Thoracic Spine Mechanical Diagnosis and Therapy. Spinal

Publication Ltd. New Yor k.1990.p 608-71


PANDUAN PRAKTIK KLINIS

LOW BACK PAIN

I . Pengertian

Adalah nyeri yang dirasakan di daerah punggung bagian bawah yaitu diantara iga terbawah

sampai lipatan gluteal.

II. Etiologi dan Patogenesa

1. Mekanikal

a. Strain, sprain lumbal (70%)

b. Proses degenerative diskus dn facet (10%)

c. Herniasi diskus (4%)

d. Stenosis spinalis (3%)

e. Fraktur kompresi osteoporotik (4%)

f. Spondilolisthesis (2%)

g. Fraktur traumatik (<1%)

h. Penyakit kongenital (<1%)

2. Non Mekanikal

a. Neoplasia

b. Infeksi

c. Osteomyelitis

d. Abses epidural

e. Abses paraspinal

f. Artritis inflamatorik

g. Ankylosing spondylitis
III. Faktor Risiko

a. Pekerjaan dan akifitas fisik berat.

b. Etiologi mekanik : mengangkat, menarik, mendorong, berputar, menggeser, duduk

lama.

c. Melakukan pekerjaan manual yang kombinasi beberapa gerakan: mengangakat dan

memutar penggung dengan membawa beban yang berulang ulang dalam kecepatan

tertentu.

IV. Anamnesis

a. Lokasi nyeri

b. Karakteristik nyeri

c. Onset, durasi, frekuensi

d. Faktor pemicu

e. Pekerjaan

f. Aktifitas sehari hari

V. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik

a. Observasi postur, deformitas tulang belakang, pola jalan12

b. Palpasi tulang dan otot, trigger point, spasme, tonus

c. Gerakan ROM spine, ekstremitas

d. Test neurologi; miotom L1-S1, sensitifitas sesuai dermatom L1-S1, Refleks,


keseimbangan

dan koordinasi
e. Low Back manuver; SLR, Kernig test, genslen sign dan patric contra patric

VI. Keterbatasan fungsional

Keterbatasan fungsional

a. Lingkup gerak sendi

b. Transfer dan mobilisasi

c. Aktifitas Kehidupan sehari hari dan bekerja

VII. Pemeriksaan Penunjang

a. Radiologik Foto polos vertebrae

b. Neurofisiologi diperlukan bila nyeri menetap, untuk engetahui adanya entrapment pada
radiks setinggi apa sesuai hasil dari EMG (EMG, Needle EMG dan H refleks, Somatosensory
Evoked Potensial)’

VIII. Tujuan Tatalaksana

Tujuan tatalaksana:

a. Mengurangi nyeri

b. Meningkatkan kekuatan otot otot trunkus dan panggul

c. Meningkatkan stabilitas lumbal

d. Mengurangi spasme otot lumbal

IX. Tatalaksana Rehabilitasi Medik dan edukasi

Terapi konservatif/ Rehabilitasi

1. Edukasi pasien, konseling fisik, okupasi, vokasional dan psikososial

2. Modalitas fisik; cold pack (48 jam pertama), hot pack, ultrasound dan TENS

3. Orthosis; LSO bila perlu


4. Aktifitas fisik terkontrol, tirah baring lama

5. Terapi latihan;

a. Peregangan lumbal dan panggul +ROM exercise (+heat/cold modalities)

b. Penguatan ekstensor trunkus + panggul

c. Latihan subluksasi lumbal

6. Okupasi; body mechanics dan posture training

7. Manual medicine; manipulasi untuk mengurangi spasme

X. Daftar Pustaka

a. Abd OE. Low Back prain. In: Frontera WR, Silver JK, Rizzo TD (eds) Essentials of Physical

Medicine and Rehabilitation, second edition, Saunders publishing, Philadelphia; 2008:247-


52

b. Barr KP, Harrast MA. Low Back Pain. In: Braddom RL (ed), Physical Medicine and
Rehabilitation, 4th edition, Elsevier Saunders Publishing, Philadelphia; 2011: 871-912
PANDUAN PRAKTIK KLINIK

STROKE

I . Pengertian

Stroke dalah kumpulan gejala kelainan neurologis yang timbul mendadak akibat gangguan
peredaran darah otak yang disebabkan penyakit atau kelainan yang juga merupakan factor
risiko.

Gejala tersebut dapat disertai atau tidak disertai gangguan kesadaran dan manifestasi klinis
tergantung lokasi lesi neuroanatomis.

II. Klasifikasi Stroke

1. Berdasarkan lokasi neuroanatomis dari lesi - Kortikal - Subkortikal - Batang otak

2. Berdasarkan letak gangguan sirkulasi - Sindroma sirkulasi anterior total - Sindroma


sirkulasi anterior partial - Sindroma sirkulasi posterior - Sindroma lacunar

3. Berdasarkan sifat gangguan aliran darah

- Non hemoragik

- Hemoragik

4. Berdasarkan waktu terjadinya

- Stroke in progression

- Stroke komplit

III. GEJALA KLINIS

Kelemahan anggota gerak merupakan kelainan yang sering ditemukan pada penderita
stroke.
Kelainan lain yang juga sering ditemukan adalah gangguan bicara, menelan, afasia,
gangguan kognitif, hiangnya fungsi sensorik, dan gangguan penglihatan. Peningkatan tonus
otot, kelemahan, depresi dan nyeri merupakan gejala yang dapat timbul setelah stroke.

IV. PEMERIKSAAN FISIK

Diperlukan pemeriksaan nerolgis menyeluruh, pemeriksaan ini meliputi

1. Pemeriksaan kesadaran dengan glasgow Coma Scale

2. Evaluasi status mental dengan Mini Mentl State evaluation

3. Pemeriksaan saraf cranial

4. Pemeriksaan sensibilitas superfisial dan dalam, propioseptif, diskriminasi 2 titik

5. Pemeriksaan lingkup gerak sendi

6. Pemeriksaan kekuatan otot dan tonus otot

7. Pemeriksaan refleks fisiologis

8. Pemeriksaan refleks patologis14

9. Pemeriksaan koordinasi motorik

10. Uji keseimbangan statis dan dinamis

11. Uji fungsi lokomotor

12. Uji fungsi komunikasi

13. Uji fungsi menelan

14. Uji fungsi berkemih

15. Uji fungsi defekasi

16. Uji kemampuan fungsional dan perawatan diri

17. Uji pola jalan

V. Keterbatasan Fungsional
1. Keterbatasan gerak

2. Keterbatasan keseimbangan

3. Gangguan menelan

4. Gangguan kognitif (memori, perhatian, persepsi ruangan)

5. Gangguan komunikasi

6. Gangguan berkemih dan defekasi

7. Gangguan psikis

8. Gangguan fungsional dan perawatan diri

VI. Pemeriksaan Penunjang

Sesuai dengan DPJP.

VII. Tujuan Tatalaksana Rehabilitasi Medik

Mengoptimalkan kemampuan fungsi dengan memodifikasi aktifitas, sehingga insan paska

stroke mampu beradaptasi, mandiri dengan kualitas hidup yang sesuai.

VIII. Tatalaksana Rehabilitasi Medik

Rehabilitasi Stroke adalah pengelolaan Medis dan Rehabilitasi komprehensif terhadap


disabilitas yang diakibatkan oleh stroke melalui pendekatan neurorehabilitasi. Program
Rehabilitasi perlu disusun sesuai dengan tingkat keparahan akibat serangan

stroke. Rehabilitasi stroke fase akut dilaksanakan selama pasien rawat inap. Pada kondisi
medis dan neurologis stabil/ subakut pasien bisa dilakukan rehabilitasi awat inap maupun
rawat jalan/ home care. Sedangkan fase kronik/ lanjut rehabilitasi dilakukan dengan rawat
jalan. Program rehabilitasi multidisiplin secara komprehensif dimulai dari fase akut secara
inter maupun intra disiplin dengan spesialis lain.

1. Latihan/ Exercise

Program latihan fisik bertujuan untuk meningkatkan kapasitas ungsi dengan penekanan
pada peningkatan kemamuan untuk melakukan aktifitas sehari hari (ADL).

Instruksi mengenai tehnik tehnik kompensasi dan edukasi yang dibutuhkan psien

diajarkan juga pada keluarga atau caregiver penting untuk mempersiapkan kembalinya

pasien kerumah. Bukti bukti menunjukkan bahwa terapi fisik bermanfaat terhadap

reorganisasi korteks paska stroke, yang di iringi dengan perbaikan kontrol motorik dan

kapasitas fungsinya.15

2. Disfagia

Penanganan disfagia neurogenk tergantung pada fasenya, meliputi penggunaan selang

nasogastrik, modifikasi diet (misal: cairan kental, makanan dihaluskan) dan terapi

menelan (misal: penggunaan tehnik kompensasi seperti mengangkat dagu saat

menelan)

3. Komunikasi

Gangguan komunikasi bisa berupa afasia dan disartria. Tindakan rehabilitasi diberikan

sesuai dengan penilaian (uji fungsi komunikasi) yang terdapat pada pasien

4. Kognisi

Stroke seringkali mempengaruhi kemampuan kognisi pasien. Perubahan dalam

memori, perhatian, insight/ wawasan dan kemampuan penyelesaian masalah sering

ditemukan pada pasien dengan stroke.

Penentuan tingkatan dari gangguan kognisi dapat ditentukan dengan mini mental

state. Edukasi dan latihan keluarga merupakan komponen penting dalam rehabilitasi

kognitif.

Pengenalan dan penatalaksanaan depresi paska stroke merupakan hal yang sangat

penting, karena depresi dapat menyebabkan penurunan kognitif paska stroke

5. Ortotis

Ortosis dapat membantu kegiatan mobilisasi penderita stroke. Ortosis dapat


membantu kompensasi pada gangguan dorsofleksi pergelangan kaki (drop foot),

mengontrol pergerakan kaki, spastisitas dan stabilisasi sendi lutut (cenderung

hiperekstensi).

6. Bantuan Ambulasi

Adanya hemiparesis pada penderita stroke menyebabkan banyak penderita stroke

yang membutuhkan alat bantu untuk ambulasi, seperti tongkat, tongkat kaki empat/

hemi walker, atau pada beberapa kasus dapat menggunakan walker konvensional.

Pada kondisi yang berat kursi roda dibutuhkan untuk ambulasi pasien.

7. Subluksasi bahu

Subluksasi bahu umum terjadi pada kasus hemiplegi pasca stroke/ Menopang lengan

dengan menggunakan penopang lengan/ sling arm dapat mencegah terjadinya

subluksasi. Pada nyeri bahu akibat terjadinya subluksasi dapat diberikan TENS dan

Elektikal stimulation.

8. Evaluasi untuk dpat bekerja kembali

Evaluasi dilakukan terhadap kemampuan fungsional yang masih dimiliki dan

ditingkatkan kemampuannya untuk dapat melakukan pekerjaan seperti sebelum

terkena stroke dengan atau tanpa alat bantu

9. Alat bantu adaptif

Alat bantu adaptif merupakan alat bantu yang bentuk dan fungsinya disesuaikan untuk

meningkatkan kemampuan fungsi seorang penderita stroke untuk mampu melakukan

aktifitas yang diperlukan.

Ix. Komplikasi

1. Nyeri
2. Subluksasi bahu, frozen shoulder

3. Ulkus dekubitus16

4. Kontraktur

5. Penyakit sendi

6. Osteoporotik

7. Gangguan vaskuler (DVT)

8. Gangguan respirasi (Bronkhitis, bronkopneumonia)

X. Daftar Pustaka

1. Pengembangan konsep Nasional Penanggulangan Stroke, Depkes, 2001

2. Standar Operasional Prosedur, Depkes, 2002

3. Konsensus Nasional Rehabilitasi Stroke, Perdosri, 2004

4. Konsensus Nasional Pengelolaan Stroke di Indonesia, Perdossi, 1999

5. Bradstater ME. Important Practical Issues in Rehabilitation of Stroke Patients. In: Stroke

Rehabilitation, Williams and Wilkins. 1987, p.90-101.

6. Sten J. Stroke. In: Frontera WR, editor. Essenials of Physical Medicine and

Rehabilitation, 2nd ed. Saunders Elsevier. Philadelphia; 2008 .p 887-91.17


PANDUAN PRAKTIK KLINIK

CHF

I. Pengertian

Gagal jantung (CHF) adalah sutu keadaan dimana jantung tidak dapat memompakan darah
yang cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh walaupun aliran darah balik
cukup.

II. Etiologi

Penyebab gagal jantung dikategorikan dalam 6 kategori:

1. Kegagalan yang berhubungan dengan abnormalitas miokrad, dapat disebabkan oleh


hilangnya miosit (infark miokard), kontraksi yang tidak terkoordinasi (Left Bundle Branch
Block), berkurangnya kontraktilitas (kardiomiopati).

2. Kegagalan yang berhubungan dengan overload (hipertensi).

3. Kegagalan yang berhubungan dengan abnormalitas katup.

4. Kegagalan yang disebabkan oleh abnormalitas ritme jantung (takikardi).

5. Kegagalan yang disebabkan oleh abnormalitas perikard atau efusi perikard (tamponade

jantung).

6. Kelainan kongenital jantung.

III. Anamnesis

1. Sesak nafas bila melakukan aktivitas


2. Pasien mengeluh cepat lelah bila melakukan pekerjaan dan berjalan kaki

3. Edema perifer, edema didapatkan pada tungkai dan membaik bila beristirahat

4. Takikardi sering terjadi baik saat melakukan aktivitas maupun sedang beristirahat

IV. Pemeriksaan Fisik

Status generalisata : dilakukan pemeriksaan tanda vital, tekanan darah, nadi, RR dan suhu

a. Inspeksi : penilaian keadaan umum saat istirahat dan selama aktifitas jalan, apkah

pasien mengalami sesak nafas, posisi saat beristirahat

b. Palpasi : palpasi jantung (ictus cordis), v jugularis apakah terjadi peningkatan,

pembesaran hepar dan lien (hepatosplenomegali)

c. Perkusi : didapatkan pembesaran pinggang jantung

d. Auskultasi : penilaian bunyi jantung (murmur, gallop)

V. Pemeriksaan penunjang (sesuai DPJP)

a. Rontgen thoraks untuk melihat adanya pembesaran jantung atau kardiomegali.

b. Hasil EKG, untuk menilai adanya cardiomegali dan hipertrofi ventrikel kiri.

VI. Kriteria dignosis

Sesuai dengan gambaran klinis dan hasil pemeriksaan penunjang Diagnosis ditegakkan
berdasarkan kriteria NYHA.

VII. Kalsifikasi

Berdasarkan New York Heart Assosiation dibagi dalam 4 kelas

Kelas 1. Aktifitas sehari-hari tidak terganggu, sesak timbul bila melakukan aktifitas yang
berat
Kelas 2. Aktifitas sehari hari sedikit terganggu

Kelas 3. Aktifitas sehari hari sangat terganggu, saat istirahat lebih nyaman

Kelas 4. Saat istirahat terasa sesak.18

VIII. Tujuan tatalaksana

a. Memperbaiki performa fisik


b. Memperbaiki keluhan sesak nafas
c. Meningkatkan kemampuan aktifitas
d. Meningkatkan toleransi latihan
e. Menurunkan mortalitas dan morbiditasMenurunkan rehospitalisasi

IX. Tatalaksana

Inpatient

a. Mobilisasi sesuai kelas aktifitas fungsional

Functional Capasity 1 > 6 Mets (Metabolik equivalent)

Functional Capasity 2 berkisar 5-6 mets

Functional Capasity 3 berkisar 3-4 mets

Functional Capasity 4 berkisar 1-2 mets

b. Latihan ROM keempat ekstremitas secara aktif tanpa tahanan Out patient fase initial

(selama 4-6 minggu)

c. Awal latihan dilakukan uji jalan 6 menit untuk menentukan metabolik equivalent

setelah rawat inap

d. Latihan aerobik jalan dengan intensitas rendah dengan target HR 50% HR maks

e. Latihan ergocycle 50-60% HR max

f. Latihan relaksasi
Tujuan menigkatkan kelas fungsional menurut NYHA

X. Edukasi

Outpatient fase progresif

a. Latihan aerobik jalan ditingkatkan dengan target HR 50% dari HR maks

b. Latihan ergocycle 60-70% HR maks

c. Latihan relaksasi

Tujuan meningkatkan kelas fungsional NYHA

Lama latihan 6-26 minggu

Outpatient fase pemeliharaan

d. Latihan aerobik sesuai fase progresif

e. Latihan ergocycle sesuai fase progresif

f. Latihan relaksasi

Tujuan ketahanan aerobik dan toleransi latihan dengan target HR 70% HR maks Lama

latihan 52 minggu

XI. Daftar Pustaka

Guidlines for Cardiac Rehabilitation and Secundary Prevention Program 3rd ed. American

association of Cardiovacular & Pulmonary Rehabilitation. 1999: 19.21.45


PANDUAN PRAKTIK KLINIK

CARPAL TUNNEL SYNDROME

I . Pengertian

Adalah neuropati akibat kompresi n medianus pada terowongan karpal dipergelangan


tangan. Kelainan ini merupakan mononeuropati yang tersering akibat kompresi saraf pada
anggota gerak.

II. Etiologi Dan Patogenesa

Biasa dihubungkan dengan jenis pekerjaan tertentu seperti posisi pergelangan tangan dan

tangan yang kurang benar, penekanan pada bagian dasar telapak tangan dan gerkan yang

berlebihan dan vibrasi.

III. Manifestasi Klinis

a. Gejala klasik CTS adalah baal dan parestesi pada digit I, II, III dan setengah lateral digiti

IV. Gejala awal berupa terbangun pada malam hari dengan rasa baal atau nyeri pada

jari-jari. Gejala pada siang hari biasanya disebabkan oleh aktifitas yang memposisikan

pergelangan tangan pada posisi fleksi atau ekstensi berlebihan atau gerakan repetitif

yang berlebihan

b. Gejala nyeri pada sisi volar pergelangan tangan dan pegal pada forearm juga dapat
ditemukan. Gejala berkurang dengan mengibas ngibaskan tangan (flick sign)

c. Gangguan otonom dapat dideskripsikan sebagai adanya edema pada tangan, kulit

kering dan dingin.

d. Pada tahap yang lebih lanjut, rasa baal dirasakan konstan dan gangguan motorik

tampak lebih jelas, dengan keluhan kelemahan yang berhubungan dengan prehensi/

kemampuan memegang tangan, sehingga pasien akan menyampaikan bahwa dia

sering menjatuhkan benda yang digenggam.

e. Kesulitan melakukan gerak repetitif seperti mengetik, mengemudi kendaraan roda dua,

kesulitan melakukan ADL mengikat tali sepatu, mengancingkan baju dan memasukkan

kunci kedalam lubang kunci

IV. Pemeriksaan Fisik

1. Inspeksi kedua telapak tangan, dibndingkan antara sisi yang sakit dan sisi yang sehat,

perhatikan asimetris eminentia thenar dan hypothenar. Kelemahan pada otot thenar

dapat ditest dengan dinamometer atau secara klinis dengan memberikan tahanan pada

gerakan abduksi digiti I

2. Pemeriksaan sensorik dengan diskriminasi 2 titik, merupakan test yang spesifik tetapi

tidak sensitif

3. Test khusus adalah test phalen (sensitifitas 68%, spesifisitas 73%), Tinel (50%, 77%)

a. Test phalen dilakukan dengan fleksi pada pergelangan tangan sekitar 90° selama 1

menit, hasil positif akan menimbulkan gejala CTS. Test reserve phalen dilakukan

dengan cara serupa tetapi dalam posisi ekstensi

b. Test tinel dilakukan dengan mengetuk pergelangan tangan bagian volar, distal dari

wrist crease. Hasil positif bila gangguan sensoris yang menjalar kedaerah yang di

inervasi oleh nervus medianus

c. Test kompresi dilakukan dengan penekanan dengan kedua ibujari pada daerah
carpal tunnel selama 1 menit20

4. Atrofi dan test kekuatan otot abduktor pollicis brevis terbukti sebagai test yang spesifik

tapi tidak sensitive

V. Keterbatasan Fungsional

Sulit tidur dan sering terbangun pada malam hari karena nyeri dan kesemutan

Kesulitan dalam melakukan gerakan berulang dalam aktifitas sehari hari (mengendarai

kendaraan bermotor, menggunakan keyboard komputer)

Gejala lanjut karena kelemahan otot thenar sehingga kesulitan bila menggenggam

Kesulitan menalikan sepatu, mengkancingkan baju dan membuka kunci

VI. Pemeriksaan Penunjang

EMG dan gambaran konduksi saraf diperlukan bila tidak terjadi perbaikan dalam waktu 3
bulan penatalaksanaan, terdapat gangguan motorik yang cukup/ kelemahan otot, atrofi
otot.

VII. Diagnosis Banding

a. Radikulopati servikal

b. Pleksopati brakhial

c. Neuropati median proksimal

d. Neuropati ulnar atau radial

e. Artritis sendi carpal metacarpal

f. Tendinitis fleksor carpi radialis

g. Artritis pergelangan tangan


VIII. Tujuan TataLaksana

Tujuan tatalaksana:

a. Mengurangi nyeri dan kesemutan

b. Meningkatkan kekuatan otot

c. Mengoptimalkan kemampuan fungsi tangan

IX. Tatalaksana Rehabilitasi Medik dan edukasi

Terapi konservatif/ Rehabilitasi

1. Modifikasi pekerjaan sementara waktu termasuk modifikasi postur

2. Tendon and nerve gliding exercise

3. Modalitas

Infra red dan diathermy dapat membantu memperbaiki vaskularisasi, mengurngi nyeri

dan meningkatkan ROM aktif

Pulsed Ultrasound bersama dengan NSAID gel digunakan untuk mengurangi inflamasi

4. Ortotik

5. Selama periode istirahat, dilakukan stretching fleksi dan ekstensi pergelangan tangan

dan forearm dengan dibantu oleh tangan yang sehat (tendon & nerve gliding excercise)

latihan strengthening dapat dilakukan, namun hindari strengthening yang agresif21

X. Komplikasi

Penyakit :

gangguan sensorik kronik/ menetap

impairment motorik

kerusakan saraf permanen

Terapi :
Efek samping medikamentosa

Komplikasi tindakan bedah

XI. Daftar Pustaka

1. Zhao M, Burke D. Median neuropathy (Carpal Tunnel Syndrome). InFrontera WR,

editor. Essentials of Physical Medicine and Rehabilitation. 2nd ed. Saunders Elsevier.

Philadelhia;2008. P173-7

2. Richardson JK, Craig A. Rehabiitation of patient with neuropathies. In Braddom RL et al.

Physical Medicine and Rehabilitation. 4th ed Elsevier Saunders. Philadelphia; 2011. P

1084-5

3. Dellagata EM, Nolan Jr TP. Electromagnetic waves laser, Diathermy and Pulsed

Elctromagnetic Fields. In : Michlovitz SL et al. Modalities for Theurapeutic Intervention.

5ed. F.A Davis Company. Philadelphia; 2012.p.147-8

4. Nadler SF, Schuler S. Cumulative Trauma Disorder. In: DeLisa JL et al. Physical Medicine

and Rehabilitation Principles and Practice. 4th ed. Lippincott William and Wilkins.

Philadelphia; 2005.p.623-4

5. Freeman TL, Johnson EW, Brown DP. Electrodiagnostic Medicine and Clinical

Neuromuscular Physiology. In Cuccurullo SJ. Physical Medicine and Rehabilitation

Board Review. 4th ed. Demos Medical Publishing. New York;2005.p.401-222


PANDUAN PRAKTIK KLINIK

OA GENU

I . PENGERTIAN

Osteoartritis (OA) adalah suatu kelainan sendi kronis (jangka lama) dimana terjadi proses
pelemahan dan disintegrasi dari tulang rawan sendi yang disertai dengan pertumbuhan
tulang dan tulang rawan baru pada sendi. Kelainan ini merupakan suatu proses degeneratif
pada sendi yang dapat mengenai satu atau lebih sendi.

II. Etiologi dan Patogenesa

OA mengubah keseimbangan antara degradasi dan sintesis tulang rawan artikular dan
tulang subkondral. Osteoartritis lutut dapat muncul dari faktor mekanik dan idiopatik.
Osteoartritis lutut dapat melibatkan salah satu atau semua dari tiga kompartemen lutut
utama : medial, patellofemoral dan lateral. Kompartemen medial paling sering terlibat dan
sering menyebabkan runtuhnya ruang medial sendi dan dengan demikian menyebabkan
deformitas genu varum (bowleg). Keterlibatan kompartemen lateral dapat menyebabkan
deformitas genu valgum (knock knee). Artritis dalam satu kompartemen yang kemudian
mengalami perubahan/ stress biomekanik, akhirnya mengarah pada keterlibatan
kompartemen lainnya Osteoartritis secara perlahan menjadi penyebab paling umum dari
disabilitas untuk usia tengah baya dan telah menjadi penyebab paling umum dari disabilitas
bagi mereka yang
berusia >65tahun Sebelum usia 50 tahun, pria memiliki prevalensi dan insiden lebih tinggi
dibanding wanita. Setelah usia 50 tahun perempuan memiliki prevalensi dan insiden lebih
tinggi secara keseluruhan.

III. Faktor Risiko

a. Trauma, yaitu patah tulang yang mengenai permukaan sendi.

b. Pekerjaan yang menimbulkan beban berulang pada sendi.

c. Obesitas (kegemukan), yang menyebabkan peningkatan beban pada sendi, terutama

sendi lutut.

d. Riwayat OA pada keluarga.

e. Densitas (kepadatan) tulang yang rendah.

IV. Gejala Klinis

a. Nyeri merupakan keluhan utama tersering dari pasien-pasien dengan OA yang

ditimbulkan oleh kelainan seperti tulang, membran sinovial, kapsul fibrosa, dan spasme

otot-otot di sekeliling sendi.

b. Nyeri awalnya tumpul kemudian semakin berat, hilang timbul, dan diperberat oleh

aktivitas gerak sendi. Nyeri biasanya menghilang dengan istirahat.

c. Kekakuan pada kapsul sendi dapat menyebabkan kontraktur (tertariknya) sendi dan

menyebabkan terbatasnya gerakan. Penderita akan merasakan gerakan sendi tidak licin23

yang disertai bunyi gemeretak (krepitus). Sendi terasa lebih kaku setelah istirahat.

Perlahan-lahan sendi akan bertambah kaku.

d. Sendi akan terlihat membengkak karena adanya penumpukan cairan di dalam sendi.

Pembengkakan ini terlihat lebih menonjol karena pengecilan otot sekitarnya yang

diakibatkan karena otot menjadi jarang digunakan


- Nyeri sendi di sekitar lutut selama weight bearing dan berkurang dengan istirahat,

namun dengan berkembangnya penyakit, rasa sakit menetap sampai saat istirahat

- Nyeri tekan pada lutut sesuai kompartemen yang terlibat

- Penurunan ROM karena kekakuan sendi atau pembengkakan

- Sensasi locking karena berbagai penyebab, termasuk debris dari degenerasi tulang

rawan atau meniskus pada sendi, peningkatan perlekatan permukaan artikular,

kelemahan otot (kuadrisep femoris) peradangan jaringan

- Peradangan dalam berbagai derajat

V. Pemeriksaan Fisik

Inspeksi : - Hipertrofi tulang

- Varus deformitas dari keterlibatan kompartemen medial

Palpasi - Peningkatan suhu

- Efusi sendi - Nyeri tekan sendi

ROM

- Nyeri saat fleksi lutut

- Penurunan fleksi sendi karena nyeri - Krepitasi

Stabilitas sendi - Ketidak stabilan mediolateral

Neurologis

- Umumnya normal, dengan pengecualian penurunan kekuatan otot terutama daerah

kuadriseps, karena penurunan aktifitas otot tersebut sebagai guarding sekunder

terhadap rasa nyeri

VI. Keterbatasan Fungsional


- Kekauan sendi dan nyeri selama weight bearing mengarah langsung ke kesulitan
berdiri lama, transfer, berjalan dan partisipasi dalam aktifitas fisik atau program
latihan
- Keterlibatan kompartemen patellofemoral dapat menyebabkan kesulitan naik tangga
- Dapat diperpaah oleh faktor faktor sekunder seperti depresi, kapasitas aerobik renda
dan kondisi penyakit kronis yang lain
-

VII. Tujuan Tatalaksana Rehabilitasi Medik

Fisioterapi bertujuan untuk

- Memelihara mobilitas sendi dan meningkatkan kekuatan otot. Memperkuat otot-otot

di sekitar sendi dapat memberikan efek proteksi terhadap sendi yang terkena OA

dengan meningkatkan penyerapan tekanan dan mengurangi beban terhadap sendi.24

- Mengurangi nyeri - Mengoreksi dan mencegah kelainan biomekanik

- Memperbaiki kekuatan otot, fungsi dan qualitas hidup

VIII. Tatalaksana Rehabilitasi Medik dan edukasi

Latihan yang dilakukan dapat berupa gerakan aerobik, namun tetap menghindari aktivitas

yang memberatkan sendi. Latihan secara teratur dapat berguna dalam menurunkan berat

badan yang pada akhirnya membantu perbaikan OA, mengingat obesitas merupakan salah

satu faktor risiko OA.

Pada fase akut: - Protection, rest, ice, compression dan elevation

Rehabilitasi: - Latihan penguatan statis atau dinamis dapat mempertahankan atau


meningkatkan

kekuatan otot, sehingga memperbaiki atau mencegah keainan biomekanik dan

kontribusinya terhadap disfungsi dan degenerasi sendi - Transcutaneus electrical nerve


stimulation (TENS) untuk meningkatkan ambang nyeri - Tongkat atau walker dapat
mengurangi beban panggung atau lutut, sehingga

mengurangi rasa sakit dan mencegah jatuh


- Penggunaan knee brace pada osteoartritis lutut unikompartemental untuk

meningkatkan fungsi - Pengurangan berat badan secara non farmakologik dengan retriksi
intake kalori dan

lemak serta peningkatan aktifitas fisik

- Latihan aerobik dapat mengurangi rasa sakit dan meningkatkan status fungsional serta

kapasitas pernafasan, meningkatkan toleransi aktifitas, ambang rasa sakit dan dapat

memiliki efek posistif pada suasana hati dan motivasi untuk berpartisipasi dalam

kegitan lainnya.

IX. Komplikasi

Potensi komplikasi penyakit

- Berkurangnya mobilitas dengan komplikasi sindrom imobilitas dan deconditioning

- Antalgic gait dapat menyebabkan kelainan pinggul kontralateral dan skoliosis lumbal -
Peningkatan risiko jatuh

- Nyeri kronik

X. Daftar Pustaka

1. Wilkins AN, Phillips EM. Knee Osteoarthritis In: Frontera W, Silver J, Rizzo T, Eds,

Essential of Physical Medicne and Rehabilitation 2nd Edition. Elsevier Inc. Philadelphia,

2008. P 345-354

2. Stitik TP, Foye PM, Stiskal D, Nadler RR. Osteoarthritis, In: DeLisa, etal (eds). Physical

Medicine & Rehabilitation Principles and Practice 4th ed. Lippincort William & Wilkins,

Philadelphia: 2005.p 781-81025


PANDUAN PRAKTIK KLINIK

CEREBRAL PALSY

I. Pengertian

Cerebral Palsy adalah kelainan gerak dan postur yang disebakan oleh suatu penyakit atau
cedera yang bersifat non progresif pada otak yang immature.

II. Epidemiologi

2-3 per 1000 kelahiran hidup

III. Etiologi

a. Prenatal : kelainan kongenital, kelainan plsenta, infeksi, toksik

b. Neonatal : prematuritas, BBLR, infeksi, hipoksia, hiperbilirubinemia, perdarahan intra


kranial, partus lama

c. Post natal : trauma, infeksi, toksik, perdarahan intra kranial, tumor otak
IV. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik

a. Disfungsi motorik kasar dan halus

b. Gangguan gerak, transfer, ambulasi

c. Gangguan AKS : makan, minum, berpakaian, toileting, berhias

d. Gangguan komunikasi

e. Gangguan psikososial dan vokasional

Pemeriksaan Fisik

f. Keterlambatan tahapan perkembangan

g. Gerak dan postur berupa spastik atau diskinetik

h. Pola jalan

i. Evaluasi pendengaran

j. Pemeriksaan tonus dan spastisitas

k. Refleks primitif yang menetap

l. Evaluasi nervus kranialis

m. Evaluasi komunikasi

V. Klasifikasi

Berdasarkan pola gerakan dibagi menjadi lima

a. Spastik

b. Diskinetik

c. Hipotoni

d. Ataksia

e. Campuran

Berdasarkan penyebaran anatomi gangguan motorik dibagi menjadi


f. Monoplegia

g. Hemiplegia

h. Diplegia

i. Quadriplegia

j. Total body involvement26

Berdasarkan fungsi kemampuan motorik menurut Gross Motor Function

Classification System (GMFCS)

1. GMFCS I : anak dapat berjalan di dalamdan diluar ruangan dan naik

tangga tanpa bantuan

2. GMFCS II : anak dapat berjalan di dalamdan diluar ruangan dan naik

tangga dengan berpegangan

3. GMFCS III : anak dapat berjalan di dalam atau diluar ruangan pada

permukaan datar dengan alat bantu

4. GMFCS IV : dapat berjalan dalam jarak pendek dengan alat bantu namun

lebih sering dengan menggunakan kursi roda di dalam dan diluar rumah

5. GMFCS V : tidak dapat mobilisasi

VI. Pemeriksaan Penunjang (sesuai DPJP)

Laboratorium darah untuk mencari penyebab seperti infeksi TORCH

VII. Tujuan Tatalaksana

1. Mampu berkomunikasi untuk dapat mengekspresikan keinginan, pikiran, dan perasaanya


secara oral/ verbal dan non oral (melalui isyarat, tulisan atau simbol).

2. Mampu melaksanakan AKS, seperti merawat diri sendiri, aktifitas makan, defekasi/miksi,
mandi, berdandan dan berpakaian
3. Mobilitas : kemandirian dalam ambulasi, kemandirian sebagian dalam ambulasi,
ketergantungan total dalam ambulasi.

4. Berjalan di dalam rumah, menggunakan kursi roda di luar rumah, mampu berjalan
ditempat latihan dengan bantuan orang lain, dan dengan kursi roda pada lokasi lain,
mengguakan kursi roda untuk semua aktifitas’

VIII. Tatalaksana

1. Terapi disfungsi motorik

Kombinasi berbagai bentuk tehnikfasilitasi dengan latihan aktifitas motoric fungsional sesuai
tahap perkembangan mulai dari kontrol kepala hingga latihan berjalan untuk motorik kasar

Stimulasi gerakan dan ketrampilan tangan sesuai tahapan perkembangan yang sudah/
belum dicapai Metode inhibisi, fasilitasi, stimulasi

2. Casting/ splinting, ortosis

Resting atau night splint untuk memelihara ROM, misalnya pada ankle (mencegah plantar
fleksi) dan pada pergelangan tangan atau jari tangan untuk stabilisasi AFO Ankle Foot
Orthosis, untuk kontrol spastik equinus dan hiperekstensi lutut saat stance phase Hip
abduction orthosis, untuk mencegah kontraktur adduktor panggul dan dipasang juga pada
pasca operasi adduktor panggul

3. Tatalaksana gangguan bicara

Stimulasi bahasa

Stimulasi sesuai tingkat perkembangan27

Stimulasi perbendaharaan kata kata

4. Manajemen feeding dan drooling serta gangguan menelan

5. Terapi psikososial dan edukasional

IX. Edukasi

Edukasi keluarga dan lingkungan mengenai penanganan dalam hal interaksi keluarga
dengan penderita, serta lingkungan yang disesuaikan dengan kebutuhan anak tersebut.
X. Komplikasi

a. Kontraktur, deformitas muskuloskeletal

b. Skoliosis

c. Subluksasi/ dislokasi panggul

d. Infeksi pernafasan

XI. Daftar pustaka

1. Mattews D, Wilson P. Cerebral Palsy. In : Molnar GE (ed) Pediatric Rehabilitation

3rd ed. Philadelphia. Hanley and Belfus Inc. 1999: 193-213.

2. Bleck EE. Orthopaedic Management in Cerebral Palsy. Philadelphia. Stanford

University School of Medicine. Mac Keith Press, 1987:6-10

3. Erhardt RP. Cerebral Palsy. In: Hopkins HL, Smith HD (ed) Willard and Spackman’s

Occupationa; Therapy 8th ed. Philadelphia. JB Lippincott Company, 1993:430-443

4. Werner, David. Disabled Village Children 2nd ed. Palo alto. The Hesperian

Foundation, 1988.28
PANDUAN PRAKTIK KLINIK

FASCITIS PLANTARIS

I . Pengertian

Plantar Fascitis adalah overuse injury akibat robekan mikro (microtears) yang berulang
pada fascia plantaris. Secara klasik digambarkan sebagai reaksi peradangan lokal.

II. Etiologi dan Patogenesa

Plantar fascitis adalah salah satu cedera yang paling umum dijumpai pada pelari, dipicu oleh
perubahan dalam program latihan atlet (peningkatan intensitas, frekwensi,penurunan waktu
pemulihan, permukaan berjalan) Pada non atlit, kondisi ini dipicu oleh peningkatan
frekwensi berjalan, berdiri atau naik tangga. Faktor risiko seperti pes planus (kaki datar),
pes cavus dengan arcus yang tinggi dan rigid, pronasi yang berlebihan, obesitas, kontraktur
tendon achilles dan alas kaki yag kurang sesuai (arcus support yang tidak adekuat).

III. Gejala Klinis

a. Nyeri yang tajam pada daerah plantar tumit di dasar insersi fasia ke calcaneus
b. Nyeri memburuk dengan berdiri atau pada saat langkah awal (menapak saat bangun

pagi hari tanpa alas kaki), saat bangkit ke posisi berdiri atau setelah lama duduk

IV. Pemeriksaan Fisik

a. Palpasi menunjukkan adanya nyeri (tenderness) pada daerah fascia di tuberculum


kalkanealis medial, tapi tenderness dapat juga disepanjang plantar fascia

b. Keterbatasan ROM saat dorsofleksi akibat plantar fascia yang mengalami kekakuan
tendon achilles

c. Dorsofleksi dapat diuji dengan ekstensi lutut (knee straight) peregangan pada
gastroknemius dan pada posisi fleksi lutut untuk membedakan ketegangan pada otot-otot
gastroknemius atau soleus

d. Pemeriksaan neurologis harus dapat menggambarkan kekuatan otot normal, sensasi dan
refleks tendon dalam, keculai bila ada neuropati.

V. Keterbatasan Fungsional

a. Tergantung pada beratnya penyakit

b. Pasien mengeluhkan nyeri hanya saat berjalan atau berdiri lama

c. Hanya beberapa kasus parah sampai mengganggu aktifitas

VI. Pemeriksaan Penunjang

a. Radiologi tampak spur pada calcaneus

VII. Diagnosis Banding

a. Degenerative

b. Nerve entrapment29
VIII. Tatalaksana Rehabilitasi Medik

Tujuan tatalaksana:

a. Mengurangi nyeri dan memperbaiki biomekanik kaki yang salah

Terapi konservatif/ Rehabilitasi

1. Pada fase akut diberikan cryoterapy

2. Modalitas Ultrasound Diathermy

3. Diathermy pada tendon achiles dan gastroknemius / soleus

4. Penguatan otot intrinsik kaki

5. Latihan peregangan

6. Pemakaian alas kaki yang sesuai dengan bentuk kaki

7. Silicone heel pad

IX. Edukasi

Edukasi untuk menghindari aktifitas yang memberatkan, tidak menggunakan high heel dan

alas kaki yang keras

X. Daftar Pustaka

a. Slovick DM, Sokolov. Plantar Fascitis. In: Frontera WR, Silver JK, Rizzo TD (eds).
Essentials of Physical Medicine and Rehabilitation 2nd ed. Saunders publishing, Philadelphia;
2008: 469-474

b. Hansen PA, Willick SE. Musculoskeletal Disorder of the lower limb. In: Bradom RL (ed),

Phyisical Medicine and Rehabilitation, fourth edition, Elsevier Saunders publishing,


Philadelphia; 2011: 843-87030
PANDUAN PRAKTIK KLINIK

PENYAKIT PARU RESTRIKTIF DAN OBSTRUKTIF

I. Pengertian

Penyakit paru restriktif adalah penyakit paru yang memiliki karakteristik pada penurunan
volume paru yang disebabkan oleh adanya perubahan pada jaringan parenkim paru atau
karena adanya proses penyakit pada pleura, dinding dada atau komponen neuromuskuler

Beberapa kapasitas paru mengalami penurunan kapasitas yaitu kapasitas total paru,
kapasitas vital atau kapasitas paru istirahat. Penyakit paru obstruktif adalah gangguan
saluran nafas struktural atau fungsional yang menimbulkan perlambatan arus respirasi.
Gangguan dapat berupa intraluminar (tumor paru, sumbatan oleh skret, benda asing),
ekstraluminar (tumor yang menekan bronkhus, emfisema) ataupun penebalan mukosa
(hiperlasia, hipertrofi), bronchitis kronis, emfisema, asma, bronkiektasis.

II. Klasifikasi

1. Penyakit paru intrinsik atau penyakit pada parenkim paru


Penyakit tersebut menyebabkan peradangan atau terbentuknya jaringan parut pada
jaringan paru (interstitial lung disease), atau menyebabkan terisinya ruang udara pada paru
oleh eksudat dan debris (pneumonitis)

2. Penyakit ekstrinsik atau jaringan ekstra parenkim, yaitu pada dinding dada, pleura,

otot respirasi

Kelainan pada semua struktur tersebut dapat menyebabkan restriksi jaringan paru,
kelemahan fungsi ventilasi dan gagal nafas (misalnya penyait penyakit dinding dada diluar
otot atau adanya kelainan neuromuskular).

III. Anemnesis

a. Keluhan utama

b. Kronologis masalah

c. Riwayat fungsional (kemampuan berjalan, naik turun tangga)

d. Riwayat psikososial

e. Obat/ alergi

f. Riwayat medik/ operasi

g. Riwayat keluarga

IV. Pemeriksaan Fisik

a. Pemeriksaan umum

b. Penilaian fungsi

c. Penilaian musculoskeletal meliputi penilaian neurologis, pola nafas serta

penggunaan otot otot pernafasan tambahan

d. Kemampuan ekspektorasi, batuk efektif

e. Skala sesak dgn modifikasi borg scale

f. Kekuatan otot respirasi31


V. Pemeriksaan Penunjang (sesuai DPJP)

a. Laboratorium

b. Foto thoraks

VI. Keterbatasan Fungsional

Pemeriksaan AKS

Gangguan mobilisasi

VII. Tujuan Rehabilitasi

Tatalaksana terapi untuk penyakit paru restriktif bertujuan

a. Mempertahankan compliance paru dan dinding dada

b. Mencapai perkembangan paru dan dinding dada yang normal serta mencegah

deformitas thoraks pada anak anak

c. Memperbaiki toleransi latihan

d. Memperbaiki pola pernafasan

e. Mengurangi sesak serta mengkoordinasikan pola pernafasan dengan aktifitas kehidupan


sehari hari

f. Tujuan jangka panjangnyabadalah mencegah episode gagal nafas akut saat infeksi paru,
menambah daya tahan hidup tanpa trakeostomi

VIII. Tatalaksana

Terapi fisik dada (chest physical therapy)

Terapi fisik dada dapat di definisikan sebagai tehnik terapi yang diterapkan pada dinding
dada dari luar, dalam memfasilitasi pembersihan sekret/ mukus pada saluran nafas,
meningkatkan fungsi pernafasan dan mengurangi komplikasi yang terjadi, seperti air
trapping sampai terjadi hiperinflasion yang akan menyebabkan perburukan keadaan umum
pasien.

Terapi fisik dada meliputi:

a.Latihan batuk effektif dengan metode huffing coughing

b. Postural drainage, bertujuan untuk mengeluarkan mukus dari seluruh segmen paru
dengan menggunakan gaya gravitasi

c. Perkusi

d. Vibrasi

e. Terapetik exercise, exercise untuk mengatasi sesak nafas ergabung pada active cycle of
breathing yang erdiri dari : pursed lips breathing, diaphragmatic breathing dan huffing.
Latihan ini diberikan sesuai dengan derajat beratnya.

f. Latihan atau exercise meliputi, relaksasi, latihan otot dan latihn aerobik

Pada penyakit obstruktif paru:

Terapi inhalasi menggunakan alat nebulizer

IX. Edukasi

Nutrisi, asupan nutrisi penting diperhatikan pada pasien dengan gangguan paru. Gejala
penyakit paru restriktif seperti kesulitan bernafas, kelelahan dapat berkontribusi terhadap
berkurangnya asupan makanan. Penurunan yang berkepanjangan dalam32 asupan
makanan dapat menyebabkan kekurangan gizi dan kehilagan berat badan yang signifikan
Psikososial, depresi dan anxietas adalah dua komorbiditi utama yang berhubungan dengan
penyakit paru restriksi, seiring dengan penurunan drastis keterbatasan aktifitas fungsional.
Panik di hubungkan dengan serangan dyspneu yang berat. Anti depresan dan medikasi
dengan anti anxiolitik biasa digunakan sebagai pengobatan penunjang saat konseling
dengan psikiater.

X. Daftar Pustaka

1. Sharma sat. Restrictive lung disease. Article. Available from:


http://emedicine.medscape.com

2. Nusdwinuriningtyas N. Panduan tindakan rehabilitasi respirasi. Jakarta: departemen

Rehabilitasi Medik RS Dr Cipto Mangunkusumo.2006.p.49

3. Kohlam, Virginia C, Stulbrg, Michael S. Dyspnea: Assesment and management in

Hodgkin, John E: Pulmonary Rahbilitation. Guiedlines to succes; Lippincott Williams

& Wilkins 2000 3rd ed.p57-89

4. Kendric KR, Baxi SC, Smith RM. Usefulness of the modified 0-10 Borg Scale in

assesing the degree of dyspnea in patients with COPD and asthma. Journal of

emergency nursing. Vo;ume 26, issue 3, pages 216-222, June 2000

DISCLAIMER

PANDUAN PRAKTIK KLINIS REHABILITASI MEDIK

Dokumen tertulis PPK Rehabilitasi Medik serta perangkat implementasi ini disertai dengan

disclaimer (wewanti/ Penyangkalan) untuk:

1. Menghindari kesalah pahaman atau salah persepsi tentang arti kata standar, yang
dimaknai

harus melakukan sesuatu tanpa kecuali

2. Menjaga autonomi dokter bahwa keputusan klinis merupakan wewenangnya sebagai


orang di percaya pasien

Adapun disclaimer tersebut:

1. Disclaimer utama yaitu:


a. PPK dibuat untuk average patient

b. PPK dibuat untuk penyakit/ Kondisi patologis tunggal

c. Reaksi individual terhadap prosedur diagnosis dan terapi bervariasi

d. PPK dianggap valid pada saat di cetak

e. Praktek kedokteran modern harus lebih mengakomodasi preferensi pasien dan keluarga

2. Disclaimer tambahan, yang dapat disertakan pada disclaimer:

a. PPK dimaksudkan untuk tatalaksana pasien sehingga tidak berisi informasi lengkap
tentang penyakit

b. Dokter yang memeriksa harus melakukan konsultasi bila merasa tidak menguasai atau

ragu dalam menegakkan diagnose dan memberikan terapi

c. Penyusun PPK tidak bertanggung jawab atas hasil apapun yang terjadi akibat penyalah

gunaan PPK dalam tatalaksana pasien34

PENUTUP

Dengan telah tersusunnya Panduan Praktis Klinis ini diharapkan dapat menjadi Standar
Prosedur Operasional bagi dokter spesialis Rehabilitasi Medik yang sesuai dengan kebutuhan
dan kemampuan dokter spesialis rehabilitasi medik dan fasilitas pelayanan kesehatan di
Rumah Sakit Jasa Kartini Tasikmalaya. Melalui panduan ini diharapkan terselenggara
pelayanan medis yang efektif, efisien, bermutu dan merata sesuai sumber daya, fasilitas,
pra fasilitas, dana dan prosedur serta metode yang memadai.

Anda mungkin juga menyukai