Objek mataku belum berpindah, aku masih menatapmu intens dari kejauhan. Kau
berlari-lari kecil menghindari hujan, sedikit melompati genangan air di jalanan dan berdecak
sebal ketika kau dapati lembaran-lembaran kertas digenggaman tanganmu basah oleh rintik
hujan. Aku tersenyum dengan apa yang barusan aku lihat, aku memang menyukai hujan tapi
sekarang nampaknya aku lebih menyukai memerhatikanmu dibalik hujan. Aku membenarkan
kaca mataku ke posisinya lalu menyesap setengah hot chocolate yang belum lama aku pesan.
Kulihat kau membuka pintu masuk kedai ini, aku sedikit salah tingkat melihat kau berjalan
masuk dan melewatiku. Entah apa yang membuatku seperti ini, bahkan kau mungkin tidak
menyadari keberadaanku. Ini bukan pertama kalinya kita bertemu, aku hampir selalu
mendapatimu di kedai ini setiap kali hujan turun. Sebab itu kusebut dirimu Gadis Hujan.
Karena jika dalam cuaca pada biasanya, aku tidak pernah melihatmu berada disini. Hari ini,
kau sama seperti biasanya, tetap mencuri pandangku. Berulang kali aku memerintahkan
mataku untuk menatap objek lain selain dirimu, maka yang terjadi aku tetap menatapmu. Kau
yang hari ini memakai hijab maroon dengan setelan jeans dan coatmu yang tampak serasi
dengan sneaker putihmu sedang menunggu pesanan sambil menatap nanar lembaran-
lembaran yang kau bawa. Sesekali kau tiup lembaran-lembaran itu agar air bekas rintik hujan
itu mengering. Beberapa menit kemudian kau menghela nafas dalam. Seakan pasrah jika
melakukan itu tidak akan ada gunanya.
Hujan semakin deras turun. Sepertinya ia akan menumpahkan segala kegundahannya
hari ini, lihat saja langit begitu gelap pekat. Aku belum berniat beranjak dari tempat dudukku,
masih sibuk dengan lamunanku. Apa kau mengetahui keberadaanku? Sejujurnya aku
menyukai keberadaan kita yang tanpa sengaja selalu bertemu setiap kali hujan. Aku hampir
setiap hari mengunjungi kedai ini yang dulunya adalah tempat temanku bekerja part time.
Meski sekarang ia tidak lagi bekerja disini, tapi aku tetap kesini. Tempat ternyaman yang dari
dulu aku sukai. Sebenarnya satu pertanyaan yang menganggu pikiranku, kapan kita bisa
berbicara satu sama lain? Aku berdecak atas apa yang barusan aku pikirkan. Tidak, begini
saja sudah cukup pikiriku.
Aku akhirnya melangkahkan kaki menuju suatu meja didekat pintu, membayar
pesananku lalu berlalu pergi. Aku melihat kearah langit, hujan masih datang dengan ribuan
tetes air yang siap mengguyur tubuhku. Sial, aku lupa membawa jaket. Sebenarnya aku hanya
perlu menyebrangi jalan ini untuk sampai disebrang sana selebihnya aku bisa berjalan
diantara pertokoan dan tak akan kebasahan. Aku baru akan melangkahkan kakiku ketika
sebuah payung berada diatas kepalaku. Aku menoleh. Kudapati kau tersenyum tipis
kepadaku.
“Kau bisa menyebrang bersamaku agar tidak basah.”