HK 118602

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 96

BAB II

PEMBAHASAN

A. Penegakan Hukum

1. Pengertian Penegakan Hukum

Jimly Asshiddiqie mengemukakan pengertian penegakan hukum

sebagai berikut:

“Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau


berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku
dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara.”10
Penegakan hukum dapat ditinjau dari dua sudut, yaitu sudut

subjek dan sudut objek.11 Dari sudut subjek dapat dibedakan lagi menjadi

dua: Dalam arti luas, proses penegakan hukum melibatkan semua subjek

hukum dalam setiap hubungan hukum. Sedangkan dalam arti sempit,

penegakan hukum hanya diartikan sebagai upaya aparat penegak hukum

tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum itu

berjalan sebagaimana mestinya. Dari sudut objeknya, penegakan hukum

ditinjau dari segi hukumnya. Pengertiannya juga dapat dibedakan menjadi

dua: Dalam arti luas, penegakan hukum mencakup nilai-nilai keadilan

dalam aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam

masyarakat. Sedangkan dalam arti sempit, penegakan hukum hanya

menyangkut penegakan yang formal dan tertulis saja.

10
Jimly Asshiddiqie, Op.Cit, hlm. 1.
11
Ibid.

15
Penegakan hukum tidak hanya mencakup proses di pengadilan,

namun secara lebih luas, dilaksanakan melalui berbagai jalur dengan

berbagai sanksi, misalnya sanksi administrasi, sanksi perdata, maupun

sanksi pidana.12 Penegakan hukum bukan hanya tanggung jawab aparat

penegak hukum, namun merupakan kewajiban dari seluruh masyarakat.13

Masyarakat harus aktif berperan dalam melakukan penegakan hukum, dan

dengan demikian, masyarakat harus memahami hak dan kewajiban.

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum

Menurut Soerjono Soekanto, dalam bukunya yang berjudul

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, ada lima faktor

yang mempengaruhi dan menentukan efektivitas penegakan hukum, antara

lain:

Pertama, faktor hukumnya sendiri. Ada beberapa hal yang dapat

mempengaruhi penegakan hukum yang berasal dari undang-undang, antara

lain: tidak diikutinya asas-asas berlakunya undang-undang, belum adanya

peraturan pelaksanaan yang sangat dibutuhkan, dan adanya ketidakjelasan

arti kata-kata di dalam undang-undang yang mengakibatkan suatu aturan

dapat ditafsirkan secara luas sekali dan kurang tepat.

Kedua, faktor penegak hukumnya. Penegak hukum dapat

mempengaruhi penegakan hukum apabila terdapat kesenjangan antara

12
Koesnadi Hardjasoemantri, 2005, Hukum Tata Lingkungan (Edisi VIII), Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta, hlm. 399.
13
Ibid.

16
peranan yang seharusnya dilakukan (sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan) dengan peranan yang sebenarnya dilakukan

(perilaku nyata penegak hukum). Dalam kenyataannya, sangat sulit untuk

menerapkan peranan yang seharusnya dalam perilaku nyata, karena

penegak hukum juga dipengaruhi hal-hal lain, seperti interest group atau

public opinion yang dapat mempunyai dampak negatif atau positif14.

Ketiga, faktor sarana dan fasilitas. Penegakan hukum dalam hal

ini juga dapat dipengaruhi oleh faktor sarana dan fasilitas. Keberadaan

sanksi, keseluruhan proses penanganan perkara, beserta teknologi deteksi

kriminalitas termasuk dalam faktor ini. Selain itu, masukan sumber daya

dalam berbagai bentuk yang diberikan dalam program-program

pencegahan dan pemberantasan pelanggaran hukum juga sangat

menentukan kepastian dan kecepatan dalam penegakan hukum, sehingga

diharapkan dapat secara efektif dan efisien mengurangi pelanggaran

hukum.

Keempat, faktor masyarakat. Kompetensi hukum harus dimiliki

oleh masyarakat agar masyarakat mengetahui hak-hak dan kewajiban-

kewajiban mereka menurut hukum, serta dapat mengetahui upaya-upaya

hukum apa yang dapat mereka lakukan untuk melindungi kepentingan-

kepentingan mereka.

14
Vago (1981) sebagaimana dikutip dalam Soerjono Soekanto, Op.Cit, hlm. 30.

17
Kelima, faktor kebudayaan. Kebudayaan hukum pada dasarnya

mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku. Hukum pada

dasarnya harus mencerminkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat,

agar hukum tersebut dapat berlaku secara efektif. 15

B. Penegakan Hukum Lingkungan

1. Pengertian Penegakan Hukum Lingkungan

Takdir Rahmadi memaknai penegakan hukum lingkungan sebagai

berikut:

“Penegakan hukum lingkungan dapat dimaknai sebagai penggunaan atau


penerapan instrumen-instrumen dan sanksi-sanksi dalam lapangan hukum
administrasi, hukum pidana, dan hukum perdata dengan tujuan memaksa
subjek hukum yang menjadi sasaran mematuhi peraturan perundang-
undangan lingkungan hidup.”16
Sedangkan menurut Daud Silalahi, penegakan hukum lingkungan

di Indonesia mencakup penaatan (compliance) dan penindakan

(enforcement), yang mencakup bidang hukum administrasi negara, bidang

hukum perdata, dan bidang hukum pidana.17 Secara lebih lengkap,

menurut G.A. Biezeveld, penegakan hukum lingkungan dilakukan untuk

menjamin ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan lingkungan,

dengan cara sebagai berikut:

15
Ibid, hlm. 5.
16
Takdir Rahmadi, Op.Cit, hlm. 199.
17
Daud Silalahi (1991), sebagaimana dikutip dalam Muhammad Akib, 2014, Hukum Lingkungan,
Perspektif Global dan Nasional, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 208.

18
a. Pengawasan secara administratif (sebagai upaya preventif);

b. Penegakan hukum administrasi atau sanksi administrasi, dalam hal

terdapat pelanggaran secara administratif (sebagai upaya korektif);

c. Penegakan hukum lingkungan kepidanaan dalam hal terjadi

pelanggaran ketentuan hukum pidana (sebagai upaya represif);

d. Gugatan perdata untuk menggugat pelanggaran atau perbuatan

yang mengakibatkan perusakan atau pencemaran lingkungan

(sebagai upaya preventif atau korektif).18

Dengan demikian, penegakan hukum lingkungan pada pokoknya

terdiri atas dua sistem atau strategi sebagai berikut: pertama, penegakan

hukum lingkungan secara preventif dalam upaya mencapai ketaatan

terhadap peraturan perundang-undangan lingkungan (compliance); dan

kedua, penegakan hukum lingkungan secara represif (enforcement).19

Penegakan hukum preventif dilakukan dengan melaksanakan pengawasan

atas pelaksanaan peraturan.20 Pengawasan preventif bertujuan untuk

memberi penerangan dan saran serta meyakinkan seseorang untuk beralih

dari suasana pelanggaran ke tahap pemenuhan peraturan.21 Penegakan

hukum represif dilakukan melalui pemberian sanksi atau proses pengadilan

dalam hal terjadi perbuatan melanggar peraturan.

18
G. A. Biezeveld, sebagaimana dikutip dalam Ibid.
19
Ibid, hlm. 209.
20
Koesnadi Hardjasoemantri, Op.Cit., hlm. 399.
21
Milieurecht (1990), sebagaimana dikutip dalam Ibid.

19
2. Prinsip-prinsip Substansi Hukum Lingkungan22

a. Pencegahan Bahaya Lingkungan (Prevention of Harm)

Prinsip pencegahan bahaya lingkungan berangkat dari

pemikian bahwa lingkungan merupakan satu kesatuan ekosistem

yang melampaui batas wilayah, sehingga pencemaran/perusakan

lingkungan pada suatu wilayah akan mempengaruhi wilayah

lainnya. Prinsip ini mengharuskan suatu Negara untuk melakukan

due diligence, yaitu “upaya yang memadai dan didasarkan pada

iktikad baik untuk mengatur setiap kegiatan yang berpotensi

merusak lingkungan”, yang bertujuan untuk menghindari kerugian

negara lain, melalui penyesuaian aturan mengenai lingkungan di

tingkat nasional dengan aturan dan standar internasional.

b. Prinsip Kehati-hatian (Precautionary Principle)

Prinsip kehati-hatian bersumber dari Prinsip 15 Deklarasi

Rio:

“Untuk melindungi lingkungan, prinsip kehati-hatian harus


diterapkan di setiap negara sesuai dengan kemampuan negara yang
bersangkutan. Apabila terdapat ancaman kerusakan yang serius
atau tidak dapat dipulihkan, ketiadaan bukti ilmiah tidak dapat
dijadikan alasan untuk menunda upaya-upaya pencegahan
penurunan fungsi lingkungan.”
Dalam UUPPLH, prinsip kehati-hatian diatur dalam Pasal

2 huruf f, sebagai salah satu asas yang diterapkan dalam

22
Berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor:
36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup.

20
pelaksanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Dalam penjelasan pasalnya, “asas kehati-hatian” mengacu pada

pengertian bahwa:

“ketidakpastian mengenai dampak suatu usaha dan/atau kegiatan


karena keterbatasan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi
bukan merupakan alasan untuk menunda langkah-langkah
meminimalisasi atau menghindari ancaman terhadap pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup.”
Penerapan prinsip ini bekaitan erat dalam menentukan

pertanggungjawaban (liability), ada dua hal yang penting untuk

diperhatikan:

1) Kealpaan: orang yang menyebabkan kerusakan harus

bertanggung jawab, apabila yang bersangkutan menerapkan

prinsip kehati-hatian di bawah standar atau menerapkan

tidak sebagaimana mestinya.


2)
Strict liability: orang yang mengakibatkan kerusakan

lingkungan bertanggungjawab untuk memberikan

kompensasi terhadap kerusakan yang ditimbulkan olehnya.

Dalam strict liability, pelaku menanggung beban sosial.

Untuk mencegah agar pelaku tidak membayar beban sosial,

seharusnya pelaku melakukan tindakan-tindakan

pencegahan. Pelaku tetap harus bertanggungjawab walapun

sudah secara optimal menerapkan prinsip kehati-hatian.

21
c. Prinsip Pencemar Membayar (Polluter Pays Principle)

Prinsip ini seringkali disalahpahami sebagai hak untuk

mencemari. Padahal, prinsip ini merupakan bagian dari instrumen

pencegahan (preventif) dalam penaatan dan penegakan hukum

lingkungan. Dalam prinsip ini, mereka yang memiliki iktikad baik

untuk melakukan upaya pencegahan pencemaran dan/atau

perusakan lingkungan seharusnya memperoleh insentif ekonomi,

dan sebaliknya, mereka yang melakukan usaha tanpa iktikad baik

untuk melakukan pencegahan pencemaran dan/atau perusakan

lingkungan hidup seharusnya memperoleh disinsentif.

d. Prinsip Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development)

Prinsip pembangunan berkelanjutan menghendaki adanya

pembangunan yang dilakukan dengan menyeimbangkan antara

kepentingan ekonomi, sosial, dan pelestarian dan perlindungan

ekosistem, demi terjaminnya kualitas hidup yang baik bagi generasi

sekarang maupun yang akan datang.

3. Penegakan Hukum Lingkungan Administrasi

Penegakan hukum administrasi di bidang lingkungan hidup

sebagian besar merupakan upaya preventif. Penegakan hukum

administrasi adalah upaya preventif yang bertujuan untuk mencegah

22
terjadinya pelanggaran atau agar memenuhi persyaratan yang ditentukan

sehingga tidak terjadi pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan.23

Menurut Mas Ahmad Sentosa, ada beberapa perangkat penegakan

hukum administrasi, meliputi:

a. izin, sebagai perangkat pengawasan dan pengendalian;

b. persyaratan dalam izin dengan merujuk pada Amdal, standar baku

lingkungan, peraturan perundang-undangan;

c. mekanisme pengawasan penaatan;

d. keberadaan pejabat pengawas (inspektur) yang kuantitas dan

kualitasnya memadai; dan

e. sanksi administrasi.24

Penegakan hukum administrasi diuraikan dalam tiga sarana, yaitu

pengawasan, sanksi administrasi, dan gugatan tata usaha negara,25 yang

akan dijabarkan sebagai berikut:

Pertama, sarana pengawasan. Dalam hukum lingkungan

administrasi, pejabat yang melakukan penegakan hukum lingkungan

administrasi adalah pejabat yang memiliki kewenangan untuk memberikan

izin.26 Menurut Pasal 71 UUPPLH, wewenang pengawasan ada pada

menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai kewenangannya, dan dapat

didelegasikan pada pejabat atau instansi teknis yang bertanggung jawab di

23
Muhammad Akib, Op.Cit., hlm. 209.
24
Mas Ahmad Santosa (2001), sebagaimana dikutip dalam Ibid, hlm. 210.
25
Ibid, hlm. 211-219.
26
Ibid, hlm. 211.

23
bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Menurut Pasal 72

UUPPLH, yang diawasi adalah ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau

kegiatan terhadap izin lingkungan. Pasal 74 UUPPLH kemudian

menjabarkan aktivitas-aktivitas yang dapat dilakukan pejabat pengawas

lingkungan hidup dalam rangka melaksanakan pengawasan.

Selain itu, UUPPLH juga mengatur suatu hal yang baru, yang

pada peraturan perundang-undangan lingkungan sebelumnya belum diatur,

yaitu mengenai adanya kewenangan penegakan hukum lapis dua (second

line enforcement).27 Kewenangan penegakan hukum lapis dua ini ada

pada Menteri Lingkungan Hidup, yang dalam Pasal 73 UUPPLH diatur

bahwa dalam hal terjadi pelanggaran yang serius di bidang perlindungan

dan pengelolaan lingkungan hidup, Menteri Lingkungan Hidup juga dapat

melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha

dan/atau kegiatan, walaupun izin lingkungannya diterbitkan oleh

pemerintah daerah. Penjelasan Pasal 73 UUPPLH mendefinisikan lebih

lanjut pelanggaran serius sebagai “tindakan melanggar hukum yang

mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang

relatif besar dan menimbulkan keresahan masyarakat”. Penjelasan ini

tetap saja belum memuat kriteria yang rinci mengenai „pelanggaran

serius‟, sehingga untuk menentukan suatu pelanggaran termasuk dalam

27
Ibid, hlm. 212.

24
kriteria cukup serius atau tidak, sangat tergantung dari diskresi Menteri

Lingkungan Hidup.28

Kedua, sarana sanksi administrasi. Sanksi administrasi, oleh

Takdir Rahmadi, didefinisikan sebagai sanksi-sanksi hukum yang dapat

dijatuhkan oleh pejabat pemerintah tanpa melalui proses pengadilan

terhadap pelanggaran ketentuan hukum lingkungan administrasi.29

Sebagaimana dikemukakan oleh Siti Sundari Rangkuti, sanksi administrasi

memiliki fungsi instrumental, yaitu sebagai sarana “pencegahan dan

penanggulangan perbuatan terlarang dan terutama ditujukan kepada

perlindungan kepentingan yang dijaga oleh ketentuan hukum yang

dilanggar itu.”30 Selain fungsi instrumental, sanksi administrasi juga

memiliki karakter reparatoir, yaitu untuk mencegah dan menanggulangi

pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan.31

Pasal 76 ayat (2) UUPPLH memuat empat jenis sanksi hukum

administrasi, antara lain teguran tertulis, paksaan pemerintahan,

pembekuan izin lingkungan, atau pencabutan izin lingkungan. Paksaan

pemerintahan merupakan tindakan pemerintah yang bersifat nyata dan

langsung, yang bertujuan untuk mengakhiri keadaan yang dilarang oleh

suatu kaidah hukum administrasi.32 Macam-macam sanksi paksaan

pemerintahan diatur dalam Pasal 80 ayat (1) UUPPLH. Pada asasnya,

28
Takdir Rahmadi, Op.Cit., hlm 217.
29
Ibid, hlm. 218.
30
Siti Sundari Rangkuti (1996), sebagaimana dikutip dalam Muhammad Akib, Op.Cit., hlm. 213.
31
Ibid.
32
Ibid, hlm. 214.

25
sanksi paksaan pemerintahan diberlakukan setelah didahului dengan

teguran.33 Namun karena pada dasarnya sanksi paksaan pemerintahan

bertujuan untuk menghentikan pelanggaran serta diadakannya tindakan

memulihkan fungsi lingkungan hidup,34 maka Pasal 80 ayat (2) UUPPLH

mengatur bahwa:

“Pengenaan paksaan pemerintah dapat dijatuhkan tanpa didahului teguran


apabila pelanggaran yang dilakukan menimbulkan:
a. ancaman yang serius bagi manusia dan lingkungan hidup;
b. dampak yang lebih besar dan luas apabila tidak dihentikan
pencemaran dan/atau perusakannya; dan/atau
c. kerugian yang lebih besar bagi lingkungan hidup jika tidak segera
dihentikan pencemaran dan/atau perusakannya.”
Sanksi administrasi berupa pembekuan atau pencabutan izin

lingkungan dilakukan apabila penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan

tidak melaksanakan paksaan pemerintah. UUPPLH tidak mengatur

dengan jelas apa perbedaan pembekuan dan pencabutan izin lingkungan.

Pembekuan izin lingkungan, dalam hal ini, juga bertujuan untuk

mengakhiri keadaan yang dilarang oleh suatu kaidah hukum administrasi.

Hanya saja, UUPPLH tidak mengatur dengan jelas bagaimana bentuk

konkret dari sanksi pembekuan izin lingkungan. Muhammad Akib

berpendapat bahwa sanksi semacam ini hanya akan menjadi lebih riil bila

digunakan jenis sanksi berupa penghentian sementara kegiatan atau

33
Takdir Rahmadi, Op.Cit., hlm. 222.
34
Muhammad Akib, Op.Cit., hlm. 215.

26
penutupan tempat usaha, sebagaimana yang lebih sering dikenal sebagai

istilah-istilah dalam hukum administrasi.35

Selain keempat jenis sanksi administrasi di atas, Pasal 81

UUPPLH juga membenarkan pemerintah untuk mengenakan sanksi denda

terhadap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan atas setiap

keterlambatannya dalam melaksanakan sanksi paksaan pemerintah. Dalam

Pasal 82 UUPPLH juga diatur bahwa menteri, gubernur, atau bupati/wali

kota berwenang untuk memaksa penanggung jawab usaha dan/atau

kegiatan untuk melakukan pemulihan lingkungan hidup atau menunjuk

pihak ketiga untuk melakukan pemulihan lingkungan hidup atas beban

biaya penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan.

Ketiga, sarana gugatan tata usaha negara. Gugatan tata usaha

negara dalam hal ini merupakan proses penegakan hukum lingkungan

administrasi yang dilakukan melalui pengadilan (secara litigasi).

Ketentuan mengenai gugatan tata usaha negara di bidang lingkungan hidup

diatur dalam Pasal 93 UUPPLH, yang menentukan bahwa setiap orang

dapat mengajukan gugatan terhadap Keputusan Tata Usaha Negara

(KTUN) yang berupa izin lingkungan atau izin usaha yang diterbitkan

tanpa dilengkapi persyaratan yang diwajibkan. Apabila merujuk pada

Pasal 53 ayat (2) UU No. 9 Tahun 2004 jo. UU No. 5 Tahun 1986 tentang

Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN), suatu KTUN dapat digugat

apabila bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau

35
Ibid, hlm. 217.

27
bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Isi gugatan

tersebut dapat berupa tuntutan agar KTUN yang bersangkutan dinyatakan

batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau

rehabilitasi.

Ada beberapa hak gugat (legal standing) yang diakui dalam

penegakan hukum lingkungan melalui gugatan tata usaha negara

berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia

Nomor: 36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan

Perkara Lingkungan Hidup, antara lain:

a. Hak gugat orang atau badan hukum perdata, yang dimiliki oleh

orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya

dirugikan oleh suatu keputusan tata usaha negara, sebagaimana

diatur dalam Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun

2004 jo. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan

Tata Usaha Negara;

b. Perwakilan kelompok (Class Action), dengan berpedoman pada

Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) RI No. 1 Tahun 2002

tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok;

c. Hak gugat organisasi lingkungan hidup, sebagaimana diatur dalam

Pasal 92 UUPPLH.

Penegakan hukum administrasi lebih memiliki kemampuan untuk

mengundang masyarakat, yang di dalamnya termasuk juga WALHI

28
sebagai organisasi lingkungan hidup, untuk berperan serta, khususnya

dalam proses perizinan, pemantauan penaatan/pengawasan, dan peran serta

dalam mengajukan keberatan dan meminta pejabat tata usaha negara untuk

memberlakukan sanksi administrasi.36

4. Penegakan Hukum Lingkungan Keperdataan (Penyelesaian Sengketa

Lingkungan Hidup)

Hukum lingkungan keperdataan pada pokoknya memuat

pemenuhan hak setiap orang akan lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Apabila ada pihak yang merasa terlanggar haknya tersebut, atau dirugikan

karena pencemaran dan/atau perusakan lingkungan yang dilakukan oleh

pihak lain, maka dapat mengajukan upaya penegakan hukum lingkungan

keperdataan. Penegakan hukum lingkungan keperdataan, dalam UUPPLH

diatur di bawah Bab XIII tentang Penyelesaian Sengketa Lingkungan.

Penyelesaian sengketa lingkungan (keperdataan), dengan demikian,

merupakan upaya represif, dalam arti telah terjadi pelanggaran atau

perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan

lingkungan, di mana penegakan hukum tersebut dilakukan untuk

pemulihan lingkungan dan mengganti kerugian yang timbul akibat

pencemaran dan/atau perusakan lingkungan tersebut.

Penyelesaian sengketa lingkungan hidup diatur dalam Pasal 84

hingga 93 UUPPLH. Menurut Pasal 84 ayat (1) dan (2) UUPPLH,

36
Mas Ahmad Santosa (2001), Muhammad Akib (2011), sebagaimana dikutip dalam Ibid, Hlm.
210.

29
penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh dengan dua cara,

melalui pengadilan (litigasi) atau di luar pengadilan (non-litigasi)—dan

dapat dipilih secara sukarela oleh para pihak yang bersengketa.

Menurut Pasal 85 ayat (1) UUPPLH, penyelesaian sengketa

lingkungan hidup di luar pengadilan dilakukan untuk mencapai

kesepakatan mengenai:

a. Bentuk dan besarnya ganti rugi;

b. Tindakan pemulihan akibat pencemaran dan/atau perusakan;

c. Tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terulangnya

pencemaran dan/atau perusakan; dan/atau

d. Tindakan untuk mencegah timbulnya dampak negatif terhadap

lingkungan hidup.

Berdasarkan Pasal 85 ayat (3) UUPPLH, penyelesaian sengketa

lingkungan hidup di luar pengadilan dapat dibantu oleh mediator dan/atau

arbitrer. Handri Wirastuti Sawitri dan Rahadi Wasi Bintoro

mengungkapkan bahwa tujuan diaturnya penyelesaian sengketa di luar

pengadilan adalah untuk melindungi hak keperdataan para pihak yang

bersengketa dengan cara cepat dan efisien37.

Penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui pengadilan

dilakukan dengan pengajuan gugatan. Menurut Pasal 84 ayat (3)

37
Handri Wirastuti dan Rahadi Wasi Bintoro, 2010, Sengketa Lingkungan Hidup dan
Penyelesaiannya, Jurnal Dinamika Hukum Vol. 10 No. 2 Mei 2010, hlm. 166.
http://dinamikahukum.fh.unsoed.ac.id/index.php/JDH/article/viewFile/149/96, diakses 3 Juli 2018.

30
UUPPLH, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila

upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dipilih dinyatakan

tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa.

Dalam UUPPLH, secara umum diatur adanya 2 (dua) macam

sistem tanggung gugat lingkungan/ tanggung jawab perdata (civil liability),

yaitu:

a. Tanggung jawab berdasarkan kesalahan (liability based on fault)

Konsep tanggung jawab berdasarkan kesalahan

mengandung makna bahwa tergugat bertanggung jawab apabila ia

dapat dibuktikan bersalah.38 Dalam hukum perdata, tanggung

jawab berdasarkan kesalahan terdapat dalam konsep Perbuatan

Melawan Hukum yang diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata.

Ketentuan tentang Perbuatan Melawan Hukum ini diadopsi dalam

UUPPLH dalam Pasal 87 ayat (1). Dalam tanggung jawab

berdasarkan kesalahan, beban pembuktian untuk membuktikan

adanya kesalahan dari Tergugat berada pada Penggugat.

Unsur-unsur Perbuatan Melawan Hukum sebagaimana

diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata, antara lain:

1) Adanya suatu perbuatan. Perbuatan tersebut dapat berupa

berbuat sesuatu (aktif) maupun tidak berbuat sesuatu

38
Muhammad Akib, Op.Cit., hlm. 185.

31
padahal ada kewajiban yang diatur oleh hukum untuk

berbuat hal yang demikian (pasif).

2) Perbuatan tersebut melawan hukum. Perbuatan melawan

hukum dalam hal ini diartikan seluas-luasnya, yang meliputi

perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan

yang berlaku, perbuatan yang melanggar hak orang lain

yang dijamin oleh hukum, perbuatan yang bertentangan

dengan kewajiban hukum pelaku, perbuatan yang

bertentangan dengan kesusilaan, atau perbuatan yang

bertentangan dengan sikap yang baik dalam bermasyarakat

untuk memperhatikan kepentingan orang lain.

3) Adanya kesalahan. Dalam hal ini, perbuatan mengandung

unsur kesalahan apabila ditemukan adanya unsur

kesengajaan atau kelalaian/kealpaan, serta tidak adanya

alasan pembenar atau pemaaf.

4) Adanya kerugian.

5) Adanya hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian,

dalam artian bahwa kerugian harus disebabkan oleh

perbuatan melawan hukum tersebut.39

Pasal 87 ayat (1) UUPPLH mengatur bahwa:

“Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang


melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaan

39
Ujang Abdullah, Perbuatan Melawan Hukum oleh Penguasa, http://ptun-
palembang.go.id/upload_data/PMH.pdf, diakses 4 Oktober 2018.

32
dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian
pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi
dan/atau melakukan tindakan tertentu.”
Maka, gugatan lingkungan berdasarkan Pasal 87 ayat (1)

UUPPLH harus memenuhi persyaratan unsur-unsur berikut ini:

1) Ada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan sebagai

pelaku;

2) Perbuatan bersifat melanggar hukum;

3) Pencemaran dan/atau perusakan lingkungan; dan

4) Kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup.

b. Tanggung jawab mutlak (strict liability)

Strict liability dalam UUPPLH diatur dalam Pasal 88 yang

mengatur sebagai berikut:

“Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya


menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3,
dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan
hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa
perlu pembuktian unsur kesalahan.”

Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia

Nomor: 36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoman

Penanganan Perkara Lingkungan Hidup mendefinisikan ancaman

serius sebagai terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan

lingkungan yang berpotensi tidak dapat dipulihkan kembali srerta

berdampak sangat luas terhadap komponen-komponen lingkungan

hidup, seperti kesehatan manusia, tanah, air, udara, dan lain-lain.

33
Dalam Strict Liability, penggugat tidak perlu

membuktikan adanya kesalahan40. Tergugat akan secara mutlak

bertanggung jawab apabila telah memenuhi persyaratan yang

termuat dalam Pasal 88 UUPPLH, yaitu tindakannya, usahanya,

dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau

mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius

terhadap lingkungan hidup. Penggugat hanya perlu membuktikan

bahwa tindakan, usaha, dan/atau kegiatan dari Tergugat telah

memenuhi persyaratan yang tercantum dalam Pasal 88 UUPPLH

beserta kerugian yang dialaminya.

Penerapan doktrin strict liability biasanya juga diikuti

dengan ketentuan-ketentuan tentang penetapan “plafond”

(“ceiling”), yaitu batas maksimum ganti kerugian.41 Namun,

walaupun ganti kerugian dalam penerapan doktrin strict liability

tetap memiliki batas maksimal, UUPPLH tidak mengatur lebih

lanjut mengenai batas maksimal tersebut, serta tidak mengatur pula

pengecualian penerapan doktrin strict liability tersebut.42

Gugatan lingkungan hanya dapat diajukan oleh pihak-pihak yang

memiliki hak untuk menggugat, yang disebut hak gugat. Hak gugat (legal

standing) diartikan sebagai “hak seseorang, kelompok orang, atau

organisasi untuk tampil di pengadilan sebagai penggugat dalam proses

40
Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Op.Cit.
41
Muhammad Akib, Op.Cit., hlm. 188.
42
Ibid, hlm. 190.

34
gugatan perdata.”43 Ada beberapa hak gugat yang diakui dalam praktik

penyelesaian sengketa lingkungan hidup di Indonesia berdasarkan

Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor:

36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara

Lingkungan Hidup, yaitu:

a. Hak Gugat Perseorangan

Yang dimaksud perseorangan adalah orang perorang atau

sekelompok orang yang mengalami kerugian akibat pencemaran

dan/atau kerusakan lingkungan hidup.44

b. Hak Gugat Badan Usaha

Apabila dikaitkan dengan Pasal 1 butir 32 UUPPLH,

badan usaha yang memiliki hak gugat dalam perkara lingkungan

hidup adalah badan usaha yang berbentuk badan hukum dan non-

badan hukum.

c. Hak Gugat Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah

Hak gugat Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah diatur

dalam Pasal 90 ayat (1) UUPPLH, yang mengatur bahwa:

“Instansi pemerintah dan pemerintah daerah yang bertanggung


jawab di bidang lingkungan hidup berwenang mengajukan gugatan

43
Proyek Pembinaan Teknis Yustisial (1998), sebagaimana dikutip dalam Raynaldo Sembiring,
dkk, 2014, Anotasi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Jakarta, Hlm.
222.
44
Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Op.Cit.

35
ganti rugi dan tindakan tertentu terhadap usaha dan/atau kegiatan
yang menyebabkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup yang mengakibatkan kerugian lingkungan hidup.”

Pengakuan hak gugat pemerintah dan/atau pemerintah

daerah dalam perkara lingkungan hidup ini berangkat dari upaya

untuk melindungi kepentingan lingkungan, karena kerugian akibat

pencemaran dan/atau perusakan lingkungan tidak hanya dapat

terjadi pada pribadi atau badan hukum saja, namun juga terhadap

lingkungan publik.45 Melalui hak gugatnya, pemerintah dapat

mengajukan ganti kerugian dan/atau tindakan tertentu untuk

melindungi kepentingan lingkungan publik, baik yang bersifat

pencegahan, penanggulangan, atau pemulihan lingkungan.46

Persyaratan diajukannya gugatan ganti rugi dan tindakan

tertentu oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah, antara lain:

1) Terjadi pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;

2) Lingkungan hidup merupakan hak milik publik atau milik

negara (misalnya pencemaran laut, pencemaran sungai,

perusakan hutan lindung, pencemaran udara, dll);

3) Tidak berlaku asas “Ultimum Remedium” (tidak perlu

diberikan sanksi administrasi terlebih dahulu untuk bisa

45
Muhammad Akib, Op.Cit., hlm. 206.
46
Ibid.

36
diajukan gugatan ganti rugi dan/atau tindakan tertentu oleh

instansi pemerintah dan/atau instansi pemerintah daerah).47

Eksistensi hak gugat Pemerintah dan/atau Pemerintah

Daerah sudah diakui dalam praktik peradilan bahkan sebelum

diatur pertama kalinya dalam UUPPLH, melalui kasus gugatan

pemerintah yang diwakili oleh KLH terhadap PT. Selatnastik

Indokwarsa atas kasus penambangan pasir kwarsa di Bangka

Belitung pada tahun 2008. Setelah diatur dalam UUPPLH, hak

gugat Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah juga diakui dalam

kasus gugatan KLH dan Kejaksaan Agung terhadap PT. Kalista

Alam atas kasus perkebunan kelapa sawit di Aceh.48

d. Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action)

Gugatan perwakilan kelompok (class action) adalah

gugatan perdata yang diajukan oleh sejumlah orang sebagai

perwakilan kelas (class representatives) yang mewakili

kepentingan ratusan atau ribuan orang lainnya yang juga sebagai

korban (class members).49 Gugatan perdata secara class action ini

penting dalam perkara lingkungan karena tidak hanya menyangkut

hak milik atau ganti kerugian, tetapi juga kepentingan lingkungan

yang baik dan sehat bagi masyarakat.50 Class action sangat efisien

47
Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Op.Cit.
48
Muhammad Akib, Op.Cit., hlm. 206.
49
Mas Ahmad Santosa, sebagaimana dikutip dalam Ibid, hlm. 195.
50
Ibid, hlm. 194.

37
untuk diterapkan ketika pengadilan harus menghadapi penggugat

dalam jumlah yang cukup besar, sementara mereka memiliki

kepentingan yang sama—daripada harus memeriksa dan mengadili

seluruh gugatannya satu persatu.51 Gugatan Perwakilan Kelompok

diatur dalam Pasal 91 UUPPLH jo. Peraturan Mahkamah Agung

(PERMA) RI No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan

Kelompok.

Pasal 91 UUPPLH mengatur bahwa:

“(1) Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan kelompok


untuk kepentingan dirinya sendiri dan/atau untuk kepentingan
masyarakat apabila mengalami kerugian akibat pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup; (2) Gugatan dapat diajukan
apabila terdapat kesamaan fakta atau peristiwa, dasar hukum, serta
jenis tuntutan di antara wakil kelompok dan anggota kelompoknya;
(3) Ketentuan mengenai hak gugat masyarakat dilaksanakan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.”

Istilah gugatan perwakilan kelompok ini sendiri diadopsi

dari PERMA RI No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan

Perwakilan Kelompok, yang didefinisikan dalam Pasal 1 huruf a

sebagai berikut:

“Gugatan perwakilan kelompok adalah suatu tata cara


pengajuan gugatan, dalam mana satu orang atau lebih yang
mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri atau diri-diri
meeka sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang
jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau dasar
hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok dimaksud.”

51
Ibid, Hlm. 197.

38
Class action ini pertama kali dipraktikkan pada awal

abad ke-18 di Inggris dan pertama kali dirumuskan secara

komprehensif dalam suatu Undang-Undang di Amerika Serikat,

dalam US Federal Rule of Civil Procedure (1938).52 Pasal 23

Federal Rule tersebut menetapkan persyaratan class action, antara

lain:

1) Numerousity, yaitu jumlah penggugat (class) harus

sedemikan banyak sehingga jika gugatan diajukan satu

persatu menjadi tidak praktis;

2) Commonality, yaitu harus terdapat “question of law” atau

“question of fact” di antara wakil dan anggota kelas;

3) Typicality, yaitu tuntutan maupun pembelaaan dari wakil

kelas haruslah sejenis (typical) dengan anggota kelas; dan

4) Class protection/adequacy of representation, yaitu wakil

kelas harus secara jujur dan sungguh-sungguh melindungi

kepentingan anggota kelas.53

e. Gugatan Warga Negara (Citizen Lawsuit)

Gugatan warga negara (citizen lawsuit) belum diatur

secara komprehensif dalam UUPPLH maupun peraturan

perundang-undangan lainnya, namun tetap diakui eksistensinya

dalam praktik peradilan di Indonesia, khususnya dengan dimuatnya

52
Ibid, hlm. 195.
53
Mas Ahmad Sentosa, sebagaimana dikutip dalam Ibid, Hlm. 196.

39
prosedur gugatan warga negara dalam Keputusan Ketua Mahkamah

Agung Republik Indonesia Nomor: 36/KMA/SK/II/2013 tentang

Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup.

Gugatan warga negara (citizen lawsuit) didefinisikan

dalam Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia

Nomor: 36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoman

Penanganan Perkara Lingkungan Hidup sebagai:

“suatu gugatan yang dapat diajukan oleh setiap orang terhadap


suatu perbuatan melawan hukum, dengan mengatasnamakan
kepentingan umum, dengan alasan adanya pembiaran atau tidak
dilaksanakannya kewajiban hukum oleh pemerintah atau
Organisasi Lingkungan Hidup tidak menggunakan haknya untuk
menggugat.”

Persyaratan gugatan warga negara antara lain:

1) Penggugat adalah satu orang atau lebih Warga Negara


Indonesia, bukan badan hukum;
2) Tergugat adalah pemerintah dan/atau lembaga negara;
3) Dasar gugatan adalah untuk kepentingan umum;
4) Obyek gugatan adalah pembiaran atau tidak
dilaksanakannya kewajiban hukum;
5) Notifikasi/somasi wajib diajukan dalam jangka waktu 60
hari kerja sebelum adanya gugatan dan sifatnya wajib.
Apabila tidak ada notifikasi/somasi gugatan wajib
dinyatakan tidak diterima;
6) Notifikasi/somasi dari calon penggugat kepada calon
tergugat dengan tembusan kepada Ketua Pengadilan Negeri
setempat.54

Jangka waktu 60 hari kerja bertujuan untuk memberikan

kesempatan kepada Pemerintah melaksanakan kewajiban

54
Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Op.Cit.

40
hukumnya sebagaimana diminta atau dituntut oleh calon

penggugat.

f. Gugatan Organisasi Lingkungan Hidup

Menurut Pasal 1 butir 27 UUPPLH, organisasi lingkungan

hidup didefinisikan sebagai “kelompok orang yang terorganisasi

dan terbentuk atas kehendak sendiri yang tujuan dan kegiatannya

berkaitan dengan lingkungan hidup.”

Pada mulanya terdapat asas dalam hukum acara perdata

bahwa tiada gugatan tanpa kepentingan hukum (point d’interest

point d’action). Kepentingan hukum yang dimaksud berupa

kepemilikan atau kepentingan material berupa kerugian yang

dialami secara langsung.55 Apabila didasarkan pada asas tersebut,

organisasi lingkungan hidup tidak dapat bertindak sebagai

penggugat, karena organisasi lingkungan hidup bukan sebagai

pemilik aset-aset lingkungan dan bukan pula sebagai korban.

Dengan demikian, organisasi lingkungan hidup bukan pihak yang

mengalami kerugian nyata atau riil, melainkan merupakan pihak

yang bertindak untuk dan atas nama atau mewakili lingkungan

hidup.56

55
Raynaldo Sembiring, dkk, Op.Cit, Hlm. 222.
56
Hyronimus Rhiti, 2013, Panduan Lengkap Hukum Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup,
Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, Hlm. 165.

41
Pentingnya legal standing organisasi lingkungan

dikemukakan Christoper D. Stone sebagai berikut:

“…Ancaman yang menimpa kelestarian satwa langka atau hutan


lindung misalnya, akibat ulah manusia memerlukan “kuasa” untuk
berperkara demi kepentingan ekologis dan kepentingan publik.
Gajah, Harimau, pohon-pohon langka, benda cagar budaya, tidak
dapat maju menggugat di pengadilan. Menghadapi situasi seperti
inilah peranan lembaga swadaya masyarakat yang secara nyata
bergerak di bidang lingkungan hidup sangat penting terhadap
gugatan konservasi.”57

Pernyataan Stone memberikan hak hukum (legal right)

kepada lingkungan, dan kepada kuasa/walinya untuk bertindak

mewakili kepentingan hukum lingkungan tesebut. Dalam hal ini,

organisasi lingkunganlah yang bertindak sebagai wali dari

lingkungan. Organisasi lingkungan yang dapat menjadi wali

adalah organisasi lingkungan yang memiliki data dan alasan untuk

menduga bahwa suatu proyek/kegiatan akan merusak lingkungan.

Apabila terdapat indikasi pelanggaran atas hak hukum dari

lingkungan (misalnya perusakan atau pencemaran), organisasi

tersebut untuk dan atas nama lingkungan mengajukan gugatan

dalam rangka mengupayakan pemulihannya (remedial action).58

Di Indonesia, putusan pengadilan pertama yang mengakui

legal standing WALHI dalam perkara lingkungan hidup adalah

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas gugatan pencemaran

dan perusakan lingkungan oleh WALHI terhadap Pemerintah dan

57
Christoper D. Stone, sebagaimana dikutip dalam Muhammad Akib, Op.Cit., hlm. 199.
58
Ibid.

42
PT Indorayon Utama pada tahun 1988. Sebelum adanya putusan

ini, legal standing organisasi lingkungan hidup selalu ditolak oleh

hakim karena ketiadaan aturan yang mengaturnya dalam hukum

acara.59 Meskipun WALHI tidak memiliki kepentingan hukum dan

pada saat itu legal standing organisasi lingkungan hidup belum

diakomodasi dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia,

pada putusan tahun 1988 tersebut, Majelis Hakim mengakui legal

standing WALHI dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip

lingkungan hidup serta teori-teori yang relevan, yang dikaitkan

pula dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang

Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup yang

mengakomodasi hak atas lingkungan yang baik atas semua warga

negara serta pembangunan berwawasan lingkungan.60

Konsep organisasi lingkungan hidup bertindak sebagai

“wakil” dalam mengajukan gugatan (hak gugat organisasi

lingkungan hidup) ini sebenarnya bersifat abstrak.61 Penjelasannya

sebagai berikut: Misalnya, dalam perkara gugatan WALHI

terhadap sejumlah perusahaan yang membakar hutan, WALHI,

59
Mas Ahmad Santosa dan Sulaiman N. Semibiring (1998), sebagaimana dikutip dalam Laode M.
Syarif, dkk, 2010, Hukum Lingkungan (Teori, Legislasi, dan Studi Kasus), PT. RajaGrafindo
Persada, Jakarta, Hlm. 558.
60
Nommy H. T. Siahaan, Perkembangan Legal Standing dalam Hukum Lingkungan (Suatu
Analisis Yuridis dalam Public Participatory untuk Perlindungan Lingkungan),
https://media.neliti.com/media/publications/25280-ID-perkembangan-legal-standing-dalam-
hukum-lingkungan-suatu-analisis-yuridis-dalam.pdf, diakses 20 Agustus 2018.
61
Mas Ahmad Santosa, dkk (1999), sebagaimana dikutip dalam Hyronimus Rhiti, 2006, Hukum
Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, hlm.
103.

43
sebagai organisasi lingkungan hidup, merupakan “wakil” yang

bukan merupakan hutan itu sendiri. Hal ini berbeda dengan konsep

legal standing lainnya, misalnya class action, di mana yang

menjadi wakil adalah manusia, sama dengan yang diwakili, yaitu

kelompok manusia.62 Status organisasi lingkungan hidup sebagai

“wali” (guardian) ini diperoleh bukan karena lingkungan hidup

yang mengangkat dan memberi kuasa kepada mereka, melainkan

karena fungsi organisasi dan peran moralitas tanggung jawab atas

kelestarian lingkungan hidup tersebut63.

Dalam hal pengajuan gugatan oleh organisasi lingkungan

hidup, Pengadilan harus mencermati kepentingan siapa yang

diwakili dalam gugatan tersebut. Jika gugatan oleh organisasi

lingkungan hidup malah mewakili masyarakat dan tidak mewakili

lingkungan hidup, maka gugatan tersebut harus ditolak. Selain

karena hal tersebut bertentangan dengan aturan, juga hal tersebut

membuka kemungkinan bagi organisasi lingkungan hidup untuk

mencari laba demi kepentingan sendiri.64

Pengakuan terhadap legal standing organisasi lingkungan

hidup diatur dalam Pasal 92 UUPPLH. Dalam ayat (1), disebutkan

bahwa organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan

62
Ibid.
63
Ibid, hlm. 102.
64
Hyronimus Rhiti, 2005, Kompleksitas Permasalahan Lingkungan Hidup, Universitas Atma Jaya
Yogyakarta, Yogyakarta, hlm. 73.

44
untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup. Lebih

lanjut dalam ayat (2), jenis tuntutan yang diajukan oleh penggugat

terbatas pada tuntutan untuk melakukan tindakan tertentu tanpa

adanya tuntutan ganti rugi, kecuali biaya atau pengeluaran riil. Hal

ini karena gugatan oleh organisasi lingkungan hidup tidak

dimaksudkan untuk memperoleh ganti kerugian, tetapi lebih

dimaksudkan sebagai bentuk penegakan hukum lingkungan.65

Tidak semua organisasi lingkungan hidup dapat

mengajukan gugatan. Dalam Pasal 92 ayat (3) UUPPLH diatur

persyaratan-persyaratan organisasi lingkungan hidup yang dapat

mengajukan gugatan untuk membatasi banyaknya organisasi

lingkungan hidup yang mengajukan gugatan, antara lain:

1) Berbentuk badan hukum;

2) Menegaskan di dalam anggaran dasarnya bahwa organisasi

tersebut didirikan untuk kepentingan pelestarian fungsi

lingkungan hidup;

3) Telah melaksanakan kegiatan nyata sesuai dengan anggaran

dasarnya paling singkat 2 (dua) tahun.

g. Anti SLAPP (Strategic Lawsuit Against Public Participation)

Anti SLAPP diatur dalam Pasal 66 UUPPLH, yang pada

pokoknya mengatur bahwa setiap orang yang memperjuangkan

65
Takdir Rahmadi, Op.Cit., hlm. 269.

45
lingkungan hidup tidak dapat dituntut secara pidana maupun

digugat secara perdata. Dalam Penjelasan Pasal 66, disebutkan

bahwa Anti SLAPP dimaksudkan untuk memberikan perlindungan

bagi korban dan/atau pelapor dari tindakan pembalasan melalui

pemidanaan dan/atau gugatan perdata oleh terlapor. Gugatan

SLAPP bagi pejuang lingkungan hidup dapat berupa gugatan balik

(gugatan rekonvensi), gugatan biasa, atau pelaporan telah

melakukan tindak pidana.66 Sistem penerapan Anti SLAPP hingga

sekarang belum diatur dalam hukum acara perdata dan KUHAP,

juga belum ditemukan dalam praktik peradilan.67

5. Penegakan Hukum Lingkungan Kepidanaan

Penegakan hukum lingkungan kepidanaan adalah penegakan

terhadap ketentuan-ketentuan pidana dari hukum lingkungan.68 Penegakan

hukum lingkungan kepidanaan dilaksanakan melalui sistem peradilan

pidana lingkungan secara terpadu, yang seperti pada peradilan pidana pada

umumnya, dimulai dari tahap penyelidikan dan penyidikan, penuntutan

perkara, pemeriksaan perkara, serta putusan dan eksekusi. UUPPLH

memasukkan beberapa ketentuan-ketentuan pidana beserta sanksinya

dalam Bab XV, yaitu dalam Pasal 97 sampai dengan Pasal 120. Selain

dalam UUPPLH, ada pula berbagai ketentuan pidana lingkungan lainnya

yang diatur secara sektoral dalam berbagai undang-undang sektoral.

66
Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Op.Cit.
67
Ibid.
68
Muhammad Akib, Op.Cit, hlm. 219.

46
Dalam ketentuan pidana lingkungan, subjek yang dapat

dipertanggungjawabkan dalam tindak pidana lingkungan adalah orang

perseorangan maupun badan usaha (korporasi), baik berbadan hukum

maupun tidak berbadan hukum.

Berkaitan dengan sanksi pidana, Muhammad Amin Hamid

mengemukakan ada dua alasan diperlukannya sanksi pidana dalam

penegakan hukum lingkungan: Pertama, sanksi pidana diperlukan untuk

melindungi kepentingan manusia dan lingkungan, sebagai jaminan

terpenuhinya kebutuhan atas kualitas lingkungan yang baik demi

kesehatan dan penikmatan harta benda yang dimilikinya; kedua, sanksi

pidana dimaksudkan untuk memberi rasa takut kepada pencemar

potensial69. Ada beberapa sanksi pidana yang diatur dalam UUPPLH,

berupa pidana pokok dan pidana tambahan. Dalam UUPPLH, pidana

pokok hanya berupa pidana penjara,dan pidana denda. Selain itu,

berdasarkan Pasal 119 UUPPLH, terhadap badan usaha dapat dikenakan

biaya pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa:

a. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;


b. Penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan;
c. Perbaikan akibat tindak pidana;
d. Pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau
e. Penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga)
tahun.

69
Muhammad Amin Hamid, 2016, Penegakan Hukum Pidana Lingkungan Hidup dalam
Menanggulangi Kerugian Negara, Jurnal Legal Pluralism: Vol. 6, No. 1 Januari 2016, Universitas
Yapis Papua, hlm. 96, http://jurnal.uniyap.ac.id/index.php/Hukum/article/view/52, diakses 11
Oktober 2018.

47
Dalam proses penegakan hukumnya terdapat berbagai

kelembagaan pada setiap prosesnya, seperti Kepolisian Republik Indonesia

(Polri), Penyidik Pegawai Negeri Sipil, Jaksa Penuntut Umum, Majelis

Hakim dan Panitera, Hakim Pengawas dan Pengamat.70 Penyidik yang

berwenang terhadap tindak pidana lingkungan adalah Pejabat Polisi

Negara Republik Indonesia dan Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS)

tertetu di lingkungan instansi pemerintah yang mengurusi perlindungan

dan pengelolaan lingkungan hidup. Hasil penyidikan tersebut kemudian

dilanjutkan kepada Jaksa Penuntut Umum, untuk kemudian diproses

melalui Pengadilan. Karena proses penegakan hukum secara kepidanaan

hanya dapat dilakukan oleh aparat penegak hukum, maka yang dapat

dilakukan oleh masyarakat dalam hal ini adalah mengetahui mekanisme

penanganan tindak pidana lingkungan, serta melakukan pelaporan kepada

aparat penegak hukum yang berwenang jika menemukan indikasi tindak

pidana lingkungan.

C. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)

1. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Nasional

a. Dasar Hukum

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) adalah

sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) berbentuk badan

hukum perdata bernama Yayasan Wahana Lingkungan Hidup

70
Ibid, hlm. 105.

48
Indonesia (WALHI), berdasarkan Akta Notaris (Perubahan) Arman

Lany, SH., Nomor 04 tanggal 17 Juni 2008 dan Surat Keputusan

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor: C-

2898.HT.01.02.TH 2007 tanggal 10 September 2007.71 Akta

notaris yang menjadi dasar hukum pendirian Yayasan WALHI ini

diubah setiap empat tahun sekali, setiap adanya pergantian Ketua

Yayasan. WALHI merupakan organisasi lingkungan hidup yang

bersifat independen untuk melakukan pembelaan atau advokasi hak

atas lingkungan hidup dan hak asasi manusia. Aktivitas WALHI

meliputi penyelamatan ekosistem, pengorganisasian rakyat,

pendidikan kritis, kampanye dan riset, litigasi, menggalang aliansi

kekuatan masyarakat sipil dan menggalang dukungan publik.72

WALHI dalam Pasal 5 angka 2 Anggaran Dasar Yayasan

WALHI menyebutkan bahwa salah satu maksud dan tujuan dari

yayasan adalah, “meningkatkan kesadaran masyarakat sebagai

pembina lingkungan dan terkendalinya pemanfaatan sumber daya

secara bijaksana.”73 Selain itu, WALHI juga secara aktif bergerak

dalam upaya penyelamatan dan pemulihan lingkungan hidup di

71
Lihat Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Banda Aceh No. 19/G/2011/PTUN-BNA antara
WALHI melawan Gubernur Aceh dan PT Kalista Alam tentang Izin Usaha Perkebunan PT.
Kalista Alam. Walaupun gugatan pada akhirnya tidak diterima, Majelis Hakim dalam putusannya
mengakui legal standing dari WALHI.
72
Lihat Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 464/PDT.G/2013/PN.JKT.PST antara
WALHI melawan Presiden Republik Indonesia dan 18 Instansi Kementerian/Pemerintah Daerah.
Pemerintah dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum karena tidak berhasil mengatasi,
melakukan penegakan hukum dan penanggulangan dini atas kebakaran hutan yang terjadi di Jambi
dan Riau. Dalam putusan ini, Majelis Hakim mengakui legal standing dari WALHI.
73
Lihat Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 464/PDT.G/2013/PN.JKT.PST.

49
Indonesia sejak berdirinya di tahun 1980. WALHI kini

beranggotakan 487 organisasi dari unsur organisasi non-pemerintah

dan organisasi pecinta alam, serta 203 anggota individu yang

tersebar di 28 Provinsi di Indonesia.74 Maka dengan demikian,

WALHI sudah memenuhi persyaratan bagi organisasi lingkungan

hidup untuk dapat diakui legal standing/hak gugatnya sesuai

dengan aturan Pasal 92 ayat (3) UUPPLH.

b. Visi dan Misi

Visi Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia

(WALHI) adalah sebagai berikut:

“Terwujudnya suatu tatanan sosial, ekonomi, dan politik yang adil


dan demokratis yang dapat menjamin hak-hak rakyat atas sumber-
sumber kehidupan dan lingkungan hidup yang sehat dan
berkelanjutan.”75
Sedangkan misi dari WALHI adalah sebagai berikut:

1) Mengembangkan potensi kekuatan dan ketahanan rakyat;


2) Mengembalikan mandat negara untuk menegakkan dan
melindungi kedaulatan rakyat;
3) Mendekonstruksikan tatanan ekonomi kapitalistik global
yang menindas dan eksploitatif menuju ke arah ekonomi
kerakyatan;
4) Membangun alternatif tata ekonomi dunia baru; dan
5) Mendesakkan kebijakan pengelolaan sumber-sumber
kehidupan rakyat yang adil dan berkelanjutan.76

74
https://walhi.or.id/visi-dan-misi/, diakses 22 Agustus 2018.
75
Ibid.
76
Ibid.

50
c. Tujuan dan Kegiatan

Tujuan didirikannya organisasi Yayasan Wahana

Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) adalah untuk kepentingan

penyelamatan dan pelestarian fungsi lingkungan hidup

sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (3) Statuta WALHI Hasil

PNLH-Palembang Periode 2016-2020 (selanjutnya disebut Statuta

WALHI) tentang Asas, Sifat, dan Tujuan, sebagai berikut:

“WALHI bertujuan mendorong terwujudnya pengakuan hak atas


lingkungan hidup dan dilindungi serta dipenuhinya hak asasi
manusia sebagai bentuk dari tanggung jawab negara atas
pemenuhan sumber-sumber kehidupan rakyat.”
Untuk mendorong tercapainya tujuan tersebut, maka Pasal

3 Statuta WALHI tentang Kegiatan, menjelaskan sebagai berikut:

“Untuk mencapai tujuannya, WALHI melaksanakan advokasi


lingkungan hidup dan hak asasi manusia yang meliputi:
penyelamatan lingkungan hidup, pengorganisasian rakyat,
pendidikan kritis, kampanye dan riset, litigasi, menggalang aliansi
kekuatan masyarakat sipil, dan menggalang dukungan publik.”
d. Kelembagaan dan Struktur Organisasi

1) Forum Pengambilan Keputusan

Di tingkat nasional, forum pengambilan keputusan

tertinggi WALHI ada pada Pertemuan Nasional Lingkungan

Hidup (PNLH) yang diselenggarakan sekali dalam 4

(empat) tahun. Segala hal yang berkaitan PNLH ini diatur

dalam Pasal 26 dan Pasal 28 Statuta WALHI. PNLH

dilaksanakan dengan tujuan untuk membahas dan

51
mengesahkan pertanggung jawaban Eksekutif Nasional,

Dewan Nasional, atau panitia-panitia adhoc yang dibentuk

forum KNLH atau PNLH; mengevaluasi kegiatan WALHI

selama satu periode; merumuskan strategi kebijakan dasar

WALHI; menetapkan dan mengesahkan amandemen Statuta

WALHI; memilih dan menetapkan Direktur Eksekutif

Nasional, Dewan Nasional, dan panitia-panitia adhoc; serta

mengesahkan pembentukan atau penutupan WALHI

Daerah. Selain PNLH, setiap tahunnya juga

diselenggarakan Konsultasi Nasional Lingkungan Hidup

(KNLH) untuk melakukan evaluasi dan perencanaan

pelaksanaan program dan keorganisasian selama satu tahun.

2) Struktur Organisasi

a) Dewan Nasional WALHI:

 Ketua Dewan Nasional WALHI Periode

2016-2020: Risma Umar

 Anggota Dewan Nasional WALHI Periode

2016-2020: Azmi Sirajuddin, Mualimin

Pardi Dahlan, I Wayan Gendo Suardana,

Bambang Catur Nusantara77

77
https://walhi.or.id/dewan-nasional/, diakses 22 Agustus 2018.

52
b) Eksekutif Nasional WALHI:

 Direktur Eksekutif Nasional WALHI: Nur

Hidayati

 Kepala Departemen Kampanye dan

Perluasan Jaringan: Khalisah Khalid

 Kepala Departemen Pengembangan Program

dan PME: Oslan Purba

 Kepala Departemen Keuangan: Mumu

Mulyadi

 Kepala Departemen Kajian, Pembelaan, dan

Hukum Lingkungan: Zenzi Suhadi

 Departemen Penggalangan Dana Publik dan

Ekonomi Kreatif: Vonni Novita (Manajer

Penggalangan Dana Publik), Ahmad Farid

(Manajer Pengembangan Ekonomi

Komunitas)

 Kepala Departemen Penguatan Organisasi:

Ahmad. SH78

78
https://walhi.or.id/eksekutif-nasional/, diakses 22 Agustus 2018.

53
Adapun tugas dan fungsi pokok masing-masing

struktur organisasi adalah sebagai berikut:

a) Menurut Pasal 12 Statuta WALHI, Dewan Nasional

bertugas untuk:

 Mengawasi pelaksanaan hasil Pertemuan


Nasional Lingkungan Hidup (PNLH) dan
Konsultasi Nasional Lingkungan Hidup
(KNLH) WALHI;
 Membahas, mempertimbangkan,
mengesahkan rencana program kerja,
anggaran, dan struktur yang diajukan oleh
Eksekutif Nasional;
 Melakukan pemantauan dan pengawasan
terhadap pelaksanaan program dan keuangan
yang dilakukan oleh Eksekutif Nasional;
 Melakukan audit internal terhadap program
kerja dan keuangan serta menunjuk auditor
eksternal;
 Menginformasikan hasil kerjanya secara
tertulis kepada anggota di dalam forum
KNLH;
 Melakukan rapat rutin dengan Direktur
Eksekutif Nasional minimum 4 (empat) kali
dalam setahun;
 Melakukan konsultasi dengan fungsionaris
dan anggota WALHI Daerah;
 Mempertanggungjawabkan pelaksanaan
tugas dan wewenangnya pada PNLH
WALHI;
 Bersama Eksekutif Nasional melakukan
peran politis dan strategis yang berkaitan
dengan hak atas lingkungan hidup dan hak
asasi manusia tingkat daerah;
 Bersama Eksekutif Nasional melakukan
peran politis dan strategis yang berkaitan
dengan hak atas lingkungan hidup dan hak
asasi manusia.

54
b) Menurut Pasal 14 Statuta WALHI, Eksekutif

Nasional bertugas untuk:

 Membuat rancangan program kerja dan


anggaran untuk jangka waktu satu periode 4
(empat) tahun dan perencanaan kerja 1 (satu)
tahun, untuk selanjutnya diajukan kepada
dan disahkan oleh Dewan Nasional;
 Menyampaikan informasi perkembangan
program kerja dan penggunaan anggaran
setiap 3 (tiga) bulan kepada Dewan Nasional
melalui Rapat Pleno Dewan Nasional
(RPDN);
 Mengkoordinasikan dan memfasilitasi
pelaksanaan PNLH, KNLH, pertemuan-
pertemuan lainnya, dan pelaksanaan program
secara nasional;
 Melakukan penggalangan dana untuk
pelaksanaan program-program yang telah
disepakati di dalam PNLH, KNLH, dan
RPDN;
 Bersama Dewan Nasional memfasilitasi
pembentukan WALHI Daerah;
 Bersama Dewan Nasional menetapkan
advokasi dan aksi di tingkat nasional dan
internasional;
 Memberi dukungan kepada Eksekutif Daerah
dalam pelaksanaan program dan advokasi
lingkungan hidup dan hak asasi manusia di
tingkat daerah;
 Menginformasikan laporan kerja tahunannya
dalam forum KNLH dan laporan
pertanggungjawaban dalam forum PNLH
WALHI;
 Membuat, menetapkan Standard
Operational Procedure (SOP) organisasi
dengan berkonsultasi kepada Dewan
Nasional;
 Mengangkat dan memberhentikan Staf
Eksekutif Nasional setelah berkonsultasi
dengan Dewan Nasional.

55
2. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kalimantan Tengah

a. Sejarah dan Perkembangan

WALHI Kalimantan Tengah berdiri sejak tahun 1990-an,

walaupun pada saat itu bentuknya masih berupa Presidium,

tergabung dalam Presidium Kalimantan. Pada tahun 1994 setelah

diadakannya PNLH WALHI di Bogor, pembentukan WALHI

Daerah diinisiasikan, termasuk dalam hal ini WALHI Kalimantan

Tengah. Dalam Statuta WALHI, pembentukan WALHI Daerah

diatur dalam Pasal 19. WALHI Daerah, termasuk WALHI

Kalimantan Tengah, dibentuk atas usulan sekurang-kurangnya 5

(lima) organisasi di daerah yang memenuhi persyaratan menjadi

anggota WALHI; serta sekurang-kurangnya sudah berdiri dan

menjalankan advokasi lingkungan hidup dan Hak Asasi Manusia

selama 3 (tiga) tahun. Dengan kata lain, harus ada sekurang-

kurangnya lima lembaga anggota WALHI yang menginginkan

adanya WALHI di suatu Provinsi tertentu. Selain itu, pembentukan

WALHI Daerah tersebut juga memerlukan rekomendasi dari 3

(tiga) Eksekutif Daerah WALHI terdekat dan diajukan kepada

Eksekutif Nasional dan Dewan Nasional WALHI.

Setelah memenuhi berbagai syarat usulan dan

rekomendasi tersebut, barulah Eksekutif Nasional dan Dewan

Nasional membentuk Tim Verifikasi dan Tim Asistensi. Tim

Verifikasi bertugas untuk memverifikasi persyaratan pembentukan

56
WALHI Daerah. Sedangkan Tim Asistensi bertugas untuk

melakukan pendidikan kader, pendidikan ke-WALHI-an

(kepemimpinan), advokasi, manajemen organisasi dan keuangan.

Pembentukan WALHI Daerah akan diputuskan dan ditetapkan

dalam Forum Konsultasi Nasional Lingkungan Hidup (KNLH) atau

Pertemuan Nasional Lingkungan Hidup (PNLH).

b. Visi dan Misi

Visi WALHI Kalimantan Tengah adalah, “terwujudnya

kedaulatan rakyat dalam pengelolaan sumber daya alam yang adil

dan lestari dengan menghargai prinsip keselamatan rakyat dan hak

asasi manusia.”79

Sedangkan misi WALHI Kalimantan Tengah, sebagai

berikut:

1) Memperkuat advokasi lingkungan dalam mendorong


kebijakan yang menghargai prinsip keselamatan rakyat dan
hak asasi manusia;
2) Meningkatkan kesadaran dan penguatan kapasitas
masyarakat atas pengelolaan sumber daya alam yang
berkelanjutan;
3) Membangun jaringan dan lingkar belajar di antara
masyarakat sipil sebagai kontrol terhadap kebijakan yang
tidak berpihak pada lingkungan yang berbasis pada
kebutuhan dan kearifan lokal masyarakat.80

79
http://walhikalteng.org/visi-misi/, diakses 22 Agustus 2018.
80
Ibid.

57
c. Kelembagaan dan Struktur Organisasi

Bagan 1. Struktur Organisasi WALHI Kalimantan Tengah

1) Forum Pengambilan Keputusan

Dalam WALHI daerah, forum pengambilan

keputusan ada pada Pertemuan Daerah Lingkungan Hidup

(PDLH) dan Konsultasi Daerah Lingkungan Hidup

(KDLH), yang memiliki fungsi pokok yang sama dengan

forum pengambilan keputusan pada WALHI Nasional.

2) Struktur Organisasi

a) Dewan Daerah WALHI Kalimantan Tengah:

 Ketua Dewan Daerah: Bima Ade Abimayu

 Sekretaris Dewan Daerah: Pastur Frans

 Anggota Dewan Daerah: Noerhadi Karben81

81
http://walhikalteng.org/dewan-daerah/, diakses 22 Agustus 2018.

58
b) Eksekutif Daerah WALHI Kalimantan Tengah:

 Direktur Eksekutif Daerah: Dimas Novian

Hartono

 Departemen Advokasi dan Kampanye: -

 Departemen Kajian dan Data Base: Halis

Sangko

 Departemen Organisasi dan Pendidikan:

Bayu Herinata

 Departemen Keuangan: Ana Octaviani

 Staf Organisasi dan Pendidikan: Ayu

Kusuma

 Staf Data Tambang dan Lapangan: Nofendri

 Staf Data Perkebunan dan Lapangan: -82

Adapun tugas dan fungsi pokok masing-masing

struktur organisasi adalah sebagai berikut:

a) Menurut Pasal 16 Statuta WALHI, Dewan Daerah

bertugas untuk:

 Mengawasi pelaksanaan hasil Pertemuan


Daerah Lingkungan Hidup (PDLH) dan
Konsultasi Daerah Lingkungan Hidup
(KDLH) WALHI;
 Membahas, mempertimbangkan,
mengesahkan rencana program kerja,
anggaran dan struktur yang diajukan oleh
Eksekutif Daerah;

82
http://walhikalteng.org/eksekutif-daerah/, diakses 22 Agustus 2018.

59
 Melakukan pemantauan dan pengawasan
terhadap pelaksanaan program dan keuangan
yang dilakukan oleh Eksekutif Daerah;
 Melakukan audit internal terhadap program
kerja dan keuangan serta menunjuk auditor
eksternal;
 Menginformasikan hasil kerjanya secara
tertulis kepada anggota di dalam forum
KDLH;
 Melakukan rapat rutin dengan Direktur
Eksekutif Daerah minimum 4 (empat) kali
dalam setahun;
 Melakukan konsultasi dengan anggota
WALHI Daerah;
 Mempertanggungjawabkan pelaksanaan
tugas dan wewenangnya pada PDLH
WALHI;
 Bersama Eksekutif Daerah melakukan peran
politis dan strategis yang berkaitan dengan
hak atas lingkungan hidup dan hak asasi
manusia tingkat daerah.
b) Menurut Pasal 18 Statuta WALHI, Eksekutif

Daerah bertugas untuk:

 Membuat rancangan program kerja dan


anggaran untuk jangka waktu tertentu untuk
diajukan kepada dan disahkan oleh Dewan
Daerah;
 Menyampaikan informasi perkembangan
program kerja dan penggunaan anggaran
setiap 3 (tiga) bulan kepada Dewan Daerah;
 Mengkoordinasikan dan memfasilitasi
pelaksanaan PDLH, KDLH, pertemuan-
pertemuan lainnya, dan pelaksanaan
program;
 Melakukan penggalangan dana untuk
pelaksanaan program-program yang telah
disepakati di dalam PDLH dan KDLH;
 Bersama Dewan Nasional memfasilitasi
pembentukan WALHI Daerah;
 Bersama Dewan Daerah melakukan peran
politis dan strategis yang berkaitan dengan
hak atas lingkungan hidup dan hak asasi
manusia di tingkat daerah;

60
 Menginformasikan laporan kerja tahunannya
dalam forum KDLH dan laporan
pertanggungjawaban dalam forum PDLH.
Adapun tugas dan fungsi pokok masing-masing

departemen dalam WALHI Kalimantan Tengah, sebagai

berikut:

a) Departemen Advokasi dan Kampanye bertugas

untuk:

 Menentukan isu-isu lingkungan tertentu

yang akan diadvokasi dan dikampanyekan

dalam rancangan program advokasi dan

kampanye untuk jangka waktu 4 (empat)

tahun, dan akan dipecahkan dalam

rancangan program pertahun;

 Menentukan metode advokasi dan kampanye

yang akan dilakukan;

 Melakukan advokasi dan kampanye

berkaitan dengan isu-isu lingkungan

tersebut, sesuai dengan rencana program

advokasi dan kampanye

b) Departemen Kajian dan Database bertugas untuk

membuat kajian/riset lapangan berkaitan dengan

kondisi lingkungan, disesuaikan dengan isu-isu

lingkungan yang sedang diadvokasi. Di dalamnya

61
termasuk riset pengumpulan data tambang dan

perkebunan.

c) Departemen Organisasi dan Pendidikan bertugas

untuk melakukan manajemen organisasi;

menyelenggarakan pendidikan kader dan

pendidikan ke-WALHI-an; serta menyelenggarakan

penguatan organisasi rakyat melalui pelatihan dan

pendidikan kritis.

d) Departemen Keuangan bertugas untuk mengatur

keuangan hingga fundraising.83

d. Anggota dan Wilayah Kerja WALHI Kalimantan Tengah

Hingga saat ini, WALHI Kalimantan Tengah

beranggotakan 6 organisasi dari unsur organisasi non-pemerintah, 2

organisasi pecinta alam, serta 61 anggota individu. Organisasi-

organisasi non-pemerintah yang tergabung sebagai anggota

WALHI Kalimantan Tengah, antara lain Yayasan Betang Borneo,

Kelompok Kerja Sistem Hutan Kerakyatan (Pokker SHK), Yayasan

Petak Danum, Lembaga Dayak Panarung, LAMAN, dan Justice,

Peace, Integrity and Creation (JPIC). Sedangkan organisasi pecinta

alam yang tergabung sebagai anggtoa WALHI Kalimantan Tengah

antara lain Komodo Mapala (Fakultas Ekonomi Universitas

83
Wawancara dengan Dimas Novian Hartono, Direktur Eksekutif WALHI Kalteng, tanggal 17
September 2018.

62
Palangka Raya) dan Dozer Mapala (Fakultas Teknik Universitas

Palangka Raya).84

Fokus area yang menjadi basis advokasi dari WALHI

Kalimantan Tengah dan anggota-anggotanya mencakup 10

kabupaten/kota, antara lain Kabupaten Murung Raya, Barito Utara,

Kapuas, Barito Selatan, Pulang Pisau, Katingan, Kotawaringin

Timur, Kotawaringin Barat, Seruyan, dan Kota Palangka Raya85.

84
Ibid.
85
http://walhikalteng.org/sejarah/, diakses 24 September 2018.

63
D. Peran Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dalam Penegakan

Hukum Lingkungan di Provinsi Kalimantan Tengah

1. Peran WALHI Kalimantan Tengah dalam Penegakan Hukum

Lingkungan Pada Umumnya

Pasal 70 UUPPLH menyatakan adanya hak dan kesempatan yang

sama dan seluas-luasnya bagi masyarakat untuk berperan aktif dalam

pengelolaan lingkungan hidup. Peran masyarakat di sini dapat berupa

pengawasan sosial; pemberian saran, pendapat, usul, keberatan,

pengaduan; dan/atau penyampaian informasi dan/atau laporan yang dapat

membantu proses penegakan hukum lingkungan. Sehingga berkaitan

dengan hal ini, WALHI sebagai salah satu komponen dari masyarakat juga

diberikan hak untuk berperan aktif mendukung penegakan hukum

lingkungan demi tercapainya perlindungan dan pengelolaan lingkungan

hidup yang baik. Peran aktif WALHI Kalimantan Tengah dituangkan

dalam berbagai kegiatan yang dilakukan untuk mendukung penegakan

hukum lingkungan di Kalimantan Tengah. Yang menjadi sasaran dari

kegiatan-kegiatan WALHI Kalimantan Tengah adalah pemerintah, pihak

swasta, dan masyarakat sebagai sasaran utamanya. Maka dari itulah, fokus

utama dari kegiatan WALHI Kalimantan Tengah adalah advokasi dan

pengorganisasian rakyat.

64
Berdasarkan hasil penelitian, dalam mendukung upaya penegakan

hukum lingkungan di Kalimantan Tengah, ada beberapa kegiatan yang

sudah dilakukan WALHI Kalimantan Tengah,86 antara lain:

Pertama, melakukan pemantauan/pengawasan (monitoring)

terhadap kondisi lingkungan dan pembangunan yang terjadi di Kalimantan

Tengah. Monitoring dilakukan untuk memastikan bahwa pembangunan

yang terjadi di Kalimantan Tengah berjalan secara berkelanjutan dan

dengan memperhatikan pelestarian dan perlindungan lingkungan.

Kedua, melakukan riset dan kajian kondisi lingkungan

(investigasi). Apabila ditemukan adanya indikasi perusakan maupun

pencemaran lingkungan, WALHI Kalimantan Tengah melalui Departemen

Kajian dan Database-nya biasanya akan melakukan pengumpulan data

lapangan mengenai sejauh mana perusakan atau pencemaran lingkungan

yang terjadi di Kalimantan Tengah. Riset dan kajian kondisi lingkungan di

lapangan dapat dilakukan dengan mengambil sampel maupun melihat

secara langsung. Kegiatan lainnya yang juga dilakukan berkaitan dengan

riset dan kajian ini, antara lain pengumpulan aspirasi masyarakat di sekitar

lokasi kejadian, menganalisis berbagai data yang diperoleh, serta membuat

kesimpulan dan rekomendasi.

Ketiga, melakukan kampanye berkaitan dengan isu-isu

lingkungan dan pengorganisasian rakyat. Berbagai data yang telah

86
Wawancara dengan Dimas Novian Hartono, Direktur Eksekutif WALHI Kalteng, tanggal 17
September 2018.

65
diperoleh dan diolah oleh WALHI Kalimantan Tengah akan

dipublikasikan secara meluas dan menyeluruh melalui berbagai media.

Sasaran utama dari kampanye lingkungan ini adalah masyarakat secara

umum. Kampanye lingkungan diadakan untuk mengakomodasi dan

memfasilitasi masyarakat untuk memiliki pengetahuan, peduli, dan ikut

terlibat dalam berbagai kasus dan isu lingkungan yang ada di sekitarnya.

Sebagai output-nya, kampanye lingkungan dan pengorganisasian rakyat

juga diharapkan agar dapat mencapai tujuan-tujuan seperti: terbentuknya

opini publik, tersebarnya isu-isu lingkungan kepada masyarakat, dan

memberikan tekanan politik untuk mempengaruhi berbagai kebijakan

pemerintah maupun pihak swasta. Kampanye-kampanye yang dilakukan

oleh WALHI Kalimantan Tengah dapat dilihat dalam berbagai kegiatan

sebagai berikut:

a. Melakukan kampanye dan siaran pers melalui berbagai media

massa, cetak maupun online. Beberapa contoh kegiatannya adalah

sebagai berikut:

1) Melakukan press release terkait kebakaran hutan dan lahan

dan gugatan CLS secara terbuka di Kantor WALHI

Kalimantan Tengah;

2) Mengadakan dan memperkenalkan platform Pantau

Gambut (www.pantaugambut.id) yang mengajak

masyarakat untuk mengawal upaya restorasi gambut di

Indonesia;

66
3) Membahas berbagai isu-isu lingkungan melalui berbagai

media cetak dan online, serta sosial media milik WALHI

Kalimantan Tengah.

b. Melaksanakan dialog publik dan diskusi kasus. Sebagai

contohnya, WALHI Kalimantan Tengah bersama NAMATI pernah

menyelenggarakan Dialog Publik dan Diskusi Kasus bertema

“Mendorong Pemulihan Hak Masyarakat dan Peran Paralegal

dalam Konflik Akibat Transformasi Lahan Skala Besar di

Kalimantan Tengah.” Dalam dialog publik dan diskusi kasus ini,

diantaranya disampaikan berbagai kasus dan gambaran konflik

yang telah ditangani melalui peran paralegal di Kalimantan

Tengah, serta berbagai informasi dan pengetahuan tentang upaya-

upaya dan mekanisme yang dapat digunakan untuk penyelesaian

konflik sumber daya alam di Kalimantan Tengah. Dengan

diselenggarakannya dialog publik dan diskusi kasus ini, diharapkan

adanya tanggapan dan komitmen pemerintah dan para penegak

hukum untuk menyelesaikan konflik sumber daya alam akibat

transformasi lahan skala besar yang ada di Kalimantan Tengah.

c. Membentuk organisasi rakyat dan memobilisasi massa untuk

melakukan aksi. Beberapa contoh aksi yang pernah dimobilisasi

oleh WALHI Kalimantan Tengah, di antaranya:

1) Aksi dalam rangka Hari Tani Nasional;

67
2) Aksi Front Perjuangan Rakyat Kalimantan Tengah dalam

menyikapi Reforma Agraria;

3) Aksi Menolak Batu Bara dan PLTU di depan Kantor

Kementerian ESDM oleh perwakilan komunitas masyarakat

Dusun Gurun Karasik, Kabupaten Barito Timur, Provinsi

Kalimantan Tengah yang kawasan hutannya telah dirusak

akibat pertambangan batu bara yang terletak dekat dengan

pemukiman masyarakat.

d. Mengadakan kampanye lingkungan melalui media seni. Beberapa

contoh kegiatannya adalah sebagai berikut:

1) WALHI Kalimantan Tengah bersama berbagai lembaga

lainnya yang tergabung dalam Forum Suara Rakyat

Kalimantan Tengah pernah mengadakan Panggung Rakyat

Pentas Seni Budaya dalam rangka Hari Tani Nasional;

2) Mengadakan Layar Tancap Film Dokumenter berjudul

“Ekspedisi Indonesia Biru: ASIMETRIS”, yang bercerita

tentang dampak industri kelapa sawit di Indonesia terhadap

kondisi sosial, ekonomi, dan lingkungan rakyat;

3) Membuat film berjudul “Rimba Terakhir Kalimantan

Tengah” yang disiarkan di youtube channel WALHI

Kalimantan Tengah.

e. Membentuk kelompok tani untuk merebut dan menanami kembali

lahan-lahan masyarakat yang berkonflik dengan perusahaan.

68
Keempat, memberikan pendidikan dan pelatihan. WALHI

Kalimantan Tengah dalam hal ini memberikan pendidikan dan pelatihan

paralegal bagi paralegal-paralegal yang telah melalui proses seleksi dan

perekrutan oleh WALHI Kalimantan Tengah. Selain itu, WALHI

Kalimantan Tengah juga memberikan pendidikan dan pelatihan

lingkungan maupun pendidikan hukum kritis kepada komunitas atau

masyarakat Kalimantan Tengah. Beberapa kegiatan pendidikan dan

pelatihan yang diadakan WALHI Kalimantan Tengah sebagai berikut:

a. Memberikan serangkaian pendidikan dan pelatihan Paralegal

kepada paralegal-paralegal yang telah melalui proses seleksi dan

perekrutan oleh WALHI Kalimantan Tengah, yang melibatkan

Walhi Eksekutif Nasional, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum

Indonesia (YLBHI), Pengacara Komunitas, dan Peneliti sebagai

Narasumber dan Fasilitator. Pendidikan dan pelatihan paralegal

kemudian akan ditindaklanjuti dengan pembentukan komunitas

paralegal yang akan membantu advokasi hukum lingkungan di

Kalimantan Tengah. Pendidikan dan pelatihan paralegal tersebut

mencakup sebagai berikut87:

1) Pendidikan paralegal dengan tema “Mendorong Peran

Masyarakat dalam Pendampingan Hukum dan Hak Asasi

Manusia”;

87
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kalimantan Tengah, 2018, Transformasi
Lahan Skala Besar di Indonesia: Peran Paralegal Komunitas untuk Menyelesaikan Konflik di
Kalimantan Tengah (Publikasi Kasus 1 Tahun WALHI Kalimantan Tengah)

69
2) Pelatihan Paralegal: Metodologi Penelitian dan Penanganan

Konflik bagi Paralegal Komunitas;

3) Pelatihan Intensif Hukum dan Metode Penyelesaian Kasus

untuk Paralegal Komunitas;

4) Pelatihan berkaitan berbagai hal lainnya, seperti pelatihan

membuat perencanaan dan laporan kerja bulanan, buku

panduan bagi paralegal keadilan lingkungan, format

identifikasi dan dokumentasi kasus, dokumentasi alat bukti

dan kondisi lapangan, manajemen keuangan tim paralegal,

asistensi dan review laporan bulanan, konsultasi hukum dan

analisis kasus, serta koordinasi dan evaluasi tim paralegal.

b. Bersama Community Lawyer Kalimantan Tengah, WALHI

Kalimantan Tengah memberikan pelatihan singkat “Peran

Paralegal dalam Penanganan Kasus Lingkungan dan Hak Asasi

Manusia di Komunitas Kalimantan Tengah” kepada 30 orang

masyarakat Desa Tumbang Runen dan Desa Kairung untuk

meningkatkan pengetahuan dan kesadaran hukum masyarakat

dalam menghadapi persoalan-persoalan hukum, khususnya terkait

pencaplokan lahan yang sering dialami oleh komunitas masyarakat

desa, agar kemudian dapat memulihkan kembali hak-hak hukum

komunitasnya.

c. Mengadakan diskusi-diskusi, contohnya sebagai berikut:

70
1) Bersama Yayasan Madani Berkelanjutan, Tim Restorasi

Gambut Daerah Provinsi Kalimantan Tengah, WWF

Indonesia, dan Fakultas Hukum Universitas Palangka Raya,

mengadakan University Roadshow di Fakultas Hukum

Universitas Palangka Raya bertema “Kita, Gambut, dan

Masa Depan Lingkungan Hidup Indonesia,” yang

membahas isu-isu seputar gambut dan penyelamatan

ekosistem rawa gambut di Kalimantan Tengah;

2) Mengadakan diskusi dalam rangka memperingati Hari

Lingkungan Hidup, yang bertemakan urgensi lembaga

bantuan hukum dalam penanganan kasus-kasus lingkungan

dan Hak Asasi Manusia (HAM) di Kalimantan Tengah serta

perencanaan tata ruang Provinsi Kalimantan Tengah

terkhusus pada kawasan gambut. Diskusi ini diadakan oleh

WALHI Kalimantan Tengah bersama multi-stakeholder,

antara lain organisasi non-pemerintah (Non-Governmental

Organizations/NGO) atau organisasi masyarakat sipil (Civil

Society Organizations/CSO) dan aktivis Kalimantan

Tengah, civitas akademika yang terdiri dari mahasiswa dan

dosen Fakultas Hukum Universitas Palangka Raya, Dinas

Lingkungan Hidup Provinsi Kalimantan Tengah, Yayasan

Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Tim

71
Restorasi Gambut Daerah Provinsi Kalimantan Tengah dan

masyarakat Kalimantan Tengah;

3) Diskusi bersama civitas akademika dari Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik Universitas Palangka Raya tentang

HAM dan perizinan industri ekstraktif di Kalimantan

Tengah;

4) Membentuk forum-forum diskusi lainnya bersama

masyarakat.

Kelima, membangun lembaga mitra pemerintah. WALHI

Kalimantan Tengah dapat mendukung pemerintah dalam melaksanakan

penegakan hukum lingkungan di Kalimantan Tengah melalui pemberian

masukan terhadap kebijakan Pemerintah. Beberapa hal yang sudah

dilakukan WALHI Kalimantan Tengah untuk membangun WALHI

Kalimantan Tengah sebagai mitra kerja pemerintah antara lain dengan

melibatkan diri dalam penyusunan kebijakan, baik melalui Peraturan

Daerah maupun Peraturan Gubernur, serta memberikan masukan-masukan

dalam pembentukan Rancangan Undang-Undang (RUU), contohnya

seperti RUU Pertambangan dan penolakan terhadap RUU Kelapa Sawit.

Selain itu, WALHI Kalimantan Tengah juga mengadakan dan

memfasilitasi masyarakat untuk terlibat dalam public hearing untuk

menyuarakan berbagai kritik dan pendapat berkaitan dengan berbagai isu

lingkungan yang ada di Kalimantan Tengah kepada DPRD Provinsi

Kalimantan Tengah, Gubernur Provinsi Kalimantan Tengah, dan instansi-

72
instansi terkait lainnya. WALHI Kalimantan Tengah juga turut serta

secara aktif melakukan pengawasan dalam berbagai proses perizinan yang

ada di Kalimantan Tengah serta mengajukan kritik dan keberatan terhadap

kebijakan-kebijakan pemerintah yang dianggap tidak berpihak kepada

masyarakat dan lingkungan hidup.

Dalam hal penanganan konflik agraria, ditemukan adanya indikasi

pelanggaran dalam perizinan dan pelaksanaan aktivitas perkebunan,

pertambangan, maupun kehutanan, atau ditemukan adanya indikasi

perusakan dan pencemaran lingkungan, WALHI Kalimantan Tengah juga

berkoordinasi serta menyampaikan pengaduan/pelaporan kepada aparat

penegak hukum atau instansi pemerintah di berbagai tindakan, seperti

Kepala Desa dan Camat, Bupati, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah Kabupaten/Kota dan Provinsi, Dinas Kehutanan, Perkebunan dan

Pertambangan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, serta Badan Pertanahan

Nasional (BPN) Daerah dan Provinsi. Berkaitan dengan penanganan

konflik agraria, beberapa hal yang telah dilakukan oleh WALHI

Kalimantan Tengah beserta komunitas paralegalnya adalah sebagai

berikut:

a. Di Kabupaten Seruyan, melakukan proses mediasi di Kecamatan

dan Pemerintah Kabupaten Seruyan, serta meminta HGU

perusahaan di BPN Kabupaten Seruyan;

73
b. Di Kabupaten Katingan, Bersama Kepala Desa Tumbang Runen,

meminta perusahaan dan Pemerintah Kecamatan serta Kabupaten

Katingan untuk menghentikan pengolahan lahan warga;

c. Di Barito Timur, melaporkan kasus ke Dinas Lingkungan Hidup.

Selain itu, bersama masyarakat, WALHI Kalimantan Tengah

bersama komunitas paralegalnya juga menuntut agar proses

tambang PT. Bangun Nusantara Jaya Makmur tidak dilanjutkan

lagi.

d. Di Kotawaringin Timur, melakukan pelaporan kasus ke Pemerintah

Daerah dan Gubernur, hearing ke DPRD Provinsi, dan melakukan

proses mediasi kasus.88

Keenam, melalui komunitas paralegalnya, WALHI Kalimantan

Tengah melakukan advokasi hukum lingkungan. Untuk tahun 2018,

komunitas paralegal WALHI Kalimantan Tengah terdiri dari lima tim

paralegal yang terdiri dari tiga orang/tim, yang tersebar di lima wilayah

kerja, yaitu Kabupaten Kapuas; Kabupaten Barito Timur; Kabupaten

Katingan dan Kota Palangka Raya; Kabupaten Kotawaringin Timur; serta

Kabupaten Seruyan dan Kotawaringin Barat89. Kegiatan advokasi yang

dilakukan komunitas paralegal ini meliputi pencatatan, pendokumentasian,

dan penyelesaian berbagai kasus lingkungan serta pemberian

pendampingan kepada masyarakat dalam menghadapi berbagai kasus-

kasus lingkungan hidup di Kalimantan Tengah. Komunitas paralegal

88
Ibid.
89
Ibid.

74
WALHI Kalimantan Tengah, dalam kurun waktu tahun 2018, sedang

mendampingi masyarakat dalam beberapa kasus-kasus lingkungan hidup,

yang diantaranya kasus sengketa tanah/land grabbing (pengambilan lahan)

oleh perusahaan, pencemaran dan perusakan lingkungan, hingga

kriminalisasi masyarakat sebagai pejuang lingkungan. Pada tahun 2018,

oleh WALHI Kalimantan Tengah telah teridentifikasi adanya 344 kasus

lingkungan hidup di Provinsi Kalimantan Tengah. Dari 344 kasus

tersebut, ada 115 kasus yang kronologi konfliknya tercatat secara baik.

Ada 29 kasus diantaranya yang disamping tercatat dengan baik secara

kronologis, juga memiliki data-data pendukung. Di antara 29 kasus yang

telah terdokumentasi, kasus-kasus tersebut terdiri dari 24 dokumen kasus

perkebunan dan 5 dokumen kasus pertambangan. Namun untuk tahun

2018, telah ditetapkan hanya 7 kasus prioritas untuk dibuatkan analisis

hukum dan ditindaklanjuti oleh komunitas paralegal dalam rangka

penanganan kasus90, sebagai berikut:

No. Kabupaten Deskripsi Kasus


1. Kapuas Sengketa lahan antara masyarakat di desa Sei
Ahas dengan perusahaan perkebunan sawit PT.
Rejeki Alam Semesta (PT. RAS) yang terjadi
sejak tahun 2007. PT. RAS merampas lahan
warga sebagai lahan perkebunan sawit.
2. Barito Timur Pengrusakan dan pencemaran air sungai
Mabayoi (Hulu Sungai Paku) akibat operasi
produksi tambang batubara PT. Bangun
Nusantara Jaya Makmur (PT. BNJM) yang
beroperasi sejak tahun 2005, di desa Apar Batu.
3. Katingan Penyerobotan tanah masyarakat desa Tumbang
Runen oleh perusahaan perkebunan sawit PT.

90
Ibid.

75
Arjuna Utama Sawit (PT. AUS).
4. Kotawaringin Perampasan tanah masyarakat oleh perusahaan
Timur perkebunan sawit PT. Bumi Sawit Kencana II
(PT. BSK II) di Desa Pantap, Kecamatan
Mentaya Hulu.
5. Seruyan Sengketa lahan antara warga dan perusahaan
perkebunan sawit PT. Gawi Bahandep Sawit
Mekar (PT. GBSM) sejak tahun 2006 di Desa
Baung, Kecamatan Seruyan Hilir.
6. Kotawaringin Alih fungsi Danau Asam di Kelurahan
Barat Kotawaringin Hilir, Kecamatan Kotawaringin
Lama oleh perusahaan perkebunan sawit PT.
Bumitama Gunajaya Abadi (PT. BGA) sejak
tahun 2007.
7. Barito Utara Sengketa lahan antara masyarakat Desa
Kemawen dengan perusahaan perkebunan sawit
PT. Berjaya Agro Kalimantan (PT. BAK) sejak
tahun 2005.
Tabel 1. Tujuh Kasus Prioritas Tim Paralegal WALHI Kalimantan Tengah
Tahun 2018
Sumber: Transformasi Lahan Skala Besar di Indonesia: Peran Paralegal
Komunitas untuk Menyelesaikan Konflik di Kalimantan Tengah (Publikasi
Kasus 1 Tahun WALHI Kalimantan Tengah)
Berbagai kasus-kasus lingkungan yang sudah disebutkan

jumlahnya di atas, biasanya diselesaikan dengan berbagai mekanisme,

seperti penyelesaian secara adat, dilakukannya pelaporan/pengaduan

kepada aparat penegak hukum atau pemerintah. Dalam hal dilakukannya

pelaporan/pengaduan kepada aparat penegak hukum atau pemerintah,

WALHI Kalimantan Tengah selalu mengikuti perkembangan tindak lanjut

dari aparat penegak hukum maupun pemerintah terhadap kasus lingkungan

yang dilaporkan/diadukan tersebut.

Dari banyaknya kasus-kasus lingkungan yang sudah diriset dan

sedang diupayakan penyelesaiannya oleh WALHI Kalimantan Tengah ini,

seringkali juga diikuti dengan munculnya kasus kriminalisasi masyarakat

76
sebagai pejuang lingkungan. Dimas Novian Hartono selaku Direktur

WALHI Kalimantan Tengah menyatakan bahwa hal ini terjadi ketika,

berdasarkan kondisi riil di lapangan terjadi pengambilan lahan oleh

perusahaan, maka masyarakat akan secara refleks mempertahankan lahan

miliknya. Hal ini mengakibatkan adanya sengketa antara masyarakat dan

perusahaan. Ketika sengketa tersebut terjadi, perusahaan menilai bahwa

masyarakat mengganggu aktivitas perusahaan, kemudian

mengkriminalisasi masyarakat tersebut. Sebagai salah satu bentuk

pendampingan terhadap kasus lingkungan hidup yang dihadapi oleh

masyarakat, WALHI juga menyiapkan advokat untuk mendampingi

masyarakat pejuang lingkungan ini dalam tahap litigasi.

Berdasarkan hasil analisis peneliti, selaras dengan pendapat yang

dikemukakan Soerjono Soekanto mengenai faktor-faktor yang

mempengaruhi dan menentukan efektivitas penegakan hukum, WALHI

Kalimantan Tengah merupakan salah satu faktor yang mendorong

efektivitas penegakan hukum lingkungan di Kalimantan Tengah, yaitu

faktor masyarakat. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa WALHI

Kalimantan Tengah merupakan salah satu komponen dari masyarakat.

WALHI Kalimantan Tengah sebagai unsur masyarakat yang memiliki

kompetensi dalam bidang hukum lingkungan, melalui kegiatan-

kegiatannya, melakukan advokasi dalam bentukupaya-upaya

pengorganisasian rakyat, penyadaran hak-hak dan kewajiban-kewajiban

masyarakat terhadap lingkungan hidup, mengkritisi kebijakan pemerintah

77
dan pihak swasta, dan advokasi hukum lingkungan. Kegiatan-kegiatan ini

dilakukan sebagai upaya untuk menciptakan masyarakat yang kritis

terhadap berbagai permasalahan lingkungan hidup serta upaya-upaya yang

dapat dilakukan untuk mengatasi berbagai permasalahan tersebut, sehingga

pada akhirnya dapat mendorong efektivitas penegakan hukum lingkungan

di Kalimantan Tengah.

Apabila melihat dari intensitas upaya-upaya advokasi91 yang telah

dilakukan oleh WALHI Kalimantan Tengah, seperti pengorganisasian

rakyat dan penyadaran hak-hak dan kewajiban-kewajiban masyarakat

terhadap lingkungan hidup, upaya-upaya yang dilakukan WALHI

Kalimantan Tengah dapat dikatakan cukup baik, karena telah melakukan

kampanye serta pendidikan melalui berbagai media dan menyasar pada

berbagai lapisan masyarakat seperti civitas akademika, komunitas

masyarakat yang terlibat konflik, penikmat seni, dan masyarakat

Kalimantan Tengah pada umumnya. Namun apabila dibandingkan dengan

upaya advokasi hukum92 lingkungan yang dilakukan WALHI Kalimantan

Tengah melalui komunitas paralegalnya, upaya yang dilakukan WALHI

Kalimantan Tengah masih dapat dikatakan minim, karena dari 344 kasus

yang teridentifikasi, WALHI Kalimantan Tengah hanya mampu

91
Upaya advokasi adalah upaya persuasi yang bertujuan untuk mempengaruhi masyarakat,
pembentuk kebijakan, korporasi, atau pemangku kepentingan lainnya dalam pengambilan
kebijakan atau keputusan.
92
Advokasi hukum adalah kegiatan pemberian pendampingan dan/atau pembelaan hukum dalam
hal terjadi permasalahan hukum.

78
memprioritaskan 7 kasus diantaranya untuk ditindaklanjuti dalam rangka

penanganan kasus.

2. Peran WALHI Kalimantan Tengah dalam Penyelesaian Sengketa

Lingkungan (Sengketa tentang Kebakaran Hutan dan Lahan)

a. Sengketa Lingkungan tentang Kebakaran Hutan dan Lahan di

Provinsi Kalimantan Tengah (Putusan Pengadilan Negeri Palangka

Raya Nomor 118/Pdt.G/LH/2016/PN.PLK)

Pada tahun 2016, masyarakat Kalimantan Tengah pernah

mengajukan gugatan secara perdata kepada Pengadilan Negeri

Palangka Raya atas terjadinya kebakaran hutan dan lahan di

Provinsi Kalimantan Tengah pada tahun 2015. Gugatan diajukan

oleh tujuh warga Kalimantan Tengah yang didampingi oleh para

Advokat, Pengacara Publik, dan Asisten Pengacara Publik dalam

Tim Advokasi Anti Asap yang tergabung dalam Gerakan Anti

Asap (GAAs) Kalimantan Tengah. GAAs adalah gerakan yang

diinisiasikan oleh WALHI Kalimantan Tengah bersama beberapa

lembaga/organisasi lainnya untuk melakukan advokasi dan

pelayanan kemanusiaan bagi korban asap. Gugatan mengenai

kebakaran hutan dan lahan ini diajukan dengan mekanisme

Gugatan Warga Negara (Citizen Lawsuit), terhadap Presiden

Republik Indonesia, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan,

Menteri Pertanian, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan

Pertanahan, Menteri Kesehatan, Gubernur Kalimantan Tengah, dan

79
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Kalimantan

Tengah.

Gugatan Citizen Lawsuit tersebut diputus dalam Putusan

Pengadilan Negeri Palangka Raya Nomor

118/Pdt.G/LH/2016/PN.PLK, yang diperkuat dengan Putusan

Pengadilan Tinggi Kalimantan Tengah Nomor

36/PDT/2017/PN.PLK, yang hingga pada saat ditulisnya skripsi

ini, masih dalam proses Kasasi di Mahkamah Agung. Berkaitan

dengan perkara ini, penulis hanya akan membahas perkaranya

hingga pada Putusan Pengadilan Negeri atau putusan tingkat

pertamanya saja.

Dalam kasus kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan

Tengah tersebut, tujuh warga Kalimantan Tengah menggugat

Pemerintah dengan mekanisme Citizen Lawsuit, karena dianggap

telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum yang mengakibatkan

terjadinya kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Tengah pada

tahun 2015. Para Tergugat dikatakan belum bekerja maksimal

sesuai mandat yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan,

baik pada masa pra, kejadian, maupun pasca kebakaran hutan dan

lahan yang menimbulkan kabut asap. Padahal, Para Tergugat

sebagai Pemerintah berkewajiban untuk melakukan perbuatan

hukum untuk melindungi terjaminnya pemenuhan hak masyarakat

atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, sebagaimana

80
dimandatkan dalam Pasal 28 H Undang-Undang Dasar 1945 jo.

Pasal 2 dan 9 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999

tentang Hak Asasi Manusia jo. Pasal 65 ayat (1) UUPPLH.

Akibat kelalaian Para Tergugat sebagai penyelenggara

pemerintahan dalam menjalankan fungsi dan tugasnya untuk

melakukan tindakan pencegahan dan penanggulangan kebakaran

hutan, maka masyarakat Kalimantan Tengah mengalami banyak

kerugian materiil dan imateriil, antara lain: mengakibatkan Infeksi

Saluran Pernafasan Akut (ISPA) di 14 (empat belas)

Kabupaten/Kota sejumlah sekitar 11.751 kasus di bulan Agustus

2015, sekitar 23.795 kasus di bulan September 2015, dan sekitar

13.949 kasus di bulan Oktober 2015; mengakibatkan diare

sejumlah sekitar 4.453 kasus; mengakibatkan meninggalnya 1

balita, 1 anak, dan 2 orang dewasa; merugikan para pelajar di

wilayah Provinsi Kalimantan tengah yang mengalami pengurangan

jam belajar dan penghentian sementara kegiatan belajar-mengajar;

mengakibatkan masyarakat harus mengevakuasi diri; mengganggu

aktivitas penerbangan pesawat dari dan ke tiga Bandara di Provinsi

Kalimantan Tengah; dan mengakibatkan penurunan penerimaan

negara bukan pajak akibat kabut asap hingga Rp. 1.524.365.055.

Berdasarkan dalil-dalil yang telah dikemukakan Para

Penggugat, maka Para Penggugat mengajukan tuntutan yang

beberapa di antaranya adalah: menyatakan Para Tergugat

81
melakukan Perbuatan Melawan Hukum; menghukum Para

Tergugat untuk menerbitkan peraturan-peraturan pelaksana dari

UUPPLH serta peraturan-peraturan lainnya yang penting bagi

pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan;

menghukum Para Tergugat untuk membuat tim gabungan yang

memiliki tugas dan fungsi melakukan peninjauan ulang dan revisi

izin-izin usaha pengelolaan hutan dan perkebunan yang telah

terbakar, melakukan penegakan hukum lingkungan, membuat

roadmap (peta jalan) pencegahan dini, penanggulangan, dan

pemulihan korban kebakaran hutan dan lahan serta pemulihan

lingkungan; menghukum Para Tergugat untuk mendirikan rumah

sakit khusus paru, membebaskan biaya pengobatan bagi warga

terdampak kabut asap, dan membuat ruang evakuasi bebas

pencemaran; menghukum Para Tergugat untuk mengumumkan

kepada publik lahan yang terbakar dan perusahaan pemegang

izinnya; menghukum Para Tergugat untuk meminta maaf secara

terbuka kepada masyarakat Provinsi Kalimantan Tengah; serta

menghukum Para Tergugat untuk mengambil tindakan lainnya

yang dapat mendukung pencegahan dan penanggulangan kebakaran

hutan dan lahan.

Dalam jawaban-jawaban dan bukti-buktinya, Para

Tergugat sudah berusaha menyampaikan adanya upaya-upaya yang

dilakukan oleh Para Tergugat dalam rangka pencegahan dan

82
penanggulangan kebakaran hutan. Para Tergugat juga

mengemukakan bahwa di antara peraturan-peraturan pelaksana

yang dituntut oleh Para Penggugat, sebagian besar sudah

diterbitkan. Selain itu, ada pula dalil yang dikemukakan, yang

menyatakan bahwa kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di

Provinsi Kalimantan Tengah tidak dapat dipersalahkan sepenuhnya

kepada Pemerintah, karena kebakaran hutan dan lahan tersebut

terjadi karena faktor alam. Walaupun begitu, Majelis Hakim pada

akhirnya tetap mengabulkan sebagian tuntutan dari Para Penggugat,

dengan mengecualikan tuntutan untuk menghukum Para Tergugat

untuk meminta maaf secara terbuka kepada masyarakat Provinsi

Kalimantan Tengah.

Berkaitan dengan pengajuan gugatan secara Citizen

Lawsuit, Majelis Hakim dalam pertimbangannya menyatakan

bahwa Citizen Lawsuit yang diajukan oleh Para Penggugat sudah

memenuhi persyaratan formal sebagaimana yang disyaratkan dalam

Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor:

36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan

Perkara Lingkungan Hidup. Kemudian berdasarkan fakta-fakta

dalam persidangan, diketahui bahwa berdasarkan pemantauan di

tiga provinsi, yaitu Sumatera Selatan, Riau, dan Kalimantan

Tengah pada 2015-2016, Komnas HAM bersama Indonesian

Center for Environmental Law (ICEL) menilai bahwa negara telah

83
gagal memberikan jaminan hak atas hidup sebagaimana dijamin

dalam Pasal 28a UUD 1945, Pasal 4 jo. Pasal 9 ayat (1) UU No. 39

Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, hak atas kesehatan yang

dijamin dalam Pasal 28h ayat (1) UUD 1945, serta hak atas

lingkungan hidup yang baik dan sehat yang dijamin dalam Pasal 9

ayat (3) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Kegagalan negara dalam menjamin hak asasi manusia

warga negaranya tersebut didasarkan pada penemuan Komnas

HAM dan ICEL sebagai berikut:

“Tumpang tindihnya kewenangan dan lemahnya otoritas serta


tanggung jawab dari beberapa lembaga mengakibatkan belum
adanya perbaikan yang signifikan dalam menangani karhutla meski
sudah berlangsung selama 18 tahun berturut-turut. Terjadinya
pengabaian hak atas kesehatan, pendekatan yang sangat teknis dan
berorientasi pada pemadaman api, penegakan hukum yang diduga
diskriminatif, dan peraturan perundang-undangan sektoral serta
multi tafsir pada penanganan dampak-dampak dari karhutla
terhadap masyarakat selama 18 tahun terakhir. Akibatnya terjadi
ketidakjelasan atas pihak yang paling mempunyai otoritas untuk
mengkoordinasikan upaya-upaya pencegahan, penanganan, dan
rehabilitasi korban dari asap karhutla. Hampir sebagian besar
pemerintah daerah tidak memiliki kesiapan dalam menyediakan
anggaran maupun sarana/prasarana yang memadai untuk
menanggulangi dampak asap karhutla.”93
Berdasarkan pertimbangan di atas, dapat disimpulkan

bahwa peraturan-peraturan pelaksana dan tindakan-tindakan yang

telah dilakukan oleh Pemerintah dianggap belum cukup untuk

dapat mencegah dan menanggulangi permasalahan kebakaran hutan

93
Penemuan Komnas HAM dan ICEL sebagaimana dikutip dalam Pertimbangan Hakim pada
Putusan Pengadilan Negeri Palangka Raya Nomor 118/Pdt.G/LH/2016/PN.PLK

84
dan lahan yang terjadi di Provinsi Kalimantan Tengah. Minimnya

upaya Pemerintah inilah yang kemudian menyebabkan terjadinya

kebakaran hutan dan lahan yang di Provinsi Kalimantan Tengah

selama 18 tahun berturut-turut.

Berkaitan dengan dalil jawaban Para Tergugat mengenai

kebakaran hutan dan lahan yang disebabkan oleh adanya faktor

alam, menurut pertimbangan hakim dengan mengutip pendapat N.

H. T. Siahaan dalam bukunya yang berjudul Hukum Lingkungan

dan Ekologi Pembangunan, pada masa sekarang, masalah

lingkungan tidak lagi dapat dipandang sebagai masalah yang

semata-mata bersifat alami, karena manusia juga menjadi faktor

penyebab yang sangat signifikan. Hal ini karena masalah-masalah

lingkungan yang lahir dan berkembang karena faktor manusia jauh

lebih besar dan rumit dibandingkan dengan faktor alam itu

sendiri.94

Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam

persidangan tersebut di atas, berkaitan dengan materi pokok

perkara, Majelis Hakim dalam putusannya menyatakan bahwa Para

Tergugat melakukan Perbuatan Melawan Hukum sehingga

mengakibatkan terjadinya kebakaran hutan dan lahan di Provinsi

Kalimantan Tengah pada tahun 2015.

94
N.H.T. Siahaan, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, sebagaimana dikutip dalam
Pertimbangan Hakim pada Putusan Pengadilan Negeri Palangka Raya Nomor
118/Pdt.G/LH/2016/PN.PLK

85
Riesqi Rahmadiansyah, sebagai salah satu kuasa hukum

Para Penggugat, mengatakan bahwa alasan diajukannya gugatan

tersebut adalah tidak adanya kesadaran dan perhatian dari

pemerintah terhadap kebakaran hutan dan lahan yang setiap

tahunnya terjadi di Kalimantan Tengah, yang mengalami

puncaknya pada tahun 2015. Oleh karena itulah, Para Penggugat

menggugat dengan mekanisme Citizen Lawsuit, menuntut

Pemerintah untuk menerbitkan perangkat-perangkat aturan yang

tidak dimiliki atau belum diterbitkan oleh pemerintah yang

berkaitan dengan kebakaran hutan dan lahan, agar pemerintah

dapat memaksimalkan kinerjanya dalam melakukan pencegahan

dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan.

Menurut kuasa hukum Para Penggugat, kendala utama

dalam keseluruhan proses persidangan adalah ketidakpahaman

pihak Pemerintah terhadap masalah yang menjadi dasar pengajuan

gugatan ini. Hal ini dapat dilihat bahwa sejak mediasi hingga

proses persidangan, Para Tergugat hanya berusaha untuk

membuktikan upaya-upaya yang telah dilakukan Pemerintah untuk

menanggulangi, tetapi tidak dapat membuktikan adanya upaya-

upaya yang sudah dilakukan untuk mencgah terjadinya kebakaran

hutan dan lahan. Sebagai contohnya, dalam mediasi, dikatakan

bahwa Pemerintah sudah melakukan pembagian masker bagi warga

terdampak. Setelah datanya dicocokkan oleh Para Penggugat,

86
ternyata masker yang dibagi Pemerintah hanya berjumlah 1.100

buah masker, padahal warga terdampak berjumlah sekitar 1.400

warga. Dalam pemeriksaan saksi, Para Tergugat menghadirkan

orang yang melakukan aksi pemadaman api. Setelah diusut lebih

lanjut, ternyata yang bersangkutan sudah secara rutin memadamkan

api setiap tahunnya, sejak tahun 1997 hingga tahun 2015. Menurut

kuasa hukum Para Tergugat, Pemerintah hanya terfokus untuk

membuktikan adanya upaya-upaya yang dilakukan Pemerintah

untuk menanggulangi kebakaran hutan dan lahan, yang seharusnya

tidak perlu dilakukan apabila Pemerintah berhasil melakukan

upaya-upaya pencegahan. Kebakaran hutan dan lahan pada tahun

2015 adalah hasil atau implikasi dari ketiadaan upaya Pemerintah

untuk melakukan pencegahan. Kebakaran hutan dan lahan

seharusnya dapat dicegah apabila Pemerintah mempersiapkan

peraturan-peraturan dan perangkat-perangkat yang diperlukan, serta

melakukan tindakan-tindakan penegakan hukum lingkungan yang

tegas untuk menghindari terjadinya pembakaran hutan dan lahan.

Dalam putusannya, Majelis Hakim berpendapat bahwa

Pemerintah (Para Tergugat) sudah melakukan Perbuatan Melawan

Hukum karena tidak melakukan tindakan-tindakan yang cukup

untuk mencegah dan menanggulangi kebakaran hutan dan lahan,

dan dengan demikian telah melanggar hak-hak konstitusional dari

warga terdampak. Berkaitan dengan putusan yang dijatuhkan oleh

87
Majelis Hakim dalam perkara tersebut, kuasa hukum Para

Penggugat menilai bahwa putusan tersebut sudah baik, dan Majelis

Hakim sudah berperspektif HAM. Kuasa hukum Para Penggugat

memandang bahwa Pemerintah dalam hal ini memang tidak

memiliki political will (kemauan politik) untuk mencegah dan

menanggulangi kebakaran hutan dan lahan. Pemerintah mungkin

tidak menganggap isu lingkungan seperti kebakaran hutan dan

lahan sebagai prioritasnya. Menurut kuasa hukum Para Penggugat,

tidak sulit bagi Pemerintah untuk menerbitkan peraturan-peraturan

dan membuka saja nama-nama perusahaan pemegang izin dari

lahan-lahan yang terbakar. Namun pada akhirnya, Pemerintah

tetap enggan untuk melakukannya, dan malah memilih untuk

mengajukan upaya hukum terhadap putusan Majelis Hakim.95

Salah satu kuasa hukum Presiden Republik Indonesia

(Tergugat I), Zaini Ribut Sugiaman, menyatakan bahwa pada

forum mediasi, Para Tergugat sudah mencoba menyampaikan

bahwa beberapa di antara sekian peraturan-peraturan pelaksana

yang diminta oleh Para Penggugat dalam petitumnya, sudah ada

yang berlaku sebagai hukum positif. Hanya saja, Para Penggugat

tetap bersikukuh meminta adanya aturan baru, karena aturan yang

sudah ada dianggap tidak up to date atau tidak lagi mampu

95
Wawancara dengan Riesqi Rahmadiansyah, Advokat Publik, Kuasa Hukum Para Penggugat
dalam Putusan Pengadilan Negeri Palangka Raya Nomor 118/Pdt.G/LH/2016/PN.PLK, tanggal 13
September 2018.

88
menyelesaikan permasalahan-permasalahan lingkungan hidup yang

ada, sehingga perlu diperbaharui. Selain itu, Para Tergugat juga

sudah menyampaikan bahwa berkaitan dengan salah satu petitum

Para Tergugat yang meminta didirikannya Rumah Sakit Paru,

Rumah Sakit Paru memerlukan adanya persetujuan dari DPR dan

memerlukan adanya alokasi dana yang cukup, sehingga tidak serta-

merta dapat dilaksanakan. Pada forum mediasi tidak dicapai titik

temu, sehingga proses dilanjutkan pada proses pemeriksaan di

Pengadilan, dan Majelis Hakim mengabulkan sebagian

permohonan Para Penggugat serta menolak jawaban maupun

eksepsi dari Para Tergugat.

Kuasa hukum Tergugat I, menilai bahwa diktum atau amar

putusan Majelis Hakim sudah cukup baik, karena memerintahkan

Pemerintah untuk membentuk peraturan-peraturan dan perangkat-

perangkat yang diperlukan untuk pencegahan dan penanggulangan

kebakaran hutan dan lahan. Hanya saja, menurut kuasa hukum

Tergugat I, penjatuhan putusan untuk membentuk peraturan-

peraturan dan perangkat-perangkat tersebut tidak seharusnya

didasarkan pada kesalahan dan perbuatan melawan hukum dari

Pemerintah. Argumentasi ini didasarkan pada dua alasan: Pertama,

dalam ilmu hukum terdapat teori kausalitas, yang pada pokoknya

menyatakan ada sebab, pasti ada akibat. Pemerintah tidak

melakukan pembakaran hutan dan lahan, sehingga kebakaran hutan

89
dan lahan tidak disebabkan langsung oleh Pemerintah. Kebakaran

hutan dan lahan kemungkinan besar terjadi karena pola kehidupan

masyarakat yang melakukan perladangan berpindah, di mana

masyarakat mempersiapkan lahan untuk bercocok tanam dengan

cara membakar lahannya terlebih dulu. Kedua, terjadinya

kebakaran hutan dan lahan tersebut sudah diproses secara pidana.

Dalam bukti tertulisnya, Para Tergugat juga sudah menyampaikan

bahwa orang atau korporasi (rechtpersoon) yang melakukan

pembakaran hutan dan lahan sudah diproses Pemerintah secara

pidana, dan sudah dikenakan sanksi pidana juga. Penegakan

hukum lingkungan tidak hanya berjalan secara perdata saja, namun

juga dengan melakukan penuntutan secara pidana, baik itu terhadap

orang maupun korporasi yang terbukti melanggar undang-undang

Kehutanan dengan melakukan pembakaran atau pembalakan liar.

Dalam hal ini, Pemerintah sudah mendukung dengan regulasi yang

memadai dan menindak para pembakar hutan dan lahan, namun

tidak cukup untuk menghentikan watak sosial dan pola kehidupan

masyarakat yang melakukan perladangan berpindah dengan cara

membakar lahan.96

96
Wawancara dengan Zaini Ribut Sugiaman, Jaksa Pengacara Negara pada Kejaksaan Tinggi
Kalimantan Tengah (sekarang Kejaksaan Tinggi Bengkulu), Kuasa Hukum Presiden Republik
Indonesia sebagai Tergugat I dalam Putusan Pengadilan Negeri Palangka Raya Nomor
118/Pdt.G/LH/2016/PN.PLK, tanggal 19 September 2018.

90
b. Peran WALHI Kalimantan Tengah dalam Penyelesaian Sengketa

Lingkungan

WALHI sebagai organisasi lingkungan hidup memiliki

peran penting dalam penegakan hukum lingkungan karena

memiliki legal standing (hak gugat) untuk beracara di pengadilan

dalam penyelesaian sengketa lingkungan. Dalam perkara-perkara

lingkungan hidup, organisasi lingkungan hidup bertindak sebagai

“wali” (guardian) dari lingkungan. Pengakuan terhadap legal

standing organisasi lingkungan hidup ini diatur dalam Pasal 92

UUPPLH. Namun dalam hal ini, tidak semua organisasi

lingkungan hidup dapat memiliki legal standing sehingga dapat

mengajukan gugatan ke pengadilan. Dalam Pasal 92 ayat (3),

UUPPLH mengatur persyaratan-persyaratan organisasi lingkungan

hidup yang dapat mengajukan gugatan ke pengadilan.

Apabila dikaitkan dengan Pasal 92 ayat (3) UUPPLH,

WALHI dikatakan memenuhi persyaratan sebagai organisasi

lingkungan hidup yang memiliki legal standing untuk beracara di

pengadilan. Persyaratan-persyaratan tersebut adalah sebagai

berikut: Pertama, berbentuk badan hukum. Berkaitan dengan hal

ini, WALHI merupakan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)

yang berbadan hukum Yayasan bernama Yayasan Wahana

Lingkungan Hidup Indonesia. Kedua, menegaskan di dalam

anggaran dasarnya bahwa organisasi tersebut didirikan untuk

91
kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup. Berkaitan

dengan hal ini, WALHI dalam Pasal 5 angka 2 Anggaran Dasar

Yayasan WALHI menyebutkan bahwa salah satu maksud dan

tujuan dari yayasan adalah, “meningkatkan kesadaran masyarakat

sebagai pembina lingkungan dan terkendalinya pemanfaatan

sumber daya secara bijaksana.”97 Ketiga, telah melaksanakan

kegiatan nyata sesuai dengan anggaran dasarnya paling singkat 2

(dua) tahun. Berkaitan dalam hal ini, WALHI sudah secara aktif

bergerak dalam upaya penyelamatan dan pemulihan lingkungan

hidup di Indonesia sejak berdirinya di tahun 1980. Sehingga dapat

disimpulkan bahwa WALHI sudah memenuhi persyaratan-

persyaratan dalam Pasal 92 ayat (3) UUPPLH dan dengan

demikian memiliki legal standing untuk mengajukan gugatan ke

pengadilan, baik secara perdata maupun tata usaha negara. Namun

perlu diperhatikan di sini adalah bahwa yang berbadan hukum, atau

dengan kata lain memiliki legal standing, adalah WALHI Nasional.

Sedangkan WALHI Kalimantan Tengah sebagai forum daerah dari

WALHI Nasional, tidak berbadan hukum sendiri.

WALHI Kalimantan Tengah sebagai salah satu forum

daerah dari WALHI berfokus pada isu-isu lingkungan yang terjadi

di Kalimantan Tengah. Hingga saat ini, isu lingkungan yang paling

dominan diadvokasi oleh WALHI Kalimantan Tengah adalah isu

97
Lihat Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 464/PDT.G/2013/PN.JKT.PST.

92
daratan, yaitu isu lingkungan yang mencakup perkebunan,

pertambangan, dan kehutanan. Namun hal ini tidak menutup

kemungkinan didorongnya advokasi terhadap isu baru yang kini

mulai muncul, yaitu isu pesisir. Isu pesisir ini mulai dikembangkan

oleh WALHI Kalimantan Tengah karena Kalimantan Tengah

sangat rentan dengan adanya ekspansi pertambangan pesisir.

Sebagai contohnya, WALHI Kalimantan Tengah menemukan

indikasi adanya empat perusahaan di Kalimantan Tengah yang

menjadi pemasok sumber daya alam untuk reklamasi Teluk

Jakarta.98

Dalam Pasal 3 Statuta WALHI, disebutkan bahwa salah

satu kegiatan yang dilakukan oleh WALHI dalam rangka

melaksanakan advokasi lingkungan hidup dan hak asasi manusia

adalah litigasi. Tidak hanya WALHI Nasional, WALHI Daerah

pun melakukan kegiatan ini terhadap kasus-kasus lingkungan yang

terjadi di daerahnya. Namun perlu diperhatikan bahwa WALHI

Daerah dalam hal ini tidak berbadan hukum, sehingga tidak

memenuhi persyaratan untuk memiliki legal standing sendiri untuk

mengajukan gugatan sebagaimana diatur dalam Pasal 92 ayat (3)

UUPPLH. Dalam hal ini, yang berbadan hukum, sehingga

memiliki legal standing adalah WALHI Nasional. Sehingga

apabila WALHI Daerah hendak mengajukan gugatan dengan

98
Wawancara dengan Dimas Novian Hartono, Direktur Eksekutif WALHI Kalteng, tanggal 17
September 2018.

93
mekanisme gugatan organisasi lingkungan hidup, WALHI Daerah

harus mengajukan gugatan melalui dan menggunakan legal

standing dari WALHI Nasional.

Berdasarkan hasil penelitian, WALHI Kalimantan Tengah

belum pernah mengajukan gugatan dalam rangka penyelesaian

sengketa lingkungan hidup yang terjadi di Provinsi Kalimantan

Tengah melalui dan menggunakan legal standing WALHI

Nasional. Yang pernah dilakukan oleh WALHI Kalimantan

Tengah dalam kegiatan litigasinya adalah menginisiasikan

pengajuan gugatan secara perdata oleh masyarakat dalam perkara

kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2015 di Kalimantan Tengah

sebagaimana telah diuraikan di atas.

Dalam perkara kebakaran hutan dan lahan tersebut,

WALHI Kalimantan Tengah sebagai pihak yang menginisiasikan

pengajuan gugatan, memilih pengajuan gugatan dengan mekanisme

Citizen Lawsuit, dan tidak menggunakan legal standing-nya

sebagai organisasi lingkungan hidup. Dalam perkara ini, WALHI

Kalimantan Tengah tidak berkedudukan sebagai Penggugat, namun

hanya sebagai inisiator atau „penggerak‟ dari Para Penggugat.

Kuasa hukum Para Penggugat, Riesqi Rahmadiansyah, menyatakan

bahwa mekanisme Citizen Lawsuit dipilih karena lebih

merepresentasikan masyarakat Kalimantan Tengah sebagai korban.

Apabila Penggugat berasal dari masyarakat, yang dalam gugatan

94
tersebut terdiri dari berbagai unsur seperti dosen, ibu rumah tangga,

aktivis lingkungan, dan lain-lain, gugatan akan menjadi lebih

strategis dan representatif.

Menurut Dimas Novian Hartono selaku Direktur Eksekutif

WALHI Kalimantan Tengah, pemilihan mekanisme pengajuan

gugatan menggunakan Citizen Lawsuit didasarkan pada alasan

bahwa masyarakat juga memiliki hak untuk menggugat.

Kebakaran hutan dan lahan adlah masalah yang dihadapi oleh

masyarakat, dan masyarakat yang paling banyak merasakan

dampak serta kerugiannya. Sehingga dalam hal ini, WALHI

Kalimantan Tengah menganggap lebih baik apabila masyarakat

yang menggugat melalui mekanisme Citizen Lawsuit, sedangkan

WALHI Kalimantan Tengah ikut berperan untuk mendorong dan

mendampingi masyarakat.

Berkaitan dengan bentuk peran serta WALHI Kalimantan

Tengah dalam seluruh proses penyelesaian perkara ini, Direktur

Eksekutif WALHI Kalimantan Tengah mengungkapkan bahwa

WALHI Kalimantan Tengah turut terlibat dalam seluruh proses

penyusunan gugatan bersama dengan masyarakat. Bahkan,

WALHI Kalimantan Tengah juga yang mencari advokat (lawyer)

yang bisa terlibat secara pro bono untuk mewakili Para Penggugat

dalam keseluruhan proses persidangan. Kuasa hukum Para

Penggugat juga mengakui bahwa WALHI Kalimantan Tengah

95
memfasilitasi segala hal yang dibutuhkan Para Penggugat beserta

kuasa hukum, yang berkaitan dengan keseluruhan proses

penyelesaian perkara ini. Sebagai contohnya, WALHI Kalimantan

Tengah menyediakan kantornya sebagai markas, menyediakan

akomodasi dan biaya gugatan, memfasilitasi seluruh persiapan,

membuat kampanye, serta mempersiapkan alat-alat bukti hingga

menghadirkan ahli. Walaupun tidak menggunakan nama WALHI

sebagai Penggugat, segala perangkat yang diperlukan oleh Para

Penggugat dan kuasa hukumnya sejak proses penyusunan gugatan

hingga dijatuhkannya putusan, difasilitasi oleh WALHI Kalimantan

Tengah.

Dengan demikian, berdasarkan hasil penelitian dapat

disimpulkan bahwa WALHI Kalimantan Tengah, melalui WALHI

Nasional, belum pernah menggunakan legal standing-nya sebagai

organisasi lingkungan hidup dalam penyelesaian sengketa

lingkungan yang ada di Kalimantan Tengah. WALHI Kalimantan

Tengah hanya pernah menginisiasikan dan memfasilitasi pengajuan

gugatan secara perdata oleh masyarakat dalam perkara kebakaran

hutan dan lahan pada tahun 2015 di Kalimantan Tengah.

Berdasarkan hasil analisis peneliti, jika dilihat dari dari dua

parameter—yaitu intensitas atau jumlah perkara dalam

penyelesaian sengketa lingkungan di Kalimantan Tengah yang

mengakomodasi peran WALHI Kalimantan Tengah dan intensitas

96
penggunaan legal standing WALHI (Nasional) yang pernah

dilakukan oleh WALHI Kalimantan Tengah—peran WALHI

Kalimantan Tengah dapat dikatakan masih sangat minim sehingga

belum dapat mengakomodasi banyaknya jumlah pencemaran dan

kerusakan lingkungan di Kalimantan Tengah yang seharusnya

dapat digugat demi kelestarian fungsi lingkungan hidup di

Kalimantan Tengah.

Dalam kasus kebakaran hutan dan lahan yang pernah

diinisiasikan WALHI Kalimantan Tengah, WALHI Kalimantan

Tengah hanya berperan sebagai inisiator atau „penggerak‟ dari Para

Penggugat, dan bukan sebagai pihak penggugat itu sendiri.

Menurut hemat peneliti, selain menginisiasikan gugatan dengan

mekanisme Citizen Lawsuit, seharusnya yang dapat dilakukan

WALHI Kalimantan Tengah adalah mengajukan gugatan dengan

legal standing WALHI. Hal ini didasarkan pada beberapa alasan:

Pertama, kebakaran hutan dan lahan adalah permasalahan

lingkungan hidup yang berskala luas. Dampak negatif terhadap

lingkungan hidup yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan dan

lahan mencakup kerusakan ekologis, menurunnya keanekaragaman

hayati, merosotnya nilai ekonomi hutan dan produktivitas tanah,

perubahan iklim mikro maupun global, dan gangguan asap yang

97
bahkan telah melintasi batas negara.99 Terlebih lagi, kebakaran

hutan dan lahan yang terjadi di Provinsi Kalimantan Tengah sudah

secara rutin terjadi selama bertahun-tahun lamanya. Selaras

dengan pendapat dari Christoper D. Stone, hutan sebagai unsur

lingkungan bersifat inanimatif, sehingga ketika dirusak oleh

manusia, tidak dapat menggugat untuk memperjuangkan hak

hukumnya. Mengingat kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di

Kalimantan Tengah sudah terjadi dalam intensitas yang sangat

sering dan berskala luas, serta dampaknya dapat langsung

dirasakan oleh masyarakat, fungsi WALHI Kalimantan Tengah

melalui WALHI Nasional sebagai organisasi lingkungan hidup

untuk mewakili dan memperjuangkan kelestarian fungsi hutan

menjadi sangat penting.

Kedua, secara normatif, legal standing organisasi

lingkungan hidup dalam penyelesaian sengketa lingkungan sudah

diakomodasi dalam peraturan perundang-undangan lingkungan

maupun praktik peradilan di Indonesia. WALHI Kalimantan

Tengah, melalui dan berkoordinasi dengan WALHI Nasional

sebagai organisasi lingkungan hidup yang telah memenuhi

persyaratan-persyaratan untuk dapat memiliki legal standing dalam

penyelesaian sengketa lingkungan, seharusnya menggunakan legal

99
Fachmi Rasyid, 2014, Permasalahan dan Dampak Kebakaran Hutan, Jurnal Lingkar
Widyaiswara Edisi 1 No. 4 Oktober-Desember 2014, hlm. 53,
http://juliwi.com/published/E0104/Paper0104_47-59.pdf, diakses 11 Oktober 2018.

98
standing-nya tersebut dalam kasus ini, untuk mewakili kepentingan

hutan di Kalimantan Tengah sebagai unsur dari lingkungan hidup.

Namun pada kenyataannya, WALHI Kalimantan Tengah justru

memilih untuk menginisiasikan gugatan dengan mekanisme Citizen

Lawsuit, sehingga berkaitan dengan pengajuan gugatan ini,

WALHI Kalimantan Tengah sebagai forum daerah dari WALHI

Nasional tidak memperjuangkan kepentingan dan hak hukum

lingkungan hidup, melainkan memperjuangkan kepentingan dan

hak hukum masyarakat.

Peran WALHI Kalimantan Tengah dalam penyelesaian

sengketa lingkungan masih sangat minim, karena WALHI

Kalimantan Tengah lebih banyak menjalankan kegiatan-kegiatan

yang berfokus pada advokasi lingkungan dan hak asasi manusia,

yaitu dengan melakukan penyadaran hak-hak dan kewajiban-

kewajiban masyarakat terhadap lingkungan hidup, mengkritisi

kebijakan pemerintah dan pihak swasta, dan pengorganisasian

rakyat. Kegiatan-kegiatan seperti ini dianggap oleh WALHI

Kalimantan Tengah lebih tepat sasaran, karena lebih mampu

memberikan tekanan politik untuk mempengaruhi berbagai

kebijakan pemerintah maupun pihak swasta agar lebih

memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan hidup.

99
3. Kendala-kendala yang Dihadapi

Dalam melaksanakan berbagai tugas dan fungsinya dalam

penegakan hukum lingkungan, WALHI Kalimantan Tengah menghadapi

beberapa kendala100. Adapun kendala-kendala terebut antara lain:

a. Faktor hukumnya, dijabarkan dalam dua kondisi, yaitu dalam

penegakan hukum lingkungan secara litigasi dan dalam penegakan

hukum lingkungan secara umum, sebagai berikut:

1) Dalam penegakan hukum lingkungan secara litigasi, pada

prinsipnya berkaitan dengan legal standing. Kendalanya

sebagai berikut:

a) Untuk dapat menggunakan legal standing organisasi

lingkungan hidup di Pengadilan Tata Usaha Negara

(PTUN), WALHI Kalimantan Tengah terkendala

adanya persyaratan pengajuan gugatan dalam

tenggang waktu 90 hari terhitung sejak saat diterima

atau diumumkannya suatu KTUN yang diatur dalam

Pasal 55 UU PTUN. Berkaitan dengan hal ini,

karena WALHI bukan merupakan pihak yang dituju

oleh suatu KTUN yang hendak digugat, maka

tenggang waktunya didasarkan pada ketentuan

dalam Bagian ke-V angka 3 Surat Edaran

100
Wawancara dengan Dimas Novian Hartono, Op.Cit. dan Wawancara dengan Riesqi
Rahmadiansyah, Op.Cit, yang kemudian diklasifikasikan dalam berbagai faktor oleh peneliti.

100
Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1991 tentang

Petunjuk Pelaksanaan Beberapa Ketentuan dalam

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang

Peradilan Tata Usaha Negara, yang mengatur

sebagai berikut:

“Bagi mereka yang tidak dituju oleh suatu


Keputusan Tata Usaha Negara tetapi yang merasa
kepentingannya dirugikan, maka tenggang waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 dihitung
kasuistis sejak saat ia merasa kepentingannya
dirugikan oleh Keputusan Tata Usaha Negara dan
mengetahui adanya keputusan tersebut.”
Di Kalimantan Tengah, perusahaan-perusahaan

yang terindikasi melakukan perusakan maupun

pencemaran lingkungan atau memperoleh izin

tidak sesuai prosedur atau kriteria yang seharusnya,

biasanya adalah perusahaan-perusahaan yang

sudah lama berdiri. Meskipun tidak mengikuti

ketentuan jangka waktu 90 hari sejak diterbitkan

atau diumumkannya KTUN sebagaimana diatur

dalam UU PTUN, namun ketentuan jangka waktu

yang diatur dalam SEMA 2/1991 juga masih

menimbulkan kesulitan. Ada kalanya bahwa

meskipun masyarakat sudah mengetahui adanya

suatu KTUN yang merugikan mereka dan

lingkungan, masyarakat tidak memiliki kompetensi

101
dan kemampuan untuk mengajukan gugatan secara

individu tanpa bantuan dari pihak lain, dan

menunggu bantuan dari forum seperti WALHI

Kalimantan Tengah. Sehingga yang seringkali

terjadi adalah, tenggang waktu pengajuan gugatan

menjadi berakhir tanpa adanya upaya litigasi dari

masyarakat maupun WALHI Kalimantan Tengah.

Menurut Dimas N. Hartono, Direktur Eksekutif

WALHI Kalimantan Tengah, pengajuan gugatan

akan menjadi lebih mudah apabila ditujukan pada

izin yang baru terbit namun tidak memenuhi

kondisi dan kriteria yang seharusnya, karena

tenggang waktunya menjadi lebih pasti.

b) Adanya persyaratan dalam Pasal 92 ayat (3)

UUPPLH yang menyatakan bahwa untuk dapat

memiliki legal standing, organisasi lingkungan

hidup harus berbadan hukum, juga menimbulkan

suatu permasalahan. WALHI Kalimantan Tengah

sebagai forum daerah dari WALHI Nasional tidak

memiliki badan hukum. Yang berbadan hukum,

sehingga memiliki legal standing untuk mengajukan

gugatan adalah WALHI Nasional. Sehingga apabila

hendak mengajukan gugatan menggunakan legal

102
standing dari WALHI, yang menggugat haruslah

WALHI Nasional. WALHI Kalimantan Tengah

sebagai forum daerah dari WALHI Nasional tidak

dapat mengajukan gugatan sendiri dengan

menggunakan legal standing organisasi lingkungan

hidup.

c) Berkaitan dengan mekanisme pengajuan gugatan

secara perdata, mekanisme Citizen Lawsuit

dipandang lebih strategis daripada mekanisme legal

standing organisasi lingkungan hidup, walaupun

keduanya sama-sama tidak boleh meminta adanya

ganti rugi materiil dalam petitumnya.101 Dalam

mekanisme legal standing organisasi lingkungan

hidup, WALHI hanya dapat mewakili kepentingan

lingkungan hidup. Sedangkan dalam mekanisme

Citizen Lawsuit, WALHI Kalimantan Tengah

sebagai warga negara dan bagian dari masyarakat,

memperjuangkan kepentingan publik yang

dirugikan akibat adanya kelalaian pemerintah dalam

pemenuhan hak asasi manusia warga negara.

Dengan Citizen Lawsuit, masyarakat dapat menuntut

101
Yustina Niken Sharaningtyas, 2016, Gugatan Warga Negara (Citizen Law Suit) dan
Justiciability Pemenuhan Hak atas Lingkungan Hidup yang Baik dan Sehat, Jurnal Kertha Patrika
(Jurnal Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Udayana) Vol. 38 No. 1 Januari-April 2016, hlm. 36,
https://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthapatrika/article/view/21532, diakses 11 Oktober 2018.

103
otoritas negara (pemerintah) untuk melakukan suatu

tindakan secara aktif untuk kepentingan umum,102

yang berupa suatu permohonan agar negara

mengeluarkan suatu kebijakan pengaturan umum,

agar kelalaian tersebut tidak lagi terjadi di masa

mendatang. Citizen Lawsuit dalam hal ini adalah

sarana yang efektif, yang dapat dipergunakan

sebagai wujud perlindungan hukum kepada warga

negara dari terjadinya tindakan pembiaran yang

dilakukan oleh otoritas negara.103

2) Dalam penegakan hukum lingkungan pada umumnya,

kendalanya sebagai berikut:

a) Tidak adanya kejelasan peraturan pelaksanaan di

bidang lingkungan hidup. Padahal, diterbitkannya

peraturan pelaksanaan akan memudahkan WALHI

Kalimantan Tengah untuk dapat secara lebih detail

melakukan pemantauan/pengawasan (monitoring)

terhadap kondisi lingkungan dan pembangunan serta

penegakan hukum lingkungan di Kalimantan

Tengah. Dengan diturunkannya peraturan

pelaksanaan, maka ekspektasi WALHI Kalimantan

Tengah terhadap implementasi peraturan-peraturan

102
Ibid, hlm. 39.
103
Ibid, hlm. 40.

104
di bidang lingkungan hidup akan menjadi lebih

tinggi. Ketiadaan perangkat-perangkat aturan inilah

yang kemudian mendorong WALHI Kalimantan

Tengah untuk mengajukan gugatan Citizen Lawsuit

dalam kasus kebakaran hutan dan lahan.

b) Tidak adanya perlindungan hukum terhadap

masyarakat yang memperjuangkan lingkungan,

terbukti dari banyaknya masyarakat yang

dikriminalisasi karena memperjuangkan lingkungan.

b. Faktor penegak hukum, dijabarkan sebagai berikut:

1) Kurangnya pemahaman para penegak hukum di lapangan

terhadap peraturan-peraturan di bidang lingkungan hidup.

Sebagai contoh, WALHI Kalimantan Tengah berbicara

mengenai aturan tentang adanya tanggung jawab korporasi

dalam suatu perkara kejahatan lingkungan hidup. Namun

di lapangan, penegak hukum bersikukuh bahwa dalam suatu

perkara kejahatan lingkungan hidup, harus ada tersangka,

dan tersangka itu harus berupa orang.

2) Kurangnya respons cepat dari para penegak hukum, dengan

selalu mengatasnamakan keterbatasan anggaran.

c. Faktor sarana atau fasilitas, dijabarkan sebagai berikut:

1) Sumber daya manusia. Salah satu hal yang menjadi

kendala paling besar bagi WALHI Kalimantan Tengah

105
untuk ikut terlibat dalam penegakan hukum di Kalimantan

Tengah adalah ketiadaan advokat (lawyer). Sangat sulit

bagi WALHI Kalimantan Tengah untuk mendapatkan

sumber daya advokat profesional, karena adanya

kecenderungan ketidaktertarikan advokat-advokat

professional untuk menangani kasus-kasus lingkungan.

Bahkan untuk pendampingan masyarakat yang

dikriminalisasi karena memperjuangkan lingkungan,

WALHI hanya didukung oleh komunitas paralegal.

Padahal untuk kasus kriminalisasi masyarakat yang seperti

itu, diperlukan adanya sumber daya advokat yang memadai.

2) Anggaran. WALHI Kalimantan Tengah adalah LSM yang

bersifat non-profit, sehingga selalu memiliki anggaran yang

terbatas. WALHI Kalimantan Tengah tidak boleh

melakukan aktivitas-aktivitas tertentu yang bertujuan untuk

mendapatkan keuntungan. Dengan demikian, anggaran

WALHI Kalimantan Tengah berasal dari lembaga donor

ataupun sumbangan tidak mengikat.

d. Faktor masyarakat dan kebudayaan, dijabarkan sebagai berikut:

1) Ketidaktahuan dari masyarakat mengenai hak dan

kewajiban hukumnya dalam perlindungan dan pengelolaan

lingkungan hidup, isu-isu lingkungan yang sedang

berkembang, serta upaya-upaya hukum yang dapat diajukan

106
oleh masyarakat untuk melindungi kepentingan hukumnya

dan lingkungan hidup. Hal inilah yang sedang berusaha

didorong WALHI melalui berbagai pendidikan lingkungan

dan pendidikan hukum kritis bagi masyarakat.

2) Ketakutan dari masyarakat untuk terlibat dalam proses

penyelesaian sengketa lingkungan hidup atau penegakan

hukum lingkungan secara umumnya. Sebagai contohnya,

ketika terjadi pengambilan lahan masyarakat oleh

perusahaan besar, masyarakat yang mempertahankan

lahannya kemudian dikriminalisasi oleh perusahaan yang

bersangkutan. Ketika masyarakat dikriminalisasi, isu

utamanya menjadi hilang, karena kemudian terfokus pada

kasus kriminalisasi masyarakat. Selain itu, Riesqie

Rahmadiansyah sebagai Advokat dan Kuasa Hukum

Masyarakat Kalimantan Tengah pada kasus kebakaran

hutan dan lahan juga menyatakan, bahwa salah satu kendala

dalam pengajuan gugatan ketika penggugatnya berasal dari

unsur masyarakat, adalah penggugat seringkali tidak tahan

terhadap tekanan-tekanan dari tergugat. Dalam salah satu

kasus yang pernah ditangani, yaitu Kasus PT. Tripa Semen

Aceh di Aceh Tamiang, gugatan TUN diajukan oleh tiga

orang masyarakat Aceh Tamiang, diinisiasikan oleh

WALHI dan JATAM (Jaringan Anti Tambang). Objek

107
sengketanya adalah AMDAL yang tidak sesuai aturan.

Dalam proses penyelesaian perkara ini, ketiga orang

penggugat tiba-tiba mencabut gugatannya. Dalam hal ini,

ketika penggugat yang adalah masyarakat sudah mencabut

gugatan, WALHI dan JATAM tidak bisa mengintervensi.

Apabila harus mencari penggugat baru, maka harus

mengajukan gugatan baru. WALHI dan JATAM harus

melakukan advokasi hukum lagi sejak awal kepada

masyarakat yang akan menjadi penggugat baru. Setelah

diusut, ketiga orang penggugat yang mencabut gugatannya

tersebut terindikasi menerima uang. Berdasarkan fakta di

lapangan, tergugat biasanya adalah perusahaan, yang

notabene memiliki sumber daya manusia maupun anggaran

yang tidak terbatas. Sedangkan gerakan masyarakat sipil

selalu dibenturkan dengan keadaan, dan seringkali

menyerah terhadap tekanan-tekanan yang diberikan oleh

perusahaan-perusahaan besar.

Terhadap kendala-kendala yang telah disebutkan di atas, berbagai

solusi yang telah dilakukan WALHI Kalimantan Tengah untuk

mengatasinya adalah sebagai berikut:

a. Berkaitan dengan faktor hukum dan penegak hukum, di mana

dianggap tidak adanya kejelasan peraturan pelaksanaan di bidang

lingkungan hidup dan kurangnya respons cepat para penegak

108
hukum dalam penegakan hukum lingkungan, upaya-upaya yang

dilakukan sebagai solusi untuk mengatasi kendala tersebut adalah

sebagai berikut:

1) Pengajuan gugatan melalui Citizen Lawsuit adalah upaya

yang telah dilakukan WALHI Kalimantan Tengah, dengan

harapan agar Pemerintah menerbitkan aturan-aturan

pelaksanaan serta mengadakan perangkat-perangkat yang

diperlukan dalam rangka pelaksanaan penegakan hukum

lingkungan khususnya dalam pencegahan dan

penanggulangan kebakaran hutan dan lahan;

2) Keterlibatan dalam penyusunan kebijakan, baik melalui

Peraturan Daerah maupun melalui Peraturan Gubernur;

3) Memberikan masukan-masukan dalam pembentukan

Rancangan Undang-Undang (RUU), contohnya seperti

RUU Pertambangan dan penolakan terhadap RUU Kelapa

Sawit.

b. Berkaitan dengan faktor sarana dan prasarana, yaitu dengan

mengupayakan perolehan dukungan operasional dan finansial dari

berbagai pihak.

c. Berkaitan dengan faktor masyarakat dan kebudayaan, yaitu dengan

membentuk organisasi rakyat, mengadakan kampanye-kampanye

lingkungan, dan memberikan pendidikan lingkungan serta

pendidikan hukum kritis bagi masyarakat, agar masyarakat dapat

109
mengetahui hak-hak dan kewajiban-kewajiban hukumnya terhadap

lingkungan hidup.

110

Anda mungkin juga menyukai