Anda di halaman 1dari 5

Maulana Malik Ibrahim

XII A
Salim Kancil

Salim Kancil (lahir di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, 22


April 1969 – meninggal di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, 26
September 2015 pada umur 46 tahun) adalah warga Desa Selok Awar-awar,
Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, yang menjadi korban
pembunuhan menyusul protesnya bersama beberapa kawannya terhadap
penambangan pasir di desa setempat
Latar belakang

Sebelum Salim Kancil dibungkam dengan dibunuh, dia dikenal sebagai sosok yang
keras dan tak kenal menyerah. Perjuangannya baru berhenti saat dia dibunuh oleh
sekelompok orang di Balai Desa Selok Awar-Awar, Kecamatan Pasirian,
Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, pada Sabtu, 26 September 2015. Aksi Salim
sebenarnya sudah dihalangi termasuk oleh istrinya sendiri, tetapi dia bersikeras
menentang penambangan pasir yang dikhawatirkan merusak kelestarian alam.
Sehari-hari, Salim adalah petani yang sekaligus menjadi pemilik lahan sekitar
lokasi penambangan di pesisir pantai selatan Watu Pecak. Hingga pada suatu hari,
Salim mendapati 8 petak lahannya hancur akibat tambang pasir ilegal. Salim
menduga, tambang tersebut diduga dikelola oleh tim 12, yang merupakan mantan
tim kampanye kepala desa mereka, Haryono, yang di kemudian hari terseret dalam
perkara ini. Salim yang menjadi tulang punggung keluarga kebingungan, lantaran
Reaksi

Setelah peristiwa itu, banyak gerakan solidaritas yang mengatasnamakan keadilan


untuk Salim Kancil, melalui petisi, gerakan massa, dan penyebaran poster melalui
berbagai media, menuntut diadilinya orang-orang yang harus bertanggung jawab
atas terbunuhnya Salim Kancil.

Putusan hukum

Dua orang pelaku utama pembunuhan Salim Kancil telah divonis bersalah dan
hukuman 20 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Surabaya, Kamis 23 Juni 2016.
Mantan Kepala Desa Selok Awar-awar di kota Lumajang, Jatim, Hariyono dan
Ketua Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) setempat, Mat Dasir dinyatakan
terbukti bersalah melakukan pembunuhan secara berencana.
Atas putusan tersebut, tim kuasa hukum dari Salim Kancil menilai ada upaya untuk
menyederhanakan kasus pembunuhan terhadap Salim dan penganiayaan terhadap
rekannya, Tosan. Hal ini dibuktikan melalui dakwaan yang dikenakan terhadap
para tersangka hanya dijerat dengan pembunuhan biasa, bukan pembunuhan
berencana. Padahal pembunuhan terhadap Salim dan penganiayaan terhadap Tosan
harus dilihat sebagai rangkaian panjang perlawanan keduanya terhadap praktik
mafia tambang pasir ilegal di Lumajang. Selain itu, jika dilihat dari jumlah
terdakwa yang ditetapkan oleh Polda Jawa Timur hanya 35 orang yang dibagi
dalam 15 berkas perkara sidang. Pihak tim kuasa hukum juga sudah melaporkan
keterlibatan 13 orang yang masih bebas kepada Polda Jawa Timur bahkan ke
Mabes Polri
lahan pertanian sebagai mata pencaharian sudah tidak dapat diharapkan kembali
untuk menghidupi keluarganya, sehingga penghasilannya semakin menurun
drastis. Untuk memenuhi kebutuhan, akhirnya Salim memutuskan beralih profesi
menjadi nelayan.
Sadar bahwa ia tak mungkin bertahan hanya dengan menjadi nelayan dadakan,
Salim pun mulai mengunjungi rumah teman-temannya di malam hari dan berhasil
merekrut lima orang warga. Dari situlah perlawanan dimulai secara diam-diam
karena khawatir aktivitas mereka diketahui oleh Tim 12. Salim mulai aktif, dan
rajin surat-menyurat dengan pihak keamanan, pemerintah kabupaten, provinsi,
sampai ke Jakarta. Tujuannya bulat, dirinya memperjuangan hak hidup sebagai
warga negara Indonesia, apalagi apa yang menimpa dirinya juga sama dengan
warga pemilih lahan di lokasi tambang ilegal. Perlawanan Salim yang semakin
nyata membuat penambang ilegal yang ‘diamankan' oleh tim 12 mulai gusar.
Ancaman dan intimidasi pada Salim pun mulai berdatangan. Bahkan di
pertengahan bulan Ramadhan tahun itu, salah satu pimpinan mantan tim 12 yang
juga Ketua Lembaga Masyarakat Desa Hutan, Desir, mendatangi rumah Salim.
Khawatir dengan keselematan suaminya, istrinya kemudian meminta Salim untuk
berhenti untuk memperjuangkan lahan pertanian yang dirusak tambang. Namun,
semangat memperjuangkan untuk hak hidup dan menolak tambang justru semakin
membesar. Kemudian Salim Kancil melaporkan intimidasi dan ancaman pada
petani yang menolak tambang ke Kepolisian Sektor Pasirian, yang kemudian
diteruskan ke Kepolisian Resor Lumajang, tetapi tidak ada tindakan.

Anda mungkin juga menyukai