Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH AGAMA DAN KE-NUan 2

TRADISI DAN AMALIYAH NU :

Dzikir dan Syair, Bilangan Tarawih, Qunut

(Dibuat Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah)

Disusun Oleh :

RIFKI ILHAMDANI ( 204190015 )

Dosen Pengampu :

H. LUKMAN HAKIM, M. Si.

PROGRAM STUDI S-1 TEKNOLOGI KOMPUTER

INSTITUT TEKNOLOGI DAN SAINS NAHDLATUL ULAMA PEKALONGAN

Jl. Karangdowo No.9, Sopaten, Kedungwuni Bar., Kec. Kedungwuni, Pekalongan,

Jawa Tengah 51173


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejarah diterimanya kehadiran Islam di Nusantara dengan kondisi keagamaan


masyarakat yang menganut paham animisme (Hindu, Budha), tidak bisa dilepaskan dari cara-
cara dan model pendekatan dakwah para mubaligh Islam kala itu yang ramah dan bersedia
menghargai kearifan budaya dan tradisi lokal. Sebuah pendekatan dakwah yang terbuka dan
tidak antipati terhadap nilai-nilai normatif diluar Islam, melainkan mengakulturasikanya dengan
membenahi penyimpangan didalamnya dan memasukan ruh-ruh keIslaman kedalam
subtansinya. Maka lumrah jika kemudian corak amaliyah dan ritualitas Muslim Nusantara
khususnya Jawa, kita saksikan begitu kental diwarnai dengan tradisi dan budaya khas lokal,
seperti ritual selamatan, kenduri dan lain-lain.

Amaliyah dan ritual-ritual keagamaan yang bercorak budaya lokal dengan segala
kekhasan tradisinya seperti itu, sampai kini tetap dilestarikan oleh Muslim Nusantara khususnya
kaum Nahdliyin. Amaliyah keagamaan seperti itu tetap dipertahankan karena kaum nahdliyin
meyakini bahwa ritual-ritual dan amaliyah yang bercorak lokal tersebut hanyalah sebatas teknis
atau bentuk luaran saja, sedangkan yang menjadi subtansi di dalamnya murni ajaran-ajaran
Islam. Dengan kata lain, ritual-ritual yang bercorak tradisi lokal hanyalah bungkus luar,
sedangkan isinya adalah nilai-nilai ibadah yang diajarkan oleh Islam.

Sebagai contoh, ritual selamatan atau kenduri yang dilakukan dengan seremonial pada
waktu-waktu tertentu sesuai dengan kebiasaan lokal yang berlaku, didalamnya diisi dengan
ibadah-ibadah yang dianjurkan Islam seperti bersedekah, dzikir, berdo`a, membaca Al Qur`an
dan lain sebagainya. Mengenai seremonial atau penentuan waktu tersebut, tidak lebih
hanyalah kemasan luar sebagai bentuk penyesuaian dengan teknis dan kebiasaan yang berlaku
ditengah masyarakat dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

B. Tujuan
Untuk memberi pengertian lebih jelas kepada pembaca tentang Dzikir dan syair
sebelum berjamaah.
Untuk memberi pengertian lebih jelas kepada pembaca tentang bilangan tarawih.

Untuk memberi pengertian lebih jelas kepada pembaca tentang qunut salat shubuh.

Untuk memberi pengertian lebih jelas kepada pembaca tentang dzikir dengan
berjamaah.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Dzikir dan Syair Sebelum Berjamaah


Membaca dzikir dan syair sebelum pelaksanaan shalat berjama’ah, adalah
perbuatan yang baik dan dianjurkan. Anjuran ini bisa ditinjau dari beberapa sisi :
Pertama, dari sisi dalil,
Membaca syair di dalam masjid bukan merupakan sesuatu yang dilarang oleh
agama. Pada masa Rasulullah SAW, para sahabat juga membaca syair di masjid. Dalam
sebuah hadits :
‫ت َوه َُو ُي ْنشِ ُد فِيْ ْال َمسْ ِج ِد َفلَ َح َظ إلَ ْي ِه َف َقا َل َق ْد‬ ٍ ‫ْن ثا َ ِب‬ ِ ‫ب َقا َل َمرَّ ُع َم ُر ِب َحس‬
ِ ‫َّان ب‬ ِ ‫ْن ْالم َُس ِّي‬
ِ ‫َعنْ َس ِع ْي ِد ب‬
‫صلَّى هللا َعلَ ْي( ِه َو َس(لَّ َم‬ ِ ‫ت َرس ُْو َل‬
َ ‫هللا‬ َ ْ‫ت إلَى ِأبي ه َُري َْر َة َف َقا َل أ َسمِع‬ َ ‫ك ُث َّم ْال َت َف‬
َ ‫ت َوفِ ْي ِه َمنْ ه َُو َخ ْي ٌر ِم ْن‬ ُ ‫أ ْن َش ْد‬
‫س َقا َل اَللّ ُه َّم َن َع ْم‬ ِ ‫َيقُ ْو ُل أ ِجبْ َع ِّنيْ اَللّ ُه َّم أي َّْدهُ ِبر ُْو ِح ْالقُ ُد‬
Dari Sa’id bin Musayyab, ia berkata, “Suatu ketika Umar berjalan kemudian
bertemu dengan Hassan bin Tsabit yang sedang melantunkan syair di masjid. Umar
menegur Hassan, namun Hassan menjawab, ‘aku telah melantunkan syair di masjid yang
di dalamnya ada seorang yang lebih mulia darimu.’ Kemudian ia menoleh kepada Abu
Hurairah. Hassan melanjutkan perkataannya. ‘Bukankah engkau telah mendengarkan
sabda Rasulullah SAW, jawablah pertanyaanku, ya Allah mudah-mudahan Engkau
menguatkannya dengan Ruh al-Qudus.’ Abu Hurairah lalu menjawab, ‘Ya Allah, benar
(aku telah medengarnya).’ ” ( HR. Abu Dawud [4360] an-Nasa’i [709] dan Ahmad
[20928] ).
Mengomentari hadits ini, Syaikh Isma’il az-Zain menjelaskan adanya kebolehan
melantunkan syair yang berisi puji-pujian, nasihat, pelajaran tata karma dan ilmu yang
bermanfaat di dalam masjid. (Irsyadul Mu’minin ila Fadha’ili Dzikri Rabbil ‘Alamin, hlm.
16).
Kedua, dari sisi syiar dan penanaman akidah umat.
Selain menambah syiar agama, amaliah ini merupakan strategi yang sangat jitu
untuk menyebarkan ajaran Islam di tengah masyarakat. Karena di dalamnya terkandung
beberapa pujian kepada Allah SWT, dzikir dan nasihat.
Ketiga, dari aspek psikologis,
Lantunan syair yang indah itu dapat menambah semangat dan mengkondisikan
suasana. Dalam hal ini, tradisi yang telah berjalan di masyarakat tersebut dapat menjadi
semacam warming up (persiapan) sebelum masuk ke tujuan inti, yakni shalat lima
waktu.
Keempat, manfaat lainnya,
Untuk mengobati rasa jemu sembari menunggu waktu shalat jama’ah
dilaksanakan. Juga agar para jama’ah tidak membicarakan hal-hal yang tidak perlu ketika
menunggu shalat jama’ah dilaksanakan. Dengan beberapa alasan inilah maka membaca
dzikir, nasehat, puji-pujian secara bersama-sama sebelum melaksanakan shalat jama’ah
di masjid atau di mushalla adalah amaliah yang baik dan dianjurkan. Namun dengan satu
catatan, tidak mengganggu orang yang sedang melaksanakan shalat. Tentu hal tersebut
disesuaikan deogan situasi dan kondisi masing-masing masjid dan mushalla masing-
masing.
B. Bilangan Tarawih

Sayyidah Aisyah r.a, menerangkan bahwa Rasulullah s.a.w, melaksanakan shalat


malam termasuk di dalamnya shalat tarawih dengan sebelas rakaat; delapan rakaat
tarawih atau tahajud dan tiga rakaat witir. Riwayat aisyah r.a, yang kedua menyebutkan
bahwa Nabi melaksanakan shalat malam tiga belas rakaat; delapan rakaat tarawih atau
tahajjud dan lima rakaat witir.<>Dari kedua riwayat tersebut dapat diambil suatu
pemahaman, bahwa jumlah rakaat shalat malam atau shalat tarawih tidak harus sebelas
rakaat, bisa juga lebih misalnya tiga belas rakaat, seperti disebutkan dalam riwayat
Aisyah r.a, yang kedua. Dengan demikian yang dimaksud dari riwayat Aisyah r.a, yang
menyebutkan bahwa Nabi s.a.w, tidak pernah shalat malam lebih dari sebelas rakaat,
baik dalam bulan Ramadhan atau bulan-bulan lain, tidak berarti tidak boleh lebih ari
sebelas rakaat. Apabila dikompromikan dengan riwayat-riwayat lain seperti riwayat Ibnu
Umar r.a, yang menyebutkan bahwa shalat malam itu dua rakaat, dua rakaat tanpa
menyebutkan jumlahnya, hanya kalau khawatir masuk shubuh segera melaksanakan
witir satu rakaat, menunjukkan bahwa jumlah rakaat shalat tarawih atau shalat malam
tidak harus sebelas, tetapi boleh lebih dari jumlah tersebut.

Apalagi kalau dipadukan dengan kenyataan yang dilakukan para sahabat Nabi
dan para tabi’in, mereka mengerjakan shalat tarawih dengan 20 rakaat , tiga witir dan
ada pula yang mengerjakan sampai 36 rakaat dan 40 rakaat. Berkata Yazid bin Ruman:
“Di zaman Umar bin Khattab, orang-orang melaksanakan shalat malam di bulan
ramadhan (shalat tarawih) dengan 23 rakaat “ (H.R. Imam Muslim). Ibnu Abbas
melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan 20 rakaat dan witir, dengan tidak
berjamaah. (H.R. Baihaqy). Berkata Atho’:”Aku jumpai mereka (para sahabat)
mengerjakan shalat pada (malam-malam) Ramadhan 23 rakaat dan 3 witir”. (H.R.
Muhammad bin Nashir). Berkata Daud bin Qais: “Aku jumpai orang-orang di zaman Abas
bin Utsman bin Abdul Aziz (di Madinah), mereka shalat 36 rakaat dan mereka bershalat
witir 3 rakaat “. (H.R. Muhammad bin Nashir). Imam Malik menjelaskan: “Perkara shalat
(tarawih) di antara kami (di Madinah) dengan 39 rakaat , dan di Makkah 23 rakaat tidak
ada suatu kesulitanpun (tidak ada masalah) dalam hal itu”. Al- Tirmidzi menjelakan:
“sebanyak-banyak (rakaat) yang diriwayatkan, bahwa Imam Malik shalat 41 rakaat
dengan witir”. (Bidayatul Hidayah, Ibn Rusyd, hal.152. bandingkan dengan A. Hasan,
Pengajaran Shalat, hal. 290-192).

Pada masa Umar Ibn Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thallib r.a, shalat
tarawih dikerjakan sebanyak 20 rakaat dan 3 rakaat untuk shalat witir. Para ulama
Jumhur (mayoritas) juga menetapkan jumlah shalat tarawih seperti itu, demikian juga al-
Tsauri, Ibn al-Mubarok dan al-Syafi’i. Imam Malik memetapkam bilangan shalat tarawih
sebanyak 36 rakaat dan 3 rakaat untuk shalat witir. Ibnu Hubban menjelaskan, bahwa
shalat tarawih pada mulanya adalah sebelas rakaat. Para ulama salaf mengerjakan
shalat itu dengan memanjangkan bacaan, kemudian dirasakan berat, lalu mereka
meringankan bacaannya dengan menambah rakaat menjadi 20 rakaat, tidak termasuk
witir. Ada lagi yang lebih meringankan bacaannya sedangkan rakaatnya ditetapkan
menjadi 36 rakaat, selain witir”. (Hasby As-Shiddiqy, Pedoman Shalat, hal. 536-537).
Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Malik dari Abdurrahman bin Abd Qadri:

‫ان ِالَى‬ َ (‫ض‬ َ ‫(ة فِى َر َم‬ ً (َ‫ب َرضِ َي هللاُ َع ْن( ُه لَ ْيل‬ ِ ‫ْن ْال َخ َّطا‬
ِ ‫ت َم َع ُع َم َرب‬ ُ ْ‫اري اَ َّن ُه َقا َل َخ َرج‬ ِ ‫ْن َع ْب ِد ْال َق‬ِ ‫َعنْ َع ْب ِد الرَّ حْ َم ِن ب‬
‫ط َف َقا َل ُع َم ُر ِا ِّني اَ َرى لَ ْو‬ ُ ْ‫صاَل ِت ِه الرَّ ه‬ َ ‫صلِّي ِب‬ َ ‫صلِّي الرَّ ُج ُل َف ُي‬ َ ‫صلِّي الرَّ ُج ُل لِ َن ْفسِ ِه َو ُي‬ َ ‫ْال َمسْ ِج ِد َفا َِذا ال َّناسُ اَ ْو َز‬
َ ‫اع ُم َت َفرِّ قُ ْو َن ُي‬
ُ‫(ة ا ُ ْخ( َرى َوال َّناس‬ ً (َ‫ت َم َع( ُه لَ ْيل‬ُ ْ‫ب ُث َّم َخ( َرج‬ ٍ ْ‫ْن َكع‬ِ ‫(ان اَ ْم َث( َل ُث َّم َع( َز َم َف َج َم َع ُه ْم َعلَى ا ُ َبيِّ ب‬
َ (‫ئ َوا ِح( ٍد لَ َك‬ ٍ ‫ار‬ ِ ‫ت َهؤُ اَل ِء َعلَى َق‬ ُ ْ‫َج َمع‬
‫ارئ ِِه ْم َقا َل ُع َم ُر نِعْ َم ْال ِب ْد َع ُة‬ ِ ‫صاَل ِة َق‬ َ ‫صلُّ ْو َن ِب‬
َ ‫ ُي‬... "

Abdurrahman bin Abd al-Qadri menceritakan padaku, “aku keluar bersama Umar
pada suatu malam di bulan Ramadhan, di masjid Beliau menjumpai banyak orang dalam
beberapa kelompok; ada yang sedang melaksanakan shalat sendirian dan ada yang
diikuti beberapa orang. Melihat hal itu Umar barkata: “aku berfikir lebih baik aku
mengumpulkam mereka dengan satu orang Imam. Setelah itu Beliau memerintahkan
Ubay bin Ka’ab r.a, supaya menjadi imam bagi mereka. Pada malam berikutnya aku
keluar bersama Umar lagi dan ia melihat orang-orang melaksanakan shalat dengan cara
berjama’ah dengan imam Ubay bin Ka’ab r.a, (memperhatikan kegiatan shalat itu),
Umar berkata: “inilah sebaik-baik bid’ah”. (Hadits Shahih, riwayat al-Bukhari:1817 dan
Malik:231).

Memperhatikan uraian di atas menurut hemat penulis, shalat Tarawih bisa


dilakukandengan jumlah rakaat sebagai berikut:1. Sebelas rakaat, delapan rakaat
Tarawih dan tiga rakaat witir, atau sepuluh rakaat Tarawih dan satu raakaat Witir.2. Dua
puluh rakaat Tarawih dengan tiga rakaat Witir.3. Dan tiga puluh enam Tarawih dan tiga
rakaat witir.Dari ketiga jumlah di atas, kita boleh memilih satunya sesuai sesuai dengan
kondisi dan kemampuan kita masing-masing, tanpa memaksakan diri atau memberatkan
adapun do’a Shalat Tarawih
‫دَك‬َ ‫ِلز َكا ِة َفاعِ لِي َْن َولِمَاعِ ْن‬
َّ ‫صاَل ِة َحافِظِ ي َْن َول‬َّ ‫ِض م َُؤ ّد ِي َن َولِل‬ ِ ‫أَللَّ ُه َّم اجْ َع ْل ِباإْل ِ ْي َم‬
ِ ‫ان َكا ِملِي َْن َول ِْل َف َرئ‬
‫ك َرا ِجي َْن َو ِب ْال ُه َدى ُم َّتسِ ِكي َْن َو َع ِن اللَّ ْغ ِو مُعْ ِرضِ ي َْن َوفِى ال ُّد ْن َيا َزا ِه ِدي َْن َوفِى اآْل خ َِر ِة‬ َ ‫َطال ِِبي َْن َولِ َع ْف ِو‬
‫صلَّى‬
َ ‫ت ل َِوا ِء َس ِّي ِد َنا م َُح َّم ٍد‬ َ ‫ْن َولِل َّنعْ َما ِء ال َّشاك ِِري َْن َو َعلَى ْال َباَل ِء‬
َ ْ‫ص ِاب ِري َْن َو َتح‬ ِ ‫ضا ِء َراضِ ي‬ َ ‫َراغِ ِبي َْن َو ِب ْال َق‬
ِ ‫ار ِدي َْن َو فِى ْال َج َّن ِة دَا ِخلِي َْن َوم َِن ال َّن‬
‫ار َنا ِجي َْن َو َعلَى‬ ِ ‫هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َي ْو َم ْالقِ َيا َم ِة َسائ ِِري َْن َو ِالَى ْال َح ْو‬
ِ ‫ض َو‬
‫اج ُم َتلَ ِبسِ ي َْن َو ِالَى َط َع ِام‬ ٍ ‫س َواسْ َتب َْر ٍ(ق َو ِد ْي َب‬ ٍ ‫ْن ُم َت َزوِّ ِجي َْن َومِنْ ُس ْن ُد‬ ٍ ‫َس ِري ِْر ْال َك َر َم ِة َقاعِ ِدي َْن َومِنْ ح ُْو ِرعِ ي‬
َ ْ‫ْن َم َع الَّ ِذي َْن اَ ْن َعم‬ ْ َ ٍ ‫ْن َشار ِبي َْن ِبأ َ ْك َوا‬ َ ‫ْال َج َّن ِة آ ِكلِي َْن َومِنْ لَ َب ٍن َو َع َس ٍل ُم‬
‫ت‬ ٍ ‫س َمنْ َم ِعي‬ ٍ ‫اري َ(ْق َو َكأ‬ ِ ‫ب َوأ َب‬ ِ ِ ‫ص َّفي‬
ِ ‫هللا َو َك َفى ِبا‬
‫هلل‬ ِ ‫ك ْال َفضْ ُل م َِن‬ َ ِ‫ك َرفِ ْي ًقا َذل‬ َ ‫ص ِّدقِي َْن َوال ُّش َهدَا ِء َو الصَّالِ ِحي َْن َو َحس َُن أُولَ ِئ‬ ِّ ‫َعلَي ِْه ْم َم ِن ال َّن ِب ِيي َْن َوال‬
‫ار َك ِة م َِن الس َُّعدَا ِء ْال َم ْقب ُْولِي َْن َواَل َتجْ َع ْل َنا م َِن ْاأَل ْشقِ َياِء‬
َ ‫َعلِ ْيمًا اَللَّ ُه َّم اجْ َع ْل فِى َه ِذ ِه اللَّ ْي َل ِة ال َّش ِر ْي َف ِة ْال ُم َب‬
‫صلَّى هللاُ َعلَى َس ِّي ِد َنا م َُح َّم ٍد َو َعلَى آلِ ِه َواَصْ َح ِاب ِه أَجْ َم ِعي َْن َو ْال َحمْ ُدهلِل ِ َربِّ ْال َعالَ ِمي َْن‬ َ ‫ْال َمرْ ُد ْو ِدي َْن َو‬

“Wahai Allah, jadikanlah kami orang-orang yang imannya sempurna, dapat


menunaikan segala fardhu, memelihara shalat, menegeluarkan zakat, mencari kebaikan
di sisi-Mu, senantiasa memegang teguh petunjuk-petunjukMu, terhindar dari segala
penyelewengan-penyelewengan, zuhud akan harta benda, mencintai amal untuk bekal
di akhirat, tabah menerima ketetapanMu, mensyukuri segala nikmatMu, tabah dalam
menghadapi cobaan,dan semoga nanti pada hari kiamat kami dalam satu barisan
dibawah panji-panji Nabi Muhammad s.a.w, dan sampai pada telaga yang sejuk, masuk
dalam surge, selamat dari api neraka, dan duduk di atas permadani yang indah
bersama para bidadari, berpakaian sutra, menikmati makanan surge, meminum susu
dan madu yang murni dengan gelas, ceret dan sloki (yang diambil ) dari air yang
mengalir bersama orang-orang yang yang telah Engkau beri nikmat atas mereka dari
golongan para Nabi, orang-orang jujur, para shuhada dan orang-orang yang shalih.
Merekalah teman yang terbaik. Demikianlah karunia Allah s.w.t, dan cukuplah Allah
yang mengetahui. Wahai Allah, jadikanlah kami pada malam yang mulia dan penuh
berkah ini menjadi orang yang berbahagia dan diterima (amal ibadahnya). Dan
janganlah Engkau jadikan kami sebagaian dari orang-orang yang sengsara dan ditolak
(amal ibadahnya). Semoga Allah senantiasa melimpahkan kesejahteraan dan
keselamatan kepada Nabi besar Muhammad s.a.w, beserta keluarga dan segenap
sahabatnya. Segala puji milik Allah, Tuhan seru sekalian alam”.
C. Qunut Salat Shubuh
Imam Malik bin Anas dalam istilah fiqihnya membedakan perkara yang
dianjurkan antara sunnah dan mustahab. Qunut menurut Imam Malik tergolong amalan
yang mustahab, yaitu hal yang dianjurkan namun Nabi tidak mengamalkannya secara
terus-menerus semasa hidup. Berdasarkan beberapa riwayat hadits, disebutkan bahwa
Nabi pernah berqunut selama sekian hari, lantas beliau meninggalkannya. Menurut
Imam Malik pula, doa qunut hendaknya dilakukan sebelum ruku’ secara pelan (sirr),
berbeda dengan mazhab Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal yang berpendapat bahwa qunut
dibaca setelah ruku’. ‘Ala kulli hal, demikian beberapa hujjah yang menyebabkan beda
pengamalan qunut Subuh di masyarakat. Kini perdebatan yang dulu memicu polemik di
masyarakat ini tampak kian lunak, utamanya di masyarakat kota. Kalangan Nahdliyin
yang biasa berqunut, biasa saja mengikuti jamaah Subuh yang tanpa qunut. Begitu pula
kalangan yang tidak biasa berqunut, tidak keberatan membaca qunut dalam shalat
mengikuti lumrahnya masyarakat.
Mengutip pendapat Imam Sufyan ats Tsauri, sebagaimana dikutip oleh Imam at
ْ ‫ َوإِنْ لَ ْم َي ْق ُن‬، ٌ‫ت فِي ال َفجْ ِر َف َح َسن‬
Tirmidzi dalam Sunan at Tirmidzi terkait qunut: ٌ‫ت َف َح َسن‬ َ ‫“ إِنْ َق َن‬Jika
seseorang ingin melakukan qunut di waktu Subuh, maka itu ‘hasan’ (baik, dan termasuk
sunnah). Dan jika tidak berqunut, itu juga ‘hasan’.”

D. Dzikir Dengan Berjamaah


Membaca dzikir dengan berjama`ah sehabis menunaikan sholat
maupun dalam momen tertentu, seperti istighotsah, Tahlilan adalah
perbuatan yang tidak bertentangan dengan ajaran Agama bahkan termasuk
perbuatan yang dituntun oleh Agama. Dalilnya:
)152 : ‫فاذكروني اذكركم( (البقرة‬
“Ingatlah (berdzikirlah) kamu semua kepadaKu niscaya Aku ingat kepadamu”
(Al Baqoroh 152)
‫ال يقعد قوم يذكرون هللا عز وجل إال حفتهم المالئكة وغشيتهم( الرحمة ونزلت عليهم السكينة‬
)‫وذكرهم هللا فيمن عنده (رواه مسلم‬

“Tidaklah sekelompok orang yang duduk berdzikir kepada Allah kecuali mereka
dikerumuni malaikat, diliputi rahmat dan ketentraman turun kepada mereka, serta Allah
akan menyebu-nyebut mereka kepada para Malaikat disisinya” (HR. Muslim)

BAB III

PENUTUP

Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca dan dapat


menambahkan ilmu serta dapat diterapkan dalam kehidupan
bermasyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

https://islam.nu.or.id/post/read/45700/jumlah-rakaat-dan-do039a-shalat-tarawih
https://islam.nu.or.id/post/read/88409/perbedaan-pandangan-ulama-fiqih-tentang-
qunut-subuh

http://adilamri.blogspot.com/2013/04/tradisi-dan-amalia-nu_12.html?m=1

Buku Saku Hujjah Amaliah Nahdliyah

Anda mungkin juga menyukai