Disusun Oleh :
Dosen Pengampu :
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Amaliyah dan ritual-ritual keagamaan yang bercorak budaya lokal dengan segala
kekhasan tradisinya seperti itu, sampai kini tetap dilestarikan oleh Muslim Nusantara khususnya
kaum Nahdliyin. Amaliyah keagamaan seperti itu tetap dipertahankan karena kaum nahdliyin
meyakini bahwa ritual-ritual dan amaliyah yang bercorak lokal tersebut hanyalah sebatas teknis
atau bentuk luaran saja, sedangkan yang menjadi subtansi di dalamnya murni ajaran-ajaran
Islam. Dengan kata lain, ritual-ritual yang bercorak tradisi lokal hanyalah bungkus luar,
sedangkan isinya adalah nilai-nilai ibadah yang diajarkan oleh Islam.
Sebagai contoh, ritual selamatan atau kenduri yang dilakukan dengan seremonial pada
waktu-waktu tertentu sesuai dengan kebiasaan lokal yang berlaku, didalamnya diisi dengan
ibadah-ibadah yang dianjurkan Islam seperti bersedekah, dzikir, berdo`a, membaca Al Qur`an
dan lain sebagainya. Mengenai seremonial atau penentuan waktu tersebut, tidak lebih
hanyalah kemasan luar sebagai bentuk penyesuaian dengan teknis dan kebiasaan yang berlaku
ditengah masyarakat dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
B. Tujuan
Untuk memberi pengertian lebih jelas kepada pembaca tentang Dzikir dan syair
sebelum berjamaah.
Untuk memberi pengertian lebih jelas kepada pembaca tentang bilangan tarawih.
Untuk memberi pengertian lebih jelas kepada pembaca tentang qunut salat shubuh.
Untuk memberi pengertian lebih jelas kepada pembaca tentang dzikir dengan
berjamaah.
BAB II
PEMBAHASAN
Apalagi kalau dipadukan dengan kenyataan yang dilakukan para sahabat Nabi
dan para tabi’in, mereka mengerjakan shalat tarawih dengan 20 rakaat , tiga witir dan
ada pula yang mengerjakan sampai 36 rakaat dan 40 rakaat. Berkata Yazid bin Ruman:
“Di zaman Umar bin Khattab, orang-orang melaksanakan shalat malam di bulan
ramadhan (shalat tarawih) dengan 23 rakaat “ (H.R. Imam Muslim). Ibnu Abbas
melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan 20 rakaat dan witir, dengan tidak
berjamaah. (H.R. Baihaqy). Berkata Atho’:”Aku jumpai mereka (para sahabat)
mengerjakan shalat pada (malam-malam) Ramadhan 23 rakaat dan 3 witir”. (H.R.
Muhammad bin Nashir). Berkata Daud bin Qais: “Aku jumpai orang-orang di zaman Abas
bin Utsman bin Abdul Aziz (di Madinah), mereka shalat 36 rakaat dan mereka bershalat
witir 3 rakaat “. (H.R. Muhammad bin Nashir). Imam Malik menjelaskan: “Perkara shalat
(tarawih) di antara kami (di Madinah) dengan 39 rakaat , dan di Makkah 23 rakaat tidak
ada suatu kesulitanpun (tidak ada masalah) dalam hal itu”. Al- Tirmidzi menjelakan:
“sebanyak-banyak (rakaat) yang diriwayatkan, bahwa Imam Malik shalat 41 rakaat
dengan witir”. (Bidayatul Hidayah, Ibn Rusyd, hal.152. bandingkan dengan A. Hasan,
Pengajaran Shalat, hal. 290-192).
Pada masa Umar Ibn Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thallib r.a, shalat
tarawih dikerjakan sebanyak 20 rakaat dan 3 rakaat untuk shalat witir. Para ulama
Jumhur (mayoritas) juga menetapkan jumlah shalat tarawih seperti itu, demikian juga al-
Tsauri, Ibn al-Mubarok dan al-Syafi’i. Imam Malik memetapkam bilangan shalat tarawih
sebanyak 36 rakaat dan 3 rakaat untuk shalat witir. Ibnu Hubban menjelaskan, bahwa
shalat tarawih pada mulanya adalah sebelas rakaat. Para ulama salaf mengerjakan
shalat itu dengan memanjangkan bacaan, kemudian dirasakan berat, lalu mereka
meringankan bacaannya dengan menambah rakaat menjadi 20 rakaat, tidak termasuk
witir. Ada lagi yang lebih meringankan bacaannya sedangkan rakaatnya ditetapkan
menjadi 36 rakaat, selain witir”. (Hasby As-Shiddiqy, Pedoman Shalat, hal. 536-537).
Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Malik dari Abdurrahman bin Abd Qadri:
ان ِالَى َ (ض َ (ة فِى َر َم ً (َب َرضِ َي هللاُ َع ْن( ُه لَ ْيل ِ ْن ْال َخ َّطا
ِ ت َم َع ُع َم َرب ُ ْاري اَ َّن ُه َقا َل َخ َرج ِ ْن َع ْب ِد ْال َقِ َعنْ َع ْب ِد الرَّ حْ َم ِن ب
ط َف َقا َل ُع َم ُر ِا ِّني اَ َرى لَ ْو ُ ْصاَل ِت ِه الرَّ ه َ صلِّي ِب َ صلِّي الرَّ ُج ُل َف ُي َ صلِّي الرَّ ُج ُل لِ َن ْفسِ ِه َو ُي َ ْال َمسْ ِج ِد َفا َِذا ال َّناسُ اَ ْو َز
َ اع ُم َت َفرِّ قُ ْو َن ُي
ُ(ة ا ُ ْخ( َرى َوال َّناس ً (َت َم َع( ُه لَ ْيلُ ْب ُث َّم َخ( َرج ٍ ْْن َكعِ (ان اَ ْم َث( َل ُث َّم َع( َز َم َف َج َم َع ُه ْم َعلَى ا ُ َبيِّ ب
َ (ئ َوا ِح( ٍد لَ َك ٍ ار ِ ت َهؤُ اَل ِء َعلَى َق ُ َْج َمع
ارئ ِِه ْم َقا َل ُع َم ُر نِعْ َم ْال ِب ْد َع ُة ِ صاَل ِة َق َ صلُّ ْو َن ِب
َ ُي... "
Abdurrahman bin Abd al-Qadri menceritakan padaku, “aku keluar bersama Umar
pada suatu malam di bulan Ramadhan, di masjid Beliau menjumpai banyak orang dalam
beberapa kelompok; ada yang sedang melaksanakan shalat sendirian dan ada yang
diikuti beberapa orang. Melihat hal itu Umar barkata: “aku berfikir lebih baik aku
mengumpulkam mereka dengan satu orang Imam. Setelah itu Beliau memerintahkan
Ubay bin Ka’ab r.a, supaya menjadi imam bagi mereka. Pada malam berikutnya aku
keluar bersama Umar lagi dan ia melihat orang-orang melaksanakan shalat dengan cara
berjama’ah dengan imam Ubay bin Ka’ab r.a, (memperhatikan kegiatan shalat itu),
Umar berkata: “inilah sebaik-baik bid’ah”. (Hadits Shahih, riwayat al-Bukhari:1817 dan
Malik:231).
“Tidaklah sekelompok orang yang duduk berdzikir kepada Allah kecuali mereka
dikerumuni malaikat, diliputi rahmat dan ketentraman turun kepada mereka, serta Allah
akan menyebu-nyebut mereka kepada para Malaikat disisinya” (HR. Muslim)
BAB III
PENUTUP
https://islam.nu.or.id/post/read/45700/jumlah-rakaat-dan-do039a-shalat-tarawih
https://islam.nu.or.id/post/read/88409/perbedaan-pandangan-ulama-fiqih-tentang-
qunut-subuh
http://adilamri.blogspot.com/2013/04/tradisi-dan-amalia-nu_12.html?m=1