Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Epidemiologi

Asma merupakan salah satu penyakit kronis yang secara umum sering ditemui di

seluruh dunia. Prevalensi asma telah dilaporkan sampai 40% di beberapa daerah di

Inggris, Australia, Selandia Baru, dan Irlandia, sedangkan di negara-negara yang lainnya

seperti Indonesia, China, India, dan Ethiopia dengan prevalensi yang lebih rendah 4%

(Chung and Adcock, 2012). Prevalensi asma di Amerika Serikat sekitar 22 juta

orangyang merupakan salah satu penyakit kronis yang paling umum dari masa kanak-

kanak, yang mempengaruhi lebih dari 6 juta anak. Data menunjukan pasien dengan asma

yang membutuhkan rawat inap lebih dari 497.000 setiap tahunnya (Bosse et al., 2009).

Peningkatan prevalensi asma bronkial di Indonesia seiring dengan bertambahnya

usia, dimana umur kurang dari 1 th sebesar 1,1%, umur lebih dari 75 tahun prevalensinya

sebesar 12,4%, dan prevalensi asma bronkial tertinggi pada umur 25-34 tahun sebesar

5,7

%. Pada rawat inap berdasarkan umur 45–64 tahun sebesar 25,66% dan terendah pada

umur 0-6 th sebesar 0,10%. Sedangkan prevalensi rawat jalan berdasarkan umur tertinggi

25-44 tahun sebesar 24,05% dan terendah umur 0-6 tahun sebesar 0,13% (RISKESDAS,

2013).

Peningkatan kejadian asma disebabkan oleh adanya atopi, peningkatan serum

imunoglobulin E (IgE), paparan asap rokok pasif. Peningkatan prevalensi asma dapat

disebabkan oleh perubahan lingkungan indoor atau outdoor dan dapat melibatkan

aeroallergen terutama tungau debu rumah. Peningkatan prevalensi alergi dan asma bisa
disebabkan oleh aksi sinergis polusi udara atau tembakau merokok dengan sensitisasi

alergi (Chung and Adcock, 2012).

Woolcock dan Konthen (1990) di Bali mendapatkan prevalensi asma dengan

hiperreaktivitas bronkus 2,4% dan hiperreaktivitas bronkus serta gangguan faal paru

adalah 0,7%. Salah satu kemungkinan adalah bahwa perubahan pola infeksi dapat

mempengaruhi perkembangan atopi melalui perubahan respon sel-T spesifik mendukung

produksi sitokin dari 2 jenis T-helper limfosit (Th2) seperti IL-4 dan IL-5, dengan

penurunan sitokin Th1, seperti IFN-γ. Selain prevalensi, tingkat keparahan asma

tampaknya juga meningkat dengan adanya peningkatan jumlah kunjungan ke rumah

sakit untuk asma dan dalam penggunaan obat asma, seperti β-agonis dan steroid inhalasi

(PDPI, 2006).

Angka kematian secara umum masih rendah. Beberapa alasan mendasari angka

kematian asma adalah meningkatnya tingkat keparahan, sehingga menambah jumlah

pasien pada risiko kematian, kegagalan untuk menggunakan obat yang sesuai, karena

profesional perawatan kesehatan tidak mengevaluasi keparahan penyakit, kurangnya

akses ke perawatan medis dan penyebab iatrogenik (Chung and Adcock, 2012).

2.2. Patofisiologi Asma Bronkial

Pencetus serangan asma bronkial dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara

lain alergen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi respon inflamasi akut. Asma

bronkial dapat terjadi melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf otonom. Jalur

imunologis didominasi oleh antibodi IgE, merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I (tipe

alergi), terdiri dari fase cepat dan fase lambat. Reaksi alergi timbul pada orang dengan

kecenderungan
untuk membentuk sejumlah antibodi IgE abnormal dalam jumlah besar, golongan ini

disebut atopi. Pada asma alergi, antibodi IgE terutama melekat pada permukaan sel mast

pada interstisial paru, yang berhubungan erat dengan bronkiolus dan bronkus kecil. Bila

seseorang menghirup alergen, terjadi fase sensitisasi, antibodi IgE orang tersebut

meningkat. Alergen kemudian berikatan dengan antibodi IgE yang melekat pada sel mast

dan menyebabkan sel ini berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam mediator.

Beberapa mediator yang dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, faktor kemotaktik

eosinofil dan bradikinin (Rengganis, 2008; Maalmi H, et al., 2012).

Hal itu akan menimbulkan efek edema lokal pada dinding bronkiolus kecil,

sekresi mukus yang kental dalam lumen bronkiolus, dan spasme otot polos bronkiolus,

sehingga menyebabkan inflamasi saluran napas. Pada reaksi alergi fase cepat, obstruksi

saluran napas terjadi segera yaitu 10-15 menit setelah pajanan alergen. Spasme bronkus

yang terjadi merupakan respon terhadap mediator sel mast terutama histamin yang

bekerja langsung pada otot polos bronkus. Pada fase lambat, reaksi terjadi setelah 6-8

jam pajanan alergen dan bertahan selama 16-24 jam, bahkan kadang-kadang sampai

beberapa minggu. Sel-sel inflamasi seperti eosinofil, sel T, sel mast dan Antigen

Presenting Cell (APC) merupakan sel-sel kunci dalam patogenesis asma (Rengganis,

2008; Maalmi H et al., 2012; Cannel J, 2013).

Pada jalur saraf otonom, banyak sel - sel inflamasi yang terlibat dalam asma

seperti sel mast, makrofag, sel dendritik, eosinofil, T-limfosit dan basofil (Barnes, 2007).

Inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervus

vagus dan mungkin juga epitel saluran napas. Peregangan vagal menyebabkan reflek

bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag

akan membuat
epitel jalan napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam

submukosa, sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel bronkus oleh

mediator yang dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma dapat terjadi tanpa

melibatkan sel mast misalnya pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap dan kabut

(Rengganis, 2008; Ives K and Green RJ, 2011).

Gambar 2.1 Inflamasi dan remodeling pada asma (PDPI, 2006).

Pada keadaan tersebut reaksi asma terjadi melalui reflek ujung saraf eferen vagal

mukosa yang terangsang menyebabkan dilepaskannya neuropeptid sensorik senyawa P,

neurokinin A dan Calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP). Neuropeptida itulah yang

menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi

lendir, dan aktivasi sel-sel inflamasi. Hiperaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma,

besarnya hiperaktivitas bronkus tersebut dapat diukur secara tidak langsung, yang

merupakan parameter objektif beratnya hiperaktivitas bronkus. Berbagai cara digunakan

untuk mengukur hiperaktivitas bronkus tersebut, antara lain dengan uji provokasi beban
kerja, inhalasi udara dingin, inhalasi antigen, maupun inhalasi zat nonspesifik (PDPI,

2006). Seperti diterangkan pada Gambar 2.1.

Gambar 2.2 Th-2 dan EMTU (PDPI, 2006)

Adanya hubungan teori Th-2 dan epithelial mesenchymal tropic unit (EMTU)

terjadinya remodeling pada asma serta tidak cukupnya sitokin proinflamasi untuk

menjelaskan remodeling tersebut dan pada percobaan binatang yang menunjukkan peran

EMTU mendatangkan pemikiran baru pada patogenesis asma. Asma adalah inflamasi

kronik jalan napas melalui mekanisme Th-2. Akan tetapi berbagai sitokin yang

merupakan hasil aktivasi Th-2 (sitokin IL-13, IL-4) yang dianggap berperan penting

dalam remodeling adalah berinteraksi dengan sel epitel mediatornya dalam menimbulkan

remodeling. Sitokin proinflamasi tersebut tidak cukup kuat untuk menghasilkan


remodeling tetapi interaksinya dengan sel epitel dan mediatornya adalah mekanisme

yang dapat menjelaskan terjadinya airway remodeling pada asma. Sehingga kerusak sel

epitel dan sitokin-sitokin Th-2 beraksi bersama-sama dalam menimbulkan gangguan

fungsi EMTU yang menghasilkan aktivasi miofibroblas dan induksi respon inflamasi

dan remodeling sebagai karakteristik asma kronik (PDPI, 2006). Seperti diterangkan

pada Gambar 2.2

2.3. Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Asma Bronkial

Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu (host

factor) dan faktor lingkungan. Faktor penjamu disini termasuk predisposisi genetik yang

mempengaruhi untuk berkembangnya asma, yaitu alergik (atopi), hiperreaktivitas

bronkus, jenis kelamin dan ras. Faktor lingkungan mempengaruhi individu dengan

kecenderungan predisposisi untuk berkembang menyebabkan terjadinya eksaserbasi

asma dan atau menyebabkan gejala-gejala asma menetap. Termasuk dalam faktor

lingkungan yaitu alergen, sensitisasi lingkungan kerja, asap rokok, polusi udara, infeksi

pernapasan (virus), diet, status sosioekonomi dan obesitas dalam keluarga (PDPI, 2006;

Lange NE et al., 2009). Faktor risiko asma dipengaruhi oleh berbagai faktor (Rengganis,

2008). Faktor

- faktor itu meliputi:

2.3.1. Faktor Imunitas

Mekanisme imunitas terhadap kejadian inflamasi pada asma kemungkinan terjadi

ekspresi sel Th2 yang berlebihan (NHLBI, 2007). Menurut Moffatt et al (2007), gen

ORMDL3 mempunyai hubungan kuat sebagai faktor predisposisi asma.

2.3.2. Faktor Umur


Insidensi tertinggi asma biasanya mengenai anak-anak (7-10%) yaitu umur 5–14

tahun. Sedangkan pada orang dewasa, angka kejadian asma lebih kecil yaitu sekitar 3-

5% (Asthma and Allergy Foundation of America, 2010). Menurut studi yang dilakukan

oleh Australian Institute of Health and Welfare (2007), kejadian asma pada kelompok

umur 18–34 tahun adalah 14% sedangkan >65 tahun menurun menjadi 8.8%.

2.3.3. Faktor Genetik

Menurut Benjamin AR et al (2004) dan Rengganis (2008) faktor genetik berikut

ini dapat menjadi faktor yang mempengaruhi asma, yaitu:

a. Atopi/alergi

Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui bagaimana

cara penurunannya. Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga

dekat yang juga alergi. Dengan adanya alergi ini, penderita sangat mudah terkena

penyakit asma bronkial jika terpajan dengan faktor pencetus.

b. Hiperreaktivitas bronkus

Saluran napas sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen maupun iritan.

c. Jenis kelamin

Laki-laki memiliki risiko lebih tinggi dibandingkan perempuan terjadinya asma pada

anak. Sebelum usia 14 tahun, prevalensi asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali

dibanding perempuan. Tetapi saat dewasa perbandingan tersebut kurang lebih sama

dan pada masa menopause perempuan lebih banyak.

d. Obesitas
Obesitas atau peningkatan Body Mass Index (BMI), merupakan faktor risiko asma.

Mediator tertentu seperti leptin dapat mempengaruhi fungsi saluran napas dan

meningkatkan kemungkinan terjadinya asma. Meskipun mekanismenya belum jelas,

penurunan berat badan penderita obesitas dengan asma, dapat memperbaiki gejala

fungsi paru, morbiditas dan status kesehatan.

2.3.4. Faktor Lingkungan

Menurut Rengganis (2008), faktor lingkungan berikut ini juga menjadi faktor

yang mempengaruhi asma, yaitu:

a. Alergen di dalam rumah (tungau debu rumah, spora jamur, kecoa, serpihan

kulit binatang seperti anjing, kucing, dan lain-lain).

b. Alergen di luar rumah (serbuk sari, dan spora jamur).

2.3.5. Faktor Lain

Faktor lain sperti dibawah ini juga dapat mempengaruhi asma (Graziano, G et al.,

2007; Devereux G, 2010):

a. Alergen makanan, contohnys susu, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang tanah,

coklat, kiwi, jeruk, bahan penyedap pengawet, dan pewarna makanan.

b. Alergen obat-obatan tertentu, contohnya penisilin, sefalosporin, golongan beta

lactam lainnya, eritrosin, tetrasiklin, analgesik, antipiretik dan lain lain.

c. Bahan yang mengiritasi, contohnya parfum, household spray dan lain-lain.

d. Ekspresi emosi berlebih

e. Asap rokok bagi perokok aktif maupun pasif. Asap rokok berhubungan dengan

penurunan fungsi paru.

f. Polusi udara dari luar dan dalam ruangan


g. Exercise-induced asthma

h. Perubahan cuaca.

2.3.4. Faktor Sosial Ekonomi

Mielck et al (1996), menemukan hubungan antara status sosioekonomik/

pendapatan dengan prevalensi derajat asma berat. Dimana, prevalensi derajat asma berat

paling banyak terjadi pada penderita dengan status sosioekonomi yang rendah, yaitu

sekitar 40%.

2.4. Klasifikasi Asma Bronkial

Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan pola

keterbatasan aliran udara. Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit penting bagi

pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan jangka panjang, semakin berat asma

semakin tinggi tingkat pengobatan. Berat penyakit asma diklasifikasikan berdasarkan

gambaran klinis sebelum pengobatan dimulai (PDPI, 2006). Derajat gejala eksaserbasi

atau serangan asma dapat bervariasi yang tidak tergantung dari derajat sebelumnya

(Rengganis, 2008; Menon J et al., 2012).

2.4.1. Klasifikasi Menurut Derajat Berat Asma

Klasifikasi asma menurut derajat berat berguna untuk menentukan obat yang

diperlukan pada awal penanganan asma. Menurut derajat berat asma diklasifikasikan

sebagai intermiten, persisten ringan, persisten sedang dan persisten berat. Yang dapat

dilihat pada tabel 2.1.


Tabel 2.1 Klasifikasi derajat berat asma berdasarkan gambaran klinis
(PDPI, 2006)
Derajat Asma Gejala Gejala Malam Faal paru
I. Intermiten Bulanan APE  80%
* Gejala < 1x/minggu *  2 kali * VEP1  80% nilai prediksi
* Tanpa gejala di sebulan APE  80% nilai terbaik
luar serangan * Variabiliti APE < 20%
* Serangan singkat
II. Persisten Mingguan APE > 80%
Ringan
* Gejala > * > 2 kali * VEP1  80% nilai prediksi
1x/minggu, tetapi < sebulan APE  80% nilai terbaik
1x/ hari * Variabiliti APE 20-30%
* Serangan dapat
mengganggu aktiviti
dan tidur
III. Persisten Harian APE 60 – 80%
Sedang
* Gejala setiap hari * > 1x / *VEP1 60-80% nilai prediksi
* Serangan seminggu APE 60-80% nilai terbaik
mengganggu * Variabiliti APE > 30%
aktiviti dan
tidur
* Membutuhkan
bronkodilator
setiap hari
IV. Persisten Kontinyu APE  60%
Berat
* Gejala terus menerus * Sering * VEP1  60% nilai prediksi
* Sering kambuh APE  60% nilai terbaik
* Aktivititas fisik * Variabiliti APE > 30%
Terbatas

2.4.2. Klasifikasi Derajat Asma Bronkial Berdasarkan Berat Ringannya Serangan.

Menurut Global Initiative for Asthma (GINA) (2011) melakukan pembagian

derajat serangan asma berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan

pemeriksaan laboratorium. Derajat serangan menentukan terapi yang akan diterapkan.

Klasifikasi tersebut adalah asma serangan ringan, asma serangan sedang, dan asma
serangan berat. Dalam hal ini perlu adanya pembedaan antara asma kronik dengan

serangan asma akut.

2.5. Vitamin D

Sejak tahun 1920an vitamin D dikenal sebagai vitamin yang penting untuk

menjaga kesehatan tulang. Seiring perkembangan waktu, fungsi vitamin D semakin

banyak dipelajari tidak hanya untuk kesehatan tulang tapi juga pengaruhnya terhadap

sistem imunitas tubuh. Kadar vitamin D yang rendah sering dihubungkan dengan kondisi

yang berat seperti pada penyakit jantung, hipertensi, diabetes, kanker dan penyakit kronis

seperti kanker kolorektal (Feskanich D, 2004; Forman JP, 2007; Wang TJ, 2008).

Vitamin D muncul sebagai sesuatu yang baru dan berkontribusi terhadap hasil respon

imun. Vitamin D sudah lama dikenal untuk homeostasis mineral dan tulang. Peran

autokrin dan parakrin untuk vitamin D berhubungan dengan pertumbuhan sel, proliferasi

dan diferensiasi serta regulasi imun (Bosse, 2007).

Vitamin D secara umum berhubungan dengan dua molekul yang sama. Vitamin

D3 juga dikenal dengan cholecalsiferol yang diproduksi oleh sel kulit ketika berespon

terhadap sinar ultraviolet B. Vitamin D2 atau ergocalciferol terjadi secara alami

didapatkan pada jamur. Di tubuh bentuk akhir dari penyatuan vitamin D adalah menjadi

25(OH) D plasma. 25(OH) D itu sendiri diubah menjadi biologi aktif 1,25-

dihidroxyvitamin D yang dikenal sebagai calcitriol (Heaney RP et al., 2010). Perubahan

vitamin D dalam tubuh kemudian diubah menjadi biologi aktif tersebut seperti pada

Gambar 2.3.

Pada gambar pathway vitamin D diatas dapat dilihat bahwa vitamin D3 berasal

dari diet tetapi sebagian besar diproduksi di kulit dengan photolytic menjadi 7-
dehydrocholesterol. Dari vitamin D3, dua langkah aktivasi enzimatik yang diperlukan

untuk menghasilkan bentuk aktif dari vitamin D [1α, 25- (OH) 2 D3]. Gen CYP27A1

dan CYP2R1 mengkodekan enzim dengan aktivitas pada 25-hidroksilase yang

mengkatalisis 25-hidroksilasivitamin D3. Sebuah enzim aktivasi akhir oleh gen

CYP27B1 kemudian mengkatalisis dan membatasi hidroksilasi C-1 dalam sintesis 1α,

25- (OH) 2 D3 (Bosse et al., 2009).

Gambar 2.3 Vitamin D pathway (Bosse et al., 2009)

Bentuk aktif vitamin D, 1α, 25- (OH)2 D3 (segitiga oranye), kemudian oleh

pengikat protein vitamin D (dikodekan oleh locus GC) diangkut ke vitamin D sel target

dan metabolik tidak aktif oleh enzim 24-hidroksilase (Dikodekan dengan locus

CYP24A1). Dalam target sel vitamin D, 1α, 25- (OH) 2 D3 ditranslokasikan ke inti dan

mengikat vitamin D reseptor (VDR). Ligan komplek atau reseptor mengikat pada target

gen adalah vitamin D response element (VDRE). Komplek DNA berinteraksi dengan
koregulator nuklir, seperti SKIIP, dan mengubah tingkat transkripsi gen. Gen ini

memiliki VDRE dan transkripsinya diatur oleh stimulasi vitamin D (biru persegi). Gen

yang dipilih untuk genotip dalam studi pada lingkaran berwarna biru (Bosse et al.,

2009).

2.5.1. Sumber Vitamin D

Secara umum sumber vitamin D mudah didapatkan yaitu dengan berjemur

dibawah sinar matahari. Di Inggris pada musim panas dengan berjemur dibawah sinar

matahari selama 20-30 menit pada muka dan lengan yang diulang selama dua atau tiga

hari seminggu akan meningkatkan kadar vitamin D dalam tubuh. Kadar vitamin D yang

diterima dari sinar matahari langsung lebih sedikit pada orang dengan kulit hitam,

kegemukan dan orang tua (Holick M, 2007).

Sumber vitamin D yang berasal dari makanan beberapa diantaranya seperti ikan

salmon, makarel, hati dan telur. Vitamin D2 secara alami terdapat pada beberapa jamur

seperti Shitake dan chanterelle. Beberapa makanan buatan seperti margarin dan sereal

juga kaya vitamin D2. Berikut beberapa makanan yang merupakan sumber vitamin D

(Devereux G, 2010):

a. Ikan Salmon

Ini termasuk ikan yang kaya akan omega-3. Tersedia dalam bentuk ikan beku, segar

atau kalengan. Ikan salmon ternyata mengandung vitamin D empat kali lebih banyak

dibanding produk pertanian.

b. Ikan Tuna

Tuna merupakan jenis ikan laut yang juga kaya akan vitamin D, selain juga tinggi

protein dan omega-3.


c. Susu

Susu sapi, baik itu yang kaya lemak atau skim, secara alamiah mengandung vitamin

D dan juga diperkaya dengan nutrisi penting lainnya. Satu gelas susu mengandung

sekitar 100 IU vitamin D.

d. Sereal

Kebanyakan produk sereal siap makan yang beredar di pasaran sudah difortifikasi

dengan vitamin D. Kombinasi sereal dengan susu yang kaya vitamin D merupakan

bagian dari menu sehat.

e. Telur

Dengan kandungan vitamin D sekitar 21 IU dalam kuning telur dan protein murni

dalam bagian putihnya, telur merupakan bahan pangan yang bernutrisi yang wajib

dikonsumsi.

f. Jamur

Menurut sebuah riset yang dimuat dalam Journal of the Federation of American

Societies for Experimental Biology, jamur kancing putih yang diekspos dengan sinar

ultraviolet B selama beberapa jam memiliki kandungan vitamin D sekitar 400 persen

lebih tinggi.

g. Udang

Udang merupakan sumber omega-3 yang tinggi protein namun rendah lemak dan

kalori. Udang yang disajikan dalam takaran 85 gram mengandung 129 IU vitamin D.
Suplemen vitamin D menggunakan satuan microgram dan international unit. 1

mcg sama dengan 40 IU vitamin D2 atau vitamin D3. Vitamin D harus dapat dipastikan

sebanyak 25(OH) D didalam tubuh. Kadar dari 25(OH) D dapat dibagi dalam kriteria

Lips yaitu (Green TJ et al., 2008):

a. Defisiensi ringan < 50 nmol/l

b. Defisiensi sedang < 25 nmol/l

c. Defisiensi berat < 12,5 nmol/l

Kebutuhan vitamin D harian sesuai dengan angka kecukupan gizi tahun 2012 di

Indonesia berkisar antara 5-15µg/hari disesuaikan dengan usia, jenis kelamin, berat

badan dan tinggi badan. Nilai ini setara dengan 200-600 IU. Food and Nutrition Board

USA merekomendasikan 400-800 IU. Vitamin D Council di Amerika yang merupakan

organisasi nirlaba yang bertujuan untuk mengedukasi masyarakat tentang pentingnya

vitamin D bahkan merekomendasikan asupan vitamin D harian hingga 1000-5000 IU,

karena menurut mereka para peneliti mempercayai asupan vitamin D dalam dosis yang

rendah tidak mencukupi kebutuhan (Devereux G, 2010; Rosen CJ, 2011).

2.5.2 Vitamin D dan Asma Bronkial

Beberapa Hipotesis menyatakan bahwa 25(OH) D berperan dalam penyakit

autoimun seperti asma, berasal dari identifikasi VDR dalam sel imunologi, termasuk

Antigen-presenting Cell (APC) dan limfosit T yang diaktifkan. Mekanisme VDR

mempengaruhi populasi sel kekebalan tubuh, sekresi sitokin, dan produksi tidak

sepenuhnya diketahui, namun bukti sebelumnya menunjukkan bahwa aktivasi VDR

dapat menyebabkan pergeseran perkembangan sel Th 2. Hipotesis bahwa VDR

memainkan peran dalam asma juga diperkuat oleh perlawanan VDR pada penelitian

yang
menggunakan tikus. Tikus-tikus ini gagal mengalami radang saluran napas, eosinofilia,

atau hiperresponsif saluran napas, meskipun konsentrasi IgE dan sitokin Th2 tinggi

(Bosse et al., 2009).

Studi epidemiologis menunjukkan bahwa kadar serum rendah 25(OH) D

berhubungan dengan risiko tinggi dari infeksi saluran pernapasan atas dan bawah pada

anak dan kekurangan vitamin D dapat menyebabkan peningkatan gejala pasien asma

(Bosse et al., 2009). Banyak efek vitamin D ditemukan terjadi di luar umpan balik yang

dikendalikan endokrin, selain serum kalsium, fosfor, atau SKR. Penemuan ini,

menunjukan bahwa pada dasarnya setiap jaringan dan sel dalam tubuh memiliki VDR

(Poon et al., 2004). Manusia menerima 10% dari vitamin D mereka melalui bahan

makanan dicerna (minyak ikan dan cod liver oil) dan 90% oleh sintesis setelah paparan

sinar matahari. Epitel mengandung kadar tinggi dari enzim alfa-1-hidroksilase yang

mengubah beredar prohormone 25(OH) D menjadi bentuk aktif [1,25 (OH)2 D3)]

(Bozetto et al., 2012).

Defisiensi vitamin D berperan dalam peningkatan insiden asma. Defisiensi

vitamin D berkaitan dengan inflamasi saluran napas, hiperresponsif saluran napas,

penurunan fungsi paru dan kontrol asma yang buruk juga berkaitan dengan tingginya

rawat inap serta eksaserbasi asma. Peran vitamin D pada asma sebagai imunomodulator,

bekerja pada sel dendritik dan sel T mempromosikan Treg mensekresi IL-10

(Djajalaksana et al., 2008). IL-10 merupakan sitokin antiinflamasi yang terlibat dalam

patogenesis asma, berpotensi downregulation terhadap proses inflamasi yang

dikendalikan baik oleh sel Th1 maupun sel Th2. IL-17 merupakan sitokin proinflamasi

yang diproduksi oleh sel T khususnya Th17 yang berperan dalam migrasi neutrofil dan

respon inflamasi yang didominasi oleh


neutrofil (Schauber, J 2008; Park SJ, 2010). Penatalaksanaan asma secara holistik sesuai

panduan juga diperlukan upaya mengidentifikasi faktor risiko yang berperan dalam

patogenesis asma, salah satunya kadar vitamin D diharapkan pada akhirnya dapat

mencapai asma terkontrol. Defisiensi vitamin D ini akan mengganggu fungsi

imunoregulator vitamin D. Sel imun (limfosit T dan B, makrofag serta sel dendritik)

memiliki VDR dan dipengaruhi oleh defisiensi vitamin D selama proses maturasinya.

Gangguan pada homeostasis vitamin D dapat berkontribusi terhadap proses inflamasi

pada asma. Sel Th1, Th2, dan Treg mengekspresikan VDR dan menjadi target vitamin D.

Perkembangan tertentu dari sel imun membutuhkan ekspresi VDR secara intrinsik dan

ekstrinsik. Vitamin D secara langsung mempengaruhi respons sel T dengan menghambat

produksi sitokin Th1 (IL-2 dan IFN-ɣ), sitokin Th17 (IL-17), dan dengan merangsang

produksi sitokin Th2 (IL-4). Selain itu, vitamin D mempengaruhi maturasi sel dendritik.

Pada asma, vitamin D dapat dipertimbangkan menjadi mediator penting dan tingkat

fluktuasinya berhubungan dengan status inflamasi dari penyakit (Bozetto et al., 2012;

Robin K and Green J, 2011).

Menurut Bozzeto et al. (2012), pada pasien asma, sel T dan khususnya limfosit

CD4+ dirangsang dan diubah dari sel T menjadi sel memori CD. Ekspresi VDR pada

limfosit T CD4 meningkat drastis setelah sel teraktivasi. Penambahan 1,25(OH)2 D3

mengakibatkan penurunan sekresi IL-2 dan IFN-ɣ oleh sel T CD4 dan meningkatkan

produksi IL-5 dan IL-10, yang selanjutnya mengubah respon sel T menjadi dominan

Th2. Sel imun dapat mengaktifkan vitamin D secara lokal, yang menunjukkan peran

autokrin atau parakrin vitamin ini dalam sistem imun tubuh.


Gambar 2.4 Hubungan vitamin D dengan asma bronkial (Berraies A et al., 2014).

Vitamin D memiliki hubungan positif terhadap fungsi paru. Vitamin D

mempengaruhi fungsi paru melalui beberapa mekanisme. Yang pertama melalui regulasi

terhadap inflamasi dengan menurunkan respon inflamasi. Mekanisme kedua melalui

remodelling saluran napas yang merupakan proses penting dalam 25(OH) D patogenesis

asma dan berkaitan dengan hambatan aliran udara pada saluran napas. Bentuk aktif

vitamin D mampu menghambat proliferasi sel-sel otot polos saluran napas dan

menurunkan produksi matriks metaloproteinase-9 (MMP-9) seperti yang dijelaskan pada

Gambar 2.4 (Park SJ, 2010; Berraies A et al., 2014).

Sebuah penelitian kohort di Finlandia dalam Bozetto et al (2012), menyatakan

bahwa responden yang mendapat suplementasi vitamin D pada tahun pertama kehidupan

(sekitar 200 IU / hari) memiliki risiko yang lebih kecil asma, atopi, dan alergi rhinitis

pada
umur 31 tahun dibandingkan yang tidak diberikan suplemen. Beberapa penelitian

epidemiologi menyatakan bahwa ada hubungan kekurangan vitamin D dengan

peningkatan kejadian asma, alergi, dan sejumlah hipotesis menjelaskan hubungan antara

asma dan patogenesis defisiensi vitamin D. Seperti disebutkan sebelumnya, kekurangan

vitamin D dapat melemahkan pertahanan paru terhadap infeksi pernapasan dan ini akan

memberikan kontribusi memicu eksaserbasi asma yang disebabkan oleh infeksi saluran

pernapasan.

Dalam sebuah studi pada anak-anak di Kosta Rika, kadar vitamin D rendah

dikaitkan dengan peningkatan respon saluran napas dan eosinofil lebih tinggi jumlah dan

kadar IgE, sedangkan kadar vitamin D yang lebih tinggi dikaitkan dengan kemungkinan

lebih rendah dari rawat inap untuk eksaserbasi asma. Temuan ini dikonfirmasi oleh

kelompok peneliti yang sama dalam studi berikutnya berdasarkan kohort CAMP pada

1024 anak, terlepas dari hubungan antara tingkat vitamin D, kadar IgE dan jumlah

eosinofil. Para penulis berpendapat bahwa kadar vitamin D yang tinggi dapat membantu

mengendalikan infeksi dan mengurangi respon inflamasi, sehingga infeksi virus yang

menyebabkan gejala yang lebih ringan (Bozetto et al., 2012; Alyasin S et al., 2011;

Litonjua A, 2012).

Aspek kedua yang terlibat dalam hubungan antara kekurangan vitamin D dan

asma berhubungan dengan gangguan fungsi paru-paru. Anak-anak dengan cukup kadar

vitamin D yang ditemukan memiliki sedikit lebih rendah berarti FEV1 dibandingkan

anak-anak dengan tingkat vitamin yang cukup. Hasil fungsi paru-paru yang sama

diperoleh pada remaja dan orang dewasa juga. Dalam sebuah penelitian terbaru yang

dilakukan pada anak oleh Chinellato et al. Hubungan yang signifikan ditemukan antara

prediksi FVC% dan


serum 25 (OH) D, dan anak-anak dengan asma terkontrol dengan baik memiliki serum

yang lebih tinggi kadar vitamin D. Dalam studi lebih lanjut, kelompok yang sama

menunjukkan hubungan antara vitamin D dan peningkatan reaktivitas bronkial (Bozetto

et al., 2012; Alyasin S, 2011).

Aspek ketiga hubungan antara vitamin D dan asma berkaitan dengan

kemungkinan peran vitamin D dalam remodeling saluran napas. Vitamin D telah terbukti

untuk mempengaruhi ekspresi gen microarray di sel-sel otot polos bronkial, dengan efek

memperbaiki pertumbuhan sel dan kelangsungan hidup, morfogenesis dan matriks

ekstraselular. Ini menunjukkan peran vitamin D dalam remodeling saluran napas yang

penting dalam patofisiologi asma (Bozetto et al., 2012).

Hipotesis bahwa suplemen vitamin D sebagai fungsi anti-inflamasi pada

penggunaan kortikosteroid karena resistensi glukokortikoid atau ketidakpekaan

merupakan penghalang penting untuk pengobatan yang efektif dalam beberapa pasien

dengan asma. Ada juga beberapa bukti pemberian suplementasi vitamin D

mempengaruhi efektifitas terapi glukokortikoid pada penderita asma yaitu pada sel

mononuklear darah perifer. Sebuah aspek penting yang harus dipertimbangkan ketika

mengevaluasi hubungan antara kekurangan vitamin D dan asma adalah efek yang

mungkin berbaur, seperti ras atau status sosial ekonomi (Bozetto et al., 2012).

Anda mungkin juga menyukai