Asma 1
Asma 1
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Epidemiologi
Asma merupakan salah satu penyakit kronis yang secara umum sering ditemui di
seluruh dunia. Prevalensi asma telah dilaporkan sampai 40% di beberapa daerah di
Inggris, Australia, Selandia Baru, dan Irlandia, sedangkan di negara-negara yang lainnya
seperti Indonesia, China, India, dan Ethiopia dengan prevalensi yang lebih rendah 4%
(Chung and Adcock, 2012). Prevalensi asma di Amerika Serikat sekitar 22 juta
orangyang merupakan salah satu penyakit kronis yang paling umum dari masa kanak-
kanak, yang mempengaruhi lebih dari 6 juta anak. Data menunjukan pasien dengan asma
yang membutuhkan rawat inap lebih dari 497.000 setiap tahunnya (Bosse et al., 2009).
usia, dimana umur kurang dari 1 th sebesar 1,1%, umur lebih dari 75 tahun prevalensinya
sebesar 12,4%, dan prevalensi asma bronkial tertinggi pada umur 25-34 tahun sebesar
5,7
%. Pada rawat inap berdasarkan umur 45–64 tahun sebesar 25,66% dan terendah pada
umur 0-6 th sebesar 0,10%. Sedangkan prevalensi rawat jalan berdasarkan umur tertinggi
25-44 tahun sebesar 24,05% dan terendah umur 0-6 tahun sebesar 0,13% (RISKESDAS,
2013).
imunoglobulin E (IgE), paparan asap rokok pasif. Peningkatan prevalensi asma dapat
disebabkan oleh perubahan lingkungan indoor atau outdoor dan dapat melibatkan
aeroallergen terutama tungau debu rumah. Peningkatan prevalensi alergi dan asma bisa
disebabkan oleh aksi sinergis polusi udara atau tembakau merokok dengan sensitisasi
hiperreaktivitas bronkus 2,4% dan hiperreaktivitas bronkus serta gangguan faal paru
adalah 0,7%. Salah satu kemungkinan adalah bahwa perubahan pola infeksi dapat
produksi sitokin dari 2 jenis T-helper limfosit (Th2) seperti IL-4 dan IL-5, dengan
penurunan sitokin Th1, seperti IFN-γ. Selain prevalensi, tingkat keparahan asma
sakit untuk asma dan dalam penggunaan obat asma, seperti β-agonis dan steroid inhalasi
(PDPI, 2006).
Angka kematian secara umum masih rendah. Beberapa alasan mendasari angka
pasien pada risiko kematian, kegagalan untuk menggunakan obat yang sesuai, karena
akses ke perawatan medis dan penyebab iatrogenik (Chung and Adcock, 2012).
Pencetus serangan asma bronkial dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara
lain alergen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi respon inflamasi akut. Asma
bronkial dapat terjadi melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf otonom. Jalur
imunologis didominasi oleh antibodi IgE, merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I (tipe
alergi), terdiri dari fase cepat dan fase lambat. Reaksi alergi timbul pada orang dengan
kecenderungan
untuk membentuk sejumlah antibodi IgE abnormal dalam jumlah besar, golongan ini
disebut atopi. Pada asma alergi, antibodi IgE terutama melekat pada permukaan sel mast
pada interstisial paru, yang berhubungan erat dengan bronkiolus dan bronkus kecil. Bila
seseorang menghirup alergen, terjadi fase sensitisasi, antibodi IgE orang tersebut
meningkat. Alergen kemudian berikatan dengan antibodi IgE yang melekat pada sel mast
Hal itu akan menimbulkan efek edema lokal pada dinding bronkiolus kecil,
sekresi mukus yang kental dalam lumen bronkiolus, dan spasme otot polos bronkiolus,
sehingga menyebabkan inflamasi saluran napas. Pada reaksi alergi fase cepat, obstruksi
saluran napas terjadi segera yaitu 10-15 menit setelah pajanan alergen. Spasme bronkus
yang terjadi merupakan respon terhadap mediator sel mast terutama histamin yang
bekerja langsung pada otot polos bronkus. Pada fase lambat, reaksi terjadi setelah 6-8
jam pajanan alergen dan bertahan selama 16-24 jam, bahkan kadang-kadang sampai
beberapa minggu. Sel-sel inflamasi seperti eosinofil, sel T, sel mast dan Antigen
Presenting Cell (APC) merupakan sel-sel kunci dalam patogenesis asma (Rengganis,
Pada jalur saraf otonom, banyak sel - sel inflamasi yang terlibat dalam asma
seperti sel mast, makrofag, sel dendritik, eosinofil, T-limfosit dan basofil (Barnes, 2007).
Inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervus
vagus dan mungkin juga epitel saluran napas. Peregangan vagal menyebabkan reflek
bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag
akan membuat
epitel jalan napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam
submukosa, sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel bronkus oleh
mediator yang dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma dapat terjadi tanpa
melibatkan sel mast misalnya pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap dan kabut
Pada keadaan tersebut reaksi asma terjadi melalui reflek ujung saraf eferen vagal
lendir, dan aktivasi sel-sel inflamasi. Hiperaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma,
besarnya hiperaktivitas bronkus tersebut dapat diukur secara tidak langsung, yang
untuk mengukur hiperaktivitas bronkus tersebut, antara lain dengan uji provokasi beban
kerja, inhalasi udara dingin, inhalasi antigen, maupun inhalasi zat nonspesifik (PDPI,
Adanya hubungan teori Th-2 dan epithelial mesenchymal tropic unit (EMTU)
terjadinya remodeling pada asma serta tidak cukupnya sitokin proinflamasi untuk
menjelaskan remodeling tersebut dan pada percobaan binatang yang menunjukkan peran
EMTU mendatangkan pemikiran baru pada patogenesis asma. Asma adalah inflamasi
kronik jalan napas melalui mekanisme Th-2. Akan tetapi berbagai sitokin yang
merupakan hasil aktivasi Th-2 (sitokin IL-13, IL-4) yang dianggap berperan penting
dalam remodeling adalah berinteraksi dengan sel epitel mediatornya dalam menimbulkan
yang dapat menjelaskan terjadinya airway remodeling pada asma. Sehingga kerusak sel
fungsi EMTU yang menghasilkan aktivasi miofibroblas dan induksi respon inflamasi
dan remodeling sebagai karakteristik asma kronik (PDPI, 2006). Seperti diterangkan
factor) dan faktor lingkungan. Faktor penjamu disini termasuk predisposisi genetik yang
bronkus, jenis kelamin dan ras. Faktor lingkungan mempengaruhi individu dengan
asma dan atau menyebabkan gejala-gejala asma menetap. Termasuk dalam faktor
lingkungan yaitu alergen, sensitisasi lingkungan kerja, asap rokok, polusi udara, infeksi
pernapasan (virus), diet, status sosioekonomi dan obesitas dalam keluarga (PDPI, 2006;
Lange NE et al., 2009). Faktor risiko asma dipengaruhi oleh berbagai faktor (Rengganis,
2008). Faktor
ekspresi sel Th2 yang berlebihan (NHLBI, 2007). Menurut Moffatt et al (2007), gen
tahun. Sedangkan pada orang dewasa, angka kejadian asma lebih kecil yaitu sekitar 3-
5% (Asthma and Allergy Foundation of America, 2010). Menurut studi yang dilakukan
oleh Australian Institute of Health and Welfare (2007), kejadian asma pada kelompok
umur 18–34 tahun adalah 14% sedangkan >65 tahun menurun menjadi 8.8%.
a. Atopi/alergi
Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui bagaimana
dekat yang juga alergi. Dengan adanya alergi ini, penderita sangat mudah terkena
b. Hiperreaktivitas bronkus
c. Jenis kelamin
Laki-laki memiliki risiko lebih tinggi dibandingkan perempuan terjadinya asma pada
anak. Sebelum usia 14 tahun, prevalensi asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali
dibanding perempuan. Tetapi saat dewasa perbandingan tersebut kurang lebih sama
d. Obesitas
Obesitas atau peningkatan Body Mass Index (BMI), merupakan faktor risiko asma.
Mediator tertentu seperti leptin dapat mempengaruhi fungsi saluran napas dan
penurunan berat badan penderita obesitas dengan asma, dapat memperbaiki gejala
Menurut Rengganis (2008), faktor lingkungan berikut ini juga menjadi faktor
a. Alergen di dalam rumah (tungau debu rumah, spora jamur, kecoa, serpihan
Faktor lain sperti dibawah ini juga dapat mempengaruhi asma (Graziano, G et al.,
a. Alergen makanan, contohnys susu, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang tanah,
e. Asap rokok bagi perokok aktif maupun pasif. Asap rokok berhubungan dengan
h. Perubahan cuaca.
pendapatan dengan prevalensi derajat asma berat. Dimana, prevalensi derajat asma berat
paling banyak terjadi pada penderita dengan status sosioekonomi yang rendah, yaitu
sekitar 40%.
keterbatasan aliran udara. Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit penting bagi
gambaran klinis sebelum pengobatan dimulai (PDPI, 2006). Derajat gejala eksaserbasi
atau serangan asma dapat bervariasi yang tidak tergantung dari derajat sebelumnya
Klasifikasi asma menurut derajat berat berguna untuk menentukan obat yang
diperlukan pada awal penanganan asma. Menurut derajat berat asma diklasifikasikan
sebagai intermiten, persisten ringan, persisten sedang dan persisten berat. Yang dapat
derajat serangan asma berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan
Klasifikasi tersebut adalah asma serangan ringan, asma serangan sedang, dan asma
serangan berat. Dalam hal ini perlu adanya pembedaan antara asma kronik dengan
2.5. Vitamin D
Sejak tahun 1920an vitamin D dikenal sebagai vitamin yang penting untuk
banyak dipelajari tidak hanya untuk kesehatan tulang tapi juga pengaruhnya terhadap
sistem imunitas tubuh. Kadar vitamin D yang rendah sering dihubungkan dengan kondisi
yang berat seperti pada penyakit jantung, hipertensi, diabetes, kanker dan penyakit kronis
seperti kanker kolorektal (Feskanich D, 2004; Forman JP, 2007; Wang TJ, 2008).
Vitamin D muncul sebagai sesuatu yang baru dan berkontribusi terhadap hasil respon
imun. Vitamin D sudah lama dikenal untuk homeostasis mineral dan tulang. Peran
autokrin dan parakrin untuk vitamin D berhubungan dengan pertumbuhan sel, proliferasi
Vitamin D secara umum berhubungan dengan dua molekul yang sama. Vitamin
D3 juga dikenal dengan cholecalsiferol yang diproduksi oleh sel kulit ketika berespon
didapatkan pada jamur. Di tubuh bentuk akhir dari penyatuan vitamin D adalah menjadi
25(OH) D plasma. 25(OH) D itu sendiri diubah menjadi biologi aktif 1,25-
vitamin D dalam tubuh kemudian diubah menjadi biologi aktif tersebut seperti pada
Gambar 2.3.
Pada gambar pathway vitamin D diatas dapat dilihat bahwa vitamin D3 berasal
dari diet tetapi sebagian besar diproduksi di kulit dengan photolytic menjadi 7-
dehydrocholesterol. Dari vitamin D3, dua langkah aktivasi enzimatik yang diperlukan
untuk menghasilkan bentuk aktif dari vitamin D [1α, 25- (OH) 2 D3]. Gen CYP27A1
CYP27B1 kemudian mengkatalisis dan membatasi hidroksilasi C-1 dalam sintesis 1α,
Bentuk aktif vitamin D, 1α, 25- (OH)2 D3 (segitiga oranye), kemudian oleh
pengikat protein vitamin D (dikodekan oleh locus GC) diangkut ke vitamin D sel target
dan metabolik tidak aktif oleh enzim 24-hidroksilase (Dikodekan dengan locus
CYP24A1). Dalam target sel vitamin D, 1α, 25- (OH) 2 D3 ditranslokasikan ke inti dan
mengikat vitamin D reseptor (VDR). Ligan komplek atau reseptor mengikat pada target
gen adalah vitamin D response element (VDRE). Komplek DNA berinteraksi dengan
koregulator nuklir, seperti SKIIP, dan mengubah tingkat transkripsi gen. Gen ini
memiliki VDRE dan transkripsinya diatur oleh stimulasi vitamin D (biru persegi). Gen
yang dipilih untuk genotip dalam studi pada lingkaran berwarna biru (Bosse et al.,
2009).
dibawah sinar matahari. Di Inggris pada musim panas dengan berjemur dibawah sinar
matahari selama 20-30 menit pada muka dan lengan yang diulang selama dua atau tiga
hari seminggu akan meningkatkan kadar vitamin D dalam tubuh. Kadar vitamin D yang
diterima dari sinar matahari langsung lebih sedikit pada orang dengan kulit hitam,
Sumber vitamin D yang berasal dari makanan beberapa diantaranya seperti ikan
salmon, makarel, hati dan telur. Vitamin D2 secara alami terdapat pada beberapa jamur
seperti Shitake dan chanterelle. Beberapa makanan buatan seperti margarin dan sereal
juga kaya vitamin D2. Berikut beberapa makanan yang merupakan sumber vitamin D
(Devereux G, 2010):
a. Ikan Salmon
Ini termasuk ikan yang kaya akan omega-3. Tersedia dalam bentuk ikan beku, segar
atau kalengan. Ikan salmon ternyata mengandung vitamin D empat kali lebih banyak
b. Ikan Tuna
Tuna merupakan jenis ikan laut yang juga kaya akan vitamin D, selain juga tinggi
Susu sapi, baik itu yang kaya lemak atau skim, secara alamiah mengandung vitamin
D dan juga diperkaya dengan nutrisi penting lainnya. Satu gelas susu mengandung
d. Sereal
Kebanyakan produk sereal siap makan yang beredar di pasaran sudah difortifikasi
dengan vitamin D. Kombinasi sereal dengan susu yang kaya vitamin D merupakan
e. Telur
Dengan kandungan vitamin D sekitar 21 IU dalam kuning telur dan protein murni
dalam bagian putihnya, telur merupakan bahan pangan yang bernutrisi yang wajib
dikonsumsi.
f. Jamur
Menurut sebuah riset yang dimuat dalam Journal of the Federation of American
Societies for Experimental Biology, jamur kancing putih yang diekspos dengan sinar
ultraviolet B selama beberapa jam memiliki kandungan vitamin D sekitar 400 persen
lebih tinggi.
g. Udang
Udang merupakan sumber omega-3 yang tinggi protein namun rendah lemak dan
kalori. Udang yang disajikan dalam takaran 85 gram mengandung 129 IU vitamin D.
Suplemen vitamin D menggunakan satuan microgram dan international unit. 1
mcg sama dengan 40 IU vitamin D2 atau vitamin D3. Vitamin D harus dapat dipastikan
sebanyak 25(OH) D didalam tubuh. Kadar dari 25(OH) D dapat dibagi dalam kriteria
Kebutuhan vitamin D harian sesuai dengan angka kecukupan gizi tahun 2012 di
Indonesia berkisar antara 5-15µg/hari disesuaikan dengan usia, jenis kelamin, berat
badan dan tinggi badan. Nilai ini setara dengan 200-600 IU. Food and Nutrition Board
karena menurut mereka para peneliti mempercayai asupan vitamin D dalam dosis yang
autoimun seperti asma, berasal dari identifikasi VDR dalam sel imunologi, termasuk
mempengaruhi populasi sel kekebalan tubuh, sekresi sitokin, dan produksi tidak
memainkan peran dalam asma juga diperkuat oleh perlawanan VDR pada penelitian
yang
menggunakan tikus. Tikus-tikus ini gagal mengalami radang saluran napas, eosinofilia,
atau hiperresponsif saluran napas, meskipun konsentrasi IgE dan sitokin Th2 tinggi
berhubungan dengan risiko tinggi dari infeksi saluran pernapasan atas dan bawah pada
anak dan kekurangan vitamin D dapat menyebabkan peningkatan gejala pasien asma
(Bosse et al., 2009). Banyak efek vitamin D ditemukan terjadi di luar umpan balik yang
dikendalikan endokrin, selain serum kalsium, fosfor, atau SKR. Penemuan ini,
menunjukan bahwa pada dasarnya setiap jaringan dan sel dalam tubuh memiliki VDR
(Poon et al., 2004). Manusia menerima 10% dari vitamin D mereka melalui bahan
makanan dicerna (minyak ikan dan cod liver oil) dan 90% oleh sintesis setelah paparan
sinar matahari. Epitel mengandung kadar tinggi dari enzim alfa-1-hidroksilase yang
mengubah beredar prohormone 25(OH) D menjadi bentuk aktif [1,25 (OH)2 D3)]
penurunan fungsi paru dan kontrol asma yang buruk juga berkaitan dengan tingginya
rawat inap serta eksaserbasi asma. Peran vitamin D pada asma sebagai imunomodulator,
bekerja pada sel dendritik dan sel T mempromosikan Treg mensekresi IL-10
(Djajalaksana et al., 2008). IL-10 merupakan sitokin antiinflamasi yang terlibat dalam
dikendalikan baik oleh sel Th1 maupun sel Th2. IL-17 merupakan sitokin proinflamasi
yang diproduksi oleh sel T khususnya Th17 yang berperan dalam migrasi neutrofil dan
panduan juga diperlukan upaya mengidentifikasi faktor risiko yang berperan dalam
patogenesis asma, salah satunya kadar vitamin D diharapkan pada akhirnya dapat
imunoregulator vitamin D. Sel imun (limfosit T dan B, makrofag serta sel dendritik)
memiliki VDR dan dipengaruhi oleh defisiensi vitamin D selama proses maturasinya.
pada asma. Sel Th1, Th2, dan Treg mengekspresikan VDR dan menjadi target vitamin D.
Perkembangan tertentu dari sel imun membutuhkan ekspresi VDR secara intrinsik dan
produksi sitokin Th1 (IL-2 dan IFN-ɣ), sitokin Th17 (IL-17), dan dengan merangsang
produksi sitokin Th2 (IL-4). Selain itu, vitamin D mempengaruhi maturasi sel dendritik.
Pada asma, vitamin D dapat dipertimbangkan menjadi mediator penting dan tingkat
fluktuasinya berhubungan dengan status inflamasi dari penyakit (Bozetto et al., 2012;
Menurut Bozzeto et al. (2012), pada pasien asma, sel T dan khususnya limfosit
CD4+ dirangsang dan diubah dari sel T menjadi sel memori CD. Ekspresi VDR pada
mengakibatkan penurunan sekresi IL-2 dan IFN-ɣ oleh sel T CD4 dan meningkatkan
produksi IL-5 dan IL-10, yang selanjutnya mengubah respon sel T menjadi dominan
Th2. Sel imun dapat mengaktifkan vitamin D secara lokal, yang menunjukkan peran
mempengaruhi fungsi paru melalui beberapa mekanisme. Yang pertama melalui regulasi
remodelling saluran napas yang merupakan proses penting dalam 25(OH) D patogenesis
asma dan berkaitan dengan hambatan aliran udara pada saluran napas. Bentuk aktif
vitamin D mampu menghambat proliferasi sel-sel otot polos saluran napas dan
bahwa responden yang mendapat suplementasi vitamin D pada tahun pertama kehidupan
(sekitar 200 IU / hari) memiliki risiko yang lebih kecil asma, atopi, dan alergi rhinitis
pada
umur 31 tahun dibandingkan yang tidak diberikan suplemen. Beberapa penelitian
peningkatan kejadian asma, alergi, dan sejumlah hipotesis menjelaskan hubungan antara
vitamin D dapat melemahkan pertahanan paru terhadap infeksi pernapasan dan ini akan
memberikan kontribusi memicu eksaserbasi asma yang disebabkan oleh infeksi saluran
pernapasan.
Dalam sebuah studi pada anak-anak di Kosta Rika, kadar vitamin D rendah
dikaitkan dengan peningkatan respon saluran napas dan eosinofil lebih tinggi jumlah dan
kadar IgE, sedangkan kadar vitamin D yang lebih tinggi dikaitkan dengan kemungkinan
lebih rendah dari rawat inap untuk eksaserbasi asma. Temuan ini dikonfirmasi oleh
kelompok peneliti yang sama dalam studi berikutnya berdasarkan kohort CAMP pada
1024 anak, terlepas dari hubungan antara tingkat vitamin D, kadar IgE dan jumlah
eosinofil. Para penulis berpendapat bahwa kadar vitamin D yang tinggi dapat membantu
mengendalikan infeksi dan mengurangi respon inflamasi, sehingga infeksi virus yang
menyebabkan gejala yang lebih ringan (Bozetto et al., 2012; Alyasin S et al., 2011;
Litonjua A, 2012).
Aspek kedua yang terlibat dalam hubungan antara kekurangan vitamin D dan
asma berhubungan dengan gangguan fungsi paru-paru. Anak-anak dengan cukup kadar
vitamin D yang ditemukan memiliki sedikit lebih rendah berarti FEV1 dibandingkan
anak-anak dengan tingkat vitamin yang cukup. Hasil fungsi paru-paru yang sama
diperoleh pada remaja dan orang dewasa juga. Dalam sebuah penelitian terbaru yang
dilakukan pada anak oleh Chinellato et al. Hubungan yang signifikan ditemukan antara
yang lebih tinggi kadar vitamin D. Dalam studi lebih lanjut, kelompok yang sama
kemungkinan peran vitamin D dalam remodeling saluran napas. Vitamin D telah terbukti
untuk mempengaruhi ekspresi gen microarray di sel-sel otot polos bronkial, dengan efek
ekstraselular. Ini menunjukkan peran vitamin D dalam remodeling saluran napas yang
merupakan penghalang penting untuk pengobatan yang efektif dalam beberapa pasien
mempengaruhi efektifitas terapi glukokortikoid pada penderita asma yaitu pada sel
mononuklear darah perifer. Sebuah aspek penting yang harus dipertimbangkan ketika
mengevaluasi hubungan antara kekurangan vitamin D dan asma adalah efek yang
mungkin berbaur, seperti ras atau status sosial ekonomi (Bozetto et al., 2012).