Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sebagai mahluk sosial manusia selalu berhubungan dengan manusia lainnya. Interaksi yang
terjalin dalam komunikasi tersebut tidak hanya berdimensi kemanusiaan dan sosial budaya,
namun juga menyangkut aspek hukum, termasuk perdata. Naluri untuk mempertahankan diri,
keluarga dan kepentingannya membuat manusia berfikir untuk mengatur hubungan usaha bisnis
mereka ke dalam sebuah perjanjian[1].

Salah satu bidang hukum yang mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dimiliki pada
subyek hukum dan hubungan antara subyek hukum. Hukum perdata disebut pula hukum privat
atau hukum sipil sebagai lawan dari hukum publik. Maka hukum perdata mengatur hubungan
antara penduduk atau warga negara sehari-hari, seperti misalnya kedewasaan seseorang,
perkawinan, perceraian, kematian, pewarisan, harta benda, perjanjian, kegiatan usaha dan
tindakan-tindakan yang bersifat perdata lainnya.

Rumusan Masalah

Dari Uraian diatas dapat diambil beberapa rumusan masalah sebagai berikut :

1. Hubungan antara perikatan dan perjanjian

2. Macam-macam perikatan

3. Sistem Terbuka dan Asas Konsensualitas dalam Hukum Perjanjian

4. Syarat-syarat sah nya Perjanjian

5. Batalnya Suatu Perjanjian.


BAB II

PEMBAHASAN

A. Hubungan antara Perikatan dan Perjanjian

Perikatan adalah suatu Hubungan Hukum, antara dua orang atau dua pihak atau lebih,
berdasarkan mana pihak yang satu berhak menunutut sesuatu hal dari pihak yang lain dan pihak
yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut.

Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji pada seorang lain atau dimana dua
orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Peristiwa perjanjian tersebut timbul
dari suatu hubungan yang dinamakan perikatan.[2]

Dalam Pasal 1313 KUHPerdata, perjanjian adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih
mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih. Pengertian ini mengundang kritik dari
banyak ahli hukum, karena menimbulkan penafsiran bahwa perjanjian tersebut yang bersifat
sepihak, padahal dalam perjanjian harus terdapat interaksi aktif yang bersifat timbal balik di
kedua belah pihak untuk melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing. Untuk itu secara
sederhana perjanjian dapat dirumuskan sebagai sebuah perbuatan dimana kedua belah pihak
sepakat untuk saling mengikatkan diri satu sama lain.

Atau lebih singkatnya, menurut pasal 1313 KUHPer perjanjian adalah suatu perbuatan dengan
mana satu orang atau lebih lainnya. Sedangkan sumber dari perikatan adalah perjanjian.Sumber-
sumber perikatan berdasarkan pasal 1233 KUHPerdata adalah :

1. Perjanjian (pasal 1314 KUHPerdata)

2. Undang-Undang

Perbedaan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perikatan adalah suatu pengertian yang
abstrak sedangkan perjanjian adlah suatu yang kongkrit dan merupakan suatu peristiwa.
Perikatan yang lahir dari perjanjian memang dikehendaki oleh 2 (dua) pihak yang membuat
suatu perjanjian, sedangkan perikatan yang lahir dari undang-undang diadakan oleh undang-
undang diluar kemauan para pihak yang bersangkutan.

B. Macam-macam Perikatan[3]

a. Perikatan Bersyarat
Perikatan bersyarat adalah suatu perikatan yang digantungkan pada suatu kejadian dikemudian
hari, yang masih belum tentu akan akan atau tidak terjadi. Dari pengertian ini dapat diambil dua
kemungkinan :

Pertama, mungkin untuk memperjanjikan, bahwa perikatan itu barulah akan lahir, apabila
kejadian yang belum tentu timbul.

Kedua, mungkin untuk memperjanjikan, bahwa suatu perikatan yang sudah akan berlaku, akan
dibatalkan apabila kejadian yang belum tentu itu timbul[4].

b. Perikatan yang digantungkan pada suatu ketetapan waktu

Bedanya dengan perikatan dengan suatu syarat adalah yang pertama berupa suatu kejadian atau
peristiwa yang belum tentu atau tidak akan terlaksana, sedangkan yang kedua adalah suatu hal
yang pasti akan datang, meskipun mungkin belum dapat ditentukan kapan datangnya.[5] Seperti
perjanjian perburuhan, suatu hutang wesel yang dapat ditagih suatu waktu setelahnya
dipertunjukkan dan lain sebagainya.

c. Perikatan Yang membolehkan Memilih (alternatif)

Perikatan alternative adalah suatu perikatan dimana debitur berkewajiban melaksanakan satu dari
dua atau lebih prestasi yang dipilih baik menurut pilihan debitur, kreditur atau pihak ketiga,
dengan pengertian bahwa pelaksanaan daripada salah satu prestasi mengakhiri perikatan[6]

d. Perikatan Tanggung Menanggung (hoofdelijk atau solidair)

Ini adalah suatu perikatan dimana beberapa orang bersama-sama sebagai pihak yang berhutang
berhadapan dengan satu orang yang menghutangkan, atau sebaliknya. Beberapa orang sama-
sama berhak menagih suatu piutang dari satu orang. Tetapi perikatan semacam yang belakangan
ini, sedikit sekali terdapat dalam praktek.[7]

Suatu perikatan adalah solider atau tanggung renteng jika berdasrkan kehendak para pihak atau
ketentuan UU :

- setiap debitur dari dua atau lebih kreditur-kreditur dapat menuntut keseluruhan prestasi
dari debitur dengan pengertian pemenuhan terhadap seorang kreditur membebaskan debitur dari
kreditur-kreditur lainnya (tanggung renteng aktif)[8].

- Setiap debitur dari dua atau lebih debitur-debitur berkewajiban terhadap kreditur ats
keseluruhan prestasi. Dengan dipenuhinya prestasi oleh salah seorang debitur, membebaskan
debitur-debitur lainnya(tanggung renteng pasif)[9]

e. Perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi (Pasal 1296-1303

KUHPerdata)
Apakah suatu perikatan dapat dibagi atau tidak, tergantung pada kemungkinan tidaknya
membagi prestasi. Pada hakekatnya tergantung pula dari kehendak atau maksud dari kedua belah
pihak

f. Perikata dengan penetapan hukuman (strafbeding)

Diatur dalam pasal 1304[10]

C. Sistem Terbuka dan Asas Konsensualitas dalam Hukum Perjanjian

Sistem terbuka dan asas konsensualitas merupakan salah satu asas dalam perjanjian yang
sifatnya sangat penting sebagai pegangan dalam tata pelaksanaan perikatan. sistem terbuka (open
system), setiap orang boleh mengadakan perjanjian apa saja, walaupun belum atau tidak diatur
dalam undang-undang. Atau sering disebut asas kebebasan bertindak. Asas ini dapat disimpulkan
dari Pasal 1338 KUH Perdata yang menerangkan bahwa segala perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Sebenarnya yang dimaksudkan oleh pasal tersebut tidak lain dari pernyataan bahwa setiap
perjanjian mengikat kedua belah pihak. Dan dari pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa
oarng leluasa membuat perjanjian apa saja asal tidak melanggar ketertiban umum atau
kesusilaan[11]. Bersifat konsensual, artinya perjanjian itu terjadi sejak adanya kata sepakat
antara pihak-pihak.

Lebih singkatnya, Sistem terbuka adalah bahwa “ Dalam membuat perjanjian para pihak
diperkenankan untuk menentukan isi dari perjanjian sebagai Undang-Undang bagi mereka
sendiri. sedangkan Asas Konsensualitas adalah bahwa perjanjian tersebut lahir pada saat
tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan
sesuatu formalitas[12]. Asas Konsensualisme dapat disimpulkan dalam pasal 1320 BW[13]. “

Asas konsensualitas, Maksud dari asas ini ialah bahwa suatu perjanjian cukup ada suatu kata
sepakat dari mereka yang membuat perjanjian tanpa diikuti oleh perbuatan hukum lain, kecuali
perjanjian yang bersifat formil. Ini jelas sekali terlihat pada syarat-syarat sahnya suatu perjanjian
dimana harus ada kata sepakat dari mereka yang membuat perjanjian (Pasal 1320 KUH Perdata).

Perjanjian itu sudah ada dalam arti telah mempunyai akibat hukum atau sudah mengikat sejak
tercapainya kata sepakat. Sedangkan dalam pasal 1329 KUH Perdata tidak disebutkan suatu
formalitas tertentu di samping kata sepakat yang telah tercapai itu, maka disimpulkan bahwa
setiap perjanjian itu adalah sah. Artinya mengikat apabila sudah tercapai kata sepakat mengenai
hal-hal pokok dari apa yang diperjanjikan.

Terhadap asas konsensualitas ini terdapat pengecualian yaitu apabila ditentukan suatu formalitas
tertentu untuk beberapa macam perjanjian dengan ancaman batal apabila tidak dipenuhi
formalitas tersebut, misalnya perjanjian penghibahan, perjanjian mengenai benda tidak
bergerak[14].

D. Syarat-syarat sah nya Perjanjian

Perjanjian yang sah artinya perjanjian yang memenuhi syarat yang telah ditentukan oleh undang-
undang, sehingga ia diakui oleh hukum (legally concluded contract). Berdasarkan pasal 1320
Kitap Undang-Undang Hukum Perdata, terdapat 4 syarat suatu perjanjian dinyatakan sah secara
hukum[15], yaitu:

1. Adanya kesepakatan untuk mengikatkan diri

Bahwa semua pihak menyetujui materi yang diperjanjikan, tidak ada paksaan atau dibawah
tekanan.

2. Para pihak mampu membuat suatu perjanjian

Kata mampu dalam hal ini adalah bahwa para pihak telah dewasa, tidak dibawah pengawasan
karena prerilaku yang tidak stabil dan bukan orang-orang yang dalam undang-undang dilarang
membuat suatu perjanjian tertentu.

3.Ada hal yang diperjanjikan

Perjanjian yang dilakukan menyangkut obyek/hal yang jelas.

4. Dilakukan atas sebab yang halal

Adalah bahwa perjanjian dilakukan dengan itikad baik bukan ditujukan untuk suatu kejahatan.
Suatu sebab dikatakan halal apabila sesuai dengan ketentuan pasal 1337[16] KUHPer, yaitu:

F Tidak bertentangan dengan ketertiban umum.

F Tidak bertentangan dengan kesusilaan

F Tidak bertentangan dengan undang-undang

Dua syarat pertama disebut syarat subyektif, karena mengenai orang-orangnya atau subyek yang
mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat obyektif karena
mengenai perjanjiannya sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.
Konsekuensi apabila tidak terpenuhinya syarat subyektif maka perjanjian tersebut dapat
dimintakan akan pembatalan oleh salah satu pihak dalam perjanjian. Sedangkan apabila tidak
terpenuhi syarat obyektif maka perjanjian tersebut menjadi batal demi hukum secara serta merta.
[17]

E. Batalnya Suatu Perjanjian

Syarat sah perjanjian adalah adanya kesepakatan untuk mengikatkan diri, para pihak mampu
membuat perjanjian, ada hal yang diperjanjikan, dilakukan atas sebab yang halal. Dua hal yang
pertama disebut sebagai syarat subyektif dan dua hal yang terakhir disebut syarat obyektif. Suatu
perjanjian yang mengandung cacat pada syarat subyektif akan memiliki konsekwensi untuk
dapat dibatalkan (vernietigbaar). Dengan demikian selama perjanjian yang mengandung cacat
subyektif ini belum dibatalkan, maka ia tetap mengikat para pihak layaknya perjanjian yang sah.
Maksudnya, perjanjian yang dibuat oleh orang-orang yang menurut undang-undang tidak cakap
untuk bertindak sendiri, atau karena paksaan, kekhilafan, penipuan ataupun mempunyai sebab
yang bertentangan dengan undang-undang, atau ketertiban umum , maka perjanjian itu dapat
dibatalkan.

Sedangkan perjanjian yang memiliki cacat pada syarat obyektif (hal tertentu dan causa yang
halal), maka maka perjanjian batal demi hukum yang artinya perjanjian tersebut dianggap tidak
pernah ada (null and void) secara tegas dinyatakan sebagai batal demi hukum. (J.Satrio, 1992)

Anda mungkin juga menyukai