Anda di halaman 1dari 18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perkembangan Semikonduktor Fotokatalis


Penggunaan semikonduktor fotokatalis pertama kali digunakan oleh
Fujishima – Honda pada Tahun 1975 dalam proses water splitting dan produksi
gas H2 dengan menggunakan semikonduktor TiO2 yang juga menjadikan pionir
dalam penggunaan bahan semikonduktor [Seonghyuk Ko, et al, 2009].
Kemampuan mengkonversi energi cahaya (foton) menjadi energi kimia
dengan panjang gelombang ~ 400 nm, membentuk band gap energy 3,2 yang
menghasikan pasangan electron – hole (e - h+) yang selanjutnya menghasilkan
senyawa radikal bebas (OH-) hidroksil akibat pembentukan hole dalam air dan
elektron oleh oksigen dalam air yang menghasilkan senyawa anion (O 2-)
sehingga dapat mengoksidasi dan mereduksi air menjadi zat yang bernilai
ekonomis seperti Hidrogen [Meng Nan Chong, et al, 2010].
Fotokatalis selanjutnya digunakan secara luas oleh institusi – institusi
pendidikan dan sektor industri yang digunakan untuk keperluan berbagai hal
antara lain sebagai media pendegradasi limbah organik – anorganik berbahaya,
bahan anti bakteri (antimicrobial agent), proses water splitting sebagai penghasil
gas H2, self cleaning agent, anti fogging dan media pembersih polutan udara (air
purifier) [Amy L. Linsebigler, et al, 1995].
Dalam beberapa tahun terakhir ini permasalahan polusi menjadi problematika
yang serius bagi umat manusia terutama pemerintah, hal ini didasari dengan
semakin pesatnya pertumbuhan industri yang menyebabkan hasil samping dalam
setiap produksinya [Meng Nan Chong, et al, 2010]. Limbah cair yang
mengandung logam berbahaya sangat mencemari ekosistem lingkungan sekitar
seperti pada saluran sungai, laut dan tanah sehingga kualitas air minum tidah
memenuhi standar [Seul-Yi Lee, et al, 2013].
Senyawa fenol dan turunannya dikategorikan sebagai limbah B3 (Bahan
Beracun dan Berbahaya) dalam industri yang kandungannya berkisar antara 200-
300 ppm. Mekipun secara umum limbah tersebut sudah mengalami pengelolahan
terlebih dahulu sebelum dibuang ke badan air untukdikonsumsi, namun pada
kenyataanya pencemaran air oleh fenol dan turunannya di beberapa perairan di
pulau jawa ternyat masih cukup tinggi. Keberadaan senyawa-senyawa fenol dan
turunannya diperaiaran dapat digunakan sebagai petunjuk polusi, terutama
industri yang menghasilkan limbah cair. (Tjandra, Setiadi., 1991)
Guna menanggulangi permasalahan tersebut beberapa metode waste water
treatment dikembangkan dan beberapa diantaranya telah digunakan, antara lain
proses koagulasi-flokulasi, sedimentasi, filtrasi, chemical adsorbtion dan
teknologi membran, namun metode diatas membutuhkan peralatan yang
kompleks, biaya yang tinggi dan hanya menghasilkan permasalah dengan
menghasilkan polutan baru akibat treatment proses yang menghasilkan residu
[Meng Nan Chong, et al, 2010].
Maka dikembangkanlah metode pengolahan limbah yang ramah lingkungan,
tidak beracun, memilki resistansi yang baik terhadap senyawa kimia dan mikroba
(chemical stability), dan bersifat stabil dibawah penyinaran sinar UV yang dikenal
dengan metode advanced oxidation process (AOP) menggunakan senyawa
semikonduktor fotokatalis TiO2 [Maria Visa, et al, 2015].

2.2 Definisi Fotokatalis


Fotokatalis atau reaksi fotokatalitik didefinisikan sebagai reaksi kimia yang
disebabkan oleh adanya penyerapan cahaya (photoabsorption) dari bahan padat,
atau fotokatalis yang tetap tidak berubah susunan struktur kimia selama reaksi
dan setelah reaksi. Dengan kata lain, katalis padat yang terjadi secara katalisis,
tanpa perubahan dalam komposisi atau struktur, di bawah penyinaran UV
(photoirradiation) [Akira Fujishima, et al, 2008]. Sehingga fotokatalis
disimpulkan sebagai reaksi yang dihasilkan dari kombinasi fotokima dan katalis.
Fotokimia merupakan suatu proses sintesis atau transformasi secara kimiawi
dengan melibatkan peran cahaya (foton) sebagai pemicunya. Katalis adalah
substansi yang dapat mempercepat laju reaksi tanpa ikut terkonsumsi pada reaksi.
Katalis dalam proses ini disebut sebagai fotokatalis karena memiliki kemampuan
dalam menyerap energ (foton). Suatu bahan material dapat dijadikan fotokatalis
jika memiliki daerah energi kosong yang disebut celah pita energi (band gap
energy). Fotokatalis terjadi sebagai kemampuan ganda dari fotokatalis untuk
mengadsorbsi cahaya foton dan mentransformasikan kimiawi secara bersamaan
[Amy L. Linsebigler, et al, 1995].
Menurut Amy L. Linsebigler, et al, 1995 fotokatalis pada umumnya dimiliki
oleh bahan-bahan semikonduktor. Senyawa TiO2 adalah bahan semikonduktor
yang paling sering digunakan sebagai fotokatalis dalam reaksi fotokatalis. Bahan
semikonduktor digunakan dikarenakan memiliki daerah energi yang kosong (void
energy region) yang disebut celah pita energi (band gap energy) yang terletak
pada batas pita konduksi dan pita valensi sebesar 3,2 eV yang mampu menyerap
cahaya dengan panjang gelombang ~ 400 nm.
Fotokatalis dibagi menjadi dua macam yaitu fotokatalis homogen dan
fotokatalis heterogen. Fotokatalis homogen adalah proses fotokatalis dengan
bantuan zat pengoksidasi seperti ozon dan hidrogen peroksida, sedangkan
fotokatalis heterogen merupakan suatu teknologi yang didasarkan pada iradiasi
fotokatalis semikonduktor dengan sinar UV seperti titanium dioksida (TiO 2), seng
oksida (ZnO), cadmium oksida (CdS) dan lainnya [Jean-Marie Herrmann , et al,
2010].

2.3 Sistem Fotokatalis Heterogen


Sistem fotokatalis heterogen terdiri atas partikel semikonduktor (fotokatalis)
yang kontak dengan medium gas atau cair. Penyinaran katalis dengan UV akan
menimbulkan keadaan tereksitasi akibat pembentukan pasangan electron – hole
yang bisa memulai proses lanjutan seperti reaksi redoks dan transformasi
molecular pada permukaan semikonduktor [Jean-Marie Herrmann, et al, 2010].
Bahan semikonduktor memiliki daerah energi kosong (Void energy region).
Dalam daerah tersebut tidak tersedia tingkat – tingkat energi untuk rekombinasi
electron dan hole yang diproduksi oleh proses fotoeksitasi dalam semikonduktor
tersebut. Daerah kosong tersebut memanjang dari puncak pita valensi terisi (filled
valence band) hingga dasar pita konduksi kosong (vacant conduction band) yang
disebut sebagai (band gap). Celah pita tersebut menentukan sensitifitas panjang
gelombang dari semikonduktor yang bersangkutan terhadap radiasi [Amy L.
Linsebigler, et al, 1995].
Energi pita valensi dan konduksi dari semikonduktor akan mengontrol
kemampuan semikonduktor tersebut untuk melakukan transfer muatan yang
diinduksi radiasi ke molekul yang teradsorbsi di atas permukaan semikonduktor
tersebut. Dalam hal ini, level potensial yang relevan untuk molekul penerimaan
muatan harus terletak di bawah pita konduksi semikonduktor, sebaliknya level
potensial dari donor harus terletak di atas level potensial pita valensi
semikonduktor [Amy L. Linsebigler, et al, 1995].
Bahan semikonduktor logam oksida dan sulfide yang memiliki energy celah
yang cukup untuk mengkatalisis reaksi kimia, seperti TiO 2 (3,2 eV), CdS (2,5 eV),
ZnS (3,6 eV), SrTiO3 (2,0 eV) dan lain-lain. Besarnya energi celah, posisi pita
valensi, pita konduksi, dan perbandingan dengan besarnya potensial redoks relatif
terhadap elektroda hidrogen dari beberapa semikonduktor dapat dilihat pada
Gambar 2.1 di bawah ini.

Gambar 2.1 Posisi energi celah pita beberapa semikonduktor [Linsebigler, 1995].
Hampir semua material yang terdapat pada gambar 2.1 dapat digunakan reaksi
fotokatalitik. Namun, beberapa semikonduktor tersebut kurang cocok digunakan
sebagai fotokatalis karena sifatnya yang kurang menguntungkan. semikonduktor
logam sulfida bersifat tidak stabil dan mudah mengalami korosi fotoanoda.
Besi oksida memiliki energi celah yang terlalu besar dan dapat mengalami
korosi fotoanoda. Seng oksida tidak stabil secara kimia karena mudah larut dalam
air membentuk Zn(OH)2 pada permukaan partikel, sehingga pada pemakaian
waktu lama menyebabkan proses inaktivasi katalis. Semikonduktor TiO 2
merupakan katalis yang paling sesuai untuk proses fotokatalitik karena bersifat
inert secara kimia dan biologi stabil terhadap fotokorosi dan kima, tidak beracun
bagi manusia dan lingkungan (non toxicity) dan murah [Ilknur Altin, et al, 2015 ].

2.4 Struktur fotokatalis TiO2


Fotokatalis TiO2 memiliki tiga struktur kristal, yaitu rutile, anatase, dan
brookite. Hanya rutile dan anatase yang cukup stabil keberadaannya dan biasa
digunakan sebagai fotokatalis. Gambar 2.2 menunjukkan perspektif struktur rutile
dan anatase [Amy L. Linsebigler, et al, 1995].
Pada proses pembuatanya banyak metode yang digunakan dalam
pembentukan nanokristalin TiO2 yang mana hal perlu diperhatikan seperti luas
permukaan, struktur morfologi yang dihasilkan, Band Gap yang dihasilkan,
efektifitas fotokatalitik dan lain-lain, yang mana yang sudah diketahui bahwa
struktur nanokristalin anatase merupakan prioritas utama dalam pembentukan
nanostruktur dari agen fotokatalis, karena pada fasa ini aktivitas berjalan baik
[Kazuya Nakata, et al, 2012].

Gambar 2.2 Struktur bentuk Kristal TiO2 [Kazuya Nakata, 2012].


Anatase memiliki sistem kristal tetragonal dan grup ruang I41/amd, dengan
parameter kisi: a = 1,937 Å dan c = 1,966 Å [22]. Struktur anatase digambarkan
sebagai suatu keteraturan tiga dimensi yang terhubungan antar sisi atau samping
dan puncak dari oktahedral TiO6. Struktur yang lebih detail menunjukkan bahwa
oktahedral terhubung melalui sisi searah sumbu a membentuk rantai zig-zag.
Rantai zig-zag tersebut terhubung satu sama lain melalui puncak pada arah sumbu
b, menghasilkan lapisan bidang ab, dan selanjutnya lapisan tersebut saling
berhubungan searah sumbu c melalui sisi untuk membentuk jaringan tiga dimensi,
sebagaimana pada Gambar 2.2.
Rutil mengkristal dalam sistem tetragonal dan grup ruang P42/mmm, dengan
parameter kisi: a = 1,983 Å dan c = 1,946 Å [Kazuya Nakata, et al, 2012].
Struktur rutil dapat digambarkan sebagai hasil penumpukan heksagonal pejal dari
atom oksigen. Setiap oktahedral terhubung dengan oktahedral lainnya membentuk
rantai tak terbatas, seperti pada Gambar 2.2 setiap rantai terhubung empat rantai
tetangga melalui ujung oktahedral menghasilkan suatu lorong segi empat sama
sisi.

2.5 Fotokatalis TiO2 dan Mekanisme reaksi fotokatalisis


Fotokatalis TiO 2 telah banyak dipakai untuk mengatasi masalah-masalah
lingkungan seperti detoksifikasi udara dan air. Sebagai semikonduktor, TiO 2
mempunyai celah pita (band gap) sebesar 3,2 eV yang bila disinari dengan sinar
UV berenergi > 3,2 eV atau pada panjang gelombang < 388 nm akan
menghasilkan pasangan electron (e-) dan hole (h+), seperti pada persamaan berikut
[Amy L. Linsebigler, et al, 1995].
TiO2 + hv  h+ + e- …………….………………………………….. (1)
Bila partikel TiO 2 disinari UV, maka elektron pada pita valensi (valence
band, VB) akan mengadsorpsi sinar tersebut dengan energi ≥ band gap TiO2.
Energi tersebut digunakan untuk berpindah ke pita konduksi (conduction band,
CB) dan meninggalkann hole positif pada VB. Pasangan electron-hole yang
terbentuk sebagian berekombinasi di dalam partikel (jalur B), sebagian lagi
berekombinasi di permukaan partikel (jalur A), dan sebagian lagi sampai ke
permukaan partikel tanpa mengalami rekombinan [Amy L. Linsebigler, et al,
1995].

Gambar 2.3 Skematik proses photoeksitasi [Linsebigler, 1995].


Partikel TiO2 mempunyai efisiensi yang rendah karena adanya rekombinan
ini, oleh sebab itu TiO2 harus dikombinasikan dengan zat lain agar rekombinansi
berkurang. Reaksi rekombinasi pasangan electron – hole dapat dilihat pada
persamaan berikut ini :
TiO2 (e- cb + h+ vb)  TiO2 + panas ……………………………..(2)

2.5.1 Mekanisme Reaksi


Proses keseluruhan yang terjadi pada reaksi fotokatalisis heterogen TiO2 pada
berbagai media baik secara fase gas, cair terdiri dari lima tahapan proses antara
lain:

1. Transfer massa reaktan dalam fasa fluida (gas atau cair) ke permukaan
katalis
2. Adsorpsi reaktan ke permukaan katalis
3. Reaksi dalam fasa teradsorpsi
4. Desorpsi produk dari permukaan
5. Pemindahan produk (transfer massa) dari daerah antar permukaan
(interfasa)
Reaksi fotokatalis terjadi pada fasa teradsorpsi (langkah 3). Perbedaanya pada
katalisis konvensional hanyalah mode aktivasi katalis dimana aktivasi termal pada
proses katalis digantikan oleh aktivasi foton (energi cahaya) [Seul-Yi Lee, et al,
2013].
Fenomena diawali dengan fotoeksitasi, sebagai akibat adanya cahaya ultraviolet
yang mengenai dahan semikonduktor memiliki energi yang lebih besar dari celah
pita semikonduktornya, sehingga akan mentransfer elektron dari pita valensi ke
pita konduksi yang akan membentuk pasangan electron – hole.
Semikonduktor + hv  (e- cb + h+ vb) [ …………………...(3)
Selanjutnya pasangan elektron – hole yang terbentuk akan berekombinasi di
dalam partikel (jalur B), dan berekombinasi di permukaan partikel (jalur A), tetapi
ada juga yang tidak berekombinasi dan langsung ke permukaan partikel. Reaksi
rekombinasi pasangan electron – hole dituliskan sebagai berikut :
Semikonduktor + (e-cb + h+vb)  semikonduktor + heat …...(4)
Elektron (e -) yang sampai pada permukaan partikel (jalur C) akan
mendonasikan dirinya pada molekul yang teradsorpsi di permukaan dimana
molekul tersebut akan mengalami reduksi sehingga dihasilkan radikal anion A -
(oksidator), sedangkan hole (h+) yang sampai ke permukaan (jalur D ) akan
menarik elektron dari molekul yang ada di permukaan sehingga molekul akan
mengalami oksidasi. Molekul yang teradsorpsi bersifat donor elektron sehingga
hasil penangkapan hole akan menghasilkan radikal kation D+ (reduktor), reaksi
tersebut ditunjukkan pada reaksi berikut :
D (ads) + h+  D+ ………………………...…………….(5)
A (ads) + e-  A- ……..…………………………………(6)
Donor elektron yang yang teradsorpsi (reduktor) dapat dioksidasi melalui
transfer elektron ke hole di atas permukaan dan penangkapan hole akan
menghasilkan radikal kation , D+ .adapun akseptor elektron yang teradsorpsi
(oksidator ) dapat direduksi dengan menerima sebuah elektron dari permukaan
sehingga penangkapan elektron akan menghasilkan radikal anion A- .
Reaksi rekombinasi antara elektron dan hole dapat ditunjukkan dengan
persamaan;
e- + h +  N+E ……………. ………….……………….
(7)
Dimana N adalah bahan semikonduktor yang netral dan E adalah energi yang
dilepaskan dilepaskan dibawah sinar UV atau panas semikonduktor [Jean-Marie
Herrmann, et al, 1999].
Skematik mekanisme reaksi di atas di ilustrasikan pada gambar di bawah ini

Gambar 2.4 Energi band gap semikonduktor TiO2 [Jean-Marie Herrmann, 1999].

2.5.2 Sifat dan Keunggulan Fotokatalis TiO2


Titanium dioksida merupakan semikonduktor yang paling sesuai untuk aplikasi
lingkungan secara luas. TiO2 merupakan bahan kimia, dapat menstabilkan proses
fotokatalis, tersedia secara komersil dan murah. Fotokatalitik dengan TiO 2 sudah
sering digabungkan ke dalam berbagai proses dan sudah cukup banyak
aplikasinya, diantaranya sebagai disinfeksi hama, alat sensor, pelindung karat,
self-cleaning, dan lain sebagainya [Kazuya Nakata, et al, 2012].
Adapun keunggulan TiO 2 dibandingkan fotokatalis semikonduktor lainnya
adalah sebagai berikut.

1. Mempunyai celah pita (band gap) yang besar (3,2 eV untuk anatase dan
3,0 eV untuk rutile), sehingga memungkinkan banyak terjadinya eksitasi
elektron ke pita konduksi dan pembentukan hole pada pita valensi saat
diinduksi cahaya ultraviolet [Amy L. Linsebigler, et al, 1995].
2. TiO2 mempunyai sifat stabil terhadap cahaya (fotostabil) [Amy L.
Linsebigler, et al, 1995].
3. Mampu menyerap sinar UV dengan baik [Amy L. Linsebigler, et al,
1995].
4. Bersifat inert dalam reaksi [Jean-Marie Herrmann, et al, 1999].
5. Tidak beracun dan tidak larut dalam kondisi eksperimen [Amy L.
Linsebigler, et al, 1995].
6. Konsumsi energi yang rendah sehingga biaya yang diperlukan juga rendah
[Jean-Marie Herrmann, et al, 1999].
7. Secara umum memiliki aktifitas fotokatalis yang lebih tinggi daripada
fotokatalis lainnya, seperti ZnO, CdS ,SnO2 [Jean-Marie Herrmann, et al,
1999].
8. Relatif murah jika digunakan dalam jumlah besar [Jean-Marie Herrmann,
et al, 1999].

Karena TiO2 bila disinari dengan UV dapat menghasilkan pasangan electron


hole, maka dalam katalis semikonduktor TiO 2 dapat terjadi reaksi oksidasi dan
reduksi (redoks) sekaligus. Reaksi-reaksi ini bisa diaplikasikan untuk
detoksifikasi air (watertreatmen), detoksifikasi udara (air cleaning efect) dan
proses inaktivasi bakteri (antibacterial efect). Disamping itu, karena film TiO2 di
permukaan bahan juga menyebabkan sudut kontak air turun menjadi lebih kecil
dari 100 (sifat superhidrofilik), maka TiO2 juga bisa diaplikasikan untuk
menghilangkan kabut pada keramik (antifogging efect) dan keramik yang bisa
dengan mudah dibersihkan (self-cleaning efect) [Akira Fujishima, et al, 2008].

2.6 Fotokatalis N-Dopan TiO2 Nanotubes


Permasalahan aplikasi penggunaan TiO2 Nanotubes hanya terbaas pada daerah
UV, permaslahan tersebut yang terus dikembangan solusinya. Sebagai
pengetahuan umum bahwa cahaya tampak tersedia sangat melimpah sebagai salah
satu bentuk cahaya matahari yang sangat menguntungkan bagi proses fotokatalis
dengan ketersediaannya melimpah.
Perkembangan fotokatalis sekarang ini mengarah pada kreaktifitasan yang
tinggi dibawah sinar tampak (λ > 400 nm) sehingga dapat digunakan pada
penerangan yang sedikit dan interior saja. Beberapa pendekatan dalam
memodifikasi TiO2 telah dilakukan seperti implantasi ion metal- TiO 2, reduksi
fotokatalis TiOx, doping TiO2 denganspesi non-metal, sensitisasi TiO2 dengan zat
warna, dan doping TiO2 dengan luminescent agent (Zaleska et al, 2008). Salah
satu metode yang dianggap efektif adalah metode doping yang merupakan suatu
proses memasukkan atom lain (dopan) untuk tujuan memperbaiki sifat-sifat bahan
sesuai peruntukkannya, diantaranya meningkatkan konduktivitas semikonduktor,
memperoleh semikonduktor dengan hanya satu pembawa muatan (electron atau
hole) saja, atau mendapatkan semikonduktor yang memiliki energi celah lebih
rendah dari aslinya.
Dengan menyisipkan dopan pada semikonduktor juga dapat menghindari
rekombinasi photohole dan photoelectron, sehingga menghasilkan quantum yield
yang baik dan efesiensi reaksi fotokatalitik yang besar. Beberapa studi telah
dilakukan dengan berbagai jenis dopan seperti C, N, B dan S.
Salah satu tenik dopan yang menjanjikan adalah doping TiO 2 Nanotubes
dengan nitrogen (N-TiO2 Nanotubes), yang dapat menunjukkan aktifitas
fotokatalitik yang signifikan pada berbagai jenis reaksi bibawah sinar tampak.
Dopan nitrogen lebih baik dibandingkan dengan dopan-dopan lainnya karena
ukuran atom yang mirip dengan oksigen, energy ionisasi kecil, dan stabilitas yang
sangat baik (Tian-Hua et al 2006, Chen et al 2008).
Asahi et al tahun 2001 melaporkan bahwa TiO2 dengan doping nitrogen
menunjukkan peningkatan yang dramatis pada absorpsi optisnya dan pada
aktivitas fotokatalisisnya dibawah sinar matahari (Asahi et al, 2001). Tahun 2004
Oliver Diwald et al juga berhasil mensintesis fotokatalis TiO 2 pada fase rutile
yang terdoping nitrogen melalui treatment dengan NH 3 yang bersuhu 870 K.
Nitrogen terbukti mampu menggeser band gap untuk TiO 2 rutile 0,6 eV ke daerah
sinar tampak yaitu dari 3,0 eV ke , eV( Oliver Diwald et al, 2004 ). Yu-Chao Tang
et al tahun 2011 juga telah berhasil mensintesis TiO2 dengan doping nitrogen yang
dimana TiO2 sebagai precursor dan beberapa senyawa sumber nitrogen (NH4F,
NH4HCO3, NH4H2O, NH4COOCH3, dan CH4N2O) (Yu-Chao Tang et al, 2011).
Mekanisme penambahan dopan N kedalam TiO 2 dapat menurunkan energi
band gap (energi celah) dari TiO2 telah banyak didiskusikan melalui berbagi
penelitian. Diantaranya menurut Asahi et al pada tahun 2001, Nitrogen dapat
menurunkan band gap fotokatalis TiO2 karena dopan N pada fotokatalis TiO 2
dapat mendekatkan jarak (gap) antara pita valensi dengan pita konduksi pada
titania. Ada beberapa data eksperimen yang menunjukkan sebuah kontradiksi
dengan teori awal dari Asahi et al ini. Pendapat yang berlawanan ini dari Nakoto
(2004) dan Irrie (2003) mengusulkan bahwa adanya nitrogen menghasilkan orbital
kedudukan yang baru (berasal dari orbital 2p N) diantara pita valensi (berasal dari
orbital 2p O) dan pita konduksi (berasal dari orbital 3d Ti). Orbital 2p N dari
nitrogen ini berperan sebagai step up untuk electron di dalam orbital 2p oksigen,
sehingga ini hanya akan membutuhkan lompatan yang kecil untuk bias
dipromosikan ke pita konduksi. Ketika proses ini terjadi elektron dari pita valensi
asal (berasal dari orbital 2p O) dapa bermigrasi ke level energy tengah (mid-band
gap energy, orbital 2p N) meninggalkan hole di pita valensi. Skema dari level
energy dalam TiO2 dengan penambahan dopan N ( Nakoto et al 2004, Irrie et al
2003 )
Gambar . Skema mekanisme level energy N-TiO2 (Irrie et al 2003 )
Berbagai variasi metode telah dilakukan untuk membuat fotokatalis TiO2
dengan dopan N, seperti metode sintesis dua tahap dengan teknik hidrotermal,
metode mekanokimia, metode deposisi laser denyut, metode sol gel, metode
sputtering, serta metode anodiasi.
Metode fabrikasi N-dopan TiO 2 nanoubes dengan hidrotermal, metode ini
dilakukan dengan pemanasan TiO2 dengan larutan NaOH pada temperature
500°C untuk menumbuhkan TiO2 nanoubes yang selanjunya akan diimplentasi
dengan NH3 agar mendapakan N-TiO2 nanoubes. N-TiO2 nanoubes yang elah
diperoleh dap digunakan untuk proses degredasi limbah industry kimia yang
berbahaya bagi lingkungan seperi limbag fenol, tekstil, metil jingga, metil orange
dll.

2.7 Pembuatan TiO2 Nanotubes Proses Hidrotermal


Modifikasi morfologi nanomaterial merupakan salah satu cara yang dapat
dilakukan untuk mengubah maupun meningkatkan aktivitas dari suatu
nanomaterial, termasuk aktivita fotokatalitiknya. Perubahan sifat morfologi
diharapkan akan meningkatkan efektivitas dan efisiensi fungsional dari
nanomaterial. Nanotubes menjadi salah satu pilihan dalam melakukan berbagai
macam modifikasi morfologi karena rasio luas permukaan terhadap volume yang
sangat tinggi. Nanotubes dapat memberikan efek hamburan sehingga cahaya yang
diserap menjadi tersebar dan bertambah banyak. Selain itu, struktur material 1D
seperti halnya nanotubes dapat memberikan keunggulan dalam hal kecepatan
transport electron. Law et al., (2005) melaporkan bahwa koefisien kecepatan difusi
elektron pada struktur nano 1D akan ratusan kali lebih besar dari difusisitas
tertinggi yang pernah dilaporkan dari partikel nano TiO2. Titanium dioksida
merupakan salah satu fotokatalis yang aktivitasnya cukup tinggi (Liu et al., 2011;
Aji et al., 2016).
Titania nanotubes (TNTs) berhasil disintesis pertamakali oleh Kasuga et al.,
(1998) yang kemudian dikenal dengan metode Kasuga. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa TNTs mengalami peningkatan performa dibandingkan
dengan nanomaterial tanpa modifikasi morfologi. Porras et al., (2015)
menyebutkan bahwa terdapat beberapa faktor yang berperan dalam sintesis dan
fabrikasi nanomaterial salah satunya yaitu suhu kalsinasi. Desong et al., (2011)
melakukan variasi suhu kalsinasi dan penggunaan suhu rendah yaitu 300˚C dalam
sintesis sol gel untuk mengetahui fasa kristal yang terbentuk. Hsin et al., (2007)
melakukan penelitian terkait variasi suhu kalsinasi dalam proses fabrikasi TNTs
terhadap morfologi dan luas permukaan material yang akan terbentuk.
Titanium nanotubes dengan struktur yang teratur, telah dihasilkan dengan
berbagai metode antara lain pendeposisian ke dalam nanoporous alumina
template (reaksi anodizing) (Qiu, 2007; Hoyer, 1996), reaksi sol-gel (Ou et
al., 2007), dan proses hidrotermal (Hoda, 2009; Kasuga, 2006). Penelitian ini
menggunakan metode hidrotermal. Metode ini selain tidak membutuhkan
template, juga memberikan dalam kemudahan mengontrol dengan menetapkan
beberapa variabel seperti precursor, pH, temperatur reaksi, lama aging, tekanan
uap air dan karakteristik pelarut serta cocok membuat struktur nanotubes dengan
diameter yang lebih kecil, dinding yang tipis dan kristalinitas yang tinggi
(Kasuga, 2006). Sebagaimana diketahui bahwa dimensi pada material struktur
nano memiliki peranan yang penting dalam menentukan sifat dan
karakteristiknya (Ferdiansyah, 2011).
Metode hidrotermal diproses sebagai tahapan berikut, yang mana titania
nanotubes dibuat dengan cara mencampurkan serbuk TiO2 P25 dengan larutan
NaOH. Larutan campuran tersebut diultrasonikasi terlebih dahulu. Larutan
dimasukkan ke dalam alat autoclave untuk mendapatkan perlakuan hidrotermal
pada suhu 130 ᵒC yang biasanya selama 10 jam sampai 12 jam. Produk yang
dihasilkan dari proses tersebut kemudian dicuci dengan menggunakan larutan
HCl untuk mengeleminasi atom Na, hingga pH larutan menjadi sekitar 2 dan
dilanjutkan dengan air demin sampai pH larutan netral. Endapan TiO 2
Nanotubes yang dihasilkan dikeringkan pada suhu 150 ᵒC dan dilanjutkan
dengan proses kalsinasi pada suhu 500 ᵒC. Hasil kalsinasi inilah yang menjadi
TiO2 Nanotubes, TiO2 Nanotubes ini akan digunakan untuk proses degridasi
limbah kimia maupun digunakan implentasi dengan dopan N untuk memperoleh
N-TiO2 Nanotubes.

2.8 Fenol
Fenol atau asam karbolat atau benzenol adalah zat kristal tak berwarna yang
memiliki bau khas. Rumus kimia dari fenol adalah C 6H5OH dan strukturnya
memiliki gugus hidroksil (-OH) yang berikatan dengan cincin fenil. Kata fenol
berasal dari Fenil Alkohol (Phenyl Alcohol). Selain itu, nama fenol juga merujuk
pada beberapa zat yang memiliki cincin aromatik yang berikatan dengan gugus
hidroksil. Fenol didapatkan melalui oksidasi sebagian pada benzene atau asam
benazoat dengan proses Rasching, Fenol juga dapat diperoleh sebagai hasil dari
oksidasi batu bara.
Senyawa fenol dan turunannya dikategorikan sebagai limbah B3 (Bahan
Beracun dan Berbahaya) dalam industri yang kandungannya berkisar antara 200-
300 ppm. Mekipun secara umum limbah tersebut sudah mengalami pengelolahan
terlebih dahulu sebelum dibuang ke badan air untuk dikonsumsi, namun pada
kenyataanya pencemaran air oleh fenol dan turunannya di beberapa perairan di
pulau jawa ternyata masih cukup tinggi. Keberadaan senyawa-senyawa fenol dan
turunannya diperaiaran dapat digunakan sebagai petunjuk polusi, terutama
industri yang menghasilkan limbah cair. (Tjandra, Setiadi., 1991)

Gambar 2.5 Struktur molekul fenol (Tjandra, Setiadi.,


1991)

Fenol memiliki kelarutan terbatas dalam air, yakni


8,3 gram/100 ml. Fenol memiliki sifat yang cenderung
asam, artinya ia dapat melepaskan ion H+ dari gugus
hidroksilnya. Pengeluaran ion tersebut menjadikan anion
fenoksida C6H5O− yang dapat dilarutkan dalam air. Dibandingkan dengan alcohol
alifatik lainnya, fenol bersifat lebih asam. Hal ini dibuktikan dengan mereaksikan
fenol dengan NaOH, di mana fenol dapat melepaskan H+. Pada keadaan yang
sama, alkohol alifatik lainnya tidak dapat bereaksi seperti itu. Pelepasan ini
diakibatkan pelengkapan orbital antara satu-satunya pasangan oksigen dan sistem
aromatik, yang mendelokalisasi beban negatif melalui cincin tersebut dan
menstabilkan anionnya. (https://id.wikipedia.org)

2.8.1 Sifat Fisik dan Kimia Fenol


Bentuk padatan kristal atau cairan, tidak berwarna hingga merah muda;
Rumus molekul C6H5OH; Berat molekul 94,11; Titik lebur 40-42 °C; Titik didih
182°C; Kerapatan uap 3,24 (udara=1); Mudah larut dalam metanol, dietil eter;
Larut dalam air dingin, aseton, benzen; Sangat larut dalam alkohol, kloroform,
gliserol, petroleum, karbon tetraklorida, asam asetat, belerang dioksida cair;
Kelarutan dalam air 1 g/15 mL air.
Tabel 2.1 Sifat-sifat fisik fenol (Tjandra, Setiadi., 1991)

Sifat
Rumus kimia C6H6O
Nama IUPAC Phenol
Massa molar 94.1124 g mol−1
Penampilan padatan kristal transparan
Densitas 1.07 g/cm3
Titik lebur 40.5 °C
Titik didih 181.7 °C
Kelarutan dalam air 8.3 g/100 mL (20 °C)
Keasaman (pKa) 9.95 (di air),
29.1 (di asetonitril)
λmaks 270.75 nm[1]
Momen dipol 1.7 D

2.8.2 Kegunaan Fenol


Fenol dapat digunakan sebagai antiseptik seperti yang digunakan Sir Joseph
Lister saat mempraktikkan pembedahan antiseptik. Fenol merupakan komponen
utama pada anstiseptik dagang, triklorofenol atau dikenal sebagai TCP
(trichlorophenol). Fenol juga merupakan bagian komposisi beberapa anestitika
oral, misalnya semprotan kloraseptik. Fenol berfungsi dalam pembuatan obat-
obatan (bagian dari produksi aspirin, pembasmi rumput liar, dan lainnya. Selain
itu fenol juga berfungsi dalam sintesis senyawa aromatis yang terdapat dalam batu
bara.
Turunan senyawa fenol (fenolat) banyak terjadi secara alami sebagai flavonoid
alkaloid dan senyawa fenolat yang lain. Contoh dari senyawa fenol adalah
eugenol yang merupakan minyak pada cengkeh. Fenol yang terkonsentrasi dapat
mengakibatkan pembakaran kimiawi pada kulit yang terbuka. Penyuntikan fenol
juga pernah digunakan pada eksekusi mati. Penyuntikan ini sering digunakan pada
masa Nazi, Perang Dunia II. Suntikan fenol diberikan pada ribuan orang di kamp-
kamp konsentrasi, terutama di Auschwitz-Birkenau. Penyuntikan ini dilakukan
oleh dokter ke vena (intravena) di lengan dan jantung. Penyuntikan ke jantung
dapat mengakibatkan kematian langsung. ( https://id.wikipedia.org)

2.9 Baku mutu tentang kadar maksimum senyawa fenol


Dalam peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
416/MENKES/PER/IX/90. Tentang “syarat-syarat dan pengawasan kualitas air”
batas maksimum yang diperbolehkan untuk senyawa fenol dan turunannya baik
untuk air minum maupun air bersih adalah 0.002 ppm. Organisasi kesehatan dunia
(WHO) dalam kriteria kualitas badan air menetapkan konsentrasi senyawa fenol
dan turunannya sebesar 0,002 mg/L sedangkan negara maju seperti Amerika
Serikat menetapkan sebesar 0,1 mg/L untuk perikanan (EPA) dan 0,001 mg/L
untuk standar air minum (EPA Drinking Water Standards).
Untuk negara Indonesia, perkembangan penentuan baku mutu senyawa fenol
dan turunannya ditunjukkan pada Tabel 2.2
Tabel 2.2 Perkembangan penentuan baku mutu senyawa fenol dan turunannya
di Indonesia (KEP No 51/MENLH/10/1995)

Kadar maskimum senyawa fenol dan turunannya (mg/L)


Kep. Kep. Kep.
Jenis Industri 03/MENKLH/11/19 51/MENKLH/10/19 51/MENKLH/10/19
91 95 95
  Lampiran A Lampiran B
Pengilangan 1,0    
Tekstil 1,0 1,0 0,50
Kayu lapis 1,0 1,0 0,25
Cat   0,25 0,20
Farmasi   5,0 1,0
Pestisida   3,0 2,0

Anda mungkin juga menyukai