TINJAUAN PUSTAKA
Gambar 2.1 Posisi energi celah pita beberapa semikonduktor [Linsebigler, 1995].
Hampir semua material yang terdapat pada gambar 2.1 dapat digunakan reaksi
fotokatalitik. Namun, beberapa semikonduktor tersebut kurang cocok digunakan
sebagai fotokatalis karena sifatnya yang kurang menguntungkan. semikonduktor
logam sulfida bersifat tidak stabil dan mudah mengalami korosi fotoanoda.
Besi oksida memiliki energi celah yang terlalu besar dan dapat mengalami
korosi fotoanoda. Seng oksida tidak stabil secara kimia karena mudah larut dalam
air membentuk Zn(OH)2 pada permukaan partikel, sehingga pada pemakaian
waktu lama menyebabkan proses inaktivasi katalis. Semikonduktor TiO 2
merupakan katalis yang paling sesuai untuk proses fotokatalitik karena bersifat
inert secara kimia dan biologi stabil terhadap fotokorosi dan kima, tidak beracun
bagi manusia dan lingkungan (non toxicity) dan murah [Ilknur Altin, et al, 2015 ].
1. Transfer massa reaktan dalam fasa fluida (gas atau cair) ke permukaan
katalis
2. Adsorpsi reaktan ke permukaan katalis
3. Reaksi dalam fasa teradsorpsi
4. Desorpsi produk dari permukaan
5. Pemindahan produk (transfer massa) dari daerah antar permukaan
(interfasa)
Reaksi fotokatalis terjadi pada fasa teradsorpsi (langkah 3). Perbedaanya pada
katalisis konvensional hanyalah mode aktivasi katalis dimana aktivasi termal pada
proses katalis digantikan oleh aktivasi foton (energi cahaya) [Seul-Yi Lee, et al,
2013].
Fenomena diawali dengan fotoeksitasi, sebagai akibat adanya cahaya ultraviolet
yang mengenai dahan semikonduktor memiliki energi yang lebih besar dari celah
pita semikonduktornya, sehingga akan mentransfer elektron dari pita valensi ke
pita konduksi yang akan membentuk pasangan electron – hole.
Semikonduktor + hv (e- cb + h+ vb) [ …………………...(3)
Selanjutnya pasangan elektron – hole yang terbentuk akan berekombinasi di
dalam partikel (jalur B), dan berekombinasi di permukaan partikel (jalur A), tetapi
ada juga yang tidak berekombinasi dan langsung ke permukaan partikel. Reaksi
rekombinasi pasangan electron – hole dituliskan sebagai berikut :
Semikonduktor + (e-cb + h+vb) semikonduktor + heat …...(4)
Elektron (e -) yang sampai pada permukaan partikel (jalur C) akan
mendonasikan dirinya pada molekul yang teradsorpsi di permukaan dimana
molekul tersebut akan mengalami reduksi sehingga dihasilkan radikal anion A -
(oksidator), sedangkan hole (h+) yang sampai ke permukaan (jalur D ) akan
menarik elektron dari molekul yang ada di permukaan sehingga molekul akan
mengalami oksidasi. Molekul yang teradsorpsi bersifat donor elektron sehingga
hasil penangkapan hole akan menghasilkan radikal kation D+ (reduktor), reaksi
tersebut ditunjukkan pada reaksi berikut :
D (ads) + h+ D+ ………………………...…………….(5)
A (ads) + e- A- ……..…………………………………(6)
Donor elektron yang yang teradsorpsi (reduktor) dapat dioksidasi melalui
transfer elektron ke hole di atas permukaan dan penangkapan hole akan
menghasilkan radikal kation , D+ .adapun akseptor elektron yang teradsorpsi
(oksidator ) dapat direduksi dengan menerima sebuah elektron dari permukaan
sehingga penangkapan elektron akan menghasilkan radikal anion A- .
Reaksi rekombinasi antara elektron dan hole dapat ditunjukkan dengan
persamaan;
e- + h + N+E ……………. ………….……………….
(7)
Dimana N adalah bahan semikonduktor yang netral dan E adalah energi yang
dilepaskan dilepaskan dibawah sinar UV atau panas semikonduktor [Jean-Marie
Herrmann, et al, 1999].
Skematik mekanisme reaksi di atas di ilustrasikan pada gambar di bawah ini
Gambar 2.4 Energi band gap semikonduktor TiO2 [Jean-Marie Herrmann, 1999].
1. Mempunyai celah pita (band gap) yang besar (3,2 eV untuk anatase dan
3,0 eV untuk rutile), sehingga memungkinkan banyak terjadinya eksitasi
elektron ke pita konduksi dan pembentukan hole pada pita valensi saat
diinduksi cahaya ultraviolet [Amy L. Linsebigler, et al, 1995].
2. TiO2 mempunyai sifat stabil terhadap cahaya (fotostabil) [Amy L.
Linsebigler, et al, 1995].
3. Mampu menyerap sinar UV dengan baik [Amy L. Linsebigler, et al,
1995].
4. Bersifat inert dalam reaksi [Jean-Marie Herrmann, et al, 1999].
5. Tidak beracun dan tidak larut dalam kondisi eksperimen [Amy L.
Linsebigler, et al, 1995].
6. Konsumsi energi yang rendah sehingga biaya yang diperlukan juga rendah
[Jean-Marie Herrmann, et al, 1999].
7. Secara umum memiliki aktifitas fotokatalis yang lebih tinggi daripada
fotokatalis lainnya, seperti ZnO, CdS ,SnO2 [Jean-Marie Herrmann, et al,
1999].
8. Relatif murah jika digunakan dalam jumlah besar [Jean-Marie Herrmann,
et al, 1999].
2.8 Fenol
Fenol atau asam karbolat atau benzenol adalah zat kristal tak berwarna yang
memiliki bau khas. Rumus kimia dari fenol adalah C 6H5OH dan strukturnya
memiliki gugus hidroksil (-OH) yang berikatan dengan cincin fenil. Kata fenol
berasal dari Fenil Alkohol (Phenyl Alcohol). Selain itu, nama fenol juga merujuk
pada beberapa zat yang memiliki cincin aromatik yang berikatan dengan gugus
hidroksil. Fenol didapatkan melalui oksidasi sebagian pada benzene atau asam
benazoat dengan proses Rasching, Fenol juga dapat diperoleh sebagai hasil dari
oksidasi batu bara.
Senyawa fenol dan turunannya dikategorikan sebagai limbah B3 (Bahan
Beracun dan Berbahaya) dalam industri yang kandungannya berkisar antara 200-
300 ppm. Mekipun secara umum limbah tersebut sudah mengalami pengelolahan
terlebih dahulu sebelum dibuang ke badan air untuk dikonsumsi, namun pada
kenyataanya pencemaran air oleh fenol dan turunannya di beberapa perairan di
pulau jawa ternyata masih cukup tinggi. Keberadaan senyawa-senyawa fenol dan
turunannya diperaiaran dapat digunakan sebagai petunjuk polusi, terutama
industri yang menghasilkan limbah cair. (Tjandra, Setiadi., 1991)
Sifat
Rumus kimia C6H6O
Nama IUPAC Phenol
Massa molar 94.1124 g mol−1
Penampilan padatan kristal transparan
Densitas 1.07 g/cm3
Titik lebur 40.5 °C
Titik didih 181.7 °C
Kelarutan dalam air 8.3 g/100 mL (20 °C)
Keasaman (pKa) 9.95 (di air),
29.1 (di asetonitril)
λmaks 270.75 nm[1]
Momen dipol 1.7 D