Latar Belakang
Pajak merupakan salah satu bentuk pendapatan negara yang menyumbang persentase terbesar
dibandingkan dengan sektor pendapatan lain seperti minyak dan gas (migas) serta non-migas.
Keberhasilan suatu negara dalam mengumpulkan pajak dari warga negaranya dipastikan akan
bermanfaat bagi stabilitas ekonomi negara yang bersangkutan (Farouq, 2018: 1). Sumber
pendapatan negara dari pajak telah menjadi unsur utama dalam menunjang kegiatan
perekonomian, menggerakkan roda pemerintahan dan penyediaan fasilitas umum bagi
masyarakat. Bahkan pada beberapa Tahun belakangan ini, pajak memenuhi kurang lebih 70
persen penerimaan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Hal ini
menunjukkan peranan pajak dalam mewujudkan stabilitas roda kehidupan negeri ini harus
semakin ditingkatkan, mengingat semakin tingginya tuntutan kebutuhan dan semakin
kompleksnya tantangan zaman modern (Farouq, 2018: 127).
Menurut Simanjuntak, dkk, (2012: 27-28) Salah satu ukuran keberhasilan suatu
kebijakan perpajakan dapat dilihat dari kecenderungan peningkatan hasil penerimaan negara
dari sektor perpajakan dalam satu periode melalui upaya ekstensifikasi yaitu upaya
meningkatkan penerimaan pajak dengan cara menambah jumlah Wajib Pajak (WP) yang
belum terdaftar atau menambah jumlah jenis pajak yang baru. Sedangkan yang dimaksud
upaya intensifikasi adalah meningkatkan penerimaan pajak dari WP yang sudah terdaftar.
Kedua metode tersebut cara efisien untuk meningkatkan kepatuhan pajak masyarakat,
perbaikan pelayanan pajak, dan lain-lain. Farouq (2018: 3) berpendapat Kepatuhan WP
merupakan salah satu kunci keberhasilan pemerintah dalam menghimpun penerimaan pajak,
bukan sekedar menonjolkan aspek pemungutan pajak yang bersifat “memaksa”, tetapi juga
harus diikuti dengan serangkaian regulasi, prosedur dan pelayanan administrasi yang jelas dan
berkelas. Menurut Miladia (2010) dalam Maharani (2015) agar target pajak tercapai,
diperlukan kesadaran dan kepatuhan WP untuk memenuhi kewajiban pajak sesuai dengan
ketentuan yang berlaku. Hal itu merupakan suatu faktor yang penting bagi peningkatan
penerimaan pajak, sehingga perlu secara rutin dikaji mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi kepatuhan WP.
Usaha Kecil dan Menengah (UKM) merupakan salah satu bagian terpenting dalam
perekonomian kerakyatan di suatu wilayah maupun suatu Negara. Usaha kecil dan menengah
sangat berperan dalam perekonomian Indonesia, sebagai contoh usaha kecil dan menengah
sangat berperan penting pada saat terjadinya krisis moneter tahun 1998 dan dipandang sebagai
suatu penyelamat dalam proses perekonomian Indonesia, mendorong laju pertumbuhan
ekonomi maupun penyerapan tenaga kerja, (Maharani, 2015). Pada Kantor Pelayanan Pajak
(KPP) Pratama Semarang Tengah Dua menggelar Kegiatan Program Business Development
Service (BDS) untuk Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang bertujuan agar usaha
yang dikelola WP dapat berkembang pesat khususnya melalui pemasaran online. Pada
kegiatan tersebut, diberikan edukasi pajak mengenai turunnya tarif pajak UMKM terbaru dari
1 persen menjadi 0,5 persen sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 yang
berlaku mulai 1 Juli 2018. Dengan turunnya tarif UMKM ini, diharapkan adanya kepatuhan
WP dalam membayar pajak untuk negara (www.pajak.go.id).
Pada masa pandemi Covid-19 saat ini telah memunculkan masalah yang harus
dihadapi oleh UMKM, diantaranya penurunan permintaan, pemasaran produk, akses bahan
baku dan masih rendahnya SDM. Sehingga hal ini berdampak terhadap turunnya tingkat
penjualan bahkan banyak UMKM yang gulung tikar. Ketika hal ini terjadi, maka secara
langsung akan membuat UMKM akan menurunkan tingkat biaya yang menjadi beban
perusahaan. Salah satunya adalah beban pajak. Sehingga hal ini mendorong pemerintah untuk
mengeluarkan kebijakan stimulus untuk mendongkrak UMKM untuk tetap going concern
melalui penurunan nilai tarif pajak UMKM. Sehingga tingkat kepatuhan UMKM untuk
membayar pajak tetap terjaga.
Masalah kepatuhan pajak (tax compliance) yang masih rendah merupakan masalah
klasik yang dihadapi hampir semua negara yang menerapkan sistem perpajakan, sehingga
berimplikasi pada rendah ratio penerimaan pajak. Berbagai penelitian telah dilakukan dan
kesimpulannya adalah masalah kepatuhan kepatuhan dapat dilihat dari segi keuangan publik
(public finance), penegakkan hukum (law enforcement), struktur organisasi (organizational
structure), tenaga kerja (employees), etika (code of conduct), atau gabungan dari semua segi
tersebut, (Farouq, 2018: 2-3). Kebijakan pemerintah memberikan insentif kepada pelaku
UMKM dengan menurunkan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Final menjadi 0,5 persen dari
sebelumnya 1 persen. Dalam penurunan tarif PPh Final UMKM yang tertera dalam Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018 tentang PPh atas Penghasilan dari Usaha yang
Diterima atau Diperoleh WP yang Memiliki Peredaran Bruto tertentu sebagaimana aturan itu
merupakan pengganti PP Nomor 46 Tahun 2013, Pemerintah berupaya untuk lebih
meningkatkan kepatuhan WP. Oleh karena itu, DJP akan terus melakukan berbagai
pendekatan dengan para pelaku usaha dengan mencoba membantu mengembangkan
bisnisnya. Kemenkeu mengakui saat ini kontribusi pajak UMKM masih sangat kecil kepada
total penerimaan negara. Namun, menurutnya potensi penerimaan pajak dari sektor UMKM
masih sangat besar mengingat pelaku UMKM sangat banyak dan tersebar di seluruh
Indonesia (www.nasional.kontan.co.id).
Sehingga untuk mencapai hal itu, DJP akan berupaya untuk mengoptimalkan
sosialisasi kepada masyarakat dengan meningkatkan pelayanan fiskus kepada WP. Selain bisa
meningkatkan kepatuhan, skema kebijakan tersebut diharapkan dalam jangka menengah
panjang bisa ikut mendorong perekonomian karena penurunan tarif pajak bisa dimanfaatkan
UMKM untuk menambah modal usahanya serta dapat mendorong kepada UMKM agar
usahanya bisa lebih berkembang lagi (www.republika.co.id).
Salah satu faktor yang mempengaruhi kepatuhan Wajib Pajak yaitu sosialisasi
perpajakan. Jika WP diberikan pemahaman yang baik dan benar melalui sosialisasi, maka WP
akan memiliki pengetahuan tentang pentingnya membayar pajak, sehingga kepatuhan wajib
pajak akan meningkat, (Andriani, dkk, 2016). Faktor kedua yang diduga dapat meningkatkan
kepatuhan yaitu pelayanan fiskus. Menurut Nurmantu (2005: 33), “Kualitas Petugas Pajak
sangat menentukan efektivitas Undang-undang dan peraturan perpajakan. Adanya pelayanan
yang baik dari petugas pajak, sistem perpajakan yang efisien dan efektif, serta penyuluhan-
penyuluhan pajak yang memberikan motivasi kepada WP agar taat pajak, hal ini akan
membuat WP memiliki keyakinan atau memilih perilaku taat pajak (Brata, dkk, 2017).
Selain dua faktor diatas, faktor yang diduga dapat meningkatkan kepatuhan yaitu
pelaksanaan self assessment system. Dalam pelaksanaan self assessment system yang berlaku
saat ini posisi WP sangat penting karena WP diwajibkan untuk melaksanakan pajaknya secara
mandiri seperti perhitungan pajak, pembayaran pajak dan pelaporan pajak. Dengan demikian
seorang WP dituntut untuk mengerti dan memahami tidak saja peraturan perpajakan, tetapi
juga aspek administrasi serta prosedur perpajakan. Kesadaran masyarakat atau kepatuhan
pajak seyogyanya menjadi hal utama dalam proses berjalannya pelaksanaan self assessment
system, (Simanjuntak, dkk, 2012: 83-84).
Dinas koperasi dan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) Kota Semarang setiap
tahunnya mencatat pertumbuhan sekitar 2000 UMKM, hal ini mencerminkan bahwa
peningkatan UMKM di Kota Semarang dapat membantu perekonomian di Ibu Kota Jawa
Tengah. Peningkatan UMKM di Kota Semarang ini terlihat dari kuantitas dan kualitas nya
terbukti adanya peningkatan omzet. Dinas koperasi dan UMKM pun ikut melakukan
pendampingan dalam setiap berkembangnya UMKM tersebut baik dari segi penataan
administrasinya hingga manajemen pemasaran. Dengan adanya peningkatan UMKM setiap
tahunnya, banyak kemajuan positif dalam pembangunan perekonomian, terutama dalam
penerimaan pajak dari sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Dari tahun ke
tahun, UMKM di Jawa Tengah banyak mengalami peningkatan, terutama di Kota Semarang,
di kutip dari (www.jateng.antaranews.com).
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diajukan sebuah penelitian dengan judul
mengenai “Kepatuhan Wajib Pajak UMKM Kota Semarang di Masa Pandemi Covid-
19”.
Perumusan Masalah
Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaruh
sosialisasi perpajakan, pelayanan fiskus dan pelaksanaan self assessment system terhadap
kepatuhan wajib pajak UMKM di Kota Semarang di masa pandemi covid-19 baik secara
parsial maupun simultan.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisa bagaimana pengaruh sosialisasi perpajakan,
pelayanan fiskus dan pelaksanaan self assessment system terhadap kepatuhan Wajib Pajak
UMKM di Kota Semarang pada masa pandemi covid-19.
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa besar pengaruh dari sosialisasi
perpajakan, pelayanan fiskus dan pelaksanaan self assessment system terhadap kepatuhan
Wajib Pajak UMKM di Kota Semarang pada masa pandemi covid-19.
Definisi Operasional
Sosialiasi atau Penyuluhan Perpajakan adalah suatu upaya dan proses memberikan
informasi perpajakan untuk menghasilkan perubahan pengetahuan, keterampilan, dan sikap
masyarakat, dunia usaha, aparat, serta lembaga pemerintah maupun non pemerintah agar
terdorong untuk paham, sadar, peduli dan berkontribusi dalam melaksanakan kewajiban
perpajakan. Berdasarkan definisi tersebut, maka dimensi dari indikator Sosialisasi Perpajakan
adalah :
1. DJP memberikan informasi perpajakan kepada Wajib Pajak melalui kegiatan
sosialisasi langsung untuk melaksanakan kewajiban perpajakan. Indikator dari dimensi
berdasarkan Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-98/PJ/2011 adalah :
a. Penyuluhan pajak oleh fiskus pajak.
b. Diskusi dengan wajib pajak dan tokoh masyarakat.
c. Informasi langsung dari petugas ke wajib pajak.
2. DJP memberikan informasi perpajakan kepada Wajib Pajak melalui kegiatan
sosialisasi tidak langsung untuk melaksanakan kewajiban perpajakan. Indikator dari
dimensi berdasarkan Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-98/PJ/2011 adalah :
a. Pemasangan billboard.
b. Website Ditjen Pajak.
c. Penyuluhan melalui radio/televisi
Pelayanan Fiskus (X2)
Petugas pajak (fiskus) adalah mereka yang harus menegakkan aturan permainan sistem
perpajakan. Berdasarkan definisi tersebut, maka dimensi dari indikator pelayanan fiskus
adalah:
1. Kualitas fiskus pajak dalam menegakkan aturan perpajakan. Indikator dari dimensi
berdasarkan Nasution (2006: 47) adalah :
a. Pelayanan yang diberikan.
b. Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM).
c. Pemahaman terhadap ketentuan perpajakan.
d. Sistem informasi perpajakan.
e. Kualitas lingkungan kantor pajak.
Insentif Pajak yang diberikan dari kebijakan pemerintah yaitu Wajib pajak yang merupakan
pelaku UMKM dengan peredaran bruto tertentu sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun
2018, dan menyetorkan PPh Final sebesar 0,5% dari jumlah peredaran bruto tersebut,
mendapatkan insentif PPh Final ditanggung Pemerintah. PPh Final tersebut tidak diperhitungkan
sebagai penghasilan yang dikenakan pajak. Jika pelaku UMKM melakukan impor, Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai tidak melakukan pemungutan PPh Pasal 22 impor.
Wajib pajak perlu mengajukan permohonan Surat Keterangan untuk dapat memanfaatkan insentif
pajak ini secara online melalui laman Pajak.go.id. Jika berhak atau disetujui, wajib pajak harus
membuat laporan realisasi PPh Final ditanggung Pemerintah meliputi PPh terutang atas
penghasilan yang diterimanya, termasuk dari transaksi dengan Pemungut pajak. Pihak Pemungut
Pajak harus membuat Surat Setoran Pajak atau kode ID Billing yang dibubuhi cap bertuliskan
“PPh Final Ditanggung Pemerintah Eks PMK Nomor …/PMK.03/2020” atas transaksi yang
merupakan objek pemungutan PPh final. Kemudian, laporan realisasi tersebut beserta lampiran
Surat Setoran Pajak wajib disampaikan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah Masa
Pajak berakhir.
Pelaksanaan Self Assessment System adalah sebagai sistem pemungutan pajak yang
memberikan kepercayaan kepada WP untuk menghitung atau memperhitungkan, membayar,
dan melaporkan jumlah pajak terutang atas dirinya sendiri berdasarkan peraturan perundang-
undangan perpajakan.
Berdasarkan definisi tersebut, maka dimensi dari indikator pelaksanaan self assessment
system adalah :
1. Wajib pajak menghitung jumlah pajak terutang. Indikator dari dimensi berdasarkan
Farouq (2018: 157-158) adalah :
a. Menghitung dan atau memperhitungkan sendiri jumlah pajak yang terutang.
b. Menetapkan sendiri jumlah pajak yang terutang melalui pengisian SPT (Surat
Pemberitahuan) dengan baik dan benar.
2. Wajib pajak membayar jumlah pajak terutang. Indikator dari dimensi berdasarkan
Farouq (2018: 157-158) adalah :
a. Menyetorkan pajak tersebut ke bank persepsi/kantor pos.
3. Wajib pajak melaporkan jumlah pajak terutang. Indikator dari dimensi berdasarkan
Farouq (2018: 157-158) adalah :
a. Mendaftarkan diri di Kantor Pelayanan Pajak.
b. Melaporkan penyetoran tersebut kepada Direktur Jenderal Pajak (DJP).
LANDASAN TEORI
Definisi Pajak
Untuk melaksanakan pembangunan nasional dan kegiatan pemerintahan, pemerintah harus
dapat menanggulangi pembiayaan dalam pembangunan tersebut. Dimana biaya tersebut dapat
diperoleh oleh pemerintah dari berbagai sumber yang ada didalam negeri seperti pernerimaan
pajak. Pajak dapat digunakan untuk membiayai pembangunan, kegiatan pemerintahan dan rumah
tangga negara yang digunakan untuk membiayai seluruh biaya pengeluaran yang bermanfaat bagi
masyarakat luas. Untuk pengertian yang lebih jelas dan tepat, pengertian pajak akan dikemukakan
oleh undang-undang ataupun para ahli. Menurut Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang
pajak daerah dan retribusi daerah “Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh
orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang dengan tidak
mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat.”
Selanjutnya menurut P.J.A Andriani dan Waluyo (2011) pengertian pajak yaitu sebagai
berikut “Pajak merupakan iuran wajib kepada negara (yang dapat dipaksakan), yang terutang oleh
yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapatkan prestasi
kembali yang langsung dapat ditunjukan , dan yang gunanya adalah untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran umum yang berhubungan dengan tugas negara yang menyelenggarakan
pemerintah”. Selain itu juga ada pendapat dari Soemitro dan Mardiasmo (2013:1) yang
mendefinisikan pajak sebagai “Iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang
dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi)”.
Jadi pajak merupakan suatu pencapaian pemerintah dalam melaksanakan kewajiban yang
bersifat memaksa berdasarkan undang-undang yang berlaku yaitu berupa iuran yang ditagihkan
kepada wajib pajak (masyarakat) tanpa adanya timbal balik secara langsung terhadap wajib pajak
dan digunakan oleh pemerintah untuk melaksanakan pembangunan nasional serta membiayai
semua pengeluaran pemerintah untuk kemakmuran rakyat. Dari beberapa definisi pajak diatas,
dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur tentang dalam perpajakan yaitu:
Pajak merupakan sumber penting bagi pendapatan kas negara untuk mejalankan berbagai
kegiatan pemerintahan dan pembangunan nasional. Berdasarkan hal tersebut pajak memiliki
beberapa fungsi seperti yang disebutkan menurut Harjo (2013:7) fungsi pajak dibagi menjadi dua
golongan yaitu:
Pajak berfungsi sebagai sumber dana yang diperuntukan bagi pembiayaan pengeluaran-
pengeluaran pemerintah.
Contoh : Pajak digunakan sebagai sumber penerimaan Anggaran Pendapatan Belanja
Negara (APBN) sebagai pendapatan dalam negeri.
2. Fungsi Mengatur (Reguler)
Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur melaksanakan dibidang sosial atau ekonomi.
Contoh : Pajak digunakan untuk barang mewah, pajak minuman keras, dan pajak rokok.
Pengenaan pajak tersebut dilakukan untuk menekan konsumen dalam
memproduksi barang tersebut.
Dengan fungsi pajak yang telah disebutkan, maka pemungutan pajak yang dipungut oleh
pemerintah memiliki peruntukan yang jelas, yaitu sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk
menjalankan berbagai kegiatan pemerintahan dan pembangunan nasional.
Pajak memiliki berbagai jenis yang dibagi menjadi tiga kategori seperti yang disebutkan
oleh Harjo (2013:7) yaitu:
Pajak tidak langsung merupakan pajak yang pembebanannya dilimpahkan kepada pihak
ketiga atau pihak lain.
2. Menurut sifatnya
Pajak subjektif merupakan pajak yang berpangkal pada subjek pajaknya kemudian dicari
objek pajaknya. Dalam hal ini pajak dilihat dari wajib pajaknya terlebih dahulu.
b. Pajak objektif
Pajak objektif merupakan pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada objeknya tanpa
memperhatikan keadaan dari wajib pajak.
3. Menurut pemungutannya
Pajak pusat merupakan pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat yang digunakan untuk
membiayai rumah tangga negara.
b. Pajak daerah
Pajak daerah merupakan pajak yang dipungut pemerintah daerah dan digunakan untuk
memenuhi pengeluaran-pengeluaran daerah. Menurut Undang-undang Nomor 28
Tahun 2009 tentang pajak dan retribusi daerah, bahwa pajak daerah dibagi menjadi dua
yaitu pajak yang dipungut oleh provinsi dan dipungut oleh kabupaten atau kota.
Menurut Mardiasmo (2013:3) dalam pemungutan pajak kepada wajib pajak, negara
memiliki dasar-dasar yang menjelaskan pemberian hak untuk memungut pajak, yaitu :
1. Teori Asuransi
Negara melindungi kesselamatan jiwa, harta benda, dan hak-hak rakyatnya. Oleh karena itu
rakyat harus membayar pajak yang diibaratkan suatu premi asuransi karena memperoleh
jaminan perlindungan tersebut.
2. Teori Kepentingan
Beban pajak untuk semua orang harus sama beratnya, artinya pajak harus dibayar sesuai daya
pikul masing-masing orang. Untuk mengukur daya pikul dapat digunakan dua pendekatan
yaitu :
a. Unsur objektif, dengan melihat besarnya penghasilan atau kekayaan yang dimiliki
seseorang ; dan
b. Unsur subjektif dengan memperlihatkan besarnya kebutuhan materil yang harus
dipenuhi.
4. Teori Bakti
Dasar keadilan pemungutan pajak terletak pada hubungan rakyat dengan negaranya. Sebagai
warga negara yang berbakti, rakyat harus selalu menyadari bahwa pembayaran pajak
adalah sebagai suatu kewajiban.
5. Teori Asas Daya Beli
Dasar keadilan terletak pada akibat pemungutan pajak. Maksudnya pemungutan pajak berarti
menarik daya beli dari rumah tangga masyarakat untuk ramah tangga negaranya.
Selanjutnya negara akan menyalurkan kembali ke masyarakat dalam bentuk
kesejahteraan masyarakat dengan demikian kepentingan seluruh masyarakat lebih
diutamakan.
Jadi dengan adanya teori diatas, negara mempunyai hak untuk memungut pajak dari setiap
warga negaranya atau wajib pajak dengan didasarkan justifikasi pemberian hak untuk memungut
pajak.
Sesuai dengan tujuan hukum yakni mencapai keadilan, Undang dan pelaksanaan pemungutan
harus adil. Adil dalam perundang-undangan dantaranya mengenakan pajak secara umum
dan merata, serta disesuaikan dengan kemampuan masing-masing wajib pajak. Adil
dalam pelaksanaannya yakni dengan memberikan hak bagi waib pajak untuk mengajukan
keberatan, penundaan dalam pembayaran dan mengajukan banding kepada Majelis
Pertimbangan Pajak.
2. Pemungutan pajak harus berdasarkan Unduang-undang (syarat yuridis)
Pajak di Indonesia diatur dalam UUD 1945 pasal 23 ayat 2. Hal ini memberikan jaminan
hukum untuk menyatakan keadilan, baik bagi negara maupun warganya.
3. Tidak mengganggu perekonomian (syarat ekonomi)
Sesuai fungsi Budgetair, biaya pemungutan pajak harus dapat ditekan sehingga lebih rendah
hasil pemungutannya.
5. Sistem pemungutan pajak harus sederhana
Sistem pemungutan yang sederhana akan memudahkan dan mendorong masyarakat dalam
memenuhi kewajiban perpajakannya.
Berdasarkan syarat-syarat yang disebutkan diatas dapat disimpulkan bahwa dari kelima
syarat tersebut saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Dengan adanya syarat-syarat
pemungutan pajak tersebut diharapkan dapat meminimalisir adanya hambatan dan perlawanan dari
wajib pajak pada saat dilakukan pemungutan pajak oleh pemerintah.
Tetapi tidak semua hambatan dapat dihindari oleh pemerintah walau dengan adanya syarat-
syarat tersebut. Salah satu hambatan yang tidak dapat dihindari adalah berasal dari wajib pajaknya,
karena masih ada yang tidak mengetahui mengenai perpajakan.
Dalam pemungutan pajak yang dilakukan oleh pemerintah selaku pemungut pajak (fiskus)
terhadap wajib pajak tidak selalu berjalan dengan lancar, masih saja ada hambatan yang
disebabkan oleh wajib pajak. Menurut Mardiasmo (2013:8) hambatan terhadap pemungutan pajak
dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu:
1. Perlawanan Pasif
Masyarakat enggan (pasif) membayar pajak, yang dapat disebabkan antara lain:
a. Perkembangan intelektual dan moral masyarakat
b. Sistem perpajakan yang (mungkin) sulit dipahami masyarakat
c. Sistem kontrol tidak dapat dilakukan atau dilaksanakan dengan baik
2. Perlawanan Aktif
Perlawanan Aktif meliputi semua usaha dan prbuatan secara langsung ditunjukan kepada fiskus
dengan tujuan untuk menghindari pajak. Bentuknya antara lain:
a. Tax avoidance, usaha meringankan beban pajak dengan tidak melanggar undang-undang.
b. Tax evasion, usaha meringankan beban pajak dengan cara melanggar undang-undang
(menggelapkan pajak)
Untuk terlaksanakannya pemungutan pajak dengan baik maka harus memiliki tata cara yag
sesuai dengan keadaan dan kondisi suatu negara. Mardiasmo (2013:6) mengemukakan bahwa tata
cara pemungutan pajak dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu stesel pajak, asas pemungutan pajak, dan
sistem pemungutan pajak.
Stesel pajak yaitu suatu cara untuk menghitung besarnya pajak yang harus dibayarkan oleh
wajib pajak. Stesel dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu:
Pengenaan pajak berdasarkan pada objek pajak (penghasilan yang nyata), sehingga
pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak, yakni setelah penghasilan
yang sesunggahnya diketahui. Kebaikan stesel ini adalah pajak yang dikenakan lebih
realistis. Sedangkan kelemahannya adalah pajak harus dapat dikenakan pada akhir
periode(setelah penghasilan riil diketahui).
2. Stesel anggapan (fictive stesel)
Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undang-undang. Kebaikan
dari stesel ini adalah pajak dapat dibayar selama tahun berjalan, tanpa harus menunggu
pada akhir tahun. Sedangkan kelemahannya adalah pajak yang dibayar tidak berdasarkan
pada keadaan yang sesungguhnya.
3. Stesel campuran
Stesel ini merupakan kombinasi antara stesel nyata dan stesel anggapan. Pada awal tahun,
besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan, kemudian pada akhir tahun
besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya. Jika besarnya pajak
menurut kenyataan lebih besar dari pada pajak menurut anggapan, maka waib pajak harus
menambah. Sebaiknya, jika lebih kecil kelebihannya dapat diminta kembali.
Terdapat beberapa asas yang dapat dipakai oleh negara sebagai asas dalam menentukan
wewenangnya untuk mengenakan pajak kepada wajib pajak, yaitu :
Negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan wajib pajak yang bertempat
tinggal di wilayahnya, baik penghasilan yang berasal dari dalam maupun luar negeri.
Asas ini berlaku untuk wajib pajak dalam negeri.
b. Asas sumber
Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber di wilayahnya tanpa
memperhatikan tempat tinggal wajib pajak.
c. Asas kebangsaan
Sistem pemungutan pajak adalah sistem pemungutan yang diberlakukan pemerintah untuk
menentukan siapa yang berwenang menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak.
Sistem pemungutan pajak dapat dibagi menjadi 3 (tiga) sistem, yaitu sebagai berikut:
1. Official Assesstment system
Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk
menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak.
2. Self Assessment system
Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang sepenuhnya kepada wajib pajak
untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya yang
terutang.
3. With Holding System
Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan
fiskus dan wajib pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang
terutang oleh wajib pajak.
Jadi tata cara pemungutan pajak yang diungkapkan oleh Mardiasmo dapat disimpulkan
bahwa ada 3 (tiga) tata cara pemungutan pajak, yang terdiri dari yang pertama adalah stesel pajak
yang didalamnya ada stesel nyata, stesel anggapan, dan stesel camuran, kedua adalah asas
pemungutan pajak yang terdiri dari asas domisili, asas sumber, dan asas kebangsaan, dan ketiga
adalah sistem pemungutan pajak yang terdiri dari official assessment system, self assessment
system, dan with holding system.
Kesimpulan dari pengelompokan pajak yang dikemukakan oleh Mardiasmo yaitu yang
pertama pajak dikelompokan menurut golongannya yang berarti ada pajak yang harus
ditanggung sendiri dan ada juga pajak yang dapat dilimpahkan kepada orang lain. Kedua,
pajak yang dikelompokan menurut sifatnya yang berarti ada pajak yang berdasarkan pada
subjek pajaknya dan juga ada pajak berdasarkan pada objek pajaknya. Ketiga, pajak
menurut lembaga pemungutnya yang berarti ada pajak yang dilimpahkan kepada
pemerintah pusat dan pemerintah daerah sebagai pemungut pajak (fiskus).
Kepatuhan Pajak
1. Kepatuhan Pajak sebagai suatu iklim kepatuhan dan kesadaran pemenuhan kewajiban
perpajakan, tercermin dalam situasi dimana: Wajib Pajak paham atau berusaha untuk
memahami sesuai ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan, mengisi formulir
pajak dengan lengkap dan jelas, menghitung jumlah pajak terutang dengan benar,
membayar pajak yang terutang tepat pada waktunya. (Norman D. Nowak: 2004)
2. Kepatuhan Wajib Pajak (WP) merupakan salah satu ukuran kinerja WP di bawah
pengawasan Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Artinya, tinggi rendahnya kepatuhan WP
akan menjadi dasar pertimbangan DJP dalam melakukan pembinaan, pengawasan,
pengelolaan, dan tindak lanjut terhadap WP. Misalnya, apakah akan dilakukan himbauan
atau konseling atau penelitian atau pemeriksaan dan lainnya seperti penyidikan terhadap
WP. Liberti Pandiangan (2014:245)
3. Kepatuhan Wajib Pajak diartikan bahwa Wajib Pajak mempunyai kesediaan untuk
memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan aturan yang berlaku tanpa perlu
diadakan pemeriksaan, investigasi seksama, peringatan ataupun ancaman dan penerapan
sanksi baik hukum maupun administrasi. Gunadi (2013:94)
Jenis-jenis Kepatuhan Wajib Pajak
Ada dua macam kepatuhan menurut Siti Kurnia Rahayu (2013:138), yaitu:
1. Kepatuhan Formal, adalah suatu keadaan di mana Wajib Pajak memenuhi kewajiban
secara formal sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang perpajakan.
2. Kepatuhan Material, adalah suatu keadaan di mana Wajib Pajak secara substantive atau
hakekatnya memenuhi semua ketentuan material 30 perpajakan, yakni sesuai isi dan jiwa
undang-undang perpajakan. Kepatuhan material dapat juga meliputi kepatuhan formal”.
Semantara itu, menurut Numantu dalam Widodo (2010:68) terdapat dua macam kepatuhan
yaitu sebagai berikut:
1. Kepatuhan formal adalah suatu keadaan dimana Wajib Pajak memenuhi kewajibannya
secara formal sesuai dengan ketentuan dalam undangundang perpajakan. Kepatuhan Wajib
Pajak dalam membayar pajak secara formal dapat dilihat dari aspek kesadaran Wajib Pajak
untuk mendaftarkan diri, ketepatan waktu dalam membayar pajak, dan pelaporan Wajib
Pajak melakukan pembayaran pajak dengan tepat waktu.
2. Kepatuhan material adalah waktu keadaan dimana Wajib Pajak secara substantive
(hakekat) memenuhi semua ketentuan material perpajakan yakni sesuai isi dan jiwa
undang-undang perpajakan. Jadi Wajib Pajak yang memenuhi kepatuhan material dalam
mengisi SPT PPh, adalah Wajib Pajak yang mengisi dengan jujur, baik dan benar atas SPT
tersebut sehingga sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang perpajakan dan
menyampaikan ke KPP sebelum batas waktu.
Kepatuhan pajak akan menghasilkan banyak keuntungan, baik bagi fiskus maupun bagi
Wajib Pajak sendiri selaku pemegang peranan penting tersebut. Bagi fiskus, kepatuhan pajak dapat
meringankan tugas aparat pajak, petugas tidak terlalu banyak melakukan pemeriksaan pajak dan
tentunya penerimaan pajak akan mendapatkan pencapaian optimal. Sedangkan bagi Wajib Pajak,
manfaat yang diperoleh dari kepatuhan pajak seperti yang dikemukakan Siti Kurnia Rahayu
(2013:143) adalah sebagai berikut:
Faktor factor yang dapat mempengaruhi Kepatuhan Wajib (Siti Kurnia Rahayu: 2013),
yaitu:
4. Pemeriksaan pajak
5. Tarif pajak
Kepatuhan pajak akan menghasilkan banyak keuntungan, baik bagi fiskus maupun bagi
Wajib Pajak sendiri selaku pemegang peranan penting tersebut. Bagi fiskus, kepatuhan pajak dapat
meringankan tugas aparat pajak, petugas tidak terlalu banyak melakukan pemeriksaan pajak dan
tentunya penerimaan pajak akan mendapatkan pencapaian optimal.
Sosialisasi Perpajakan
Menurut Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-98/PJ/2011 tentang Pedoman Penyusunan
Rencana Kerja dan Laporan Kegiatan Penyuluhan Perpajakan Unit Vertikal di Lingkungan
Direktorat Jenderal Pajak, bahwa Sosialiasi atau Penyuluhan Perpajakan adalah suatu upaya
dan proses memberikan informasi perpajakan untuk menghasilkan perubahan pengetahuan,
keterampilan, dan sikap masyarakat, dunia usaha, aparat, serta lembaga pemerintah maupun
non pemerintah agar terdorong untuk paham, sadar, peduli dan berkontribusi dalam
melaksanakan kewajiban perpajakan.
Pelayanan Fiskus
Menurut Nasution (2006: 47) Petugas pajak (fiskus) adalah mereka yang harus
menegakkan aturan permainan sistem perpajakan. Petugas pajak diharapkan simpatik,
bersikap membantu, mudah dihubungi dan bekerja dengan jujur. Tanpa adanya perubahan
kearah perilaku simpatik dan kejujuran dalam bertugas di kalangan petugas pajak, maka sulit
untuk menumbuhkan kepatuhan masyarakat untuk membayar pajak.
Pelaksanaan Self Assessment System