Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

ETIKA DAN HUKUM KESEHATAN

Dosen Pengampu:

Linda Yusanti, S.ST., M.Keb.

Disusun oleh:

Kelompok 5

Yoanda Miftahul Jannati F0G019007

Indah pratiwi F0G019026

Nurhamidah Octarya F0G019030

NazzilaUtami F0G019028

Aulia Afita Sari F0G019043

Ella Dwi Sokova F0G019031

Sindi Permata Sari F0G019015

PROGRAM STUDI D3 KEBIDANAN

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS BENGKULU

TA 2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami sampaikan kepada Allah SWT karena berkat rahmat-
Nyalah kami sebagai penulis dapat menyelesaikan makalah yang suadah kami
susun. Makalah ini disusun sebagai syarat untuk memenuhi tugas mata kuliah
“Etika dan Hukum Kesehatan”.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari


berbagai pihak, makalah ini belum tentu terwujud. Kami banyak menemukan
kesulitan dan tantangan, maka dari itu kami mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada yang terhormat:

A. Linda Yusanti, S.ST., M Keb selaku Dosen pembimbing mata kuliah


Etika dan Hukum Kesehatan Fakultas MIPA Universitas Bengkulu
yang telah memberikan banyak bimbingan, meluangkan waktunya,
arahan, petunjuk, dan sumbangsih pemikirannya dalam proses
penulisan makalah ini sehingga kami dapat menyelesaikannya dengan
tepat waktu.
B. Kedua orang tua yang sangat kami sayangi. Terima kasih telah
memberikan dukungan, semangat, dan inspirasi yang sangat berharga.
Serta yang tak bosan-bosannya berdoa demi keberhasilan kami.

Akhir kata, semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi pembaca.Kami


sebagai penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh
dari kesempurnaan, maka dari itu kami minta maaf atas kekurangan-
kekurangan tersebut. Kritik dan saran yang akan sangat berguna untuk
kemajuan kami di masa mendatang serta kesempurnaan dari makalah ini akan
kami terima dengan tangan terbuka.

Bengkulu, 29 Agustus 2020


Penulis

DAFTAR ISI

Halaman Judul.........................................................................................................i

Kata Pengantar.........................................................................................................ii

Daftar Is.................................................................................................................iii

BAB I  PENDAHULUAN......................................................................................4
1.1 Latar Belakang.............................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah........................................................................................6
1.3 Tujuan..........................................................................................................6
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................7
2.1 Informed Consent Dan Informed Choise.....................................................7
2.2 Dasar Hukum/ Peraturan Dan Perundang-Undangan Dalam Praktek
Kebidanan..................................................................................................21
2.2.1 Pengertian Hukum Kesehatan........................................................21
2.2.2 Fungsi Hukum Kesehatan..............................................................21
2.3 Otonomi Dalam Pelayanan Kebidanan......................................................22

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan................................................................................................26

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................27
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Akhir-akhir ini banyak dibicarakan di media massa masalah dunia


kebidanan yang dihubungkan dengan hukum. Bidang kebidanan yang dahulu
dianggap profesi mulia, seakan-akan sulit tersentuh oleh orang awam, kini mulai
dimasuki unsur hukum. Salah satu tujuan dari hukum atau peraturan atau deklarasi
atau kode etik kesehatan atau apapun namanya, adalah untuk melindungi
kepentingan pasien disamping mengembangkan kualitas profesi bidan atau tenaga
kesehatan. Keserasian antara kepentingan pasien dan kepentingan tenaga
kesehatan, merupakan salah satu penunjang keberhasilan pembangunan sistem
kesehatan.
Pada awal abad ke-20 telah tumbuh bidang hukum yang bersifat khusus
(lex spesialis), salah satunya hukum kesehatan, yang berakar dari pelaksanaan hak
asasi manusia memperoleh kesehatan (the Right to health care). Masing-masing
pihak, yaitu yang memberi pelayanan (medical providers) dan yang menerima
pelayanan (medical receivers) mempunyai hak dan kewajiban yang harus
dihormati.
Agar dapat menanggulangi masalah secara proporsional dan mencegah apa
yang dinamakan malpraktek di bidang kebidanan, perlu adanya informed
consent (persetujuan penjelasan) dan informed choice (pilihan pasien).
Pandangan masyarakat atas hukum yang beragam telah menimbulkan
berbagai persepsi pula tentang hukum. Hukum dalam arti peraturan
perundangundangan yang dikenal oleh masyarakat sebagai undang-undang
umumnya diberi pengertian sebagai pengatur. Oleh karena itu aturan aturan di
bidang kesehatan dikenal sebagai hukum kesehatan, meskipun hukum kesehatan
mungkin lebih luas lagi cakupannya dari itu.
Dalam pandangan yang lebih luas sebagaimana dikatakan oleh cicero,
yaitu dimana setiap masyarakat disitu ada hukum (ibi societas ibi ius) telah
mengindikasikan bahwa setiap aktivitas masyarakat pasti ada hukumnya.
Demikian halnya dengan praktek penyelenggaraan kesehatan, yang tentunya pada
setiap kegiatannya memerlukan pranata hukum yang dapat menjamin
terselengaranya penyelenggaraan kesehatan. Pranata hukum yang mengatur
penyelenggaraan kesehatan adalah perangkat hukum kesehatan.

Adanya perangkat hukum kesehatan secara mendasar bertujuan untuk


menjamin kepastian hukum dan perlindungan yang menyeluruh baik bagi
penyelenggara kesehatan maupun masyarakat penerima pelayanan kesehatan.

Banyak permasalahan yang terjadi dalam praktik kebidanan yang sering kita
jumpai. Permasalahan yang terjadi semakin kompleks karena kurang
diterapkannya hukum, etika dan moral yang berlaku dalam ruang lingkup
kebidanan, masyarakat, bangsa dan Negara.
Hukum yang berkaitan erat dengan ketentuan-ketentuan peraturan yang
berlaku dan harus ditaati, jika melanggar akan mendapatkan sanksi sesuai dengan
berat dan ringannya perilaku hukum yang dilanggar. Hukum bersifat mengikat,
maka dari itu keterikatan tersebut membuat tingkat kesadaran untuk menaati
aturan sangatlah tinggi.
Etika merupakan ilmu tentang baik dan buruk serta tentang hak dan
kewajiban moral (akhlak). Dengan etika lebih mengajarkan bidan untuk berbuat
yang mengarah pada hukum dan norma yang berlaku untuk ditaati dan diterapkan
dalam memberikan pelayanan kebidanan kepada masyarakat.
Moral tidak jauh berbeda dengan etika namun moral mengajarkan nilai yang
sudah diakui secara umum. Hal ini berkaitan dengan  tindakan susila, budi pekerti
sikap, kewajiban dan lain-lain.
Dengan keterkatan antara hukum, etika dan moral, diharapkan permasalahan
yang terjadi dalam praktik kebidanan dapat diseleaikan dengan baik dengan tetap
memperhatikan sisi kenyamanan dan keamanan masyarakat.
1.2 Rumusan Masalah

a) Apa yang dimaksud informed consent dam informed choise?


b) Apa yang dimaksud dasar hukum / peraturan dan peraturan perundang-
undangan dalam prektek kebidanan ?
a. Apa pengertian hukum kesehatan ?
b. Apa fungsi hokum kesehatan?
c) Bagaimana otonomi dalam pelayanan kebidanan ?

1.3 Tujuan

Untuk mengetahui etika hokum dan kesehatan tentang

1. Informed consent dam informed choise.


2. Dasar hukum / peraturan dan peraturan perundang-undangan dalam
prektek kebidanan.
a. Pengertian hukum kesehatan.
b. Fungsi hukum kesehatan.
3. Otonomi dalam pelayanan kebidanan.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Informed Consent dan Informed Choise


A. Informed Consent
1) Pengaturan Informed Consent Di Indonesia
Dalam aspek hukum kesehatan, hubungan pasien sebagai pihak
yang menerima pelayanan kesehatan dengan dokter sebagai pihak yang
memberi pelayanan kesehatan mempunyai hak dan kewajiban yang
harus dihormati.Dalam ikatan demikian masalah yang sering ditemui
adalah masalah persetujuan tindakan kedokteran. Umumnya orang
awam menganggap formulir yang perlu ditandatangani sebelum
menjalani operasi hanyalah sebuah formalitas. Formulir tersebut
dinamakan informed consent.
Dalam menjalankan profesinya seorang dokter berpedoman pada
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
dimana pada Pasal 3 undang- undang tersebut dinyatakan bahwa:
“Pengaturan praktik kedokteran bertujuan untuk memberikan
perlindungan kepada pasien, mempertahankan dan meningkatkan mutu
pelayanan medis yang diberikan oleh dokter dan dokter gigi; dan
memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, dokter dan dokter
gigi. Hal tersebut dikarenakan adanya hubungan yang
terbentuk antara pasien dengan dokter atau tenaga kesehatan yang lain,
atau hubungan antara pasien dengan rumah sakit.
Pasal 56 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan yang berbunyi: "Setiap orang berhak menerima atau
menolak sebagian atau seluruh tindakan pertolongan
yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan memahami
informasi mengenai tindakan tersebut secara lengkap”.Di Indonesia,
informed consent dalam pelayanan kesehatan selain telah diatur pada
peraturan undang-undangan juga memperoleh pembenaran secara
yuridis melalui Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
585/Menkes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik yang
kemudian dicabut menjadi Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 290/Menkes/Per/III/2008 tentang Persetujuan
Tindakan Kedokteran (selanjutnya disebut Permenkes Pertindok).
2) Pengertian Informed Consent
Kata Informed Consent itu sendiri berasal dari bahasa latin yaitu
Consentio yang artinya persetujuan, izin, menyetujui, memberi izin/
wewenang kepada seseorang untuk melakukan sesuatu. “Informed”
berarti informasi yang telah diberikan (bahasa Inggris). “Consensio /
Consentio” (bahasa Latin) menjadi “consent” (bahasa Inggris) yang
berarti persetujuan, izin, menyetujui, memberi izin (persetujuan
wewenang) kepada seseorang untuk melakukan sesuatu (Guwandi, J.,
2003).
Secara harfiah Consent artinya persetujuan, atau lebih ‘tajam’ lagi,
“izin”. Jadi Informed consent adalah persetujuan atau izin oleh pasien
atau keluarga yang berhak kepada dokter untuk melakukan tindakan
medis pada pasien, seperti pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
lain-lain untuk menegakkan diagnosis, memberi obat, melakukan
suntikan, menolong bersalin, melakukan pembiusan, melakukan
pembedahan, melakukan tindak-lanjut jika terjadi kesulitan, dan
sebagainya. Selanjutnya kata Informed terkait dengan informasi atau
penjelasan. Dapat disimpulkan bahwa Informed Consent adalah
persetujuan atau izin oleh pasien (atau keluarga yang berhak) kepada
dokter untuk melakukan tindakan medis atas dirinya, setelah
kepadanya oleh dokter yang bersangkutan diberikan informasi atau
penjelasan yang lengkap tentang tindakan itu. Mendapat penjelasan
lengkap itu adalah salah satu hak pasien yang diakui oleh undang-
undang sehingga dengan kata lain Informed consent adalah
Persetujuan Setelah Penjelasan. Pendapat para ahli tentang definisi
Informed consent :
a. Guwandi, S.H, 2003
Informed consent merupakan suatu izin atau pernyataan
setuju dari pasien yang diberikan secara bebas, sadar dan
rasional, setelah ia mendapat informasi yang dipahaminya dari
dokter mengenai penyakitnya. Informed Refusal adalah suatu
bentuk pernyataan penolakan yang diberikan oleh pasien secara
bebas, sadar dan rasional setelah ia mendapatkan informasi
yang dipahaminya dari dokter mengenai penyakitnya, adapun
bentuk pernyataan itu tidak secara Implied (tersirat) melainkan
dalam bentuk tertulis.
b. C.S Kansil, 1991
Informed consent merupakan pernyataan kesediaan atau
pernyataan penolakan setelah mendapat informasi secukupnya
sehingga yang diberi informasi sudah cukup mengerti akan
segala akibat dari tindakan yang akan dilakukan terhadapnya
sebelum ia mengambil keputusan.
c. Pengertian informed consent disebut dengan istilah persetujuan
tindakan kedokteran itu sendiri terdapat pada Pasal 1 angka 1
peraturan tersebut yang berbunyi: “Persetujuan yang diberikan
oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat
penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau
kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien”.
3) Fungsi Dan Tujuan Informed Consent
Fungsi dari Informed Consent adalah (Guwandi, J., 2004):
1. Promosi dari hak otonomi perorangan;
2. Proteksi dari pasien dan subyek;
3. Mencegah terjadinya penipuan atau paksaan;
4. Menimbulkan rangsangan kepada profesi medis untuk mengadakan
introspeksi terhadap diri sendiri;
5. Promosi dari keputusan-keputusan rasional;
6. Keterlibatan masyarakat (dalam memajukan prinsip otonomi
sebagai suatu nilai sosial dan mengadakan pengawasan dalam
penyelidikan biomedik.
Informed Consent itu sendiri menurut jenis tindakan/
tujuannya dibagi tiga, yaitu (Ratna Suprapti Samil, 2001):
1. Yang bertujuan untuk penelitian (pasien diminta untuk menjadi
subyek
penelitian).
2. Yang bertujuan untuk mencari diagnosis.
3. Yang bertujuan untuk terapi.

Tujuan dari Informed Consent menurut J. Guwandi, 2005 adalah:


1. Melindungi pasien terhadap segala tindakan medis yang dilakukan
tanpa sepengetahuan pasien;
2. Memberikan perlindungan hukum kepada dokter terhadap akibat
yang tidak terduga dan bersifat negatif, misalnya terhadap risk of
treatment yang tak mungkin dihindarkan walaupun dokter sudah
mengusahakan semaksimal mungkin dan bertindak dengan sangat
hati-hati dan teliti.

Dalam keadaan gawat darurat Informed consent tetap


merupakan hal yang paling penting walaupun prioritasnya diakui
paling bawah. Prioritas yang paling utama adalahtindakan
menyelamatkan nyawa. Walaupun tetap penting, namun Informed
consent tidakboleh menjadi penghalang atau penghambat bagi
pelaksanaan emergency care sebab dalamkeadaan kritis dimana
dokter berpacu dengan maut, ia tidak mempunyai cukup waktu
untukmenjelaskan sampai pasien benar-benar menyadari kondisi
dan kebutuhannya sertamemberikan keputusannya. Dokter juga
tidak mempunyai banyak waktu untuk menunggukedatangan
keluarga pasien. Kalaupun keluarga pasien telah hadir dan
kemudian tidakmenyetujui tindakan dokter, maka berdasarkan
doctrine of necessity, dokter tetap harus melakukan tindakan
medik. Hal ini dijabarkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 290/Menkes/Per/III/2008 tentang
Persetujuan Tindakan Kedokteran, bahwa dalam keadaan
emergency tidak diperlukan Informed consent.

4) Komponen Informed Consent


Menurut Guwandi, Informed Consent paling tidak mengemukakan
4 komponen yang terkandung, antara lain :
1. Pasien harus mempunyai kemampuan (capacity or ability)
untuk mengambil keputusan;
2. Dokter harus memberi informasi mengenai tindakan yang
hendak dilakukan, pengetesan, atau prosedur, termasuk
didalamnya manfaat serta resiko yang mungkin terjadi;
3. Pasien harus memahami informasi yang diberikan;
4. Pasien harus secara sukarela memberikan izinnya tanpa ada
paksaan atau tekanan.
5) Bentuk Informed Consent
Ada 2 bentuk Persetujuan Tindakan Medis, yaitu (Amril Amri, 1997):
a. Implied Consent (dianggap diberikan)
Umumnya implied consent diberikan dalam keadaan
normal, artinya dokter dapat menangkap persetujuan tindakan
medis tersebut dari isyarat yang diberikan/dilakukan
pasien. Demikian pula pada kasus emergency sedangkan dokter
memerlukan tindakan segera sementara pasien dalam keadaan tidak
bisa memberikan persetujuan dan keluarganya tidak ada ditempat,
maka dokter dapat melakukan tindakan medik terbaik
menurut dokter.

b. Expressed Consent (dinyatakan)


Dapat dinyatakan secara lisan maupun tertulis. Dalam
tindakan medis yang bersifatinvasive dan mengandung resiko,
dokter sebaiknya mendapatkan persetujuan secara
tertulis, atau yang secara umum dikenal di rumah sakit sebagai
surat izin operasi.
6) Konsep persetujuan tindakan medis
Bentuk persetujuan tindakan medis pada umumnya telah disusun
sedemikian rupa sehingga pihak dokter dan rumah sakit tinggal
mengisi kolom yang disediakan untuk itu setelah menjelaskan kepada
pasien dan keluarga pasien. Sebelum ditandatangani, sebaiknya
surat tersebut dibaca sendiri atau dibacakan oleh yang hadir terlebih
dahulu. Pasien seharusnya diberikan waktu yang cukup untuk
menandatangani persetujuan dimaksud. Garis besar formulir informed
consent
1. Kop pernyataan persetujuan atau penolakan tindakan medis;
Setiap akan dilakukan tindakan medik, pasien/keluarga
yang berhak memberikan persetujuan selalu dilakukan Informed
Consent. Formulir informed consent yang adaberbentuk formulir
perjanjian baku yang telah ditetapkan oleh pihak fasyankes yang
terdiri dari 2 macam formulir, yaitu:
a. Formulir persetujuan tindakan medis; dan
b. Formulir penolakan tindakan medis.
Formulir ini digunakan setelah pihak pasien yang mempunyai
hak menandatangani persetujuan diberikan penjelasan secara
mendetail tentang diagnosis penyakit, tindakan yang akan
dilakukan, resiko yang mungkin terjadi serta prognosis setelah
dilakukan tindakan medik. Pihak Rumah Sakit dan tenaga medis
yang akan melakukan tindakan medis akan menghormati setiap
keputusan dari pihak pasien atau keluarga untuk menentukan
apakah setuju atau menolak untuk dilakukan tindakan medis.
Setelah dilakukan kesepakatan, pasien/keluarga akan
disodorkan formulir sesuai kesepakatan yaitu formulir penolakan
atau formulir persetujuan tindakan medis.
Identitas pihak pasien yang menandatangani persetujuan
tindakan medis yang terdiri dari nama, umur/jenis kelamin, alamat
serta bukti diri (KTP/SIM). Identitas pihak yang melakukan
penandatanganan persetujuan tindakan medis harus lengkap,
mengingat apabila terjadi sengketa dibelakang hari maka jelas
siapa yang bertanggungjawab terhadap persetujuan atau penolakan
tindakan medis tersebut.
2. Pernyataan yang menerangkan bahwa pihak pasien telah mengerti
dan memahami penjelasan yang diberikan oleh dokter; yang terdiri
dari:
a. Diagnosis;
b. tujuan dan prospek keberhasilan tindakan medis yang akan
dilakukan (purpose of medical procedure);
c. tata cara tindakan medis yang akan dilakukan (contemplated
medical procedure;
d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi (risk inherent in
such medical procedure);
e. alternatif tindakan medis yang tersedia dengan resikonya
masing-masing (alternative medical procedure in risk);
f. prognosis penyakit bila tindakan medis tersebut dilakukan
(prognoses with and without medical procedure).
3. Status penandatangan persetujuan tindakan medis; yaitu pasien
sendiri, istri, suami, anak, ayah / ibu.
Pihak pasien yang berhak memberikan penandatanganan
persetujuan atau penolakan tindakan medis dapat diberikan oleh
pasien atau keluarga sebagaimana diatur dalam
Penjelasan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran pasal 45 ayat (1). Pihak pasien yang berhak
menandatangani persetujuan medis tersebut terdiri dari:
pasien sendiri, istri, suami, anak kandung, ayah/ ibu kandung,
ataupun saudara-saudara kandung.
4. Identitas dari pasien yang akan dilakukan tindakan medis, Identitas
pasien terdiri dari nama, umur/ jenis kelamin, alamat, bukti diri
(KTP/SIM),tempat dirawat yaitu ruang atau bangsal, kelas dan
nomor rekam medis. Penulisan identitas pasien secara lengkap
termasuk didalamnya tempat dirawat, nomor rekam medis menjadi
prasyarat mutlak persetujuan tindakan medik. Hal ini untuk
menghindari kesalahan yang mungkin dapat terjadi apabila
identitas pasien tidak ditulis dengan lengkap. Beberapa kasus
kesalahan tindakan medis terjadi akibat tidak mendetailnya
identitas pasien yang bersangkutan, sehingga tindakan medis
dilakukan terhadap pasien yang berbeda. Hal ini dapat berakibat
fatal.
5. Keterangan yang menyatakan bahwa pihak penandatangan
persetujuan tindakan medis atau informed consent dibuat dengan
kesadaran penuh dan tidak dibawah paksaan. Sudah menjadi syarat
mutlak bahwa adanya keputusan penolakan atau persetujuan
terhadap tindakan medis dilakukan dengan sukarela dan tidak
dibawah paksaan. Hal ini berdasarkan KUHPerdata Pasal 1321
bahwa “Tiada sepakat yang sah apabila kesepakatan itu
diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”.Pihak Rumah Sakit
atau dokter berfungsi sebagai pelayan kesehatan sesuai tugas
dankewajibannya. Dokter akan mengusahakan segala tindakan
berdasarkan keilmuan dan etikakedokteran yang berlaku. Dokter
akan berusaha menjelaskan secara mendetail rencanatindakan
medis yang akan dikerjakan dan besarnya manfaat bagi pasien,
tetapi pengambilkeputusan apakah suatu tindakan medis akan
dilakukan atau tidak kepada pasienmerupakan hak penuh dari
pihak pasien atau keluarganya. Sehingga segala keputusantersebut
merupakan kesepakatan antara dokter dengan pihak pasien
dilakukan dalamkeadaan sukarela dan tanpa paksaan. Apabila
kaidah tersebut dilanggar maka batallahInformed Consent yang
sudah dilakukan.
6. Nama terang dan tanda tangan dokter yang memberikan penjelasan
informed consent. Nama terang dan tandatangan dokter yang
memberikan penjelasan Informed Consent sangat penting karena
apabila terjadi sengketa terhadap pihak pasien nantinya akan
dengan mudah memberikan konfirmasi kasus tersebut. Sebaiknya
dalam penulisan nama terang dokter dicantumkan dalam formulir
Informed Consent secara jelas dan lengkap sehingga tidak terjadi
kesulitan apabila dibutuhkan konfirmasi.
7. Nama terang dan tanda tangan pihak pasien yang melakukan
persetujuan tindakan medis. Nama terang dan tandatangan pihak
pasien yang melakukan persetujuan tindakan medis sangat penting
karena apabila terjadi sengketa nantinya akan dengan mudah
memberikan konfirmasi kasus tersebut. Nama lengkap sebaiknya
dicantumkan secara jelaspada formulir Informed Consent. Pihak
yang memberikan tandatangan pada formulir Informed Consent
adalah pihak yang berdasarkan penjelasan Undang-Undang Nomor
29 Tahun 2004 Pasal 45 ayat (3) berhak memberikan persetujuan
tindakan medis.
7) Penjelasan Tentang Informed Consent
Hakikat Informed consent mengandung 2 (dua) unsur esensial
yaitu :
1. Informasi yang diberikan oleh dokter;
2. Persetujuan yang diberikan oleh pasien.
Sehingga persetujuan yang diberikan oleh pasien memerlukan
beberapa masukan sebagai berikut :
1. Penjelasan lengkap mengenai prosedur yang akan digunakan
dalam tindakan medis tertentu (masih berupa upaya
percobaan).
2. Deskripsi tentang efek-efek sampingan serta akibat-akibat yang
tidak diinginkan yang mungkin timbul.
3. Deskripsi tentang keuntungan-keuntungan yang dapat
diantisipasi untuk pasien.
4. Penjelasan tentang perkiraan lamanya prosedur / terapi /
tindakan berlangsung.
5. Deskripsi tentang hak pasien untuk menarik kembali consent
tanpa adanya prasangka mengenai hubungannya dengan dokter
dan lembaganya.
6. Prognosis tentang kondisi medis pasien bila ia menolak
tindakan medis tersebut.
Informasi yang harus diberikan oleh dokter dengan lengkap kepada
pasien menurut Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran, Pasal 45, ayat (3)sekurang-kurangnya mencakup:
1. Diagnosis dan tata cara tindakan medis
2. Tujuan tindakan medis yang dilakukan
3. Alternatif tindakan lain dan risikonya;
4. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
5. Prognosis (kemungkinan hasil perawatan) terhadap tindakan yang
dilakukan.
Sebaiknya, diberikan juga penjelasan yang berkaitan dengan
pembiayaan. Penjelasan seharusnya diberikan oleh dokter yang akan
melakukan tindakan medis itu sendiri, bukanoleh orang lain, misalnya
perawat. Penjelasan diberikan dengan bahasa dan kata-kata yangdapat
dipahami oleh pasien sesuai dengan tingkat pendidikan dan
‘kematangannya’, sertasituasi emosionalnya. Dokter harus berusaha
mengecek apakah penjelasannyamemangdipahami dan diterima pasien.
Jika belum, dokter harus mengulangi lagi uraiannya sampaipasien
memahami benar. Dokter tidak boleh berusaha mempengaruhi atau
mengarahkanpasien untuk menerima dan menyetujui tindakan medis yang
sebenarnya diinginkan dokter.
Pada hakikatnya Informed Consent adalah suatu proses komunikasi
antara dokter dan pasien tentang kesepakatan tindakan medis yang akan
dilakukan dokter terhadap pasien (ada kegiatan penjelasan rinci oleh
dokter), sehingga kesepakatan lisan pun sesungguhnya sudah cukup.
Penandatanganan formulir Informed Consent secara tertulis hanya
merupakan pengukuhan atas apa yang telah disepakati sebelumnya. Tujuan
penjelasan yang lengkap adalah agar pasien menentukan sendiri
keputusannya sesuai dengan pilihan dia sendiri (informed decision).
Karena itu, pasien juga berhak untuk menolak tindakan medis yang
dianjurkan. Pasien juga berhak untuk meminta pendapat dokter lain
(second opinion), dan dokter yang merawatnya.
Yang berhak memberikan persetujuan atau menyatakan menolak
tindakan medis pada dasarnya, pasien sendiri jika ia dewasa dan sadar
sepenuhnya. Namun, menurut Penjelasan Pasal 45 Undang-Undang
Nomor 29 Tahun 2004 tersebut di atas, apabila pasien sendiri berada di
bawah pengampuan, persetujuan atau penolakan tindakan medis dapat
diberikanoleh keluarga terdekat, antara lain suami/isteri, ayah/ibu
kandung, anak-anak kandung atausaudara-saudara kandung. Dalam
keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasientidak diperlukan
persetujuan. Namun, setelah pasien sadar atau dalam kondisi yang
sudahmemungkinkan, segera diberikan penjelasan dan dibuat persetujuan.
Informed consent dapat diberikan secara tertulis, secara lisan, atau
secara isyarat. Dalam bahasa aslinya, yang terakhir ini dinamakan implied
consent. Untuk tindakan medis dengan risiko tinggi (misalnya
pembedahan atau tindakan invasive lainnya), persetujuanharus secara
tertulis, ditandatangani oleh pasien sendiri atau
Informed Consent adalah suatu persetujuan mengenai akan
dilakukannya tindakan kedokteran oleh dokter terhadap pasiennya.
Persetujuan ini bisa dalam bentuk lisan maupuntertulis. Pada
hakikatnya Informed Consent adalah suatu proses komunikasi antara
dokterdan pasien tentang kesepakatan tindakan medis yang akan
dilakukan dokter terhadap pasien(ada kegiatan penjelasan rinci oleh
dokter), sehingga kesepakatan lisan pun sesungguhnyasudah cukup.
Penandatanganan formulir Informed Consent secara tertulis hanya
merupakanpengukuhan atas apa yang telah disepakati sebelumnya.
Formulir ini juga merupakan suatutanda bukti yang akan disimpan di
dalam arsip rekam medis pasien yang bisa dijadikansebagai alat bukti
bahwa telah terjadi kontrak terapeutik antara dokter dengan pasien.
Pembuktian tentang adanya kontrak terapeutik dapat dilakukan pasien
dengan mengajukan arsip rekam medis atau dengan persetujuan
tindakan medis (informed consent) yang diberikan oleh pasien. Bahkan
dalam kontrak terapeutik adanya kartu berobat atau dengan kedatangan
pasien menemui dokter untuk meminta pertolongannya, dapat
dianggap telah terjadi perjanjian terapeutik.
Persetujuan tertulis dalam suatu tindakan medis dibutuhkan saat :
1. Bila tindakan terapeutik bersifat kompleks atau menyangkut resiko
atau efek samping yang bermakna.
2. Bila tindakan kedokteran tersebut bukan dalam rangka terapi.
3. Bila tindakan kedokteran tersebut memiliki dampak yang
bermakna bagi
kedudukan kepegawaian atau kehidupan pribadi dan sosial pasien.
4. Bila tindakan yang dilakukan adalah bagian dari suatu penelitian.

2. Informed Choice
1) Pengertian Informed Choice
Informed Choice berarti membuat pilihan setelah mendapatkan
penjelasan tentang alternatif asuhan yang akan dialaminya, pilihan
(choice) harus dibedakan dari persetujuan (concent). Persetujuan penting
dari sudut pandang bidan, karena itu berkaitan dengan aspek hukum yang
memberikan otoritas untuk semua prosedur yang dilakukan oleh bidan.
Sedangkan pilihan (choice) lebih penting dari sudut pandang wanita
(pasien) sebagai konsumen penerima jasa asuhan kebidanan.
2) Tujuan Informed Choice
Tujuannya adalah untuk mendorong wanita memilih asuhannya.
Peran bidan tidak hanya membuat asuhan dalam manajemen asuhan
kebidanan tetapi juga menjamin bahwa hak wanita untuk memilih asuhan
dan keinginannya terpenuhi. Hal ini sejalan dengan kode etik internasional
bidan yang dinyatakan oleh ICM 1993, bahwa bidan harus menghormati
hak wanita setelah mendapatkan penjelasan dan mendorong wanita untuk
menerima tanggung jawab untuk hasil dari pilihannya.
3) Rekomendasi
1. Bidan harus terusmeningkatkan pengetahuan dan keterampilannya
dalam berbagai aspek agar dapat membuat keputusan klinis dan secara
teoritis agar dapat memberikan pelayanan yang aman dan dapat
memuaskan kliennya.
2. Bidan wajib memberikan informasi secara rinci dan jujur dalam bentuk
yang dapat dimengerti oleh wanita dengan menggunakan media
laternatif dan penerjemah, kalau perlu dalam bentuk tatap muka secara
langsung.
3. Bidan dan petugas kesehatan lainnya perlu belajar untuk membantu
wanita melatih diri dalam menggunakan haknya dan menerima
tanggung jawab untuk keputusan yang mereka ambil sendiri.
4. Dengan berfokus pada asuhan yang berpusat pada wanita dan
berdasarkan fakta, diharapkan bahwa konflik dapat ditekan serendah
mungkin.
5. Tidak perlu takut akan konflik tapi menganggapnya sebagai suatu
kesempatan untuk saling memberi dan mungkin suatu penilaian ulang
yang objektif, bermitra dengan wanita dari sistem asuhan dan suatu
tekanan positif.
4) Bentuk Pilihan (Choice) Pada Asuhan Kebidanan
Ada beberapa jenis pelayanan kebidanan yang dapat dipilih oleh pasien
antara lain :
1. Gaya, bentuk pemeriksaan antenatal dan pemeriksaan
laboratorium/screaning antenatal.
2. Tempat bersalin (rumah, polindes, RB, RSB, atau RS) dan kelas
perawatan di RS.
3. Masuk kamar bersalin pada tahap awal persalinan.
4. Pendampingan waktu bersalin.
5. Clisma dan cukur daerah pubis.
6. Metode monitor denyut jantung janin.
7. Percepatan persalinan.
8. Diet selama proses persalinan.
9. Mobilisasi selama proses persalinan..
10. Pemakaian obat pengurang rasa sakit.
11. Pemecahan ketuban secara rutin.
12. Posisi ketika bersalin.
13. Episiotomi.
14. Penolong persalinan.
15. Keterlibatan suami waktu bersalin, misalnya pemotongan tali pusat.
16. Cara memberikan minuman bayi.
17. Metode pengontrolan kesuburan.

5) Perbedaan Pilihan (Choice) Dengan Persetujuan (Consent)


a. Persetujuan atau consent penting dari sudut pandang bidan, karena
berkaitan dengan aspek hukum yang memberikan otoritas untuk semua
prosedur yang akan dilakukan bidan.
b. Pilihan atau choice penting dari sudut pandang klien sebagai penerima
jasa asuhan kebidanan, yang memberikan gambaran pemahaman
masalah yang sesungguhnya dan merupakan aspek otonomi pribadi
menentukan pilihannya sendiri.
c. Choice berarti ada alternatif lain, ada lebih dari satu pilihan dan klien
mengerti perbedaannya sehinggga dia dapat menentukan mana yang
disukai atau sesuai dengan kebutuhannya.      

2.2 Dasar Hukum/ Peraturan Dan Perundang-Undangan Dalam Praktek


Kebidanan
a. Pengertian Hukum Kesehatan
Dalam pengertian hukum kesehatan yang dibahas secara terperinci,
diungkapkan oleh beberapa ahli yang dapat dipahami, sebagai berikut:

1. Van Der Mijn mengungkapakan bahwa hukum kesehatan


diratikan sebagai hukum yang berhubungan langsung dengan
pemeliharaan kesehatan, meliputi: penerapan perangkat hukum
perdata, pidana dan tata usaha negara.
2. Leenen berpendapat bahwa hukum kesehatan sebagai
keseluruhan aktivitas yuridis dan peraturan hukum di bidang
kesehatan serta studi ilmiahnya.

Dari pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum


kesehatan merupakan seperangkat kaidah yang mengatur secara khusus
segala aspek yang berkaitan dengan upaya dan pemeliharaan di bidang
kesehatan.

b. Fungsi Hukum Kesehatan


1. Menjaga ketertiban di dalam masyarakat. Meskipun hanya mengatur
tata kehidupan di dalam sub sektor yang kecil tetapi keberadaannya
dapat memberi sumbangan yang besar bagi ketertiban masyarakat
secara keseluruhan.
2. Menyelesaikan sengketa yang timbul di dalam masyarakat
(khususnya di bidang kesehatan). Benturan antara kepentingan
individu dengan kepentingan masyarakat.

3. Merekayasa masyarakat (social engineering). Jika masyarakat


menghalang-halangi dokter untuk melakukan pertolongan terhadap
penjahat yang luka-luka karena tembakan, maka tindakan tersebut
sebenarnya keliru dan perlu diluruskan.

Contoh lain: mengenai pandangan masyarakat yang menganggap


doktrer sebagai dewa yang tidak dapat berbuat salah. Pandangan ini juga
salah, mengingat dokter adalah manusia biasa yang dapat melakukan
kesalahan di dalam menjalankan profesinya, sehingga ia perlu dihukum
jika perbuatannya memang pantas untuk dihukum.

Keberadaan Hukum Kesehatan di sini tidak saja perlu untuk


meluruskan sikap dan pandangan masyarakat, tetapi juga sikap dan
pandangan kelompok dokter yang sering merasa tidak senang jika
berhadapan dengan proses peradilan.

Sedangkan Menurut bredemeier Fungsi Hukum Kesehatan yaitu


menertibkan pemecahan konflik -konflik misalnya kelalaian
penyelenggaraan pelayanan bersumber dari kelalaian tenaga kesehatan
dalam menjalankan tugasnya

2.3  Otonomi Bidan Dalam Pelayanan Kebidanan


Otonomi kebidanan adalah kekuasaan untuk mengatur persalinan peran dan
fungsi bidan sesuai dengan kewenangan dan kompetensi yang dimiliki
seorang bidan (suatu bentuk mandiri dalam memberikan pelayanan).
a. Otonomi bidan dalam pelayanan kebidanan
Profesi yang berhubungan dengan keselamatan jiwa manusia, adalah
pertanggungjawaban dan tanggung gugat (accountability) atas semua
tindakan yang dilakukannya. Sehingga semua tindakan yang dilakukan
oleh bidan harus berbasis kompetensi dan didasari suatu evidence
based. Accountability diperkuat dengan satu landasan hukum yang
mengatur batas-batas wewenang profesi yang bersangkutan. Dengan
adanya legitimasi kewenangan bidan yang lebih luas, bidan memiliki
hak otonomi dan mandiri untuk bertindak secara profesional yang
dilandasi kemampuan berfikir logis dan sistematis serta bertindak sesuai
standar profesi dan etika profesi.
Praktik kebidanan merupakan inti dan berbagai kegiatan bidan
dalam  penyelenggaraan upaya kesehatan yang harus terus menerus di
tingkatkan mutunya melalui:
1. Pendidikan dan pelatihan berkelanjutan.
2. Penelitian dalam bidang kebidanan.
3. Pengembangan ilmu dan tekhnologi dalam kebidanan.
4. Akreditasi.
5. Sertifikasi.
6. Registrasi.
7. Uji Kompetensi.
8. Lisensi. 
Beberapadasar dalam otonomi dana spek legal yang mendasari
dan terkait  dengan pelayanan kebidanan antara lain sebagai berikut:
1. Kepmenkes Republik Indonesia 900/Menkcs/SK/VII/2002 Tentang
registrasi dan praktik bidan.
2. Standar Pelayanan Kebidanan, 2001.
3. Kepmenkes Republik Indonesia Nomor 369/Menkes/SK/III/ 2007
Tentang Standar Profesi Bidan.
4. UU Kesehatan No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
5. PP No 32/Tahun 1996 Tentang tenaga kesehatan.
6. Kepmenkes Republik Indonesia 1277/Menkes/SK/XI/2001 Tentang
organisasi dan tata kerja Depkes.
7. UU No 22/ 1999 Tentang Otonomi daerah.
2. UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
3. UU tentang aborsi, adopsi, bayi tabung, dan transplantasi.
4. KUHAP, dan KUHP, 1981.
5. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 585/
Menkes/ Per/ IX/ 1989 Tentang Persetujuan Tindakan Medik.
6. UU yang terkait dengan Hak reproduksi dan Keluarga Berencana:
a. UU No.10/1992 Tentang pengembangan Kependudukan dan
Pembangunan Keluarga Sejahtera.
b. UU No.23/2003 Tentang Penghapusan Kekerasan Terhadap
Perempuan di Dalam Rumah Tangga.
b. Tujuan Otonomi Dalam Pelayanan Kebidanan
Supaya bidan mengetahui kewajiban otonomi dan mandiri yang
sesuaidengan   kewenangan yang di dasari oleh undang-undang
kesehatan yang berlaku. Selain itu tujuan dari otonomi pelayanan
kebidanan ini meliputi :
1. Untuk mengkaji kebutuhan dan masalah kesehatan. Misalnya
mengumpulkan data-data dan mengidentifikasi masalah pasien pada
kasus tertentu.
2. Untuk menyusun rencana asuhan kebidanan. Merencanakan asuhan
yang akan diberikan pada pasien sesuai dengan kebutuhan yang
diperlukan oleh pasien tersebut.
3. Untuk mengetahui perkembangan kebidanan melalui penelitian.
4. Berperan sebagai anggota tim kesehatan. Misalnya membangun
komunikasi yang baik antar tenaga kesehatan, dan  menerapkan
keterampilan manajemen
c. Bentuk-Bentuk Otonomi Dalam Pelayanan Kebidanan
1. Untuk melaksanakan dokumentasi kebidanan. Mengevaluasi hasil
tindakan yang telah dilakukan, mengidentifikasi perubahan  yang
terjadi dan melakukan pendokumentasian.
2. Untuk mengelola perawatan pasien sesuai dengan lingkup
tanggung jawabnya. Membangun komunikasi yang efektif dengan
pasien dan melakukan asuhan terhadap pasien.
Bentuk-Bentuk Otonomi Bidan Dalam Praktek Kebidanan:
a) Mengkaji kebutuhan dan masalah kesehatan
b) Menyusun rencana asuhan kebidanan
b) Melaksanakan asuhan kebidanan
c) Melaksanakan dokumentasi kebidanan
d) Mengelola keperawatan pasien dengan lingkup tanggung
jawab
d. Persyaratan Dalam Otonomi Kebidanan
Suatu ketentuan untuk melaksanakan praktek kebidanan dalam
memberikan asuhan pelayanan kebidanan sesuai dengan bentuk-bentuk
otonomi bidan dalam praktek kebidanan. Syarat-syarat dari otonomi
pelayanan kebidanan meliputi :
1) Administrasi Seorang bidan dalam melakukan praktek kebidanan,
hendaknya memiliki sarana dan prasarana yang melengkapi
pelayanan yang memiliki standard dan sesuai dengan fasilitas
kebidanan. 
2) Dapat diobservasi dan diukur Mutu layanan kesehatan akan diukur
berdasarkan perbandingannya terhadap standar pelayanan
kesehatan yang telah disepakati dan ditetapkan sebelum
pengukuran mutu dilakukan
3) Realistic Kinerja layanan kesehatan yang diperoleh dengan nyata
akan diukur terhadap criteria mutu yang ditentukan, untuk melihat
standar pelayanan kesehatan apakah tercapai atau tidak.
4) Mudah dilakukan dan dibutuhkan.
e. Kegunaan Otonomi Dalam Pelayanan Kebidanan
Otonomi pelayanan kesehatan meliputi pembangunan kesehatan,
meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat dalam
upaya promotif, preventif, kuratif, rehabilitative untuk meningkatkan
sumber daya manusia yang berkualitas.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Jadi, dalam kehidupan bermasyarakat dan dalam memberikan
pelayanan kebidanan, hukum, etika dan moral sangat diperlukan
karena untuk menyeimbangkan antara hak. Kewajiban, dan tanggung
jawab masing-masing serta menjadi pedoman dalam mengambil
keputusan dan berprilaku.
Hukum kesehatan yang terkait dengan etika profesi dan pelanyanan
kebidanan. Ada keterkaitan atau daerah bersinggunan antara
pelanyanan kebidanan, etika dan hokum atau terdapat “grey area”.
Sebagaimana di ketahui bahwa bidan merupakan salah satu tenaga
kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan. Sebelum
menginjak kehal – hal yang lebih jauh, kita perlu memahami beberapa
konsep dasar dibawah ini :
Bidan adalah seorang yang telah menyelesaikan Program
Pendidikan Bidan yang diakui Negara serta memperoleh kualifikasi
dan diberi izin untuk menjalankan praktek kebidanan di Negara itu.
Dia harus mampu memberikan supervise, asuhan dan memberikan
nasehat yang dibutuhkan kepada wanita selama masa hamil ,
persalinan dan masa pasca persalinan, memimpin persalianan atas
tanggung jawab sendiri serta asuhan pada bayi baru lahir dan anak.
DAFTAR PUSTAKA

Amril Amri, 1997, Bunga Rampai Hukum Kesehatan, Widya Medika, Jakarta.

C.S.Kansil, 1991, Pengantar hukum Kesehatan Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta.

Jenie, Siti Ismijati, 1994, Berbagai Aspek Keperdataan di Dalam Hukum


Kesehatan, Fakultas

M. Jusuf Hanafiah & Amri Amir, Etika Kedoteran dan Hukum Kesehatan, 1999,
EGC, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai