Anda di halaman 1dari 18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Kulit

Kulit merupakan barier protektif yang memiliki fungsi vital seperti

perlindungan terhadap kondisi luar lingkungan baik dari pengaruh fisik maupun

pengaruh kimia, serta mencegah kelebihan kehilangan air dari tubuh dan berperan

sebagai termoregulasi. Kulit bersifat lentur dan elastis yang menutupi seluruh

permukaan tubuh dan merupakan 15% dari total berat badan orang dewasa (Paul

et al., 2011). Fungsi proteksi kulit adalah melindungi tubuh dari kehilangan cairan

elektrolit, trauma mekanik dan radiasi ultraviolet, sebagai barier dari invasi

mikroorganisme patogen, merespon rangsangan sentuhan, rasa sakit dan panas

karena terdapat banyak ujung saraf, tempat penyimpanan nutrisi dan air yang

dapat digunakan apabila terjadi penurunan volume darah dan tempat terjadinya

metabolisme vitamin D (Richardson, 2003; Perdanakusuma, 2007).

Kulit terdiri dari dua lapisan yang berbeda, lapisan luar adalah epidermis

yang merupakan lapisan epitel dan lapisan dalam yaitu dermis yang merupakan

suatu lapisan jaringan ikat.

a. Epidermis

Epidermis merupakan lapisan terluar kulit yang terdiri dari epitel berlapis

bertanduk, mengandung sel malonosit, Langerhans dan merkel. Tebal epidermis

berbeda-beda pada berbagai tempat di tubuh, paling tebal terdapat pada telapak

5
6

tangan dan kaki. Ketebalan epidermis hanya sekitar 5% dari seluruh ketebalan

kulit.

Epidermis terdiri atas lima lapisan (dari lapisan yang paling atas sampai

yang terdalam) yaitu stratum korneum, stratum lusidum, stratum granulosum,

stratum spinosum dan stratum basale (stratum Germinatum) (Perdanakusuma,

2007).

b. Dermis

Dermis tersusun oleh sel-sel dalam berbagai bentuk dan keadaan, dermis

terutama terdiri dari serabut kolagen dan elastin. Serabut-serabut kolagen menebal

dan sintesa kolagen akan berkurang seiring dengan bertambahnya usia. Sedangkan

serabut elastin terus meningkat dan menebal, kandungan elastin kulit manusia

meningkat kira-kira 5 kali dari fetus sampai dewasa. Pada usia lanjut kolagen akan

saling bersilang dalam jumlah yang besar dan serabut elastin akan berkurang

mengakibatkan kulit terjadi kehilangan kelenturanannya dan tampak berkeriput

(Perdanakusuma, 2007).

Di dalam dermis terdapat folikel rambut, papilla rambut, kelenjar keringat,

saluran keringat, kelenjar sebasea, otot penegak rambut, ujung pembuluh darah

dan ujung saraf dan sebagian serabut lemak yang terdapat pada lapisan lemak

bawah kulit (Tranggono dan Latifah, 2007).

c. Lapisan Subkutan

Lapisan subkutan merupakan lapisan dibawah dermis yang terdiri dari

lapisan lemak. Lapisan ini terdapat jaringan ikat yang menghubungkan kulit

secara longgar dengan jaringan di bawahnya. Jumlah dan ukurannya berbeda-beda


7

menurut daerah tubuh dan keadaan nutrisi individu. Berfungsi menunjang suplai

darah ke dermis untuk regenerasi (Perdanakusuma, 2007).

Gambar 2.1 Struktur Kulit Manusia (Perdanakusuma, 2007)

2.2 Luka Bakar

Luka bakar didefinisikan sebagai cedera pada kulit atau jaringan yang

disebabkan oleh trauma akut termal atau lainnya. Luka bakar terjadi ketika

sebagian atau semua sel di kulit atau jaringan rusak akibat kontak dengan cairan

panas, padatan panas atau api. Luka bakar juga dapat disebabkan oleh radiasi,

radioaktif, listrik gesekan atau kontak dengan bahan kimia (Kagan et al., 2009).

Manifestasi klinis dari luka bakar yaitu takikardia, tekanan darah menurun,

ekstrimitas dingin, perfusi buruk, perubahan tingkat kesadaran, dehidrasi dan

peningkatan frekuensi nafas. Keparahan luka bakar dapat dikaji dengan

menentukan kedalaman cedera luka bakar, persentase area permukaan tubuh yang

terpapar dan keterlibatan bagian khusus (Betz and Sowden, 2009).

Luka bakar terjadi karena kulit mengalami cedera. Cedera ini disebabkan

oleh adanya paparan terhadap kulit. Paparan tersebut dapat bersumber dari panas,
8

suhu dingin yang ekstrim, senyawa kimia dan sengatan listrik (Kagan et al.,

2009).

2.2.1 Klasifikasi Luka Bakar

Luka bakar diklasifikasikan menurut tingkat keparahan luka dan kondisi

pasien. Menurut Kagan dkk. (2009) klasifikasi luka bakar dibagi menjadi tiga

yaitu luka bakar derajat I, luka bakar derajat II (partial-thickness burn), dan luka

bakar derajat III (full-thickness burn).

a. Luka bakar derajat I

Luka bakar derajat I ini hanya terjadi pada lapisan epidermis kulit,

diakibatkan oleh paparan ultraviolet atau sinar matahari yang cukup lama.

Karakteristik dari luka bakar ini adalah adanya rasa nyeri kemerahan yang

menyakitkan tetapi tidak mengakibatkan lecet pada kulit dan umumnya sembuh

dalam 2-3 hari tanpa meninggalkan bekas luka (Kagan et al., 2009).

b. Luka bakar derajat II (partial-thickness burn)

Luka bakar ini terjadi pada seluruh jaringan epidermis dan sebagian lapisan

dermis yang disertai dengan reaksi inflamasi akut. Luka bakar derajat II

dibedakan menjadi dua yaitu superfisial (derajat II dangkal) dan deep (derajat II

dalam). Luka bakar derajat II dangkal mengenai bagian superfisial dari dermis,

dengan apendis kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat dan kelenjar sebasea

yang masih utuh. Penyembuhan luka superfisial terjadi secara spontan dalam

waktu 10-14 hari. Sedangkan luka bakar derajat II dalam, terjadi kerusakan

mengenai hampir seluruh bagian dermis. Apendises kulit seperti folikel rambut,

kelenjar keringat, kelenjar sebasea sebagian masih utuh. Proses penyembuhan


9

berlangsung lebih lama dari luka bakar derajat II dangkal, tergantung pada

apendises kulit yang tersisa. Biasanya proses penyembuhan berlangsung lebih dari

satu bulan (Moenadjat, 2003).

c. Luka bakar derajat III (full-thickness burn)

Luka bakar derajat III apabila terjadi kerusakan pada seluruh lapisan

epidermis dan dermis. Kerusakan juga tejadi pada komponen-komponen

pelengkap kulit, sehingga tidak terdapat sel epitel skuamosa di daerah luka untuk

memungkinkan terjadinya epitelisasi luka. Ciri-ciri luka bakar derajat III ditandai

dengan kulit kering berwarna putih kehitaman dan adanya trombosis vena, tidak

dijumpai rasa nyeri, bahkan hilang sensasi karena ujung-ujung serabut saraf

sensorik mengalami kerusakan atau bahkan kematian. Penyembuhan relatif lama

akibat tidak terjadinya proses epitelisasi spontan baik dari dasar luka, tepi luka

maupun apendises kulit (Moenadjat, 2003; Schwartz, 2000).

Gambar 2.2 Derajat Luka Bakar (Kagan et al., 2009)


10

2.2.2 Terapi Topikal Antiluka Bakar

Mikroorganisme berkembang biak dengan cepat pada pasien penderita luka

bakar, akibat dari terganggunya fungsi barrier dari kulit. Penggunaan agen

antimikroba topikal memiliki peranan penting untuk mengatasi masalah ini.

Penggunaan antibiotik topikal dapat menunda interval terjadinya kolonisasi

mikroba pada luka dan dapat mempertahankan tingkat flora normal pada area

luka. Umumnya antibiotik topikal yang biasanya digunakan untuk terapi luka

bakar ada tiga, yaitu silver sulfadiazine, mefenid dan silver nitrat.

Pengobatan topikal dengan krim silver sulfadiazine dilaporkan dapat

menghambat peran fibroblas dalam proses penutupan luka dan dapat

menyebabkan leukopenia selama lima minggu pertama setelah terjadinya luka

bakar (Sterling et al., 2010; Thomas et al., 2009).

Mefenid memiliki aktivitas antimikroba yang baik terhadap bakteri gram

negatif, tetapi tidak aktif terhadap staphylococcus. Mefenid efektif dalam

menggobati dan mencegah terjadi infeksi pada luka bakar lebih baik dari pada

silver sulfadiazine karena mefenid dapat menembus eschar lebih baik dari pada

silver sulfadiazine. Namun penggunaan mefenid yang berkepanjangan dapat

mengakibatkan asidosis metabolik karena mefenid merupakan inhibitor kuat

karbonat anhidrat (Sterling et al., 2010).

Perak nitrat biasanya dioleskan sebagai larutan 0,5% yang digabung dengan

pembalut, dan dipasang diatas luka bakar. Balutan dijaga agar tetap basah untuk

menghindari penguapan air dari larutan yang dapat menyebabkan kenaikan

konsentrasi yang mungkin dapat bersifat toksik. Perak nitrat memiliki aktivitas
11

antibakteri spektrum luas dan tidak menimbulkan nyeri pada pasien serta tidak

bersifat alergenitas. Larutan ini tidak menembus eschar, sehingga hanya dapat

digunakan pada luka awal yang bersih. Keterbatasan penggunaan larutan ini yaitu

dapat merubah warna kulit normal dan bahan apapun yang kontak serta memiliki

harga yang cukup mahal (Sabiston, 1995).

2.2.3 Fase Penyembuhan Luka

Tubuh memiliki kemampuan untuk mengganti jaringan yang hilang,

memperbaiki struktur, kekuatan dan fungsinya sebagai respon terhadap terjadinya

kerusakan jaringan termasuk terjadinya luka. Proses fisiologis penyembuhan luka

terbagi menjadi beberapa fase yaitu:

a. Fase inflamasi

Fase inflamasi berlangsung sejak terjadinya luka sampai hari ketiga.

Pembuluh darah yang terputus menyebabkan pendarahan dan tubuh akan berusaha

menghentikannya dengan vasikontriksi yang menyebabkan pengkerutan

pembuluh darah yang terputus dan terjadi reaksi hemostatis. Hemostatis terjadi

karena trombosit yang keluar dari pembuluh darah saling melekat dan bersama

dengan jala fibrin mengakibatkan pembekuan darah yang keluar dari pembuluh

darah. Pada fase ini sel mast dalam jaringan ikat akan menghasilkan serotonin dan

histamin yang meningkatkan permeabilitas kapiler sehingga terjadi eksudasi

cairan, pembentukan sel radang yang menyebabkan pembengkakan. Fase

inflamasi yang berlansung lama dapat memperlambat penyembuhan luka

(Morison, 2004; Simanjuntak, 2008).


12

b. Fase destruktif

Pada fase ini terjadi pembersihan jaringan yang mati dan yang mengalami

devitalisasi oleh polimorf yang memiliki tingkat aktivitas yang tinggi seperti

menelan dan menghancurkan bakteri, memiliki masa hidup yang singkat dan

penyembuhan dapat berjalan terus tanpa keberadaan sel ini. Walaupun demikian,

penyembuhan berhenti apabila makrofag mengalami deaktivasi. Sel-sel makrofag

tidak hanya mampu menghancurkan bakteri dan mengeluarkan jaringan yang

mengalami deaktivasi serta fibrin yang berlebihan, tetapi juga mampu merangsang

pembentukan fibroblas yang dapat melakukan sintesa struktur protein kolagen dan

menghasilkan sebuah faktor yang dapat merangsang angiogenesis (Morison,

2004).

c. Fase proliferasi

Fase proliferasi berlangsung dari hari ketiga hingga hari ke-24 pasca

terjadinya luka. Pada jaringan yang terluka, fibroblas akan bergerak aktif dari

jaringan sekitar luka menuju ke daerah luka. Fibroblas akan berkembang dan

disertai dengan pelepasan beberapa substansi seperti kolagen, elastin, hyaluronic

acid, fibronektin dan proteoglikan yang berperan dalam rekonstruksi jaringan baru

(Singer and Clark, 1999).

Dalam fase proliferasi juga terjadi proses pembentukan kapiler-kapiler oleh

tunas endotelial, suatu proses yang disebut angiogenesis. Angiogenesis

merupakan pembentukan pembuluh kapiler baru didalam luka, sehingga memiliki

arti penting pada tahap proliferasi penyembuhan luka (Singer and Clark, 1999).
13

Tahapan berikutnya adalah epitelisasi, dimana fibroblas mengeluarkan

keratinocyte grow factor (KGC) yang berperan dalam stimulasi mitosis sel

epidermal. Keratinisasi akan dimulai dari pinggir luka dan akhirnya membentuk

barier yang menutupi permukaan luka. Untuk membantu jaringan baru dalam

menutup luka, fibroblas akan merubah strukturnya menjadi myofibroblas yang

mempunyai kapasistas melakukan penutupan luka pada jaringan. Fase proliferasi

akan berakhir jika epitel dermis dan lapisan kolagen telah terbentu (Kurniati,

2008).

d. Fase maturasi

Fase ini berlansung dari minggu ketiga hingga 12 bulan. Fase maturasi

bertujuan untuk menyempurnakan terbentuknya jaringan baru menjadi jaringan

yang lebih kuat. Pada fase ini sintesa kolagen yang telah dimulai sejak fase

proliferasi akan dilanjutkan. Selain terjadi pembentukan kolagen baru, kolagenase

akan mengubah kolagen muda (gelatinous collagen) yang terbentuk pada fase

proliferasi menjadi kolagen yang lebih matang dan lebih kuat dengan struktur

yang lebih baik (Singer and Clark, 1999).

2. 3 Manggis (Garcinia mangostana L.)

2.3.1 Taksonomi Manggis (Garcinia mangostana L.)

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Sub-divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledoneae

Ordo : Guttiferanales
14

Family : Guttiferae

Genus : Garcinia

Spesies : Garcinia mangostana L.

(Hutapea, 1994)

Gambar 2.3 Buah Manggis (Garcinia mangostana L.) (Hutapea, 1994)

2.3.2 Deskripsi Tanaman Manggis (Garcinia mangostana L.)

Manggis tergolong kedalam tanaman keras/tahunan (paranual) berupa

pohon (arbor) yang tingginya mencapai 6-20 meter. Arah tumbuh batang lurus

(erectus), dengan cabang-cabang yang simetris menyusun tajuk yang berbentuk

piramid teratur, jenis batang berkayu (lignosus), warna batang coklat tua, bentuk

batang bulat (teres), batangnya berwarna kuning (Dahlan et al., 2009).

Manggis memiliki bunga tunggal berwarna kuning, berkelamin dua dan

berada di ketiak daun dengan panjang 1-2 cm. Buah berbentuk bulat, diameter 6-8

cm, kulit buah berdinding tebal lebih dari 9 mm, pada waktu muda kulit buah

berwarna hijau namun setelah tua berubah menjadi merah tua sampai ungu

kehitaman. Daging buah berwarna putih dan mengandung banyak air. Biji bulat

dengan diameter 2 cm, dalam 1 buah terdapat 5-7 biji berwarna coklat (Hutapea,

1994).
15

2.3.3 Kandungan Kimia (Garcinia mangostana L.)

Kandungan utama dari kulit buah manggis yaitu xanton. Lebih dari 68 tipe

xanton telah ditemukan, akan tetapi metabolit sekunder utama yang ditemukan

dalam tanaman manggis yaitu α-mangostin, β-mangostin, dan γ-mangostin (Chin

and Kinghorn, 2008). Selain xanton, kulit buah manggis mengandung alkaloid,

flavonoid, saponin, tanin, polifenol, glikosida, steroid, dan triterpenoid (Hutapea,

1994; Poelongan dan Praptiwi, 2001).

2.3.4 Aktivitas Farmakologi Manggis (Garcinia mangostana L.)

Xanton yang diisolasi dari manggis menunjukkan adanya aktivitas

antioksidan, ketika dilakukan pengujian menggunakan metode uji DPPH (2,2-

difenil-1-pikrihidrasil) (Yosikawa et al., 1994). Sedangkan uji in vivo terhadap

senyawa γ-mangostin dari manggis menunjukkan aktivitas antiinflamasi terhadap

tikus yang diinduksi dengan karagenan (Nakatani et al., 2004).

Manggis juga memiliki aktivitas antibakteri yang cukup baik. Poeloengan

dan Praptiwi (2010), melaporkan ekstrak manggis memiliki daya hambat pada

bakteri gram positif seperti Staphylococcus aureus dan Staphylococcus

epidermidis, akan tetapi tidak memiliki daya hambat terhadap bakteri gram negatif

seperti Staphylococcus typimurium dan Eschericia coli.

Puspitasari (2013) melaporkan ekstrak etanol 95% kulit buah manggis

dengan konsentrasi 10% dalam sediaan cold cream secara histopatologis mampu

menurunkan infiltrasi sel radang serta meningkatkan pembentukan kolagen secara

signifikan pada kasus luka bakar.


16

2.4 Binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis)

2.4.1 Taksonomi Binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis)

Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledoneae

Bangsa : Caryophyllales

Suku : Basellaceae

Marga : Anredera

Jenis : Anredera cordifolia (Ten.) Steenis

Sinonim : Boussingaultia gracilis Miers

Boussingaultia cordifolia

Boussingaultia basselloides

(BPOM RI, 2008)

2.4.2 Deskripsi Tanaman Binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis)

Anredera cordifolia (Ten.) Steenis merupakan tumbuhan menjalar, berumur

panjang, bisa mencapai panjang lebih dari enam meter. Batang lunak, silindris,

saling membelit, berwarna merah, bagian dalam solid, permukaan halus, kadang

membentuk semacam umbi yang melekat di ketiak daun dengan bentuk tak

beraturan dan bertekstur kasar. Daun tunggal, bertangkai sangat pendek, tersusun

berseling, berwarna hijau, bentuk jantung, panjang 5-10 cm, lebar 3-7 cm, helaian

daun tipis lemas, ujung runcing, pangkal berlekuk, tepi rata, permukaan licin, bisa

dimakan. Bunga majemuk berbentuk tandan, bertangkai panjang, muncul di ketiak

daun, mahkota berwarna krem keputih-putihan berjumlah lima helai tidak


17

berlekatan, panjang helai mahkota 0,5-1 cm, berbau harum. Akar berbentuk

rimpang, dan berdaging lunak (BPOM RI, 2008).

Gambar 2.4 Tanaman Binahong Anredera cordifolia (Ten.) Steenis

2.4.3 Kandungan Kimia Binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis)

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Lidinilla (2014), melaporkan

ekstrak etanol 70% daun binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis)

mengandung senyawa alkaloid, flavonoid, saponin, dan polifenol. Sementara

Kumalasari dan Nanik (2011), melaporkan hasil skrining fitokimia dengan

metode tabung uji dan kromatografi lapis tipis dari ekstrak etanol 70% daun

binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) mengandung senyawa golongan

polifenol, flavonoid, dan saponin.

2.4.4 Aktivitas Farmakologi Binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis)

Pada penelitian yang dilakukan oleh Darsana (2012), melaporkan bahwa

perasan daun binahong (Anredera cordifolia (Tenn.) Steenis) dapat menghambat

pertumbuhan bakteri Escherichia coli secara in vitro. Hasil uji aktivitas antibakteri

lainnya pada kombinasi ekstrak etanol binahong serta kombinasi ekstrak etanol
18

binahong dan pegagan menunjukkan bahwa kombinasi ekstrak tersebut

mempunyai aktivitas terhadap bakteri Pseudomonas aeruginosa dan

Staphylococcus aureus (Sutrisno, dkk., 2014).

Selain itu, ekstrak etanol daun binahong dengan konsentrasi 10% yang

diformulasikan kedalam sediaan salep terbukti dapat mempercepat penyembuhan

luka yang terinfeksi bakteri Staphylococcus aureus dilihat pada persentase

penutupan panjang luka (Paju et al., 2013).

Aktivitas antiluka bakar dapat dilihat juga dari famili anredera lainnya yaitu

Aredera scandens (L.) Moq. dimana ekstrak etanol 70% daun Aredera scandens

(L.) Moq. telah diteliti secara visual dan histopatologis mampu menurunkan

infiltrasi sel radang, meningkatkan granulasi jaringan dan kepadatan kolagen

(Karismawan, 2013). Peningkatan jumlah sel fibroblast juga dialami pada luka

bakar tikus Sprague dawey yang diberikan salep ekstrak daun binahong dengan

konsetrasi 20% (Aini, 2014).

2.5 Pegagan (Centella asiatica)

2.5.1 Taksonomi Pegagan (Centella asiatica)

Divisi : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledoneae

Subkelas : Rosidae

Bangsa : Araliales (Umbelifiorae)

Suku : Apiaceae atau Umbeliferae

Marga : Centella
19

Jenis : Centella asiatica

Gambar 2.5 Tanaman Pegagan (Brinkhaus et al., 2000)

2.5.2 Deskripsi Tanaman Pegagan (Centella asiatica)

Centella asiatica adalah tanaman kecil yang menjalar dengan daun

berbentuk sekop, yang muncul bergantian pada tangkai tandan di batang tanaman

tersebut. Tanaman ini sedikit berbulu atau mendekati herbal yang halus, dengan

akar dan batang terletak pada tangkai pohon. Daun berbentuk bulat hingga

reniform dengan lebar 2-5 cm, letaknya horizontal, lebih atau sedikit lengkung.

Tangkai daun tegak dan panjang. Kelopak bunga berwarna ungu gelap dan

berbentuk bulat telur, dengan panjang sekitar 1 mm. Buah berukuran sangat kecil,

berbentuk bulat telur dengan warna putih atau hijau. Akar menjalar di sepanjang

tanah dan tiap inci daun dengan tepi bergigi berada di atas tangkai daun

kemerahan yang panjang. Bunga berwarna putih kehijauan hingga merah

muda(Tiwari et al., 2010).

2.5.3 Kandungan Kimia Pegagan (Centella asiatica)

Secara umum kandungan bahan aktif yang ditemukan dalam pegagan

(Centella asiatica L.) meliputi triterpenoid saponin, dan flavonoid, asam

asiatat,dan asam madekasat, yang tergolong ke dalam triterpenoid, dan saponin

merupakan konstituen utama tanaman ini (BPOM RI, 2010).


20

2.5.4 Aktivitas Farmakologi Pegagan (Centella asiatica)

Madekakosida yang diisolasi dari Centella asiatica dengan dosis 3, 10, dan

30 mg/BB mempunyai aktivitas antiinflamasi secara bermakna terhadap mencit

yang diinduksi dengan kolagen sapi tipe 2. Studi histologi pada jaringan

hyperplasia sinovial dengan pemberian dosis tersebut menunjukkan bahwa

jaringan yang diperlakukan dengan madekakosida ukuran selnya menjadi lebih

kecil dibandingkan ukuran pada jaringan yang tidak diberi perlakuan (BPOM RI,

2010). Selain itu ekstrak etanol 70 % herba pegagan diketahui dapat mencegah

pembentukan bekas luka hipertrofik dan keloid akibat luka bakar (Astiti, 2013).

2.6 Metode Ekstraksi Maserasi

Maserasi merupakan cara penyarian yang sederhana dengan cara merendam

serbuk simplisia dalam cairan penyari. Cairan penyari akan menembus dinding sel

dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif sehingga zat aktif

akan larut. Perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan di

luar sel menyebabkan larutan terpekat akan terdesak keluar, peristiwa tersebut

terus berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel

dan di dalam sel (DepKes RI, 1986).

Keuntungan cara penyarian dengan maserasi adalah cara pengerjaan dan

peralatan yang digunakan sederhana dan mudah dikerjakan. Pada penyarian

dengan cara maserasi, perlu dilakukan pengadukan untuk meratakan konsentrasi

larutan di luar butir serbuk simplisia, sehingga tetap terjaga derajat perbedaan

konsentrasi yang sekecil-kecilnya antara larutan di dalam sel dengan larutan di

luar sel (DepKes RI, 1986).


21

Gambar 2.6 Alat Maserasi (DepKes RI, 1986)

Keterangan gambar:
A : Bejana maserasi
B : Tutup bejana maserasi
C : Alat pengaduk
2.7 Cold Cream
Krim adalah bentuk sediaan setengah padat mengandung satu atau lebih

bahan obat terlarut atau terdispersi kedalam bahan dasar yang sesuai. Krim

merupakan suatu sistem emulsi yang tidak stabil secara termodinamika yang

mengandung paling sedikit dua fase yang tidak bercampur antara satu dengan

lainnya. Istilah ini secara tradisional telah digunakan untuk sediaan setengah padat

yang mempunyai konsistensi relatif cair diformulasi sebagai emulsi air dalam

minyak (cold cream) atau minyak dalam air (vanishing cream) (DepKes RI,

1995).

Cold cream merupakan merupakan emulsi air dalam minyak dengan

kandungan fase minyak yang cukup tinggi, yaitu sebesar 50-85%. Cold cream

digunakan untuk berbagai tujuan, seperti membersihkan kotoran dan

melembabkan kulit (Mitzui, 1997). Sifat melembutkan merupakan hal yang harus

diperhatikan dalam formulasi cold cream, terutama untuk kondisi kulit kering. Air

dalam formula cold cream akan membasahi kulit dan minyak akan mencegah

penguapan air karena sifatnya yang oklusif. Cold cream memiliki sifat khas yaitu
22

memberikan efek dingin pada kulit melalui mekanisme penguapan air yang

bertahap pada kulit (Schneider and Ritschel, 1972). Efek ini yang dimanfaatkan

pada keadaan panas setempat dan keadaan tegang yang dijumpai pada proses kulit

meradang (Voigt, 1994). Fase luar dari cold cream yang berupa minyak,

menyebabkan cold cream dapat melekat lebih lama pada kulit sehingga

diharapkan memberikan efek terapi yang lebih panjang (Ansel, 2008).

Anda mungkin juga menyukai