Anda di halaman 1dari 37

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

I. Sindrom Ovarium Polikistik

1. Definisi

Sindrom ovarium polikistik adalah gangguan endokrin yang

paling umum terjadi yang ditandai dengan menstruasi irreguler,

hiperandrogenisme, dan terdapat morfologi polikistik pada

ovarium (Sirmans and Pate, 2014). SOPK pertama kali

dijelaskan oleh Stein dan Leventha pada tahun 1935 yang

mendefinisikan terdiri dari obesitas, amenore, hirsutisme, dan

infertilitas yang berkaitan dengan pembesaran ovarium

polikistik (Pace, 2014).

2. Epidemiologi

Sindrom Ovarium Polikistik (SOPK) mempunyai

prevalensi sekitar 5-10 % di seluruh dunia (Kyrou et al, 2015).

Perkiraan prevalensi SOPK berdasarkan kriteria NIH/NICHD

adalah 4-8 %. Terdapat beberapa kelompok perempuan dengan

SOPK berdasarkan beberapa kriteria. Dari studi ini dapat dilihat

prevalensi yang menggunakan kriteria Rotterdam lebih besar

dibanding dengan lainnya (Sirmans and Pate, 2014).

commit to user

5
perpustakaan.uns.ac.id 6
digilib.uns.ac.id

Tabel 2.1 Prevalensi SOPK dari berbagai kriteria diagnosis

Sumber Populasi Kriteria Krtiteria ESHRE/ AE-PCOS

NIH/NICHD ASRM Society


(Rotterdam)

March et al 728 8,7 % 17,8 % 12,0 %

perempuan

Australia

Mehrabian et 820 7% 15,2 % 7,92 %

al perempuan

Iran

Tehrani et al 929 7,1 % 14,6 % 11,7 %

perempuan

Iran

Yildiz et al 392 6,1 % 19,9 % 15,3 %

perempuan

Turki

Keterangan Singkatan: NIH/NICHD (National Institute of Health/National Institude of Child

Health and Human Disease), ESHRE/ASRM (European Society for Human Reproduction and

Embriology/American Society for Reproduction Medicine), AE-PCOS Society (The Androgen

Excess and Polycystic Ovary Syndrome Society)

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 7
digilib.uns.ac.id

3. Etiologi

Belum diketahui pasti penyebab sebenarnya dari

SOPK.Gangguan pengaturan ovulasi dan malfungsi enzim yang

berperan padaproses sintesis estrogen di ovarium diduga

sebagai faktor penyebabnya (Baziad, 2012). Etiologi SOPK

juga diperkirakan berkaitan dengan kadar hormon abnormal

(NHS, 2016).

Berikut ini adalah beberapa etiologi SOPK:

a. Resistensi Insulin

Insulin adalah hormon yang diproduksi oleh pankreas

untuk mengendalikan jumlah gula dalam darah. Hormon

ini membantu untuk memindahkan glukosa dari darah ke

dalam sel, kemudian berubah untuk menghasilkan energi.

Apabila tubuh resisten terhadap efek insulin dapat

dikatakan tubuh resistensi insulin. Oleh karena itu tubuh

harus menghasilkan insulin ekstra untuk mengimbanginya.

Tingkat insulin yang tinggi menyebabkan ovarium

memproduksi terlalu banyak testosteron, yang mengganggu

perkembangan folikel (kantung di ovarium tempat telur

berkembang) dan mencegah ovulasi normal. Resistensi

insulin juga bisa menyebabkan kenaikan berat badan, yang

bisa membuat gejala SOPK semakin parah, karena

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 8
digilib.uns.ac.id

kelebihan lemak menyebabkan tubuh memproduksi lebih

banyak insulin.

(NHS, 2016)

b. Ketidakseimbangan Hormonal

Banyak wanita dengan SOPK ditemukan memiliki

ketidakseimbangan hormon tertentu, termasuk:

 Peningkatan kadar testosteron - hormon yang sering

dianggap sebagai hormon laki-laki, walaupun

semua wanita biasanya menghasilkan sejumlah

kecilnya

 Peningkatan kadar LH (Luteinizing hormone) - ini

merangsang ovulasi, namun mungkin memiliki efek

abnormal pada ovarium jika kadar terlalu tinggi.

 Rendahnya kadar sex hormone binding globulin

(SHBG) - protein dalam darah, yang mengikat

testosteron dan mengurangi efek testosteron.

 Meningkatkan kadar prolaktin (hanya pada

beberapa wanita dengan SOPK) - hormon yang

merangsang kelenjar payudara memproduksi susu

pada kehamilan.

(NHS, 2016)

c. Genetik

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 9
digilib.uns.ac.id

Beberapa gen kemungkinan berperan, di antaranya gen

CYP11a dan gen reseptor insulin pada kromosom 19p13.2.

Gen CYP11a terdapat di sel teka ovarium yang mengkode

cholesterol side-chain cleavage enzyme, enzim yang

berperan sebagai rate limiting step dalam biosintesis

steroid. Beberapa berpendapat terdapat pengaruh genetik

autosomal dominan, first-degree male relatives dari

perempuan dengan SOPK telah terbukti signifikan lebih

tinggi beredar dehydroepiandrosterone sulphate (DHEAS)

dibandingkan laki-laki kontrol (Wonggokusuma, 2014).

4. Patogenesis

a. Peranan Kehidupan Intra Uterin dan Lingkungan

Fetal programming adalah proses biologi, eksogen,

atau hal-hal yang berperan penting dalam perubahan

jaringan maupun fungsi yang dapat bersifat permanen

pada janin (Hewlett et al, 2016). Lingkungan yang

mempengaruhi kejadian SOPK pada janin adalah pada

lingkungan in utero dan lingkungan post natal. Pada

penelitian Escobar-Morreale (2014) menunjukkan

kehamilan yang mengalami gangguan pada unit feto-

plasenta mengganggu pertumbuhan janin dan bayi kecil

pada masa kehamilan. Pada bayi yang mengalami hal

tersebut kecenderungan mengalami resistensi insulin,


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 10
digilib.uns.ac.id

terutama dengan gaya hidup yang buruk. Pada

penelitian Franks (2012) menjelaskan janin dengan

predisposisi genetic androgen berlebih menunjukkan

pengaruh pada manifestasi di tahap perkembangan sejak

janin hingga pubertas, dan dapat memberikan gejala

SOPK (HIFERI, 2017).

b. Resistensi insulin

Hiperinsulinemia berpengaruh pada ovarium dengan

menstimulasi enzim 17 α-hydroxylase yang

meningkatkan konversi progesteron menjadi

androstendion. Hiperinsulinemia pada kelenjar andrenal

berpengaruh menaikan aktivitas enzim 17 α-hydroxylase

yang mengubah 17OH Dehydroepiandrostero sulphate

(DHEAS) yang menyebabkan fosforilasi reseptor

insulin sehingga terjadi resistensi insulin. Pada hepar

peningkatan insulin dapat menurunkan produksi sex

hormone binding globulin (SHBG) sehingga testosteron

bebas menigkat (HIFERI, 2017).

Konsentrasi androgen bebas dapat berpengaruh

pada organ perifer dan menjadi akumulasi lemak tubuh.

Peningkatan androgen berpengaruh pada organ, salah

satunya kulit. Manifestasinya pada kulit dapat berupa

Acne vulgaris, hirsutisme, alopecia androgenic, dan


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 11
digilib.uns.ac.id

dermatitis seboroik. Sedangkan akumulasi lemak di

tubuh dapat meningkatkan jumlah sitokin pro-inflamasi.

Hal tersebut dapat menurunkan kadar Follicle

Stimulating Hormone(FSH) dan meningkatkan kadar

Luteinizing hormone(LH) yang dapat menyebabkan

gangguan folikulogenesis. Hiperinsulinemia juga dapat

menigkatkan akumulasi lemak tubuh yang

menyebabkan peningkatan sitokin pri-inflamasi

(HIFERI, 2017).

c. Hipersekresi LH

Luteinizing hormone (LH) berperan penting dalam

steroidogenesis di ovarium. Normalnya progesteron

sebagai regulator primer gonadotropin-releasing

hormone (GnRH). Pada SOPK GnRH pulse

generatormengalami resistensi terhadap progesterone

sehingga LH menigkat dan Follicle Stimulating

Hormone(FSH) menurun (Solorzano et al, 2012).

Peningkatan kadar LH dapat diketahui sekitar 40-60%

perempuan dengan SOPK. Gangguan ovulasi pada

SOPK diperkirakan karena adanya penurunan kadar

FSH dan meningkatnya kadar LH yang dapat

menyebabkan gangguan folikulogenesis. Peningkatan

LH dapat menyebabkan luteinisasi premature dan


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 12
digilib.uns.ac.id

maturasi folikel terhenti. Hal tersebut akan didapatkan

morfologi ovarium polikistik (HIFERI, 2017).

d. Low Grade Chronic Inflamation

Istilah inflamasi kronik derajat rendah

menggambarkan adanya peningkatan sitokin-sitokin

inflamasi. Dari beberapa penelitian, hal ini berpengaruh

terhadap beberapa penyakit seperti diabetes dan

penyakit kardiovaskular. Inflamasi kronik derajat

rendah ini berhubungan dengan hiperandrogenisme,

resistensi insulin, komplikasi jangka panjang pada

sindrom ovarium polikistik (HIFERI, 2017).

e. Teori Disboisis of Gut Microbiota (DOGMA)

Terdapat dua mekanisme DOGMA yang berkaitan

dengan inflamasi kronik derajat rendah yang ada pada

SOPK. Mekanisme pertama adalah diet lemak jenuh dan

tinggi gula memicu bakteri pathogen dan menekan

bakteri “baik”. Dinding bakteri pathogen gram negative

mengandung Lipopolisakarida yang dapat sebagai

aktivasi respon inflamasi. Mekanisme kedua ialah diet

lemak jenuh, tinggi gula, dan rendah serat dapat

meningkatkan permeabilitas mukosa usus sehingga LPS

dari bakteri pathogen dapat menyebar dari usus ke

sirkulasi (HIFERI, 2017).


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 13
digilib.uns.ac.id

5. Gambaran Klinis

Gambaran klinis yang muncul pada sindrom ovarium yang

muncul pada pasien SOPK:

a. Hiperandrogenisme:

 Pemeriksaan klinis: akne, hirsutisme, alopecia

androgenik, dan achanthosis nigricans

 Pemeriksaan laboratorium: kadar testosteron

atau androstenedion tinggi

b. Menstruasi irreguler:

 Pemeriksaan klinis: oligomenore atau amenore

 Pemeriksaan laboratorium: peningkatan kadar

LH

c. Ovarium polikistik pada USG:

 Memiliki > 12 folikel pada tiap ovarium

 Ukuran folikel: 2-9 mm +> 10 ml volume

ovarium

(El Hayek et al, 2016)

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 14
digilib.uns.ac.id

6. Kriteria Diagnosis

Tabel 2.2 Guideline untuk diagnosis SOPK berdasarkan berbagai


kriteria
NIH 1990 Rotterdam 2003 AE-PCOS Society 2006

 Hiperandrogenisme  Menstruasi yang  Hiperandrogenisme

 Menstruasi yang irregular irreguler  Menstruasi yang

(kedua kriteria harus  hiperandrogenisme irregular atau terdapat

terpenuhi)  Ovarium polikistik pada ovarium polikistik pada

ultrasonography (USG) ultrasonography (USG)

(dua dari tiga kriteria harus (kedua kriteria harus

terpenuhi) terpenuhi)

(El Hayek, SE et al, 2016)

7. Tatalaksana

a. Edukasi

Perlu dilakukan edukasi pada pasien untuk

memperbsiki gangguan hormonal dan efek jangka

panjang dari SOPK. Pasien juga perlu dijelaskan

mengenai terapi dan target dari terapi tersebut (HIFERI,

2017).

b. Modifikasi Gaya Hidup

Pasien SOPK diterapi lini pertama dengan

modifikasi gaya hidup berupa intervensi diet dan

aktivitas fisik. Tujuan modifikasi gaya hidup ini adalah

untuk menyeimbangkan kembali profil hormon dan


commit to user
metabolik.
perpustakaan.uns.ac.id 15
digilib.uns.ac.id

 Diet

Penurunan berat badan sebesar 2-5 % sudah

dapat memperbaiki fungsi metabolik dan

reproduksi secara signifikan. Intervensi gizi

untuk menurunkan berat badan adalah 500-1000

kkal/hari dengan komposisi seimbang dan

peningkatan asupan serat. Komposisi seimbang

adalah 50 % karbohidrat (utamakan dengan

indeks glikemik rendah), 20 % protein, dan 30 %

lemak (10 % lemak jenuh, 10% lemak

polyunsaturated, 10% lemak monosaturated).

Peningkatan asupan serat dapat menurunkan

nilai DHEA, estradiol, dan testosterone yang

signifikan. Diperlukan juga asupan vitamin D

karena pada wanita SOPK biasanya terdapat

defisiensi vitamin D yang dapat memperburuk

gejala SOPK (HIFERI, 2017).

 Aktivitas Fisik

Menurut WHO, manajemen penurunan berat

badan ialah dengan mengubah pola makan,

menjaga asupan makanan, dan meningkatkankan

aktifikas fisik. Aktifitas fisik yang disarankan

dengan olahraga dengan intensitas sedang setiap


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 16
digilib.uns.ac.id

3-5 kali seminggu selama 30-45 menit/hari.

Olahraga intensitas sedang ini sesuai dengan 150

kalori dari energi yang dikonsumsi per hari

(HIFERI, 2017).

c. Medikamentosa

Terapi farmakologis lini pertama untuk SOPK pada

remaja adalah menekan hormone androgen pada

ovarium dengan kombinasi terapi estrogen atau

progestin setiap hari dalam bentuk pil kontrasepsi atau

patch. Terapi ini meningkatkan sex hormone binding

globulin (SHBG) dan mengurangi androgen bebas

dalam tubuh yang dapat menimbulkan gejala klinis

hiperandrogenisme (Wonggokusuma, 2014).

Metformin menjadi terapi farmakologis lini pertama

pada orang dewasa dengan SOPK, terutama yang

memiliki resistensi terhadap insulin. Terapi ini harus

dipertimbangkan untuk remaja yang sesuai dengan

SOPK untuk mengurangi risiko terjadinya diabetes,

memperbaiki fungsi menstruasi, dan mungkin dapat

memperbaiki hiperandrogenisme klinis dan biokimia

(Wonggokusuma, 2014).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 17
digilib.uns.ac.id

II. Indeks Massa Tubuh

1. Definisi

Indeks Massa Tubuh (IMT) adalah pengukuran berat

badan dengan tinggi badan, yaitu berat badan dalam kg dibagi

tinggi badan kuadrat dalam m2. IMT sering dianggap sebagai

indikator kegemukan seseorang karena seriring bertambah

berat badan IMT semakin besar (CDC, 2011).

2. Pengukuran

IMT =

3. Interpretasi

a IMT Kategori

b
Di bawah 18,5 Berat badan kurang
l
18,5 – 24,99 Berat badan normal
e
25 – 29,99 Berat badan berlebih

Di
2 atas 30 Obesitas

.3 Tabel IMT berdasarkan CDC, 2011

III. Acne Vulgaris

1. Definisi

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 18
digilib.uns.ac.id

Acne vulgarisadalah penyakit kulit akibat obstruksi dan

inflamasi kronik pada pilosebasea, ialah dermatosis polimorfik

dan berperan poligenetik (Movita, 2013). Acne vulgaris

merupakan peradangan kronis yang pada area seboroik

(terutama di dada, wajah, punggung), yang ditandai oleh

kehadiran komedo, papula, pustular, kista purulen dan skar

(Bergler-Czop et al, 2013).

2. Etiologi

Di semua pasien dengan Acne vulgaris, gejala berikut terjadi:

 Androgen-induced seborrhoea (kelebihan sebum)

Semakin banyak sebum, tingkat Acne vulgaris

lebih tinggi. Sebum diproduksi oleh kelenjar

pilosebasea, yang didominasi di wajah, punggung dan

dada. Bukti menunjukkan bahwa pada mayoritas

pasien seborrhoea disebabkan oleh peningkatan

respons kelenjar sebasea terhadap kadar androgen

plasma normal.

 Pembentukan komedo (komedo, whiteheads dan

microcomedones) atau komedogenesis

Karena proliferasi abnormal dan diferensiasi

keratinosit duktal menyebabkan terjadi

komedogenesis. Hal tersebut sebagian dikendalikan


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 19
digilib.uns.ac.id

oleh androgen. Penderita pre-pubertas terlihat lebih

awal dan didahului dengan adanya perkembangan lesi

inflamasi.

 Kolonisasi saluran pilosebase oleh propionibacterium

acnes (P. acnes)

Kolonisasi P. acnes merupakan tahap selanjutnya

dalam pengembangan lesi Acne vulgaris (terutama lesi

inflamasi). P. acnes adalah organisme yang paling

berpengaruh dalam tahap ini. Pembentukan seborrhoea

dan komedo mengubah lingkungan mikro duktal, yang

menyebabkan kolonisasi duktus.

 Produksi inflamasi

Ini adalah proses kompleks yang melibatkan interaksi

antara:

o Perubahan biologis terjadi pada duktus akibat

pembentukan komedo dan kolonisasi P. acnes

pada saluran

o Respon selular (terutama limfosit) di dalam

dermis yang merespon sitokin pro-inflamasi

yang menyebar dari saluran ke dermis.

(Cunliffe et. al 2017)

3. Epidemiologi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 20
digilib.uns.ac.id

Acne vulgaris menetap pada kelompok usia ke 20-an dan

30-an dengan prevalensi sekitar 64% dan 43% pada masing-

masing kelompok. Faktor keturunan Acne vulgaris hampir

80% pada first-degree relative. Acne vulgaris terjadi

sebelumnya dan lebih parah pada orang-orang dengan riwayat

keluarga yang positif (Bhate dan Williams, 2013). Secaya

klinis, Acne vulgaris lebih umum pada perempuan ras

Amerika Afrika dan perempuan Hispanik (37%, 32%)

daripada perempuan Kontinental India, Kaukasia dan Asia

(23%, 24%, 30%) (Perkins et al, 2011). Pada ras Asia, lesi

inflamasi lebih sering dibandingkan lesi komedonal, yaitu

20% lesi inflamasi dan 10% lesi komedonal (Movita, 2013).

Acne vulgaris terlihat pada sekitar sepertiga wanita dengan

SOPK (Uzuncakmak et al, 2015).

4. Faktor Risiko

Hasil studi telah menunjukkan pentingnya faktor genetik

untuk Acne vulgaris dengan jaringan parut yang lebih berat.

Penelitian pada anak usia 16 tahun di Iran menunjukkan

bahwa riwayat keluarga Acne vulgaris positif berisiko dua kali

lebih tinggi dibanding yang tidak, dan heritabilitas Acne

vulgaris adalah 78% di first-degree relative orang-orang

dengan Acne vulgaris dalam studi besar untuk Chinesse

undergraduatescommit
(Bhate to user
danWilliams, 2013).
perpustakaan.uns.ac.id 21
digilib.uns.ac.id

Acne vulgaris muncul awal pada anak perempuan, tetapi

pada anak laki-laki terjadi lebih lama selama pertengahan usia

remaja. Acne vulgaris juga dapat terjadi pada usia yang lebih

muda dan lebih berkomedo pada anak-anak kulit hitam

dibandingkan pada anak-anak putih, mungkin dari onset awal

pubertas (Williams et al. 2012).

Satu studi dari 3000 pasien antara usia 6 dan 11 tahun

menemukan indeks massa tubuh rata-rata pasien dengan Acne

vulgaris menjadi sedikit lebih tinggi dibandingkan individu

tanpa Acne vulgaris, walaupun signifikasi klinis kecil tetapi

signifikasi statisticnya masih dipertanyakan (Tsai et al, 2006

dalam Bhate dan Williams, 2013). Dari hasil penelitian

ditemukan bahwa dalam peserta pada diet rendah GI

(Glycemic Index) mengalami perbaikan (Bhate dan Williams,

2013). Peningkatan resistensi insulin dan tinggi serum

dehydroepiandrosterone mungkin menjelaskan kemunculan

Acne vulgaris pada sindrom ovarium polikistik (Uzuncakmak

et al, 2015). Merokok juga dapat berperan dalam munculnya

Acne vulgaris. Diduga terdapat reseptor asetilkolin nikotinik

keratinosit yang memicu terjadi hiperkeratinisasi sehingga

terjadi komedo (Movita, 2013).

5. Patogenesis

Patogenesiscommit
akneto user
meliputi empat faktor, yaitu
perpustakaan.uns.ac.id 22
digilib.uns.ac.id

hiperproliferasi epidermis folikular sehingga terjadi sumbatan

folikel, produksi sebum berlebihan, inflamasi, dan aktivitas

Propionibacterium acnes (P. acnes). Androgen berperan

penting pada patogenesis akne tersebut (Movita, 2013).

Akne mulai terjadi saat adrenarke, yaitu saat kelenjar

adrenal aktif menghasilkan dehydroepiandrosterone sulphate

(DHEAS), prekursor testosteron. Penderita akne memiliki

kadar androgen serum dan kadar sebum lebih tinggi

dibandingkan dengan orang normal, meskipun kadar androgen

serum penderita akne masih dalam batas normal. Androgen

akan meningkatkan ukuran kelenjar sebasea dan merangsang

produksi sebum, selain itu juga merangsang proliferasi

keratinosit pada duktus seboglandularis dan

akroinfundibulum. Hiperproliferasi epidermis folikular juga

diduga akibat penurunan asam linoleat kulit dan peningkatan

aktivitas interleukin alfa. Epitel folikel rambut bagian atas,

yaitu infundibulum, menjadi hiperkeratotik dan kohesi

keratinosit bertambah, sehingga terjadi sumbatan pada muara

folikel rambut. Kemudian dalam folikel rambut tersebut

terjadi akumulasi keratin, sebum, dan bakteri, dan

menyebabkan dilatasi folikel rambut bagian atas, membentuk

mikrokomedo. Mikrokomedo yang berisi keratin, sebum, dan

bakteri, akan commit


membesar
to userdan ruptur. Selanjutnya, isi
perpustakaan.uns.ac.id 23
digilib.uns.ac.id

mikrokomedo yang keluar akan menimbulkan respons

inflamasi. Akan tetapi, terdapat bukti bahwa inflamasi dermis

telah terjadi mendahului pembentukan komedo (Movita,

2013).

P. acnes, bakteri positif gram dan anaerob yang

merupakan flora normal kelenjar pilosebasea yang dapat

menyebabkan Acne vulgaris. Peranan P. acnes pada

patogenesis akne adalah memecah trigliserida, salah satu

komponen sebum, menjadi asam lemak bebas sehingga terjadi

kolonisasi P. acnes yang memicu inflamasi. Selain itu,

antibodi terhadap antigen dinding sel P. acnes meningkatkan

respons inflamasi melalui aktivasi komplemen. Enzim 5-α

reduktase, enzim yang mengubah testosteron menjadi

dehydrotestosteron (DHT), memiliki aktivitas tinggi pada

kulit yang mudah mengalami Acne vulgaris, misalnya pada

wajah, dada, dan punggung (Movita, 2013).

Pada hiperandrogenisme, selain Acne vulgaris, sering

disertai oleh seborea, alopesia, hirsutisme, gangguan haid dan

disfungsi ovulasi dengan infertilitas dan sindrom metabolik,

gangguan psikologis, dan virilisasi. Penyebab utama

hiperandrogenisme adalah sindrom polikistik ovarium.

Meskipun demikian, sebagian besar akne pada perempuan

commit todengan
dewasa tidak berkaitan user gangguan endokrin. Penyebab
perpustakaan.uns.ac.id 24
digilib.uns.ac.id

utama akne pada kelompok ini adalah perubahan respons

reseptor androgen kulit terhadap perubahan hormon fisiologis

siklus haid. Sebagian besar perempuan mengalami

peningkatan jumlah Acne vulgaris pada masa premenstrual

atau sebelum haid (Movita, 2013).

6. Gambaran Klinis

Gambaran Klinis Acne vulgaris:

 kulit berminyak (seborrhoea)

 lesi non-inflamasi, yaitu komedo (blackhead dan

whitehead)

 lesi meradang (papula, pustula dan nodul)

 jaringan parut yang mungkin terjadi karena hilangnya

jaringan (atrophic or ice picks scar) atau peningkatan

jaringan fibrosa, yang disebut (hypertropic or keloid

scar)

 Pigmentasi, yang dapat menjadi masalah terutama di

kulit gelap

(Cunliffe et al, 2017)

7. Diagnosis

Diagnosis dapat dilihat dari derajat keparahannya

Terdapat berbagai klasifikasi untuk mengetahui derajat


commit to user
keparahan Acne vulgaris. Berikut ini klasifikasi derajat
perpustakaan.uns.ac.id 25
digilib.uns.ac.id

keparahan Acne vulgaris berdasarkan studi klinis Food and

Drug Administration dan Lehmann:

Tabel 2.4Derajat keparahan Acne vulgaris berdasarkan US

Department Health and Human Services Food and Drug

Administration 2005

Derajat Karakteristik Klinis

keparahan

0 Tidak memiliki Acne vulgaris


(
I Terdapat sedikit komedo hitam, hingga papule
S
dan pustul
c
II Terdapat beberapa inflamasi tapi tidak sampai
h
ada nodul
m
III Banyak komedo hitam, beberapa papul dan
it
pustule, hingga ada satu nodul
t

e IV Banyak papul, pustule, dan nodul yang parah

t al, 2014)

Tabel 2.5Klasifikasi Acne vulgaris berdasarkan Lehmann 2003

Derajat commit to user


Komedo Papul/pustul Nodul
perpustakaan.uns.ac.id 26
digilib.uns.ac.id

Ringan < 20 < 15 -

( Sedang 20 – 100 15-50 <5


S
Berat >100 >50 >5
u

tanto, 2013)

8. Tatalaksana

Tabel 2.6 Terapi Acne vulgaris

Ringan Sedang Berat

Terapi lini Benzoyl Kombinasi terapi Antibiotik oral+

I Peroxide (BP) topikal ( BP + Terapi kombinasi

atau Retinoid antibiotik, topikal ( BP +

topikal Retinoid+BP, atau antibiotik,

-Atau- Retinoid+BP+ Retinoid+BP, atau

antibiotik) Retinoid+BP+
Terapi kombinasi

-Atau- antibiotik)
topikal ( BP +

antibiotik, BP + antibiotik oral -Atau-

Retinoid+BP, + antibiotik topikal Isotretinoin oral

atau -Atau-

Retinoid+BP+
Retinoid+BP+
antibiotik)
antibiotik oral +

antibiotik topikal
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 27
digilib.uns.ac.id

Terapi Tambah Pertimbangan Pertimbangan

alternatif Retionoid topikal alternatif terapi alternatif

atau BP (bila kombinasi penggantian

belum -Atau- antibiotik oral

diresepkan) -Atau-
Pertimbangan

-Atau- alternatif Tambah kombinasi

Pertimbangan penggantian kontrasepsi oral

alternatif antibiotik oral atau spironolactone

Retinoid -Atau- (perempuan)

-Atau- Tambah kombinasi -Atau-

Pertimbangan kontrasepsi oral Pertimbangan

alternatif atau spironolactone Isotretinoin oral

Dapsone (perempuan)

-Atau-

Pertimbangan

Isotretinoin oral

(Zaenglein et al, 2016)

IV. Hirsutisme

1. Definisi
commit to user
Hirsutisme adalah pertumbuhan rambut yang berlebih
perpustakaan.uns.ac.id 28
digilib.uns.ac.id

pada wajah atau badan pada perempuan. Pada hirsutisme

tampak rambut gelap yang kasar pada wajah, dada, punggung,

perut, lengan atas, dan tungkai atas (American Society for

Reproductive Medicine, 2016).

2. Etiologi

Terdapat beberapa penyebab terjadinya hirsutisme, yaitu

sebagai berikut:

a. Sindrom Ovarium Polikistik

Penyebab hirsutisme yang paling umum adalah

sindrom ovarium polikistik (SOPK) dengan presentase

72-82 %. Karakteristik SOPK antara lain meliputi

disfungsi menstruasi, hiperandrogenisme, obesitas,

infertilitas, dan resistensi insulin. Resistensi insulin

dan hiperinsulinemia merangsang kelenjar adrenal dan

ovarium untuk menghasilkan lebih banyak androgen.

Hiperinsulinemia juga menghambat sintesis hati

globulin pengikat hormon seks, yang mengikat

testosteron dan membuatnya tidak aktif (Bode et al,

2012).

b. Idiopatik
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 29
digilib.uns.ac.id

Hirsutisme akibat hiperandrogenemia idiopatik

dengan presentase kurang dari 20 persen kasus,

ditandai oleh siklus ovulasi normal dan tidak ada

penyebab lain yang dapat dikenali dari kadar androgen

tinggi. Separuh dari semua wanita dengan hirsutisme

ringan (skor Ferriman-Gallwey 8 sampai 15) memiliki

hirsutisme idiopatik (Bode et al, 2012).

c. Hiperplasia Adrenal

Kurang dari 5 persen pasien dengan hirsutisme

memiliki hiperplasia adrenal, defek pada sintesis

kortisol adrenal yang mengalihkan prekursor ke jalur

sintesis androgen. Hiperplasia adrenal klasik

didiagnosis saat lahir oleh genital yang ambigu, namun

hiperplasia adrenal nonklasik dapat tanpa gejala

sampai pubertas, saat wanita mengalami disfungsi

menstruasi dan anovulasi (Bode et al, 2012).

d. Tumor Yang Mensekresikan Androgen

Tumor yang mensekresi androgen jarang terjadi

pada wanita dengan hirsutisme, terdiri dari 0,2 persen

kasus pada dua penelitian wanita yang

mempresentasikan hiperandrogenemia klinis.

Neoplasma yang kemungkinan berasal dari adrenal


commit to
atau ovarium user
seringkali menyebabkan peningkatan
perpustakaan.uns.ac.id 30
digilib.uns.ac.id

tingkat androgen yang besar. Lebih dari satu setengah

adalah ganas. Hirsutisme onset cepat, virilisasi, atau

massa perut atau panggul yang tampak jelas semuanya

menimbulkan kecurigaan terhadap tumor yang

mensekresi androgen (Bode et al, 2012).

e. Penyebab Lain

Beberapa endokrinopati lainnya dapat hadir

dengan hirsutisme namun seringkali memiliki

presentasi yang lebih khas. Ini termasuk akromegali,

sindrom Cushing, hiperprolaktinemia, dan disfungsi

tiroid (Bode et al, 2012).

3. Epidemiologi

Hirsutisme adalah keluhan medis umum di kalangan

wanita usia reproduksi. Prevalensinya pada rentang orang

dewasa 3 sampai 15% pada kulit hitam dan kulit putih, namun

demikian agak rendah di Asia (1-3%) (Pasquali dan

Gambineri, 2014). Hirsutisme dialami sampai 70 %

perempuan dengan SOPK (Sirmans dan Pate, 2014).

4. Patofisiologi

Androgen, termasuk testosteron, dihidrotestosteron, dan

prohormonnya DHEAS dan androstenedion adalah faktor

utama dalam pertumbuhan dan perkembangan rambut.


commit to user
Androgen bertindak pada area khusus seks di tubuh,
perpustakaan.uns.ac.id 31
digilib.uns.ac.id

interaksinya dengan folikel rambut yang dapat memicu

transformasi vellus hair dan tidak dapat menjadi vellus hair

kembali mengubah rambut yang kecil, lurus, dan lurus menjadi

terminal hair yang lebih besar, lebih ikal, dan lebih gelap

(Mularz et al, 2017). Pria memiliki tingkat androgen yang lebih

tinggi selama dan setelah pubertas, dan dengan demikian

tingkat perkembangan rambut terminal yang lebih tinggi di area

spesifik seks dibandingkan dengan wanita. Hirsutisme

berkembang pada wanita bila terjadi pertumbuhan rambut

terminal yang berlebihan di daerah ini, biasanya karena

kelebihan androgen (Bode et al, 2012).

5. Gambaran Klinis

Hirsutisme menunjukkan perkembangan rambut terminal

(kasar, berpigmen) yang mengikuti distribusi pola pria (wajah,

dada, perut, punggung) yang terjadi pada wanita yang

mengalami peningkatan kadar androgen (Bode et al, 2012).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 32
digilib.uns.ac.id

aran dan tingkat kelebatan rambut ditunjukkan pada gambar

2.1.

Gambar 2.1 Gambaran Hirsutisme

6. Diagnosis

Diagnosis hirsutisme sangat tergantung pada anamnesis

yang cermat dan pemeriksaan fisik. Unsur-unsur penting dari

anamnesis termasuk usia telarche, usia menarche, dan riwayat

menstruasi berikutnya. Usia onset hirsutisme, sifatnya (vellus

versus terminal), dan laju perkembangan harus ditentukan.

Bentuk-bentuk jinak hirsutisme hipertekosis, hiperplasia

adrenal kongenital non-klasik, dan resistensi insulin terkait

obesitas cenderung dimulai pada usia pubertas dan cenderung

“platuae”. Hirsutisme yang muncul secara jelas sebelum

pubertas atau setelah pubertas lebih sering disebabkan oleh

neoplasma ovarium atau adrenal, atau berhubungan dengan

obat-obatan tertentu. Obat-obatan, termasuk OTC atau

naturopathy, harus dipertimbangkan. Hasil pengobatan medis

sebelumnya, termasuk diagnosa dan perawatan, harus dicatat.

Hal ini penting untuk mengingatkan kembali waktu terjadinya

tentang hirsutisme tersebut. Misalnya, pasien merasa tertekan

dengan hirsutisme atau karena hal lain, atau bagaimana pasien

berpikir tentang hirsutisme untuk masa depannya. Riwayat

keluarga haruscommit
fokus topada
user pola pertumbuhan rambut di
perpustakaan.uns.ac.id 33
digilib.uns.ac.id

saudara perempuan lainnya. Pemahaman tentang konsep

keluarga dari pola rambut wanita normal adalah penting

(Loriaux, 2012).

Pemeriksaan fisik harus fokus pada penilaian cermat dari

androgen-mediated process, seperti pertumbuhan rambut

terminal di daerah kulit yang biasanya tidak memiliki rambut

terminal pada wanita. Pipi, bahu, dada, dan perut bagian atas

sangat penting. Grafik Ferriman-Gallwey dapat membantu

dalam penentuan ini. Acne vulgaris dan produksi sebum harus

dicatat. Kulit kepala harus diperiksa untuk melihat adakah

botak temporal. Laring, terutama tiroid dan krikoid tulang

rawan, harus dinilai untuk androgen- mediated. Massa relatif

dari otot dada harus diperkirakan. Jika tekanan darah tinggi,

harus diulang beberapa kali selama pemeriksaan untuk

mendapatkan estimasi terbaik dari tekanan darah yang

sebenarnya. Pemeriksaan panggul adalah penting. Perhatian

khusus harus diberikan kepada penilaian ukuran klitoris dan

bukti dari fusi posterior labioscrotal lipatan. massa adneksa

harus dicari (Loriaux, 2012).

V. Siklus Menstruasi

1. Definisi
commit to user
Menstruasi atau haid merupakan perdarahan pada uterus
perpustakaan.uns.ac.id 34
digilib.uns.ac.id

yang terjadi periodik serta siklik, disertai peluruhan

endometrium (Prawiroharjo, H, 2010). Pada umumnya siklus

menstruasi adalah 28±7 hari, selama 4±2 hari. Jumlah darah

yang dikeluarkan sekitar 20–60 ml (Hoffman and Schorge,

2012.).

2. Siklus Ovarium

Siklus menstruasi terjadi karena adanya interaksi antara

hipotalamus, hipofisis, dan ovarium (hypothalamic-pituitary-

ovarian axis). Hipotalamus memicu hipofisis dengan

menghasilkan Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH),

yang dapat merangsang pelepasan Luteinizing Hormone (LH)

dan Follicle Stimulating Hormone (FSH). FSH adalah hormon

glikoprotein untuk memacu pematangan folikel pada fase

folikular dan membamntu LH untuk memacu sekresi hormone

steroid. Sedangkan LH adalah hormon glikoprotein yang

berperan dalam steroidogenesis dan memiliki peran penting

dalam ovulasi yang bergantung pada mid-cycle surge LH

(Prawirohardjo, 2010).

Lama siklus menstruasi dan jarak antar menstruasi

beragam. Siklus menstruasi pada umumnya dialami 2-8 hari

dalam satu siklus, dengan rata-rata 4-6 hari. Jarak antar siklus

menstruasi satu dengan yang lain sekitar 15-35, dengan rata-

commit
rata 28 hari (Price to user 2013; Prawirohardjo, 2010).
dan Wilson,
perpustakaan.uns.ac.id 35
digilib.uns.ac.id

Fase- fase ovulasi

a. Fase Folikular

Fase folikular terjadi pada hari ke -1 sampai ke-8

(Prawirohardjo, 2010). Fase ini mulai terjadi

pengembangan sebagian folikel-folikel primer. Pada

fase ini, terjadi peningkatan hormon Follicle

Stimulating Hormone(FSH) untuk membantu

pematangan folikel. Karena adanya perkembangan

folikel, estrogen dihasilkan yang memberi feedback

negative pada FSH sehingga produksi tertahan. Hanya

folikel yang berada di lingkungan hormonal tepat yang

dapat melanjutkan pematangannya melewati tahap-

tahap awal perkembangan. Folikel yang tidak

berkembang akan mengalami atresia. LH akan

meningkat untuk membantu pembuatan estrogen

dalam folikel yang berkembang. Perkembangan folikel

berakhir ketika kadar estrogen dalam plasma

meningkat secara signifikan. Saat perkembangan

folikel, terjadi perubahan-perubahan penting di sel-sel

yang mengelilingi oosit dalam persiapan untuk

pembebasan sel telur dari ovarium (Sherwood, 2012;

Reeceet al, 2011).

commit to user
b. Fase ovulasi
perpustakaan.uns.ac.id 36
digilib.uns.ac.id

Fase ovulasi terjadi pada hari ke -9 sampai ke-14

(Prawirohardjo, 2010). Pada saat ovulasi, estrogen

mengalami peningkatan progresif hingga mencapai

puncak yang menyebabkan lonjakan LH pada

pertengahan siklus. Lonjakan LH ini menyebabkan

empat perubahan besar dalam folikel:

 Berhentinya sintesis estrogen oleh sel folikel.

 Menginduksi kembali meiosis pada oosit

folikel yang sedang berkembang.

 Menginduksi pembentukan prostaglandin kerja

lokal yang selanjutnya terjadi ovulasi dengan

mendorong perubahan vaskular yang

menyebabkan pembengkakan cepat folikel dan

menginduksi digesti enzimatik dinding folikel

yang akan menyebabkan pecahnya dinding

folikel yang menutupi tonjolan folikel.

 Terjadi diferensiasi sel folikel menjadi sel

luteal. Lonjakan LH di pertengahan siklus akan

mengakhiri fase folikular dan memulai fase

luteal.

(Sherwood, 2012).

c. Fase Luteal
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 37
digilib.uns.ac.id

Fase luteal terjadi pada hari ke -15 sampai ke-28

(Prawirohardjo, 2010). Folikel yang lama berubah

menjadi korpus luteum dengan proses yang bernama

luteinisasi. Setelah pembentukan korpus luteum,

folikel luteal menghasilkan vasklarisasi dari daerah

teka ke daerah granulosa yangmengalami luteineisasi

(Reeceet al, 2011). Hal ini membuat korpus luteum

sangat aktif menghasilkan hormon steroid (progesteron

dan estrogen). Progesteron lebih banyak diproduksi

dari estrogen; yang berperan penting dalam persiapan

implantasi ovum yang dibuahi (Sherwood, 2012).

Korpus luteum berdegenerasi jika tidak terjadi

fertilisasi setelah empat belas hari terbentuk. Proses ini

ditandai dengan berkurangnya kapiler-kapiler darah

dan menurunnya sekresi progesteron dan estrogen dan

terbentuknya korpus albicans. Hilangnya efek inhibisi

kedua hormon ini akan memungkinkan sekresi FSH

dan LH kembali meningkat dan dapat memulai

kembali fase folikular baru. Pada kehamilan, hidupnya

korpus luteum diperpanjang oleh rangsangan Human

Chorionic Gonadotrophine (HCG) yang disekresi oleh

blastokista yang tertanam. Hal ini terjadi sampai 9-10

minggu commit
kehamilan dan fungsinya akan diambil alih
to user
perpustakaan.uns.ac.id 38
digilib.uns.ac.id

oleh plasenta. (Sherwood, 2012; Reeceet al, 2011).

3. Gangguan Siklus Menstruasi

a. Polimenorea

Polimenorea adalah siklus menstruasi yang lebih

pendek dari normal, yaitu kurang dari 21 hari, perdarahan

sama atau lebih banyak daripada haid normal. Hal

tersebut dapat terjadi karena gangguan hormonal,

endometriosis, kongesti ovarium karena peradangan, dan

lain-lain. Pada gangguan hormonal terjadi gangguan

ovulasi yang menyebabkan pendeknya masa luteal.

Pemeriksaan laboratorium dibutuhkan untuk diagnosis

dan terapi lebih lanjut (Prawirodiharjo, 2010).

b. Oligomenorea

Pada wanita dengan oligomenorea memiliki siklus

menstruasi yang lebih panjang dari normal, yaitu lebih

dari 35 hari, dengan perdarahan yang lebih sedikit.

Umumnya pada kasus ini kesehatan penderita tidak

terganggu dan fertilitas cukup baik (Prawirodiharjo,

2010).

c. Amenorea

Amenorea adalah kondisi tidak terjadi siklus

menstruasi selama minimal 3 bulan berturut-turut.


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 39
digilib.uns.ac.id

Amenorea dibagi menjadi 2, yaitu amenorea primer dan

sekunder. Amenorea primer adalah keadaan saat seorang

perempuan sampai berumur 17 tahun, dengan atau tanpa

perkembangan seksual sekunder (Price and Wilson,

2013). Amenorea sekunder adalah kondisi saat seorang

wanita pernah mengalami menstruasi, tetapi kemudian

tidak mendapatkan menstruasi selam 3 bulan atau lebih.

Hal tersebut dapat disebabkan adanya tumor, infeksi,

gangguan metabolisme dan gizi, serta lainnya (Price and

Wilson, 2013). Terdapat amenorea fisiologis yang

mungkin terjadi pada saat masa sebelum pubertas, masa

gestasi, masa laktasi, dan setelah menopause

(Prawirodiharjo, 2010).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 40
digilib.uns.ac.id

B. K

G
a
m
b
a
r 2.2Skema Kerangka Pemikiran

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 41
digilib.uns.ac.id

C. Hipotesis
1. Terdapat hubungan antara indeks massa tubuh dengan kejadian
sindrom ovarium polikistik (SOPK).
2. Terdapat hubungan antara akne dengan kejadian sindrom
ovarium polikistik (SOPK).
3. Terdapat hubungan antara hirsutisme dengan kejadian sindrom
ovarium polikistik (SOPK).
4. Terdapat hubungan siklus menstruasi dengan kejadian sindrom
ovarium polikistik (SOPK).

commit to user

Anda mungkin juga menyukai