Anda di halaman 1dari 7

PORT DE ENTRY INFEKSI ODONTOGEN, POLA PENYEBARAN INFEKSI

ODONTOGEN DAN TATA LAKSANA PEMAKAIAN OBAT


(DISKUSI KASUS ABSES PALATAL)

Anggota :

Rabella Guspia Z. (191611101002)

Shinta Dinyanti (191611101004)

Nindya Nur M. (191611101006)

Instruktur :

drg. Budi Yuwono, M.Kes

BAGIAN BEDAH MULUT

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS JEMBER

2020
 PORT DE ENTRY INFEKSI ODONTOGEN

Infeksi pada rongga mulut biasanya disebabkan karena berbagai macam mikroorganisme.
Mikroorganisme dapat masuk ke jaringan keras maupun jaringan periapikal melalui karies,
jaringan periodontal, dan jaringan perikoronal. Bakteri masuk melalui karies ke dalam pulpa.
Respon imun tubuh tidak dapat mengkompensasi virulensi maka terjadirespon pertahanan berupa
inflamasi dan jika virulensi berlanjut akan menjadi nekrosis pulpa. Nekrosis pulpa adalah
mekanisme yang disebabkan oleh karena vaskularisasi pada ruang pulpa sangat kecil berikutnya
akan terjadi vasokonstriksi sesaat kemudian vasodiatasi, terjadi peningkatan tekanan cairan
plasma terhadap dinding pulpa yang berupa jaringan keras yang dilanjutkan eksudasi yang
menyebabkan edema intrapulpa. Edema ini meyebabkan penyempitan pembuluh darah
dikarenakan respon peningkatan tekanan terhadap jaringan keras pulpa dan menyebabkan
iskemia pembuluh darah yang terlibat (Marsh Phillip et al,2009).
Bila kondisi terjadi berlarut-larut maka akan terjadi nekrosis pulpa. Karena jaringan yang
nekrosis merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri, bila bakteri terus berkembang
biak maka infeksi akan menjalar melalui jalur masuk yang kedua yaitu jaringan periodontal
melalui foramen apikalis menuju jaringan apikal, maka terjadilah periodontitis (Marsh Phillip et
al,2009).
Jalur infeksi yang ketiga adalah jaringan perikoronal. Mahkota gigi sehat yang erupsi
sempurna dikelilingi oleh jaringan gingival. Pada gigi yang erupsi sebagian, mahkota gigi
diliputi oleh jaringan lunak (yang disebut operkulum). Operkulum tidak dapat dibersihkan secara
sempurna sehingga sering mengalami infeksi. Infeksi tersebut dapat bersifat lokal atau dapat
meluas ke jaringan yang lebih dalam dan melibatkan jaringan lunak (spasium). Antara
operkulum dengan mahkota gigi yang erupsi sebagian terdapat spasium, bagian dari dental
folikel (sisa dari jaringan enamel yang terdapat pada gigi yang sedang erupsi),
yang berhubungan dengan rogga mulut melalui celah (pseudopoket). Berbagai macam flora
normal rongga mulut, terutama mikroflora subgingiva dapat mebentuk koloni di celah tersebut.
(ebersihan rongga mulut yang kurang sehingga terdapat akumulasi plak dapat mendukung
berkembangnya koloni bakteri (Marsh Phillip et al,2009).
 POLA PENYEBARAN ABSES

Bakteri yang berperan dalam proses pembentukan abses ini yaitu Staphylococcus aureus
dan Streptococcus mutans. Staphylococcus aureus dalam proses ini memiliki enzim aktif yang
disebut koagulase yang fungsinya untuk mendeposisi fibrin. Sedangkan Streptococcus mutans
memiliki 3 enzim utama yang berperan dalam penyebaran infeksi gigi, yaitu streptokinase,
streptodornase, dan hyaluronidase (Fragiskos, 2007).
Dari proses nekrosis pulpa, salah satu yang bertanggung jawab adalah enzim dari
S.mutans tadi, akibatnya jaringan pulpa mati, dan menjadi media perkembangbiakan bakteri
yang baik, sebelum akhirnya mereka mampu merambah ke jaringan yang lebih dalam. Adanya
keterlibatan bakteri dalam jaringan periapikal, tentunya mengundang respon keradangan untuk
datang ke jaringan yang terinfeksi tersebut, namun karena kondisi hostnya tidak terlalu baik, dan
virulensi bakteri cukup tinggi (Fragiskos, 2007).
Tidak hanya proses destruksi oleh S.mutans dan produksi membran abses saja yang
terjadi pada peristiwa pembentukan abses ini, tapi juga ada pembentukan pus oleh bakteri
pembuat pus (pyogenik), salah satunya juga adalah S.aureus. Rongga patologis yang berisi pus
(abses) ini terjadi dalam daerah periapikal, yang notabene adalah di dalam tulang. Sehingga
untuk mencapai keluar tubuh, maka abses ini harus menembus jaringan keras tulang, kemudian
mencapai jaringan lunak, lalu barulah dapat keluar (Fragiskos, 2007).
Pola penyebaran abses dipengaruhi oleh 3 kondisi, yaitu virulensi bakteri, ketahanan
jaringan, dan perlekatan otot. Virulensi bakteri yang tinggi mampu menyebabkan bakteri
bergerak secara leluasa ke segala arah, ketahanan jaringan sekitar yang tidak baik menyebabkan
jaringan menjadi rapuh dan mudah dirusak, sedangkan perlekatan otot mempengaruhi arah gerak
pus (Sailer dkk, 1999).
Sebelum mencapai “dunia luar”, perjalanan pus ini mengalami beberapa kondisi, karena
sesuai perjalanannya, dari dalam tulang melalui cancelous bone, pus bergerak menuju ke arah
korteks tulang. Tulang yang dalam kondisi hidup dan normal, selalu dilapisi oleh lapisan tipis
yang tervaskularisasi dengan baik guna menutrisi tulang dari luar, yang disebut periosteum.
Karena memiliki vaskularisasi yang baik ini, maka respon inflamasi juga terjadi ketika pus mulai
“mencapai” korteks, dan melakukan eksudasinya dengan melepas komponen inflamasi dan sel
plasma ke rongga subperiosteal (antara korteks dan periosteum) dengan tujuan menghambat laju
pus yang kandungannya berpotensi destruktif tersebut. Peristiwa ini menimbulkan rasa sakit,
terasa hangat pada regio yang terlibat, bisa timbul pembengkakan, peristiwa ini disebut
periostitis/serous periostitis. Adanya tambahan istilah “serous” disebabkan karena konsistensi
eksudat yang dikeluarkan ke rongga subperiosteal mengandung kurang lebih 70% plasma, dan
tidak kental seperti pus karena memang belum ada keterlibatan pus di rongga tersebut. Periostitis
dapat berlangsung selama 2-3 hari, tergantung keadaan host (Sailer dkk, 199).
Apabila dalam rentang 2-3 hari ternyata respon inflamasi diatas tidak mampu
menghambat aktivitas bakteri penyebab, maka dapat berlanjut ke kondisi yang disebut abses
subperiosteal. Abses subperiosteal terjadi di rongga yang sama, yaitu di sela-sela antara korteks
tulang dengan lapisan periosteum. Pada kondisi ini, pus sudah berhasil “menembus” korteks dan
memasuki rongga subperiosteal. Karena lapisan periosteum adalah lapisan yang tipis, maka
dalam beberapa jam saja akan mudah tertembus oleh cairan pus yang kental, sebuah kondisi
yang sangat berbeda dengan peristiwa periostitis dimana konsistensi cairannya lebih serous
(Sailer dkk, 199).
Jika periosteum sudah tertembus oleh pus yang berasal dari dalam tulang tadi, proses
infeksi ini akan menjalar menuju fascial space terdekat, karena telah mencapai area jaringan
lunak. Apabila infeksi telah meluas mengenai fascial spaces, maka dapat terjadi fascial abscess.
Fascial spaces adalah ruangan potensial yang dibatasi/ditutupi/dilapisi oleh lapisan jaringan ikat
(Sailer dkk, 1999).

 MEDIKASI

Untuk menentukan penggunaan antibiotika dalam menangani penyakit infeksi, secara


garis besar dapat dipakai prinsip-prinsip umum dibawah ini :
1. Penegakan diagnosis infeksi. Hal ini bisa dikerjakan secara klinis berdasar kriteria
diagnose ataupun pemeriksaan-pemeriksaan tambahan lain yang diperlukan. Gejala panas
sama sekali bukan kriteria untuk diagnosis adanya infeksi.
2. Kemungkinan kuman penyebabnya, dipertimbangkan dengan perkiraan ilmiah
berdasarkan pengalaman setempat yang layak dipercaya atau epidemiologi setempat atau
dari informasi-informasi ilmiah lain.
3. Apakah antibiotika benar-benar diperlukan? Sebagian infeksi mungkin tidak memerlukan
terapi antibiotika misalnya infeksi virus saluran pernafasan atas, keracunan makanan
karena kontaminasi kuman-kuman enterik. Jika tidak perlu antibiotika, terapi alternatif
apa yang dapat diberikan?
4. Jika diperlukan antibiotika, pemilihan antibiotika yang sesuai berdasarkan spektrum
antikuman, sifat farmakokinetika, ada tidaknya kontra indikasi pada pasien, ada tidaknya
interaksi yang merugikan, bukti akan adanya manfaat klinik dari masing-masing
antibiotika untuk infeksi yang bersangkutan berdasarkan informasi ilmiah yang layak
dipercaya. Dari sisi bakteri, pertimbangkan site of infectionand most likely colonizing,
berdasar pengalaman atau evidence based sebelumnya bakteri apa yang paling sering,
pola kepekaan antibiotika yg beredar lokal (Leekha et al, 2011).
5. Penentuan dosis, cara pemberian, lama pemberian berdasarkan sifat-sifat kinetika
masing-masing antibiotika dan fungsi fisiologis sistem tubuh (misalnya fungsi ginjal,
fungsi hepar dan lain-lain). Perlu dipertimbangkan dengan cermat pemberian antibiotika
misalnya pada ibu hamil dan menyusui, anak-anak, dan orang tua.
6. Evaluasi efek obat. Apakah obat bermanfaat, kapan dinilai, kapan harus diganti atau
dihentikan? Adakah efek samping yang terjadi? (Graham-Smith& Aronson, 1985)

Antibiotik diresepkan oleh dokter gigi untuk perawatan serta pencegahan infeksi. Berikut ini
adalah indikasi penggunaan antibiotik sistemik di bidang kedokteran gigi (Jain M, dkk., 2013) :
1. Sebagai perawatan definitif dalam penanganan infeksi postoperative
2. Sebagai perawatan penunjang untuk penanganan bedah infeksi (drainase abses)
3. Demam dan menggigil yang berlangsung lebih dari 24 jam
4. Trismus dikarenakan infeksi
5. Cellulitis yang menyebar luas
6. Individu yang immunocompromised
7. Infeksi maksilofasial yang terkontaminasi
8. Prosedur yang memiliki resiko infeksi tinggi
9. Profilaksis untuk mencegah SABE (sub-acute bacterial endocarditis)

Terdapat beberapa prinsip untuk memilih antibiotik yang sesuai, diantaranya adalah (Jain M,
dkk., 2013) :
1. Faktor pasien
2. Pertimbangan organisme yang terlibat
3. Faktor obat
4. Prinsip administrasi antibiotik
5. Prinsip dosis antibiotik untuk infeksi orofacial
6. Indikasi terapi
7. Kombinasi antibiotik
8. Masalah yang mungkin muncul dari penggunaan antibiotik

Durasi Penggunaan Antibiotik


Penggunaan antibiotik betujuan untuk membantu imunitas tubuh melawan mikroba
penyebab infeksi, oleh karena itu penggunaan antibiotik sebaiknya dihentikan apabila sistem
kekebalan tubuh telah dapat melakukan kontrol terhadap infeksi. Penggunaan antibiotik selama
2-3 hari telah dianjurkan oleh British National Formulary (BNF). Penelitian telah membuktikan
bahwa kondisi pasien membaik setelah penggunaan antibiotik selama 2-3 hari. Center for
Diseases Control and Prevention (CDC) menganjurkan penggunaan antibiotik sesingkat
mungkin, yaitu 1-3 hari setelah tanda dan gejala klinis hilang. Oleh karena itu pada umumnya di
bidang kedokteran gigi dosis antibiotik diberikan untuk durasi lima hari. Penggunaan antibiotik
yang berkepanjangan dapat menyebabkan rusaknya flora normal tubuh. Penggunaan antibiotik
lebih dari 21 hari juga disinyalir dapat menyebabkan resistensi antibiotic (Dar-Odeh, dkk., 2016)
Daftar Pustaka :

Dar-Odeh, N. S., Abu-Hammad, O. A., Al-Omiri, M. K., Khraisat, A. S., Shehabi, A. A., 2010,
Antibiotic prescribing practices by dentists: a review, Therapeutics and Clinical Risk
Management, 2016:6 (301-306)

Fragiskos, FG. 2007. Oral Surgery. Thieme, New York.

Grahame-Smith, D. G., Aronson, S. K. 1985.Oxford Textbook of Clinical Pharmacology and


Drug Therapy. Oxford University Press, Oxford.

Jain, M. K., Oswal, S., 2013, Antibiotics in Dentistry – An Art and Science, Annals of
Dental Specialty, 1:1 (20-26)

Leekha, S. , Terrel, C. L., Edson, R. S. 2011. General Principles of Antimicrobial Therapy.


Symposium On Antimicrobial Therapy.

Marsh DP, Martin VM. 2009. Oral Microbiology: Orofacial Bacterial Infections. 5th ed.
Toronto: Churchill Livingstone Elsevier. p146-149

Sailer, Hermann.F., dan Pajarola, Gion. F., 1999, Color Atlas of Dental Medicine Oral Surgery
for The General Dentist, Thieme, New York.

Anda mungkin juga menyukai