Anda di halaman 1dari 6

Portofolio 1

Dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I (Ketentuan Umum) Pasal 1 butir
1:“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, dan ketrampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.1 Pendidikan merupakan kebutuhan dasar paling
utama yang bersifat terbuka, sebab suatu pendidkan tidak dapat berjalan sesuai fungsinya apabila
mengisolasikan diri dengan lingkungannya. Pendidikan berada dimasyarakat, ia adalah milik masyarakat.
Itulah sebabnya, pemerintah menegaskan bahwa pendidikan adalah menjadi tanggung jawab
pemerintah/sekolah, orang tua dan masyarakat. Oleh karena keberadaan pendidikan seperti itu maka
apa yang berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat akan berpengaruh pula terhadap pendidikan.

Pendidikan pada hakikatnya adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan
didalam maupun diluar sekolah dan berlangsung seumur hidup. Namun pada kenyataannya, kondisi
ekonomi masyarakat tentu saja berbeda, tidak semua keluarga memiliki kemampuan ekonomi yang
memadai dan mampu memenuhi segala kebutuhan anggota keluarga. Salah satu pengaruh yang
ditimbulkan oleh kondisi ekonomi yang seperti ini adalah orang tua tidak sanggup menyekolahkan
anaknya pada jenjang yang lebih tinggi walaupun mereka mampu membiayainya di tingkat sekolah
dasar.

Jelas bahwa kondisi ekonomi keluarga merupakan faktor pendukung yang paling besar untuk kelanjutan
pendidikan anak-anaknya, sebab pendidikan juga membutuhkan dana besar.Banyak sekali faktor yang
menyebabkan anak putus sekolah, seperti faktor internal dan faktor eksternal. faktor internal
merupakan faktor yang berasal dari dalam diri anak, baik berupa kemalasan, hobi bermain, dan
rendahnya minat yang menyebabkan anak putus sekolah. Sedangkan faktor eksternal merupakan faktor
yang berasal dari luar diri anak baik berasal dari orang tua yakni keadaan ekonomi keluarga, perhatian
orang tua, hubungan orang tua yang kurang harmonis,latar belakang pendidikan orang tua dan
lingkungan pergaulan sehingga menyebabkan dorongan anak untuk bersekolah juga rendah.
Putus sekolah bukan merupakan persoalan baru dalam sejarah pendidikan. Persoalan ini telah berakar
dan sulit untuk untuk dipecahkan, sebab ketika membicarakan solusi maka tidak ada pilihan lain kecuali
memperbaiki kondisi ekonomi keluarga. Ketika membicarakan peningkatan ekonomi keluarga terkait
bagaimana meningkatkan sumber daya manusianya. Sementara semua solusi yang diinginkan tidak akan
lepas dari kondisi ekonomi nasional secara menyeluruh, sehingga kebijakan pemerintah berperan
penting dalam mengatasi segala permasalahan termasuk perbaikan kondisi masyarakat.

Fakta, Penyebab, dan Dampak Putus Sekolah

Putus sekolah di Indonesia adalah salah satu masalah utama yang perlu dipecahkan. Tingkat putus
sekolah tertinggi terjadi di daerah-daerah tertinggal terutama tingkat sekolah dasar. Menurut UNICEF
(2012) tingkat putus sekolah tertinggi di Indonesia terjadi di kelas 1 sekolah dasar (3,7%) dan menjadi
lebih rendah di kelas-kelas berikutnya, namun terus meningkat di kelas 6. Daerah tertinggal di Indonesia
diperkirakan mendapat pendidikan yang tidak setara. Hal ini disebabkan kondisi sosial ekonomi yang
buruk dan kurangnya sumber daya manusia. Sebagian besar anak meninggalkan sekolah dalam masa
transisi dari sekolah dasar ke sekolah menengah pertama (UNICEF, 2012).

Data lain dari Badan Pusat Statistik (BPS) (2013) dalam Srie (2013) menunjukkan tingkat putus sekolah
untuk sekolah dasar di Indonesia rata-rata adalah 0,67 persen dan sama dengan 182.773 siswa di mana
provinsi-provinsi terbelakang berada di tempat yang lebih tinggi. Ada lima provinsi yang memiliki tingkat
putus sekolah tertinggi untuk tingkat sekolah dasar: Sulawesi Barat (2,37%), Bangka Belitung (1,88%)
Papua Barat (1,56%), Papua (1,36%) dan Sulawesi Tenggara (1,32%).

Di daerah tertinggal, putus sekolah terutama disebabkan oleh latar belakang sosial ekonomi yang buruk,
yang biasanya berasal dari latar belakang keluarga dan pendapatan yang rendah (UNICEF Indonesia,
2012). Menurut penelitian Chirtes (2010) empat kategori faktor utama putus sekolah adalah faktor
keluarga, faktor terkait sekolah, lingkungan sosial, dan faktor pribadi di mana risiko putus sekolah jauh
lebih tinggi pada faktor keluarga dengan standar kehidupan yang rendah. Namun faktor lain perlu
diperhatikan seperti rendahnya kualitas pendidikan, ketidaksetaraan distribusi sumber daya sekolah,
dan hambatan geografis yang juga berkontribusi terhadap putus sekolah di daerah pedesaan. Faktor
keluarga lebih mempengaruhi pilihan hidup seorang siswa apakah ingin terus belajar atau tidak. Hal
tersebut tergantung pada dorongan keluarga, tidak peduli seberapa besar tantangan eksternal dan
sosial yang ada.
Chirtes (2010) menjelaskan putus sekolah menyebabkan kegagalan dalam integrasi sosial, dan akibatnya
sangat mengurangi kesempatan seseorang untuk mencapai kesuksesan pribadi dalam bidang aktivitas
yang mereka inginkan. Kegagalan dalam integrasi sosial akan menyebabkan kebodohan anak, tenaga
kerja murah, kemiskinan, bahkan kriminalitas. Mereka juga bisa menjadi beban masyarakat seperti
preman, perampok, dan pembuat onar yang membawa ketidakharmonisan dan ketidakamanan dalam
masyarakat. Selain itu, harapan untuk sukses secara materi dan mental akan sulit dicapai karena
kurangnya keterampilan dan pengetahuan.

Mendorong Partisipasi Orangtua dalam Pendidikan Anak

Ada hubungan yang kuat antara keterlibatan orangtua dan prestasi akademik anak-anak. Penelitian oleh
McNeal Jr. (2014) membuktikan bahwa keterlibatan orangtua dapat meningkatkan harapan pendidikan,
mengurangi tingkat ketidakhadiran siswa di sekolah, dan meningkatkan prestasi anak-anak. Harapan
pendidikan berarti disini siswa memiliki ambisi untuk melanjutkan pendidikannya sampai lulus SMA dan
bahkan mendaftar di universitas. Orangtua yang selalu berdiskusi dan berkomunikasi dengan anak-anak
mereka tentang kehidupan sekolah akan membantu mereka untuk belajar, mengilhami anak-anak untuk
peduli dengan kegiatan sekolah hingga bersemangat untuk berprestasi lebih tinggi.

Di daerah tertinggal dimana banyak orangtua berasal dari latar belakang pendidikan rendah, upaya
untuk melibatkan mereka jauh lebih besar. Oleh karena itu, mendorong partisipasi orangtua untuk
mengatasi putus sekolah pada anak perlu melibatkan pemangku kepentingan lainnya seperti guru
sekolah, pakar pendidikan dan praktisi, masyarakat, komunitas yang berkepentingan dan pemerintah.

Mendidik dan Menyadarkan Orangtua (Terutama Keluarga Tidak Mampu)

Pendidikan orangtua berkorelasi dengan keberhasilan orangtua dalam mendidik anaknya. Orangtua
yang peduli akan menyediakan sarana pendidikan untuk anak-anak semampu mereka (Jeynes, 2011).
Oleh karena itu, penyadaran kepada orang tua akan pentingnya pendidikan harus digalakkan. Meskipun
keluarga berasal dari keluarga yang tidak mampu, kemungkinan besar mereka akan berubah jika mereka
percaya bahwa pendidikan itu berharga, apalagi jika mereka ingin melihat anak-anak mereka mengejar
pendidikan yang lebih baik daripada mereka.

Karena itu, pemerintah, pendidik, masyarakat, dan kelompok yang berkepentingan dapat berpartisipasi
untuk membantu keluarga yang kurang beruntung lebih terlibat dalam pendidikan anak-anak mereka.
Kita dapat mendidik mereka tentang pentingnya pendidikan dan peran mereka dalam pendidikan anak-
anak. Misalnya, pemerintah dibantu oleh para pendidik dan praktisi untuk memberikan pelatihan dan
konseling dengan tujuan meningkatkan kesadaran orangtua. Masyarakat dan tetangga dapat
diperingatkan jika ada keluarga yang memiliki anak berpotensi putus sekolah.

Komunikasi Orangtua-Anak

Komunikasi antara orangtua dan anak menentukan kemajuan pendidikan anak. Martine-Gonzales (2008)
menegaskan bahwa komunikasi antara orangtua dan anak adalah indikator perhatian orangtua.
Orangtua yang selalu berdiskusi dengan anak terkait peningkatan pengetahuan bisa mempengaruhi
prestasi akademik anak. Selain itu, selalu bertanya kepada anak-anak tentang apa yang telah mereka
pelajari di sekolah sangat penting untuk kemajuan pendidikan mereka. Studi yang dilakukan oleh
Martinez-Gonzalez (2008) di Spanyol membuktikan bahwa orangtua yang memiliki tingkat pendidikan
rendah tampaknya terlibat dalam berbagai cara dengan bantuan akademis semampu mereka, seperti
berbicara kepada anak-anak mereka tentang kehidupan sekolah, menyediakan sarana belajar sesuai
kemampuan mereka, menunjukkan kasih sayang, menciptakan lingkungan yang mendukung. Oleh
karena itu, menjaga komunikasi dan diskusi antara orangtua dan anak akan mengurangi risiko putus
sekolah walaupun orangtua memiliki prestasi belajar yang rendah.

Kemitraan Orangtua-Guru

Kerja sama dan komunikasi antara orangtua dan guru untuk membantu perkembangan anak di sekolah
dapat mencegah anak putus sekolah. Bridgeland (2010) menunjukkan bahwa penyebab utama putus
sekolah adalah kesenjangan antara apa yang diharapkan orangtua dan guru terhadap kebutuhan siswa.
Guru bisa selalu memberi tahu orangtua tentang kehidupan sekolah anak-anak dan sebaliknya. Selain
itu, guru bisa memberi tahu orangtua tentang kekuatan dan kelemahan anak sehingga orangtua menjadi
lebih peduli tentang apa yang harus dikembangkan dan dikerjakan anak-anak.

Dengan mengadakan pertemuan orangtua-guru, baik orangtua maupun guru dapat bekerja sama untuk
mencegah anak-anak dari kasus putus sekolah yang berisiko. Ini akan sangat membantu terutama bagi
orangtua dengan tingkat pendidikan rendah karena guru dapat memberikan beberapa solusi atau cara
yang bisa diterapkan orangtua di rumah.

Kemitraan Keluarga-Sekolah-Masyarakat
Cara lain untuk mencegah putus sekolah adalah membangun kemitraan sekolah-keluarga-masyarakat.
Untuk memaksimalkan rasa keterhubungan siswa di sekolah membutuhkan kerjasama dan kolaborasi
antarsekolah, keluarga, dan masyarakat (Goss & Andren, 2014). Kolaborasi ini bisa menciptakan
lingkungan belajar yang positif sehingga bisa meningkatkan antusiasme anak untuk mencintai sekolah.
Misalnya, sekolah memungkinkan orangtua bahkan mendorong mereka untuk berpartisipasi dalam
kegiatan sekolah baik di kelas maupun kegiatan ekstrakurikuler. Masalah putus sekolah bukanlah
tanggung jawab sekolah saja, namun merupakan tanggung jawab seluruh masyarakat. Kemitraan
masyarakat dan komunitas dapat memberikan layanan seperti mengawal, memperhatikan dan
membantu keluarga dan siswa yang berpotensi putus sekolah.

Daftar Pustaka

Bridgeland, J. M. (2010). The new dropout challenge: Bridging gaps among students, parents, and
teachers. New Directions for Youth Development, (127), 101-110.

Chirtes, G. (2010). A case study into the causes of school dropout. Acta Didactica Napocensia, 3(4), 25-
34.
Goss, C.Lee & Andren, Kristina J. (2014). Dropout prevention. New York: The Guilford Press.

Jeynes, William H. (2011). Parental involvement and academic success. New York: Routledge.

Martinez-Gonzalez, R., Symeou, L., Alvarez-Blanco, L., Roussounidou, E., Iglesias-Muniz, J., & Cao-
Fernandez, M. (2008). Family involvement in the education of potential drop-out children: A
comparative study between spain and cyprus. Educational Psychology, 28(5), 505-520.

McNeal Jr, R. B. (2014). Parent involvement, academic achievement and the role of student attitudes
and behaviors as mediators. Universal Journal of Educational Research, 2(8), 564-576. Doi:
10.13189/ujer.2014.020805

Srie. (2013). Inilah, peringkat 5 besar provinsi berdasarkan angka putus sekolah.
http://www.srie.org/2013/02/inilah-peringkat-5-besar-provinsi.html

UNICEF Indonesia. (2012). Ringkasan Kajian: Pendidikan & Perkembangan Anak Usia Dini.

Anda mungkin juga menyukai