Abstrak
Perbedaan antara siswa yang cerdas dan lemah terletak pada adanya kesadaran akan
kemampuan pada diri seseorang siswa untuk menguasai pengetahuan dan proses belajaranya atau
lebih dikenal dengan istilah “metakognitif”. Siswa yang memiliki metakognif yang baik
mengetahui bagaimana belajar yang berhasil dan mengetahui apa yang harus ia lakukan di dalam
lingkungan belajar. Metakognitif bukanlah sesuatu yang diwariskan, melainkan ia dapat
diajarkan secara berulang-ulang melalui pendekatan pembelajaran langsung. Melalui berbagai
aktivitas seperti menulis jurnal (keeping a reflective journal), menyuarakan apa yang ada dalam
pikiran (talking about thinking), bertanya pada diri sendiri (self-questioning), diharapkan
kemampuan metakognitif siswa akan tumbuh dan dapat ia terapkan dalam menyelesaikan
berbagai tugas belajar di sekolah, dan dilanjutkannya ketika ia bekerja dan beraktivitas di
tengah-tengah masyarakat sepanjang hayat.
A. Pendahuluan
Seorang guru akan sangat senang apabila ia memiliki siswa-siswa yang berhasil. Siswa-
siswa yang berhasil adalah mereka yang memperoleh nilai-nilai ujian di atas rata-rata.
Disamping itu, siswa-siswa yang berhasil adalah mereka yang belajar sepanjang hayat. Tentu
ada banyak faktor yang menyebabkan mengapa mereka mendapat nilai memuaskan dan mau
belajar sepanjang hayat. Faktor-faktor tersebut antara lain: mereka menghayati apa tujuan dari
pelajaran yang mereka akan ikuti. Mereka menyiapkan apa saja kebutuhan untuk mengikuti
setiap pelajaran. Mereka menentukan target belajar yang akan dicapai. Mereka menerapkan
strategi belajar yang tepat untuk setiap pelajaran. Mereka melakukan monitoring terhadap
kemajuan dan kegagalan yang dialami. Mereka selalu mengadakan evaluasi dan refleksi terhadap
hasil belajar yang mereka telah capai. Proses ini mereka lakukan selama mereka bersekolah dan
terus dilanjutkan di tempat kerja dan di masyarakat hingga akhir hayat.
Apabila kita melihat realitas di lapangan bahwa jumlah siswa yang berhasil dengan nilai
di atas rata-rata jumlahnya masih sangat sedikit. Memang setiap tahun terjadi kelulusan siswa
hampir seratus persen di setiap sekolah atau madrasah. Akan tetapi, nilai yang mereka peroleh
terutama pada Ujian Nasional (UN) sebagian besar pas-pasan atau bahkan di bawah nilai 5.5,
1
nilai terendah yang ditetapkan oleh pemerintah. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor. Faktor –
faktor tersebut berasal dari sekolah, lingkungan dan keluarga, serta dari siswa-siswa itu sendiri.
Faktor-faktor yang berasal dari siswa-siswa antara lain: Mereka tidak mengetahui bagaimana
belajar yang berhasil. Mereka tidak tahu mengapa mereka mengikuti pelajaran. Mereka tidak
menentukan target yang akan dicapai. Mereka tidak tahu dan tidak menerapkan strategi belajar
yang tepat. Mereka tidak melakukan monitoring terhadap kelangsungan belajar. Mereka tidak
pernah melakukan refleksi dan evaluasi terhadap hasil yang tela dicapai. Bagi mereka bersekolah
hanyalah sebuah keharusan untuk mencari ilmu sedangkan penguasaan materi bukan merupakan
prioritas.
Kesuksesan dan kegagalan siswa tidak terlepas dari peran seorang guru. Guru yang baik
adalah guru yang memiki kompetensi akademik, sosial, personal, dan pedagogik. Dengan
kompetensi yang dimilikinya itu ia dapat membuat perencanaan pembelajaran yang baik,
memproses pembelajaran di dalam kelas dengan menarik dan melakukan penilaian dengan
berbagai macam teknik. Disamping itu ia juga mengajarkan bagaimana cara belajar yang
berhasil. Artinya ia mengajarkan pula metakognitif. Metakognitif merupakan tatanan berpikir
tingkat tinggi (higher order thinking). Ia memegang kendali aktif atas proses kognitif (berpikir)
yang berlangsung pada saat belajar. Bila seorang siswa melakukan berbagai kegiatan seperti:
menetapkan pendekatan yang sesuai dengan karakter diri untuk menyelesaikan tugas belajar
yang diberikan guru, memonitor pemahaman diri tentang tugas belajar yang dijalaninya, dan
mengevaluasi kemajuan tentang penyelesaian suatu tugas belajar, pada hakekanya, ia telah
melaksanakan kegiatan metakognitif.
Metakognitif memainkan peranan penting dalam menentukan keberhasilan belajar
,karenanya penting sekali bagi guru untuk mengajarkan strategi metakognitif ini pada para siswa.
Kurikulum 2013pun menekankan pentingnya penerapan strategi metakognitif dalam proses
pembelajarannya. Namun menurut cermatan penulis, masih banyak guru yang belum memahami
strategi metakognitif sehinga mereka belum mengajarkan dan melakukan berbagai kegiatan yang
mendorong kepada pengaktipan strategi metakognitif para siswa secara sadar dan terencana.
Oleh karena itu, paper ini akan membahasnya. Pertama akan dibahas tentang pengertian lebih
lanjut tentang metakognitif. Kemudian dibahas tentang jenis-jenis metakognitif, metakognitif
dan pengetahuan, mengajarkan metakognitif, strategi mengajarkan metakognitif dan aktifitas
yang berkaitan dengan metakognitif . Bagian akhir adalah kesimpulan.
2
B. Pengertian Metakognitif
Apa itu metakognitif? Ada pakar yang mengatakan bahwa mendefinisikan metakognisi
secara tepat sulit; karenanya yang lebih mudah adalah menunjukkan contoh-contoh dari kegiatan
metakognitif. Namun demikian, Penulis mengutip definisi metakognitif yang dikemukakan oleh
beberapa pakar. Thamraksa, (2009) menjelaskan bahwa Metakognitif adalah kemampuan yang
disadari oleh seseorang untuk mengenali pengetahuannya, memahami dan memiliki kendali
atas belajarnya sendiri (Metacognition is the conscious ability to recognize one’s knowledge,
understand and have a control over his/her own learning). Artinya Siswa yang memiliki
metakognitif yang baik, ia akan dapat memonitor dan mengarahkan proses belajarnya sendiri;
ia juga memiliki kemampuan untuk menguasai informasi, dan menerapkan berbagai strategi
belajar untuk memecahkan berbagai masalah dengan lebih mudah.
Win,W. & Snyder,D., (1998) menyatakan bahwa metakognisi adalah suatu konsep
penting dalam teori kognisi. Metakognitif terdiri atas dua proses dasar yang terjadi secara
bersamaan, yaitu kemampuan memonitor kemajuan belajar saat anda belajar, dan mengadakan
perubahan serta menyesuaikan berbagai strategi jika anda memandang bahwa anda tidak
mengalami kemajuan. Metakognitif adalah tentang refleksi diri sendiri, tanggungjawab dan
inisiatif diri sendiri serta menetapkan target dan pengelolaan waktu (Metacognition is as
important concept in cognitive theory. It consists of two basic processes occurring
simultaneously, monitoring your progress as you learn, and making changes and adapting your
strategies if you perceive you are not doing so well. It’s about self-reflection, self-responsibility
and initiative, as well as goal setting and time management). Pakar lain mengatakan
keterampilan metakognisi meliputi: adanya kesadaran akan pengendalian belajar, perencanaan
dan pemilihan berbagai strategi, memonitor kemajuan belajar, memperbaiki berbagai kesalahan,
menganalisa efektivitas berbagai strategi belajar, dan merubah perilaku belajar serta berbagai
strategi bila perlu (Ridley, D.S., Schutz, P.A., Glanz,R.S. & Weinstein, C.F., (1992)
Metacognitive Skills include taking conscious control of learning, planning and selecting
strategies, monitoring the progress of learning, correcting errors, analyzing the effectiveness of
learning strategies, and changing learning behaviors and strategies when necessary).
Disamping tiga definisi metakognisi seperti yang dikemukakan di atas, terkadang ada
juga orang yang menggunakan phrase “going meta” ketika mereka membicarakan metakognitif
(Linda Darling-Hammond, Kim Austin, Melissa Cheung, and Daisy Martin (2009)). Phrase
3
“going meta” mengacu kepada proses melangkah mundur untuk melihat apa yang anda sedang
lakukan, seolah-olah anda menjadi orang lain yang mengamati apa yang anda sedang kerjakan.
Phrase “going meta” berarti menjadi penonton penampilan anda sendiri.—dalam hal ini diri
anda adalah tokoh pada penampilan tersebut. Bila seorang sedang belajar bermain golf,
misalnya, melihat video tentang bagaimana ia mengayunkan golf stick dapat membantu ia
memahami apakah ia mengayunkan golf stick tersebut sudah benar atau masih salah. Biasanya,
kita tidak mengetahui, apa yang terjadi pada diri kita ketika kita melakukan sesuatu. Karenanya
sangat sukar bagi kita untuk memperbaiki proses yang kita sendiri terlibat di dalam proses
tersebut jika kita tidak memiliki gambar/rekaman tentang apa yang kita sedang lakukan pada
saat itu. Bahkan seorang penari ballet professional mengandalkan cermin untuk membantunya
memahami seperti apa penampilannya dan apa yang ia lakukan ketika sedang menari. Ia perlu
melihat penampilannya, seperti apa yang penonton lihat sebelum ia dapat memulai
memperbaikinya. Kemampuan menyaksikan penampilan diri sendiri saat beraksi sangat berguna
manakala kita mempelajari keterampilan-keterampilan pisik. Akan tetapi, mengamati kognitif
(pikiran) kita sedang bekerja sangat sulit, karena aktivitas tersebut seringkali tidak kelihatan
dan tidak dapat diamati secara langsung.
Dari penjelasan tentang metakognitif di atas, dapat kita pahami bahwa metakognitif
merupakan proses berpikir yang berlangsung dalam diri siswa yang melahirkan adanya
kesadaran akan pengendalian belajar, perencanaan dan pemilihan berbagai strategi, memonitor
kemajuan belajar, memperbaiki berbagai kesalahan, menganalisa efektivitas berbagai strategi
belajar, dan merubah perilaku belajar serta berbagai strategi bila perlu. Sebagai guru kita
berkewajiban membantu para siswa menjadi peka dengan penampilan kognitifnya ketika
mereka sedang belajar bernalar matematika, sejarah atau mata pelajaran lainnya. Kemampuan
bernalar tidak dapat langsung diamati. Karena itu, tantangannya adalah bagaimana membantu
siswa belajar ber”go meta” berkaitan dengan proses berpikir yang tidak langsung nampak agar
kita dapat memperbaiki kinerja kognitifnya. Guru-guru harus menciptakan ruang kelas yang
menyerupai cermin pada dinding studio tari balet atau tape video tentang ayunan golf stick jika
tujuan siswa bersekolah adalah untuk mempersiapkan siswa-siwa menjadi pembelajar sepanjang
hayat. Karenanya penting sekali membantu para siswa untuk menjadi sadar akan dirinya sendiri
sebagai siswa dan mengendalikan sendiri berbagai aktivitasnya.
4
C. Macam Metakognitif
Istilah “metakognitif “ pertama kali dikemukakan oleh John Flavel, (1979). Menurut
Flavel (1979) in Livington (1997), metakognitif terdiri dari metacognitive knowledge dan
metacognitive experiences atau regulation.
1. Metacognitive knowledge adalah pengetahuan atau keyakinan seseorang tentang faktor-faktor
yang dapat digunakan untuk mengendalikan proses kognitifnya (berpikir). Metacognitive
knowledge dibagi menjadi tiga macam, yaitu awareness of knowledge/person variables,
awareness of thinking / task variables, dan awareness of thinking/strategy variables.
Pertama, awareness of knowledge/person variables mengacu kepada pemahaman
tentang apa yang orang ketahui, apa yang orang tidak ketahui, dan apa yang orang ingin
ketahui. (“Saya mengetahui dan memahami bahwa tanam-tanaman memerlukan sinar
matahari, namun saya tidak mengetahui mengapa mereka membutuhkannya?”) Juga
termasuk dalam kelompok ini adalah kesadaran akan keberadaan pengetahuan yang dimiliki
orang lain. (“Saya tahu Sarah mamahami pembagian (matematika) secara mendalam, karena
itu saya akan meminta ia menjelaskan masalah pembagian (matematika) ini kepada saya”).
Dengan kata lain, awareness of knowledge/person variables berkaitan dengan pengetahuan
atau keyakinan seseorang tentang dirinya sebagai pemikir atau pembelajar dan apa yang ia
yakini tentang proses berpikir yang ada pada orang lain. Awareness of knowledge/person
variables juga berkaitan dengan pengetahuan bagaimana manusia belajar dan memproses
informasi, juga pengetahuan seseorang akan proses belajar dirinya. Misalnya, anda mungkin
menyadari bahwa waktu belajar dan hasil belajar anda akan lebih produktif bila anda belajar
di perpustakaan yang senyap dari pada anda belajar di rumah yang banyak gangguannya.
Contoh lain, anda yakin bahwa anda akan belajar lebih baik bila anda belajar sambil praktek
dari pada hanya mendengar ceramah.
Kedua, Awareness of thinking / task variables berkenaan dengan pengetahuan atau
semua informasi tentang sifat tugas yang diperintahkan untuk diselesaikan. Pengetahuan dan
informasi ini akan memandu siswa dalam mengerjakan tugas tersebut dan menyediakan
informasi tentang tingkat keberhasilan yang mungkin dicapai. Misalnya, seorang siswa akan
menyadari bahwa ia akan memerlukan waktu yang lebih panjang untuk menulis essay
tentang suatu masalah yang berkaitan dengan sains daripada menulis essay narasi tentang
5
hari ulang tahun dirinya. Contoh lain, membaca dan memahami isi sebuah novel lebih
mudah dari pada membaca dan memahami buku teks tentang ilmu pengetahuan sosial.
Ketiga, Awareness of thinking/strategy variables berkaitan dengan pengetahuan
strategi kognitif dan metakognitif, serta pengetahuan tentang situasi kapan dan dimana saat
yang tepat untuk menggunakan kedua strategi tersebut. (“Saya mengalami kesulitan
membaca artikel ini, Saya sebaiknya meringkas apa yang saya baca pada bagian ini terlebih
dahulu, dan baru kemudian saya melanjutkan ke bagian yang lain”) Contoh lain, anda perlu
mencari tahu terlebih dahulu pokok pikiran utama dari sebuah bacaan, sebelum anda dapat
menyimpulkan isi bacaan tersebut.
6
Untuk meningkatkan berbagai kemampuan metakognitif, siswa perlu memiliki dan
menyadari tentang adanya tiga macam pengetahuan, yaitu: pengetahuan deklaratif, pengetahuan
prosedural dan pengetahuan kondisional (Ehren & Gildroy). Pengetahuan deklaratif adalah
pengetahuan yang berkaitan dengan konsep, fakta, gagasan atau label. Misalnya, saya memiliki
pengetahuan deklaratif tentang menjadi pengemudi yang baik. Saya mengetahui rambu-rambu
lalu lintas. Saya mengenal berbagai alat/instrumen yang tersedia di dashboard mobil. Saya dapat
membedakan pedal rem dan pedal gas. Saya mengetahui jarak aman antara mobil yang satu
dengan mobil yang lain. Pengetahuan prosedural adalah pengetahuan yang berkaitan dengan
bagaimana seseorang melakukan sesuatu. Pengetahuan tentang bagaimana melakukan langkah-
langkah dalam suatu proses. Saya dapat menghidupkan mesin mobil, mempercepat dan
menghentikan laju mobil dengan halus, mengemudikan, membelokkan, dan memarkir mobil
dengan cekatan. Pengetahuan kondisional adalah pengetahuan yang berkaitan dengan kontek
dan lingkungan. Karena itu, seseorang perlu menggunakan berbagai prosedur, keterampilan dan
strategi khusus yang berhubungan dengan informasi “kapan”, “dimana” dan”mengapa” untuk
mengoperasikannya. Saya dapat melakukan pengereman kendaraan dengan cara berbeda-beda
sesuai situasi dan kondisi jalan. Saya dapat melakukan pengereman kendaraan di jalan kering
dan halus, di jalan berbatu kerikil, dan di jalan basah dan licin dengan baik sekali sehingga
mobil dapat berhenti dengan mulus. Saya juga bisa menyesuaikan kecepatan berkendaraan dan
pindah jalur sesuai dengan tuntutan jalan dan keadaan.
Pemahaman tentang ketiga jenis pengetahuan ini berkaitan dengan berbagai strategi
belajar dan mata palajaran. Ketika para siswa belajar, mereka memerlukan pengetahuan
deklaratif. (1) Mereka perlu menyadari adanya kenyataan/ fakta bahwa ada berbagai mata
pelajaran. Bacaan pada masing-masing mata pelajaran berbeda. Ada bacaan yang mudah dicerna
dan ada pula bacaan yang sulit dipahami. Demikian pula ia akan menyadari bahwa memahami
argumentasi yang ada pada novel akan lebih mudah dibandingkan dengan memahami
argumentasi yang ada pada buku sains. Mereka perlu mengetahui bahwa ada berbagai strategi
mencatat yang berbeda-beda yang dapat mereka pilih. (2) Siswa perlu mengetahui bagaimana
sesungguhnya tatacara mencatat yang efektif untuk mata pelajaran yang berbeda-beda tingkat
kesulitannya itu. Mereka memerlukan pengetahuan prosedural tentang langkah-langkah
membuat catatan yang efektif untuk setiap mata pelajaran yang memiliki karakteristik yang
berbeda-beda. (3) Mereka perlu mengetahui pula “kapan”, “dimana” dan “mengapa” mereka
7
menerapkan suatu teknik mencatat tertentu ketika mereka belajar. Mereka memerlukan
pengetahuan kondisional tentang bagaimana menerapkan suatu teknik mencatat tertentu yang
efektif. Pengetahuan tentang berbagai strategi belajar merupakan bagian dari metakognitive
knowledge dan pengetahuan tersebut juga memerlukan kesadaran akan ketiga jenis pengetahuan,
yaitu: deklaratif, prosedural dan kondisional.
D. Teaching Metakognitif
Dalam mengajarkan strategi metakognitif, Thamraksa (2009) menjelaskan bahwa seperti
banyak proses yang lain, strategi metakognitif dapat diajarkan kepada para siswa. Ada tiga
pendekan untuk mengajarkan strategi metakognitif, yaitu direct instruction, teacher modelling,
dan application. Pertama, direct instruction. Guru memberikan penjelasan gamblang tentang
strategi yang hendak diajarkan. Mengapa strategi tersebut penting dan kapan, para siswa dapat
menerapkan strategi ini. Kedua, teacher modelling. Guru dapat mendemonstrasikan strategi ini
dengan menggunakan teknik “think out loud” untuk memperlihatkan “kapan dan bagaimana”
strategi metakognitif ini digunakan. Hal penting dalam teknik ini adalah guru memperagakan
proses berpikir dengan mengatakan secara lantang apa yang sedang berlangsung dalam
pikirannya. Karena proses ini penting, maka para siswa harus diberikan kesempatan yang luas
untuk memperagakan teknik ini di bawah bimbingan guru sehingga mereka dapat menghayati
dan selanjutnya mereka dapat melakukannya secara otomatis. Ketiga, application. Strategi
application berfungsi sebagai praktek mandiri dimana para siswa memperagakan strategi
metakognitif disertai umpan balik dari guru. Mengenal dan memperagakan strategi metakognitif
akan membantu keberhasilan siswa dalam memecahkan berbagai masalah tidak saja pada
berbagai materi pelajaran tetapi juga berbagai masalah yang akan dihadapi sepanjang hayatnya.
8
Gambar 1: Penggunaan strategi metakognitif untuk mengikuti suatu ujian tulis (Halter)
9
membantu membuat tujuan belajar sejelas mungkin karena semakin jelas tujuan yang akan
dicapai, semakin mudah untuk mengukur pencapaiannya. Misalnya, tujuan pembelajarannya
adalah siswa menulis essay di akhir pelajaran. Maka kemudian, siswa tersebut akan membuat
rencana-rencana seperti: mempersiapkan outline, mengumpulkan bahan bacaan yang relevan,
menyediakan berbagai alat tulis dan menentukan berbagai teknik penulisan untuk membuat
essay yang utuh dan padu.
10
Tahap ini dapat juga disebut tahap refleksi. Siswa bertanya pada dirinya sendiri tentang
bahan pelajaran atau aktivitas yang dilakukannya. Misalnya dengan mengajukan pertanyaan,
apakah materi ini bermakna dan bermanfaat buat saya? Bagaimana saya menguasai materi ini?
Mengapa saya merasa mudah/sukar sekali menguasai materi ini? Mengapa konsentrasi saya
menurun? dan lain sebagainya.
11
1. Memiliki jurnal sebagai wadah refleksi
Jurnal adalah sebuah wadah dimana siswa dapat mengeksplorasi berbagai gagasan,
mencatat berbagai proses berpikir, perasaan, dan refleksi. Menulis jurnal juga dapat dijadikan
alat untuk mengembangkan keterampilan metakognitif melalui proses refleksi. Guru dapat
mendorong siswa memulai jurnalnya dengan menuliskan “apa yang mereka telah ketahui”, dan
“apa yang mereka tidak/belum ketahui” sebagai sebuah jalan untuk memacu pengetahuan yang
sebelumnya telah mereka miliki dan “apa yang mereka ingin ketahui atau pelajari” untuk
mengungkapkan harapan mereka. Guru perlu pula meminta siswa menuliskan pandangan-
pandangannya, perasaan-perasaannya, pengalaman-pengalamannya, keyakinan-keyakinannya,
dan sikap-sikapnya yang berkaitan dengan pelajaran. Guru perlu juga mendorong siswa
membuat catatan-catatan secara sukarela tentang “adanya ketidak selarasan dan ketidak
konsistenan yang dialaminya”, menuliskan pandangan-pandangannya tentang bagaimana
mereka telah berhasil menghadapi berbagai kesulitan dalam proses belajar dan mengevaluasi diri
mereka sendiri sebagai pelajar.
12
perencanaan, monitoring, dan evaluasi, tetapi juga ia memungkinkan siswa mengembangkan
kosakata dalam menamai proses berpikir ketika ia menggunakannya.
Daftar Pustaka
Barbara J. Ehren & Patricia Gildroy, Background Knowledge,
http://itc.gsu.edu/academymodules/a304/support/xpages/a304b0_20400.html
Chitima Thamraksa (2005) Metacognition: A Key to Success for EFL Learners
http://www.bu.ac.th/knowledgecenter/epaper/jan_june2005/chutima.pdf
Julie Halter (…) Metacognition (http://www.math.montana.edu/~stat216/start.htm)
Jennifer A. Livingston, (1997) Metacognition: An Overview
http://gse.buffalo.edu/fas/shuell/cep564/metacog.htm
Linda Darling-Hammond, Kim Austin, Melissa Cheung, and Daisy Martin (2009) Thinking
About Thinking: Metacognition,
http://www.learner.org/courses/learningclassroom/support/09_metacog.pdf
Ridley, D.S., Schutz, P.A., Glanz, R.S. & Weinstein, C.E. (1992). Self-regulated learning: the
interactive influence of metacognitive awareness and goal-setting. Journal of
Experimental Education 60 (4), 293-306
William Peirce (2003) METACOGNITION: Study Strategies, Monitoring, and Motivation,
http://academic.pg.cc.md.us/~wpeirce/MCCCTR/metacognition.htm
Winn, W. & Snyder D. (1998). Cognitive perspectives in pyschology. In D.H. Jonassen,
ed. Handbook of research for educational communications and technology, 112-142.
New York: Simon & Schuster Macmillan
14