Anda di halaman 1dari 87

abbach

Just another WordPress.com site

fungsi diskresi kepolisian dalam penyidikan pelanggaran lalu


lintas di polresta bandung
Posted by abbach on April 3, 2012
Posted in: Uncategorized. Tinggalkan komentar

BAB I

PENDAHULUAN

1. A.    Latar Belakang

Peran Polisi saat ini adalah sebagai pemelihara Kamtibmas juga sebagai aparat
penegak hukum dalam proses pidana. Polisi adalah aparat penegak hukum jalanan
yang langsung berhadapan dengan masyarakat dan penjahat. Dalam Pasal 2 UU
Nomor 2 Tahun  2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, “Fungsi Kepolisian
adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan
dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan
pelayanan kepada masyarakat”, Dalam Pasal 4 UU No.2 Tahun 2002 juga
menegaskan “Kepolisian Negara RI bertujuan untuk mewujudkan keamanan
dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat,
tertib, dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan
pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan
menjunjung tinggi hak asasi manusia”.

Dalam menjalankan tugas sebagai hamba hukum polisi senantiasa menghormati


hukum dan hak asasi manusia. Penyelenggaraan fungsi kepolisian merupakan
pelaksanaan profesi artinya dalam menjalankan tugas seorang anggota Polri
menggunakan kemampuan profesinya terutama keahlian di bidang teknis
kepolisian. Oleh karena itu dalam menjalankan profesinya setiap insan kepolisian
tunduk pada kode etik profesi sebagai landasan moral.

Kode etik profesi Polri mencakup norma prilaku dan moral yang dijadikan
pedoman sehingga menjadi pendorong semangat dan rambu nurani bagi setiap
anggota untuk pemulihan profesi kepolisian agar dijalankan sesuai tuntutan dan
harapan masyarakat. Jadi polisi harus benar-benar jadi pelindung, pengayom dan
pelayan masyarakat, serta sebagai penegak hukum yang bersih agar tercipta clean
governance dan good governance.

1
2

Etika profesi kepolisian merupakan kristalisasi nilai-nilai yang dilandasi dan


dijiwai oleh Pancasila serta mencerminkan jati diri setiap anggota Kepolisian
Negara Republik Indonesia dalam wujud komitmen moral yang meliputi pada
pengabdian, kelembagaan dan kenegaraan, selanjutnya disusun kedalam Kode
Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Etika profesi kepolisian
terdiri dari :

1. Etika pengabdian merupakan komitmen moral setiap anggota Kepolisian


Negara Republik Indonesia terhadap profesinya sebagai pemelihara
keamanan dan ketertiban masyarakat,  penegak hukum serta pelindung, 
pengayom dan pelayan masyarakat.
2. Etika kelembagaan merupakan komitmen moral setiap anggota Kepolisian
Negara Republik Indonesia terhadap institusinya yang menjadi wadah
pengabdian yang patut dijunjung tinggi sebagai ikatan lahir batin dari
semua insan Bhayangkara dan segala martabat dan kehormatannya.
3. Etika kenegaraan merupakan komitmen moral setiap anggota Kepolisian
Negara Republik Indonesia dan institusinya untuk senantiasa bersikap
netral,  mandiri dan  tidak terpengaruh oleh kepentingan politik, golongan
dalam rangka menjaga tegaknya hukum Negara Kesatuan Republik
Indonesia.

Keberhasilan penyelenggaraan fungsi kepolisian dengan tanpa meninggalkan etika


profesi sangat dipengaruhi oleh kinerja polisi yang direfleksikan dalam sikap dan
perilaku pada saat menjalankan tugas dan wewenangnya. Dalam Pasal 13 UU
Kepolisian ditegaskan tugas pokok kepolisian adalah memelihara keamanan dan
ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan memberikan perlindungan,
pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.

Profesionalisme polisi amat diperlukan dalam menjalankan tugas sebagai penegak


hukum, mengingat modus operandi dan teknik kejahatan semakin canggih, seiring
perkembangan dan kemajuan zaman. Apabila polisi tidak profesional maka proses
penegakan hukum akan timpang, akibatnya keamanan dan ketertiban masyarakat
akan senantiasa terancam sebagai akibat tidak profesionalnya polisi dalam
menjalankan tugas. Tugas polisi disamping sebagai agen penegak hukum (law
enforcement agency) dan juga sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat (order maintenance officer). Polisi adalah ujung tombak dalam
integrated criminal justice system. Di tangan polisilah terlebih dahulu mampu
mengurai gelapnya kasus pelanggaran yang terjadi di jalanan.

Karena Negara Indonesia adalah negara hukum, yang ditegaskan pada Pasal 1
ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai
Negara hukum. Negara akan memperlakukan sebagai warganya bersama
kedudukannya didepan hukum, siapapun yang melanggar hukum akan ditindak
sesuai dengan hukum yang berlaku. Dalam penegakan hukum landasan yang
3

digunakan adalah hukum pidana materiil dan hukum pidana formil atau hukum
acara pidana.

Definisi hukum acara pidana menurut Moeljatno adalah “bagian dari keseluruhan
hukum yang berlaku di suatu negara, yang memberikan dasar-dasar dan aturan-
aturan yang menentukan dengan cara apa dan prosedur macam apa, ancaman
pidana yang ada pada suatu perbuatan pidana dapat dilaksanakan apabila ada
sangkaan bahwa orang telah melakukan delik tersebut”. Sedangkan menurut
Sudarto dalam bukunya Suryono Sutarto yang berjudul Sari Hukum Acara Pidana.
I ialah “aturan-aturan yang memberikan petunjuk apa yang harus oleh aparat
penegak hukum dan pihak-pihak atau orang-orang lain yang terlibat di dalamnya,
apabila ada persangkaan bahwa hukum pidana dilanggar[1]. Dalam hukum acara
pidana terdapat beberapa asas,yaitu sebagai berikut :

1.   Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak
mengadakan perbedaan perlakuan atau diskriminasi, yang asas ini biasa disebut
equality before the law.

2.   Penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan hanya dilakukan


berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang diberi wewenang oleh undang-
undang dan hanya dalam hal dan dengan cara yang diatur oleh undangundang,
atau yang biasa disebut principle of legality.

3.   Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan
di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan
pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum
yang tetap. Asas ini biasanya disebut asas praduga tak bersalah atau presumption
of innocent.

4.   Kepada seorang yang ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alas an
yang berdasarkan undang-undang dan atau karena kekeliruan mengenai orangnya
atau hukum yang diterapkan wajib diberi ganti rugi dan rehabilitasi sejak tingkat
penyidikan dan para pejabat penegak hukum yang dengan sengaja atau karena
kelalaiannya menyebabkan asas hukum ini dilanggar, dituntut, dipidana dan atau
dikenakan hukuman.

5.   Peradilan harus dilakukan dengan adil, bebas, jujur serta tidak memihak, yang
diterapkan secara konsekuen di seluruh tingkat peradilan. Asas ini disebut fair
trial.

6.   Setiap orang yang tersangkut perkara wajib diberi kesempatan memperoleh
bantuan hukum yang semata-mata diberikan untuk melaksanakan kepentingan
pembelaan atas dirinya.

7.   Peradilan harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan.
4

8.   Pengadilan memeriksa perkara pidana dengan hadirnya terdakwa.

9.   Sidang pemeriksaan pengadilan terbuka untuk umum kecuali dalam hal yang
diatur dalam undang-undang.

10. Peradilan dilakukan oleh hakim karena jabatannya dan tetap.

11. Sidang pengadilan dilakukan secara langsung dan lisan.

12. Asas Akusatoir bukan Inkusatoir, yaitu pelaku sebagai subyek bukan sebagai
obyek.

13. Asas Legalitas dan Oportunitas, yang sebagai pengecualian[2]

Asas-asas tersebut di atas muncul karena adanya pranata-pranata baru dalam


hukum acara pidana, pranata baru tersebut antara lain : terjaminnya hak asasi
manusia; adanya bantuan hukum pada semua tingkat pemeriksaan; penangkapan
dan penahanan diberi batas waktu; adanya pemberian ganti kerugian dan
rehabilitasi; adanya pra penuntutan; penggabungan perkara yang berkaitan dengan
gugatan ganti kerugian; adanya upaya hukum (perlawanan sampai dengan
Peninjauan Kembali); koneksitas; adanya hakim, pengawas, dan pengamat; serta
adanya pra peradilan [3].

Dengan adanya asas-asas tersebut akan menjadi pedoman untuk menjamin hak
asasi manusia dihadapan hukum dan mereka tidak lagi merasa adanya
ketidakadilan disetiap permasalahan kejahatan yang terjadi di dalam kehidupan
masyarakat. Namun demikian, praktek kenyataan di lapangan oleh pihak aparat
penegak hukum tidak selalu sesuai dengan teori asas-asas dalam hukum acara
pidana, sebab tindakan yang sebagian besar didasarkan atas pertimbangannya
sendiri atau diskresi telah menimbulkan jaminan hak asasi manusia di muka
hukum mengalami pergeseran ke tingkat yang lebih rendah, dimana tindakan
tersebut dinilai masyarakat selalu dibarengi tindakan kesewenang-wenangan.

Menurut pendapat Chambliss dan Seidman di dalam bukunya Satjipto Rahardjo


yang berjudul “Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis[4]”, bahwa apabila
suatu masyarakat yang secara murni diatur oleh hukum merupakan suatu ideal
yang tidak akan dapat dipenuhi atau dicapai. Sebab pengaturan secara murni yang
dimaksud tersebut ialah seluruh masyarakat diatur oleh hukum yang dirumuskan
secara jelas dan tegas, tanpa dibutuhkan adanya diskresi oleh para pejabat dalam
penerapannya atau implementasinya. Suatu keadaan atau ideal itu sama tidak
mungkinnya dengan suatu masyarakat yang kehidupannya didasarkan semata-
mata pada kebebasan, kelonggaran, atau diskresi yang dimiliki oleh para penegak
hukumnya. Dari uraian tersebut di atas dapat dilihat bahwa diskresi
menggambarkan ketertiban, sekalipun diskresi tidak dapat dihindari sama sekali,
5

namun diskresi dapat dibatasi. Pemberian diskresi kepada penyidik pada


hakekatnya bertentangan dengan prinsip negara yang didasarkan atas hukum.
Diskresi ini menghilangkan kepastian terhadap hal-hal yang akan terjadi. Akan
tetapi suatu tatanan dalam masyarakat yang sama sekali dilandaskan pada hukum
juga merupakan suatu ideal yang tidak akan bisa dicapai. Oleh karena itu,
sesungguhnya diskresi merupakan kelengkapan dari sistem pengaturan oleh
hukum itu sendiri, maka menurut Skolnick di dalam bukunya Satjipto Rahardjo
tersebut, adalah keliru apabila diskresi disamakan begitu saja dengan kesewenang-
wenangan atau berbuat sekehendak hati penyidik dalam melaksanakan tugas
penyidikannya terhadap kasus-kasus kejahatan yang terjadi[5]. Diskresi sendiri
dalam kamus hukum memiliki pengertian sebagai suatu “kebebasan mengambil
keputusan dalam setiap situasi yang dihadapi menurut pendapatnya sendiri.[6]

Tindakan diskresi yang dilaksanakan oleh pihak penyidik dilakukan dengan alasan
bahwa tindakan ini dapat mengefektifkan penyelesaian tindak pidana pelanggaran
lalu lintas, dimana tersangka melakukan pelanggaran lalu lintas dan karena
kelalaiannya menyebabkan orang lain meninggal dunia dan luka-luka. Namun,
tindakan tersebut menuai permasalahan yang pelik, yang mana disatu sisi tindakan
diskresi ini merupakan aplikasi dari hukum pidana yang dilakukan sesuai dengan
kebijakan sendiri untuk mengefektifkan hukum yang berjalan secara kaku.
Sedangkan disisi lain tindakan ini menjadi batu sandungan bagi pihak penegak
hukum khususnya penyidik, yang mana penyidik selalu disalahkan atas
pelaksanaan diskresi yang dilakukan karena tindakan diskresi tersebut
memunculkan diskriminasi dalam penerapan hukumnya. Berdasarkan latar
belakang pemikiran tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan
penulisan hukum dengan judul :

“PENERAPAN FUNGSI DISKRESI KEPOLISIAN DALAM PROSES


PENYIDIKAN PELANGGARAN LALU LINTAS DI POLRESTABES
BANDUNG”

1. B.      Rumusan Masalah

Suatu perumusan masalah diperlukan untuk mempermudah pemahaman terhadap


permasalahan yang hendak diteliti oleh penulis, dengan demikian dapat
diharapkan memberikan arah pembahasan yang jelas dan menentukan pemecahan
yang tepat serta mencapai tujuan yang diinginkan. Maka bedasarkan uraian pada
latar belakang penulisan hukum ini, rumusan masalahnya yaitu antara lain sebagai
berikut :

1.   Bagaimanakah pengaturan mengenai diskresi dalam Undang – Undang Negara


Republik Indonesia No. 2 Tahun 2002?

2.   Bagaimanakah pelaksanaan diskresi dalam proses penyidikan dalam


pelanggaran lalu lintas?
6

1. C.    Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian merupakan hal-hal yang hendak dicapai oleh penulis melalui
penelitian yang berhubungan dengan rumusan masalah yang ditentukan guna
memenuhi pengetahuan bagi setiap orang. Tujuan penelitian dalam penulisan
hukum ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu :

1. Tujuan Obyektif :

a.   Untuk mengetahui pengaturan mengenai diskresi fungsional dalam Undang-


Undang Negara Republik Indonesia No. 2 Tahun 2002.

b.   Untuk mengetahui pelaksanaan diskresi dalam proses penyidikan perkara


kecelakaan lalu lintas.

2. Tujuan Subyektif :

a.   Untuk memperluas wawasan pengetahuan dan pemahaman aspek hukum bagi
penulis terhadap penerapan teori-teori yang diterima selama menempuh kuliah
guna mengatasi masalah hukum yang terjadi di dalam masyarakat.

b.   Untuk memperoleh data dan informasi yang diperlukan oleh penulis dalam
menyusun penulisan hukum guna memenuhi persyaratan yang diwajibkan dalam
meraih gelar Sarjana Hukum.

1. D.    Manfaat Penelitian

Suatu penelitian akan mempunyai nilai lebih apabila dalam penelitian tersebut
dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak. Maka manfaat dari penelitian ini
dapat diambil, yaitu antara lain :

1. Manfaat Teoritis

a.   Memberikan landasan dasar dan acuan untuk penelitian lebih lanjut.

b.   Memberikan sumbang pikiran dan wawasan serta pengetahuan bagi


pengembangan ilmu hukum, terutama hukum acara pidana yang berkaitan dengan
pelaksanaan fungsi kepolisian dalam proses pengaturan dan pelaksanaan diskresi
fungsional dalam proses penyidikan perkara kecelakaan lalu lintas oleh penyidik.

2. Manfaat Praktis
7

a.   Berguna dalam pengembangan pola penalaran dalam pembentukan pola pikir
yang dinamis dan pro-aktif.

b.   Memberikan jawaban terhadap permasalahan yang telah diteliti.

c.   Hasil dari penelitian yang dilakukan ini diharapkan dapat member tambahan
dan masukan serta manfaat pengetahuan bagi para pihak yang terkait dan yang
berminat dengan permasalahan yang diteliti

1. E.     Kerangka Pemikiran

Sesuai dengan judul yang dipilih, maka dalam tulisan ini diskresi yang dibahas
adalah diskresi yang berkaitan dengan pekerjaan polisi yang berhubungan dengan
tugas-tugas penegakan hukum pidana, yaitu dalam rangka sistem peradilan pidana
dimana tugas polisi sebagai penyidik. Oleh karena itu untuk membedakan dengan
diskresi yang dilakukan oleh komponen fungsi yang lain dalam tulisan ini yang
menjadi tujuan adalah diskresi oleh kepolisian.

Tiap-tiap komponen dalam sistem peradilan pidana mempunyai wewenang untuk


melakukan penyaringan atau diskresi tersebut. Diskresi diberikan baik karena
berdasar peraturan perundang-undangan maupun atas dasar aspek sosiologisnya.

Penyaringan perkara mulai pada tingkat penyidikan berupa tindakan-tindakan


kepolisian yang dalam praktek disebut diskresi kepolisian. Pada tingkat
penuntutan, adanya wewenang jaksa untuk mendeponir suatu perkara yang biasa
disebut dengan asas oportunitas. Sedangkan pada tingkat peradilan berupa
keputusan hakim untuk bebas, hukuman bersyarat, ataupun lepas dan hukuman
denda. Pada tingkat pemasyarakatan berupa pengurangan hukuman atau remisi.

Penyaringan-penyaringan perkara yang masuk kedalam proses peradilan pidana


tersebut merupakan perwujudan dari kebutuhan-kebutuhan praktis sistem
peradilan pidana, baik karena tujuan dan asas maupun karena semakin
beragamnya aliran-aliran modern saat ini, baik pada lingkup perkembangan
hukum pidana maupun kriminologi yang disadari atau tidak disadari, langsung
atau tidak langsung mempengaruhi nilai-nilai perkembangan yang ada pada
masyarakat dewasa ini.Tentunya diskresi oleh polisi itu sendiri terdapat hal-hal
yang mendorong ataupun menghambat didalam penerapannya di lapangan
khususnya dalam perkara pelanggaran lalulintas.

Berdasarkan hal tersebut maka apabila berbicara soal diskresi kepolisian dalam
sistem peradilan pidana, maka akan ditemukan suatu hubungan antara hukum,
diskresi, kepolisian, penyidikan dan sistem peradilan pidana. Maka pokok
permasalahan yang akan dikaji pada hakekatnya adalah bekerjanya hukum dan
diskresi kepolisian itu.
8

Polisi mempunyai peran yang sangat besar didalam penegakan hukum pidana.
Polisi sebagai bagian dari aparat penegak hukum merupakan salah satu subsistem
yang bertugas dalam bidang penyidik dan penyelidikan suatu tindak pidana.
Kedudukan Polisi sebagai penegak hukum tersebut ditetapkan dalam Undang-
undang Kepolisian Negara Republik Indonesia[7] dalam Pasal 1 butir (1) dan
Pasal 2 bahwa:

Pasal 1 butir (1)

“Kepolisian adalah segala hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga
polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.

Pasal 2

“Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara dibidang


pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum,
perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat”.

Dari bunyi Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Pasal 1 butir (1) dan Pasal 2
tersebut dapat dilihat dengan jelas bahwa Polri dalam kedudukannya sebagai
aparat penegak hukum mempunyai fungsi menegakkan hukum di bidang yudisial,
tugas preventif maupun represif. Sehingga dengan dimilikinya kewenangan
diskresi dibidang yudisial yang tertuang dalam UU No 2 tahun 2002 pada Pasal
18 ayat (1) bahwa “Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara
Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak
menurut penilaiannya sendiri”, maka akan menjadi masalah apabila dengan
adanya diskresi ini justru malah merangsang atau memudahkan penyalahgunaan
kekuasaan oleh polisi.

Dengan luasnya kekuasaan yang dimiliki oleh polisi, mempunyai potensi


kekuasaan itu disalahgunakan untuk keuntungan diri sendiri, kelompok maupun
organisasi lain. Padahal penggunaan kekuasaan diskresi yang diberikan oleh
pembuat undang-undang sebenarnya apabila jalur hukum yang disediakan untuk
menyelesaikan suatu masalah malah menjadi kurang efisien, kurang ada
manfaatnya maupun macet. Ditinjau dari sudut hokum pun setiap kekuasaan akan
dilandasi dan dibatasi oleh ketentuan hukum. Namun, kekuasaan diskresi yang
begitu luas dan kurang jelas batas-batasnya akan menimbulkan permasalahan
terutama apabila dikaitkan dengan asas-asas hukum pidana yaitu asas kepastian
hukum dan hak asasi manusia.

1. F.     METODE PENELITIAN

Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan
konstruksi secara metodologis, sistematis dan konsisten. Metodologis yang berarti
9

sesuai metode atau cara tertentu; sistematis yaitu berdasarkan suatu sistem,
sedangkan konsisten adalah tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu
kerangka tertentu.

 Dalam suatu penelitian, metode penelitian ialah faktor yang sangat penting atau
sangat menentukan untuk menunjang proses penyelesaian suatu permasalahan
yang akan dibahas dan metode juga merupakan suatu cara utama yang digunakan
untuk mencapai tingkat ketelitian jumlah dan jenis yang dihadapi.

1. Jenis Penelitian

Dalam penelitian penulisan hukum ini penulis menggunakan penelitian empiris


atau non doktrinal, penelitian empiris ini dilakukan dengan cara mengkaji hukum
dalam realitas di lapangan atau kenyataan di dalam masyarakat. Pada penelitian
empiris, yang diteliti pada awalnya ialah data sekunder yang kemudian
dilanjutkan dengan penelitian terhadap data primer dilapangan atau terhadap
masyarakat. Sedangkan penelitian deskriptif yaitu dimaksudkan untuk
memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-
gejala lainnya.

2. Sifat Penelitian

Sifat penelitian yang digunakan oleh penulis yaitu penelitian yang bersifat
deskriptif dengan pendekatan kualitatif, dimana data-data yang diperoleh nantinya
tidak berupa angka tetapi berupa kata-kata. Penelitian deskriptif, dimaksudkan
untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau
gejala-gejala lainnya. Hal ini terutama mempertegas hipotesa-hipotesa agar dapat
memperkuat teori-teori lama, atau dalam rangka menyusun teori-teori baru.

Penelitian ini mendeskripsikan mengenai penerapan fungsi diskresi kepolisian


dalam proses penyidikan pelanggaran lalulintas.

3. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ditentukan dengan maksud untuk mempersempit serta


memperjelas ruang lingkup sehingga orientasi penelitian ini dapat dibatasi dan
terarah, dimana untuk kepentingan identifikasi dan analisa maka penulis memilih
lokasi penelitian di Kantor Kepolisian Satuan Lalu Lintas polrestabes bandung 
dengan didasarkan pada pertimbangan bahwa di kantor kepolisian tersebut
10

ditemukan adanya pelaksanaan diskresi kepolisian dalam proses penyidikan


pelanggaran  kecelakaan lalu lintas.

4. Jenis Data

Penulis dalam melakukan penelitian ini menggunakan jenis data pimer

dan sekunder, yaitu sebagai berikut :

a. Data Primer

Data primer merupakan data dari sejumlah keterangan atau fakta yang diperoleh
penulis secara langsung melalui penelitian lapangan dari lokasi penelitian yang
telah disebutkan di atas, yaitu berupa hasil wawancara ataupun keterangan dari
pihak penyidik di Kantor Kepolisian Satuan Lalu Lintas polrestabes bandung.

b. Data Sekunder

Data sekunder tidak diperoleh secara langsung dari lokasi lapangan, tetapi data itu
berkaitan dengan data yang relevan dan mendukung masalah yang diteliti. Data
sekunder ini berupa :

1)   Undang-Undang Dasar 1945.

2)   Undang-Undang Negara Republik Indonesia No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

3)   Undang-Undang Negara Republik Indonesia No. 2 Tahun 2002 tentang


Kepolisian Negara Republik Indonesia.

4)   Undang-Undang Negara Republik Indonesia No. 14 Tahun 1992 tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan Umum.

5)   Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana.

5. Sumber Data

Sumber data ialah tempat di mana penelitian hukum ini diperoleh, dan sumber
data yang digunakan oleh penulis dalam penelitian empiris ini yaitu hasil
11

wawancara dan observasi lapangan di Kantor Kepolisian Satuan Lalu Lintas


polrestabes bandung.

Sedangkan dalam studi kepustakaan dari sumber data bahan hukum primer, bahan
hukum sekunder dan bahan hukum tersier, yaitu antara lain:

a. Bahan hukum primer

Bahan hukum primer ialah bahan-bahan hukum yang mengikat, yaitu sebagai
berikut :

1)   Undang-Undang Dasar 1945.

2)   Undang-Undang Negara Republik Indonesia No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

3)   Undang-Undang Negara Republik Indonesia No. 2 Tahun 2002 tentang


Kepolisian Negara Republik Indonesia.

4)   Undang-Undang Negara Republik Indonesia No. 14 Tahun 1992 tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan Umum.

5)   Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana.

b. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum ini memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer dan
dapat membantu memahami serta menganalisis bahan hukum primer, yang terdiri
atas :

1)   Berbagai peraturan perundangan mengenai kepolisian, lalu lintas dan hukum
acara pidana yang berkaitan dengan topik permasalahan penulisan hukum ini.

2)   Berbagai hasil jurnal, seminar, makalah dan artikel yang terkait dengan materi
penelitian.

c. Bahan hukum tersier


12

Bahan hukum tersier, yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder yaitu berupa kamus hokum. dan.[8]

6. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian penulisan hukum ini dilakukan


dengan menggunakan data primer, yaitu dengan cara melakukan wawancara
(interview) dan studi kepustakaan, antara lain sebagai berikut :

a.   Teknik Wawancara (Interview) Wawancara merupakan suatu bentuk


komunikasi verbal, semacam percakapan yang bertujuan untuk memperoleh
informasi. Teknik wawancara ini dilakukan dengan cara bertatap muka dan
mengadakan tanya jawab secara langsung ataupun tidak langsung, bebas
terpimpin guna memperoleh data secara mendalam yang diperlukan dalam
penelitian ini. Dan para pihak yang terlibat dalam wawancara ini ialah pihak
penyidik di Kantor Kepolisian Satuan Lalu Lintas polrestabes bandung dengan
penulis.

b.   Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan dilakukan dengan cara membaca dan mengkaji serta


mempelajari substansi atau isi bahan hukum dan literatur tertentu dan dokumen-
dokumen resmi serta peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan
topik permasalahan yang diteliti, yaitu Undang – Undang Negara Republik
Indonesia No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan
Undang-Undang Negara Republik Indonesia No. 14 Tahun 1992 tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan Umum, yang dimana hal ini ditujukan untuk
mengumpulkan data-data yang ada kemudian dikategorikan berdasarkan
pengelompokan yang tepat dan benar.

7. Teknik Analisis Data

Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik analisis data kualitatif dengan
menggunakan metode interaktif. Analisis data ialah langkah selanjutnya untuk
mengolah hasil penelitian menjadi suatu laporan, hal ini merupakan kegiatan
mengumpulkan data yang kemudian dikerjakan dan dimanfaatkan sedemikian
rupa sehingga dapat menyimpulkan persoalan yang diajukan dalam menyusun
hasil penelitian.

Analisis data kualitatif yaitu suatu tata cara penelitian yang menghasilkan data
deskriptif analitis, dimana apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau
13

lisan, dan juga perilakunya yang nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu
yang utuh.

Analisis data kualitatif dalam penelitian dilakukan dengan cara membahas pokok
persoalan berdasarkan data yang diperoleh baik dari studi kepustakaan maupun
dari hasil penelitian lapangan yang kemudian dianalisis secara kualitatif untuk
mendapatkan pemecahan masalah.

Sedangkan model analisis interaktif merupakan model analisis data, dimana data
yang akan diproses melalui tiga komponen utama, yaitu : Reduksi data, sajian data
dan penarikan kesimpulan, sehingga ketiga komponen itu saling berinteraksi
dengan membentuk siklus. Penulis menggunakan ketiga komponen itu pada
proses pengumpulan data selama kegiatan pengumpulan data berlangsung.

Kemudian untuk mengumpulkan data terakhir penulis menggunakan tiga


komponen utama analisis untuk menarik kesimpulan dengan memvertifikasinya
berdasarkan semua hal yang terdapat pada reduksi data dan sajian data.

Data yang terkumpul akan dianalisis tiga tahap, yaitu reduksi data, penyajian data
kemudian penarikan kesimpulan. Model Analisis Interaktif tersebut digambarkan
sebagai berikut

   
   
 

 
14

           Gambar 2: Model Analisis Interaktif

(Sumber : Heribertus Sutopo, 2002 : 96)

Menurut Heribertus Sutopo[9] kegiatan komponen diatas dapat dijelaskan

sebagai berikut:

1.  Reduksi data

Merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian kepada penyederhanaan,


pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan tertulis di
lapangan. Reduksi data berlangsung terus-menerus, bahkan sebelum data benar-
benar terkumpul sampai laporan akhir lengkap tersusun.

2. Penyajian data

Merupakan sekumpulan informasi yang tersusun yang memberi kemungkinan


adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.

3. Penarikan kesimpulan

Dari permulaan data, seorang penganalisis kualitatif mencari arti benda-benda,


keteraturan, pola-pola, penjelasan konfigurasi, berbagai kemungkinan, alur sebab
akibat dan proporsi. Kesimpulan akan ditangani secara longgar, tetap terbuka dan
skeptis, tetapi kesimpulan sudah disediakan, mula-mula belum jelas, meningkat
menjadi lebih rinci dan

mengakar pada pokok.

[1] Suryono Sutarto.1987. hal  5. Sari Hukum Acara Pidana. I. Semarang:


Yayasan Cendekia Purna Dharma.

[2] (Suryono Sutarto, 1987:13-14 dan http://te-effendi-acara.blogspot.com, 17 Juli


2009 pukul 15.38).

[3] http://te-effendi-acara.blogspot.com, 17 Desember 15 : 38.

[4] Satjipto Rahardjo. 2009:74 dan 75, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan
Sosiologis. Yogyakarta: Genta Publishing

 
15

[5] Satjipto Rahardjo, 2009: 74-75 dan 131-132

[6] J.C.T. Simorangkir, Rudy T. Erwin dan J.T. Prasetyo, 2008:38, hukum
administrasi negara

[7] Undang-undang  nomor 2 tahun 2002 tentang kepolisian republic Indonesia.

[8] sumber: Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008:334

[9] Heribertus Sutopo. 2002. Pengantar Penelitian Kualitatif Dasar-Dasar


Teoritis Dan Praktis. Surakarta: UNS Press.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

       I.            Kerangka Teori

a)      Tinjauan Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

1)      Pengertian Polisi

Kata polisi dalam bahasa Indonesia merupakan kata pinjaman yang berasal dari
kata Belanda yaitu politie, kata politie ini didasarkan atas serangkaian kata Yunani
Kuno dan Latin yang berasal dari kata Yunani Kuno, yaitu polis. Kata polis
tersebut berarti kota atau Negara kota, namun atas dasar perkembangan itu maka
kata polis berarti negara dan dalam bentuk-bentuk perkembangannya masuk unsur
pemerintah dan lain sebagainya. Kata Yunani Kuno tersebut masuk kedalam
bahasa Latin sebagai poliyia dan kata itulah yang diduga menjadi kata dasar kata
police (terjemahan dalam bahasa Inggris), politie (dalam bahasa Belanda), dan
polisi (dalam bahasa Indonesia).

Kata polisi bilamana secara tepat memperoleh arti yang kini digunakan sulit
dipastikan. Namun, dalam perkembangan sebagaimana dicatat di Inggris, yang
dicatat penggunaan kata police sebagai kata kerja yang berarti memerintah dan
mengawasi (di sekitar tahun 1589). Selanjutnya sebagai kata benda diartikan
pengawasan, yang kemudian meluas dan menunjukkan organisasi yang
menangani pengawasan dan pengamanan (di tahun 1716). Sedangkan di
Indonesia, istilah polisi digunakan dalam pengertian organisasi pengamanan pada
abad ke-19 dan interregum Inggris dari 1811-1817, wilayah Indonesia saat itu
16

merupakan bagian dari wilayah yang dipimpin oleh bupati, yang masing-masing
diserahi tugas pengamanan mengenai tertib hukum dan polisi bertanggungjawab
pada bupati setempat itu[1]. Dan kepolisian kita juga sering dikenal sebagai
Bhayangkara yang berasal dari bahasa Sansekerta[2], yang berarti “menakutkan”.

Dari kata polisi tersebut di atas, kemudian para cendekiawan kepolisian


memberikan kesimpulan bahwa ada 3 pengertian tentang polisi, yaitu antara lain
sebagai berikut :

a)      Polisi sebagai fungsi,

b)      Polisi sebagai organ kenegaraan, dan

c)      Polisi sebagai jabatan atau petugas, yang banyak disebut sehari-hari ialah
pengertian polisi sebagai pejabat atau petugas, dimana ketiga pengertian kata
polisi tersebut diatas terkadang dicampur adukkan oleh masyarakat, yang
seharusnya diartikan sesuai dengan konteks yang menyertai. Oleh karena itu
timbul penilaian yang sebenarnya untuk individu (pejabat) tetapi diartikan sebagai
tindakan suatu lembaga[3] (alat negara) Dalam Pasal 1 ayat 1, 2 dan 3 Undang-
Undang Negara Republik Indonesia No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia, yang berbunyi :

ayat 1 :

“Kepolisian adalah segala hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga
polisi sesuai dengan peraturan perundangundangan.”

ayat 2 :

“Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah pegawai negeri pada


Kepolisian Negara Republik Indonesia.”

ayat 3 :

“Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah anggota Kepolisian


Negara Republik Indonesia yang berdasarkan undang-undang memiliki
wewenang umum Kepolisian.”

2)      Tugas, Wewenang dan Fungsi Kepolisian

a)      Tugas Kepolisian

Dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia No. 2 Tahun 2002 tentang


Kepolisian Negara Republik Indonesia pada Pasal 13, tugas pokok kepolisian
ialah:
17

(1) Memelihara atau menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat,

(2) menegakkan hukum dan keadilan,

(3) memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.

Pada Pasal 14 dalam rangka melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud


pada Pasal 13 Undang-Undang Negara Republik Indonesia No. 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, bertugas :

(1)        Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap


kegiatan masyarakatdan pemerintah sesuai kebutuhan;

(2)         Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan,


ketertiban, dan kelancaran lalu lintas dijalan

(3)        Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat,


kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum
dan peratuan perundang-undangan;

(4)        Turut serta alam pembinaan hukum nasional;

(5)        Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;

(6)        Melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap


kepolisian khususnya, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk
pengamanan swakarsa;

(7)        Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana


sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya;

(8)        Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian,


laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas
kepolisian;

(9)        Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan


lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk
memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi
manusia;

(10)    Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum


ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang;

(11)    Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya


dalam lingkup tugas kepolisian; serta
18

(12)    Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

b)      Wewenang Kepolisian

Dalam hal melaksanakan tugas dan fungsinya, kepada anggota masing-masing


anggota polisi diberi wewenang, yaitu pada Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang
Negara Republik Indonesia No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 di bidang proses pidana, para anggota kepolisian
berwenang untuk :

(1)   Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan;

(2)   Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara
untuk kepentingan penyidikan;

(3)   Membawa dan mengahadapkan orang kepada penyidik dalam angka


penyidikan;

(4)   Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa
tanda pengenal diri;

(5)   Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; Memanggil orang untuk


didengar dan diperiksa sebagai

(6)   tersangka atau saksi;

(7)   Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan


pemeriksaan perkara;

(8)   Mengadakan penghentian penyidikan;

(9)   Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;

(10)  Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang


berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau
mendadak untuk mencegah dan menangkal orang yang disangka melakukan
tindak pidana;
19

(11)  Memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri
sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk
diserahkan kepada penuntut umum; dan

(12)  Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

3)      Fungsi Kepolisian

            Dalam Pasal 2 Undang-Undang Negara Republik Indonesia No. 2 Tahun


2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyatakan bahwa fungsi
kepolisian merupakan salah satu fungsi pemerintahan negara dalam bidang
pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum,
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Akan tetapi secara
sektoral tugas pelayanan kepolisian kepada masyarakat dapat dikelompokkan ke
dalam struktur fungsi-fungsi sebagai berikut :

a)Fungsi Intelpam (Intelijen dan Pengamanan), fungsi kepolisian dalam hal :

(1)   Upaya pengamanan masyarakat terhadap segala bentuk ancaman untuk


menghilangkan kerawanan-kerawanan Kamtibmas,

(2)   Upaya pengamanan, pengawasan, perlindungan, dan penindakan terhadap


orang asing,

(3)   Penyidikan terhadap kasus-kasus pelanggaran ketentuan perundang-


undangan tentang orang asing,

(4)    Pengamanan dan pengawasan perizinan senjata api, amunisi dan bahan
peledak serta alat/ bahan berbahaya lainnya,

(5)   Penyelidikan terhadap penyimpan/ penimbunan, penggunaan, pemindahan


tangan senjata api, amunisi dan bahan peledak serta alat/bahan berbahaya lainnya
termasuk radio aktif yang bukan organik ABRI,

(6)   Upaya pengamanan atau pengawasan kegiatan masyarakat.

b)      Fungsi Reserse (investigasi), adalah fungsi kepolisian dalam hal :

(1) Menerima laporan/pengaduan,

(2) Mendatangi TKP,


20

(3) Melakukan tindakan.

c)Fungsi Samapta, yaitu fungsi kepolisian dalam hal :

(1)   Menyelenggarakan dan melaksanakan tugas-tugas penjagaan, pengawalan,


patroli dan tindakan pertama ditempat kejadian (TPTKP),

(2)   Memberikan pertolongan dalam rangka SAR.

d)     Fungsi Lantas (Lalu Lintas), yaitu fungsi kepolisian dalam hal :

(1) Surat Izin Mengemudi,

(2) Surat Tanda Kendaraan Bermotor,

(3) Buku Pemilik Kendaraan Bermotor,

(4) Menyelenggarakan pengawalan,

(5) Menangani laka lantas,

(6) Menyelenggarakan peraturan lalu lintas.

e)Fungsi Bina Mitra, yaitu fungsi kepolisian dalam hal :

(1)   Membimbing, mendorong, mengarahkan dan menggerakkan masyarakat


guna terwujudnya daya tangkal dan daya cegah,

(2)   Tumbuhnya daya perlawanan masyarakat terhadap kriminalitas dan


terwujudnya ketaatan serta kesadaran hukum masyarakat,

(3)   Pembinaan potensi masyarakat untuk memelihara, menciptakan situasi dan


kondisi masyarakat yang menguntungkan bagi pelaksanaan tugas kepolisian serta
mencegah timbul faktor kriminogen,

(4)   Pembinaan keamanan swakarsa,

(5)   Menyelenggarakan dan memberikan bimbingan serta penyuluhan,

(6)   Pembinaan dan bimbingan terhadap remaja dan anak-anak, apalagi dalam hal
kenakalan remaja

f)  Fungsi Pembinaan Personel, yaitu fungsi kepolisian dalam hal :

Fungsi ini dimasukkan ke dalam tugas-tugas pelayanan masyarakat mengingat


dalam kenyataan sehari-harinya juga melayani para purnawirawan, warakauri dan
21

sebagian kelompok pemuda dalam rangka : penerimaan dan seleksi personel baru,
an administrasi pengakhiran dinas termasuk pembinaan administrasi
purnawirawan/warakauri dan yatim piatu keluarga besar kepolisian[4]

4)      Kode Etik Profesi Kepolisian

Dalam pembukaan kode etik profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia, etika
profesi kepolisian merupakan kristalisasi nilai-nilai Tribrata yang dilandasi dan
dijiwai oleh Pancasila serta mencerminkan jati diri setiap anggota Kepolisian
Negara Republik Indonesia dalam wujud komitmen moral yang meliputi pada
pengabdian, kelembagaan dan kenegaraan, yang selanjutnya disusun ke dalam
Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia, yaitu antara lain
sebagai berikut : Etika pengabdian merupakan komitmen moral setiap anggota
Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap profesinya sebagai pemelihara
keamanan dan ketertiban masyarakat, penegak hokum serta pelindung, pengayom
dan pelayan masyarakat. Etika kelembagaan merupakan komitmen moral setiap
anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap institusinya yang
menjadi wadah pengabdian yang patut dijunjung tinggi sebagai ikatan lahir batin
dari semua insan Bhayangkara dan segala martabat dan kehormatannya. Etika
kenegaraan merupakan komitmen moral setiap anggota Kepolisian Negara
Republik Indonesia dan institusinya untuk senantiasa bersikap netral, mandiri dan
tidak terpengaruh oleh kepentingan politik, golongan dalam rangka menjaga
tegaknya Hukum Negara Republik Indonesia.

Pada Pasal 4 Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia,


menyatakan bahwa anggota Kepolisian dalam melaksanakan tugas menegakkan
hukum wajib memelihara perilaku terpercaya dengan :

1. Menyatakan yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah;
2. Tidak memihak;
3. Tidak melakukan pertemuan di luar ruang pemeriksaan dengan pihak-
pihak yang terkait dengan perkara;
4. tidak mempublikasikan nama terang tersangka dan saksi;
5. tidak mempublikasikan tata cara, taktik dan teknik penyelidikan;
6. Tidak menimbulkan penderitaan akibat penyalahgunaan wewenang dan
sengaja menimbulkan rasa kecemasan, kebimbangan dan ketergantungan
pada pihak-pihak yang terkait dengan perkara;
7. Menunjukkan penghargaan terhadap semua benda-benda yang berada
dalam penguasaannya karena terkait dengan penyelesaian perkara;
8. Menunjukkan penghargaan dan kerjasama dengan sesama pejabat negara
dalam sistem peradilan pidana; dan
9. Dengan sikap ikhlas dan ramah menjawab pertanyaan

tentang perkembangan penanganan perkara yang ditanganinya kepada semua


pihak yang terkait dengan perkara pidana yang dimaksud, sehingga diperoleh
kejelasan tentang penyelesaiannya.
22

            Sedangkan pada Pasal 7, anggota kepolisian senantiasa menghindarkan


diri dari perbuatan tercela yang dapat merusak kehormatan profesi dan
organisasinya dengan tidak melakukan tindakan-tindakan berupa :

a)      bertutur kata kasar serta bernada kemarahan;

b)      menyalahi atau melakukan penyimpangan dari prosedur tugasnya;

c)      bersikap mencari-cari kesalahan dari masyarakat;

d)     mempersulit masyarakat yang membutuhkan bantuan ataupun  pertolongan;

e)      menyebarkan berita-berita atau isu-isu yang dapat meresahkan masyarakat


dan stabilitas negara;

f)       melakukan perbuatan yang dirasakan merendahkan martabat perempuan;

g)      melakukan tindakan yang dirasakan sebagai perbuatan menelantarkan anak-


anak dibawah umur; dan

h)      merendahkan harkat dan martabat manusia.

         Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk pertama kali
ditetapkan oleh Kapolri dengan Surat Keputusan Kapolri No. Pol :
Skep/213/VII/1985 tanggal 1 Juli 1985, yang selanjutnya naskah dimaksud
terkenal dengan Naskah Ikrar Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia
beserta pedoman pengalamannya, dengan berlakunya Undang-Undang Negara
Republik Indonesia No. 28 Tahun 1997, dimana pada Pasal 23 mempersyaratkan
adanya Kode Etik Pofesi Kepolisian Negara Republik Indonesia, maka pada tahun
2001 diterbitkan buku Kode Etik Profesi Kepolisian dengan Keputusan Kapolri
No. Pol : Kep/05/III/2001 serta buku Petunjuk Administrasi Komisi Kode Etik
Pofesi Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan Keputusan Kapolri[5] No.
Pol : Kep/04/III/2001 Tinjauan Tentang Penyidikan

(1)   Pengertian Penyidik dan Penyidikan Istilah penyidikan secara etimologis


merupakan padanan kata bahasa Belanda yaitu opsporing dan dari bahasa Inggris
yaitu investigation. Sedangkan dari bahasa Latin yaitu investigatio dan dalam
bahasa Malaysia yaitu penyiasatan atau siasat[6]. Dalam Pasal 1 ayat 10, 12 dan
13 Undang-Undang Negara Republik Indonesia No. 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia, menyebutkan pengertian penyidik dan
penyidikan, yaitu :

ayat 10 :

“Penyidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diberi


wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.”
23

ayat 12 :

“Penyidik pembantu adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang


diangkat oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia berdasarkan syarat
kepangkatan dan diberi wewenang tertentu dalam melakukan tugas penyidikan
yang diatur dalam undang-undang.”

ayat 13 :

“Penyidikan ialah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara
yang diatur undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang
dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna
menemukan tersangkanya.”

(2)   Tugas dan Wewenang Penyidik

Dalam hubungannya dengan tugas dan wewenang kepolisian maka Undang-


Undang Negara Republik Indonesia No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana telah menempatkan kedudukan polisi sebagai
penyidik tunggal, dalam arti bahwa menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana hanya polisi negaralah sebagai pejabat satu-satunya yang mempunyai
monopoli penyidikan tindak pidana umum. Dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.
27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
pada Pasal 2 menetapkan kepangkatan pejabat polisi negara menjadi penyidik
yaitu sekurangkurangnya berpangkat pembantu Letnan Dua Polisi. Sebagai suatu
pengecualian, ditentukan apabila di suatu tempat tidak ada pejabat penyidik yang
berpangkat Pembantu Letnan Dua keatas, maka Komandan Sektor Kepolisian
yang berpangkat bintara di bawah pangkat Pembantu Letnan Dua Polisi karena
jabatannya adalah penyidik. Pejabat penyidik polisi negara tersebut diangkat oleh
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang dapat melimpahkan
wewenangnya kepada pejabat polisi negara yang lain.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana pada Pasal 10 dikenal pula
pejabat penyidik pembantu, yang selanjutnya dalam Pasal 3 PP No. 27 Tahun
1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana
menentukan bahwa penyidik pembantu ialah pejabat polisi negara yang
berpangkat Sersan Dua Polisi. Penyidik pembantu tersebut diangkat oleh Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia atas usul komandan atau pimpinan
kesatuan masing-masing. Wewenang pengangkatan itu dapat pula dilimpahkan
kepada pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang lain[7].

Pada Pasal 8 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tugas penyidik, yaitu
antara lain : membuat berita acara tentang pelaksanaan tindakan; penyidik
menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum atau jaksa; penyerahan
berkas perkara sebagaimana dimaksud dilakukan pada tahap pertama penyidik
hanya menyerahkan berkas perkara dan dalam hal penyidikan sudah dianggap
24

selesai, penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti
kepada penuntut umum.

Wewenang penyidik pembantu pada dasarnya sama dengan kewenangan yang


dimiliki oleh penyidik, kecuali wewenang penahanan yang wajib diberikan
dengan pelimpahan wewenang dari penyidik. Pelimpahan wewenang penahanan
kepada penyidik pembantu tersebut hanya diberikan dalam hal sebagai berikut :

a)      Apabila perintah penyidik tidak dimungkinkan karena hal dan dalam
keadaan yang sangat diperlukan;

b)      Terdapat hambatan perhubungan di daerah-daerah terpencil;

c)      Apabila di tempat itu belum ada petugas penyidik;

d)     Dalam hal lain yang dapat diterima menurut kewajaran[8].

Sedangkan wewenang penyidik pada Pasal 7 ayat (1) Kitab Undang-Undang


Hukum Acara Pidana, yaitu :

1. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak


pidana;
2. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
3. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri
tersangka;
4. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
5. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
6. mengambil sidik jari dan memotret seorang;
7. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau
saksi;
8. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara;
9. mengadakan penghentian penyidikan; dan
10. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Sebelum dilakukannya penyidikan pihak kepolisian melakukan kegiatan


penyelidikan, yaitu memeriksa dengan seksama atau mengawasi gerak-gerik
musuh sehingga penyelidikan itu dapat diartikan sebagai pemeriksaan, penelitian,
atau pengawasan[9]. Proses penyidikan yang dilakukan oleh penyidik dapat
digambarkan sebagai berikut : diawali dengan adanya bahan masukan suatu tindak
pidana; melakukan tindakan pertama ditempat kejadian, yaitu melakukan berbagai
tindakan yang dipandang perlu oleh penyidik; pemanggilan dan pemeriksaan
tersangka dan saksi; melakukan upaya paksa yang diperlukan, bentuknya ialah
tindakan penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan tindakan
pemeriksaan surat;    pembuatan berita acara penyidikan; danpenyerahan berkas
25

perkara kepada penuntut umum[10]. Letak Diskresi Dalam Penyidikan Yang


Dilakukan Oleh Polisi.

Status polisi sebagai penyidik utama didalam sistem peradilan pidana atau sebagai
pintu gerbang didalam proses menempatkan polisi sebagai tempat menerima dan
mendapatkan segala macam persoalan pidana. Tidak jarang polisi sebagai
penyidik menerima terlalu banyak perkara-perkara yang sifatnya terlalu ringan,
kurang berarti dan kurang efisien kalau diproses. Selain hal tersebut seringkali
polisi juga mengalami hambatan-hambatan didalam proses penyidikan seperti
karena terbatasnya dana, terbatas personel dan kemampuan serta waktu pun juga
menjadi kendala yang berarti. Hal ini dikarenakan didalam proses penyidikan
penyidik dituntut untuk sesegera mungkin menyelesaikannya, hal ini
mengakibatkan seringkali beberapa perkara terkadang tertunda atau tertangguhkan
penyelesaiannya.

Pada dasarnya polisi didalam melaksanakan tugas kewajibannya selalu berpegang


pada perundang-undangan yang berlaku. Selaku penegak hukum akan
menegakkan semua ketentuan hukum yang berlaku, hal ini memang karena
kewajibannya. Namun disamping selaku penegak hukum tugas polisi adalah
pembina kamtibmas didaerahnya, dalam hal ini kebijakan-kebijakan yang dapat
menyeimbangkannnya kepada semua tugas itu selalu menjadi perhatian utama.
Sehingga mau tidak mau didalam melaksanakan tugas selalu ditempuh berbagai
cara yang tepat. Unsur kebijakan selalu melengkapi ketentuan-ketentuan hokum
yang berlaku, bahkan dibeberapa hal seperti penyidikan dapat mengenyampingkan
ketentuan hukum positif yang berlaku pada suatu saat dan tempat yang sulit untuk
dipaksakan berlakunya hukum positif.

Dalam kasus pelanggaran lalulintas dan penyelesaiannya terkadang kebijakan


yang dambil oleh polisi dilaksanakan secara kompromi atau peringatan kepada
pengendara yang melanggar dengan alas an keadaan darurat saja. Tindakan ini
diambil setelah polisi sebagai penyidik melakukan tindakan-tindakan penyidikan
dan diproses sebagaimana seharusnya. Akan tetapi biasanya setelah melalaui
proses pemeriksaan telah dipertimbangkan dengan seksama ternyata cara-cara
tersebut diatas lebih efektif, lebih bermanfaat ditinjau dari segi perkaranya, semua
pihak, waktu, biaya proses maupun dari segi kepentingan masyarakat, maka
pelanggaran jalanan yang ditangani itu cukup diselesaikan oleh mereka dengan
diketahui oleh polisi sendiri.

Langkah kebijaksanaan yang diambil polisi sebagai penyidik tersebut biasanya


sudah banyak dimengerti dengan baik oleh komponen-komponen fungsi didalam
sistem peradilan pidana terutama oleh jaksa selaku Penuntut Umum. Disini
menunjukkan bahwa didalam tugasnya sebagai alat Negara penegak hukum, polisi
ternyata mengambil sikap fleksibel didalam menghadapi ketentuan-ketentuan
hukum positif yang tertulis. Maka didalam hukum pidana positif pun tidaklah
harus begitu kaku, sehingga kebijaksanaan-kebijakanaan perkara seperti
menghentikan atau mengenyampingkan perkara pelanggaran yang dianggap dapat
26

dipertanggungjawabkan dari sudut tugas-tugas kepolisian dapat juga dilakukan


oleh polisi. Kebijaksanaan yang diambil oleh polisi berupa seleksi atau
penyaringan perkara yang berupa penghentian, atau pengenyampingan perkara
tersebut didalam kepolisian disebut dengan diskresi kepolisian

b)      Tinjauan Tentang Diskresi

1)      Pengertian Diskresi

Diskresi[11] dalam Black Law Dictionary berasal dari bahasa Belanda


“Discretionair” yang berarti kebijaksanaan dalam halnya memutuskan sesuatu
tindakan berdasarkan ketentuan-katentuan peraturan, Undang-undang atau hukum
yang berlaku tetapi atas dasar kebijaksanaan, pertimbangan atau keadilan.

Diskresi dalam bahasa Inggris diartikan sebagai suatu kebijaksanaan, keleluasaan.


[12]

Menurut kamus hukum yang disusun oleh J.C.T Simorangkir diskresi[13]


diartikan sebagai kebebasan mengambil keputusan dalam setiap situasi yang
dihadapi menurut pendapatnya sendiri.

Thomas J. Aaron mendefinisikan diskresi bahwa:

“discretion is power authority conferred by law to action on the basic of


judgement of conscience, and its use is more than idea of morals than law” yang
dapat diartikan sebagai suatu kekuasaan atau wewenang yang dilakukan
berdasarkan hukum atas pertimbangan dan keyakinan serta lebih menekankan
pertimbangan-pertimbangan moral dari pada pertimbangan hukum[14]

Menurut Wayne La Farve maka diskresi menyangkut pengambilan keputusan


yang tidak sangat terikat oleh hukum, dimana penilaian pribadi juga memegang
peranan[15].

Dari beberapa pengertian diskresi tersebut maka dapat dikatakan bahwa secara
sederhana diskresi adalah suatu wewenang menyangkut pengambilan suatu
keputusan pada kondisi tertentu atas dasar pertimbangan dan keyakinan pribadi
seseorang, dalam hal ini polisi.

Menurut Alvina Treut Burrow dikatakan bahwa discretion adalah “ ability to


choose wisely or to judge for our self (Alvina, 1996: 226). Definisi ini menghantar
pada pemahaman bahwa faktor bijaksana dan sikap tanggungjawab seseorang
mempunyai unsur penting dalam diskresi.

Diskresi merupakan kewenangan penyidik untuk mengambil keputusan atau


memilih berbagai tindakan dalam menyelesaikan masalah pelanggaran hukum
atau perkara pidana yang ditanganinya[16] diskresi yaitu kebebasan mengambil
27

keputusan sendiri dalam setiap situasi yang dihadapi. Menurut Sofyan Lubis,
diskresi adalah kebijakan dari pejabat yang intinya membolehkan pejabat publik
melakukan sebuah kebijakan dimana undang-undang belum mengaturnya secara
tegas, dengan syarat, yakni demi kepentingan umum, masih dalam batas wilayah
kewenangannya, dan tidak melanggar Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik
(AUPB). Sedangkan menurut pakar hukum Administrasi Negara Universitas
Indonesia, Benyamin Hossein mendefinisikan diskresi yaitu kebebasan pejabat
dalam mengambil keputusan menurut pertimbangannya sendiri. Dan menurut
Gayus Lumbuun, diskresi adalah kebijakan dari pejabat negara dari pusat sampai
daerah yang intinya membolehkan pejabat publik melakukan sebuah kebijakan
yang melanggar dengan undang-undang, dengan tiga syarat, yakni demi
kepentingan umum, masih dalam batas wilayah kewenangannya, dan tidak
melanggar Asas Asas Umum Pemerintahan yang Baik[17].

2)      Konsep Diskresi Penyidik

Konsep mengenai diskresi penyidik terdapat dalam Undang-Undang Negara


Republik Indonesia No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia, pada Pasal 18 ayat 1 dan 2, yaitu :

ayat 1 :

“Untuk kepentingan umum, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam


melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya
sendiri.”

ayat 2 :

“Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat


dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan
perundang-undangan, serta kode etik profesi Kepolisian.”

Rumusan kewenangan penyidik dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Negara


Republik Indonesia No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia merupakan kewenangan yang bersumber dari asas kewajiban umum
penyidik yaitu suatu asas yang memberikan kewenangan kepada para penyidik
untuk bertindak atau tidak bertindak menurut penilaiannya sendiri, dalam rangka
kewajiban umumnya, yaitu menjaga dan menjamin ketertiban umum serta
menegakkan hukum dan keadilan. Secara umum kewenangan ini dikenal sebagai
diskresi penyidik yang keabsahannya didasarkan pada pertimbangan keperluannya
untuk tugas kewajiban[18] (pflichtmassiges ermessen). Wewenang polisi untuk
menyidik ini yang meliputi kebijaksanaan polisi (politie beleid; police discretion)
sangat sulit, sebab mereka harus membuat pertimbangan suatu tindakan yang akan
diambil dalam waktu yang sangat singkat pada penanggapan pertama suatu
delik[19].
28

Substansi Pasal 18 ayat 1 Undang-Undang Negara Republik Indonesia No. 2


Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan konsep
kewenangan kepolisian, khususnya penyidik yang baru diperkenalkan walaupun
dalam praktek di lapangan selalu digunakan, maka pemahaman tentang diskresi
kepolisian dalam Pasal 18 ayat 1 harus dikaitkan juga dengan konsekuensi
pembinaan profesi yang diatur dalam Pasal 31, 32, dan 33, hal ini dapat terlihat
adanya jaminan bahwa penyidik akan mampu mengambil tindakan secara tepat
dan professional berdasarkan penilaiannya sendiri dalam rangka pelaksanaan
tugasnya.

 Sedangkan rumusan dalam Pasal 18 ayat (2) merupakan rambu-rambu bagi


pelaksanaan diskresi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu selain asas
keperluan, tindakan diskresi tetap harus sesuai dan memperhatikan peraturan
perundang-undangan serta kode etik profesi Kepolisian Negara Republik
Indonesia[20]  Dan pada Pasal 7 ayat (1) huruf j Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana, yang memberikan kewenangan kepada penyidik yang karena
kewajibannya dapat melakukan tindakan tertentu menurut hukum yang
bertanggung jawab[21].

Pelaksanaan diskresi secara umum, misalnya seperti penyidik menganani perkara


pencurian yang dilakukan oleh anak kecil, setelah berkasnya selesai tidak diproses
ke pengadilan tetapi langsung diserahkan pembinaannya kepada orang tuanya.
Tindakan diskresi tersebut sering menimbulkan debat yang menuduh penyidik
melakukan pelanggaran hukum, namun ada pendapat lain yang menyatakan polisi
sangat bijaksana[22]. Tindakan diskresi secara umum, misalnya juga seperti yang
diputuskan oleh petugas operasional di lapangan secara langsung pada saat itu
juga dan tanpa meminta petunjuk atau keputusan dari atasannya ialah  diskresi
yang bersifat individual, yaitu dalam hal menghindari terjadinya penumpukan lalu
lintas di suatu ruas jalan dan petugas kepolisan memberi isyarat untuk terus
berjalan kepada pengemudi kendaraan meskipun saat itu lampu pengatur lalu
lintas menunjukkan warna merah.

Adapun tindakan untuk mengesampingkan perkara, untuk melakukan penahanan


atau tidak melakukan penahanan terhadap tersangka atau pelaku pelanggaran
hukum, menghentikan proses penyidikan, bukan merupakan tindakan diskresi
individual penegak hukum melainkan tindakan diskresi birokrasi[23] sebab dalam
pengambilan keputusan diskresi didasarkan atau berpedoman pada kebijaksanaan
pimpinan dalam organisasi dan hal tersebut telah menjadi kesepakatan diantara
pimpinan dan bawahannya atau dalam birokrasi tersebut Sedangkan batasan
tindakan diskresi ini didasarkan pada maksud kepentingan masyarakat, tujuan
yang baik dari kepentingan masyarakat, tidak bertentangan dengan hak asasi
manusia[24], dan adanya batasan hukum atau peraturan yang berlaku dan
memberikan asas manfaat bagi masyarakat luas.  Syarat-syarat tindakan diskresi,
yaitu antara lain :
29

a)      Tindakan diskresi tersebut harus benar-benar dilakukan atau berdasarkan


asas keperluan,

b)      Tindakan diskresi yang diambil benar-benar untuk kepentingan tugas


kepolisian,

c)      Merupakan tindakan yang paling tepat untuk mencapai sasaran ialah
hilangnya suatu gangguan atau tidak terjadinya sesuatu yang tidak dikhawatirkan,

d)     Asas keseimbangan dalam mengambil tindakan diskresi harus senantiasa


dijaga keseimbangannya yaitu antara sifat tindakan atau sasaran yang
dipergunakan dengan besar kecilnya suatu gangguan atau berat ringannya suatu
obyek yang harus ditindak[25]

Transportasi yang berperan sebagai penunjang, pendorong, dan penggerak bagi


pertumbuhan daerah yang berpotensi namun belum berkembang, dalam upaya
peningkatan dan pemerataan pembangunan serta hasil-hasilnya juga sebagai
bagian dari lalu lintas kendaraan bermotor ataupun tidak bermotor dari daerah satu
ke daerah yang lain, baik kendaraan pribadi maupun angkutan jalan. Dari peranan
transportasi tersebut maka lalu lintas dan angkutan jalan harus ditata dalam satu
sistem transportasi nasional secara terpadu dan mampu mewujudkan tersedianya
jasa transportasi yang serasi dengan tingkat kebutuhan lalu lintas yang tertib,
selamat, aman, nyaman, cepat, tepat, teratur, lancar (Penjelasan atas Undang-
Undang Negara Republik Indonesia No. 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan Umum).

Lalu lintas itu sendiri merupakan gerak kendaraan, orang dan hewan di jalan.
Kendaraan merupakan sebuah alat yang bergerak di jalan, terdiri dari kendaraan
bermotor atau kendaraan tidak bermotor. Hal ini berdasarkan Pasal 1 ayat 1 dan 6
Ketentuan Umum Undang-Undang Negara Republik Indonesia No. 14 Tahun
1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Umum. Sedangkan pelanggaran
lalulintas ialah suatu permasalahan dimana pemakai kendaraan bermotor tidak
mematuhi peraturan lalulintas demi keselamatan perjalanan yang dapat
mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dimana sebuah kendaraan bermotor
tabrakan dengan benda lain atau kendaraan bermotor yang lain dan menyebabkan
kerusakan.

Pelanggaran tersebut terkadang mengakibatkan orang atau pengguna jalan yang


lain terancam. Terdapat tiga faktor utama yang menyebabkan terjadinya
kecelakaan, yaitu :

1. faktor manusia,
2. factor kendaraan, dan ;
3. faktor jalan.
30

Kombinasi dari ketiga faktor tersebut dapat terjadi kecelakaan, namun disamping
itu masih ada faktor lingkungan dan cuaca yang juga menjadi kontribusi terhadap
kecelakaan[26]. Kecelakaan lalu lintas tersebut dapat terjadi karena kelalaian atau
kealpaan seseorang menyebabkan orang lain meninggal dunia dan luka-luka yang
dapat diancam pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling
lama satu tahun, hal ini berdasarkan Pasal 359 dan 360 ayat 1 dan 2 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana.

Dikaitkan dengan judul tulisan ini yaitu Penerapan Fungsi Diskresi Kepolisian
Dalam Proses Penyidikan Pelanggaran Lalu Lintas Di Polrestabes Bandung
maka terlihat fokus permasalahan yang akan diajukan, yaitu sejauh mana
jangkauan diskresi kepolisian dalam sistem peradilan pidana baik dilihat dari segi
hukum normatif maupun dari segi pelaksanaannya.

Seperti yang telah diungkapkan diatas bahwa dalam rangka penegakan hukum
pidana, aparat penegak hukum dapat menggunakan wewenangnya melalui jalur
yuridis atau sosiologis. Namun, jalan yang ditempuh untuk kedua jalur itu
hendaknya harus seimbang, bukan terpisah-pisah seolah-olah sebagai lawan yang
berbeda dan tidak berhubungan. Bagi petugas penegak hukum keduanya harus
dapat dipertimbangkan sekaligus sebelum mengambil keputusan, walaupun
akhirnya jalur sosiologis lebih dominan dibandingkan jalur yuridis dalam
menghadapi masalah ataupun sebaliknya.

Berdasarkan pemikiran tersebut, sehingga diskresi yang dilakukan oleh kepolisian


dimana berupa penyaringan-penyaringan, seleksi perkara yang masuk dalam
proses memerlukan pertimbangan-pertimbangan. Pertimbangan-pertimbangan
tersebut berasal dari kedua model pemikiran tersebut, yaitu model normatif
maupun sosiologis.

 Hal ini menjadi penting dikarenakan kedudukan polisi sebagai penyidik berada
pada jajaran terdepan dalam sistem peradilan pidana sebagai tempat paling awal
menerima atau menempatkan segala macam persoalan pidana.Hal ini seperti yang
dikemukakan oleh M. Faal :

“Bahwa akan menjadi masalah apabila kewenangan diskresi ini ditutup sama
sekali, sebagai kerasnya hukum pidana formal tanpa memperhatikan aspek
sosiologisnya. Karena polisi yang berada di gugus paling depan dalam system
peradilan pidana akan disibukkan oleh perkara-perkara yang tertumpuk yang
seharusnya dapat diselesaikan diluar proses. Seperti perkara-perkara konkret yang
dihadapi di lapangan yang menuntut diselesaikannya segera oleh penyidik,
perkara-perkara yang sangat atau terlalu ringan, perkara yang tersangkanya
kurang pantas atau ditangani diluar proses dari pada didalam proses yang
akibatnya jauh lebih buruk untuk kehidupan selanjutnya, atau perkara-perkara
yang dilanggar itu kurang berarti bagi masyarakat umum. Demikian juga demi
kepentingan korban atau kepentingan umum yang lebih besar, Baik model
normatif maupun sosiologis keduanya merupakan unsur yang perlu diperhatikan
31

oleh aparat penegak hukum terutama polisi didalam menegakkan hukum. Hal ini
dikarenakan baik normatif maupun sosiologis pada dasarnya mempunyai tujuan
yang sama didalam masyarakat yaitu untuk mewujudkan ketentraman dan
keamanan serta penegakan hukum dalam system peradilan pidana.

Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman pada Pasal


4 ayat (2) menyebutkan bahwa ”peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan
biaya ringan”, sehingga apabila dalam sistem peradilan pidana hanya ingin
menegakkan hukum formal semata-mata maka kurang sesuai dengan apa yang
tertuang dalam undang-undang tersebut dan tentunya justru akan mengurangi
keefektifan dari sistem peradilam pidana sendiri. Hal ini dikarenakan jika hanya
ingin menegakkan hukum formal saja justru akan menimbulkan pemborosan
waktu, materi, tenaga maupun biaya dalam penyidikan yang dilakukan oleh polisi.
Sehingga solusi yang diberikan oleh hukum dalam prakteknya polisi sering
melakukan tindakan pengenyampingan perkara, tentunya hal tersebut didasarkan
pada setiap permasalahan yang dihadapi oleh polisi dilapangan yang situasi dan
kondisinya berbeda-beda.

Tindakan yang dilakukan polisi untuk melakukan penyaringan atau penyampingan


terhadap perkara pidana, jika dilihat menurut sikap Hukum pidana yang kaku
dimana tidak mengenal kompromi, maka tidak bias dibenarkan begitu saja
tentunya. Sedangkan jika dilihat dari alasan sosiologis yang terkadang digunakan
dalam praktek, biasanya lebih dipengaruhi oleh unsur subyektif yang melekat
pada diri polisi, juga situasi dan kondisi.

Tentunya untuk menjamin hukum yang baik bagi masyarakat pada umumnya
maupun polisi pada khususnya diperlukan adanya aturan hukum sebagai dasar
yang tegas untuk mengaturnya. Berkaitan dengan landasan hukum hal tersebut
bagi petugas penyidik dari kepolisian terdapat beberapa aturan perundang-
undangan yang langsung maupun tidak berhubungan dengan masalah diskresi
kepolisian ini. Dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang
KUHAP pada Pasal 7 (j), memberikan wewenang kepada penyidik yang karena
kewajibannya dapat melakukan tindakan apa saja yang menurut hukum
bertanggungjawab.

Terlepas dari batasan perkara yang serba ringan yang ditetapkan oleh perundang-
undangan untuk mengenyampingkan perkara itu, disini juga terlihat bahwa
didalam melaksanakan tugas itu polisi diberi wewenang oleh undang-undang
untuk dapat melaksanakan tindakan kepolisian dalam bentuk apapun yang disebut
diskresi itu, seperti yang tercantum dalam ketentuan Undang-Undang Kepolisian
Negara Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 pada Pasal 18, sehingga polisi
memang benar-benar mempunyai wewenang untuk melakukan diskresi terutama
dalam hal penyidikan seperti menghentikan, mengenyampingkan perkara atau
tidak melaksanakan tindakan terhadap suatu pelanggaran, tetapi dalam batas yang
telah ditetapkan dalam undang-undang.
32

Undang-undang memberikan wewenang yang begitu besar kepada polisi dalam


rangka melaksanakan tugasnya, sehingga tidak salah kiranya jika tindakan-
tindakan kepolisian tersebut perlu diimbangi dengan adanya pengawasan-
pengawasan dan harus dapat dipertanggungjawabkan oleh ketentuan-ketentuan
hukum yang berlaku agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan. Hal ini
dikarenakan antara subsistem yang satu dengan yang lainnya terdapat keterkaitan
satu dengan yang lainnnya. Ketidaksempurnaan kerja dalam salah satu subsistem,
akan menimbulkan dampak pada subsistem-subsistem lainnya.

Demikian pula, reaksi yang timbul sebagai akibat kesalahan pada salah satu
subsistem akan menimbulkan dampak kembali pada subsistem yang lainnya.
Dengan demikian mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan, bukan saja
tanggungjawab kepolisian, tetapi kejaksaan dan pengadilan juga turut
bertanggungjawab melalui putusan yang dirasakan tidak adil oleh masyarakat.
Putusan yang tidak adil, maupun tidak berhasilnya pengadilan mengenakan pidana
bagi pelaku, akan mendorong pelaku kejahatan lebih berani melakukan kejahatan.
Pemasyarakatan pun dapat mendorong terjadinya kejahatan, apabila mantan
narapidana gagal bersosialisasi kembali dalam masyarakat. Terjadinya ketidak
terpaduan kerja perlu dicegah, maka kebijakan kriminal harus dilaksanakan oleh
sistem peradilan pidana, karena system peradilan pidana berfungsi sebagai perekat
sistem. Artinya, keterpaduan itu diperoleh apabila masing-masing subsistem
menjadikan kebijakan criminal sebagai pedoman kerjanya. Oleh karena itu,
komponen-komponen system peradilan pidana, tidak boleh bekerja sendiri-sendiri
tanpa diarahkan oleh kebijakan kriminal.

Kebijakan bukan sekedar sebagai hasil perumusan bersama, tetapi juga sebagai
hasil dari berbagai kewenangan dalam kepolisian yang bekerjasama dalam
menanggulangi masalah pelanggaran. Dimulai dari pembuat undang-undang yang
menyediakan aturan-aturan hukum pidana serta wewenang maupun pembatasan
dalam melaksanakan aturan hukum tersebut. Kemudian kepolisian sebagai
pelaksana aturan hukum itu dalam proses penyidikan.

Diakui bahwa gambaran diatas lebih sebagai hal yang ideal. Akan tetapi pada
kenyataanya, berbagai variabel diluar sistem peradilam pidana, justru potensial
sebagai variabel yang mempengaruhi efektif atau tidaknya kerja sistem.

Karena cakupan yang demikian maka sistem peradilan pidana lebih berdimensi
kebijakan lewat suatu sistem untuk menanggulangi masalah pelanggaran. Pada
titik ini jelas bahwa penegakan hukum lewat sisten peradilan pidana merupakan
bagian dari kebijakan perlindungan masyarakat untuk mencapai dan menikmati
kedamaian serta kesejahteraan.

Apabila hukum pidana hendak dilibatkan dalam usaha mengatasi segi-segi negatif
dari perkembangan masyarakat, maka hendaknya dilihat dalam hubungannya
dengan keseluruhan politik kriminal atau kebijakan-kebijakan sosial. Bertitik
tolak dari hal tersebut dapat dikatakan bahwa penegakan hokum pidana untuk
33

menanggulangi masalah pelanggaran tidak akan maksimal apabila tidak terkait


dan tidak searah dengan kebijakan-kebijakan sosial lainnya.

Hal tersebut senada dengan yang dikatakan oleh Muladi bahwa:

Penegakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penanggulangan


kejahatan (politik kriminal). Tujuan akhir dari politik criminal adalah
perlindungan masyarakat untuk mencapai tujuan utama kesejahteraan masyarakat.

Dengan demikian penegakan hukum pidana yang merupakan bagian dari politik
kriminal, pada hakekatnya juga merupakan bagian integral dari kebijakan untuk
mencapai kesejahtaraan masyarakat[27]

Dilihat sebagai suatu proses kebijakan, penegakan hukum pidana pada hakekatnya
merupakan penegakan kebijakan melalui beberapa tahap:

1. Tahap formulasi, yaitu tahap penegakan hukum in abstracto oleh badan


pembuat undang-undang. Tahap ini pula disebut tahap kebijakan
legislative.
2. Tahap aplikasi, yaitu tahap penerapan hukum pidana oleh aparat-aparat
penegak hukum mulai dari kepolisian sampai pengadilan. Tahap kedua ini
dapat pula disebut tahap kebijakan yudikatif.
3. Tahap eksekusi, yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana secara konkret
oleh aparat-aparat pelaksana pidana. Tahap ini disebut tahap kebijakan
eksekutif atau administratif[28] .

Ketiga tahap itu dilihat sebagai usaha atau proses rasional yang sengaja
direncanakan untuk mencapai tujuan menegakkan hukum pidana khususnya pada
pelanggar lalulintas

    II.           

Tindak Pidana

Lalu Lintas

Kerangka pemikiran

 
 
     

 
34

GAMBAR.3 Bagan Kerangka Pemikiran

Berdasarkan gambar bagan di atas dapat dijelaskan sebagai berikut :

Tindak pidana/pelanggaran lalu lintas dapat terjadi karena berbagai faktor, salah
satu faktor tersebut yang berkaitan dengan kasus pelanggaran lalu lintas ini adalah
karena kelalaian seseorang yang menyebabkan orang lain luka-luka dan
meninggal dunia. Dari adanya perkara itu dilakukan penyelidikan, dalam
penyelidikan ini dilakukan untuk mencari kealpaan tersangka dengan
mengkaitkan atau menghubungkan unsur-unsur pasal yang dituduhkan kepadanya,
yang kemudian dilanjutkan dengan penyidikan yang bedasarkan atau berpedoman
pada Undang-Undang Negara Republik Indonesia No. 8 Tahun 1981 tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang berkaitan dengan
penyelidikan dan penyidikan suatu tindak pidana juga termasuk penyidikan
mengenai tindak pidana atau pelanggaran lalu lintas dalam hal ini menunjukkan
adanya tindakan lain yang berdasarkan hukum yang dapat dipertanggung
jawabkan, yaitu dalam Pasal 7 ayat (1) huruf j, yang menyatakan bahwa
pemberian kewenangan kepada penyidik yang karena kewajibannya atau tugasnya
35

dapat melakukan tindakan tertentu menurut hukum yang bertanggung jawab. Pada
Pasal 18 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Negara Republik Indonesia No. 2
Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia memberikan rumusan
konsep diskresi yang menjadi pedoman atau dasar bagi penyidik dalam
pelaksanaan diskresinya terhadap penyidikan perkara lalu lintas.

Penyidik yang berpedoman pada Pasal 7 ayat 1 huruf j KUHAP dan Pasal 18 ayat
1 dan 2 Undang-Undang Negara Republik Indonesia No. 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan tindakan diskresi yang dapat
bermanfaat untuk menyelesaikan perkara atau tindak pidana/pelanggaran lalu
lintas dengan cepat dan efektif sekaligus tetap memperhatikan hak asasi manusia
dan kepastian hukum bagi pihak-pihak yang bersangkutan. Perkara pelanggaran
lalu lintas ini secara perdata oleh penyidik diupayakan adanya pengenyampingan
perkara untuk menjaga tidak menumpuknya perkara-perkara lain yang lebih
penting dalam artian dengan semakin banyaknya pengguna jalan yang kurang
mentaati peraturan lalulintas dengan kurangnya daya tampung jalan untuk
kenyamanan berkara maka sangat wajar jika pihak kepolisian lalulintas
memberikan suatu alas an untuk pengenyampingan suatu perkara sesuai
pandangan pribadinya karena hal tersebut secara legal dibenarkan oleh aturan
yang melegitimasi tindakan tersebut, selama apa yang dilakukan tidak merugikan
asas-asas hokum yang berlaku.

[1] (http://mardalli.wordpress.com, 27 juni 2011 pukul 13.00)

[2] M. Karjadi. 1978. Polisi (Fasilitas dan Perkembangan Hukumnya). Bogor


Politeia.

[3] (http://mardalli.wordpress. com, 27 juni 2011 pukul 13.00 ).

[4] (http://mardalli.wordpress.com, 27 juli 2011 pukul 13.00 ).

[5] (Kode Etik Profesi Polri.openoffice.orgwriter, 25 Mei 2009 pukul 11.00).

[6] Andi Hamzah. 2000. Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Revisi. Jakarta:
Sinar Grafika.

[7] Suryono Sutarto.1987. Sari Hukum Acara Pidana. I. Semarang: Yayasan


Cendekia Purna Dharma
36

[8] Ibid, hal 28

[9] Andi Hamzah. 2000. Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Revisi. Jakarta:
Sinar Grafika.1987, hal 98

[10] Rusli Muhammad. 2007. Hukum Acara Pidana Kontemporer. Bandung: Citra
Aditya Bakti.

[11] Bawengan, W. Gerson.1997. Penyidikan Perkara Pidana dan Teknik


Interogasi.Jakarta. Pradnya Paramita

[12] Ibid.

[13] Simorangkir, J. C. T. Erwin, T. Rudy dan Preasetyo, J. T. 2002. Kamus


Hukum.Jakarta. Sinar Grafika.

[14] Faal, M. 1991. Penyaringan Perkara Pidana Oleh Polisi (Diskresi


Kepolisian).Jakarta. Pradnya Paramita.

[15] Soekanto, Soerjono. 1986.hal 15 Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta.


Universitas Indonesia Press.

[16] http://www.lawskripsi.com, 17 juni 2011 pukul 13.00)

[17] (http://sofyanlubis.blogspot.com/2011/06/fenomena-diskresi-vskorupsi. html,


18 juni 2011 pukul 15.00)

[18] (http://mardalli.wordpress.com, html, 18 juni 2011 pukul 15.00)

[19] Andi Hamzah. 2000. Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Revisi. Jakarta:
Sinar Grafika. Hal 79

[20] (http://mardalli.wordpress.com, html, 18 juni 2011 pukul 15.00).

[21] (http://www.komisikepolisianindonesia.com, 9 September 2010  pukul


15.00)

[22] (http://www.republika.co.id/ berita/16484/kewenangan-diskresi-polri-perlu-


dirinci, 25 mei 2011 pukul 17.50)

[23] (http://www.komisikepolisianindonesia.com, 9 September 2010 pukul


15.00).

[24] (http://metropolitanpostnews.com, 25 juni 2011  pukul 17.57).

[25] Tinjauan Tentang Kecelakaan Lalu Lintas


37

 (D.B.M. Suharya, Diskresi Kepolisian dalam Rangka Penanganan Anak


Berkonflik Dengan Hukum, disampaikan dalam acara Seminar Sehari “Peradilan
Anak” Atas Kerjasama Mabes Polri-Unisef-Sntra HAM Universitas Indonesia,
Jakarta 11 D

Angka kecelakaan di Jawa Tengah yang mengalami peningkatan pada triwulan


pertama tahun 2012 ini jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Selama
Januari-April 2012 sebanyak 1.071 orang meninggal dunia akibat kecelakaan lalu
lintas di wilayah Jawa Tengah (24 % adalah pejalan kaki). Jumlah korban tewas
akibat kecelakaan lalu lintas selama 2012 ini naik drastis dibandingkan pada 2011.
Pada triwulan pertama 2012, korban tewas akibat kecelakaan mencapai seribuan
orang. Padahal, selama tahun 2011, Polda Jateng mencatat jumlah korban
meninggal dunia sebanyak 4.660 orang. Kondisi ini tentu saja memberikan
permasalahan tersendiri khususnya kepada satuan lalu lintas dalam upayanya
menciptakan keamanan dan ketertiban dijalan raya.
Untuk itu perlu kiranya dilakukan langkah konkret dalam mewujudkan pembinaan
fungsi satuan lalu lintas dalam upayanya menciptakan keamanan, keselamatan,
dan ketertiban serta kelancaran dalam berlalu lintas diwilayah hukum Polda Jawa
Tengah. Langkah konkret tersebut diambil tentu saja dengan tidak meninggalkan
tugas dan fungsi utama dari satuan lalu lintas tersebut, melainkan mengsinergikan
langkah tersebut dengan gagasan-gagasan baru yang lebih kompetitif dan inovatif
sesuai karakteristik Provinsi Jawa Tengah.
Langkah tersebut dilakukan dengan mengedepankan 3 (tiga) pendekatan fungsi
Kepolisian yakni pre-emtif, preventif, dan represif. Tujuan yang hendak dicapai
tentu saja terwujudnya kamseltibcar lantas di Jawa Tengah sesuai dengan visi dan
misi direktorat lalu lintas Polda Jawa Tengah. Selanjutnya pembinaan fungsi lalu
lintas ini juga dilaksanakan dengan melibatkan semua komponen pemangku
kepentingan yang ada, pemberdayaan masyarakat serta kemitraan global. Hal ini
selaras dengan pelaksanaan pencegahan kecelakaan lalu lintas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 226 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 .
A. Pendekatan Pre-emtif
Pendekatan ini sangat penting untuk dikedepankan mengingat pencegahan secara
dini melalui optimalisasi kegiatan-kegiatan bidang edukatif masih dirasa sangat
perlu dan penting untuk terus dilaksanakan. Pendekatan ini dapat dilaksanakan
melalui cara-cara sebagai berikut :
1. Pendidikan Masyarakat
Pendidikan masyarakat (dikmas) dalam berlalu lintas penting dilaksanakan karena
dapat memberikan pencerahan kepada masyarakat sejak usia dini. Langkah
konkretnya adalah sebagai berikut :
a. Pelaksanaan program ‘Polisi Sahabat Anak’ , dalam wujud :
 Pengenalan rambu lalu lintas
 Kunjungan ke Satuan Lalu lintas, pengenalan kendaraan
 Taman bermain lalu lintas diberbagai sekolah/tempat umum lainnya.
38

b. Patroli Keamanan Sekolah (Saka Bhayangkara), dalam wujud :


 Pembinaan PKS dengan mengirimkan anggota lalu lintas pada waktu-waktu
ekstrakulikuler sekolah.
 Mengikutsertakan anggota PKS dalam pengaturan lalu lintas di jalan raya,
dengan didampingi anggota.
 Melaksanakan lomba-lomba antar sekolah mengenai kecakapan anggota PKS

c. Police goes to campus, dalam wujud:


 Pelaksanaan layanan SIM keliling dikampus-kampus
 Forum bersama antara polisi dan mahasiswa dalam bentuk kegiatan sosial
(pengawalan), pengecekan surat-surat kendaraan dilingkungan kampus, sosialisasi
peraturan dan kegiatan akademisi lainnya.

2. Pemberdayaan Masyarakat
Upaya mencegah kecelakaan lalu lintas tidak dapat dilaksanakan sendiri oleh
Polisi namun dibutuhkan peranan masyarakat pula.
a. Pembinaan Kelompok Masyarakat, dalam wujud:
 Membuka komunikasi aktif dengan berbagai komunitas sosial masyarakat
seperti komunitas pengendara sepeda motor (bikers), wujudnya bisa berupa
pengawalan komunitas.
 Kegiatan bersama dengan kelompok penyedia jasa lalu lintas, seperti
perlombaan antar tukang becak dan sopir angkot dengan melibakan komunitas
lainnya seperti dealer mobil/motor.

b. Komunikasi Publik, dalam bentuk:


 Pelayanan masyarakat dibidang lalu lintas melalui komunikasi dunia maya
seperti pengadaan website/blog lalu lintas yang up to date.
 Membuka pelayanan arus kendaraan secara real time dengan menggunakan
media televisi/radio lokal baik berupa visual maupun audio serta melalui media
jejaring sosial seperti twitter.
 Melaksanakan kampanye melalui baleho, spanduk dan media lainnya dalam
menyampaikan pesan-pesan kamtibmas.

B. Pendekatan Preventif
Merupakan bentuk pencegahan kecelakaan lalu lintas melalui kehadiran atau
keberadaan anggota lalu lintas itu sendiri. Pendekatan ini dapat dilaksanakan
melalui beberapa cara diantaranya :
1. Turjawali
Pelaksanaan fungsi pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli dilaksanakan
dengan optimalisasi peran anggota satuan lalu lintas, seperti :
a. Pengaturan
 Pengaturan Harian Pagi hari, dengan menempatkan anggota gatur dititik-titik
rawan kemacetan dan kecelakaan dengan konsep ‘Polisi Senyum’. Konsep ini
mengedepankan pengaturan oleh anggota Lalu lintas secara humanis dan tanpa
penegakan hukum formal melainkan peringatan. Hal ini penting mengingat pagi
39

hari adalah waktu dimana hampir setiap orang memulai aktivitasnya, sehingga
situasi yang tertib, cerah, dan penuh keceriaan diharapkan dapat memberikan
kesan tersendiri bagi masyarakat.
 Penggunaan alat bantu gatur seperti reka rambu lalu lintas
 Pemasangan CCTV pada titik-titik rawan kecelakaan lalu lintas

b. Penjagaan
 Penempatan anggota pada pos-pos lalu lintas yang ada
 Sistem komunikasi terpadu anggota dengan menggunakan pendekatan
komunikasi langsung,utamanya dalam percepatan penanganan kecelakaan lalu
lintas.

c. Pengawalan
 Pelaksanaan pengawalan pada kegiatan-kegitan tertentu masyarakat bahkan
tanpa diminta, seperti iring-iringann jenazah, ambulance dan sebagainya.
 Pengawalan rutin pada kegiatan-kegiatan prioritas
d. Patroli
 Patroli rutin dan terjadwal
 Patroli insidentil pada titik-titik kerawanan
 Patroli sepeda pada aktivitas tertentu masyarakat seperti patroli sepeda pada
event ‘car free day’

2. Penerbitan SIM/STNK
Penerbitan SIM/STNK merupakan bagian dari pelayanan masyarakat, sehingga
prosesnya harus benar-benar transparan, akuntabel, dan profesional dengan tidak
meninggalkan sisi humanis.
a. Pelayanan SIM/STNK
 Melayani dengan profesional dan prosedural
 Pelayanan perpanjangan SIM dengan cepat dan humanis dengan
mengedepankan polisi wanita sebagai ujung tombak pelayanan.

b. Pemberdayaan Komunitas masyarakat


 Membuka komunikasi aktif dengan badan usaha penyedia jasa lalu lintas seperti
jasa pembuatan SIM.
 Membangun kerjasama pembuatan SIM dengan badan usaha penyedia jasa
‘latihan mengemudi’.

3. Kerjasama Lintas Sektoral


Pelibatan instansi lain diluar Polri seringkali terabaikan, padahal kegiatan ini
memiliki peranan penting utamanya dalam menciptakan pelayanan publik.
a. Dinas Perhubungan
Dinas perhubungan berkaitan erat dengan pengadaan serta perbaikan marka jalan
dan rambu-rambu lalu lintas.
b. Dinas Pekerjaan Umum
Dinas Pekerjaan Umum berkaitan dengan kualitas jalan raya serta perbaikan-
40

perbaikan jalan, dimana kondisi jalan juga merupakan salah satu faktor penyebab
kecelakaan lalu lintas.

C. Pendekatan Represif
Pendekatan represif merupakan tugas pokok kepolisian dalam aspek penegakan
hukum, namun langkah ini adalah langkah terakhir setelah upaya pre-emtif dan
preventif dilaksanakan. Pendekatan represif secara tegas diutamakan kepada
pelanggaran yang benar-benar berpotensi menyebabkan kecelakaan lalu lintas.
1. Operasi Rutin
Operasi rutin lalu lintas dilaksanakan utamanya guna memeriksa kelengkapan
kedaraan dan kelengkapan perorangan dari para pengguna jalan raya. Pendekatan
ini akan efektif dijalankan dengan melibatkan semua unsur pelaksana tugas
dibidang lalu lintas. Penegakan hukum tidak harus berakhir pada tindakan tegas
seperti tilang dan sebaginya namun bisa juga dikedepankan peringatan-peringatan
dan himbauan sebagai penggugah kesadaran masyarakat untuk tertib berlalu
lintas.
2. Operasi Gabungan
Operasi gabungan dapat dilaksanakan dengan melibatkan unsur Dinas LLAJ serta
unsur Militer, harapannya tidak hanya masyarakat menjadi lebih taat pada aturan
jalan raya namun juga mencegah adanya kemungkinan anggota-anggota TNI/Polri
yang melanggar aturan.

Program Unggulan Mendekati Situasi Lebaran

 Patroli Ngabuburit, yakni dengan pelaksanaan gatur jalan raya serta patroli
jalan raya disore hari
 Police on the spot, yakni acara bersama yang bisa menjadi ajang ngabuburit
bagi masyarakat, dilaksanakan dengan mengedepankan fungsi kepolisian melalui
acara-acara hiburan bagi masyarakat.
 Mendirikan ‘bengkel polisi’ sebagai sarana memberikan pelayanan gratis
kepada masyarakat pengguna jalan raya mendekati mudik lebaran.
 ‘Road free car’ , yakni kegiatan penutupan ruas-ruas jalan utama yang
dilaksanakan sore hari sehingga bisa digunakan masyarakat sebagai tempat
bersantai menunggu beduk buka

Pemberian hukuman atau sanksi dan proses hukum yang berlangsung dalam kasus
pelanggaran hukum oleh anak memang berbeda dengan kasus pelanggaran hukum
oleh orang dewasa, karena dasar pemikiran pemberian hukuman oleh negara
adalah bahwa setiap warga negaranya adalah mahkluk yang bertanggung jawab
dan mampu mempertanggungjawabkan segala perbuatannya. Sementara anak
diakui sebagai individu yang belum dapat secara penuh bertanggung jawab atas
perbuatannya. Oleh sebab itulah dalam proses hukum dan pemberian hukuman,
(sebagai sesuatu yang pada akhirnya hampir tidak dapat dihindarkan dalam kasus
41

pelanggaran hukum), anak harus mendapat perlakuan khusus yang


membedakannya dari orang dewasa.
 
Di Indonesia, penyelenggaraan proses hukum dan peradilan bagi pelanggaran
hukum oleh anak sudah bukan lagi hal baru. Tetapi karena sampai saat ini belum
ada perangkat peraturan yang mengatur mengenai penyelenggaraan peradilan
anak secara menyeluruh, mulai dari penangkapan, penahanan, penyidikan, dan
pemeriksaan di persidangan, sampai dengan sanksi yang diberikan serta
eksekusinya, maka sampai saat ini pelaksanaannya masih banyak merujuk pada
beberapa aturan khusus mengenai kasus pelanggaran hukum oleh anak dalam
KUHP dan KUHAP, serta pada Undang-Undang No.3 tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak (UU Pengadilan Anak). Selain itu, pelaksanaan proses
peradilan bagi anak juga harus mengacu pada Konvensi Hak Anak yang telah
diratifikasi ke dalam Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 (Konvensi Hak
Anak), dimana sedikit banyak telah diakomodir dalam UU Pengadilan Anak.
 
Khusus mengenai sanksi terhadap anak dalam UU Pengadilan Anak ditentukan
berdasarkan perbedaan umur anak, yaitu bagi anak yang masih berumur 8
(delapan) sampai 12 (dua belas) tahun hanya dapat dikenakan tindakan, seperti
dikembalikan kepada orang tuanya, ditempatkan pada organisasi sosial, atau
diserahkan kepada Negara, sedangkan terhadap anak yang telah mencapai umur di
atas 12 (dua belas) sampai 18 (delapan belas) tahun dijatuhkan pidana. Dalam
kasus anda, karena anak tersebut berumur 14 (empat belas) tahun maka sanksi
yang dijatuhkan dapat saja berupa pidana.
 
Namun pada hakekatnya, segala bentuk penanganan terhadap anak yang
melanggar hukum harus dilakukan dengan memprioritaskan kepentingan terbaik
untuk si anak. Oleh karena itu, keputusan yang diambil Hakim (apabila kasus
diteruskan sampai persidangan) harus adil dan proporsional, serta tidak semata-
mata dilakukan atas pertimbangan hukum, tapi juga mempertimbangkan berbagai
faktor lain, seperti kondisi lingkungan sekitar, status sosial anak, dan keadaan
keluarga. Hal-hal ini dijamin serta diatur dalam UU Pengadilan Anak. Misalnya
adalah pada saat polisi melakukan penangkapan dan pemeriksaan, ia wajib untuk
menghubungi dan mendatangkan seorang petugas Bapas (Balai Pemasyarakatan,
biasa juga disebut PK atau Petugas Kemasyarakatan). Petugas Bapas berfungsi
hampir sama seperti probation officer. Polisi wajib menyertakan hasil Litmas
(Penelitian Kemasyarakatan) yang dibuat oleh petugas Bapas dalam Berita Acara
Pemeriksaannya. Tanpa Litmas, Jaksa harus menolak BAP dan meminta
kelengkapannya kembali. Litmas ini berisi tentang latar belakang anak secara
keseluruhan, seperti data diri, keluarga, sekolah, dan lingkungan sekitar, sampai
dengan latar belakang kasus, seperti kronologi kejadian, motif, gambaran
mengenai seriusitas kasus, kondisi tersangka, dll.
 
Litmas juga berisi kesimpulan petugas Bapas tentang kasus yang bersangkutan
dan rekomendasi mengenai disposisi (untuk kasus dewasa disebut vonis) apa yang
terbaik bagi anak. Rekomendasi yang bisa diberikan mulai dari kembali ke orang
42

tua, pidana bersyarat, pidana dengan keringanan hukuman, pidana sesuai


perbuatan, anak negara, dan anak sipil.

 
Dalam kasus ini, jika anak ditahan sebaiknya segera ditanyakan apakah ia telah
ditemui oleh seorang petugas Bapas. Dan apakah padanya telah diberikan haknya
untuk tetap memperoleh penasehat hukum, karena petugas Bapas bukanlah
seorang penasehat hukum. Harus diingat, anak berhak memperoleh dan negara
wajib memberikan proses hukum yang cepat.
 
Apabila pihak korban akan menarik tuntutannya, penyelesaian di luar proses
hukum sangat mungkin untuk dilakukan karena petugas hukum, dalam hal ini
polisi, yang terlibat dalam proses peradilan anak diberi keleluasaan untuk
melakukan diskresi (sewaktu-waktu menghentikan proses hukum) demi
kepentingan anak. Apabila polisi menolak diskresi, sanksi pidana berupa penjara
atau rehabilitasi institusional masih dapat diupayakan untuk diganti dengan
program pembinaan di luar lembaga, kompensasi, atau restitusi bagi korban, yang
bisa diupayakan melalui jalur hukum. Selama proses hukum berlangsung, pihak
orang tua atau wali juga dapat meminta agar anak diberi tahanan luar dengan
memberikan jaminan. Dalam kasus anak, tahanan luar juga dipertimbangkan
mengingat anak masih harus bersekolah.
 
Belum adanya peraturan yang menyeluruh tentang sistem peradilan anak
sebagaimana disebutkan pada bagian awal membawa implikasi pada belum
adanya polisi khusus anak dan jaksa khusus anak. Yang ada barulah hakim anak,
sidang anak, dan lembaga pemasyarakatan anak. Keterbatasan sistem hukum kita
memandang masalah tindak pidana oleh anak hanya pada urusan pengadilan anak,
menyebabkan pertimbangan yang digunakan oleh petugas yang terlibat masih
merupakan pertimbangan �hukum' semata, yang mendasarkan keputusannya
pada apakah si anak bersalah atau tidak sebagai pelanggar hukum, tingkat
seriusitas perbuatannya, dan catatan kriminal yang dimilikinya. Oleh karena itu
tidaklah mengherankan jika sampai saat ini terdapat kenyataan yang
memprihatinkan bahwa sebagian besar kasus pelanggaran hukum oleh anak yang
ditangani polisi, diteruskan ke dalam proses pidana selanjutnya, dan sebagian
besar dari kasus yang diproses tersebut berakhir dengan keputusan pemenjaraan,
dimana seharusnya kedua hal tersebut menjadi alternatif upaya yang paling
terakhir.

BAB III Pengaturan Tentang Kecelakaan Lalu Lintas Bahwa peraturan hukum
yang mengatur kecelakaan lalu lintas di jalan raya dapat menimbulkan kerugian
materil, bahkan ada yang sampai dengan meninggal dunia disamping luka berat dan
43

ringan dan/atau cacat seumur hidup. Pengaturan tentang kecelakaan lalu lintas dapat
dibagi kedalam tiga (3) bagian yaitu: A. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) Kitab ini terdiri dari tiga buku, yaitu Buku I, memuat tentang
‘Ketentuan ketentuan umum”(Algemene leerstukken), artinya : ketentuan-ketentuan
untuk semua “tindak pidana” (perbuatan yang pembuatnya dapat dikenakan hukuman
pidana, baik yang disebut dalam Buku II dan Buku III, maupun yang disebut dalam
undang-undang lain. Buku II, ini menyebutkan tindakan-tindakan pidana yang
dinamakan “misdrijven” atau “kejahatan”. Buku III, ini menyebutkan tindakan-
tindakan pidana yang dinamakan “overtredingen” atau “pelanggaran’.
Disamping ini ada ajaran-ajaran atau teori-teori dalam ilmu pengetahuan hukum,
yang tidak termuat dalam suatu undang-undang, seperti misalnya mengenai
“kesengajaan” atau “opzet” dan hal “kurang berhati-hati” atau “culpa”,
Universitas Sumatera Utara
44

yang diisyratkan dalam berberbagai peraturan hukum pidana, termasuk pasal-pasal


dari Kitap Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sendiri. 46Adakalanya suatu
akibat tindak pidana adalah begitu berat merugikan kepentingan seseorang, seperti
kematian seorang manusia, sehingga diraskan tidak adil, terutama oleh ahli waris
korban, bahwa sipelaku yang dengan kurang berhati-hati menyebabkan orang lain
meninggal, tidak diapa-apakan. Dalam praktek tampak, apabila seorang pengemudi
kendaraan bermotor menabrak orang yang mengakibatkan korbannya meninggal,
banyak orang mengetahui kecelakaan tersebut maka banyak orang mengeroyok
sipelaku, sehingga babak belur, maka timbul adanya beberapa “culpa delicten”, yaitu
tindak pidana yang berunsur culpa atau kurang berhati-hati, tetapi dalam
kenyataannya hukuman yang dijatuhkan kepada sipelaku tidak seberat seperti
hukuman terhadap “doleuze delicten’, yaitu tindak pidana yang berunsur kesengajaan.
Dalam pasal 359 KUHP, yang berbunyi;
45

46 Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, PT. Eresco Jakarta-Bandung,


1979, hal.3 47 R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Politeie, Bogor, 1991, hal.148
“Barang siapa karena kesalahannya menyebabkan matinya orang dihukum penjara
selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun”. 47Adapun
unsur-unsur dari Pasal 459 ini adalah:
1. adanya kesalahan atau kelalaian.

Kesalahan merupakan perbuatan sedemikian rupa sehingga perbuatan itu dapat


dipertanggungjawabkan. Dalam undang-undang ini dapat dilihat dalam
Universitas Sumatera Utara
46

kesengajaan dan kealpaan. Kesengajaan adalah orang yang menghendaki dan orang
yang mengetahui. Kesengajaan ada 3 bentuk yaitu;
1. sengaja sebagai maksud (opzet als oogemerk)
2. segaja sebagai kepastian (opzet bij zekerheids)
3. sengaja sebagai kemungkinan (opzet bij mogelijkheids)

berbuat salah karena kelalaian disebabkan karena tidak menggunakan kemampuan


yang dimilikinya ketika kemampuan itu seharusnya ia gunakan, kurang cermat
berpikir, kurang pengetahuan /bertindak kurang terarah dan tidak mendukga secara
nyata akibat fatal dari tindakan yang dilakukan.
2. menyebabkan matinya orang lain yang harus dipengaruhi oleh 3 syarat; 1. adanya
wujud dari perbuatan.

2. adanya akibat berupa matinya orang lain

3. adanya hubungan klausula antara wujud perbuatan dengan akibat kematian orang
lain.

Matinya orang dalam pasal ini tidak dimaksudkan sama sekali oleh terdakwa, akan
tetapi kematian tersebut hanya merupakan akibat dari pada kurang berhati-hati atau
lalainya terdakwa (culpa), maka pelaku tidak dikenakan pasal tentang pembunuhan
(pasal 338 atau 340 KUHP). Pasal ini menjelaskan bahwa kematian orang lain adalah
akibat dari kelalaian sipembuat dengan tidak menyebutkan perbuatan sipembuat
tetapi kesalahannya. Selanjutnya dalam pasal 360, dinyatakan bahwa :
(1) Barang siapa karena kesalahannya menyebabkan orang luka berat dihukum
dengan hukum penjara selama-lamnya lima tahun atau hukuman kurungan selama-
lamnya satu tahun

Universitas Sumatera Utara


47

(2) Barang siapa karena kesalahannya menyebabkan orang luka sedemikian rupa
sehingga orang itu menjadi sakit sementara atau tidak dapat menjalankan jabatannya
atau pekerjaanya sementara, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya
sembilan bulan atau hukuman kurungan selama-lamanya enam bulan atau hukuman
denda setinggi-tingginya Rp. 4500,-

(K.U.H.P. Pasal 90,194,334,361,L.N.1960 No.1.). 48Adapun unsur-unsur dari Pasal 36


KUHP adalah;
48 Ibid
1. adanya kesalahn

Kesalahan merupakan perbuatan sedemikian rupa sehingga perbuatan itu dapat


dipertanggungjawabkan. Dalam undang-undang ini dapat dilihat dalam kesengajaan
dan kealpaan. Kesengajaan adalah orang yang menghendaki dan orang yang
mengetahui. Kesengajaan ada 3 bentuk yaitu;
1. sengaja sebagai maksud (opzet als oogemerk)
2. segaja sebagai kepastian (opzet bij zekerheids)
3. sengaja sebagai kemungkinan (opzet bij mogelijkheids)

2. menyebabkan orang lain terluka

terlukanya orang lain dapat berupa luka ringan dan luka berat. Luka berat dapat
dilihat sebagaiman diatur dalam Pasal 90 KUHP;
1. jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama
sekali atau yang menimbulkan bahaya maut.

2. tidak mampu terus menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan
pancarian

3. kehilangan salah satu panca indar

Universitas Sumatera Utara


48

4. mendapat cacat berat

5. menderita sakit lumpuh

6. terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih

7. gugur atau matinya seorang perempuan

B. Menurut UU No. 14 Tahun 1992 Tentang Lalu Liantas dan Angkutan Jalan

Bentuk-bentuk kecelakaan lalu lintas di jalan raya di dalam Undang-undang No.14


Tahun 1992, secara tegas tidak diatur, namun tentang peristiwa kecelakaan lalu lintas
secara tegas telah diatur pada bagian keempat dari Undang-undang dimaksud.
Undang-undang ini mengatur tentang asas dan tujuan lalu lintas, pembinaan,
Prasarana, terminal, kendaraan, pengemudi, asuransi, angkutan dan ketentuan pidana.
Pasal 27, mengatakan bahwa :
“Pengemudi kendaraan bermotor yang terlibat pertiwa kecelakaan lalu lintas wajib
menghentikan kendaraan, menolong orang yang menjadi korban kecelakaan dan
melaporkan kecelakaan tersebut kepada pejabat Polisi Negara Republik
Indonesia”.49Ketentuan ini mengandung pengertian bahwa kewajiban pengemudi
untuk menolong korban kecelakaan yang memerlukan perawatan harus diutamakan.
49 Lihat Pasal 27 Undang-Undang No.14 Tahun 1992,Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Disisi lain undang-undang ini memberikan kelonggaran atau dispensasi bagi
pengemudi kendaraan yang terlibat peristiwa kecelakaan lalu lintas di jalan
Universitas Sumatera Utara
49

raya, yaitu apabila pengemudi kendaraan bermotor dalam keadaan memaksa artinya
suatu keadaan yang dapat membahayakan keselamatan atau jiwa pengemudi apabila
menghentikan kendaraan untuk menolong sikorban, namun keadaannya tetap
diwajibkan untuk segera melaporkan peristiwa kecelakaan lalu lintas tersebut atau
segera melaporkan dirinya kepada pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia
terdekat. Lebih lanjut undang-undang ini mengatur secara tegas tentang
tanggungjawab pengemudi dan/atau pemilik kendaraan bermotor terhadap peristiwa
kecelakaan lalu lintas yang melibatkan mereka, seperti :
1. Apabila korban meninggal dunia, maka pengemudi dan/atau pemilik kendaraan
bermotor wajib memberikan bantuan kepada ahli waris dari korban berupa biaya
pengobatan dan/atau biaya pemakaman;

2. Apabila korban cidera, maka pengemudi dan/atau pemilik kendaraan bermotor


wajib memberikan biaya pengobatan;

Namun ada pengecualian diberikan undang-undang, yaitu pengemudi dan/atau


pemilik kendaraan bermotor tidak wajib memberikan biaya kepada korban dan/atau
ahli waris korban, apabila peristiwa kecelakaan lalu lintas itu terjadi karena adanya
keadaan memaksa yang tidak dapat dielakkan atau diluar kemampuan, disebabkan
prilaku korban sendiri atau pihak ketiga, maupun disebabkan gerakan orang dan/atau
hewan walaupun telah diambil tindakan pencegahan. 50
50 Ibid, Pasal 29
Universitas Sumatera Utara
50

Pengertian keadaan memaksa dalam hal in adalah peristiwa yang tidak dapat
dielakkan atau diluar kemampuan pengemudi untuk menelakkan kejadian kecelakaan
lalu lintas.
C. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1993 tentang
Prasarana dan Lalu Lintas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1993
Nomor 63).

Peraturan Pemerintah ini tidak jauh beda dengan undang-undang No.14 Tahun 1992.
Peraturan Pemerintah ini selain mengatur secara tegas mengenai lalu lintas di jalan
raya, juga mengatur berbagai hal yang bertujuan untuk menghindari akan terjadinya
kecelakaan lalu lintas di jalan raya, seperti manejemen dan rekayasa lalu lintas, serta
tata cara berlalu lintas. Rekayasa lalu lintas dimaksud meliputi kegiatan perencanan,
pengaturan, pengawasan, dan pengendalian lalu lintas. Perencanaan lalu lintas
meliputi kegiatan :
1. Inventarisasi dan evaluasi tingkat pelayanan;

2. Penetapan tingkat pelayanan yang diinginkan;

3. Penetapan pemecahan permasalahan lalu lintas;

4. Penyusunan rencana dan program pelaksanaan perwujudannya; 51


51 SelanjutnyaLihat Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1993, Tentang
Prasarana dan lalu lintas
Sedangkan pengaturan lalu lintas meliputi kegiatan penetapan kebijakan lalu lintas
pada jaringan atau ruas-ruas jalan tertentu. Pengawasan lalu lintas meliputi :
1. Pemantauan dan penilaian terhadap pelaksanan kebijakan lalu lintas di bidang
pengaturan lalu lintas;

Universitas Sumatera Utara


51

2. Tindakan korektif terhadap pelaksanan kebijakan lalu lintas di bidang pengaturan


lalu lintas;

Pengendalian lalu lintas meliputi :


1. Pemberian arahan dan petunjuk dalam pelaksanan kebijakan lalu lintas dalam
bidang pengaturan lalu lintas;

2. Pemberian bimbingan dan penyuluhan kepada masyarakat mengenai hak dan


kewajiban masyarakat dalam pelaksanan kebijakan lalu lintas dalam bidang
pengaturan lalu lintas.

Dalam rangka mewujudkan kegiatan-kegiatan sebagaiman diutarakan diatas tadi,


dilakukan rekayasa lalu lintas yang meliputi :
1. Perencanan, pembangunan dan pemeliharan jalan;

2. Perencanan, pengadaan, pemasangan dan pemeliharaan rambu-rambu, marka jalan,


alat pemberi isyarat lalu lintas, serta alat pengendali dan pengaman jalan; 52
52 Lihat Pasal 4 ayat (2)Perturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1993, Tentang Prasarana dan lalu
linta
Selain diatur mengenai kegiatan-kegitan yang harus dilakukan dalam kebijakan
manajemen dan rekayasa lalu lintas, juga telah diatur secara terperinci mengenai
kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan atau dipatuhi oleh setiap
pengemudi/pengendara kendaraan bermotor dijalan raya antara lain, menyangkut
penggunaan jalur jalan, gerakan lalu lintas kendaraan bermotor, kendaraan berhenti
dan parkir, kecepatan maksimum dan/atau minimum kendaraan bermotor.
Universitas Sumatera Utara
52

Keseluruhan kegiatan-kegiatn yang penulis ketengahkan diatas, adalah merupakan


suatu kebijakan yang sangat positif untuk dapat diwujudkan, dalam rangka
pemenuhan tertib lalu lintas di jalan raya, sehingga kecelakaan lalu lintas di jalan raya
dapat terhindar. Lebih lanjut penulis kemukakan bahwa masalah kecelakaan lalu
lintas di jalan raya memang lebih jelas diatur dalam Peraturan Pemerintah ini, hal ini
sesuai dengan bunyi Pasal 93, yang menyatakan ; “Kecelakaan lalu lintas adalah
suatu peristiwa di jalan yang tidak disangka-sangka dan tidak disengaja melibatkan
kendaraan dengan atau tanpa pemakai jalan lainnya, mengakibatkan korban manusia
atau kerugian harta benda.” Korban dimaksud dapat berupa korban meninggal dunia,
luka berat, luka ringan, termasuk cacat tetap, yaitu bila sesuatu anggota badan hilang
atau tidak dapat digunakan sama sekali dan tidak dapat sembuh/pulih untuk selama-
lamanya.
D. Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 1993 tentang Pemeriksaan Kendaraan
Bermotor Di Jalan

Peraturan pemerintah ini berbedah dengan peraturan yang diatas karena pada
peraturan ini hanya menekankan pada pemeriksaan kendaraan bermotor saja, meliputi
pemriksaan dan ruang lingkup pemeriksaan, wewenang pemeriksaan dan pelaksanaan
pemeriksaan. Sedangkan mengenai manjemen dan rekayasa lalu lintas dan prasarana
jalan idak ada diatur pemeriksaan kendaraan ini bukan hanya ditujukan pada
kendaraan aja tetapi juga pemeriksaan kepada pengguna kendaraan bermotor. Sesuai
dengan Pasal 3 yang menyatakan :
“Pemeriksaan kendaraan bermotor di jalan raya dilakukan oleh Polisi Negara
Republik Indonesia sesuai dengan Pasal 2 huruf a, meliputi
Universitas Sumatera Utara
53

pemeriksaan persyaratan administrasi pengemudi dan kendaraan, yang terdiri dari


pemeriksaan :
1. Surat izin mengemudi;
2. Surat tanda nomor kendaraan bermotor;
3. Surat tanda coba kendaran bermotor;
4. Tanda coba kendaraan bermotor;53
53 Lihat Perturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1993 Tentang Pemeriksaan Kendaraan Bermotor,
Pasal 3
Pasal ini menerangkan bahwa setiap pengemudi dalam mengendarai kendaraan wajib
dan harus memiliki surat-surat baik surat izin mengemudi (SIM) dan surat tanda
nomor kendaraan bernomor (STNK). Apabila pengemudi tidak membawa surat-surat
baik surat izin mengemudi dan surat tanda nomor kendaraan, maka pengemudi
tersebut akan ditilang sesuai dengan penjelasan Pasal 211 UU No 8 Tahun 1981
Tentang KUHAP, Pasal 211 UU No.8 Tahun 1981 sebagai bukti bahwa seseorang
telah melakukan pelanggaran lalu lintas jalan, adapun bentuk pelanggaran yang diatur
dalam penjelasan Pasal 211 adalah;
1. mempergunakan jalan dengan cara yang dapat merintangi, membahayakan
ketertiban atau keamanan lalu lintas atau yang mungkin menimbulkan kerusakan pada
jalan.
2. mengemudikan kendaraan bermotor yang tidak dapat memperlihatkan surat ijin
mengemudi (SIM), STNK, Surat Tanda Uji Kendaraan (STUJ) yang sah atau tanda
bukti lainnya sesuai peraturan yang berlaku atau dapat memperlihatkan tetapi masa
berlakunya sudah kadaluwarsa.
3. membiarkan atau memperkenakan kendaraan bermotor dikemudikan oleh orang
lain yang tidak memiliki SIM.
4. tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan lalu lintas jalan tentang
penomoran, penerangan, peralatan, perlengkapan, pemuatan kendaraan dan syarat
penggandengan dengan kendaraan lain.
5. membiarkan kendaraan bermotor yang ada di jalan tanpa dilengkapi plat tanda
nomor kendaraan yang syah, sesuai dengan surat tanda nomor kendaraan yang
bersangkutan.
6. pelanggaran terhadap perintah yang diberikan oleh petugas pengatur lalu lintas
jalan, rambu-rambu atau tanda yang yang ada di permukaan jalan.

Universitas Sumatera Utara


54

7. pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan tentang ukuran dan muatan yang


diijinkan, cara menaikkan dan menurunkan penumpang dan atau cara memuat dan
membongkar barang.
8. pelanggaran terhadap izin trayek, jenis kendaraan yang diperbolehkan beroperasi di
jalan yang ditentukan.54
54 Andi Hamzah, KUHP &KUHAP, PT Asdi Mahasatya, Jakarta, 2004
Universitas Sumatera Utara
55

BAB IV Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Anak dalam Perkara


Kecelakaan Lalu Lintas
Kesalahan selalu bertalian dengan pembuat tindak pidana. Kesalahan adalah dapat
dicelanya pembuata tidak pidana, karena sebenarnya dapat berbuat lain. Dicelanya
subjek hukum manusia karena melakukan tindak pidana, hanya dapat dilakukan
terhadap mereka yang keadaan batinnya normal. Dengan kata lain, untuk adanya
kesalahan pada diri pembuat diperlukan syarat, yang keadaan batin yang normal.
Moeljatno mengatakan,”hanya terhadap orang-orang yang keadaan jiwanya normal
sajalah, dapat kita harapkan akan mengatur tingkah lakunya sesuai dengan yang telah
dianggap baik dalam masyarakat ”55 Oleh karena itu hanya orang yang keaadaan
batinnya normal memenuhi persayratan untuk dinilai, apakah dapat dicela atas suatu
tindak pidana yang dilakukannya.
55 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidan, Jakarta: Bina Aksara, 1987, hal 160. 9Selanjuntnya disebut
Buku II) 56 Roeslan Saleh, op cit, hal 80.
Keadaan batin yang normal ditentukan oleh faktor akal pembuat. Akalnya dapat
membeda-bedakan perbuatan yang boleh dilakukan dan perbuatan yang tidak boleh
dilakukan. 56Kemampuan pembuat untuk membeda-bedakan perbuatan yang boleh
dilakukan dan tidak boleh dilakukan, menyebabkan yang bersangkutan dapat
dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, ketika melakukan suatu tindak pidana.
Dapat dipertanggungjawabkan karena akalnya yang sehat dapat membimbing
kehendaknya menyesuaikan dengan yang
Universitas Sumatera Utara
56

ditentukan oleh hukum. Padanya diharapkan untuk selalu berbuat sesuai dengan yang
ditentukan oleh hukum. Dapat dipertanggungjawabkan pembuat dalam hal ini berarti
pembuat memenuhi syarat untuk tidak dipertanggungjawabkan. Mengingat asas ‘tiada
pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan’. Dengan demikian, keadaan batin
pembuat yang normal atau akalnya mampu membeda-bedakan perbuatan yang boleh
dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan, atau dengan kata lain mampu
bertanggungjawab, merupakan sesuatu yang berada diluar pengertian kesalahan.
Mampu bertanggungjawab adalah syarat kesalahan, sehingga bukan merupakan
bagian dari kesalahan itu sendiri. Oleh karena itu, terhadap subjek hukum manusia,
mampu bertanggungjawab merupakan unsur pertanggungjawaban pidana, sekaligus
syarat adanya kesalahan. A. Penjatuhan Pidana Kepada Anak Undang-undang
Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang mulai berlaku tanggal 3 Januari
1998 atau satu tahun terhitung sejak tanggal diundangkan undang-undang tersebut.
Pengadilan anak dibentuk sebagai upaya pembinaan dan perlindungan dalam rangka
menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial anak secara utuh,
serasi, dan seimbang. Oleh karenanya, ketentuan mengenai penyelengaraan pengdilan
bagi anak dilakukan secara khusus. Meskipun demikian, hukum acara yang berlaku
(KUHAP) diterapkan pula dalam acara pengadilan anak, kecuali ditentukan lain
dalam undang-undang Nomor 3 Tahun 1997.
Universitas Sumatera Utara
57

Ketentuan mengenai penyelenggaraan pengadilan anak dilakukan secara khusus.


Berdasarkan Pasal 15 UU No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dapat
diketahui bahwa Pengadilan Khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu
lingkungan peradilan sebagaiman dimaksud dalam Pasal 10 yang diatur dengan
undang-undang. Sesuai dengan hai ini Peradilan anak merupakan Peradilan khusus,
merupakan spesialisasi dan difensiasinya di bawah Pengadilan umum. Peradilan anak
diatur berdasarkan undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tantang Pengadilan Anak,
menyatakan bahwa;57
58

57 Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak, PT Refika Aditama, 2008, hal 76
1. Batas umur anak nakal yang dapat dijatuhkan ke sidang anak adalah sekurang-
kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun
dan belum pernah kawin.

2. Aparat penegak hukum yang berperan dalam proses persidangan anak yaitu
Penyidik adalah Penyidik anak, Penuntut Umum adalah Penuntu Umum Anak , dan
Hakim adalah Hakim Anak. (vide Pasal 1 butir 5,6, dan 7)

3. Hakim, Penuntut Umum, Penyidik, dan Penasehat Hukum serta petugas lainnya
dalam sidang anak tidak memakai toga ataupun pakaian dinas.(vide Pasal 6)

4. Untu melindungi kepentingan anak pada prinsipnya pemeriksaan perkara anak


dilakukan dalam sidang tertutup, kecuali dalam hal tertentu dapat dilakukan dalam
sidang terbuka, misalnya perkara pelanggaran lalu lintas dan pemeriksaan perkara
ditempat kejadian perkara.( vide Pasal 8 ayat(1) dan (2).

Universitas Sumatera Utara


59

5. Ketentuan pidan yang adapat dijatuhkan kepada anak yang melakukan tindak
pidana antara lain sebagai berikut:

a. Pidana penjara yang dapat dijatuhkan paling lama ½ (satu perdua) dari maksimum
ancaman pidana penjara bagi orang dewasa (vide Pasal 26 ayat 2)

b. Apabila melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana
penjara seumur hidup maka pidan penjara yang dapat dijatuhkan paling lama 10
(sepuluh)tahun.(vide Pasal 26 ayat (2)).

c. Apabila belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana yang
diancam pidana mati atau pidana penjara seumur hidup maka anak nakal tersebut
dijatuhi pidana berupa ”menyerahkan kepada negara untuk mengikuti
pendidikan,pembinaan, dan latihan kerja”. (vide Pasal 26 ayat (3) Jo. Pasal 24 ayat
(1) huruf b.

d. Apabila belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun, melakukan tindak pidana yang
tidaka diancam pidana mati atau tidak diancam pidana penjara seumur hidup maka
anak nakal tersebut dijatuhi salah satu tindakan.(vide Pasal 26 ayat (4) Jo.Pasal 24).

e. Pidana kurungan yang dapat dijatuhkan paling banyak 1/2 (satu perdua) dari
makasimum ancaman pidana denda bagi orang dewasa (vide Pasal 27).

f. Apabila pidana denda tidak dapt dibayara maka diganti dengan wajib latihan kerja
paling lama 90 hati kerja dan lama latihan kerja tidak lebih 4 jam sehari serta tidak
dilakukan pada malam hari. (vide Pasal 28 ayat (2)).

g. Pidana bersyarat dapat dijatuhkan oleh Hakim apabila pidan penjara yang
dijatuhkan paling lama 2(dua) tahun.(vide Pasal 29 ayat (1)).

Universitas Sumatera Utara


60

B. Pertanggungjawaban Pidana anak dalam perkara kecelakaan lalu lintas


Pertangungjawaban pidana hanya dapat terjadi jika sebelumnya seseorang telah
melakukan tindak pidana. Kapan seseorang dikatakan dapat bertanggungjawab?
Seseorang dapat bertanggungjawab apabila seseorang itu mampu membedakan
perbuatan, mampu menentukan kehendak untuk melakukan suatu perbuatan dan
menyadari akan perbuatan yang dilakukannya. Kesalahan bukan hanya menentukan
dapat dipertanggungjawabkannya sipembuat, tetapi juga dapt dipidananya pembuat.
Kesalahan yang menentukan dapat dipertanggungjawabkannya sipembuat merupakan
cara pandang kesalahan yang dilakukan sipembuat. Sedangkan kesalahan yang
menentukan dapat dipidananya sipembuat merupakan cara pandang yang bersifat
kedepan dalam hal ini masa depan sipembuat. 58 Kesalahan harus dapat dikaitkan baik
fungsi preventif maupun fungsi represif hukum pidana. Fungsi preventif merujuk
pada dapat dipertanggungjawabkannya pembuat. Dalam hal ini merumuskannya
kesalahan pembuat (sifat melawan hukum) dalam hukum pidana. Sedangkan dapat
dipidananya sipembuat tertuju pada fungsi represif hukum pidana, dalam hal ini
kesalahan pembuat menjadi dasar dan ukuran untuk dapat dijatuhkannya pidana
terhadap pembuat tindakan pidana.
58 Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan, Fajar Interpratama Offset. Jakarta.hal126
Berkaitan dengan ketentuan hukum yang mengatur tentang pengertian anak, tidak
terlepas dari kemampuan anak mempertanggungjawabkan kenakalan yang
dilakukannya. Pertanggungjawaban pidana anak diukur dari tingkat
Universitas Sumatera Utara
61

kesesuaian antar kematangan moral dan kejiwaan anak dengan kenakalan yang
dilakukan anak, keadaan kondisi fisik, mental, dan sosial anak menjadi perhatian.
Dalam hal ini dipertimbangkan berbagai komponen seperti moral dan keadaan
psikologi dan ketajaman pikiran anak dalam menentukan pertanggungjawaban nya
atas kenakalan yang diperbuatnya. Kecelakaan lalu lintas yang dilakukan oleh anak
yang menyebabkan hilangnya jiwa orang lain atau luka-luka ini termasuk tindakan
pidana dalam katagori pelanggaran yang dapat diselesaikan secara pidana
( diselesaikan oleh negara ) dan dapat ju ga diselesaikan secara damai. Dibawah ini
dapat diperlihatkan bagan kecelakaan sebagai berikut:
Pengendara ditabrak luka Pidana
`A B B B Anak Pejalan kaki mati perdata Sumber: wawancara dengan Kanit Laka
Bagan diatas dapat diterangkan bahwa A pengendara, B pejalan kaki. Dalam bagan
menerangkan bahwa A pengendara menabrak pejalan kaki sehingga menyebabkan
luka-luka baik luka ringan dan luka berat ataupun hilangnya jiwa si B. Dalam
kenyataan seperti ini maka timbul suatu perbuatan yaitu perbuatan pidana berupa
hilangnya nyawa orang lain dan luka-luka, serta perbuatan perdata kerugian yang
diderita korban.59
59 Wawancara dengan Kanit Laka IPTU Suhermadi di Kepolisian Resort Labuhan Batu pada
tanggal 14 April sampai 16 April 2009.
Universitas Sumatera Utara
62

Perbuatan pidana berupa hilangnya jiwa orang lain dapat diselesaikan dipengadilan,
namun sebelum proses pemeriksaan dilakukan pihak Kepolisian terlebih dahulu
mempertemukan kedua belah pihak yang terkait untuk melakukan perdamaian. Hal
ini dilakukan semata-mata bukan membela pihak pelaku
pelanggaran tersebut namun melihat bagaimana perkembangan fisik, mental dan
sosisal serta masa depan sianak apabila diselesaikan secara pidana. 60 Apabila jalur
perdamaian yang dilakukan pihak kepolisian tidak menemukan titik temu antara
kedua belah pihak, maka sesuai dengan ketentuan pidana maka pemeriksaan untuk
pelimpahan berkas untuk dilimpakan kepengadilan dilakukan.
60 Ibid 61 Wawancara dengan Dedi Hakim Pengadilan Negeri Labuhan Batu, 15 April 2009
Dipengadilan Hakim anak tidak menjatuhkan pidana semata-mata sebagai imbalan
atas perbuatan anak. Hakim melihat masa depan anak atau mempertimbangkan
perkembangan fisik, mental dan sosial anak. 61 Seorang anak yang belum sepenuhnya
dapat mempertanggungjawabkan kesalahannya. Hukuman percobaan lebih banyak
manfaatnya dari pada hukuman bentuk lain, sambil diberikan peringatan keras bahwa
orangtua/wali/orangtua asuh akan mempertanggungjawabkan tingkah lakunya.
Penanganan yang salah dalam proses pengendalian anak, dapat menimbulkan
pertumbuhan mentalitas atau kejiwan anak negatif dan berbahaya bagi penciptaan
generasi muda untuk masa mendatang.
Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap peristiwa kecelakaan lalu lintas selalu
menimbulkan akibat yang dapat menimbulkan kerugian bagi diri sendiri maupun
Universitas Sumatera Utara
63

orang lain. Akibat yang timbul dari peristiwa kecelakaan lalu lintas mengandung
suatu pelanggaran dimana dapat diselesaikan secara perdata yaitu dengan adanya
suatu perdamaian dan ganti rugi atas kerugian yang timbul dari peristiwa kecelakaan
lalu lintas tersebut.62
64

62 Wawancara dengan Kanit Laka IPTU Suhermadi di Kepolisian Resort Labuhanu Batu pada
tanggal 14 April sampai 16 April 2009. 63 Wawan cara dengan 5 responden. Orang tua dari anak
pelaku, tanggal 15 Mei sampai 18 Mei 2009 64 Wawan cara dengan 5 responden. Orang tua dari
anak korban, tanggal 15 Mei sampai 18 Mei 2009
Dipihak orang tua pelaku dalam hal ini 5 orang responden. orang tua anak pelaku,
menyatakan timbulnya kecelakaan ini ( pidana menyebabkan luka atau hilangnya
nyawa orang lain) bukan karena kesengajaan (opzet). Pada dasarnya anak tersebut
tidak meninginkan adanya kecelakaan tersebut bahkan menghindarinya. Oleh karena
itu tidak berakar dari sifat jahat yang datang dari dalam diri anak. 63
Disisi lain 5 orang responden yaitu orang tua korban kecelakaan mereka menyatakan
bahwa penyebab dari kecelakaan itu terletak pada kesalahan dari anak pelaku yang
tidak berhati-hati dalam mengendarai sepeda motor. 64Lain lagi pengakuan dari
pelaku (anak) yaitu 5 orang anak, menyatakan 3 (tiga) diantaranya menyatakan bahwa
penyebab dari kecelakaan tersebut adalah karena ketidak mampuan mereka dalam
menguasai kendaraan ditambah dengan kondisi jalan. Sedangkan 2 (dua) orang anak
menyatakan bahwa penyebab kecelakaan tersebut dijatuhkan kepada kesalahan
sikorban (pejalan kaki) yang tidak hati-hati. Disisi lain 5 korban kecelakaan lalu lintas
menyatakan bahwa semua penyebab
Universitas Sumatera Utara
65

kecelakaan lalu lintas tersebut adalah salah pelaku. Yang tidak kehati-hatian, ugal-
ugalan. Pasal 99 KUHP disebut bahwa kerugian ini berarti”biaya yang dikeluarkan”.
Pengertian ini termasuk diantaranya biaya pengobatan yang diderita oleh korban dan
biaya perbaikan kendaraan yang rusak. Pasal 1 butir 22 KUHP jelas menyebutkan
bahwa kerugian yang diganti hanya imbalan sejumlah uang sebagai hak seseorang
yang dapat di tuntutnya akibat dari keadaan tertentu (secara otentik membatasi hanya
hinggah “imbalan sejumlah uang”saja). Perlu dipahami bahwa masalah ganti kerugian
disini adalah meliputi kerugian yang diderita masing-masing atau sekaligus oleh
kelompok atau perorangan sehingga terdapat alternatif penyelesaiannya melalui Pasal
98 ayat (1) KUHAP atau menurut ketentuan penyelenggaraan perkara perdata.
Adapun ganti kerugian yang menjadi pertanggung jawaban lainnya langsung
mengenai ganti rugi dalam perkara pidana dikaitkan dengan kesalahan pelaku
Perdamaian adalah suatu persetujuan dengan mana kedua belah pihak , dengan
menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara
yang sedang bergantung ataupun mencegah timbulnya suatu perkara.t 65Dengan
dicapainya suatu perdamaian, dalam suatu peristiwa kecelakaan lalu lintas,
perdamaian tidak bersifat putusan yang diambil atas pertanggungjawaban hakim,
melainkan bersifat persetujuan antara kedua belah pihak atas pertanggungan mereka
sendiri.
65R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal
1851, PT.Pradnya Paramita Jakarta.

ASUS kecelakaan yang dialami AQJ alias Dul (13), anak bungsu musisi Ahmad
Dhani menggulirkan berbagai perspektif hukum. Komisi Perlindungan Anak
Indonesia (KPAI) berpandangan bahwa kasus Dul lebih baik tidak diproses ke
pengadilan.

Kalau pun dihukum, Dul tak perlu dipenjara lebih baik ditempatkan di panti
rehabilitasi. KPAI mempertimbangkan aspek psikologis tumbuh kembang anak ke
depan. Bahkan, KPAI berwacana lebih baik keberadaan penjara anak dibubarkan.

Wacana itu mengundang banyak pertanyaan, mengapa KPAI baru kali ini
berbicara pembubaran penjara anak? Ketika kasus pidana anak-anak lainnya, yang
bukan anak seorang tokoh terkenal atau selebritas, KPAI tak begitu berbicara
banyak ke media.

Anggota KPAI Asrorun Ni’am Sholeh menolak bila wacana itu disampaikan
berbarengan dengan kasus AQJ. “Jauh-jauh hari sudah disampaikan, termasuk
perubahan dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak (UU Nomor 11/2012),” ujar
Asrorun, Senin (16/9) di Jakarta.

Ia mengatakan, kasus hukum pada anak berbeda penanganannya dengan kasus


orang dewasa. Ia berdalih bahwa bagi anak-anak yang berhadapan dengan hukum,
sebaiknya menggunakan sistem restorative justice (bersifat pemulihan), bukan
retributive justice (bersifat pembalasan). Dengan restorative justice, kata dia,
66

penyelesaian masalah dilakukan antara kedua belah pihak yaitu pelaku dan
korban.

“Seorang anak melakukan tindak pidana, tidak serta merta dilihat sebagai pelaku.
Tapi dia juga seorang korban dari kondisi keluarga atau lingkungannya,” kata
Asorun.

Ada pun berkaitan dengan penjara anak, ia memandang hal itu lebih bersifat
pembalasan, bukan pembinaan pada anak. Ia mengatakan, dalam undang-undang
sudah jelas disebutkan, adanya lembaga khusus bagi anak yang berhadapan
dengan hukum. Yaitu Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA), Lembaga
Penempatan Anak Sementara (LPAS), dan Lembaga Penyelenggaraan
Kesejahteraan Sosial (LPKS).

Kepala Humas Ditjen Permasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM Akbar


Hadi mengatakan, dalam ketentuan undang-undang masih mengatur adanya
pidana anak. “Sepanjang itu masih ada, ya tetap ada penjara anak,” kata Akbar.

Menurut dia, penjara anak berbeda dengan yang lain, karena di dalamnya ada
unsur pembinaan, seperti hak bersekolah mulai SD sampai SMA melalui tempat
kegiatan belajar mengajar (TKBM). “Kami punya konsep, lapas anak yang ramah
anak,” kata Akbar. Sejauh ini, anak-anak yang masuk lapas karena kasus
pencurian, narkotika, dan ada pula kasus pembunuhan.

Apakah hukum Indonesia mengatur sanksi kerja sosial bagi anak-anak ketimbang
hukuman penjara? Menurut Akbar, hal itu memang bisa dilakukan, tapi saat ini
belum bisa berjalan. “Siapa yang mengawasi,” katanya. Tapi, ada beberapa
narapidana anak yang dimasukkan ke pondok pesantren atau panti rehabilitiasi
karena pidana bersyarat. Untuk mengurangi jumlah narapidana anak, pihaknya
juga mengeluarkan remisi. “Karena kami beharap anak tidak lama di penjara.
Pendidikan terbaik untuk anak itu adalah keluarga,” katanya.

sumber: time-cepot-business.blogspot.com

Sekretaris Jenderal Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Samsul


Ridwan mengatakan bagi anak-anak yang bermasalah hukum perlu
mempertangungjawabkan perbuatannya di dalam lapas.

“Penjara anak masih diperlukan, tapi harus ada mekanisme lain. Ada sistem yang
aman dan proses rehabilitasi yang lebih baik,” katanya. Ia menilai sebaiknya tidak
terlalu latah dengan wacana pembubaran itu. Dikarenakan, kata dia, tidak setiap
kasus pidana anak harus diselesaikan secara restorative justice.
67

Pakar Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia Muzakir menilai dalam kasus
pidana anak, perlu melihat sisi korban. Jika suatu perbuatan menimbulkan korban
jiwa, perlu ada ganti rugi baik secara materiil maupu immateriil. Menurut dia,
yang agak susah adalah bagaimana mengembalikan kerugian immateriil itu.

“Untuk rasa keadilan bagi nyawa itu, dalam kompensasi penghukuman, itu
berapa?” katanya. Hal itulah, katanya, masih diperlukan penjara sebagai bentuk
pembelajaran atas perbuatan pidana seseorang.

Ia tidak sependapat dengan kasus yang diselesaikan cukup dengan menanggung


biaya hidup keluarga korban. “Tapi juga ada penghukuman supaya yang
bersangkutan mendapatkan pembelajaran. Bahwa risiko ini loh yang terjadi, jika
berbuat seperti itu,” katanya.

Ia mengatakan, jika hukum tidak ditegakkan secara adil, akan menimbulkan


preseden buruk di masyarakat. Bisa memunculkan peniruan publik bahwa ada
korban meninggal, ternyata tidak hukum pidana. “Orang akan beranggapan
terhadap orang kaya yang menyantuni korban ternyata tidak hukum. Kalau orang
miskin dihukum,” ujarnya.

“KPAI jangan melihat AQJ sebagai anak Ahmad Dhani, harus melihat secara
keseluruhan. Bahwa sesuatu yang tidak bisa diganti dipertanggungjawabkan
dengan tetap menjalani hukuman,” kata Muzakir.

Ia pun masih setuju dengan keberadaan penjara anak. “Di sini sifatnya
pembelajaran. Keliru juga jika tidak ada penjara bagi anak. Itu justru
mengkhawatirkan, nanti ada yang melakukan pidana, tidak ada penjatuhan
pidana,” kata dia

PENERAPAN HUKUM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA


KECELAKAAN LALU LINTAS YANG MENYEBABKAN KORBAN
MENINGGAL DUNIA SESUAI DENGAN
UNDANG-UNDANG NO. 22 TAHUN 2009
(Studi Kasus Di Polres Bengkayang Ditinjau dari Persfektif Pluralisme
Hukum)
Oleh :
Reja A. Simanjuntak
Abstract
Applying of customary law in the form of decent payment and indemnified to traffic
crime victim passing away in Bengkayang Indonesia Police District, essentially not be
against soul invited Law Number 22, 2009 About Traffic and Road Transportation having
social knowledge progressive law, religious value, social and mores. Especially chimes in
with rule of Section 235 sentences (1) Law Number, 2009 determining : " If victim
passed away as result of Traffic Accident as referred to in Section 229 sentences (1) letter
68

c, Driver, owner, and mandatory Publik transport Company " gives help to victim heir in
the form of medical expenses and/or expense of funeral without aborting criminal
demand". Action Bengkayang Indonesia Police District in doing straightening of law to
traffic crime causing victim to pass away, remain to be consistent with rule of Section 76
to Section 85 Criminal Law and Section 109 sentences Criminal Law and invited Law
Number 22, 2009 About Traffic and Road Transportation. Specifically case process
remain to is distribute to publik prosecutor and justice. To accommodate confession of
pluralism values of customary law in process of straightening of traffic crime law
forwards, requires further study and arrangement into By Law Provice, Region/City,
according to trust Section 18B sentence (2) 1945 Constitution, what determines : " State
confess and respects unitys of customary law public and its tradisonal rights along the
length of above the ground and as according to development of public and Republic of
indonesia Unity State principle, what arranged in law". Hereinafter is recommended in
expection of by law forming process about customary law confession, every party(side
having competence in executive area, legislative, institution of law enforcer, religious
institute, social institute, customary law institutes, and other related party, shall always
carefully, meekly ground and meekly law in implementation of invitors Law Number 12,
2011 About Law and regulation Forming.
Abstrak
(1) Penerapan hukum adat berupa pembayaran santunan dan ganti rugi kepada korban
tindak pidana lalu lintas yang meninggal dunia di wilayah Polres Bengkayang, hakikatnya
tidak bertentangan dengan jiwa Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan yang memiliki wawasan sosiologis hukum progresif, nilai
keagamaan, kemasyarakatan dan adat istiadat. Terutama bersesuaian dengan ketentuan
Pasal 235 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2009 yang menentukan : “Jika korban meninggal
dunia akibat Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (1)
huruf c, Pengemudi, pemilik, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum wajib “memberikan
bantuan kepada ahli waris korban berupa biaya pengobatan dan/atau biaya pemakaman
dengan tidak menggugurkan tuntutan perkara pidana”. (2) Tindakan Polres Bengkayang
dalam melakukan penegakan hukum terhadap tindak pidana lalu lintas yang
menyebabkan korban meninggal dunia, tetap konsisten dengan ketentuan Pasal 76 s.d.
Pasal 85 KUHP dan Pasal 109 ayat (2) KUHAP serta Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Tegasnya proses perkara tetap diteruskan
ke Penuntut Umum dan Pengadilan. (3) Upaya mengakomadasi pengakuan nilai-nilai
pluralisme hukum adat dalam proses penegakan hukum tindak pidana lalu lintas ke
depan, memerlukan pengkajian dan pengaturan lebih lanjut ke dalam Peraturan Daerah
Provinsi, Kabupaten/Kota, sesuai amanah Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, yang
menentukan : “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum
adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-
undang”. Selanjutnya direkomendasikan agar dalam proses pembentukan peraturan
daerah tentang pengakuan hukum adat, setiap pihak yang berkompeten di lingkungan
eksekutif, legislatif, institusi penegak hukum, lembaga keagamaan, lembaga
69

kemasyarakatan, lembaga-lembaga hukum adat, dan pihak-pihak terkait lainnya,


hendaknya senantiasa dengan cermat, taat asas dan taat hukum dalam
mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan.
Pendahuluan
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mempunyai peran strategis dalam mendukung
pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari upaya memajukan
kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagai bagian dari sistem transportasi nasional,
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan harus dikembangkan potensi dan perannya untuk
mewujudkan keamanan, kesejahteraan, ketertiban berlalu lintas dan Angkutan Jalan
dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi dan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, otonomi daerah, serta akuntabilitaspenyelenggaraan
Negara.
Karena itu berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan menggantikan Undang Undang lama Nomor 14 Tahun 1992,
telah membawa perubahan penting terhadap pengaturan sistem transportasi nasional,
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan di Indonesia. Dalam Undang-Undang ini pembinaan
bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dilaksanakan secara bersama-sama oleh
semua instansi terkait(stakeholders) sebagai berikut : 1
1Penjelasan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
a. urusan pemerintahan di bidang prasarana Jalan, oleh kementerian yang
bertanggung jawab di bidang Jalan;
b. urusan pemerintahan di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan, oleh kementerian yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan;
c. urusan pemerintahan di bidang pengembangan industri Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan, oleh kementerian yang bertanggung jawab di bidang industri;
d. urusan pemerintahan di bidang pengembangan teknologi Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan, oleh kementerian yang bertanggung jawab di bidang teknologi; dan
e. urusan pemerintahan di bidang registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor dan
Pengemudi, Penegakan Hukum, 0perasional, Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas,
serta pendidikan berlalu lintas oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pembagian kewenangan pembinaan tersebut dimaksudkan agar tugas dan tanggung


jawab setiap pembina bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan terlihat lebih jelas dan
transparan sehingga penyelenggaraan Lalu Lintasdan Angkutan Jalan dapat terlaksana
dengan selamat, aman, tertib, lancar, dan efisien, serta dapat dipertanggungjawabkan.
Penajaman asas dan tujuan UU No. 22 Tahun 2009 juga diformulasikan, selain untuk
menciptakan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang aman, selamat, tertib, lancar, dan
terpadu
70

dengan moda angkutan lain, juga mempunyai tujuan untuk mendorong perekonomian
nasional, mewujudkan kesejahteraan rakyat, persatuan dan kesatuan bangsa, serta
mampu menjunjung tinggi martabat bangsa.
Karena itu aspek keamanan mendapatkan perhatian yang ditekankan dalam
pengaturan Lalu Lintasdan Angkutan Jalan. Dalam Undang-Undang ini juga
ditekankan terwujudnya etika berlalu lintas dan budaya bangsa (just culture) melalui
upaya pembinaan, pemberian bimbingan, dan pendidikan berlalu lintas sejak usia dini
serta dilaksanakan melalui program yang berkesinambungan.
Sehubungan dengan itu, maka untuk menekan angka Kecelakaan Lalu Lintas yang
sangat tinggi setiap tahunnya, upaya ke depan yang diarahkan oleh undang-undang ini
adalah pada penanggulangan secara komprehensif upaya pembinaan, pencegahan,
pengaturan, dan penegakan hukum. Upaya pembinaan tersebut dilakukan melalui
peningkatan intensitas pendidikan berlalu lintas dan penyuluhan hukum serta
pembinaan sumber daya manusia.
Sedangkan untuk menangani masalah Lalu Lintas, pencegahan kecelakaan dilakukan
melalui partisipasi para pemangku kepentingan, pemberdayaan masyarakat,
penegakan hukum, dan kemitraan global.Pencegahan Kecelakaan Lalu Lintas
dimaksud, dilakukan dengan pola penahapan, yaitu program jangka pendek, jangka
menengah, dan jangka panjang.Selain itu, untuk menyusun program pencegahan
kecelakaan dilakukan oleh forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Dalam Undang-Undang ini, pengaturan dan penerapan sanksi pidana diatur lebih
tegas.Bagi pelanggaran yang sifatnya ringan, dikenakan sanksi pidana kurungan atau
denda yang relatif lebih ringan.Namun, terhadap pelanggaran berat dan terdapat unsur
kesengajaan dikenakan sanksi pidana yang jauh lebih berat.Hal ini dimaksudkan agar
dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku pelanggaran dengan tidak terlalu
membebani masyarakat.
Selain sanksi pidana, dalam Undang-Undang ini juga diatur mengenai sanksi
administratif yang dikenakan bagi perusahaan angkutan berupa peringatan,
pembekuan izin, pencabutan izin, pemberian denda.Ketentuan mengenai sanksi
pidana dan administratif diancamkan pula kepada pejabat atau penyelenggara Jalan.
Di sisi lain, dalam rangka meningkatkan efektivitas penegakan hukum diterapkan
system penghargaan dan hukuman (reward and punishment) berupa pemberian
insentif bagi petugas yang berprestasi.
Sungguhpun demikian, pada tataran empirisnya, kecelakaan lalu lintas terus
meningkat yang pada gilirannya memunculkan tindak pidana lalu lintas dan angkutan
jalan. Sebagai contoh, diwilayah Polda Kalimantan Barat pada tahun 2009 terjadi
kecelakaan lalu lintas sebanyak 712 kasus.Angka ini naik 32,87 persen pada tahun
2010 yaitu 946 kasus dan
71

naik 13 persen pada tahun 2011. Naiknya angka kecelakaan itu juga diikuti naiknya
persentase korban meninggal dunia akibat kecelakaan lalu lintas.Pada tahun 2009,
korban jiwa sebanyak 443 orang. Tahun 2010 sebanyak 457 jiwa, dan tahun 2011
sebanyak 585 orang. 2
72

2Website Info Pontianakdan NTMC Korlantas Polri, diakses 25 Februari 2012.


Demikian pula kasus kecelakaan lalu lintas di wilayah Polres Bengkayang, pada
tahun 2011 telah terjadi 171 kecelakaan lalu lintas dengan korban jiwa sebanyak 71
orang dan sebanyak 52 orang telah dijadikan tersangka. Meskipun demikian, proses
penyelesaian kasus tersebut ternyata, tidak hanya menggunakan peraturan hukum
positif yang berlaku, melainkan juga ketentuan hukum adat dari Lembaga Masyarakat
Kabupaten Bengkayang. Contoh Kasus :
1. Telah terjadi tindak pidana lalu lintas pada hari sabtu tanggal 26 november 2011,
mobil Dump Truk yang dikendarai oleh Chairul Kaswan menabrak sepeda motor
Honda Supra X KB 4022 K yang dikendarai oleh Supardi Ibon di Jalan raya Sanggau
Ledo Kabupaten Bengkayang yang mengakibatkan meninggal ditempat. Pihak
masyarakat hukum adat telah melakukan upacara atau perhitungan adat Timbang
Nyawa yang dipimpin kepala adat setempat dan tersangka harus mempersiapkan
barang-barang yang sudah terlampir atau dengan mengganti biaya yang akan
dikeluarkan dalam upacara tersebut.
2. Telah terjadi tindak pidana lalu lintas pada hari rabu tanggal 3 September 2011.
Sepeda motor merek Menerva KB 4519 YE yang dikendarai oleh Superi Als Peri Bin
(Alm) dengan sepeda motor Honda KB 4876 KF yang dikendarai oleh tersangka HA.
Susanti saat yang terjadi di jalan raya desa Karimuniting Kabupaten Bengkayang,
dimana tersangka saat mengendarai sepeda motornya tidak memilki atau dilengkapi
Surat Izin Mengemudi (SIM) sehingga terjadi kecelakaan/tabrakan yang
mengakibatkan korban pengendara sepeda motor dirawat di RS Antonius Pontianak
dan 3 (tiga) hari kemudian korban meninggal dunia

Terhadap penyelesaian kasus yang menggunakan penerapan hukum adat tersebut,


tentunya menimbulkan persoalan hukum yang cukup prinsipil. Terutama kaitannya
dengan tanggung jawab pidana pelaku sebagaimana dimaksud Pasal 310 ayat (4)
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan yang
menentukan: “Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena
kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas yang mengakibatkan orang lain
meninggal dunia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp. 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah)”. Atas dasar
Pasal 359 KUHP ini, pelaku yang karena kealpaannya menyebabkan matinya orang
lain, tetap wajib diproses sampai ke Pengadilan dan mendapatkan putusan Majelis
Hakim. Dengan kata lain, kesepakatan damai menurut hukum adat maupun pihak
pelaku dan korban tidaklah serta merta dapat menghapuskan tanggungjawab pidana
dari si pelaku.
73

Demikian pula jika diterapkan Pasal 311 ayat (5) UU No. 22 Tahun 2009 tentang
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yang memberikan ancaman pidana penjara paling
lama 12 tahun atau denda Rp. 24.000.000 kepada setiap orang yang mengemudikan
kendaraan bermotor dengan cara atau keadaan yang membahayakan bagi nyawa dan
mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan korban meninggal dunia. Proses
penegakan hukumnya tetap dilakukan sampai ke Pengadilan untuk menentukan
pertanggungjawaban hukum si Pelaku. Tegasnya, tanggung jawab hukum si Pelaku
tidak dapat dieliminir dengan penyelesaian damai atau kesepakatan menurut hukum
adat.
Permasalahan
1. Apakah penerapan hukum adat dalam kasus tindak pidana lalu lintas yang
menyebabkan korban meninggal dunia di wilayah Polres Bengkayang bertentangan
dengan UU No. 22 Tahun 2009?
2. Bagaimana tindakan Polres Bengkayang dalam melakukan penegakan hukum
terhadap tindak pidana lalu lintas yang menyebabkan korban meninggal dunia?

Pembahasan
A. Penerapan hukum adat dalam kasus tindak pidana lalu lintas yang
menyebabkan korban meninggal dunia di wilayah Polres Bengkayang
1. Eksistensi Hukum Adat dan Persekutuan Adat
Soerjono Soekanto memaknakan hukum adatt sebagai : “keseluruhan adat (yang tidak
tertulis) dan hidup dalam masyarakat berupa kesusilaan kebiasaan dan kelaziman
yang mempunyai akibat hukum”.3 Selain itu terdapat beberapa pengertian senada
yang dikemukakan oleh para pakar hukum hukum adat dan perdata :
3Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Rajawali, Jakarta, 1983, Hlm. 283
4Soepomo, Bab–Bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 1987, Hlm. 7
a. Menurut Soepomo hukum adat adalah : “Hukum non-statutair yang sebagian besar
adalah hukum kebiasaan dan sebagian kecil hukum Islam. Hukum adat itupun
melingkupi hukum yang berdasarkan keputusan-keputusan hukum yang berisi asas-
asas hukum dalam lingkungan dimana ia memutuskan perkara hukum adat berurat
berakar pada kebudayaan tradisional. Hukum adat adalah suatu hukum yang hidup,
karena itu menjelaskan perasaan hukum yang nyata dari rakyat, sesuai dengan
fitrahnya sendiri, hukum adat terus menerus dalam keadaan tumbuh dan berkembang
seperti hidup itu sendiri.4
b. Surojo Wignjodipoero berpendapat : “hukum adat adalah suatu kompleks norma-
norma yang bersumber pada perasaan keadilan rakyat selalu berkembang serta
meliputi peraturan-peraturan tingkah laku bahwa manusia dalam kehidupan sehari-
hari dalam
74

masyarakat sebagian besar tidak tertulis, senantiasa ditaati dan dihormati oleh rakyat
karena mempunyai akibat hukum”. 5
5Surojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas -Asas Hukum Adat. CV.Haji Mas Agung Jakarta, 1985, Hlm.16.
6Hilman Hadikusuma, Hukum WarisIndonesia menurut Perundangan Hukum Adat, Hukum Agama Hindu, Islam, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
1996, Hlm. 7
75

7Subekti, Hukum Perdata. PT. Intermasa. Cetakan ke-14. Jakarta. 1979. Hlm. 9.
c. Ter Haar memformulasikan : “hukum adat adalah seluruh peraturan yang
ditetapkan dalam keputusan-keputusan dengan penuh wibawa, dan yang
dalam pelaksanaannya begitu saja, artinya tanpa adanya keseluruhan
peraturan yang dalam kelahirannya dinyatakan mengikat sama sekali”. 6
d. Subekti menyatakan : “Hukum adat yaitu hukum yang sejak dahulu kala berlaku di
kalangan rakyat, hukum yang sebagian besar masih belum tertulis, tetapi hidup dalam
tindakan rakyat mengenai segala soal didalam kehidupan kita dalam masyarakat”. 7
Berdasarkan pendapat para para pakar hukum di atas menunjukkan hukum adat itu
hakikatnya merupakan kaidah hukum kebiasaan yang mengatur dan mengikat tingkah
laku manusia dalam proses interaksi sosialnya.
Dalam hubungan genealogis, pada umumnya terdapat susunan keluarga menurut
keturunan pihak Bapak (“vaderrechtelijk”), dan susunan keluarga menurut keturunan
pihak Bapak-Ibu (“ouderrechtelijk, parenteel”).Dalam susunan keluarga menurut
keturunan pihak Bapak terdapat kesatuan-kesatuan sosial (“sociale eenheden”),
kelompok-kelompok kekeluargaan, turunan dari satu nenenk moyang laki-laki
(“Stamvader”) yang disebut clan atau bagian clan.Yang penting dalam susunan
menurut keturunan fihak Bapak ialah turunan sepanjang garis laki-laki dari satu
nenek moyang laki-laki.
Jika beberapa tempat tinggal dalam suatu daerah, wilayah, masing-masing selalu
berdiri yang sejenis, akan tetapi masih merupakan bagian-bagian dari satu
persekutuan yang meliputinya yang mempunyai batas-batas dan pemerintahan sendiri
yang mempunyai hak ulayat atas tanah hakullah diantaranya dan dikelilingnya tanah-
tanah pertanian dan tanah-tanah pertanian yang ditinggalkan, terdapat suatu
persekutuan daerah, persekutuan wilayah. Dalam persekutuan ini, desa-desa
(termasuk desa yang mula-mula dibentuk disitu, induk desanya) mempunyai
kedudukan yang organis.
Apabila persekutuan-persekutuan desa masing-masing lengkap dengan pemerintahan
dan wilayah sendiri – tinggal sebagai tetangga bedampingan, mengadakan suatu
perserikatan dengan maksud untuk memenuhi kepentingan-kepentingan bersama
(membuat jalan jalan pengairan, peradilan) atau memelihara suatu hubungan atas
dasar relasi dari dahulu, dengan suatu badan pemerintahan yang bersifat
menyelenggarakan kerjasama antara pemerintahan-pemerintahan desa¬desa-desa,
sedang gabungan persekutuan-persekutuan itu tak mempunyai hak ulayat sendiri,
maka terdapat suatu perserikatan desa.
76

2. Persekutuan Masyarakat Hukum Adat di Kabupaten Bengkayang


Kabupaten Bengkayang merupakan salah satu kabupaten yang dibentuk Undang-
Undang Nomor 10 tahun 1999 tentang pembentukan Daerah Tingkat II Bengkayang,
atas dasar undang-undang ini secara resmi mulai tanggal 20 April 1999, Kabupaten
Bengkayang terpisah dari Kabupaten Sambas.
Jumlah penduduk Kabupaten Bengkayang pada tahun 2008 sebbanyak 219.963 jiwa,
yang terdiri dari jumlah penduduk laki-laki sebesar 112.802 jiwa (51,28%) dan
107.161 jiwa perempuan (48,72%) serta jumlah keluarga sebesar 48.825 KK dengan
rata-rata banyaknya anggota keluarga 5 jiwa.
Di Kabupaten Bengkayang terdapat tiga persekutuan masyarakat hukum adat yang
masih eksis di era reformasi ini, yaitu : Persekutuan Masyarakat Adat Dayak
Kenayan, Persekutuan Masyarakat Dayak Bakatik dan Persekutuan Masyarakat
Hukum Adat Melayu. Ketiga persekutuan masyarakat hukum adat ini masing-masing
memiliki lembaga adatnya sendiri-sendiri. Tetapi yang masih sangat kuat pengaruh
hukum adatnya dalam tata laksana pemerintahan, pembangunan dan khususnya
masalah kecelakaan lalu lintas adalah persekutuan adat dayak Kenayan dan dayak
Bakatik.
3. Kasus Tindak Pidana Dan Penerapan Hukum Adat Di Wilayah Polres
Bengkayang
Pada tahun 2011 dan 2012 terdapat sejumlah kasus pelanggaran lalu lintas yang
menyebabkan korban meninggal dunia sebagai berikut:
1. Tahun 2011
a. Putusan Pengadilan Negeri Bengkayang Nom/or : 07/Pid.B/2011/PN.BKY tanggal
16 Februari 2011. Terdakwa Markus Anak Atet, didakwa melanggar Pasal 310 ayat
(4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Dipidana dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) bulan.
b. Putusan Pengadilan Negeri Bengkayang Nom/or : 33/Pid.B/2011/PN.BKY tanggal
11 Mei 2011. Terdakwa Aliandi Bin Amberi, didakwa melanggar Pasal 310 ayat (4)
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Dipidana dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun.
c. Putusan Pengadilan Negeri Bengkayang Nom/or : 41/Pid.B/2011/PN.BKY tanggal
20 Juni 2011. Terdakwa Liber anak Ulu, didakwa melanggar Pasal 310 ayat (4)
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Dipidana dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 4 (empat) bulan.
77

2. Tahun 2012
a. Putusan Pengadilan Negeri Bengkayang Nom/or : 02/Pid.Sus/2012/PN.BKY
tanggal 8 Februari 2012. Terdakw Hendri Yanto Bin Sugiyono, didakwa melanggar
Pasal 310 ayat (4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan. Dipidana dengan pidana penjara selama 4 (empat) bulan.
b. Putusan Pengadilan Negeri Bengkayang Nomor : 122/Pid.B/2011/PN.BKY tanggal
8 Februari 2012. Terdakwa Alib Anak Timbun, didakwa melanggar Pasal 310 ayat
(4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Dipidana dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 2 (bulan) bulan.
c. Putusan Pengadilan Negeri Bengkayang Nom/or : 127/Pid.B/2011/PN.BKY
tanggal 1 Februari 2012. Terdakwa Superti Als Peri Bin Munjir (ALM), didakwa
melanggar Pasal 310 ayat (4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan. Dipidana dengan pidana penjara selama 4 (empat) bulan.

Terhadap tindak pidana pelanggaran lalu lintas tersebut selain diproses menurut
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan juga
dikenakan hukum adat oleh lembaga hukum adat setempat. Sebagai contoh
kecelakaan Lalu Lintas Jalan Raya berupa Tabrakan antara Mobil Truck KB 9311 S
dengan Sepeda motor Honda Revo KB 2482 KI yang dikendarai oleh UWAS, Laki-
Laki, 18 Tahun, Desa Suka Bangun Sepoteng, Kecamatan Betung Kabupaten
Bengkayang. Karena kurang berhati-hati UWAS menabrak Mobil Truck KB 9311 S
yang dikemudikan JIU Budiono.Uwas mengalami luka berat dan meninggal
dunia.Terhadap kasus ini masih ditangani oleh pihak Polres Bengkayang. Selain itu
ada tuntutan ganti rugi keluarga korban melalui Lembaga Adat Dayak Bakatik Desa
Suka Bangun Kecamatan Sei Betung Kabupaten Bengkayang, sebesar Rp.
41.016.500,00 dengan perincian :
1) Adat Penyumpung :Rp.1.210.000,00
2) Adat tangga waris :Rp.3.580.000,00
3) Adat Balas Nyawa :Rp. 26.100.000,00
4) Perlengkapan Adat :Rp.3.700.000,00
5) Adat Pengantar Jabang :Rp.2.110.000,00
6) Biaya 3 hari :Rp.2.816.500,00
7) Perbaiki sepeda motor :Rp.1.500.000,00

Pembayaran ganti rugi menurut hukum adat di atas, pada prinsipnya bersesuaian
dengan ketentuan Pasal 235 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2009 yang menentukan : “Jika
korban meninggal dunia akibat Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 229 ayat
78

(1) huruf c, Pengemudi, pemilik, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum wajib


“memberikan bantuan kepada ahli waris korban berupa biaya pengobatan dan/atau
biaya pemakaman dengan tidak menggugurkan tuntutan perkara pidana”.
Dengan demikian, proses hukum tindak pidana berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999
Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan tetap dilanjutkan sampai kePengadilan.
B. Tindakan Polres Bengkayang dalam melakukan penegakan hukum terhadap
tindak pidana lalu lintas yang menyebabkan korban meninggal dunia
Berdasarkan hasil wawancara dengan responden penelitian ini diperoleh keterangan
sebagai berikut :
1. Bahwa meskipun kasus tindak pidana lalu lintas tersebut didahului oleh
penyelesaian denda adat, namun oleh pihak penyidik Polri dan Jaksa Penuntut Umum
tetap dilimpahkan ke Pengadilan, dengan pertimbangan : “Putusan Lembaga Adat
tidak dapat dijadikan alasan untuk meniadakan tindak pidana”. Hal ini didasarkan
Pasal 76 s.d. Pasal 85 KUHP dan Pasal 109 ayat (2) KUHAP yang menentukan :
a. Kewenangan Menuntut Hapus dengan alasan :
1) Pasal 76 : Karena Nebis In Idem ;
2) Pasal 77 : KarenaTertuduh Meninggal Dunia;
3) Pasal 78 s.d. Pasal 80: Karena Daluarsa;
4) Pasal 81 : Penundaan penuntutan pidana berhubung dengan adanya perselisihan
pra-yudisial, menunda daluwarsa”;
5) Pasal 82 : Karena pelanggaran yang diancam dengan pidana denda saja dan dengan
suka rela telah dibayar maksimum termasuk biaya-biaya yang telah dikeluarkan,
dan/atau telah menyerahkan barang perampasan/membayar harganya ;

b. Kewenangan menjalankan pidana hapus dengan alasan :


a. Pasal 83 : Karena Terpidana Meninggal Dunia ;
b. Pasal 84 : Karena Daluarsa.
c. Pasal 109 Ayat (2) KUHAP jo 140 huruf a KUHAP, bahwa penyidikan dan
penuntutan perkara hanya dapat dihentikan apabila: “tidak terdapat cukup bukti,
peristiwa itu bukan merupakan tindak pidana, atau dihentikan demi hukum”.

c. Pasal 35 huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan


Republik Indonesia, menentukan : “Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang
79

mengenyampingkan perkara demi kepentingan umum”. Dalam penjelasannya


menegaskan : “Yang dimaksud dengan “Kepentingan Umum” adalah kepentingan
bangsa dan Negara dan/atau kepentingan masyarakat luas. Mengesampingkan perkara
dalam ketentuan ini merupakan pelaksaanaan “asas oportunitas”, yang hanya dapat
dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-
badan kekuasaan Negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut”.
2. Meskipun demikian, dalam proses pemeriksaan di sidang Pengadilan Negeri
Bengkayang, pembayaran denda adat oleh pelaku dapat dijadikan bahan
pertimbangan untuk meringankan sanksi pidana penjara yang dikenakan kepada
terdakwa. Sehingga, ancaman Pidana maksimum berdasarkan Pasal 310 ayat (4)
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
tidak diterapkan. Pasal 310 ayat (4) UU No. 22 Tahun 2009 menentukan: “Setiap
orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya
mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas yang mengakibatkan orang lain meninggal
dunia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp. 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah)”.
3. Dipertimbangkannya Putusan Lembaga Adat yang mengenakan Denda Adat
terhadap pelaku tindak pidana lalu lintas oleh pengadilan, karena alasan yuridis dan
sosiologis yang wajib digali nilai-nilai keadilannya oleh Majelis Hakim :
a. Bahwa dalam kasus kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan matinya orang lain,
maka kepada keluarga korban sepatutnyalah mendapatkan santunan dari si pelaku.
Hal ini bersesuaian dengan nilai-nilai kepatutan, kelaziman, adat-istiadat, dan
keagamaan yang berlaku dalam masyarakat Indonesia. Santunan tersebut terutama
ditujukan untuk biaya penguburan dan biaya-biaya lainnya yang secara nyata
diperlukan oleh keluarga korban untuk pengurusan jenazah korban.
80

b. Hal itu bersesuaian dengan ketentuan Pasal 235 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2009
yang menentukan : “Jika korban meninggal dunia akibat Kecelakaan Lalu Lintas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (1) huruf c, Pengemudi, pemilik, dan/
atau Perusahaan Angkutan Umum wajib “memberikan bantuan kepada ahli waris
korban berupa biaya pengobatan dan/atau biaya pemakaman dengan tidak
menggugurkan tuntutan perkara pidana”;

c. Demikian pula dalam hal kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan luka berat
(Pasal 310 ayat (3) UU No. 22 Tahun 2009) atau kerugian materiel terhadap korban.
Selayaknyalah diberikan santunan biaya pengobatan atau ganti rugi kepada korban.
Hal ini juga bersesuaian dengan ketentuan Pasal 235 ayat (2) UU No. 22 Tahun 2009
yang menentukan : “Jika terjadi cedera terhadap badan atau kesehatan korban akibat
Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (1) huruf b dan
huruf c, pengemudi, pemilik, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum wajib
memberikan bantuan kepada korban berupa biaya pengobatan dengan tidak
menggugurkan tuntutan perkara pidana”.
81

d. Diperkuat ketentuan Pasal 236 UU No. 22 Tahun 2009, bahwa : (1) Pihak yang
menyebabkan terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal
82

229 wajib mengganti kerugian yang besarannya ditentukan berdasarkan putusan


pengadilan. (2) Kewajiban mengganti kerugian tersebut pada Kecelakaan Lalu Lintas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (1) dapat dilakukan di luar pengadilan
jika terjadi kesepakatan damai di antara para pihak yang terlibat.
e. Dan khusus terhadap Perusahaan Angkutan Umum wajib mengikuti program
asuransi kecelakaan sebagai wujud tanggung jawabnya atas jaminan asuransi bagi
korban kecelakaan serta wajib mengasuransikan orang yang dipekerjakan sebagai
awak kendaraan.
f. Berkaitan pula dengan dengan Pasal 240 yang menormatifkan : “Korban
Kecelakaan Lalu Lintas berhak mendapatkan: a. pertolongan dan perawatan dari
pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas dan/atau
Pemerintah; b. ganti kerugian dari pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya
Kecelakaan Lalu Lintas; dan c. santunan Kecelakaan Lalu Lintas dari perusahaan
asuransi.
g. Serta Pasal 241 yang menentukan : “Setiap korban Kecelakaan Lalu Lintas berhak
memperoleh pengutamaan pertolongan pertama dan perawatan pada rumah sakit
terdekat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Berdasarkan analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa adanya Keputusan Lembaga


Adat yang berisi pembayaran ganti rugi ataupun pernyataan tidak menuntut ke
Pengadilan, dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi hakim untuk memberikan
keringanan hukuman kepada terdakwa. Dengan kata lain, tidak dapat dijadikan alasan
untuk menghentikan penyidikan, penuntutan maupun pemeriksaan perkara di
pengadilan.
C. Upaya mengakomadasi pengaturan nilai-nilai pluralisme hukum adat dalam
proses penegakan hukum tindak pidana lalu lintas ke depan.
Untuk mengetahui dapat tidaknya mengakomadasi pengaturan nilai-nilai pluralisme
hukum adat dalam proses penegakan hukum tindak pidana lalu lintas, perlu dikaji
terlebih dahulu dimensi doktrin hukum pidana, substansi UU No. 22 Tahun 2009, dan
Norma Hukum Adat yang di anggap masih eksis di Kabupaten Bengkayang.
1. Doktrin Sistem Pemidanaan
Barda Nawawi Arief, juga menegaskan bahwa dalam perumusan norma hukum
pidana ada 3 (tiga) pilar pokok yang saling terkait, yaitu : “tindak pidana”,
“pertanggungjawaban pidana”, dan “pidana dan pemidanaan”. Ketiga pilar itulah
yang menjadi bangunan sistem pemidanaan.
Konsekuensinya, dalam proses penegakan hukum pidana, aparatur penegak hukum
sangat terikat pada asas legalitas formal sebagaimana dinormatifkan dalam KUHP
dan KUHAP. Hal ini terekpresikan jelas dalam kasus-kasus tindak pidana umum
maupun khusus yang menggugah perasaan keadilan masyarakat, di mana penyidik,
penuntut umum, dan hakim lebih berfungsi sebagai corong undang-undang (insan
undang-undang) atau insan “legalitas formal” (Lex scripta/Lex stricta/lex certa)
daripada berperan sebagai insan
83

hukum Pancasila yang mengemban nilai-nilai keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang


Maha Esa. Padahal, dalam konteks historisnya (di Perancis) azas legalitas formal
yang dikandung Pasal 1 ayat (1) KUHP (WvS – Warisan Kolonialis belanda), hanya
bertujuan untuk melindungi hak asasi warga masyarakat dari kesewenangan
raja/penguasa. Ketika itu, hukum tidak tertulis merupakan representasi dari kehendak
raja/penguasa.
2. Pertanggungjawaban Pidana (Kesalahan)
Pasal 35 (1) Konsep RUU KUHP merumuskan secara eksplesit : “asas tiada pidana
tanpa kesalahan” (“Geen straf zonder schuld”; “Keine Strafe ohne Schuld”; “No
punishment without Guilt”; asas “Mens rea” atau “asas Culpabilitas”) yang di dalam
KUHP tidak ada. Asas culpabilitas ini merupakan salah satu asas fundamental, yang
oleh karenanya perlu ditegaskan secara eksplisit di dalam sebagai pasangan dari asas
legalitas.Penegasan yang demikian merupakan perwujudan pula dari “ide
keseimbangan monodualistik”.
Selain itu RUU KUHP Konsep tidak memandang kedua asas/syarat itu sebagai syarat
yang kaku dan bersifat absolut, maka memberi kemungkinan dalam hal-hal tertentu
untuk menerapkan asas “strict liability”, asas “vicarious liability”, dan asas
“pemberian maaf/pengampunan oleh hakim” (“rechterlijk pardon atau judicial
pardon.
Tindak pidana lalu lintas, pada umumnya terjadi karena “kealpaan”, karena itu, sanksi
pidana yang dikenakan kepada pelakunya bersifat “Strict liability “. Tanggung jawab
mutlak (strict liability) adalah bentuk khusus dari tort (perbuatan melawan hukum),
yaitu prinsip pertanggung jawaban dalam perbuatan melawan hukum yang “tidak
didasarkan kepada kesalahan”.tetapi prinsip ini mewajibkan pelaku langsung
bertanggung jawab atas kerugian yang timbul karena perbuatan melawan hukum itu.
Karenanya, prinsip strick liability ini disebut juga dengan liability without fault
(tanggung jawab tanpa kesalahan).
Menurut Muladi, doktrin pemidanaan berdasarkan konsep strict liability, bukan atas
dasar kesalahan subyektif, tetapi atas dasar kepentingan masyarakat yang bertujuan
untuk menjaga keseimbangan kepentingan sosial, sehingga dapat tercipta harmonisasi
nilai-nilai sosial budaya bangsa Indonesia yang lebih mengutamakan keselarasan,
keserasian, dan keseimbangan antara kehidupan masyarakat dan individu. Ini
kebanyakan terdapat pada delik-delik yang diatur dalam Undang-Undang yang pada
umumnya merupakan delik-delik terhadap kesejahteraan umum, misalnya penjualan
makanan dan minuman atau obat-obatan yang membahayakan, penggunaan gambar
dagang yang menyesatkan dan pelanggaran lalu lintas.Menurut ajaran strict liability,
pertanggungjawaban pidana dapat
84

dibebankan kepada pelaku tindak pidana bersangkutan dengan tidak perlu dibuktikan
adanya kesalahan (kesengajaan atau kelalaian) para pelaku.Tetapi ditekankan kepada
hal, akibat dari perbuatannya itu telah menimbulkan kerugian bagi
masyarakat.Cukuplah apabila dibuktikan bahwa pelaku tindak pidana telah
melakukan perbuatan yang dilarang ketentuan pidana atau tidak melakukan perbuatan
yang diwajibkan oleh ketentuan pidana (offences of strick liability).
Konsep strict liability (tanggung gugat mutlak, tanggung jawab resiko) secara implisit
juga dapat ditemukan dalam pasal 1367 dan pasal 1368 KUH Perdata.Pasal 167 KUH
Perdata yang mengatur tentang tanggung jawab seseorang atas kerugian yang
disebabkan oleh barang-barang yang ada di bawah pengawasannya. Misalnya seorang
pemilik barang tertentu, suatu ketika barang itu mengakibatkan kerugian bagi orang
lain. Meledak dan melukai orang lain, maka pemiliknya bertanggung jawab atas luka-
luka yang ditimbulkan, tanpa mempersoalkan ada tidaknya kesalahan yang
menimbulkan ledakan itu. Menerapkan pasal 1367 KUH Perdata seperti ini memang
membutuhkan penafsiran yang cermat.Kata-kata yang berada di bawah
pengawasannya pada pasal 1367 KUH Perdata itu dapat dipandang sebabai faktor
yang berdiri sendiri sebagai penyebab timbulnya kerugian, yang berarti tidak
membutuhkan adanya kesalahan pemilik barang.
Karena itu, asas legalitas formal tersebut dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan
kebutuhan Negara Hukum Indonesia yang berkedaulatan rakyat, berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945.Ini berarti, asas legalitas atau asas kepastian hukum formal
yang dianut KUHP dan KUHAP perlu direformasi berdasarkan nilai-nilai
Pancasila.Dengan mencermati doktrin hukum pidana dan pendapat-pendapat para
pakar hokum adat di atas, maka menurut pendapat peneliti, pengaturan ataupun
pengakuan formal terhadap eksistensi hukum adat (khususnya hukum adat Kabupaten
Sanggau) ke dalam peraturan perundang-undangan di tingkat Pusat maupun Daerah
memerlukan pengkajian yang sangat mendalam dan komprehensif integral. Terutama
kaitannya dengan parameter norma: “sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Atau
seperti dikemukakan oleh IGN. Sugangga, asas-asas Hukum Adat yang dipakai
sebagai landasan pembinaan Hukum Nasional haruslah memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut : (a) Hukum Adat tidak boleh bertentangan dengan kepentingan
Nasional dan Negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa; (b) Hukum Adat tidak
boleh bertentangan dengan Negara Indonesia yang berfalsafah Pancasila; (c) Hukum
Adat tidak boleh bertentangan dengan Peraturan-Peraturan Tertulis (Undang-
Undang); (d) Hukum Adat yang bersih dari sifat-sifat
85

Feodalisme, Kapitalisme serta Pengisapan manusia atas manusia; (e) Hukum Adat
yang tidak bertentangan dengan Unsur-unsur Agama.
Dari hasil wawancara dengan responden penelitian, menyatakan hal ini dapat saja
dilakukan melalui proses pengkajian yang mendalam dan komprehensif integral
dengan melibatkan berbagai pihak terkait, antara lain : eksekutif daerah, legislatif
daerah, kepolisian, kejaksaan, lembaga hukum adat, kepolisian, kesjaksaan,
pengadilan, dan para pakar hukum adat untuk bisa memformulasikannya ke dalam
Peraturan Daerah tentang Penetapan Pengakuan Hukum Adat dan Lembaga Adat
yang ada di Kabupaten Bengkayang.8
8Hasil Wawancara dengan responden penelitian ini: Kepala Bagian Hukum Pemerintah Kabupaten Bengkayang, Ketua DPRD Bengkayang, Ditreskrim
Polres Bengkayang, dan 5 Orang Penyidik Dit Lantas Polres Bengkayang.
Sungguhpun demikian, menyangkut penyelesaian kasus tindak pidana lalu lintas yang
diawali dengan penetapan denda adat, menurut pendapat penulis masih dapat
ditoleransi. Artinya, dapat dijadikan bahan pertimbangan oleh majelis hakim untuk
meringankan penerapan sanksi pidana yang dikategorikan sebagai kejahatan
berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan. Apalagi, jika dicermati keputusan lembaga adat di Kabupaten
Bengkayang yang mengenakan denda adat dalam kasus-kasus tindak pidana lalu
lintas dimaksud, sebenarnya hanya berada dalam lingkup tuntutan yang berkenaan
dengan bantuan kepada ahli waris korban berupa biaya pengobatan dan/atau biaya
pemakaman, ataupun kerugian atas kerusakan barang, kematian hewan dan benda-
benda lainnya milik korban.
Oleh karena itu, sepanjang penerapan sanksi Hukum Adat itu benar-benar ditujukan
untuk membela hak dan kepentingan korban serta ahli waris korban, maka menurut
pendapat penulis nilai ini sudah diakui secara informal (pengakuan sosiologis) serta
bersinergi dengan ketentuan Pasal 235, Pasal 236 dan Pasal 240 UU No. 22 Tahun
2009. Dengan kata lain, apabila kewajiban Pengemudi, Pemilik, dan/atau Perusahaan
Angkutan Umum yang mengakibatkan kecelakaan lalu lintas sudah terpenuhi
menurut kespakatan hukum adat, maka kepadanya tidak perlu lagi dituntut secara
perdata berdasarkan Pasal Pasal 235, Pasal 236 dan Pasal 240 UU No. 22 Tahun
2009.
Meskipun demikian, tetap juga perlu dikritisi jika penerapan sanksi denda hukum adat
ini mengarah ke perbuatan pemerasan, diskriminatif, anarkisme, dan berbagai bentuk
pemaksaan kehendak lainnya, yang justru bertentangan dengan nilai-nilai ketertiban,
keadilan, kepatutan, moral, dan fatsun tata kehidupan bermasyarat, berbangsa dan
bernegara dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal inilah yang perlu
dijaga
86

pengaturannya dalam konteks amanah Pasal 18 B UUD 1945 yang menentukan :


“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta
hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam
undang-undang”.
Penutup
1. Penerapan hukum adat berupa pembayaran santunan dan ganti rugi kepada korban
tindak pidana lalu lintas yang meninggal dunia di wilayah Polres Bengkayang,
hakikatnya tidak bertentangan dengan jiwa Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009
Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang memiliki wawasan sosiologis hukum
progresif, nilai keagamaan, kemasyarakatan dan adat istiadat. Terutama bersesuaian
dengan ketentuan Pasal 235 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2009 yang menentukan : “Jika
korban meninggal dunia akibat Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 229 ayat (1) huruf c, Pengemudi, pemilik, dan/atau Perusahaan Angkutan
Umum wajib “memberikan bantuan kepada ahli waris korban berupa biaya
pengobatan dan/atau biaya pemakaman dengan tidak menggugurkan tuntutan perkara
pidana”.
2. Tindakan Polres Bengkayang dalam melakukan penegakan hukum terhadap tindak
pidana lalu lintas yang menyebabkan korban meninggal dunia, tetap konsisten dengan
ketentuan Pasal 76 s.d. Pasal 85 KUHP dan Pasal 109 ayat (2) KUHAP serta Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Tegasnya
proses perkara tetap diteruskan ke Penuntut Umum dan Pengadilan.
3. Upaya mengakomadasi pengakuan nilai-nilai pluralisme hukum adat dalam proses
penegakan hukum tindak pidana lalu lintas ke depan, memerlukan pengkajian dan
pengaturan lebih lanjut ke dalam Peraturan Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota, sesuai
amanah Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, yang menentukan : “Negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.

Daftar Pustaka
Soerjono Soekanto, Solekan B. Teneko, 1981. Hukum Adat Indonesia, Jakarta : CV.
Rajawali.
Soeporno, 1963. Hubungan Individu dan Masvarakat dalam Hukum Adat, Jakarta :
Floor Komala.
87

__________,1989. Bab-Bab tent.ang Hukum Adat, Jakarta : Pradnya Paramita.


Soerjono Soekanto, 1980. Sosiologi Hukum dalam Masyarakt, CV Rajawali, Jakarta.
Moeljatno, 1987. Azas-azas Hukum Pidana, Jakarta : Bina Aksara.
Undang Undang Nomor 14 Tahun 1992tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Benda-Beckmann, F. von. 1989. “From The Law of Primitive Man to Social-Legal
Study of Complex Societies”, dalam Antropologi Indonesia, Majalah Antropologi
Sosial dan Budaya No. 47 Tahun XIII, FISIP UI, Jakarta.
ELSAM, Pemidanaan, Pidana dan Tindakan dalam Rancangan KUHP Position Paper
Advokasi RUU KUHP Seri #3, Jakarta, 2005.
I Nyoman Nurjaya, Perkembangan Pemikiran Konsep Pluralisme Hukum, Makalah
dipresentasikan dalam Konferensi Internasional tentang Penguasaan Tanah dan
Kekayaan Alam di Indonesia yang Sedang Berubah: “Mempertanyakan Kembali
Berbagai Jawaban”, 11 – 13 Oktober 2004, Hotel Santika, Jakarta.
Tamanaha, Brian, “The Folly of the Concept of Legal Pluralism”, makalah tidak
dipublikasi, 1992.

Website Info Pontianakdan NTMC Korlantas Polri, diakses 25 Februari 2012.

Anda mungkin juga menyukai