BAB I
PENDAHULUAN
Peran Polisi saat ini adalah sebagai pemelihara Kamtibmas juga sebagai aparat
penegak hukum dalam proses pidana. Polisi adalah aparat penegak hukum jalanan
yang langsung berhadapan dengan masyarakat dan penjahat. Dalam Pasal 2 UU
Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, “Fungsi Kepolisian
adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan
dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan
pelayanan kepada masyarakat”, Dalam Pasal 4 UU No.2 Tahun 2002 juga
menegaskan “Kepolisian Negara RI bertujuan untuk mewujudkan keamanan
dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat,
tertib, dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan
pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan
menjunjung tinggi hak asasi manusia”.
Kode etik profesi Polri mencakup norma prilaku dan moral yang dijadikan
pedoman sehingga menjadi pendorong semangat dan rambu nurani bagi setiap
anggota untuk pemulihan profesi kepolisian agar dijalankan sesuai tuntutan dan
harapan masyarakat. Jadi polisi harus benar-benar jadi pelindung, pengayom dan
pelayan masyarakat, serta sebagai penegak hukum yang bersih agar tercipta clean
governance dan good governance.
1
2
Karena Negara Indonesia adalah negara hukum, yang ditegaskan pada Pasal 1
ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai
Negara hukum. Negara akan memperlakukan sebagai warganya bersama
kedudukannya didepan hukum, siapapun yang melanggar hukum akan ditindak
sesuai dengan hukum yang berlaku. Dalam penegakan hukum landasan yang
3
digunakan adalah hukum pidana materiil dan hukum pidana formil atau hukum
acara pidana.
Definisi hukum acara pidana menurut Moeljatno adalah “bagian dari keseluruhan
hukum yang berlaku di suatu negara, yang memberikan dasar-dasar dan aturan-
aturan yang menentukan dengan cara apa dan prosedur macam apa, ancaman
pidana yang ada pada suatu perbuatan pidana dapat dilaksanakan apabila ada
sangkaan bahwa orang telah melakukan delik tersebut”. Sedangkan menurut
Sudarto dalam bukunya Suryono Sutarto yang berjudul Sari Hukum Acara Pidana.
I ialah “aturan-aturan yang memberikan petunjuk apa yang harus oleh aparat
penegak hukum dan pihak-pihak atau orang-orang lain yang terlibat di dalamnya,
apabila ada persangkaan bahwa hukum pidana dilanggar[1]. Dalam hukum acara
pidana terdapat beberapa asas,yaitu sebagai berikut :
1. Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak
mengadakan perbedaan perlakuan atau diskriminasi, yang asas ini biasa disebut
equality before the law.
3. Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan
di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan
pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum
yang tetap. Asas ini biasanya disebut asas praduga tak bersalah atau presumption
of innocent.
4. Kepada seorang yang ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alas an
yang berdasarkan undang-undang dan atau karena kekeliruan mengenai orangnya
atau hukum yang diterapkan wajib diberi ganti rugi dan rehabilitasi sejak tingkat
penyidikan dan para pejabat penegak hukum yang dengan sengaja atau karena
kelalaiannya menyebabkan asas hukum ini dilanggar, dituntut, dipidana dan atau
dikenakan hukuman.
5. Peradilan harus dilakukan dengan adil, bebas, jujur serta tidak memihak, yang
diterapkan secara konsekuen di seluruh tingkat peradilan. Asas ini disebut fair
trial.
6. Setiap orang yang tersangkut perkara wajib diberi kesempatan memperoleh
bantuan hukum yang semata-mata diberikan untuk melaksanakan kepentingan
pembelaan atas dirinya.
7. Peradilan harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan.
4
9. Sidang pemeriksaan pengadilan terbuka untuk umum kecuali dalam hal yang
diatur dalam undang-undang.
12. Asas Akusatoir bukan Inkusatoir, yaitu pelaku sebagai subyek bukan sebagai
obyek.
Dengan adanya asas-asas tersebut akan menjadi pedoman untuk menjamin hak
asasi manusia dihadapan hukum dan mereka tidak lagi merasa adanya
ketidakadilan disetiap permasalahan kejahatan yang terjadi di dalam kehidupan
masyarakat. Namun demikian, praktek kenyataan di lapangan oleh pihak aparat
penegak hukum tidak selalu sesuai dengan teori asas-asas dalam hukum acara
pidana, sebab tindakan yang sebagian besar didasarkan atas pertimbangannya
sendiri atau diskresi telah menimbulkan jaminan hak asasi manusia di muka
hukum mengalami pergeseran ke tingkat yang lebih rendah, dimana tindakan
tersebut dinilai masyarakat selalu dibarengi tindakan kesewenang-wenangan.
Tindakan diskresi yang dilaksanakan oleh pihak penyidik dilakukan dengan alasan
bahwa tindakan ini dapat mengefektifkan penyelesaian tindak pidana pelanggaran
lalu lintas, dimana tersangka melakukan pelanggaran lalu lintas dan karena
kelalaiannya menyebabkan orang lain meninggal dunia dan luka-luka. Namun,
tindakan tersebut menuai permasalahan yang pelik, yang mana disatu sisi tindakan
diskresi ini merupakan aplikasi dari hukum pidana yang dilakukan sesuai dengan
kebijakan sendiri untuk mengefektifkan hukum yang berjalan secara kaku.
Sedangkan disisi lain tindakan ini menjadi batu sandungan bagi pihak penegak
hukum khususnya penyidik, yang mana penyidik selalu disalahkan atas
pelaksanaan diskresi yang dilakukan karena tindakan diskresi tersebut
memunculkan diskriminasi dalam penerapan hukumnya. Berdasarkan latar
belakang pemikiran tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan
penulisan hukum dengan judul :
Tujuan penelitian merupakan hal-hal yang hendak dicapai oleh penulis melalui
penelitian yang berhubungan dengan rumusan masalah yang ditentukan guna
memenuhi pengetahuan bagi setiap orang. Tujuan penelitian dalam penulisan
hukum ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu :
1. Tujuan Obyektif :
2. Tujuan Subyektif :
a. Untuk memperluas wawasan pengetahuan dan pemahaman aspek hukum bagi
penulis terhadap penerapan teori-teori yang diterima selama menempuh kuliah
guna mengatasi masalah hukum yang terjadi di dalam masyarakat.
b. Untuk memperoleh data dan informasi yang diperlukan oleh penulis dalam
menyusun penulisan hukum guna memenuhi persyaratan yang diwajibkan dalam
meraih gelar Sarjana Hukum.
Suatu penelitian akan mempunyai nilai lebih apabila dalam penelitian tersebut
dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak. Maka manfaat dari penelitian ini
dapat diambil, yaitu antara lain :
1. Manfaat Teoritis
a. Memberikan landasan dasar dan acuan untuk penelitian lebih lanjut.
2. Manfaat Praktis
7
a. Berguna dalam pengembangan pola penalaran dalam pembentukan pola pikir
yang dinamis dan pro-aktif.
c. Hasil dari penelitian yang dilakukan ini diharapkan dapat member tambahan
dan masukan serta manfaat pengetahuan bagi para pihak yang terkait dan yang
berminat dengan permasalahan yang diteliti
Sesuai dengan judul yang dipilih, maka dalam tulisan ini diskresi yang dibahas
adalah diskresi yang berkaitan dengan pekerjaan polisi yang berhubungan dengan
tugas-tugas penegakan hukum pidana, yaitu dalam rangka sistem peradilan pidana
dimana tugas polisi sebagai penyidik. Oleh karena itu untuk membedakan dengan
diskresi yang dilakukan oleh komponen fungsi yang lain dalam tulisan ini yang
menjadi tujuan adalah diskresi oleh kepolisian.
Berdasarkan hal tersebut maka apabila berbicara soal diskresi kepolisian dalam
sistem peradilan pidana, maka akan ditemukan suatu hubungan antara hukum,
diskresi, kepolisian, penyidikan dan sistem peradilan pidana. Maka pokok
permasalahan yang akan dikaji pada hakekatnya adalah bekerjanya hukum dan
diskresi kepolisian itu.
8
Polisi mempunyai peran yang sangat besar didalam penegakan hukum pidana.
Polisi sebagai bagian dari aparat penegak hukum merupakan salah satu subsistem
yang bertugas dalam bidang penyidik dan penyelidikan suatu tindak pidana.
Kedudukan Polisi sebagai penegak hukum tersebut ditetapkan dalam Undang-
undang Kepolisian Negara Republik Indonesia[7] dalam Pasal 1 butir (1) dan
Pasal 2 bahwa:
“Kepolisian adalah segala hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga
polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
Pasal 2
Dari bunyi Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Pasal 1 butir (1) dan Pasal 2
tersebut dapat dilihat dengan jelas bahwa Polri dalam kedudukannya sebagai
aparat penegak hukum mempunyai fungsi menegakkan hukum di bidang yudisial,
tugas preventif maupun represif. Sehingga dengan dimilikinya kewenangan
diskresi dibidang yudisial yang tertuang dalam UU No 2 tahun 2002 pada Pasal
18 ayat (1) bahwa “Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara
Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak
menurut penilaiannya sendiri”, maka akan menjadi masalah apabila dengan
adanya diskresi ini justru malah merangsang atau memudahkan penyalahgunaan
kekuasaan oleh polisi.
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan
konstruksi secara metodologis, sistematis dan konsisten. Metodologis yang berarti
9
sesuai metode atau cara tertentu; sistematis yaitu berdasarkan suatu sistem,
sedangkan konsisten adalah tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu
kerangka tertentu.
Dalam suatu penelitian, metode penelitian ialah faktor yang sangat penting atau
sangat menentukan untuk menunjang proses penyelesaian suatu permasalahan
yang akan dibahas dan metode juga merupakan suatu cara utama yang digunakan
untuk mencapai tingkat ketelitian jumlah dan jenis yang dihadapi.
1. Jenis Penelitian
2. Sifat Penelitian
Sifat penelitian yang digunakan oleh penulis yaitu penelitian yang bersifat
deskriptif dengan pendekatan kualitatif, dimana data-data yang diperoleh nantinya
tidak berupa angka tetapi berupa kata-kata. Penelitian deskriptif, dimaksudkan
untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau
gejala-gejala lainnya. Hal ini terutama mempertegas hipotesa-hipotesa agar dapat
memperkuat teori-teori lama, atau dalam rangka menyusun teori-teori baru.
3. Lokasi Penelitian
4. Jenis Data
a. Data Primer
Data primer merupakan data dari sejumlah keterangan atau fakta yang diperoleh
penulis secara langsung melalui penelitian lapangan dari lokasi penelitian yang
telah disebutkan di atas, yaitu berupa hasil wawancara ataupun keterangan dari
pihak penyidik di Kantor Kepolisian Satuan Lalu Lintas polrestabes bandung.
b. Data Sekunder
Data sekunder tidak diperoleh secara langsung dari lokasi lapangan, tetapi data itu
berkaitan dengan data yang relevan dan mendukung masalah yang diteliti. Data
sekunder ini berupa :
2) Undang-Undang Negara Republik Indonesia No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
4) Undang-Undang Negara Republik Indonesia No. 14 Tahun 1992 tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan Umum.
5) Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana.
5. Sumber Data
Sumber data ialah tempat di mana penelitian hukum ini diperoleh, dan sumber
data yang digunakan oleh penulis dalam penelitian empiris ini yaitu hasil
11
Sedangkan dalam studi kepustakaan dari sumber data bahan hukum primer, bahan
hukum sekunder dan bahan hukum tersier, yaitu antara lain:
Bahan hukum primer ialah bahan-bahan hukum yang mengikat, yaitu sebagai
berikut :
2) Undang-Undang Negara Republik Indonesia No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
4) Undang-Undang Negara Republik Indonesia No. 14 Tahun 1992 tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan Umum.
5) Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana.
Bahan hukum ini memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer dan
dapat membantu memahami serta menganalisis bahan hukum primer, yang terdiri
atas :
1) Berbagai peraturan perundangan mengenai kepolisian, lalu lintas dan hukum
acara pidana yang berkaitan dengan topik permasalahan penulisan hukum ini.
2) Berbagai hasil jurnal, seminar, makalah dan artikel yang terkait dengan materi
penelitian.
Bahan hukum tersier, yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder yaitu berupa kamus hokum. dan.[8]
Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik analisis data kualitatif dengan
menggunakan metode interaktif. Analisis data ialah langkah selanjutnya untuk
mengolah hasil penelitian menjadi suatu laporan, hal ini merupakan kegiatan
mengumpulkan data yang kemudian dikerjakan dan dimanfaatkan sedemikian
rupa sehingga dapat menyimpulkan persoalan yang diajukan dalam menyusun
hasil penelitian.
Analisis data kualitatif yaitu suatu tata cara penelitian yang menghasilkan data
deskriptif analitis, dimana apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau
13
lisan, dan juga perilakunya yang nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu
yang utuh.
Analisis data kualitatif dalam penelitian dilakukan dengan cara membahas pokok
persoalan berdasarkan data yang diperoleh baik dari studi kepustakaan maupun
dari hasil penelitian lapangan yang kemudian dianalisis secara kualitatif untuk
mendapatkan pemecahan masalah.
Sedangkan model analisis interaktif merupakan model analisis data, dimana data
yang akan diproses melalui tiga komponen utama, yaitu : Reduksi data, sajian data
dan penarikan kesimpulan, sehingga ketiga komponen itu saling berinteraksi
dengan membentuk siklus. Penulis menggunakan ketiga komponen itu pada
proses pengumpulan data selama kegiatan pengumpulan data berlangsung.
Data yang terkumpul akan dianalisis tiga tahap, yaitu reduksi data, penyajian data
kemudian penarikan kesimpulan. Model Analisis Interaktif tersebut digambarkan
sebagai berikut
14
sebagai berikut:
1. Reduksi data
2. Penyajian data
3. Penarikan kesimpulan
[4] Satjipto Rahardjo. 2009:74 dan 75, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan
Sosiologis. Yogyakarta: Genta Publishing
15
[6] J.C.T. Simorangkir, Rudy T. Erwin dan J.T. Prasetyo, 2008:38, hukum
administrasi negara
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Kata polisi dalam bahasa Indonesia merupakan kata pinjaman yang berasal dari
kata Belanda yaitu politie, kata politie ini didasarkan atas serangkaian kata Yunani
Kuno dan Latin yang berasal dari kata Yunani Kuno, yaitu polis. Kata polis
tersebut berarti kota atau Negara kota, namun atas dasar perkembangan itu maka
kata polis berarti negara dan dalam bentuk-bentuk perkembangannya masuk unsur
pemerintah dan lain sebagainya. Kata Yunani Kuno tersebut masuk kedalam
bahasa Latin sebagai poliyia dan kata itulah yang diduga menjadi kata dasar kata
police (terjemahan dalam bahasa Inggris), politie (dalam bahasa Belanda), dan
polisi (dalam bahasa Indonesia).
Kata polisi bilamana secara tepat memperoleh arti yang kini digunakan sulit
dipastikan. Namun, dalam perkembangan sebagaimana dicatat di Inggris, yang
dicatat penggunaan kata police sebagai kata kerja yang berarti memerintah dan
mengawasi (di sekitar tahun 1589). Selanjutnya sebagai kata benda diartikan
pengawasan, yang kemudian meluas dan menunjukkan organisasi yang
menangani pengawasan dan pengamanan (di tahun 1716). Sedangkan di
Indonesia, istilah polisi digunakan dalam pengertian organisasi pengamanan pada
abad ke-19 dan interregum Inggris dari 1811-1817, wilayah Indonesia saat itu
16
merupakan bagian dari wilayah yang dipimpin oleh bupati, yang masing-masing
diserahi tugas pengamanan mengenai tertib hukum dan polisi bertanggungjawab
pada bupati setempat itu[1]. Dan kepolisian kita juga sering dikenal sebagai
Bhayangkara yang berasal dari bahasa Sansekerta[2], yang berarti “menakutkan”.
c) Polisi sebagai jabatan atau petugas, yang banyak disebut sehari-hari ialah
pengertian polisi sebagai pejabat atau petugas, dimana ketiga pengertian kata
polisi tersebut diatas terkadang dicampur adukkan oleh masyarakat, yang
seharusnya diartikan sesuai dengan konteks yang menyertai. Oleh karena itu
timbul penilaian yang sebenarnya untuk individu (pejabat) tetapi diartikan sebagai
tindakan suatu lembaga[3] (alat negara) Dalam Pasal 1 ayat 1, 2 dan 3 Undang-
Undang Negara Republik Indonesia No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia, yang berbunyi :
ayat 1 :
“Kepolisian adalah segala hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga
polisi sesuai dengan peraturan perundangundangan.”
ayat 2 :
ayat 3 :
(2) Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara
untuk kepentingan penyidikan;
(4) Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa
tanda pengenal diri;
(11) Memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri
sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk
diserahkan kepada penuntut umum; dan
(4) Pengamanan dan pengawasan perizinan senjata api, amunisi dan bahan
peledak serta alat/ bahan berbahaya lainnya,
d) Fungsi Lantas (Lalu Lintas), yaitu fungsi kepolisian dalam hal :
(6) Pembinaan dan bimbingan terhadap remaja dan anak-anak, apalagi dalam hal
kenakalan remaja
sebagian kelompok pemuda dalam rangka : penerimaan dan seleksi personel baru,
an administrasi pengakhiran dinas termasuk pembinaan administrasi
purnawirawan/warakauri dan yatim piatu keluarga besar kepolisian[4]
Dalam pembukaan kode etik profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia, etika
profesi kepolisian merupakan kristalisasi nilai-nilai Tribrata yang dilandasi dan
dijiwai oleh Pancasila serta mencerminkan jati diri setiap anggota Kepolisian
Negara Republik Indonesia dalam wujud komitmen moral yang meliputi pada
pengabdian, kelembagaan dan kenegaraan, yang selanjutnya disusun ke dalam
Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia, yaitu antara lain
sebagai berikut : Etika pengabdian merupakan komitmen moral setiap anggota
Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap profesinya sebagai pemelihara
keamanan dan ketertiban masyarakat, penegak hokum serta pelindung, pengayom
dan pelayan masyarakat. Etika kelembagaan merupakan komitmen moral setiap
anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap institusinya yang
menjadi wadah pengabdian yang patut dijunjung tinggi sebagai ikatan lahir batin
dari semua insan Bhayangkara dan segala martabat dan kehormatannya. Etika
kenegaraan merupakan komitmen moral setiap anggota Kepolisian Negara
Republik Indonesia dan institusinya untuk senantiasa bersikap netral, mandiri dan
tidak terpengaruh oleh kepentingan politik, golongan dalam rangka menjaga
tegaknya Hukum Negara Republik Indonesia.
1. Menyatakan yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah;
2. Tidak memihak;
3. Tidak melakukan pertemuan di luar ruang pemeriksaan dengan pihak-
pihak yang terkait dengan perkara;
4. tidak mempublikasikan nama terang tersangka dan saksi;
5. tidak mempublikasikan tata cara, taktik dan teknik penyelidikan;
6. Tidak menimbulkan penderitaan akibat penyalahgunaan wewenang dan
sengaja menimbulkan rasa kecemasan, kebimbangan dan ketergantungan
pada pihak-pihak yang terkait dengan perkara;
7. Menunjukkan penghargaan terhadap semua benda-benda yang berada
dalam penguasaannya karena terkait dengan penyelesaian perkara;
8. Menunjukkan penghargaan dan kerjasama dengan sesama pejabat negara
dalam sistem peradilan pidana; dan
9. Dengan sikap ikhlas dan ramah menjawab pertanyaan
Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk pertama kali
ditetapkan oleh Kapolri dengan Surat Keputusan Kapolri No. Pol :
Skep/213/VII/1985 tanggal 1 Juli 1985, yang selanjutnya naskah dimaksud
terkenal dengan Naskah Ikrar Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia
beserta pedoman pengalamannya, dengan berlakunya Undang-Undang Negara
Republik Indonesia No. 28 Tahun 1997, dimana pada Pasal 23 mempersyaratkan
adanya Kode Etik Pofesi Kepolisian Negara Republik Indonesia, maka pada tahun
2001 diterbitkan buku Kode Etik Profesi Kepolisian dengan Keputusan Kapolri
No. Pol : Kep/05/III/2001 serta buku Petunjuk Administrasi Komisi Kode Etik
Pofesi Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan Keputusan Kapolri[5] No.
Pol : Kep/04/III/2001 Tinjauan Tentang Penyidikan
ayat 10 :
ayat 12 :
ayat 13 :
“Penyidikan ialah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara
yang diatur undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang
dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna
menemukan tersangkanya.”
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana pada Pasal 10 dikenal pula
pejabat penyidik pembantu, yang selanjutnya dalam Pasal 3 PP No. 27 Tahun
1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana
menentukan bahwa penyidik pembantu ialah pejabat polisi negara yang
berpangkat Sersan Dua Polisi. Penyidik pembantu tersebut diangkat oleh Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia atas usul komandan atau pimpinan
kesatuan masing-masing. Wewenang pengangkatan itu dapat pula dilimpahkan
kepada pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang lain[7].
Pada Pasal 8 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tugas penyidik, yaitu
antara lain : membuat berita acara tentang pelaksanaan tindakan; penyidik
menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum atau jaksa; penyerahan
berkas perkara sebagaimana dimaksud dilakukan pada tahap pertama penyidik
hanya menyerahkan berkas perkara dan dalam hal penyidikan sudah dianggap
24
selesai, penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti
kepada penuntut umum.
a) Apabila perintah penyidik tidak dimungkinkan karena hal dan dalam
keadaan yang sangat diperlukan;
Status polisi sebagai penyidik utama didalam sistem peradilan pidana atau sebagai
pintu gerbang didalam proses menempatkan polisi sebagai tempat menerima dan
mendapatkan segala macam persoalan pidana. Tidak jarang polisi sebagai
penyidik menerima terlalu banyak perkara-perkara yang sifatnya terlalu ringan,
kurang berarti dan kurang efisien kalau diproses. Selain hal tersebut seringkali
polisi juga mengalami hambatan-hambatan didalam proses penyidikan seperti
karena terbatasnya dana, terbatas personel dan kemampuan serta waktu pun juga
menjadi kendala yang berarti. Hal ini dikarenakan didalam proses penyidikan
penyidik dituntut untuk sesegera mungkin menyelesaikannya, hal ini
mengakibatkan seringkali beberapa perkara terkadang tertunda atau tertangguhkan
penyelesaiannya.
Dari beberapa pengertian diskresi tersebut maka dapat dikatakan bahwa secara
sederhana diskresi adalah suatu wewenang menyangkut pengambilan suatu
keputusan pada kondisi tertentu atas dasar pertimbangan dan keyakinan pribadi
seseorang, dalam hal ini polisi.
keputusan sendiri dalam setiap situasi yang dihadapi. Menurut Sofyan Lubis,
diskresi adalah kebijakan dari pejabat yang intinya membolehkan pejabat publik
melakukan sebuah kebijakan dimana undang-undang belum mengaturnya secara
tegas, dengan syarat, yakni demi kepentingan umum, masih dalam batas wilayah
kewenangannya, dan tidak melanggar Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik
(AUPB). Sedangkan menurut pakar hukum Administrasi Negara Universitas
Indonesia, Benyamin Hossein mendefinisikan diskresi yaitu kebebasan pejabat
dalam mengambil keputusan menurut pertimbangannya sendiri. Dan menurut
Gayus Lumbuun, diskresi adalah kebijakan dari pejabat negara dari pusat sampai
daerah yang intinya membolehkan pejabat publik melakukan sebuah kebijakan
yang melanggar dengan undang-undang, dengan tiga syarat, yakni demi
kepentingan umum, masih dalam batas wilayah kewenangannya, dan tidak
melanggar Asas Asas Umum Pemerintahan yang Baik[17].
ayat 1 :
ayat 2 :
c) Merupakan tindakan yang paling tepat untuk mencapai sasaran ialah
hilangnya suatu gangguan atau tidak terjadinya sesuatu yang tidak dikhawatirkan,
Lalu lintas itu sendiri merupakan gerak kendaraan, orang dan hewan di jalan.
Kendaraan merupakan sebuah alat yang bergerak di jalan, terdiri dari kendaraan
bermotor atau kendaraan tidak bermotor. Hal ini berdasarkan Pasal 1 ayat 1 dan 6
Ketentuan Umum Undang-Undang Negara Republik Indonesia No. 14 Tahun
1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Umum. Sedangkan pelanggaran
lalulintas ialah suatu permasalahan dimana pemakai kendaraan bermotor tidak
mematuhi peraturan lalulintas demi keselamatan perjalanan yang dapat
mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dimana sebuah kendaraan bermotor
tabrakan dengan benda lain atau kendaraan bermotor yang lain dan menyebabkan
kerusakan.
1. faktor manusia,
2. factor kendaraan, dan ;
3. faktor jalan.
30
Kombinasi dari ketiga faktor tersebut dapat terjadi kecelakaan, namun disamping
itu masih ada faktor lingkungan dan cuaca yang juga menjadi kontribusi terhadap
kecelakaan[26]. Kecelakaan lalu lintas tersebut dapat terjadi karena kelalaian atau
kealpaan seseorang menyebabkan orang lain meninggal dunia dan luka-luka yang
dapat diancam pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling
lama satu tahun, hal ini berdasarkan Pasal 359 dan 360 ayat 1 dan 2 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana.
Dikaitkan dengan judul tulisan ini yaitu Penerapan Fungsi Diskresi Kepolisian
Dalam Proses Penyidikan Pelanggaran Lalu Lintas Di Polrestabes Bandung
maka terlihat fokus permasalahan yang akan diajukan, yaitu sejauh mana
jangkauan diskresi kepolisian dalam sistem peradilan pidana baik dilihat dari segi
hukum normatif maupun dari segi pelaksanaannya.
Seperti yang telah diungkapkan diatas bahwa dalam rangka penegakan hukum
pidana, aparat penegak hukum dapat menggunakan wewenangnya melalui jalur
yuridis atau sosiologis. Namun, jalan yang ditempuh untuk kedua jalur itu
hendaknya harus seimbang, bukan terpisah-pisah seolah-olah sebagai lawan yang
berbeda dan tidak berhubungan. Bagi petugas penegak hukum keduanya harus
dapat dipertimbangkan sekaligus sebelum mengambil keputusan, walaupun
akhirnya jalur sosiologis lebih dominan dibandingkan jalur yuridis dalam
menghadapi masalah ataupun sebaliknya.
Hal ini menjadi penting dikarenakan kedudukan polisi sebagai penyidik berada
pada jajaran terdepan dalam sistem peradilan pidana sebagai tempat paling awal
menerima atau menempatkan segala macam persoalan pidana.Hal ini seperti yang
dikemukakan oleh M. Faal :
“Bahwa akan menjadi masalah apabila kewenangan diskresi ini ditutup sama
sekali, sebagai kerasnya hukum pidana formal tanpa memperhatikan aspek
sosiologisnya. Karena polisi yang berada di gugus paling depan dalam system
peradilan pidana akan disibukkan oleh perkara-perkara yang tertumpuk yang
seharusnya dapat diselesaikan diluar proses. Seperti perkara-perkara konkret yang
dihadapi di lapangan yang menuntut diselesaikannya segera oleh penyidik,
perkara-perkara yang sangat atau terlalu ringan, perkara yang tersangkanya
kurang pantas atau ditangani diluar proses dari pada didalam proses yang
akibatnya jauh lebih buruk untuk kehidupan selanjutnya, atau perkara-perkara
yang dilanggar itu kurang berarti bagi masyarakat umum. Demikian juga demi
kepentingan korban atau kepentingan umum yang lebih besar, Baik model
normatif maupun sosiologis keduanya merupakan unsur yang perlu diperhatikan
31
oleh aparat penegak hukum terutama polisi didalam menegakkan hukum. Hal ini
dikarenakan baik normatif maupun sosiologis pada dasarnya mempunyai tujuan
yang sama didalam masyarakat yaitu untuk mewujudkan ketentraman dan
keamanan serta penegakan hukum dalam system peradilan pidana.
Tentunya untuk menjamin hukum yang baik bagi masyarakat pada umumnya
maupun polisi pada khususnya diperlukan adanya aturan hukum sebagai dasar
yang tegas untuk mengaturnya. Berkaitan dengan landasan hukum hal tersebut
bagi petugas penyidik dari kepolisian terdapat beberapa aturan perundang-
undangan yang langsung maupun tidak berhubungan dengan masalah diskresi
kepolisian ini. Dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang
KUHAP pada Pasal 7 (j), memberikan wewenang kepada penyidik yang karena
kewajibannya dapat melakukan tindakan apa saja yang menurut hukum
bertanggungjawab.
Terlepas dari batasan perkara yang serba ringan yang ditetapkan oleh perundang-
undangan untuk mengenyampingkan perkara itu, disini juga terlihat bahwa
didalam melaksanakan tugas itu polisi diberi wewenang oleh undang-undang
untuk dapat melaksanakan tindakan kepolisian dalam bentuk apapun yang disebut
diskresi itu, seperti yang tercantum dalam ketentuan Undang-Undang Kepolisian
Negara Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 pada Pasal 18, sehingga polisi
memang benar-benar mempunyai wewenang untuk melakukan diskresi terutama
dalam hal penyidikan seperti menghentikan, mengenyampingkan perkara atau
tidak melaksanakan tindakan terhadap suatu pelanggaran, tetapi dalam batas yang
telah ditetapkan dalam undang-undang.
32
Demikian pula, reaksi yang timbul sebagai akibat kesalahan pada salah satu
subsistem akan menimbulkan dampak kembali pada subsistem yang lainnya.
Dengan demikian mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan, bukan saja
tanggungjawab kepolisian, tetapi kejaksaan dan pengadilan juga turut
bertanggungjawab melalui putusan yang dirasakan tidak adil oleh masyarakat.
Putusan yang tidak adil, maupun tidak berhasilnya pengadilan mengenakan pidana
bagi pelaku, akan mendorong pelaku kejahatan lebih berani melakukan kejahatan.
Pemasyarakatan pun dapat mendorong terjadinya kejahatan, apabila mantan
narapidana gagal bersosialisasi kembali dalam masyarakat. Terjadinya ketidak
terpaduan kerja perlu dicegah, maka kebijakan kriminal harus dilaksanakan oleh
sistem peradilan pidana, karena system peradilan pidana berfungsi sebagai perekat
sistem. Artinya, keterpaduan itu diperoleh apabila masing-masing subsistem
menjadikan kebijakan criminal sebagai pedoman kerjanya. Oleh karena itu,
komponen-komponen system peradilan pidana, tidak boleh bekerja sendiri-sendiri
tanpa diarahkan oleh kebijakan kriminal.
Kebijakan bukan sekedar sebagai hasil perumusan bersama, tetapi juga sebagai
hasil dari berbagai kewenangan dalam kepolisian yang bekerjasama dalam
menanggulangi masalah pelanggaran. Dimulai dari pembuat undang-undang yang
menyediakan aturan-aturan hukum pidana serta wewenang maupun pembatasan
dalam melaksanakan aturan hukum tersebut. Kemudian kepolisian sebagai
pelaksana aturan hukum itu dalam proses penyidikan.
Diakui bahwa gambaran diatas lebih sebagai hal yang ideal. Akan tetapi pada
kenyataanya, berbagai variabel diluar sistem peradilam pidana, justru potensial
sebagai variabel yang mempengaruhi efektif atau tidaknya kerja sistem.
Karena cakupan yang demikian maka sistem peradilan pidana lebih berdimensi
kebijakan lewat suatu sistem untuk menanggulangi masalah pelanggaran. Pada
titik ini jelas bahwa penegakan hukum lewat sisten peradilan pidana merupakan
bagian dari kebijakan perlindungan masyarakat untuk mencapai dan menikmati
kedamaian serta kesejahteraan.
Apabila hukum pidana hendak dilibatkan dalam usaha mengatasi segi-segi negatif
dari perkembangan masyarakat, maka hendaknya dilihat dalam hubungannya
dengan keseluruhan politik kriminal atau kebijakan-kebijakan sosial. Bertitik
tolak dari hal tersebut dapat dikatakan bahwa penegakan hokum pidana untuk
33
Dengan demikian penegakan hukum pidana yang merupakan bagian dari politik
kriminal, pada hakekatnya juga merupakan bagian integral dari kebijakan untuk
mencapai kesejahtaraan masyarakat[27]
Dilihat sebagai suatu proses kebijakan, penegakan hukum pidana pada hakekatnya
merupakan penegakan kebijakan melalui beberapa tahap:
Ketiga tahap itu dilihat sebagai usaha atau proses rasional yang sengaja
direncanakan untuk mencapai tujuan menegakkan hukum pidana khususnya pada
pelanggar lalulintas
II.
Tindak Pidana
Lalu Lintas
Kerangka pemikiran
34
Tindak pidana/pelanggaran lalu lintas dapat terjadi karena berbagai faktor, salah
satu faktor tersebut yang berkaitan dengan kasus pelanggaran lalu lintas ini adalah
karena kelalaian seseorang yang menyebabkan orang lain luka-luka dan
meninggal dunia. Dari adanya perkara itu dilakukan penyelidikan, dalam
penyelidikan ini dilakukan untuk mencari kealpaan tersangka dengan
mengkaitkan atau menghubungkan unsur-unsur pasal yang dituduhkan kepadanya,
yang kemudian dilanjutkan dengan penyidikan yang bedasarkan atau berpedoman
pada Undang-Undang Negara Republik Indonesia No. 8 Tahun 1981 tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang berkaitan dengan
penyelidikan dan penyidikan suatu tindak pidana juga termasuk penyidikan
mengenai tindak pidana atau pelanggaran lalu lintas dalam hal ini menunjukkan
adanya tindakan lain yang berdasarkan hukum yang dapat dipertanggung
jawabkan, yaitu dalam Pasal 7 ayat (1) huruf j, yang menyatakan bahwa
pemberian kewenangan kepada penyidik yang karena kewajibannya atau tugasnya
35
dapat melakukan tindakan tertentu menurut hukum yang bertanggung jawab. Pada
Pasal 18 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Negara Republik Indonesia No. 2
Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia memberikan rumusan
konsep diskresi yang menjadi pedoman atau dasar bagi penyidik dalam
pelaksanaan diskresinya terhadap penyidikan perkara lalu lintas.
Penyidik yang berpedoman pada Pasal 7 ayat 1 huruf j KUHAP dan Pasal 18 ayat
1 dan 2 Undang-Undang Negara Republik Indonesia No. 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan tindakan diskresi yang dapat
bermanfaat untuk menyelesaikan perkara atau tindak pidana/pelanggaran lalu
lintas dengan cepat dan efektif sekaligus tetap memperhatikan hak asasi manusia
dan kepastian hukum bagi pihak-pihak yang bersangkutan. Perkara pelanggaran
lalu lintas ini secara perdata oleh penyidik diupayakan adanya pengenyampingan
perkara untuk menjaga tidak menumpuknya perkara-perkara lain yang lebih
penting dalam artian dengan semakin banyaknya pengguna jalan yang kurang
mentaati peraturan lalulintas dengan kurangnya daya tampung jalan untuk
kenyamanan berkara maka sangat wajar jika pihak kepolisian lalulintas
memberikan suatu alas an untuk pengenyampingan suatu perkara sesuai
pandangan pribadinya karena hal tersebut secara legal dibenarkan oleh aturan
yang melegitimasi tindakan tersebut, selama apa yang dilakukan tidak merugikan
asas-asas hokum yang berlaku.
[6] Andi Hamzah. 2000. Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Revisi. Jakarta:
Sinar Grafika.
[9] Andi Hamzah. 2000. Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Revisi. Jakarta:
Sinar Grafika.1987, hal 98
[10] Rusli Muhammad. 2007. Hukum Acara Pidana Kontemporer. Bandung: Citra
Aditya Bakti.
[12] Ibid.
[19] Andi Hamzah. 2000. Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Revisi. Jakarta:
Sinar Grafika. Hal 79
2. Pemberdayaan Masyarakat
Upaya mencegah kecelakaan lalu lintas tidak dapat dilaksanakan sendiri oleh
Polisi namun dibutuhkan peranan masyarakat pula.
a. Pembinaan Kelompok Masyarakat, dalam wujud:
Membuka komunikasi aktif dengan berbagai komunitas sosial masyarakat
seperti komunitas pengendara sepeda motor (bikers), wujudnya bisa berupa
pengawalan komunitas.
Kegiatan bersama dengan kelompok penyedia jasa lalu lintas, seperti
perlombaan antar tukang becak dan sopir angkot dengan melibakan komunitas
lainnya seperti dealer mobil/motor.
B. Pendekatan Preventif
Merupakan bentuk pencegahan kecelakaan lalu lintas melalui kehadiran atau
keberadaan anggota lalu lintas itu sendiri. Pendekatan ini dapat dilaksanakan
melalui beberapa cara diantaranya :
1. Turjawali
Pelaksanaan fungsi pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli dilaksanakan
dengan optimalisasi peran anggota satuan lalu lintas, seperti :
a. Pengaturan
Pengaturan Harian Pagi hari, dengan menempatkan anggota gatur dititik-titik
rawan kemacetan dan kecelakaan dengan konsep ‘Polisi Senyum’. Konsep ini
mengedepankan pengaturan oleh anggota Lalu lintas secara humanis dan tanpa
penegakan hukum formal melainkan peringatan. Hal ini penting mengingat pagi
39
hari adalah waktu dimana hampir setiap orang memulai aktivitasnya, sehingga
situasi yang tertib, cerah, dan penuh keceriaan diharapkan dapat memberikan
kesan tersendiri bagi masyarakat.
Penggunaan alat bantu gatur seperti reka rambu lalu lintas
Pemasangan CCTV pada titik-titik rawan kecelakaan lalu lintas
b. Penjagaan
Penempatan anggota pada pos-pos lalu lintas yang ada
Sistem komunikasi terpadu anggota dengan menggunakan pendekatan
komunikasi langsung,utamanya dalam percepatan penanganan kecelakaan lalu
lintas.
c. Pengawalan
Pelaksanaan pengawalan pada kegiatan-kegitan tertentu masyarakat bahkan
tanpa diminta, seperti iring-iringann jenazah, ambulance dan sebagainya.
Pengawalan rutin pada kegiatan-kegiatan prioritas
d. Patroli
Patroli rutin dan terjadwal
Patroli insidentil pada titik-titik kerawanan
Patroli sepeda pada aktivitas tertentu masyarakat seperti patroli sepeda pada
event ‘car free day’
2. Penerbitan SIM/STNK
Penerbitan SIM/STNK merupakan bagian dari pelayanan masyarakat, sehingga
prosesnya harus benar-benar transparan, akuntabel, dan profesional dengan tidak
meninggalkan sisi humanis.
a. Pelayanan SIM/STNK
Melayani dengan profesional dan prosedural
Pelayanan perpanjangan SIM dengan cepat dan humanis dengan
mengedepankan polisi wanita sebagai ujung tombak pelayanan.
perbaikan jalan, dimana kondisi jalan juga merupakan salah satu faktor penyebab
kecelakaan lalu lintas.
C. Pendekatan Represif
Pendekatan represif merupakan tugas pokok kepolisian dalam aspek penegakan
hukum, namun langkah ini adalah langkah terakhir setelah upaya pre-emtif dan
preventif dilaksanakan. Pendekatan represif secara tegas diutamakan kepada
pelanggaran yang benar-benar berpotensi menyebabkan kecelakaan lalu lintas.
1. Operasi Rutin
Operasi rutin lalu lintas dilaksanakan utamanya guna memeriksa kelengkapan
kedaraan dan kelengkapan perorangan dari para pengguna jalan raya. Pendekatan
ini akan efektif dijalankan dengan melibatkan semua unsur pelaksana tugas
dibidang lalu lintas. Penegakan hukum tidak harus berakhir pada tindakan tegas
seperti tilang dan sebaginya namun bisa juga dikedepankan peringatan-peringatan
dan himbauan sebagai penggugah kesadaran masyarakat untuk tertib berlalu
lintas.
2. Operasi Gabungan
Operasi gabungan dapat dilaksanakan dengan melibatkan unsur Dinas LLAJ serta
unsur Militer, harapannya tidak hanya masyarakat menjadi lebih taat pada aturan
jalan raya namun juga mencegah adanya kemungkinan anggota-anggota TNI/Polri
yang melanggar aturan.
Patroli Ngabuburit, yakni dengan pelaksanaan gatur jalan raya serta patroli
jalan raya disore hari
Police on the spot, yakni acara bersama yang bisa menjadi ajang ngabuburit
bagi masyarakat, dilaksanakan dengan mengedepankan fungsi kepolisian melalui
acara-acara hiburan bagi masyarakat.
Mendirikan ‘bengkel polisi’ sebagai sarana memberikan pelayanan gratis
kepada masyarakat pengguna jalan raya mendekati mudik lebaran.
‘Road free car’ , yakni kegiatan penutupan ruas-ruas jalan utama yang
dilaksanakan sore hari sehingga bisa digunakan masyarakat sebagai tempat
bersantai menunggu beduk buka
Pemberian hukuman atau sanksi dan proses hukum yang berlangsung dalam kasus
pelanggaran hukum oleh anak memang berbeda dengan kasus pelanggaran hukum
oleh orang dewasa, karena dasar pemikiran pemberian hukuman oleh negara
adalah bahwa setiap warga negaranya adalah mahkluk yang bertanggung jawab
dan mampu mempertanggungjawabkan segala perbuatannya. Sementara anak
diakui sebagai individu yang belum dapat secara penuh bertanggung jawab atas
perbuatannya. Oleh sebab itulah dalam proses hukum dan pemberian hukuman,
(sebagai sesuatu yang pada akhirnya hampir tidak dapat dihindarkan dalam kasus
41
Dalam kasus ini, jika anak ditahan sebaiknya segera ditanyakan apakah ia telah
ditemui oleh seorang petugas Bapas. Dan apakah padanya telah diberikan haknya
untuk tetap memperoleh penasehat hukum, karena petugas Bapas bukanlah
seorang penasehat hukum. Harus diingat, anak berhak memperoleh dan negara
wajib memberikan proses hukum yang cepat.
Apabila pihak korban akan menarik tuntutannya, penyelesaian di luar proses
hukum sangat mungkin untuk dilakukan karena petugas hukum, dalam hal ini
polisi, yang terlibat dalam proses peradilan anak diberi keleluasaan untuk
melakukan diskresi (sewaktu-waktu menghentikan proses hukum) demi
kepentingan anak. Apabila polisi menolak diskresi, sanksi pidana berupa penjara
atau rehabilitasi institusional masih dapat diupayakan untuk diganti dengan
program pembinaan di luar lembaga, kompensasi, atau restitusi bagi korban, yang
bisa diupayakan melalui jalur hukum. Selama proses hukum berlangsung, pihak
orang tua atau wali juga dapat meminta agar anak diberi tahanan luar dengan
memberikan jaminan. Dalam kasus anak, tahanan luar juga dipertimbangkan
mengingat anak masih harus bersekolah.
Belum adanya peraturan yang menyeluruh tentang sistem peradilan anak
sebagaimana disebutkan pada bagian awal membawa implikasi pada belum
adanya polisi khusus anak dan jaksa khusus anak. Yang ada barulah hakim anak,
sidang anak, dan lembaga pemasyarakatan anak. Keterbatasan sistem hukum kita
memandang masalah tindak pidana oleh anak hanya pada urusan pengadilan anak,
menyebabkan pertimbangan yang digunakan oleh petugas yang terlibat masih
merupakan pertimbangan �hukum' semata, yang mendasarkan keputusannya
pada apakah si anak bersalah atau tidak sebagai pelanggar hukum, tingkat
seriusitas perbuatannya, dan catatan kriminal yang dimilikinya. Oleh karena itu
tidaklah mengherankan jika sampai saat ini terdapat kenyataan yang
memprihatinkan bahwa sebagian besar kasus pelanggaran hukum oleh anak yang
ditangani polisi, diteruskan ke dalam proses pidana selanjutnya, dan sebagian
besar dari kasus yang diproses tersebut berakhir dengan keputusan pemenjaraan,
dimana seharusnya kedua hal tersebut menjadi alternatif upaya yang paling
terakhir.
BAB III Pengaturan Tentang Kecelakaan Lalu Lintas Bahwa peraturan hukum
yang mengatur kecelakaan lalu lintas di jalan raya dapat menimbulkan kerugian
materil, bahkan ada yang sampai dengan meninggal dunia disamping luka berat dan
43
ringan dan/atau cacat seumur hidup. Pengaturan tentang kecelakaan lalu lintas dapat
dibagi kedalam tiga (3) bagian yaitu: A. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) Kitab ini terdiri dari tiga buku, yaitu Buku I, memuat tentang
‘Ketentuan ketentuan umum”(Algemene leerstukken), artinya : ketentuan-ketentuan
untuk semua “tindak pidana” (perbuatan yang pembuatnya dapat dikenakan hukuman
pidana, baik yang disebut dalam Buku II dan Buku III, maupun yang disebut dalam
undang-undang lain. Buku II, ini menyebutkan tindakan-tindakan pidana yang
dinamakan “misdrijven” atau “kejahatan”. Buku III, ini menyebutkan tindakan-
tindakan pidana yang dinamakan “overtredingen” atau “pelanggaran’.
Disamping ini ada ajaran-ajaran atau teori-teori dalam ilmu pengetahuan hukum,
yang tidak termuat dalam suatu undang-undang, seperti misalnya mengenai
“kesengajaan” atau “opzet” dan hal “kurang berhati-hati” atau “culpa”,
Universitas Sumatera Utara
44
kesengajaan dan kealpaan. Kesengajaan adalah orang yang menghendaki dan orang
yang mengetahui. Kesengajaan ada 3 bentuk yaitu;
1. sengaja sebagai maksud (opzet als oogemerk)
2. segaja sebagai kepastian (opzet bij zekerheids)
3. sengaja sebagai kemungkinan (opzet bij mogelijkheids)
3. adanya hubungan klausula antara wujud perbuatan dengan akibat kematian orang
lain.
Matinya orang dalam pasal ini tidak dimaksudkan sama sekali oleh terdakwa, akan
tetapi kematian tersebut hanya merupakan akibat dari pada kurang berhati-hati atau
lalainya terdakwa (culpa), maka pelaku tidak dikenakan pasal tentang pembunuhan
(pasal 338 atau 340 KUHP). Pasal ini menjelaskan bahwa kematian orang lain adalah
akibat dari kelalaian sipembuat dengan tidak menyebutkan perbuatan sipembuat
tetapi kesalahannya. Selanjutnya dalam pasal 360, dinyatakan bahwa :
(1) Barang siapa karena kesalahannya menyebabkan orang luka berat dihukum
dengan hukum penjara selama-lamnya lima tahun atau hukuman kurungan selama-
lamnya satu tahun
(2) Barang siapa karena kesalahannya menyebabkan orang luka sedemikian rupa
sehingga orang itu menjadi sakit sementara atau tidak dapat menjalankan jabatannya
atau pekerjaanya sementara, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya
sembilan bulan atau hukuman kurungan selama-lamanya enam bulan atau hukuman
denda setinggi-tingginya Rp. 4500,-
terlukanya orang lain dapat berupa luka ringan dan luka berat. Luka berat dapat
dilihat sebagaiman diatur dalam Pasal 90 KUHP;
1. jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama
sekali atau yang menimbulkan bahaya maut.
2. tidak mampu terus menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan
pancarian
B. Menurut UU No. 14 Tahun 1992 Tentang Lalu Liantas dan Angkutan Jalan
raya, yaitu apabila pengemudi kendaraan bermotor dalam keadaan memaksa artinya
suatu keadaan yang dapat membahayakan keselamatan atau jiwa pengemudi apabila
menghentikan kendaraan untuk menolong sikorban, namun keadaannya tetap
diwajibkan untuk segera melaporkan peristiwa kecelakaan lalu lintas tersebut atau
segera melaporkan dirinya kepada pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia
terdekat. Lebih lanjut undang-undang ini mengatur secara tegas tentang
tanggungjawab pengemudi dan/atau pemilik kendaraan bermotor terhadap peristiwa
kecelakaan lalu lintas yang melibatkan mereka, seperti :
1. Apabila korban meninggal dunia, maka pengemudi dan/atau pemilik kendaraan
bermotor wajib memberikan bantuan kepada ahli waris dari korban berupa biaya
pengobatan dan/atau biaya pemakaman;
Pengertian keadaan memaksa dalam hal in adalah peristiwa yang tidak dapat
dielakkan atau diluar kemampuan pengemudi untuk menelakkan kejadian kecelakaan
lalu lintas.
C. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1993 tentang
Prasarana dan Lalu Lintas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1993
Nomor 63).
Peraturan Pemerintah ini tidak jauh beda dengan undang-undang No.14 Tahun 1992.
Peraturan Pemerintah ini selain mengatur secara tegas mengenai lalu lintas di jalan
raya, juga mengatur berbagai hal yang bertujuan untuk menghindari akan terjadinya
kecelakaan lalu lintas di jalan raya, seperti manejemen dan rekayasa lalu lintas, serta
tata cara berlalu lintas. Rekayasa lalu lintas dimaksud meliputi kegiatan perencanan,
pengaturan, pengawasan, dan pengendalian lalu lintas. Perencanaan lalu lintas
meliputi kegiatan :
1. Inventarisasi dan evaluasi tingkat pelayanan;
Peraturan pemerintah ini berbedah dengan peraturan yang diatas karena pada
peraturan ini hanya menekankan pada pemeriksaan kendaraan bermotor saja, meliputi
pemriksaan dan ruang lingkup pemeriksaan, wewenang pemeriksaan dan pelaksanaan
pemeriksaan. Sedangkan mengenai manjemen dan rekayasa lalu lintas dan prasarana
jalan idak ada diatur pemeriksaan kendaraan ini bukan hanya ditujukan pada
kendaraan aja tetapi juga pemeriksaan kepada pengguna kendaraan bermotor. Sesuai
dengan Pasal 3 yang menyatakan :
“Pemeriksaan kendaraan bermotor di jalan raya dilakukan oleh Polisi Negara
Republik Indonesia sesuai dengan Pasal 2 huruf a, meliputi
Universitas Sumatera Utara
53
ditentukan oleh hukum. Padanya diharapkan untuk selalu berbuat sesuai dengan yang
ditentukan oleh hukum. Dapat dipertanggungjawabkan pembuat dalam hal ini berarti
pembuat memenuhi syarat untuk tidak dipertanggungjawabkan. Mengingat asas ‘tiada
pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan’. Dengan demikian, keadaan batin
pembuat yang normal atau akalnya mampu membeda-bedakan perbuatan yang boleh
dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan, atau dengan kata lain mampu
bertanggungjawab, merupakan sesuatu yang berada diluar pengertian kesalahan.
Mampu bertanggungjawab adalah syarat kesalahan, sehingga bukan merupakan
bagian dari kesalahan itu sendiri. Oleh karena itu, terhadap subjek hukum manusia,
mampu bertanggungjawab merupakan unsur pertanggungjawaban pidana, sekaligus
syarat adanya kesalahan. A. Penjatuhan Pidana Kepada Anak Undang-undang
Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang mulai berlaku tanggal 3 Januari
1998 atau satu tahun terhitung sejak tanggal diundangkan undang-undang tersebut.
Pengadilan anak dibentuk sebagai upaya pembinaan dan perlindungan dalam rangka
menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial anak secara utuh,
serasi, dan seimbang. Oleh karenanya, ketentuan mengenai penyelengaraan pengdilan
bagi anak dilakukan secara khusus. Meskipun demikian, hukum acara yang berlaku
(KUHAP) diterapkan pula dalam acara pengadilan anak, kecuali ditentukan lain
dalam undang-undang Nomor 3 Tahun 1997.
Universitas Sumatera Utara
57
57 Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak, PT Refika Aditama, 2008, hal 76
1. Batas umur anak nakal yang dapat dijatuhkan ke sidang anak adalah sekurang-
kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun
dan belum pernah kawin.
2. Aparat penegak hukum yang berperan dalam proses persidangan anak yaitu
Penyidik adalah Penyidik anak, Penuntut Umum adalah Penuntu Umum Anak , dan
Hakim adalah Hakim Anak. (vide Pasal 1 butir 5,6, dan 7)
3. Hakim, Penuntut Umum, Penyidik, dan Penasehat Hukum serta petugas lainnya
dalam sidang anak tidak memakai toga ataupun pakaian dinas.(vide Pasal 6)
5. Ketentuan pidan yang adapat dijatuhkan kepada anak yang melakukan tindak
pidana antara lain sebagai berikut:
a. Pidana penjara yang dapat dijatuhkan paling lama ½ (satu perdua) dari maksimum
ancaman pidana penjara bagi orang dewasa (vide Pasal 26 ayat 2)
b. Apabila melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana
penjara seumur hidup maka pidan penjara yang dapat dijatuhkan paling lama 10
(sepuluh)tahun.(vide Pasal 26 ayat (2)).
c. Apabila belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana yang
diancam pidana mati atau pidana penjara seumur hidup maka anak nakal tersebut
dijatuhi pidana berupa ”menyerahkan kepada negara untuk mengikuti
pendidikan,pembinaan, dan latihan kerja”. (vide Pasal 26 ayat (3) Jo. Pasal 24 ayat
(1) huruf b.
d. Apabila belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun, melakukan tindak pidana yang
tidaka diancam pidana mati atau tidak diancam pidana penjara seumur hidup maka
anak nakal tersebut dijatuhi salah satu tindakan.(vide Pasal 26 ayat (4) Jo.Pasal 24).
e. Pidana kurungan yang dapat dijatuhkan paling banyak 1/2 (satu perdua) dari
makasimum ancaman pidana denda bagi orang dewasa (vide Pasal 27).
f. Apabila pidana denda tidak dapt dibayara maka diganti dengan wajib latihan kerja
paling lama 90 hati kerja dan lama latihan kerja tidak lebih 4 jam sehari serta tidak
dilakukan pada malam hari. (vide Pasal 28 ayat (2)).
g. Pidana bersyarat dapat dijatuhkan oleh Hakim apabila pidan penjara yang
dijatuhkan paling lama 2(dua) tahun.(vide Pasal 29 ayat (1)).
kesesuaian antar kematangan moral dan kejiwaan anak dengan kenakalan yang
dilakukan anak, keadaan kondisi fisik, mental, dan sosial anak menjadi perhatian.
Dalam hal ini dipertimbangkan berbagai komponen seperti moral dan keadaan
psikologi dan ketajaman pikiran anak dalam menentukan pertanggungjawaban nya
atas kenakalan yang diperbuatnya. Kecelakaan lalu lintas yang dilakukan oleh anak
yang menyebabkan hilangnya jiwa orang lain atau luka-luka ini termasuk tindakan
pidana dalam katagori pelanggaran yang dapat diselesaikan secara pidana
( diselesaikan oleh negara ) dan dapat ju ga diselesaikan secara damai. Dibawah ini
dapat diperlihatkan bagan kecelakaan sebagai berikut:
Pengendara ditabrak luka Pidana
`A B B B Anak Pejalan kaki mati perdata Sumber: wawancara dengan Kanit Laka
Bagan diatas dapat diterangkan bahwa A pengendara, B pejalan kaki. Dalam bagan
menerangkan bahwa A pengendara menabrak pejalan kaki sehingga menyebabkan
luka-luka baik luka ringan dan luka berat ataupun hilangnya jiwa si B. Dalam
kenyataan seperti ini maka timbul suatu perbuatan yaitu perbuatan pidana berupa
hilangnya nyawa orang lain dan luka-luka, serta perbuatan perdata kerugian yang
diderita korban.59
59 Wawancara dengan Kanit Laka IPTU Suhermadi di Kepolisian Resort Labuhan Batu pada
tanggal 14 April sampai 16 April 2009.
Universitas Sumatera Utara
62
Perbuatan pidana berupa hilangnya jiwa orang lain dapat diselesaikan dipengadilan,
namun sebelum proses pemeriksaan dilakukan pihak Kepolisian terlebih dahulu
mempertemukan kedua belah pihak yang terkait untuk melakukan perdamaian. Hal
ini dilakukan semata-mata bukan membela pihak pelaku
pelanggaran tersebut namun melihat bagaimana perkembangan fisik, mental dan
sosisal serta masa depan sianak apabila diselesaikan secara pidana. 60 Apabila jalur
perdamaian yang dilakukan pihak kepolisian tidak menemukan titik temu antara
kedua belah pihak, maka sesuai dengan ketentuan pidana maka pemeriksaan untuk
pelimpahan berkas untuk dilimpakan kepengadilan dilakukan.
60 Ibid 61 Wawancara dengan Dedi Hakim Pengadilan Negeri Labuhan Batu, 15 April 2009
Dipengadilan Hakim anak tidak menjatuhkan pidana semata-mata sebagai imbalan
atas perbuatan anak. Hakim melihat masa depan anak atau mempertimbangkan
perkembangan fisik, mental dan sosial anak. 61 Seorang anak yang belum sepenuhnya
dapat mempertanggungjawabkan kesalahannya. Hukuman percobaan lebih banyak
manfaatnya dari pada hukuman bentuk lain, sambil diberikan peringatan keras bahwa
orangtua/wali/orangtua asuh akan mempertanggungjawabkan tingkah lakunya.
Penanganan yang salah dalam proses pengendalian anak, dapat menimbulkan
pertumbuhan mentalitas atau kejiwan anak negatif dan berbahaya bagi penciptaan
generasi muda untuk masa mendatang.
Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap peristiwa kecelakaan lalu lintas selalu
menimbulkan akibat yang dapat menimbulkan kerugian bagi diri sendiri maupun
Universitas Sumatera Utara
63
orang lain. Akibat yang timbul dari peristiwa kecelakaan lalu lintas mengandung
suatu pelanggaran dimana dapat diselesaikan secara perdata yaitu dengan adanya
suatu perdamaian dan ganti rugi atas kerugian yang timbul dari peristiwa kecelakaan
lalu lintas tersebut.62
64
62 Wawancara dengan Kanit Laka IPTU Suhermadi di Kepolisian Resort Labuhanu Batu pada
tanggal 14 April sampai 16 April 2009. 63 Wawan cara dengan 5 responden. Orang tua dari anak
pelaku, tanggal 15 Mei sampai 18 Mei 2009 64 Wawan cara dengan 5 responden. Orang tua dari
anak korban, tanggal 15 Mei sampai 18 Mei 2009
Dipihak orang tua pelaku dalam hal ini 5 orang responden. orang tua anak pelaku,
menyatakan timbulnya kecelakaan ini ( pidana menyebabkan luka atau hilangnya
nyawa orang lain) bukan karena kesengajaan (opzet). Pada dasarnya anak tersebut
tidak meninginkan adanya kecelakaan tersebut bahkan menghindarinya. Oleh karena
itu tidak berakar dari sifat jahat yang datang dari dalam diri anak. 63
Disisi lain 5 orang responden yaitu orang tua korban kecelakaan mereka menyatakan
bahwa penyebab dari kecelakaan itu terletak pada kesalahan dari anak pelaku yang
tidak berhati-hati dalam mengendarai sepeda motor. 64Lain lagi pengakuan dari
pelaku (anak) yaitu 5 orang anak, menyatakan 3 (tiga) diantaranya menyatakan bahwa
penyebab dari kecelakaan tersebut adalah karena ketidak mampuan mereka dalam
menguasai kendaraan ditambah dengan kondisi jalan. Sedangkan 2 (dua) orang anak
menyatakan bahwa penyebab kecelakaan tersebut dijatuhkan kepada kesalahan
sikorban (pejalan kaki) yang tidak hati-hati. Disisi lain 5 korban kecelakaan lalu lintas
menyatakan bahwa semua penyebab
Universitas Sumatera Utara
65
kecelakaan lalu lintas tersebut adalah salah pelaku. Yang tidak kehati-hatian, ugal-
ugalan. Pasal 99 KUHP disebut bahwa kerugian ini berarti”biaya yang dikeluarkan”.
Pengertian ini termasuk diantaranya biaya pengobatan yang diderita oleh korban dan
biaya perbaikan kendaraan yang rusak. Pasal 1 butir 22 KUHP jelas menyebutkan
bahwa kerugian yang diganti hanya imbalan sejumlah uang sebagai hak seseorang
yang dapat di tuntutnya akibat dari keadaan tertentu (secara otentik membatasi hanya
hinggah “imbalan sejumlah uang”saja). Perlu dipahami bahwa masalah ganti kerugian
disini adalah meliputi kerugian yang diderita masing-masing atau sekaligus oleh
kelompok atau perorangan sehingga terdapat alternatif penyelesaiannya melalui Pasal
98 ayat (1) KUHAP atau menurut ketentuan penyelenggaraan perkara perdata.
Adapun ganti kerugian yang menjadi pertanggung jawaban lainnya langsung
mengenai ganti rugi dalam perkara pidana dikaitkan dengan kesalahan pelaku
Perdamaian adalah suatu persetujuan dengan mana kedua belah pihak , dengan
menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara
yang sedang bergantung ataupun mencegah timbulnya suatu perkara.t 65Dengan
dicapainya suatu perdamaian, dalam suatu peristiwa kecelakaan lalu lintas,
perdamaian tidak bersifat putusan yang diambil atas pertanggungjawaban hakim,
melainkan bersifat persetujuan antara kedua belah pihak atas pertanggungan mereka
sendiri.
65R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal
1851, PT.Pradnya Paramita Jakarta.
ASUS kecelakaan yang dialami AQJ alias Dul (13), anak bungsu musisi Ahmad
Dhani menggulirkan berbagai perspektif hukum. Komisi Perlindungan Anak
Indonesia (KPAI) berpandangan bahwa kasus Dul lebih baik tidak diproses ke
pengadilan.
Kalau pun dihukum, Dul tak perlu dipenjara lebih baik ditempatkan di panti
rehabilitasi. KPAI mempertimbangkan aspek psikologis tumbuh kembang anak ke
depan. Bahkan, KPAI berwacana lebih baik keberadaan penjara anak dibubarkan.
Wacana itu mengundang banyak pertanyaan, mengapa KPAI baru kali ini
berbicara pembubaran penjara anak? Ketika kasus pidana anak-anak lainnya, yang
bukan anak seorang tokoh terkenal atau selebritas, KPAI tak begitu berbicara
banyak ke media.
Anggota KPAI Asrorun Ni’am Sholeh menolak bila wacana itu disampaikan
berbarengan dengan kasus AQJ. “Jauh-jauh hari sudah disampaikan, termasuk
perubahan dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak (UU Nomor 11/2012),” ujar
Asrorun, Senin (16/9) di Jakarta.
penyelesaian masalah dilakukan antara kedua belah pihak yaitu pelaku dan
korban.
“Seorang anak melakukan tindak pidana, tidak serta merta dilihat sebagai pelaku.
Tapi dia juga seorang korban dari kondisi keluarga atau lingkungannya,” kata
Asorun.
Ada pun berkaitan dengan penjara anak, ia memandang hal itu lebih bersifat
pembalasan, bukan pembinaan pada anak. Ia mengatakan, dalam undang-undang
sudah jelas disebutkan, adanya lembaga khusus bagi anak yang berhadapan
dengan hukum. Yaitu Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA), Lembaga
Penempatan Anak Sementara (LPAS), dan Lembaga Penyelenggaraan
Kesejahteraan Sosial (LPKS).
Menurut dia, penjara anak berbeda dengan yang lain, karena di dalamnya ada
unsur pembinaan, seperti hak bersekolah mulai SD sampai SMA melalui tempat
kegiatan belajar mengajar (TKBM). “Kami punya konsep, lapas anak yang ramah
anak,” kata Akbar. Sejauh ini, anak-anak yang masuk lapas karena kasus
pencurian, narkotika, dan ada pula kasus pembunuhan.
Apakah hukum Indonesia mengatur sanksi kerja sosial bagi anak-anak ketimbang
hukuman penjara? Menurut Akbar, hal itu memang bisa dilakukan, tapi saat ini
belum bisa berjalan. “Siapa yang mengawasi,” katanya. Tapi, ada beberapa
narapidana anak yang dimasukkan ke pondok pesantren atau panti rehabilitiasi
karena pidana bersyarat. Untuk mengurangi jumlah narapidana anak, pihaknya
juga mengeluarkan remisi. “Karena kami beharap anak tidak lama di penjara.
Pendidikan terbaik untuk anak itu adalah keluarga,” katanya.
sumber: time-cepot-business.blogspot.com
“Penjara anak masih diperlukan, tapi harus ada mekanisme lain. Ada sistem yang
aman dan proses rehabilitasi yang lebih baik,” katanya. Ia menilai sebaiknya tidak
terlalu latah dengan wacana pembubaran itu. Dikarenakan, kata dia, tidak setiap
kasus pidana anak harus diselesaikan secara restorative justice.
67
Pakar Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia Muzakir menilai dalam kasus
pidana anak, perlu melihat sisi korban. Jika suatu perbuatan menimbulkan korban
jiwa, perlu ada ganti rugi baik secara materiil maupu immateriil. Menurut dia,
yang agak susah adalah bagaimana mengembalikan kerugian immateriil itu.
“Untuk rasa keadilan bagi nyawa itu, dalam kompensasi penghukuman, itu
berapa?” katanya. Hal itulah, katanya, masih diperlukan penjara sebagai bentuk
pembelajaran atas perbuatan pidana seseorang.
“KPAI jangan melihat AQJ sebagai anak Ahmad Dhani, harus melihat secara
keseluruhan. Bahwa sesuatu yang tidak bisa diganti dipertanggungjawabkan
dengan tetap menjalani hukuman,” kata Muzakir.
Ia pun masih setuju dengan keberadaan penjara anak. “Di sini sifatnya
pembelajaran. Keliru juga jika tidak ada penjara bagi anak. Itu justru
mengkhawatirkan, nanti ada yang melakukan pidana, tidak ada penjatuhan
pidana,” kata dia
c, Driver, owner, and mandatory Publik transport Company " gives help to victim heir in
the form of medical expenses and/or expense of funeral without aborting criminal
demand". Action Bengkayang Indonesia Police District in doing straightening of law to
traffic crime causing victim to pass away, remain to be consistent with rule of Section 76
to Section 85 Criminal Law and Section 109 sentences Criminal Law and invited Law
Number 22, 2009 About Traffic and Road Transportation. Specifically case process
remain to is distribute to publik prosecutor and justice. To accommodate confession of
pluralism values of customary law in process of straightening of traffic crime law
forwards, requires further study and arrangement into By Law Provice, Region/City,
according to trust Section 18B sentence (2) 1945 Constitution, what determines : " State
confess and respects unitys of customary law public and its tradisonal rights along the
length of above the ground and as according to development of public and Republic of
indonesia Unity State principle, what arranged in law". Hereinafter is recommended in
expection of by law forming process about customary law confession, every party(side
having competence in executive area, legislative, institution of law enforcer, religious
institute, social institute, customary law institutes, and other related party, shall always
carefully, meekly ground and meekly law in implementation of invitors Law Number 12,
2011 About Law and regulation Forming.
Abstrak
(1) Penerapan hukum adat berupa pembayaran santunan dan ganti rugi kepada korban
tindak pidana lalu lintas yang meninggal dunia di wilayah Polres Bengkayang, hakikatnya
tidak bertentangan dengan jiwa Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan yang memiliki wawasan sosiologis hukum progresif, nilai
keagamaan, kemasyarakatan dan adat istiadat. Terutama bersesuaian dengan ketentuan
Pasal 235 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2009 yang menentukan : “Jika korban meninggal
dunia akibat Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (1)
huruf c, Pengemudi, pemilik, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum wajib “memberikan
bantuan kepada ahli waris korban berupa biaya pengobatan dan/atau biaya pemakaman
dengan tidak menggugurkan tuntutan perkara pidana”. (2) Tindakan Polres Bengkayang
dalam melakukan penegakan hukum terhadap tindak pidana lalu lintas yang
menyebabkan korban meninggal dunia, tetap konsisten dengan ketentuan Pasal 76 s.d.
Pasal 85 KUHP dan Pasal 109 ayat (2) KUHAP serta Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Tegasnya proses perkara tetap diteruskan
ke Penuntut Umum dan Pengadilan. (3) Upaya mengakomadasi pengakuan nilai-nilai
pluralisme hukum adat dalam proses penegakan hukum tindak pidana lalu lintas ke
depan, memerlukan pengkajian dan pengaturan lebih lanjut ke dalam Peraturan Daerah
Provinsi, Kabupaten/Kota, sesuai amanah Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, yang
menentukan : “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum
adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-
undang”. Selanjutnya direkomendasikan agar dalam proses pembentukan peraturan
daerah tentang pengakuan hukum adat, setiap pihak yang berkompeten di lingkungan
eksekutif, legislatif, institusi penegak hukum, lembaga keagamaan, lembaga
69
dengan moda angkutan lain, juga mempunyai tujuan untuk mendorong perekonomian
nasional, mewujudkan kesejahteraan rakyat, persatuan dan kesatuan bangsa, serta
mampu menjunjung tinggi martabat bangsa.
Karena itu aspek keamanan mendapatkan perhatian yang ditekankan dalam
pengaturan Lalu Lintasdan Angkutan Jalan. Dalam Undang-Undang ini juga
ditekankan terwujudnya etika berlalu lintas dan budaya bangsa (just culture) melalui
upaya pembinaan, pemberian bimbingan, dan pendidikan berlalu lintas sejak usia dini
serta dilaksanakan melalui program yang berkesinambungan.
Sehubungan dengan itu, maka untuk menekan angka Kecelakaan Lalu Lintas yang
sangat tinggi setiap tahunnya, upaya ke depan yang diarahkan oleh undang-undang ini
adalah pada penanggulangan secara komprehensif upaya pembinaan, pencegahan,
pengaturan, dan penegakan hukum. Upaya pembinaan tersebut dilakukan melalui
peningkatan intensitas pendidikan berlalu lintas dan penyuluhan hukum serta
pembinaan sumber daya manusia.
Sedangkan untuk menangani masalah Lalu Lintas, pencegahan kecelakaan dilakukan
melalui partisipasi para pemangku kepentingan, pemberdayaan masyarakat,
penegakan hukum, dan kemitraan global.Pencegahan Kecelakaan Lalu Lintas
dimaksud, dilakukan dengan pola penahapan, yaitu program jangka pendek, jangka
menengah, dan jangka panjang.Selain itu, untuk menyusun program pencegahan
kecelakaan dilakukan oleh forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Dalam Undang-Undang ini, pengaturan dan penerapan sanksi pidana diatur lebih
tegas.Bagi pelanggaran yang sifatnya ringan, dikenakan sanksi pidana kurungan atau
denda yang relatif lebih ringan.Namun, terhadap pelanggaran berat dan terdapat unsur
kesengajaan dikenakan sanksi pidana yang jauh lebih berat.Hal ini dimaksudkan agar
dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku pelanggaran dengan tidak terlalu
membebani masyarakat.
Selain sanksi pidana, dalam Undang-Undang ini juga diatur mengenai sanksi
administratif yang dikenakan bagi perusahaan angkutan berupa peringatan,
pembekuan izin, pencabutan izin, pemberian denda.Ketentuan mengenai sanksi
pidana dan administratif diancamkan pula kepada pejabat atau penyelenggara Jalan.
Di sisi lain, dalam rangka meningkatkan efektivitas penegakan hukum diterapkan
system penghargaan dan hukuman (reward and punishment) berupa pemberian
insentif bagi petugas yang berprestasi.
Sungguhpun demikian, pada tataran empirisnya, kecelakaan lalu lintas terus
meningkat yang pada gilirannya memunculkan tindak pidana lalu lintas dan angkutan
jalan. Sebagai contoh, diwilayah Polda Kalimantan Barat pada tahun 2009 terjadi
kecelakaan lalu lintas sebanyak 712 kasus.Angka ini naik 32,87 persen pada tahun
2010 yaitu 946 kasus dan
71
naik 13 persen pada tahun 2011. Naiknya angka kecelakaan itu juga diikuti naiknya
persentase korban meninggal dunia akibat kecelakaan lalu lintas.Pada tahun 2009,
korban jiwa sebanyak 443 orang. Tahun 2010 sebanyak 457 jiwa, dan tahun 2011
sebanyak 585 orang. 2
72
Demikian pula jika diterapkan Pasal 311 ayat (5) UU No. 22 Tahun 2009 tentang
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yang memberikan ancaman pidana penjara paling
lama 12 tahun atau denda Rp. 24.000.000 kepada setiap orang yang mengemudikan
kendaraan bermotor dengan cara atau keadaan yang membahayakan bagi nyawa dan
mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan korban meninggal dunia. Proses
penegakan hukumnya tetap dilakukan sampai ke Pengadilan untuk menentukan
pertanggungjawaban hukum si Pelaku. Tegasnya, tanggung jawab hukum si Pelaku
tidak dapat dieliminir dengan penyelesaian damai atau kesepakatan menurut hukum
adat.
Permasalahan
1. Apakah penerapan hukum adat dalam kasus tindak pidana lalu lintas yang
menyebabkan korban meninggal dunia di wilayah Polres Bengkayang bertentangan
dengan UU No. 22 Tahun 2009?
2. Bagaimana tindakan Polres Bengkayang dalam melakukan penegakan hukum
terhadap tindak pidana lalu lintas yang menyebabkan korban meninggal dunia?
Pembahasan
A. Penerapan hukum adat dalam kasus tindak pidana lalu lintas yang
menyebabkan korban meninggal dunia di wilayah Polres Bengkayang
1. Eksistensi Hukum Adat dan Persekutuan Adat
Soerjono Soekanto memaknakan hukum adatt sebagai : “keseluruhan adat (yang tidak
tertulis) dan hidup dalam masyarakat berupa kesusilaan kebiasaan dan kelaziman
yang mempunyai akibat hukum”.3 Selain itu terdapat beberapa pengertian senada
yang dikemukakan oleh para pakar hukum hukum adat dan perdata :
3Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Rajawali, Jakarta, 1983, Hlm. 283
4Soepomo, Bab–Bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 1987, Hlm. 7
a. Menurut Soepomo hukum adat adalah : “Hukum non-statutair yang sebagian besar
adalah hukum kebiasaan dan sebagian kecil hukum Islam. Hukum adat itupun
melingkupi hukum yang berdasarkan keputusan-keputusan hukum yang berisi asas-
asas hukum dalam lingkungan dimana ia memutuskan perkara hukum adat berurat
berakar pada kebudayaan tradisional. Hukum adat adalah suatu hukum yang hidup,
karena itu menjelaskan perasaan hukum yang nyata dari rakyat, sesuai dengan
fitrahnya sendiri, hukum adat terus menerus dalam keadaan tumbuh dan berkembang
seperti hidup itu sendiri.4
b. Surojo Wignjodipoero berpendapat : “hukum adat adalah suatu kompleks norma-
norma yang bersumber pada perasaan keadilan rakyat selalu berkembang serta
meliputi peraturan-peraturan tingkah laku bahwa manusia dalam kehidupan sehari-
hari dalam
74
masyarakat sebagian besar tidak tertulis, senantiasa ditaati dan dihormati oleh rakyat
karena mempunyai akibat hukum”. 5
5Surojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas -Asas Hukum Adat. CV.Haji Mas Agung Jakarta, 1985, Hlm.16.
6Hilman Hadikusuma, Hukum WarisIndonesia menurut Perundangan Hukum Adat, Hukum Agama Hindu, Islam, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
1996, Hlm. 7
75
7Subekti, Hukum Perdata. PT. Intermasa. Cetakan ke-14. Jakarta. 1979. Hlm. 9.
c. Ter Haar memformulasikan : “hukum adat adalah seluruh peraturan yang
ditetapkan dalam keputusan-keputusan dengan penuh wibawa, dan yang
dalam pelaksanaannya begitu saja, artinya tanpa adanya keseluruhan
peraturan yang dalam kelahirannya dinyatakan mengikat sama sekali”. 6
d. Subekti menyatakan : “Hukum adat yaitu hukum yang sejak dahulu kala berlaku di
kalangan rakyat, hukum yang sebagian besar masih belum tertulis, tetapi hidup dalam
tindakan rakyat mengenai segala soal didalam kehidupan kita dalam masyarakat”. 7
Berdasarkan pendapat para para pakar hukum di atas menunjukkan hukum adat itu
hakikatnya merupakan kaidah hukum kebiasaan yang mengatur dan mengikat tingkah
laku manusia dalam proses interaksi sosialnya.
Dalam hubungan genealogis, pada umumnya terdapat susunan keluarga menurut
keturunan pihak Bapak (“vaderrechtelijk”), dan susunan keluarga menurut keturunan
pihak Bapak-Ibu (“ouderrechtelijk, parenteel”).Dalam susunan keluarga menurut
keturunan pihak Bapak terdapat kesatuan-kesatuan sosial (“sociale eenheden”),
kelompok-kelompok kekeluargaan, turunan dari satu nenenk moyang laki-laki
(“Stamvader”) yang disebut clan atau bagian clan.Yang penting dalam susunan
menurut keturunan fihak Bapak ialah turunan sepanjang garis laki-laki dari satu
nenek moyang laki-laki.
Jika beberapa tempat tinggal dalam suatu daerah, wilayah, masing-masing selalu
berdiri yang sejenis, akan tetapi masih merupakan bagian-bagian dari satu
persekutuan yang meliputinya yang mempunyai batas-batas dan pemerintahan sendiri
yang mempunyai hak ulayat atas tanah hakullah diantaranya dan dikelilingnya tanah-
tanah pertanian dan tanah-tanah pertanian yang ditinggalkan, terdapat suatu
persekutuan daerah, persekutuan wilayah. Dalam persekutuan ini, desa-desa
(termasuk desa yang mula-mula dibentuk disitu, induk desanya) mempunyai
kedudukan yang organis.
Apabila persekutuan-persekutuan desa masing-masing lengkap dengan pemerintahan
dan wilayah sendiri – tinggal sebagai tetangga bedampingan, mengadakan suatu
perserikatan dengan maksud untuk memenuhi kepentingan-kepentingan bersama
(membuat jalan jalan pengairan, peradilan) atau memelihara suatu hubungan atas
dasar relasi dari dahulu, dengan suatu badan pemerintahan yang bersifat
menyelenggarakan kerjasama antara pemerintahan-pemerintahan desa¬desa-desa,
sedang gabungan persekutuan-persekutuan itu tak mempunyai hak ulayat sendiri,
maka terdapat suatu perserikatan desa.
76
2. Tahun 2012
a. Putusan Pengadilan Negeri Bengkayang Nom/or : 02/Pid.Sus/2012/PN.BKY
tanggal 8 Februari 2012. Terdakw Hendri Yanto Bin Sugiyono, didakwa melanggar
Pasal 310 ayat (4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan. Dipidana dengan pidana penjara selama 4 (empat) bulan.
b. Putusan Pengadilan Negeri Bengkayang Nomor : 122/Pid.B/2011/PN.BKY tanggal
8 Februari 2012. Terdakwa Alib Anak Timbun, didakwa melanggar Pasal 310 ayat
(4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Dipidana dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 2 (bulan) bulan.
c. Putusan Pengadilan Negeri Bengkayang Nom/or : 127/Pid.B/2011/PN.BKY
tanggal 1 Februari 2012. Terdakwa Superti Als Peri Bin Munjir (ALM), didakwa
melanggar Pasal 310 ayat (4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan. Dipidana dengan pidana penjara selama 4 (empat) bulan.
Terhadap tindak pidana pelanggaran lalu lintas tersebut selain diproses menurut
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan juga
dikenakan hukum adat oleh lembaga hukum adat setempat. Sebagai contoh
kecelakaan Lalu Lintas Jalan Raya berupa Tabrakan antara Mobil Truck KB 9311 S
dengan Sepeda motor Honda Revo KB 2482 KI yang dikendarai oleh UWAS, Laki-
Laki, 18 Tahun, Desa Suka Bangun Sepoteng, Kecamatan Betung Kabupaten
Bengkayang. Karena kurang berhati-hati UWAS menabrak Mobil Truck KB 9311 S
yang dikemudikan JIU Budiono.Uwas mengalami luka berat dan meninggal
dunia.Terhadap kasus ini masih ditangani oleh pihak Polres Bengkayang. Selain itu
ada tuntutan ganti rugi keluarga korban melalui Lembaga Adat Dayak Bakatik Desa
Suka Bangun Kecamatan Sei Betung Kabupaten Bengkayang, sebesar Rp.
41.016.500,00 dengan perincian :
1) Adat Penyumpung :Rp.1.210.000,00
2) Adat tangga waris :Rp.3.580.000,00
3) Adat Balas Nyawa :Rp. 26.100.000,00
4) Perlengkapan Adat :Rp.3.700.000,00
5) Adat Pengantar Jabang :Rp.2.110.000,00
6) Biaya 3 hari :Rp.2.816.500,00
7) Perbaiki sepeda motor :Rp.1.500.000,00
Pembayaran ganti rugi menurut hukum adat di atas, pada prinsipnya bersesuaian
dengan ketentuan Pasal 235 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2009 yang menentukan : “Jika
korban meninggal dunia akibat Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 229 ayat
78
b. Hal itu bersesuaian dengan ketentuan Pasal 235 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2009
yang menentukan : “Jika korban meninggal dunia akibat Kecelakaan Lalu Lintas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (1) huruf c, Pengemudi, pemilik, dan/
atau Perusahaan Angkutan Umum wajib “memberikan bantuan kepada ahli waris
korban berupa biaya pengobatan dan/atau biaya pemakaman dengan tidak
menggugurkan tuntutan perkara pidana”;
c. Demikian pula dalam hal kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan luka berat
(Pasal 310 ayat (3) UU No. 22 Tahun 2009) atau kerugian materiel terhadap korban.
Selayaknyalah diberikan santunan biaya pengobatan atau ganti rugi kepada korban.
Hal ini juga bersesuaian dengan ketentuan Pasal 235 ayat (2) UU No. 22 Tahun 2009
yang menentukan : “Jika terjadi cedera terhadap badan atau kesehatan korban akibat
Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (1) huruf b dan
huruf c, pengemudi, pemilik, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum wajib
memberikan bantuan kepada korban berupa biaya pengobatan dengan tidak
menggugurkan tuntutan perkara pidana”.
81
d. Diperkuat ketentuan Pasal 236 UU No. 22 Tahun 2009, bahwa : (1) Pihak yang
menyebabkan terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal
82
dibebankan kepada pelaku tindak pidana bersangkutan dengan tidak perlu dibuktikan
adanya kesalahan (kesengajaan atau kelalaian) para pelaku.Tetapi ditekankan kepada
hal, akibat dari perbuatannya itu telah menimbulkan kerugian bagi
masyarakat.Cukuplah apabila dibuktikan bahwa pelaku tindak pidana telah
melakukan perbuatan yang dilarang ketentuan pidana atau tidak melakukan perbuatan
yang diwajibkan oleh ketentuan pidana (offences of strick liability).
Konsep strict liability (tanggung gugat mutlak, tanggung jawab resiko) secara implisit
juga dapat ditemukan dalam pasal 1367 dan pasal 1368 KUH Perdata.Pasal 167 KUH
Perdata yang mengatur tentang tanggung jawab seseorang atas kerugian yang
disebabkan oleh barang-barang yang ada di bawah pengawasannya. Misalnya seorang
pemilik barang tertentu, suatu ketika barang itu mengakibatkan kerugian bagi orang
lain. Meledak dan melukai orang lain, maka pemiliknya bertanggung jawab atas luka-
luka yang ditimbulkan, tanpa mempersoalkan ada tidaknya kesalahan yang
menimbulkan ledakan itu. Menerapkan pasal 1367 KUH Perdata seperti ini memang
membutuhkan penafsiran yang cermat.Kata-kata yang berada di bawah
pengawasannya pada pasal 1367 KUH Perdata itu dapat dipandang sebabai faktor
yang berdiri sendiri sebagai penyebab timbulnya kerugian, yang berarti tidak
membutuhkan adanya kesalahan pemilik barang.
Karena itu, asas legalitas formal tersebut dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan
kebutuhan Negara Hukum Indonesia yang berkedaulatan rakyat, berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945.Ini berarti, asas legalitas atau asas kepastian hukum formal
yang dianut KUHP dan KUHAP perlu direformasi berdasarkan nilai-nilai
Pancasila.Dengan mencermati doktrin hukum pidana dan pendapat-pendapat para
pakar hokum adat di atas, maka menurut pendapat peneliti, pengaturan ataupun
pengakuan formal terhadap eksistensi hukum adat (khususnya hukum adat Kabupaten
Sanggau) ke dalam peraturan perundang-undangan di tingkat Pusat maupun Daerah
memerlukan pengkajian yang sangat mendalam dan komprehensif integral. Terutama
kaitannya dengan parameter norma: “sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Atau
seperti dikemukakan oleh IGN. Sugangga, asas-asas Hukum Adat yang dipakai
sebagai landasan pembinaan Hukum Nasional haruslah memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut : (a) Hukum Adat tidak boleh bertentangan dengan kepentingan
Nasional dan Negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa; (b) Hukum Adat tidak
boleh bertentangan dengan Negara Indonesia yang berfalsafah Pancasila; (c) Hukum
Adat tidak boleh bertentangan dengan Peraturan-Peraturan Tertulis (Undang-
Undang); (d) Hukum Adat yang bersih dari sifat-sifat
85
Feodalisme, Kapitalisme serta Pengisapan manusia atas manusia; (e) Hukum Adat
yang tidak bertentangan dengan Unsur-unsur Agama.
Dari hasil wawancara dengan responden penelitian, menyatakan hal ini dapat saja
dilakukan melalui proses pengkajian yang mendalam dan komprehensif integral
dengan melibatkan berbagai pihak terkait, antara lain : eksekutif daerah, legislatif
daerah, kepolisian, kejaksaan, lembaga hukum adat, kepolisian, kesjaksaan,
pengadilan, dan para pakar hukum adat untuk bisa memformulasikannya ke dalam
Peraturan Daerah tentang Penetapan Pengakuan Hukum Adat dan Lembaga Adat
yang ada di Kabupaten Bengkayang.8
8Hasil Wawancara dengan responden penelitian ini: Kepala Bagian Hukum Pemerintah Kabupaten Bengkayang, Ketua DPRD Bengkayang, Ditreskrim
Polres Bengkayang, dan 5 Orang Penyidik Dit Lantas Polres Bengkayang.
Sungguhpun demikian, menyangkut penyelesaian kasus tindak pidana lalu lintas yang
diawali dengan penetapan denda adat, menurut pendapat penulis masih dapat
ditoleransi. Artinya, dapat dijadikan bahan pertimbangan oleh majelis hakim untuk
meringankan penerapan sanksi pidana yang dikategorikan sebagai kejahatan
berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan. Apalagi, jika dicermati keputusan lembaga adat di Kabupaten
Bengkayang yang mengenakan denda adat dalam kasus-kasus tindak pidana lalu
lintas dimaksud, sebenarnya hanya berada dalam lingkup tuntutan yang berkenaan
dengan bantuan kepada ahli waris korban berupa biaya pengobatan dan/atau biaya
pemakaman, ataupun kerugian atas kerusakan barang, kematian hewan dan benda-
benda lainnya milik korban.
Oleh karena itu, sepanjang penerapan sanksi Hukum Adat itu benar-benar ditujukan
untuk membela hak dan kepentingan korban serta ahli waris korban, maka menurut
pendapat penulis nilai ini sudah diakui secara informal (pengakuan sosiologis) serta
bersinergi dengan ketentuan Pasal 235, Pasal 236 dan Pasal 240 UU No. 22 Tahun
2009. Dengan kata lain, apabila kewajiban Pengemudi, Pemilik, dan/atau Perusahaan
Angkutan Umum yang mengakibatkan kecelakaan lalu lintas sudah terpenuhi
menurut kespakatan hukum adat, maka kepadanya tidak perlu lagi dituntut secara
perdata berdasarkan Pasal Pasal 235, Pasal 236 dan Pasal 240 UU No. 22 Tahun
2009.
Meskipun demikian, tetap juga perlu dikritisi jika penerapan sanksi denda hukum adat
ini mengarah ke perbuatan pemerasan, diskriminatif, anarkisme, dan berbagai bentuk
pemaksaan kehendak lainnya, yang justru bertentangan dengan nilai-nilai ketertiban,
keadilan, kepatutan, moral, dan fatsun tata kehidupan bermasyarat, berbangsa dan
bernegara dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal inilah yang perlu
dijaga
86
Daftar Pustaka
Soerjono Soekanto, Solekan B. Teneko, 1981. Hukum Adat Indonesia, Jakarta : CV.
Rajawali.
Soeporno, 1963. Hubungan Individu dan Masvarakat dalam Hukum Adat, Jakarta :
Floor Komala.
87