PROPOSAL PENELITIAN
Oleh:
Dini Kusuma Ningrum
NIM 171710301055
1
Aureus. Berdasarkan hal tersebut maka ekstrak tembakau dapat digunakan sebagai
bahan aktif tambahan pembuatan sabun padat.
Tanaman tembakau menjadi salah satu hasil perkebunan yang cukup tinggi
di Kabupaten Jember. Tembakau yang banyak terdapat di Jember salah satunya
adalah tembakau kasturi. Menurut Direktorat Jenderal Perkebunan (2017)
Kabupaten Jember memiliki luas area tanam tembakau kasturi sebesar 3.381 Ha
dan luas panen sebesar 1.281 Ha. Produksi tembakau kasturi sebesar 1.537 ton
sehingga produktivitasnya mencapai 1.200 Kg/Ha. Pengolahan tembakau di
Jember hanya digunakan untuk pembuatan rokok. Harga jual tembakau setiap
musim berubah tergantung permintaan pasar dan kualitas tembakau yang
dihasilkan. Kualitas tembakau yang dihasilkan berpengaruh terhadap harga jual,
jika kualitas tembakau rendah makan harga jual pun rendah (Ardhiarisca et al.,
2016). Alternatif pemanfaatan tembakau salah satunya dapat digunakan sebagai
bahan tambahan alami dalam pembuatan sabun mandi yang tidak transparan atau
sabun padat. Sabun padat ekstrak tembakau yang dihasilkan harus
sesuai/mendekati syarat mutu yang ada.
Mutu merupakan suatu kesesuaian karakteristik dari produk dengan standar
yang sudah ditetapkan berdasarkan syarat, keinginan dan kebutuhan konsumen
(Muhandri dan Kadarisman, 2012). Pengendalian dan pengawasan mutu adalah
faktor penting untuk menjaga konsistensi mutu produk yang akan dihasilkan
(Junais et al., 2014). Produk sabun memiliki syarat mutu yang telah ditetapkan
oleh Standar Nasional Indonesia (SNI). Menurut Peraturan Pemerintah Nomor
102 Tahun 2000 tentang Standar Nasional Indonesia (SNI) merupakan suatu
standar yang ditetapkan Badan Standarisasi Nasional dan berlaku secara nasional.
SNI bisa ditetapkan untuk produk barang. Penerapan SNI terhadap produk
memiliki tujuan untuk meningkatkan perlindungan terhadap konsumen, pemilik
usaha, dan masyarakat lain, baik untuk keamanan, kesehatan, maupun
keselamatan.
Produk sabun padat memiliki syarat mutu yang telah ditetapkan oleh SNI
yaitu SNI-3532:2016. Sabun padat alami ekstrak tembakau yang dihasilkan harus
sesuai atau minimal mendekati syarat mutu yang telah ditentukan oleh SNI agar
2
bisa digunakan. Syarat mutu sabun mandi padat menurut SNI-3532:2016 meliputi
kadar air, total lemak, bahan tak larut dalam etanol, alkali bebas, kadar klorida dan
lemak tidak tersabunkan. Sabun yang telah memenuhi syarat mutu SNI-3532:2016
aman untuk digunakan sehingga dapat diproduksi dan dapat dijual dipasaran
(Uzwatania dan Ginantaka, 2018). Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan
mengetahui mengetahui mutu sediaan sabun padat dengan variasi penambahan
ekstrak tembakau dan mendapatkan formulasi sediaan sabun padat ekstrak
tembakau yang sesuai dengan SNI-3532:2016.
1.3 Tujuan
Penelitian ini memiliki tujuan yaitu sebagai berikut:
1. Mengetahui mutu sediaan sabun padat dengan variasi penambahan ekstrak
tembakau.
2. Mendapatkan formulasi sediaan sabun padat ekstrak tembakau yang sesuai
dengan SNI-3532:2016.
1.4 Manfaat
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini yaitu:
1. Memberikan alternatif pemanfaatan daun tembakau sebagai bahan aktif
alami dalam pembuatan sabun padat.
2. Meningkatkan nilai ekonomi tembakau dengan bentuk sabun padat.
3. Sebagai acuan peneliti selanjutnya.
3
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
4
2.2 Syarat Mutu Sabun Padat
Sabun dapat beredar dipasaran apabila memiliki syarat mutu yang telah
ditetapkan oleh Dewan Standarisasi Nasional. Sabun yang telah memenuhi syarat
mutu SNI aman untuk digunakan sehingga dapat diproduksi dan dapat dijual
dipasaran (Uzwatania dan Ginantaka, 2018). Syarat mutu sabun mandi menurut
Standar Nasional Indonesia (SNI) 3532:2016 dapat dilihat pada Tabel 2.1
Tabel 2.1 Syarat mutu sabun mandi padat
Kriteria uji Satuan Mutu
Kadar air % fraksi massa Maks. 15
Total lemak % fraksi massa Min. 65,0
Bahan tak larut dalam etanol % fraksi massa Maks. 5,0
Alkali bebas (dihitung sebagai % fraksi massa Maks.0,1
NaOH)
Asam lemak bebas (dihitung % fraksi massa Maks. 2,5
sebagai Asam Oleat)
Kadar klorida % fraksi massa Maks. 1,0
Lemak tidak tersabunkan % fraksi massa Maks. 0,5
Catatan: alkali bebas atau asam lemak bebas merupakan pilihan bergantung
pada sifatnya asam atau basa
Sumber: Standar Nasional Indonesia (2016)
2.3 Tembakau
Tembakau adalah salah satu komoditas perkebunan yang mempunyai nilai
ekonomi yang tinggi. Tembakau memiliki peran terhadap perekonomian Inonesia
ditunjukkan dari besarnya bea cukai sebagai penerimaan negara (Santoso, 2013).
Tanaman tembakau berdasarkan waktu penanaman dan penggunaannya
dibedakan menjadi dua yaitu. Tembakau Voor Oogst ditanam pada akhir musim
hujan dan dipanen pada musim kemarau. Sedangkan penanaman tembakau Na-
oogst dilakukan pada akhir musim kemarau dan dipanen pada saat musim hujan
(Djajadi, 2015). Kandungan senyawa daun tembakau dapat dilihat pada Tabel 2.3
5
Tabel 1.3 Komposisi Senyawa Daun Tembakau
Komponen Kandungan (%)
Selulosa 7-16
Gula 0-22
Trigliserida 1
Protein 3,5-20
Nikotin 0,6-5,5
Pati 2-7
Abu (Ca, K) 9-25
Bahan organik 7-25
Lilin 2,5-8
Minyak atsiri 0,13
Pektin 13,4
Polifenol 4,39
flavon, karotenoid, parafin, sterin, dll. 7-12
Sumber: Tirtosastro dan Murdiyati (2017)
Senyawa penting yang terkandung dalam tanaman tembakau yaitu flavonoid
berupa fenol (flavonoid), alkaloid berupa nikotin, dan minyak atsiri (Machado et
al., 2010). Bahan aktif tersebut memiliki kesamaan dengan bahan aktif yang
dimiliki oleh ekstrak serai dapur. Pada penelitian Rita et al (2018) bahwa sabun
padat minyak atsiri serai dapur dengan kandungan ekstrak serai berupa alkaloid,
saponin, flavonoid, minyak atsiri, dan tanin berpotensi sebagai penghambat
bakteri E-coli dan S. Cara kerja senyawa alkaloid sebagai antibakteri yaitu dengan
merusak komponen penyusun peptidoglikan pada sel bakteri, sehingga terjadi lisis
pada lapisan dinding sel bakteri dan terjadi kematian sel. Senyawa flavonoid
membunuh bakteri dengan mendenaturasikan protein dan merusak permeabilitas
sel bakteri (Redha, 2010).
8
Iritasi yang ditimbulkan oleh sabun minyak kelapa dapat dikurangi dengan
minyak zaitun (Hambali, 2005).
Terdapat beberapa senyawa yang tidak tersabunkan pada minyak zaitun
seperti tokoferol, pigmen, fenol, sterol, dan squalen (Mailer, 2006). Selain
digunakan sebagai memasak minyak zaitun juga dapat digunakan untuk
perawatan kecantikan. Minyak zaitun yang memiliki kandungan asam oleat
hingga 80% dapat melindungi elastisitas kulit dari kerusakan dan mengenyalkan
kulit. Kandungan tokoferol (vitamin E) yang tinggi pada minyak zaitun berfungsi
sebagai anti penuaan dini. Manfaat yang lain dari minyak zaitun yaitu
melembabkan permukaan kulit tanpa menyumbat pori, menghaluskan kulit, dan
mengangkat sel-sel kulit mati. Penggunaan minyak zaitun sebagai bahan
pembuatan sabun akan memberikan sifat sabun yang keras tetapi lembut untuk
kulit (Anggraeni, 2014). Adapun kandungan asam lemak pada minyak zaitun
dapat dilihat pada Tabel 2.8
Tabel 2.8 Kandungan asam lemak minyak zaitun
Asam lemak Jumlah (%)
Palmitat 10,95 ± 0,33
Palmitoleat 0,73 ± 0,03
Stearat 3,36 ± 0,11
Oleat 70,08 ± 0,77
Linoleat 7,43 ± 0,09
Linolenat 0,36 ± 0,02
Arachidat 0,67 ± 0,03
Gadoleat 0,35 ± 0,01
Sumber: Anggraeni (2014).
2.4.4 NaOH
Natrium hidroksida memiliki bentuk putih padat seperti pelet, serpihan,
butiran ataupun larutan jenuh 50% yang biasa disebut larutan sorensen. Natrium
hidroksida menyerap karbondioksida dari udara bebas secara spontan dan
memiliki sifat lembab cair. NaOH sangat mudah larut dalam air dan akan
melepaskan panas saat dilarutkan dikarena pada proses pelarutannya dalam air
bereaksi secara eksotermis. NaOH juga larut dalam etanol dan metanol tetapi
tingkat kelarutannya lebih kecil jika dibandingkan dengan KOH. Tetapi NaOH
tidak larut dalam dietil eter dan pelarut nonpolar lainnya (Rowe, 2009).
9
Natrium hidroksida (NaOH) memiliki sifat basa dan mampu menetralisir
asam. NaOH bereaksi dengan minyak membentuk sabun. Reaksi ini disebut juga
dengan reaksi saponifikasi (Hambali, 2005). Menurut Kamikaze (2002),
pembuatan sabun padat menggunakan jenis alkali NaOH karena memiliki tidak
mudah larut dalam air. Pada pembuatan sabun penambahan KOH atau NaOH
harus dilakukan dengan takaran yang tepat. Apabila terlalu pekat atau lebih maka
akan menyebabkan iritasi kulit. Hal ini karena terlalu tingginya alkali bebas yang
tidak berikatan dengan trigliserida atau asam lemak. Sebaliknya apabila terlalu
sedikit jumlahnya maka akan menyebabkan kandungan asam lemak bebas pada
sabun tinggi. Asam lemak bebas dapat menganggu proses emulsi sabun dan
kotoran saat sabun digunakan.
2.4.5 Aquades
Menurut Suryana (2013), aquadest sering juga disebut dengan pelarut
universal karena merupakan suatu pelarut yang penting dan memiliki kemampuan
untuk melarutkan banyak zat kimia seperti gula, garam-garam, asam, beberapa
jenis gas dan banyak macam molekul organik. Aquades memiliki sifat tidak
berasa, tidak berwarna, dan tidak berbau pada kondisi standar yaitu temperatur
273,15oK dan tekanan 100 kPa (1bar). Air sulingan dan air minum kemasan
merupakan pelarut yang baik digunakan dalam pembuatan sabun. Air PDAM
memiliki kandungan mineral yang banyak sehingga kurang baik jika digunakan
sebagai pelarut dalam pembuatan sabun.
2.5 Ekstraksi
Ekstraksi merupakan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga
terpisah dari bahan yang tidak larut dengan pelarut cair. Senyawa aktif yang
terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan ke dalam golongan alkaloid,
flavonoid, minyak atsiri, dan lain-lain. Jika sudah diketahui kandungan senyawa
aktif simplisa maka akan mempermudah pemilihan pelarut dan cara ekstraksi
yang tepat (Depkes RI Dirjen POM, 2000). Adapun macam-macam metode
ekstraksi yaitu
10
1. Maserasi
Maserasi merupakan suatu proses ekstraksi sederhana yang dilakukan
dengan cara merendam simplisia dalam satu atau campuran pelarut selama waktu
tertentu pada temepratur kamar dan terlindungi dari cahaya. Maserasi merupakan
proses ekstraksi simplisia menggunakan pelarut dengan pengadukan beberapa kali
pada suhu ruangan. Simplisa direndam ke dalam pelarut yang sesuai dengan
menggunakan wadah yang tertutup. Tujuan dari pengadukan agar dapat
meningkatkan kecepatan ekstraksi. Beberapa senyawa juga tidak terekstraksi
secara efisien jika kurang terlarut pada suhu kamar (27oC). Metode maserasi tidak
menyebabkan degradasi metabolit yang tidak tahan terhadap panas karena
dilakukan pada suhu kamar (27oC). Maserasi menggunakan peralatan yang
sederhana dan teknik pengerjaan yang sederhana (Departemen Kesehatan RI,
2006).
2. Perkolasi
Perkolasi merupakan proses mengekstraksi senyawa terlarut dari jaringan
selular simplisia dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna yang
umumnya dilakukan pada suhu ruangan. Perkolasi cukup sesuai, baik untuk
ekstraksi dalam jumlah besar maupun ekstraksi pendahuluan (Departemen
Kesehatan RI, 2006).
3. Soxhlet
Ekstraksi soxhlet merupakan suatu metode ekstraksi dengan menggunakan
prinsip perendaman dan pemanasan sampel. Pada dinding dan membran sel akan
terjadi pemecahan akibat perbedaan tekanan antara di luar dan di dalam sel.
Dengan demikian, metabolit sekunder yang ada di dalam sitoplasma akan terlarut
ke dalam pelarut organik. Larutan itu kemudian menguap ke atas dan melewati
pendingin udara yang akan mengembunkan uap tersebut menjadi tetesan yang
akan terkumpul kembali. Bila larutan melewati batas lubang pipa samping soxhlet
maka akan terjadi sirkulasi. Sirkulasi yang berulang itulah yang menghasilkan
ekstrak yang baik (Departemen Kesehatan RI, 2006).
11
4. Refluks
Ekstraksi refluks merupakan ekstraksi berkesinambungan. Bahan yang akan
diekstraksi direndam dengan cairan penyari dalam labu alas bulat yang dilengkapi
dengan alat pendingin tegak, lalu dipanaskan sampai mendidih. Cairan penyari
akan menguap, uap tersebut akan diembunkan dengan pendingin tegak dan akan
kembali menyari zat aktif dalam simplisia tersebut. Ekstraksi ini membutuhkan
waktu selama 4 jam dan biasa dilakukan sebanyak 3 kali (Departemen Kesehatan
RI, 2006).
5. Digesti
Digesti merupakan maserasi dengan pengadukan continue (kinetik) dengan
suhu yang lebih tinggi daripada suhu ruangan. Ekstraksi ini dilakukan pada suhu
40-50oC (Departemen Kesehatan RI, 2006).
6. Infusa
Infusa merupakan ekstraksi dengan menggunakan pelarut air pada suhu
penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih), suhu terukur
(96- 98oC) selama waktu tertentu (15-20 menit) (Departemen Kesehatan RI,
2006).
7. Dekok
Dekok merupakan infus pada waktu yang lebih lama dan suhu sampai titik
didih air, yaitu pada suhu 90-100oC selama 30 menit (Departemen Kesehatan RI,
2006).
2.6 Saponifikasi
Reaksi hidrolisis antara basa alkali dengan asam lemak yang akan
menghasilkan gliserol dan garam (sabun) disebut dengan saponifikasi (Prawira,
2010). Menurut Zulkifli dan Estiasih (2014), saponifikasi dilakukan dengan
penambahan basa pada minyak yang akan dimurnikan. Pada proses ini terjadi
pemisahan asam lemak bebas dari minyak atau lemak dengan mereaksikan asam
lemak bebas dengan basa atau pereaksi lainnya sehingga membentuk sabun.
Trigliserida akan direaksikan dengan alkali (sodium hidroksida), maka ikatan
antara atom oksigen pada gugus karboksilat dan atom karbon pada gliserol akan
12
terpisah. Atom oksigen mengikat sodium yang berasal dari sodium hidroksida
sehingga ujung dari rantai asam karboksilat akan larut dalam air. Garam sodium
dari asam lemak inilah yang kemudian disebut sabun. Sedangkan gugus OH
dalam hidroksida akan berkaitan dengan molekul gliserol, apabila ketiga gugus
asam lemak tersebut lepas maka reaksi saponifikasi dinyatakan selesai. Menurut
Perdana dan Hakim (2015), reaksi saponifikasi sabun dapat dilihat pada Gambar
2.2
13
Tabel 2.8 Penelitian terdahulu bahan alami sabun padat
Nama peneliti Judul Penelitian Hasil penelitian
(Rita et al., Formulasi Sediaan Sabun Salah satu bahan alam yang
2018) padat Minyak Atsiri berpotensi sebagai alternatif
Serai Dapur pengganti triclocarban tanaman
(Cymbopogon Citratus serai dapur (Cymbopogon
DC.) Sebagai Antibakteri citratus). Minyak atsiri serai
Terhadap Escherichia dapat menghambat bakteri
Coli dan Staphylococcus dengan zona hambat sebesar 8
Aureus mm terhadap pertumbuhan E.
coli dan 13 mm terhadap
pertumbuhan Staphylococcus
aureus pada konsentrasi 25%
b/v. Penyelidikan fitokimia
mengungkapkan bahwa ekstrak
serai mengandung beberapa
konstituen seperti minyak atsiri,
saponin, tanin, alkaloid, dan
flavonoid yang mengindikasikan
serai memiliki aktivitas
antibakteri.
Perbedaan: penelitian yang dilakukan oleh Rita et.al menggunakan minyak
atsiri serai sebagai pengganti bahan sintetik triclocarban karena pada ekstrak
serai mengandung seperti minyak atsiri, saponin, tanin, alkaloid, dan flavonoid
sedangkan penulis menggunakan ekstrak tembakau sebagai pengganti bahan
sintetik karena mengandung alkaloid nikotin, flavonoid (fenol) dan minyak
atsiri bahan tersebut sama seperti bahan yang terdapat di ekstrak serai.
Penelitian terdahulu tentang pembuatan sabun padat dengan penambahan
bahan alami pada sabun pada juga dapat dilihat pada Tabel 2.9
Tabel 2.9 Penelitian terdahulu pembuatan sabun padat alami
Nama peneliti Judul Penelitian Hasil penelitian
(Sukawaty et al., Formulasi Sediaan Sabun Sediaan sabun padat
2016) Mandi Padat Ekstrak menggunakan bahan alami
Etanol Umbi Bawang berupa ekstrak etanol umbi
Tiwai (Eleutherine bawang Tiwai (Eleutherine
Bulbosa (Mill.) Urb.) bulbosa (Mill.) Urb.) dengan
hasil mutu sabun memenuhi
persyaratan SNI 06-3532-1994.
Perbedaan: penelitian yang dilakukan oleh Rita Sukawaty et al. menggunakan
ekstrak etanol umbi bawang tiwai sebagai bahan alami pembuatan sabun padat
dengan variabel X variasi penambahan NaOH dan variabel Y syarat mutu sabun
memenuhi persyaratan SNI 06-3532-1994 sedangkan variabel yang diteliti
penulis yaitu sabun padat dengan variasi penambahan ekstrak tembakau (X) dan
syarat mutu sabun memenuhi persyaratan SNI-3532:2016.
14
Berdasarkan penelitian terdahulu yang disebutkan diatas dapat dibuat sabun
dengan bahan alami pengganti bahan sintetik seperti triclocarban dengan
menggunakan ekstrak tembakau karena pada ekstrak tembakau terdapat
kandungan flavonoid berupa fenol (flavonoid), alkaloid berupa nikotin, dan
minyak atsiri (Machado et al., 2010). Senyawa-senyawa tersebut mempunyai sifat
antibakteri sehingga dapat digunakan sebagai pengganti bahan sintetik pada
sabun. Penelitian yang akan dilakukan yaitu menggunakan penambahan variasi
ekstrak tembakau sesuai syarat mutu sabun memenuhi persyaratan SNI-
3532:2016. Berdasarkan penelitian terdahulu maka didapatkan penelitian beruba
pembuatan sediaan sabun padat ekstrak tembakau dengan keseuaian mutu sesuai
dengan dengan SNI-3532:2016.
15
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Pelaksanaan penelitian ini pada bulan Oktober 2020 – Desember 2020.
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia dan Biokimia Hasil Pertanian, dan
Laboratorium Teknologi Manajemen Agroindustri Program Studi Teknologi
Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Jember.
16
Mulai
Analisis parameter
Hasil analisa
Selesai
18
3.5 Tahapan Pelaksanaan Penelitian
3.5.1 Pembuatan Ekstrak tembakau (Amelinda et al. (2018), yang dimodifikasi)
Pembuatan ekstrak tembakau menggunakan metode maserasi. Maserasi
merupakan proses mengekstraksi bahan menggunakan pelarut dengan pengadukan
beberapa kali pada suhu ruang. Bahan direndam ke dalam pelarut yang sesuai
dengan menggunakan wadah yang tertutup. Perbedaan konsentrasi antara larutan
zak aktif di luar dan didalam sel maka larutan yang pekat akan keluar (Depkes RI
Dirjen POM, 2000).
Pada penelitian ini menggunakan daun tembakau jenis kasturi. Tahapan
awal yang dilakukan untuk membuat ekstrak tembakau yaitu sebanyak 1 kg daun
tembakau dikeringkan menggunakan oven yang bertujuan untuk mengurangi
kadar air tembakau. Daun tembakau yang sudah kering dihalukan dengan
menggunakan blender untuk mengecilkan ukuran daun tembakau. Setelah itu daun
tembakau diayak menggunakan ayakan berukuran 80 mesh. Bubuk daun
tembakau yang diperoleh ditimbang sebesar 100 g, kemudian ditambahkan
dengan etanol 95% dengan perbandingan 1:10 sebanyak 1 L. Larutan serbuk daun
tembakau dicampurkan ke dalam beaker glass sambil diaduk hingga homogen dan
dilakukan maserasi selama 24 jam. Beaker glass ditutup menggunakan
alumunium foil dan dilakukan pengadukan setiap 2 jam sekali. Larutan serbuk
daun tembakau setelah 24 jam disaring menggunakan kertas saring.
Setelah itu ekstrak tembakau diuapkan untuk memisahkan dari etanol
dengan menggunakan evapor rotary dengan menggunakan suhu 50oC selama 1
jam 5 menit. Hasil penguapan tersebut adalah ekstrak tembakau. Ekstrak
tembakau yang dihasilkan ± 30% dari larutan yang dibuat. Diagram pembuatan
ekstrak tembakau dapat dilihat pada Gambar 3.2
19
Daun Tembakau
Pengeringan
Penghalusan
Penyaringan Ampas
Ekstrak Tembakau
Ekstrak tembakau
Pengadukan hingga rata
(1,2 g, 2,4 g, 4,8 g)
21
3.6.2 Tekstur/ kekerasan (Jannah, 2009)
Kekerasan diukur dengan menggunakan alat penetrometer. Sampel ditusuk
dengan menggunakan jamu pada penetrometer dan dibiarkan untuk menembus
sabun selama 5 detik pada temperatur konstan (27oC). Kedalaman penetrasi jarum
ke dalam bahan dinyatakan dalam 1/10 mm dari angka yang ditunjukkan pada
skala penetrometer.
3.6.3 Stabilitas Busa (Jannah, 2009)
Sampel sebanyak 1 gram dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang telah
berisi 10 ml aquades, kemudian dikocok dengan vortex selama 1 menit. Busa
yang terbentuk diukur tingginya dengan menggunakan penggaris (tinggi busa
awal). Pengukuran daya busa dapat dilakukan dengan mengukur tinggi busa pada
gelas ukur dan lama waktu yang dibutuhkan pada proses pembusaan.
3.6.4 Kadar air (SNI, 2016)
Penentuan kadar air menggunakan metode oven. Cawan petri yang telah
dikeringkan dalam oven dengan suhu 1050C ± 20C selama 30 menit ditimbang
untuk diketahui beratnya. Sebanyak 5 gram sampel ditimbang bersama dengan
cawan petri (b1). Sampel dipanaskan dalam oven pada suhu 1050C ± 20C selama 1
jam. Kemudian sampel didinginkan dalam desikator sampai suhu ruang lalu
ditimbang. Setelah itu sampel dipanaskan lagi dalam oven selama 1 jam,
didinginkan dalam desikator dan ditimbang (b2). Perlakuan ini diulangi sampai
tercapai berat konstan. Perhitungan kadar air yaitu sebagai berikut:
Keterangan:
b0= bobot cawan kosong (g)
b1= bobot sampel dan cawan petri sebelum pemanasan (g)
b2= bobot sampel dan cawan petri setelah pemanasan (g)
3.6.5 Total lemak (SNI, 2016)
Sebanyak 5 gram sampel ditimbang (b0) dalam gelas piala. Sampel
dilarutkan dengan 100 mL aquadest panas dengan suhu 70-80 oC kemudian
dimasukkan kedalam corong pemisah. Gelas piala dicuci dengan sedikit aquadest
dan aquadest tersebut dimasukkan ke corong pemisah. Beberapa tetes methyl
22
orange ditambahkan ke dalam corong pemisah. H2SO4 atau HCl yang sudah
diketahui volumenya dengan buret, ditambahkan berlebih 5 mL ke dalam corong
pemisah sambil dikocok. Corong pemisah didinginkan sampai suhunya sekitar 25
o
C, setelah itu ditambahkan 100 mL pelarut petroleum. Corong pemisah ditutup
dan dibalikkan secara perlahan. Kran corong pemisah dibuka secara perlahan
untuk membuang tekanan kemudian ditutup kembali. Setelah itu corong pemisah
dikocok secara perlahan dan buang tekanannya kembali sampai lapisan cairan
terpisah sempurna.
Corong pemisah dipasang dengan posisi berdiri. Cairan pelarut petroleum
dialirkan keluar ke gelas piala. Cairan dalam corong pemisah diekstrak kembali
dengan 50 mL pelarut petroleum. Kemudian cairan petroleum dialirkan keluar ke
dalam gelas piala. Ketiga ektrak pelarut petroleum di campurkan ke dalam gelas
piasa yang lain. Ekstrak dicuci dengan aquadest 25 mL sebanyak tiga kali sampai
netral terhadap methyl orange, setelah itu didiamkan selama 5 menit. Ekstrak
dipisahkan dengan pencucinya, saring dengan kertas saring jika diperlukan.
Pelarut petroleum diuapkan menggunakan penangas air. Residu dilarutkan ke
dalam 20 mL etanol 95% netral. Kemudian beberapa tetes larutan fenolftalein
ditambahkan. Sampel di titrasi dengan menggunakan larutan KOH alkoholis
sampai berwarna merah muda, setelah itu mencatat volume yang digunakan (V).
Larutan alkoholis diuapkan dari larutan sampel hasil titrasi dalam penangas air.
Saat penguapan hampir berakhir, gelas piala diputar untuk mendistribusikan sabun
membentuk lapisan tipis pada bagian samping dan dasar wadah. Aseton
ditambahkan agar penguapan menjadi sempurna. Sampel dipanaskan pada oven
dengan suhu (103 ± 2)ºC sampai perbedaan bobot setelah pemanasan untuk
penambahan 15 menit tidak melebihi 3 mg, dinginkan, dan timbang bobotnya (b1).
Total lemak diperoleh dengan menggunakan perhitungan sebagai berikut :
23
Keterangan:
b0 = bobot sampel (g)
b1 = bobot sabun kering (g)
V = volume KOH alkoholis yang digunakan untuk titrasi (mL)
N = normalitas larutan standar KOH alkoholis
3.6.6 Bahan tak larut etanol
Sebanyak 5 ± 0,01 g sampel (b1) dilarutkan dengan 200 mL etanol netral ke
dalam erlenmeyer tutup asah. Sampel dipanaskan dengan penangas air sampai
terlarut seluruhnya. Kertas saring atau cawan gooch dikeringkan dalam oven pada
suhu (100-105) ºC selama 30 menit. Kertas saring atau cawan Gooch ditimbang
untuk mengetahui beratnya. kertas saring atau cawan Gooch ditempatkan pada
corong di atas labu erlenmeyer yang sudah dirangkai dengan pompa vakum. Saat
sabun terlarut seluruhnya, cairan dituangkan ke kertas saring atau cawan Gooch.
Kemudian bahan yang tak larut dalam erlenmeyer pertama dicuci dengan etanol
netral. Cairan cucian tadi dituangkan ke kertas saring atau cawan Gooch. Residu
pada kertas saring atau cawan Gooch dicuci dengan etanol netral sampai
seluruhnya bebas sabun, setelah itu filtratnya disimpan. Kertas serta residu
dikeringkan dalam oven pada suhu (100- 105) ºC selama 3 jam. Kertas saring atau
cawan Gooch didinginkan, setelah itu dilakukan penimbangan kertas saring atau
cawan Gooch tersebut (b2). Bahan tak larut etanol diperoleh dengan menggunakan
perhitungan sebagai berikut :
Keterangan:
b0= bobot kertas saring atau cawan gooch kosong (g)
b1= bobot sampel (g)
b2= bobot bobot kertas saring atau cawan gooch kosong dan residu (g)
3.6.7 Alkali bebas
Filtrat dari penentuan bahan tak larut dalam alkohol dipanaskan dalam
penangas air. Saat hampir mendidih, 0,5 mL indikator fenolftalein 1%
dimasukkan kedalam filtrat. Jika larutan tersebut bersifat asam (penunjuk
fenolftalein tidak berwarna), titrasi dengan larutan standar KOH sampai timbul
warna merah muda yang stabil. Jika larutan tersebut bersifat alkali (penunjuk
24
fenolftalein berwarna merah), titrasi dengan larutan standar HCl sampai warna
merah tepat hilang. Menghitung menjadi NaOH jika alkali atau menjadi asam
oleat jika asam. . Alkali bebas dan asam lemak bebas diperoleh dengan
menggunakan perhitungan sebagai berikut :
Keterangan:
V = volume KOH (mL)
b = berat sampel (mg)
N = normalitas KOH
282 = berat ekuivalen asam oleat (C18H34O2)
Keterangan:
V = volume larutan standar AgNO3 (mL)
b = berat sampel (mg)
N = normalitas larutan standar AgNO3
5,85= berat ekuivalen NaCl
3.6.9 Lemak tidak tersabunkan
25
Sebanyak (5 ± 0,01) g sampel (b0), dimasukkan dalam gelas piala 250 mL,
dan ditambahkan 50 mL etanol netral dan 50 mL larutan natrium hidrogen
karbonat. Sampel dipanaskan tidak lebih dari 70°C agar larut. Setelah sabun larut
seluruhnya, sampel dibiarkan dingin dalam desikator. Kemudian larutan
dipindahkan ke dalam corong pemisah 250 mL. Gelas piala dibilas beberapa kali
dengan campuran etanol netral dengan larutan natrium hidrogen karbonat 1:1.
Ekstrak tiga kali, aduk perlahan, setiap kali dengan 50 mL n-heksana atau
petroleum eter, gabungkan ekstrak dan saring jika diperlukan. Kertas saring dicuci
sampai netral terhadap fenolftalein menggunakan 50 mL campuran etanol netral
dengan akuades 1:1. Secara normal tiga kali pencucian sudah cukup. Larutan
dipindahkan ke dalam labu didih 250 mL yang sebelumnya dikeringkan dalam
oven dengan suhu (103 ± 2) °C dan dibiarkan dingin dalam desikator lalu
ditimbang. Kemudian sebagian solven diuapkan pada penangas air mendidih.
Labu dan residu dikeringkan selama 5 menit dalam oven dengan suhu (103 ± 2)
°C, setelah itu dibiarkan dingin dalam desikator. Cara kerja pengeringan,
pendinginan, dan penimbangan diulangi sampai perbedaan 2 kali penimbangan
tidak lebih dari 2 mg (b1). Residu dilarutkan dalam beberapa mL etanol netral.
Mikro buret digunakan untuk titrasi asam lemak bebas dengan larutan standar
KOH 0,1 N dengan menggunakan indikator fenolftalein sampai larutan berubah
warna menjadi merah mud. Mencatat Volume (V) dari larutan standar KOH 0,1 N
yang digunakan untuk titrasi. 10 mL larutan standar KOH 2 N ditambahkan
menggunakan pipet. Larutan didihkan dengan menggunakan pendingin tegak
selama 30 menit. Kemudian menambahkan akuades yang volumenya seimbang
dengan volume larutan. Larutan tersebut dipindahkan ke dalam corong pemisah
50 mL. Beberapa mL campuran etanol netral dengan akuades 1:1 digunakan untuk
mencuci labu. Ekstrak 3 kali, setiap kali dengan 10 mL n-heksana atau petroleum
eter dan gabungkan ekstrak. Dicuci sampai netral terhadap fenolftalein. Setiap
mencuci, gunakan 10 mL campuran etanol netral dengan akuades 1:1. Secara
normal 3 kali pencucian sudah cukup. Larutan dipindahkan ke dalam labu didih
100 mL yang sebelumnya dikeringkan dalam oven pada suhu (103 ± 2)°C,
dibiarkan dingin, dan ditimbang sampai bobot tetap. Sebagian besar solven
26
diuapkan pada penangas air mendidih. Labu dan residu dikeringkan selama 5
menit dalam oven dengan suhu (103 ± 2)°C, dibiarkan dingin dalam desikator dan
ditimbang sampai bobot tetap. Cara kerja pengeringan, pendinginan, dan
penimbangan diulangi sampai bobot tetap (b2). Bahan tak larut etanol diperoleh
dengan menggunakan perhitungan sebagai berikut :
Keterangan:
b0 = bobot sampel (g)
b1 = bobot hasil ekstrak pertama (g)
b2 = bobot hasil ekstrak kedua (g)
M = rata-rata leratif bobot molar dari asam lemak sabun
V = volume larutan standar KOH 0,1 N yang digunakan dalam penentuan
keasaman pada ekstraksi pertama (mL).
Keterangan:
b0= bobot cawan kosong (g)
b1= bobot sampel dan cawan petri sebelum pemanasan (g)
b2= bobot sampel dan cawan petri setelah pemanasan (g)
27
Penentuan pH dapat dilakukan dengan menggunakan pH meter. pH
meter dikalibrasi dengan larutan buffer pH 4 dan 7 sebelum digunakan.
Pengukuran sampel dilakukan dengan sebanyak 20 ml diambil, kemudian
elektroda dibilas dengan aquades. Elektroda dikeringkan dengan tisu kemudian
dicelupkan dalam sampel. Elektroda dibiarkan tercelup beberapa saat. Nilai yang
terbaca adalah nilai pH yang telah stabil.
3.7.3 Kadar flavonoid ( Yati et al., 2018)
Ekstrak 0,5 g dalam cawan ditambahkan 2 mL etanol 70%, kemudian
diaduk, ditambahkan serbuk magnesium Mg 0,5 g dan 3 tetes HCl pekat.
Terbentuknya warna jingga sampai merah menunjukkan adanya flavon, merah
sampai merah padam menunjukkan flavanol, merah padam sampai merah
keunguan menunjukkan flavanon.
28
DAFTAR PUSTAKA
29
mutu produk ebi furay PT. Bogatama Marinusa. Journal of Fisheries
Resources Utilization Management and Technology Universitas Diponegoro,
(2)5:15-20.
Kamikaze, D. (2002). Studi Awal Pembuatan Sabun Menggunakan Campuran
Lemak Abdomen Sapi (Tallow) dan Curd Susu Afkir. Bogor: Fakultas
Peternakan Institut Pertanian Bogor, Institut Pertanian Bogor.
Kataren, S. (2005). Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta: Universitas Indonesia
Press.
Kustyawati, M. E, F. Pratama, D. Saputra, dan A. Wijaya. 2014. Modifikasi
Warna, Tekstur, dan Aroma Tempe Setelah Diproses Dengan Karbon
Dioksida Superkritik. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan, 25(2).
Mailer, R. (2006). Chemistry and quality of olive oil. Primeacts, 227, 1–4.
Mangoensoekarjo, S. (2003). Manajemen Agrobisnis Kelapa Sawit. Yogyakarta:
Universitas Gadjah Mada Press.
Muhandri, Tjahjadan., & D, Kadarisman. 2012. Sistem Jaminan Mutu Industri
Pangan. Bogor: IPB Press.
Perdana, F. K., & Hakim, I. (2015). Pembuatan Sabun Cair Dari Minyak Jarak
Dan Soda Q Sebagai Upaya Meningkatkan Pangsa Pasar Soda Q.
Prawira, A. (2010). Metodologi Penelitian (Jilid 1). Yogyakarta: PT Grasindo.
Rahardjo, T. P. (2008). Pengaruh Jarak Tanamn dan Tinggi Rendahnya Terhadap
Kuantitas dan Kualitas Produksi Tembakau Kasturi. Journal of Chemical
Information and Modeling, 53(9), 287.
https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Rita, W. S., & Vinapriliani, Ni Putu Eka Gunawan, Iw. G. (2018). Formulasi
Sediaan Sabun padat Minyak Atsiri Serai Dapur (Cymbopogon citratus DC.)
Sebagai Antibakteri Terhadap Escherichia coli Dan Staphylococcus aureus.
Cakra Kimia (Indonesian E-Journal of Applied Chemistry, 6(2), 152–160.
Rosdiyawati, R. (2014). Uji Efektifitas Antibakteri Sediaan Sabun Mandi Cair
Minyak Atsiri Kulit Buah Jeruk Pontianak ( Citrus nobilis Lour . Var .
microcarpa ) Terhadap Staphylococcus aureus dan Escherichia coli.
Pontianak: Universitas Tanjung Pura.
Rowe, R. . (2009). Handbook Of Pharmaceutical Excipients (6 th). London: The
Pharmaceutical Press.
Setyopratomo, P. (2012). Produksi Asam Lemak Dari Minyak Kelapa Sawit
Dengan Proses Hidrolisis. Jurnal Teknik Kimia, 7Setyoprat(1), 26–31.
Sitrous, M., Hutabar, W., & Sutiani, A. (2016). Transformasi Risinoleat Minyak
30
Kastor Menjadi Berbagai Senyawa Yang Lebih Bermanfaat. Yogyakarta:
Plantaxia.
Standar nasional Indonesia. (2016). Sabun Mandi Padat.
Standar Nasional Indonesia. (1994). Standar Mutu Sabun Mandi SNI 06-3532-
1994.
Sukawaty, Y., Warnida, H., & Artha, A. V. (2016). Formulasi Sediaan Sabun
Mandi Padat Ekstrak Etanol Umbi Bawang Tiwai (Eleutherine bulbosa
(Mill.) Urb.). Media Farmasi, 13(1), 14–22.
https://doi.org/10.12928/mf.v13i1.5739
Suryana, R. (2013). Analisis Kualitas Air Sumur Dangkal di Kecamatan
Biringkanayya Kota Makassar. Makasar: Universitas Hasanuddin.
Susilowati, E. Y. (2006). Ekstrak Daun Tembakau Sebagai Insektisida Penggerek
Batang Padi. Semarang: Universitas Negeri Semarang.
Thibodeau, A., & Amari, S. (2009). Maintenance and Repair of the Hydrolipidic
Film with Skin Mimetic Emollients and Surfactants. Italy: Cosmetic Science
Technology.
Tirtosastro, S., & Murdiyati, A. S. (2017). Kandungan Kimia Tembakau dan
Rokok. Buletin Tanaman Tembakau, serta dan Minyak Industri, 2(1), 33–43.
Tranggono, & Latifah, F. (2007). Buku Pegangan Ilmu Pengetahuan Kosmetik.
Jakarta: Gramedia.
Tso, T., dan Bush, L. (1989). Physiology And Biochemistry Of The Tabacco
Plant3. Physiological Malfunctions: Environment - Physiologie Und
Biochemie Der Tabakpflanze: 3. Physiologischestörungen: Umwelteinflüsse.
Beiträge Zur Tabakforschung International/Contributions To Tobacco 31
Research, 14(4), 237–251.
Ulia, H. et al. (2014). Pengaruh Kadar Minyak Atsiri Kencur dan Temulawak
terhadap Aktifitas Antibakteri dalam Sabun padat. Cimahi: Seminar
Nasional Univeritas Jendral Achmad Yani.
Uzwatania, F., Ginantaka, A., & Awaludin. (2018). Analisis Preferensi dan
Tingkat Kesukaan Konsumen Terhadap Sabun Mandi Alami Halal. Jurnal
Pertanian, 9(2), 108–114.
Wax, G., Lewis, K., Salyer, A., & H, T. (2008). Bacterial Resistance to
Antimicrobials (Second Edi). New York: CRC Press.
Widyasanti, A., Rahayu, A. Y., & Zein, S. (2017). Pembuatan Sabun Cair
Berbasis Virgin Coconut Oil (Vco) Dengan Penambahan Minyak Melati
(Jasminum Sambac) Sebagai Essential Oil. Jurnal Teknotan, 11(2), 1.
https://doi.org/10.24198/jt.vol11n2.1
31
Yati, K., Jufri., Gozan, M., dan Dwita, L P. (2018). Pengaruh Variasi Konsentrasi
Hidroxy Propyl Methyl Cellulose (Hpmc) Terhadap Stabilitas Fisik Gel
Ekstrak Tembakau (Nicotiana Tabaccum L.) dan Aktivitasnya Terhadap
Treptococcus Mutans. Pharmaceutical Sciences and Research, 5(3), 133-
141.
Zulkifli, M., & Estiasih, T. (2014). Sabun Dari Distilat Asam Lemak Minyak
Sawit : Kajian Pustaka. Pangan dan Agroindustri, 2(4), 170–177.
32